Anda di halaman 1dari 45

1

BAB I
PENDAHULUAN
Pada akhir tahun 2002, UNAIDS memperkirakan di seluruh dunia terdapat
42 juta orang yang hidup dengan HIV; 19,2 juta di antaranya perempuan dan 3,2
juta anak di bawah usia 15 tahun. Selama tahun 2002 terdapat 800.000 kasus baru
dan 610.000 kematian anak yang menderita HIV. Sebagian besar (91%) anak
tersebut tertular HIV dari ibunya. Diperkirakan setiap tahunnya terdapat 600.000
kasus HIV baru akibat penularan vertikal dari ibu ke anaknya.1
Jumlah kasus HIV/AIDS pada kehamilan di Indonesia dan di dunia
semakin meningkat. Hal ini diakibatkan oleh meningkatnya kasus pada
penggunaan narkoba suntikan yang pada umumnya digunakan pada usia subur
(usia reproduksi). Penelitian yang dilakukan oleh Yayasan Pelita Ilmu dan Bagian
Kebidanan FKUI di daerah pemukiman kumuh di Jakarta menunjukkan bahwa
infeksi HIV/AIDS di kalangan ibu hamil yang mengikuti layanan testing dan
konseling sukarela melebihi 2%.2
Di Indonesia, menurut Ditjen PPM dan PL Departemen Kesehatan tercatat
3568 kasus HIV/AIDS pada akhir bulan Desember 2002, 20 kasus tertular dari
ibunya. Kharbiati, dkk dari Yayasan Pelita Ilmu bekerjasama dengan Bagian
Kebidanan FKUI/RSCM selama tahun 1999-2001 mendapatkan pada 558 ibu
hamil di daerah miskin di Jakarta (Kampung Melayu, Tanah abang, Petamburan)
yang melakukan tes HIV sebanyak 16 orang (2,86%) dinyatakan positif. Jumlah
kasus baru sejak tahun 2000 meningkat tajam dibandingkan dengan tahun-tahun
sebelumnya karena penambahan kasus baru akibat penularan melalui penggunaan
narkoba suntikan mencapai 21,8%.1
Permasalahan kesehatan reproduksi semakin rumit pada pengguna narkoba
yang terinfeksi HIV/AIDS. Apalagi sebagian besar yang terinfeksi HIV/AIDS
adalah remaja usia subur yang berumur antara 15-25 tahun, sehingga dapat
diperkirakan jumlah kehamilan yang disertai infeksi HIV akan semakin
meningkat. Di sisi lain HIV akan menurunkan infertilitas. Penelitian Gray, dkk di

Uganda menunjukkan bahwa perempuan yang positif HIV mempunyai


kemungkinan hamil yang lebih rendah, terutama dalam keadaan simptomatik.1
Perjalanan penyakit bayi yang tertular HIV dari ibunya lebih progresif
dibandingkan dengan penderita dewasa karena paparan pertama terjadi pada saat
respons imun masih dalam tahap perkembangan. Kelainan respons imun yang
timbul antara lain limfopenia CD4, berbagai defek limfosit B dan T,
hipergamaglobulinemia poliklonal.3
Selain itu infeksi HIV juga akan mempengaruhi tumbuh kembang anak
selanjutnya. Anak yang menderita HIV dilaporkan lebih sering mengalami
penyakit infeksi bakteri ataupun virus. Anak yang tertular HIV dari ibunya juga
mengalami keterlambatan pubertas dibandingkan anak seusianya.4
Oleh karena itu infeksi HIV pada kehamilan menjadi sangat penting
dengan dasar pertimbangan efek terhadap kehamilan, lebih dari 90% kasus HIV
anak ditularkan dari ibunya, anak yang akan dilahirkan akan menjadi yatim piatu
dan sebagian besar wanita yang terinfeksi HIV/AIDS berada pada usia subur.1

BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien
Nama

: Ny. NR

Umur

: 29 tahun

Suku/bangsa

: Melayu/Indonesia

Agama

: Islam

Pendidikan

: SD

Pekerjaan

: IRT

Alamat

: Orang Kayo Hitam RT. 10 Kec. Pasar Jelutung

Suami
Nama

: Tn. AH

Umur

: 31 tahun

Suku/bangsa

: Melayu/Indonesia

Agama

: Islam

Pendidikan

: SMP

Pekerjaan

: Wiraswasta

Alamat

: Orang Kayo Hitam RT. 10 Kec. Pasar Jelutung

2.2 Anamnesis
Keluhan Utama :
Keluar lendir bercampur darah dari jalan lahir sejak lebih kurang 3 jam SMRS.
Nyeri perut menjalar sampai ke pinggang (+). Keluar air-air dari jalan lahir (-)
2.3 Riwayat Penyakit Dahulu
-

Hipertensi
Asma
Diabetes Melitus
Penyakit Jantung Koroner
TB
Hepatitis

: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal

2.4 Riwayat Penyakit Keluarga


-

Keturunan Kembar
Diabetes Melitus
Hipertensi
Penyakit Jantung Koroner
TB
Asma

: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal

2.5 Riwayat Obstetri


-

GPA
HPHT
TP
UK
Menarche
Siklus haid
Lama haid
Riwayat persalinan
Tahun
Partus

Tempat
Partus

1.

2004

PKM

2.

2011

RS

No
.

Riwayat perkawinan
Riwayat kontrasepsi
Imunisasi TT
ANC

: G3P2A0
: 07-06-2015
: 14-03-2016
: 35-36 minggu
: 12 tahun
: teratur 28 hari
: 7 hari
:
Umur
Hamil
Ater
m
Ater
m

Jenis
Persalina
n

Penolong
Persalina
n

Penyuli
t

Normal

Bidan

Hidup

Normal

Bidan

Hidup

TD
: 110/60 mmHg
Nadi
: 82 x/menit
Pernapasan
: 21 x/menit reguler
Suhu
: 36,5oC
Berat badan sebelum hamil : 67 kg
Berat badan saat hamil
: 68 kg

Status Generalisata

Keadaan
Anak Sek

: Os. menikah 1 kali pada usia 16 tahun


: suntik lamanya 7 bulan
: 2 kali
: > 4 kali selama kehamilan dengan bidan

2.6 Pemeriksaan Fisik


-

Anak
Kel/B
B

Kepala

: normocephale, rambut hitam tidak mudah dicabut

Mata

: CA (-/-), SI (-/-), RC (+/+), palpebra edema (-/-)

THT

: dbn

Leher

: Pemb. KGB (-), pemb. Tiroid (-), JVP 52 cmH2O

Thorak

: Pergerakan dinding dada simetris, statis dan dinamis

Pulmo

: vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)

Cor

: BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen

: membesar simetris, hepar dan lien tidak teraba, bising usus (+)

Genitalia

: labia mayora simetris, edema labia mayora (-/-), pembesaran


Pembesaran kelenjar Bartholini (-/-)

Ekstremitas superior : akral hangat (+/+), sianosis (-/-), edema (-/-)


Ekstremitas inferior : akral hangat (+/+), sianosis (-/-), edema (-/-)
Status Obstetri
Pemeriksaan Luar
Inspeksi :
Muka

: cloasma gravidarum (-), edema (-)

Leher

: pembesaran vena jugularis (-)

Dada

: pembesaran mammae simetris, puting susu menonjol


Hiperpigmentasi aerola mammae, kolostrum (-)

Abdomen

: perut tampak membesar ke depan, striae albicans (+), linea nigra


(+), sikatrik (+)

Vulva

: labia mayor/minor simetris, pemb. kelenjar Bartholini (-)

Ekstremitas

: akral hangat (+/+), sianosis (-/-), edema (-/-)

Palpasi :
Leopold I

: Teraba massa lunak tidak melenting, TFU : 34 cm

Leopold II

: Pu-ka, DJJ (+) 147 x/menit, reguler

Leopold III

: Teraba massa keras melenting, presentasi kepala

Leopold IV

: V divergen

TBJ

: 3565 gr

HIS

: 2x/10/10

Pemeriksaan Dalam :
Portio

: lunak

Pendataraan

: 50%

Pembukaan

: 4 cm

Ketuban

: (+) utuh

Penunjuk

: UUK

Presentasi

: kepala

Penurunan

: 3/5

Posisi

: UUK anterior kiri

Pemeriksaan Panggul : tidak dilakukan


2.7 Pemeriksaan Laboratorium :
Darah Rutin (15-02-2016)
Hb

: 10,9 gr/dL

Golongan Darah : A

Leukosit

: 10,0 103/mm3

Masa pendarahan : 2

Eritrosit

: 4,68 106/mm3

Masa pembekuan : 3,5

Trombosit

: 456 H 103/mm3

Golongan Darah : A

Hematokrit

: 34,2 L %

Kimia Darah
GDS

: 80 mg/dL

2.8 Diagnosis
G3P2A0 hamil 35-36 minggu inpartu Kala I fase laten JTH intrauterin preskep +
B20
2.9 Penatalaksanaan
-

Menginformasikan hasil pemeriksaan kepada ibu


Mengobservasi keadaan umum dan tanda-tanda vital
Mengobservasi HIS dan DJJ

Informed Consent mengenai tindakan yang akan dilakukan terhadap ibu


Memfasilitasi pemenuhan kebutuhan nutrisi Ibu
Terapi oleh dr. Panggayuh, Sp.OG via IGD
o Rencana SC cito sore/malam
o Observasi

2.10 Follow Up
Tgl/Jam
15/02-16

S
Nyeri perut

O
KU : tampak

G3P2A0 hamil- IVFD RL 20 gtt/i

16.21

menjalar ke

sakit sedang

35-36 minggu

WIB

pinggang (+),

Kesadaran :

inpartu Kala I- Rencana cito SC

lendir campur

compos mentis

fase laten JTH

o/ dr.

darah (+), keluar

TD : 110/80

Panggayuh,

air-air (-), gerakan

mmHg

intrauterin

N : 82 x/i

preskep + B20

Sp.OG pukul

janin aktif

- Inj. Ceftriaxone 2
gr

17.30 WIB

RR : 21 x/i
HIS : 2x/10/20
DJJ : 145 x/i

Follow Up Post Operasi


Tgl/Jam
15/02-16

S
Nyeri luka

O
KU : tampak sakit

21.00 WIB

operasi

sedang

SCTP a/i B20

Kesadaran : compos
mentis
TD : 110/70 mmHg

P3A0

P
Post- IVFD RL 20 gtt/i
- Inj. Ceftriaxone
2x1 gr
- Inj. Alinamin-F
2x1 amp
- Drip Ketorolac 1

N : 82 x/i

amp dalam RL

RR : 21 x/i

500 ml

Mata : CA (+/+)
Abd : fundus 1 jari di

bawah umbilikus,
kontraksi lembek
Perdarahan : sedikit
16/02-16

Nyeri luka

Lochea : Rubra
KU : tampak sakit

P3A0

operasi (-)

sedang

SCTP a/i B20 PO :

Kesadaran : compos

hari ke-I

Post- IVFD RL 20 gtt/i


- Cefixime 2x150

mentis

mg
- As. Mefenamat

TD : 110/70 mmHg

3x500 mg
- Vit C 2x50 mg
- Cek Hb post SC

N : 80 x/i
RR : 23 x/i
Mata : CA (+/+)
Abd : fundus 1 jari di
bawah umbilikus,
kontraksi lembek
Perdarahan : sedikit
Lochea : Rubra

Tgl/Jam
17/02-16

S
Nyeri luka

O
KU : tampak sakit

operasi (-)

ringan

SCTP a/i B20

Kesadaran : compos

hari ke-II

mentis
TD : 120/80 mmHg
N : 80 x/i
RR : 20 x/i
Mata : CA (-/-)
Abd : fundus 2 jari di
bawah umbilikus,
kontraksi baik, luka

P3A0

P
Post Aff cateter dan
infus
- Mengganti verban
PO :
- Cefixime 2x150
mg
- As. Mefenamat
3x500 mg
- Vit C 2x50 mg
- BLPL

bekas operasi kering


Perdarahan : (-)
Lochea : Rubra
Hb : 10,9 gr/dL

Laporan Operasi
1.
2.
3.
4.

Pasien dalam posisi terlentang di meja operasi dengan anastesi spinal


Dilakukan tindakan asepsis dan antisepsis pada lapangan operasi
Lapangan operasi diperkecil dengan duke steril
Pasien dalam keadaan narcose dilakukan insisi dinding perut secara

pfanenstiel
5. Dinding perut dibuka lapis demi lapis
6. Segmen bawah rahim dibuka, dilebarkan secara tajam
7. Kepala bayi diluksir
8. Bayi dilahirkan secara perabdominal
JK : perempuan BB : 3300 gr A/S : 8/9
Pukul : 19.30 WIB
9. Plasenta dilahirkan perabdominal lengkap pukul 19.45 WIB
10. Segmen bawah rahim dijahit lapis demi lapis
11. Dinding perut ditutup lapis demi lapis
12. Tindakan selesai
Instruksi Post Operasi
1. Terpasang kateter
2. Boleh minum bertahap
3. Pengawasan TTV
Terapi
1. Inj. Ceftriaxone 2x1 gr
2. Inj. Alinamin-F 2x1 gr
3. Drip Ketorolac 1 amp dalam RL 500 ml

10

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Etiologi Human Immunodeficiency Virus (HIV)
Virus penyebab defisiensi imun yang dikenal dengan nama Human
Immunodeficiency Virus (HIV) ini adalah suatu virus RNA dari famili Retrovirus
dan subfamily Lentiviridae. Sampai sekarang baru dikenal dua serotype HIV yaitu
HIV-1 dan HIV-2 yang juga disebut lymphadenopathy associated virus type-2
(LAV-2) yang sampai sekarang hanya dijumpai pada kasus AIDS atau orang sehat
di Afrika. Spektrum penyakit yang menimbulkannya belum banyak diketahui.
HIV-1, sebagai penyebab sindrom defisiensi imun (AIDS) yang tersering, dahulu
dikenal juga sebagai human T cell-lymphotropic virus type III (HTLV-III),
lymphadenipathy-associated virus (LAV) dan AIDS-associated virus.5,6
Secara morfologik, virus ini berbentuk bulat, terdiri dari bagian inti (core)
yang berbentuk silindris dan selubung (envelope) yang berstruktur lipid bilayer
yang membungkus bagian core, dimana didalam core ini terdapat RNA virus ini.
Karena informasi genetik virus ini berupa RNA, maka virus ini harus mentransfer

11

informasi genetiknya yang berupa RNA menjadi DNA sebelum diterjemahkan


menjadi protein-protein. Dan untuk tujuan ini HIV memerlukan enzim reverse
transkriptase.6
Pada selubung (envelope) terdapat glikoprotein permukaan, terdiri dari
dua protein yang mengkordinasi masuknya HIV kedalam sel. Glikoprotein yang
lebih besar dinamakan gp 120, adalah komponen yang menspesifikasi sel yang
diinfeksi. gp 120 ini terutama akan berikatan dengan reseptor CD4, yaitu suatu
reseptor yang terdapat pada permukaan sel T helper, makrofag, monosit, sel-sel
langerhans pada kulit, sel-sel glial, dan epitel usus (terutama sel-sel kripta dan selsel enterokromafin). Glikoprotein yang besar ini adalah target utama dari respon
imun terhadap berbagai sel yang terinfeksi. Glikoprotein yang lebih kecil, dinamai
gp 41 atau disebut juga protein transmembran, dapat bekerja sebagai protein fusi
yaitu protein yang dapat berikatan dengan reseptor sel lain yang berdekatan
sehingga sel-sel yang berdekatan tersebut bersatu membentuk sinsitium.8
3.2 Patofisiologi
HIV mempunyai target sel utama yaitu sel limfosit T4, yang mempunyai
reseptor CD4. Setelah masuk ke dalam tubuh, HIV akan menempel pada sel yang
mempunyai molekul CD4 pada permukaannya. Molekul CD4 ini mempunyai
afinitas yang sangat besar terhadap HIV, terutama terhadap molekul gp 120 dari
selubung virus. Diantara sel tubuh yang memiliki CD4, sel limfosit T memiliki
molekul CD4 yang paling banyak. Oleh karena itu, infeksi HIV dimulai dengan
penempelan virus pada limfosit T. Setelah penempelan, terjadi diskontinuitas dari
membran sel limfosit T yang disebabkan oleh protein gp41 dari HIV, sehingga
seluruh komponen virus harus masuk ke dalam sitoplasma sel limfosit-T, kecuali
selubungnya.5
Setelah masuk ke dalam sel, akan dihasilkan enzim reverse transcriptase.
Dengan adanya enzim reverse transcriptase, RNA virus akan diubah menjadi suatu
DNA. Karena reverse transcriptase tidak mempunyai mekanisme proofreading
(mekanisme baca ulang DNA yang dibentuk) maka terjadi mutasi yang tinggi
dalam proses penerjemahan RNA menjadi DNA ini. Dikombinasi dengan tingkat

12

reproduktif virus yang tinggi, mutasi ini menyebabkan HIV cepat mengalami
evolusi dan sering terjadi resistensi yang berkelanjutan terhadap pengobatan.7
Bersamaan dengan enzim reverse trancriptase, akan dibentuk RNAse.
Akibat aktivitas enzim ini, maka RNA yang asli dihancurkan. Sedangkan seuntai
DNA yang tadi telah terbentuk akan mengalami polimerisasi menjadi dua untai
DNA dengan bantuan enzim polymerase. DNA yang terbentuk ini kemudian
pindah dari sitoplasma ke dalam inti sel limfosit T dan menyisip ke dalam DNA
sel penjamu dangan bantuan enzim integrase, dan DNA ini disebut sebagai
provirus. Provirus yang terbentuk ini tinggal dalam keadaan laten atau dalam
keadaan replikasi yang sangat lambat, tergantung pada aktivitas dan diferensiasi
sel penjamu (T-CD4) yang diinfeksinya, sampai kelak terjadi suatu stimulasi yang
dapat memicu DNA ini untuk keluar dari DNA inang dan menjadi aktif, serta
selanjutnya terjadi replikasi dalam kecepatan yang tinggi. Keadaan laten ini dapat
berlangsung selama 1 sampai 12 tahun dari infeksi awal HIV dan dalam keadaan
ini pasien tidak mempunyai gejala (asimptomatik). Pada stadium laten ini, HIV
dan respon imun anti HIV dalam tubuh pasien dalam keadaan steady state.2,5
Infeksi akut dengan cepat meningkatkan viral load dan menyebabkan
viremia yang ringan sampai moderat. Walaupun viral load cenderung menurun
dengan cepat setelah infeksi akut pada orang dewasa, viral load menurun lebih
lambat pada anak-anak yang terinfeksi secara vertical (2-3 bulan setelah
terinfeksi, jumlah viral load dalam tubuh mereka menetap sekitar 750.000/mL)
dan dapat tidak mencapai level steady state sampai mereka berumur 4-5 tahun.
Hal ini disebabkan karena imaturitas sistem imun mereka. Walaupun bayi-bayi
mempunyai sejumlah antigen presenting cell dan sel-sel efektor lebih banyak
daripada orang dewasa, produksi sitokin, proliferasi dan sitotoksisitas sel-sel
tersebut pada mereka jauh lebih berkurang karena infeksi HIV ini.4,8
Infeksi HIV pada limfosit T-CD4 diatas mengakibatkan perubahan pada
fungsi dan penghancuran sel T-CD4, hingga populasinya berkurang. Mekanisme
disfungsi dan penurunan jumlah sel limfosit T-CD4 ini diduga melalui proses
pengaruh sitopatik langsung HIV (single cell killing), pembentukkan sinsitium,
respon imun spesifik, limfosit T sitolitik yang spesifik untuk HIV, mekanisme

13

autoimun dan anergi. Dengan menurunnya jumlah dan fungsi sel T-CD4 yang
merupakan orchestrator dari suatu sistem imun, maka individu yang terinfeksi
HIV akan lebih berisiko untuk terkena infeksi opportunistik, infeksi sistemik
berat, penyakit sistem organ yang kemudian berakhir dengan kematian.5
3.3 Cara Penularan
Penularan HIV dapat terjadi melalui hubungan seksual, secara horizontal
maupun vertikal (dari ibu ke anak).
1. Melalui hubungan seksual
Baik secara vaginal, oral ataupun anal dengan seorang pengidap. Ini
adalah cara yang umum terjadi, meliputi 80-90% dari total kasus sedunia.
Lebih mudah terjadi penularan bila terdapat lesi penyakit kelamin dengan
ulkus atau peradangan jaringan seperti herpes genitalis, sifilis, gonore.
Resiko pada seks anal lebih besar dibandingkan seks vaginal dan resiko
juga lebih besar pada yang reseptive daripada yang insertie. Diketahui juga
epitel silindris pada mukosa rektum, mukosa uretra laki-laki dan kanalis
servikalis ternyata mempunyai reseptor CD4 yang merupakan target utama
HIV.9
2. Transmisi horisontal (kontak langsung dengan darah/produk darah/jarum
suntik):
a. Tranfusi darah/produk darah yang tercemar HIV, resikonya sekitar
0,5-1% dan telah terdapat 5-10% dari total kasus sedunia.9
b. Pemakaian jarum tidak steril/pemakaian bersama jarum suntik pada
para pecandu narkotik suntik. Resikonya sangat tinggi sampai lebih
dari 90%. Ditemukan sekitar 3-5% dari total kasus sedunia.9
c. Penularan lewat kecelakaan tertusuk jarum pada petugas kesehatan.
Resikonya sekitar kurang dari 0,5% dan telah terdapat kurang dari
0,1% dari total kasus sedunia.9
Kurang lebih 10% penularan HIV terjadi melalui transmisi
horizontal.8
3. Infeksi HIV secara vertikal terjadi pada satu dari tiga periode berikut :
a. Intra uterin : Terjadi sebelum kelahiran atau pada masa awal
kehamilan sampai trisemester kedua, yang mencakup kira-kira 3050% dari penularan secara vertikal. Janin dapat terinfeksi melalui

14

transmisi virus lewat plasenta dan melewati selaput amnion,


khususnya bila selaput amnion mengalami peradangan atau infeksi.8
b. Intra partum : Transmisi vertikal paling sering terjadi selama
persalinan,

kurang

lebih

50-60%,

dan

banyak

faktor-faktor

mempengaruhi resiko untuk terinfeksi pada periode ini. Secara umum,


semakin lama dan semakin banyak jumlah kontak neonatus dengan
darah ibu dan sekresi serviks dan vagina, maka semakin besar resiko
penularan. Bayi prematur dan BBLR mempunyai resiko terinfeksi
lebih tinggi selama persalinan karena barier kulitnya yang lebih tipis
dan pertahanan imunologis pada mereka lebih lemah.8
c. Post partum : Bayi baru lahir terpajan oleh cairan ibu yang terinfeksi
dan bayi dapat tertular melalui pemberian air susu ibu yang terinfeksi
HIV kira-kira 7-22%.
Lebih dari 90% penularan HIV dari ibu ke anak terjadi selama dalam
kandungan, persalinan dan menyusui.8
3.4 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis infeksi HIV sangat luas spektrumnya, karena itu ada
beberapa macam klasifikasi. Yang paling umum dipakai adalah klasifikasi yang
dibuat oleh Center for Disease Control (CDC), USA, sebagai berikut:

Stadium awal infeksi HIV


Stadium tanpa gejala
Stadium ARC (AIDS related compleks)
Stadium AIDS
Stadium gangguan susunan saraf pusat

Masa Inkubasi
Masa inkubasi adalah waktu terjadinya infeksi sampai munculnya gejala
pertama pada pasien. Pada infeksi HIV hal ini sulit diketahui. Dari penelitian pada
sebagian besar kasus dikatakan masa inkubasi rata-rata 5-10 tahun, dan bervariasi
sangat lebar, yaitu antara 6 bulan sampai lebih dari 10 tahun. rata-rata 21 bulan
pada anak-anak dan 60 bulan pada orang dewasa walaupun belum ada gejala,
tetapi yang bersangkutan telah dapat menjadi sumber penularan.

15

1. Stadium awal infeksi


Gejala ini serupa dengan gejala infeksi virus umumnya yaitu berupa
demam, sakit kepala, sakit tenggorokan, mialgia, pembesaran kelenjar dan
rasa lemah. Pada sebagian orang, infeksi dapat berat disertai kesadaran
menurun.10 Sindrom ini akan menghilang dalam beberapa minggu. Dalam
waktu 3-6 bulan kemudian tes serologi baru akan positif, karena telah
terbentuk antibodi. Masa 3-6 bulan ini disebut window periode, dimana
penderita dapat menularkan naamun secara laboratorium hasil tes HIV-nya
negatif.10
2. Stadium tanpa gejala
Fase akut akan diikuti fase kronik asimptomatik yang lamanya bisa
bertahun-tahun (5-7 tahun). Virus yang ada didalam tubuh secara pelanpelan terus menyerang sistem pertahanan tubuhnya. Walaupun tidak ada
gejala, kita tetap dapat mengisolasi virus dari darah pasien dan ini berarti
bahwa selama fase ini pasien juga infeksius. Tidak diketahui secara pasti
apa yang terjadi pada HIV pada fase ini. Mungkin terjadi replikasi lambat
pada sel-sel tertentu dan laten pada sel-sel lainnya. Tetapi jelas bahwa
aktivitas HIV terjadi dan ini dibuktikan dengan menurunnya fungsi sistem
imun dari waktu ke waktu. Mungkin sampai jumlah virus tertentu tubuh
masih dapat mengantisipasi sistem imun.9,10
3. Stadium AIDS related compleks
Stadium ARC (AIDS Related Complex) adalah bila terjadi 2 atau lebih
gejala klinis yang berlangsung lebih dari 3 bulan, antara lain :
Berat badan turun lebih dari 10%
Demam lebih dari 38oC
Keringat malam hari tanpa sebab yang jelas
Diare kronis tanpa sebab yang jelas
Rasa lelah berkepanjangan
Herpes zoster dan kandidiasis mulut
Pembesaran kelenjar limfe, anemia, leucopenia, limfopenia,
trombositopenia Ditemukan antigen HIV atau antibody terhadap
HIV.9,10
4. Stadium AIDS
Dalam stadium ini kekebalan tubuh penderita telah demikian rusaknya,
sehingga pada tahap ini penderita mudah diserang infeksi oportunistik

16

antara lain : TBC, kandidiasistoxoplasmosis, pneumocystis, disamping itu


juga dapat terjadi sarkoma kaposi (kanker pembuluh darah kapiler) dan
limfoma.9,10
Gejala AIDS dikatakan lengkap bila gejala ARC ditambah dengan satu
atau lebih penyakit oportunistik seperti pneumonia pneumocystis carinii,
sarcoma Kaposi, infeksi sitomegalovirus. Orang dewasa dicurigai
menderita AIDS bila dijumpai minimal 2 gejala mayor dan 1 gejala minor.3
Gejala-gejala mayor tersebut adalah:
Penurunan berat badan lebih dari 10%
Diare kronik lebih dari 1 bulan
Demam lebih dari 1 bulan (terus-menerus/intermitten)
Sedangkan yang termasuk gejala-gejala minor yaitu:
Batuk lebih dari 1 bulan
Dermatitis
Herpes zoster rekuren
Kandidiasis orofaring
Limfadenopatia umum
Herpes simpleks diseminata yang kronik dan progresif
Anak-anak diduga menderita AIDS bila didapati minimal 2 gejala mayor
dan minor dengan catatan tidak ada riwayat imunosupresi, misalnya
kanker atau malnutrisi berat.3
Adapun gejala mayor tersebut yaitu:
Penurunan berat badan atau pertumbuhan lambat dan abnormal.
Diare kronik lebih dari 1 bulan
Demam lebih dari 1 bulan
Sedangkan yang termasuk gejala-gejala minor yaitu:
Limfadenopatia umum
Kandidiasis orofaring
Infeksi umum (otitis, faringitis)
Batuk persisten
Dermatitis umum
Infeksi HIV maternal
5. Stadium gangguan susunan saraf pusat Virus AIDS selain menyerang sel
limfosit T4 yang merupakan sumber kekebalan tubuh, ternyata juga
menyerang organ-organ tubuh lain. Organ yang paling sering adalah otak
dan susunan saraf lainnya. Selain itu akibat infeksi oportunistik juga dapat
menyebabkan gangguan susunan saraf pusat.9,10

17

3.5 Pengaruh Kehamilan Pada Perjalanan Penyakit HIV


Kehamilan tidak secara signifikan mempengaruhi resiko kematian,
progresivitas menjadi AIDS atau progresivitas penurunan sel CD4 pada wanita
yang terinfeksi HIV.3
Pengaruh kehamilan terhadap sel CD4 pertama kali dilaporkan oleh Burns, dkk.
Pada kehamilan normal terjadi penurunan jumlah sel CD4 pada awal kehamilan
untuk mempertahankan janin. Pada wanita yang tidak menderita HIV, presentase
sel CD4 akan meningkat kembali mulai trisemester ketiga hingga 12 bulan setelah
melahirkan. Sedangkan pada wanita yang terinfeksi HIV penurunan tetap terjadi
pada kehamilan dan setelah melahirkan walaupun tidak bermakna secara statistik.
Nemun penelitian dari European Collaborative Study dan Swiss HIV Pregnancy
Cohort dengan jumlah sample yang lebih besar, menunjukkan presentase
penurunan sel CD4 selama kehamilan sampai 6 bulan setelah melahirkan tetap
stabil.1
Kehamilan ternyata hanya sedikit meningkatkan kadar virus (viral load)
HIV. Kadar virus HIV meningkat terutama setelah 2 tahun persalinan, walaupun
secara statistik tidak bermakna.2
Kehamilan juga tidak mempercepat progresivitas penyakit menjadi AIDS.
Italian Seroconversion Study Group membandingkan wanita terinfeksi HIV dan
pernah hamil ternyata tidak menunjukkan perbedaan resiko menjadi AIDS atau
penurunan CD4 menjadi kurang dari 200.1

3.6 Pengaruh Infeksi HIV pada Kehamilan


Penelitian di negara maju sebelum era anti retrovirus menunjukkan bahwa
HIV tidak menyebabkan peningkatan prematuritas, berat badan lahir rendah atau
gangguan pertumbuhan intra uterin.3

18

Sedangkan di negara berkembang, infeksi HIV justru meningkatkan


kejadian aborsi, prematuritas, gangguan pertumbuhan intra uterin dan kematian
janin intra uterin terutama pada stadium lanjut. Selain karena kondisi fisik ibu
yang lebih buruk juga karena kemungkinan penularan perinatalnya lebih tinggi.1
3.7 Transmisi Vertikal HIV
Tanpa intervensi, resiko penularan HIV dari ibu ke janinnya yang dilaporkan
berkisar antara 15%-45%. Resiko penularan ini lebih tinggi di negara berkembang
dibandingkan dengan negara maju (21%-43% dibandingkan 14%-26%).
Penularan dapat terjadi pada intra uterin, intrapartum dan post partum. Sebagian
besar penularan terjadi intra partum. Pada ibu yang tidak menyusui, 24%-40%
penularan terjadi intra uterin dan 60%-75% terjadi selama persalinan. Sedangkan
pada ibu yang menyusui bayinya, sekitar 20%-25% penularan terjadi intra uterin,
60%-70% intra partum dan saat awal menyusui dan 10%-15% setelah persalinan.
Resiko infeksi intra uterin, intra partum dan pasca persalinan adalah 6%, 18% dan
4% dari keseluruhan kelahian ibu dengan HIV positif.1,2
1) Transmisi Intra Uterin
Kejadian transmisi HIV pada janin kembar dan ditemukannya DNA HIV,
IgM anti-HIV dan antigen p24 pada neonatus pada minggu pertama
membuktikan bahwa transmisi dapat terjadi selama kehamilan.1
Walaupun masih belum jelas, mekanismenya diduga melalui plasenta.
Pemeriksaan patologi menemukan HIV dalam plasenta ibu yang terinfeksi
HIV. Sel limfosit atau monosit ibu yang terinfeksi HIV atau virus HIV itu
sendiri

dapat

mencapai

janin

secara

langsung

melalui

lapisan

sinsitiotrofoblas, atau secara tidak langsung melalui trofoblas dan


menginfeksi sel makrofag plasenta (sel Houfbauer) yang mempunyai
reseptor CD4.1
Plasenta diduga juga mempunyai efek anti HIV-1 dengan mekanisme yang
masih belum diketahui. Salah satu hormon plasenta yaitu human chorionic
gonadotropin (hCG) diduga melindungi janin dari HIV-1 melalui beberapa
cara, seperti menghambat penetrasi virus ke jaringan plasenta,
mengkontrol replikasi virus di dalam sel plasenta, dan menginduksi

19

apoptosis sel-sel yang terinfeksi HIV-1.1 Menurut Pediatric Virology


Committee of the AIDS Clinical Trials Group (PACTG), transmisi
dikatakan intra uterin/infeksi awal, jika tes virology positif dalam 48 jam
setelah kelahiran dan tes berikutnya juga positif.1
Malnutrisi yang seringkali ditemukan pada wanita dengan HIV/AIDS akan
meningkatkan resiko transmisi karena akan menurunkan imunitas,
meningkatkan progresivitas penyakit ibu, meningkatkan resiko berat badan
lahir rendah dan prematuritas dan menurunkan fungsi imunitas
gastrointestinal dan integritas fetus. Pada penelitian prospektif random
terkontrol, defisiensi vitamin A (kurang dari 1,05 mmol/L) yang
dihubungkan dengan gangguan fungsi sel T dan sel B ternyata
berhubungan dengan peningkatan transmisi HIV. Namun penelitian
Dreyfuss, dkk tidak dapat membuktikan bahwa defisiensi mikronutrien
akan meningkatkan transmisi antepartum atau sebaliknya.1
2) Transmisi Intrapartum Transmisi intrapartum/infeksi lambat didiagnosis
jika pemeriksaan virologis negatif dalam 48 jam pertama setelah kelahiran
dan tes 1 minggu berikutnya menjadi positif dan bayi tidak menyusui. 1
Selama persalinan, bayi dapat tertular darah atau cairan servikovaginal
yang mengandung HIV melalui paparan trakheobronkial atau tertelan pada
jalan lahir. HIV ditemukan pada cairan servikovaginal wanita terinfeksi
HIV/AIDS sekitar 21% dan pada cairan aspirasi lambung bayi yang
dilahirkan sekitar 10%. Terdapatnya HIV pada cairan servikovaginal
berhubungan dengan duh tubuh vagina abnormal, kadar sel CD4 yang
rendah dan defisiensi vitamin A. Selain menurunkan imunitas, defisiensi
vitamin A akan menurunkan integritas plasenta dan permukaan mukosa
jalan lahir, sehingga akan memudahkan terjadi trauma pada jalan lahir dan
transmisi HIV secara vertikal. Besarnya paparan pada jalan lahir juga
dikaitkan dengan ulkus serviks atau vagina, korioamnionitis, ketuban
pecah sebelum waktunya, persalinan prematur, penggunaan elektrode pada
kepala janin, penggunaan vakum atau forceps, episiotomi dan rendahnya
kadar CD4 ibu. Ketuban pecah lebih dari 4 jam sebelum persalinan akan

20

meningkatkan resiko transmisi antepartum sampai dua kali lipat


dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari 4 jam sebelum persalinan.
Diantara faktor-faktor tersebut, kadar HIV ibu pada saat persalinan atau
menjelang persalinan merupakan prediktor paling penting. Karena itu,
resiko penularan lebih tinggi terjadi pada ibu hamil dengan infeksi HIV
primer. Namun, belum ada angka pasti pada kadar HIV berapa penularan
dapat terjadi. Penelitian dari Women and Infants Transmission Study
menunjukkan pada kadar HIV ibu <> 1,2 Garcia, dkk melaporkan 21%
penularan HIV pada ibu dengan kadar HIV menjelang atau saat persalinan
<100.000>100.000 kopi/mL penularan yang terjadi 63%.
John, dkk menemukan penularan empat kali lebih tinggi pada ibu dengan
kadar HIV>43.000 kopi/mL. Namun, kadar HIV yang rendah atau tidak
terdeteksi tidak menjamin bahwa bayi tidak akan tertular karena pada
beberapa kasus penularan tetap terjadi. John, dkk pada penelitiannya
mengemukakan transmisi yang terjadi pada tiga orang ibu dengan kadar
HIV<5000>1 juta kopi/mL. Selain itu, kadar HIV ibu sebelum dan saat
persalinan juga akan menentukan kadar HIV pada bayi yang
ditularkannya. Wiener, dkk mengemukakan hubungan linier kadar HIV ibu
dan kadar HIV bayi pada 3 bulan pertama kehidupannya.
Selain faktor ibu, faktor janin ternyata juga mempengaruhi transmisi
perinatal. Prematuritas dan berat badan lahir rendah diduga berperan
karena sistem imunitas pada bayi tersebut belum berkembang baik.
Beberapa penelitian menghubungkan kelahiran prematur dengan stadium
penyakit HIV ibu, penggunaan kokain atau opiat. Pada bayi kembar,
urutan kelahiran juga memegang peranan. Menurut Duliege, dkk bayi
yang lahir pertama kali mempunyai resiko penularan dua kali lebih tinggi
dibandingkan bayi yang lahir kedua. Hal tersebut disebabkan bayi yang
lahir pertama lebih lama berada dijalan lahir dan biasanya berukuran lebih
besar, sehingga secara tidak langsung membersihkan jalan lahir untuk bayi
yang lahir berikutnya.1
3) Transmisi Post Partum Air susu ibu diketahui mengandung HIV dalam
cukup banyak. Konsentrasi median sel yang terinfeksi HIV pada ibu yang

21

menderita HIV adalah 1 per 104 sel. Partikel virus dapat ditemukan pada
komponen sel dan non-sel air susu ibu. Pada penelitian Nduati, dkk HIV
ditemukan pada 58% pemeriksaan kolostrum dan air susu ibu. Kadar HIV
tertinggi dalam air susu ibu terjadi mulai minggu pertama sampai tiga
bulan setelah persalinan. HIV dalam konsentrasi rendah masih dapat
dideteksi pada air susu ibu sampai 9 bulan setelah persalinan. Resiko
penularan pada bayi yang disusui paling tinggi pada enam bulan pertama,
kemudian menurun secara bertahap pada bulan-bulan berikutnya.1,11
Kadar HIV pada air susu ibu dipengaruhi kadar serum ibu, sel CD4 ibu,
defisiensi vitamin A. Semba, dkk mengemukakan bahwa kadar HIV di
dalam air susu ibu lebih tinggi pada ibu yang anaknya terinfeksi HIV
daripada yang tidak terinfeksi HIV.1 Berbagai macam faktor lain yang
dapat mempertinggi resiko transmisi HIV melalui air susu ibu antara lain
mastitis atau luka diputing susu, abses payudara, lesi dimukosa mulut bayi,
prematuritas dan respon imun bayi.1

Tabel 3.1. Faktor yang berhubungan dengan tingginya resiko penularan


vertikal HIV dari ibu ke anak.
Periode
Antepartum

Faktor
Kadar HIV ibu, jumlah CD4 ibu, defisiensi
vitamin A, mutasi ko-reseptor HIV gp120 dan
gp160,

malnutrisi,

perokok,

sample vili korion, amniosentesis

pengambilan

22

Intrapartum

Kadar HIV pada cairan servikovaginal ibu, cara


persalinan, ketuban pecah sebelum waktunya,
persalinan prematur, penggunaan elektrode
pada kepala janin, penyakit ulkus genital aktif,
laserasi vagina, korioamnionitis, episiotomi,

Pascapersalinan

persalinan dengan vakum atau forseps


Air susu ibu, mastitis

Selain faktor-faktor yang sudah disebutkan diatas, resiko transmisi juga


dipengaruhi jenis virus. Transmisi vertikal pada ibu yang menderita HIV-2 jauh
lebih rendah daripada HIV-1, hanya 1%. Demikian juga angka kematian bayi yang
terinfeksi HIV-1 lebih tinggi daripada bayi yang terinfeksi HIV-2.
3.8 Diagnosis Infeksi HIV pada Kehamilan.
Seperti penyakit lain, diagnosis infeksi HIV juga ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan klinis dan hasil penemuan laboratorium. Anamnesis yang
mendukung kemungkinan adanya infeksi HIV misalnya :
1. Lahir dengan ibu resiko tinggi.
2. Lahir dari ibu dengan pasangan resiko tinggi.
3. Penerima tranfusi darah atau komponennya, terutama bila berulang dan
tanpa uji HIV.
4. Penggunaan obat parenteral atau intravena secara keliru (biasanya pecandu
narkotika)
5. Homoseksual atau biseksual.
6. Kebiasaan seksual yang keliru.
Gejala klinis yang mendukung misalnya infeksi oportunistik, penyakit
menular seksual, infeksi yang berulang atau berat, terdapat gagal tumbuh, adanya
ensefalopati yang menetap atau progresif, penyakit paru interstitiel, keganasan
sekunder, kardiomiopati dan lain-lainnya. Untuk diagnostik yang pasti dikerjakan
pemeriksaan laboratorium mulai dari yang relatif sederhana hingga yang relatif
sulit dan mahal, yaitu mulai dari menentukan adanya antibodi anti-HIV misalnya
dengan ELISA (Enzyme Linked Immunosorbant Assay) yang dilanjutkan dengan
uji yang lebih pasti seperti Western blot assay dan lain-lainnya.5

23

3.9 Pemeriksaan Laboratorium


Umumnya pemeriksaan laboratorium untuk HIV/AIDS dibagi atas tiga
kelompok, yaitu9 :
1. Pembuktian adanya Antibodi atau Antigen HIV
HIV terdiri dari selubung, kapsid dan inti. Masing-masing terdiri dari protein
yang bersifat sebagai antigen dan menimbulkan pembentukkan antibodi
dalam tubuh yang terinfeksi. Jenis antibodi yang telah diketahui banyak
sekali, tetapi yang penting untuk diagnostik adalah : antibodi gp41. gp120
dan p24.
Teknik pemeriksaan adalah sebagai berikut :
a. Tes untuk menguji antibodi HIV
Terdapat berbagai macam cara yaitu: ELISA (Enzyme Linked
Immunosorbent Assay), Western Blot, RIPA (RadioImmunoPresipitation
Assay) dan IFA (ImmunoFluorescence Assay).9
b. Tes untuk menguji antigen HIV, dapat dengan cara : pembiakan virus,
antigen p24, dan Polymerase Chain Reaction (PCR).9
Yang praktis dan umum dipakai adalah tes ELISA, karena tes memiliki
sensitivitas yang tinggi. Oleh karena itu untuk menghindari adanya hasil
tes yang positif palsu, tes ELISA perlu dikonfirmasi dengan tes Western
Blot yang mempunyai spesifisitas yang tinggi. Setiap tes positif dengan
ELISA I akan diulangi dengan ELISA II dari sampel yang sama, dan bila
tes kedua positif lalu dilakukan tes Western Blot. Dengan konfirmasi tes
Western Blot ini, hasil tes dikatakan positif. SUDS (Single Use
Diagnostic System) adalah tes antibodi HIV yang cepat yang tersedi di
United State. Pada beberapa penelitian, SUDS dilaporkan mempunyai
rata-rata false(+) sekitar 50% sehingga hal ini mempersulit untuk
diagnosa.9,10
2. Tes Yang Menunjukkan Adanya Defisiensi Imun
Untuk ini dapat dilakukan pemeriksaan Hb, jumlah leukosit, trombosit,
jumlah limfosit dan sediaan apus darah tepi atau sumsum tulang. Pada pasien
AIDS dapat ditemukan anemia, leukopenia/limfopenia, trombositopenia, dan
displasia sumsum tulang normo atau hiperseluler. Dapat dilakukan
perhitungan jumlah sel limfosit T, limfosit B, sel limfosi CD4 dan CD8.

24

Dikatakan terjadi gangguan sistem imun bila telah terjadi penurunan jumlah
sel limfosit, sel CD4 dan menurunnya ratio CD4/CD8. Tes kulit DTH
(Delayed Type Hypersensitivity) untuk tuberkulin dan kandida yang hasilnya
negatif atau anergi menunjukkan kegagalan imunitas seluler. Mungkin saja
jumlah CD4 masih normal, tetapi fungsinya sudah menurun. Dapat terjadi
poliklonal hipergammaglobulinemia (IgA dan IgG) yang menunjukkan
adanya rangsangan non apesifik terhadap sel B untuk membentuk imunitas
seluler.9
3. Tes Untuk Infeksi Oportunistik Atau Kanker. Setiap infeksi oportunistik atau
kanker sekunder yang ada pada pasien AIDS diperiksa sesuai dengan metode
diagnostik penyakitnya masing-masing. Misalnya pemeriksaan untuk
kandidiasis, PCP, TBC paru, dan sebagainya. Kadang-kadang perlu
pemeriksaan penunjang lain, seperti laboratorium rutin, serologis, radiologis,
USG, CT scann, bronkoskopi, pembiakan, histopatologi dan sebagainya.9
3.10 Diagnosis Infeksi HIV Pada Wanita
Infeksi HIV pada wanita seringkali terdeteksi pada masa kehamilan, waktu
dilakukan uji saring HIV antenatal. Uji serologis HIV-1 antibodi spesifik IgG
merupakan tes dengan spesifikasi yang tinggi. Sera yang reaktif terhadap anti HIV
pada uji saring, sebaiknya diuji ulang dan hasilnya dikonfirmasikan dengan sistem
uji lainnya. Untuk diagnostik, contoh sera harus diambil ulang untuk
mengkonfirmasi ada tidaknya infeksi. Pada umumnya wanita yang terinfeksi
menampilkan kondisi sera yang reaktif 6-8 minggu setelah infeksi, meskipun pada
beberapa kasus antibodi tersebut tidak timbul setelah 6-9 bulan kemudian. Hasil
negatif tes antibodi berarti wanita tersebut tidak terkena infeksi HIV lebih dari 6
bulan yang lalu, tetapi dapat juga berarti uji negatif palsu (false negatif), bila
wanita itu diuji pada waktu periode jendela (window periode) antara infeksi dan
serokonversi.6
3.11 Diagnosis Infeksi HIV Pada Anak

25

Pada bayi pemeriksaan serologis standar seperti IgG anti-HIV dan Western
Blot tidak dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis sebelum usia 18 bulan.
Hal ini disebabkan masih dapat ditemukannya IgG anti-HIV ibu yang melewati
plasenta di darah bayi, bahkan sampai usia 24 bulan. Sedangkan IgA dan IgM
anti-HIV tidak dapat melewati plasenta, sehingga dapat digunakan untuk
konfirmasi diagnosis bila ditemukan pada bayi. Akan tetapi, sensitivitas kedua
pemeriksaan ini masih rendah.2
Pada bayi di bawah usia 18 bulan, pemeriksaan yang dapat dilakukan
antara lain kultur HIV, teknik PCR (Polymerase chain Reaction) untuk mendeteksi
DNA atau RNA HIV dan deteksi antigen p24.1 Infeksi HIV ditegakkan bila dua
sample dari dua kali pemeriksaan yang berbeda dengan kultur, DNA HIV atau
RNA HIV menunjukkan hasil positif. Disebut tidak terinfeksi bila dua macam
sampel tes yang berbeda menunjukkan hasil negatif.1,2
Pada bayi usia 18 bulan keatas, infeksi HIV ditegakkan jika pemeriksaan
antibodi menetap atau bayi meninggal akibat penyakit terkait HIV. Disebut tidak
terinfeksi bila dua kali pemeriksaan antibodi menunjukkan negatif. Pemeriksaan
antibodi ini kemudian dilanjutkan dengan konfirmasi pemeriksaan Western Blot.1,3
Bila timbul kecurigaan anak terinfeksi HIV, penting untuk melakukan
konseling pada ibunya dan meminta persetujuan sebelum melakukan tes darah
ibu. Bila ibu positif terinfeksi, maka perlu juga melakukan tes pada suaminya.
Selanjutnya konseling pasca tes juga diperlukan bila hasilnya pada anaknya
terbukti positif agar orangtua mengetahui gambaran mengenai penyakit anaknya,
cara melakukan perawatan di rumah, menjaga kualitas hidup anak sebaik
mungkin, cara pencegahan penularan perinatal pada anak selanjutnya dan bekerja
sama dengan pihak-pihak lain seperti psikolog, lembaga sosial, tokoh agama dan
petugas-petugas kesehatan lainnya.11
Di Indonesia untuk mendefinisikan kasus HIV pada anak dipakai kriteria
WHO/UNAIDS :5
a. Anak berumur 18 bulan atau kurang

26

Ditemukan 2 gejala mayor yang berkaitan dan 2 gejala minor dengan ibu
yang HIV positif. Gejala ini bukan disebabkan oleh keadaan lain yang
tidak berkaitan dengan infeksi HIV.
b. Anak berumur diatas 18 bulan
Menunjukkan tes HIV yang positif, dan sekurang-kurangnya didapatkan 2
gejala mayor dan 2 gejala minor dibawah ini dengan ibu HIV positif dan
gejala tersebut bukan disebabkan oleh keadaan lain yang tidak berkaitan
dengan infeksi HIV.
Gejala mayor :
1) Berat badan menurun atau gagal tumbuh
2) Diare terus menerus atau berulang dalam waktu lebih dari 1 bulan
3) Demam terus menerus atau berulang dalam waktu lebih dari 1 bulan
4) Infeksi saluran pernafasan bagian bawah yang parah atau menetap
Gejala minor :
1) Limfadenopati generalisata atau hepatosplenomegali
2) Kandidiasis oral atau tenggorokan
3) Infeksi bakteri dan/atau virus yang berulang (misalnya otitis media
akut, faringitis
4) Batuk kronis
5) Dermatitis yang luas
6) Ensefalitis.
Manifestasi lain yang mungkin timbul tetapi tidak termasuk dalam kriteria
diagnosis, antara lain masalah persarafan, keterlambatan perkembangan,
pembesaran kelenjar parotis pada kedua sisi, abses berulang, meningitis
dan herpes simplex yang berulang dan persisten.
3.12 Pencegahan
3.12.1 Menghindari Faktor Resiko
Menghindari faktor-faktor resiko tersebut antara lain dengan cara:12
1. A=Abstinence (jauhi seks), maksudnya menghindari hubungan seksual di luar
pernikahan dengan siapapun
2. B=Be faithful (setia dengan pasangan), maksudnya hindari berganti-ganti
pasangan dalam melakukan hubungan seksual.
3. C=Condom, pakailah kondom setiap melakukan hubungan seksual penetratif
(terutama bagi lesbian yang menggunakan alat-alat bantu) yaitu melakukan
hubungan kelamin, baik secara anal, vaginal maupun oral. Karena kondom
dapat mencegah pertukaran cairan tubuh yang mungkin mengandung HIV.

27

4. Hindari hubungan dengan tuna susila (wanita maupun pria) meskipun di


daerah yang dikatakan bebas AIDS. Kita tidak dapat mengetahui apakah
seseorang mengidap AIDS dari penampilannya saja. Orang yang terinfeksi
virus AIDS seringkali merasa sehat dan dari luar tampak sehat.
5. Perhatikan cara sterilisasi bila kita menggunakan alat-alat seperti jarum,
jarum suntik, alat tusuk untuk tato, tindik. Hindari perilaku pemakaian jarum
suntik secara bergantian atau bersamaan.
Peranan konseling tes HIV sangat diperlukan melihat banyaknya faktorfaktor resiko untuk terjadinya HIV/AIDS. Konseling dan tes HIV sebaiknya
dilakukan oleh setiap pasangan. Konseling dan tes HIV sukarela atau sering
disebut Voluntary Counseling and Testing (VCT) adalah kegiatan melakukan
konseling dan tes HIV secara sukarela atas kemauan pasien sendiri. Di dalam
VCT ada 2 kegiatan utama yaitu konseling dan tes HIV. Konseling dalam rangka
VCT terutama dilakukan sebelum dan sesudah tes HIV. Konseling setelah tes HIV
dapat dibedakan menjadi dua yakni konseling untuk hasil tes positif dan konseling
untuk hasil tes negatif. Namun demikian sebenarnya masih banyak jenis konseling
lain yang sebenarnya perlu diberikan kepada pasien berkaitan dengan hasil VCT
yang positif, seperti konseling pencegahan, konseling kepatuhan berobat,
konseling keluarga, konseling berkelanjutan, konseling menghadapi kematian dan
konseling untuk masalah psikiatris yang menyertai klien/keluarga dengan
HIV/AIDS.12
Meskipun VCT adalah sukarela namun utamanya diperuntukkan bagi
orang-orang yang sudah terinfeksi HIV/AIDS dan keluarganya, atau semua orang
yang mencari pertolongan karena merasa telah melakukan tindakan berisiko di
masa lalu dan mereka yang tidak mencari pertolongan namun berisiko tinggi.12
Ada beberapa prinsip yang harus dipatuhi dalam pelayanan VCT, yakni :
1.
2.
3.
4.
5.

Dilakukan dengan sukarela, tanpa paksaan


Dengan persetujuan klien (informed consent)
Adanya proses konseling
Tidak boleh dilakukan tanpa adanya konselor atau dilakukan diam-diam
Tes dilakukan dengan menjaga kerahasiaan
Bagaimana jika prinsip-prinsip di atas dilanggar? UNAIDS dan pihak

terkait merekomendasikan seseorang boleh menolak tes HIV jika12:

28

1.
2.
3.
4.

Mendapatkan tekanan
Tanpa adanya persetujuan dari pasien sendiri.
Tanpa melalui proses konseling
Kerahasiaan tidak terjamin
Pada wanita hamil deteksi dini infeksi HIV tergantung saat yang tepat

seorang wanita mengetahui status HIV nya. Sehingga perlu di pertimbangkan


peran konseling dan tes HIV bagi ibu hamil. Dukungan psikososial sangat penting
untuk wanita yang diidentifikasi sebagai penderita HIV semasa kehamilan yang
secara emosional akan terganggu.
Kapan, dimana dan bagaimana konseling dan tes HIV sukarela dilaksanakan
para ibu hamil ?
Sejak pertama kali seorang perempuan dirinya hamil dan mengunjungi bidan,
puskesmas, klinik bersalin, bagian kebidanan rumah sakit, maupun dokter
kandungan untuk memeriksakan kandungannya maka disaat itulah peranan
konselor, petugas kesehatan, dan para penolong persalinan untuk memberikan
informasi dan pendidikan HIV/AIDS. Informasi mengenai HIV/AIDS sangatlah
tepat disisipkan pada kunjungan pemeriksaan kehamilan tersebut. Setelah
mendapat penyuluhan dan konseling, tes HIV secara sukarela juga dapat
disertakan atas persetujuan ibu dalam paket pemeriksaan darah lainnya.12
Konseling pra dan pasca tes HIV
Konseling pra dan pasca tes bagi perempuan hamil menyangkut beberapa hal di
bawah ini12:
1. Konseling pra tes
a. Informasi mengenai penularan HIV melalui hubungan seksual dan
bagaimana mencegahnya
b. Informasi mengenai penularan HIV dari ibu ke anak dan bagaimana
penanggulangannya
c. Jaminan kerahasiaan dan bagaimana mendiskusikan kerahasiaan dan
kemungkina konseling bagi pasangan
d. Implikasi dari tes negatif : termasuk program promosi menyusui dengan
ASI
e. Implikasi dari tes positif : keuntungan dan kerugiannya intervensi yang
di pilih
2. Konseling pasca tes

29

Hasil tes negatif


a. Informasi untuk mencegah penularan masa depan
b. Dianjurkan untuk melakukan tes kembali
c. Promosi ASI eksklusif kepada ibu hamil yang tidak terdeteksi HIV
Hasil tes positif
a. Informasi mengenai pilihan-pilihan untuk terapi termasuk pengobatan
untuk dirinya dan untuk pencegahan penularan ke bayi. Perlu juga di
ketahui mengenai kondisi keuangan dan harga terapi anti retrovirus
b. Konseling yang menyangkut pilihan-pilihan pemberian ASI, dukungan
finansial untuk susu formula, ada stigma dari masyarakat dan keluarga.
c. Informasi dan konseling mengenai KB dan kemungkinan kehamilan
masa depan.
d. Konseling pemberitahuan pada pasangan dan masalah kerahasiaan
Informasi dan layanan rujukan untuk dukungan, perawatan, pengobatan
juga persalinan.
3.12.2 Pemberian Antiretrovirus (ART)
Antiretrovirus direkomendasikan untuk semua wanita yang terinfeksi
HIV/AIDS yang sedang hamil untuk mengurangi resiko transmisi perinatal. Hal
ini berdasarkan bahwa resiko transmisi perinatal meningkat sesuai dengan kadar
HIV ibu dan resiko transmisi dapat diturunkan hingga 20% dengan terapi
antiretrovirus.1,3
Tujuan utama pemberian antiretrovirus pada kehamilan adalah menekan
perkembangan virus, memperbaiki fungsi imunologis, memperbaiki kualitas
hidup, mengurangi morbiditas dan mortalitas penyakit yang menyertai HIV.13
Pada

kehamilan,

keuntungan

pemberian

antiretrovirus

ini

harus

dibandingkan dengan potensi toksisitas, teratogenesis dan efek samping jangka


lama. Akan tetapi, efek penelitian mengenai toksisitas, teratogenesis, dan efek
samping jangka lama antiretrovirus pada wanita hamil masih sedikit. Efek
samping

tersebut

diduga

akan

meningkat

pada

pemberian

kombinasi

antiretrovirus, seperti efek teratogenesis kombinasi antiretrovirus dan antagonis


folat yang dilaporkan Jungmann, dkk. Namun penelitian terakhir oleh Toumala,
dkk menunjukkan bahwa dibandingkan dengan monoterapi, terapi kombinasi

30

antiretrovirus tidak meningkatkan resiko prematuritas, berat badan lahir rendah


atau kematian janin intrauterine.6,7
A. Monoterapi Zidovudine
Obat antiretrovirus yang pertama kali diteliti untuk mengurangi resiko transmisi
perinatal adalah zidovudin (ZDV). Pada Pediatric Virology Committee of the
AIDS Clinical Trials Group (PACTG) 076, zidovudin yang diberikan peroral
mulai minggu ke-14 kehamilan, dilanjutkan zidovudin intravena pada saat
intrapartum untuk ibu, diikuti dengan zidovudin sirup yang diberikan pada bayi
sejak usia 6-12 jam sampai 6 minggu.1,7
Tabel 3.2 Regimen pemberian Zidovudine berdasarkan PACTG 076
Antepartum : Zidovudine oral dari kehamilan 14-34 minggu 5x100mg/hari
Intrapartum : Zidovudine intravena, dosis awal 2mg/kgBB/jam, dilanjutkan infus
1mg/kgBB sampai 1 hari setelah melahirkan
Postpartum : Zidovudine sirup, 2 mg/kgBB, dimulai 8-12 jam postpartum dan diteruskan
sampai 6 minggu
Pada penelitian ini bayi tidak mendapat air susu ibu. Cara ini ternyata
efektif menurunkan transmisi perinatal dari 25,5% pada kelompok kontrol
menjadi 8,3%. Penelitian ini kemudian dilanjutkan dengan PACTG 185 yang
menambahkan imunoglobulin spesifik HIV intravena yang diberikan tiap bulan
pada ibu mulai minggu ke 20-30 hingga persalinan, kemudian dilanjutkan
pemberian pada bayi dalam 12 jam pertama. Namun ternyata hiperimunoglobulin
tidak memberikan efek protektif tambahan seperti yang diharapkan.
Kesulitannya, protokol PACTG 076 ini cukup rumit, membutuhkan
kepatuhan yang baik dan memerlukan biaya yang besar. Penelitian retrospektif
oleh Wade, dkk di New York menunjukkan kepatuhan orang dengan HIV/AIDS
mengikuti protokol ini seringkali tidak komplit. Transmisi yang terjadi 6,1% jika
terapi dimulai antepartum, 10,0% jika dimulai intrapartum dan 5,9% jika hanya

31

diberikan pada bayi dalam 12 jam pertama. Jika zidovudin baru diberikan setelah
usia 48 jam, kejadian transmisi menjadi lebih tinggi 18,4%.1
Beberapa penelitian mencoba menggunakan zidovudin dalam jangka
waktu yang lebih singkat dengan regimen yang lebih sederhana dan murah. Makin
lama penggunaan antiretrovirus, makin besar kemungkinan penurunan resiko
transmisi HIV. Joao, dkk mengungkapkan pada bayi yang tidak tertular HIV, ratarata lama penggunaan antiretrovirus pada ibunya 16,63 minggu dibandingkan
dengan lama penggunaan antiretrovirus ibu 6,28 minggu pada kelompok bayi
yang tertular HIV.1
Selain monoterapi dengan zidovudin, regimen lain yang sudah diteliti alah
monoterapi dengan nevirapin dan terapi kombinasi zidovudin dan lamivudin.
Lallement, dkk juga sedang meneliti kombinasi zidovudin dan nevirapin. 1 Saat
ini di Indonesia beberapa antiretrovirus tersebut sudah tersedia dalam bentuk
generik dengan harga yang lebih murah antara lain zidovudin, lamivudin,
nevirapin dan stavudin.1
B. Nevirapin
Dapat diberikan dosis tunggal 200 mg bagi ibu pada saat melahirkan disertai
pemberian nevirapin 2 mg/kgBB dosis tunggal bagi bayi pada usia 2 atau 3 hari.
Selain karena harga obat generiknya yang cukup murah, seringkali wanita hamil
terinfeksi HIV/AIDS baru dating pada saat melahirkan.1
Tabel 3.3 Kategori FDA antiretrovirus untuk digunakan pada kehamilan.1,7
Golongan
Nukleosida

Obat
Zidovudin/ZDV/AZT

Kategori FDA
C

Reverse

Zalsitabin/ddC

Transcriptase

Didanosin/ddl

Inhibitor (NRTI)

Stavudin/d4T

Lamivudin/3TC

Abacavir/ABC

Tenofovir/DF

32

Non

Nukleosida

Nevirapin

Reverse

Delavirdin

Transcriptase

Efavirenz

Inhibitor (NNRTI)
Protease Inhibitor

Indinavir

Ritonavir

Saquinavir

Nelvinafir

Amprenavir

Lopinavir
Hidroksiurea

C
D

Golongan lain

Kategori B : Tidak terdapat resiko untuk janin pada penelitian pada hewan, namun
belum terdapat penelitian pada wanita hamil; atau penelitian pada hewan
menunjukkan efek samping yang yang tidak sesuai dengan penelitian kontrol pada
wanita hamil trisemestar pertama (dan tidak beresiko pada trisemester
berikutnya).
Kategori C : Pada penelitian hewan ditemukan efek samping pada janin
(teratogenik atau embrisiodal atau lainnya) dan belum terdapat penelitian kontrol
pada wanita hamil atau belum terdapat penelitian efek samping obat pada hewan
ataupun wanita hamil. Obat kategori ini hanya diberikan jika keuntungannya
melebihi resiko potensial pada janin.
Kategori D : Terdapat bukti positif resiko efek samping pada janin manusia,
namun keuntungan pada wanita hamil dapat diterima dibandingkan resikonya
terutama untuk penyelamatan jiwa.
Berdasarkan penelitian-penelitian Perinatal HIV Guidelines Working
Group di Amerika Serikat mengajukan rekomendasi pemberian antiretrovirus.
Rekomendasi ini tidak berbeda dengan yang direkomendasikan British HIV
Association. Rekomendasi yang dianjurkan yaitu : 1,7
1. Situasi kehamilan : Wanita hamil yang terinfeksi HIV/AIDS yang belum
pernah menggunakan antiretrovirus sebelumnya.

33

Rekomendasi : Wanita hamil yang terinfeksi HIV/AIDS menjalani


pemeriksaan klinis, imunologis dan virologis standar. Pertimbangan inisiasi
dan pemilihan antiretrovirus sama dengan wanita yang terinfeksi HIV/AIDS
yang tidak hamil dengan pertimbangan efek terhadap kehamilan. Regimen
zidovudin tiga bagian seperti tercantum dalam tabel 5.1, direkomendasikan
setelah trimester pertama tanpa memandang kadar HIV ibu. Regimen
kombinasi direkomendasikan pada wanita hamil yang terinfeksi HIV/AIDS
yang status klinis, imunologis, dan virologisnya berat atau kadar HIV > 1000
kopi/mL. Jika wanita hamil yang terinfeksi HIV/AIDS datang pada trimester
pertama kehamilan, pemberian antiretrovirus dapat ditunda sampai usia
kehamilan 10-12 minggu.
2. Situasi Kehamilan : Wanita hamil yang terinfeksi HIV- AIDS yang sedang
mendapatkan antiretrovirus.
Rekomendasi : Jika kehamilan diketahui setelah trimester pertama, terapi
antiretrovirus sebelumnya diteruskan, sebaiknya dengan menyertakan
zidovudin. Jika kehamilan diketahui pada trimester pertama, wanita hamil
yang terinfeksi HIV- AIDS diberikan konseling tentang keuntungan dan
resiko antiretrovirus pada trimester pertama. Jika wanita hamil yang terinfeksi
HIVAIDS memilih menghentikan antiretrovirus selama trimester pertama,
semua obat harus dihentikan untuk kemudian diberikan secara simultan
setelah

trimester

pertama

untuk

mencegah

resistensi

obat.

Tanpa

mempertimbangkan regimen sebelumnya, zidovudin dianjurkan untuk


diberikan selama intrapartum dan pada bayi.
3. Situasi Kehamilan : Wanita hamil yang terinfeksi HIV- AIDS datang pada
saat persalinan dan belum mendapat antiretrovirus.
Rekomendasi : Ada beberapa regimen yang dianjurkan :
Nevirapin dosis tunggal pada saat persalinan dan dosis tunggal pada bayi

pada usia 48 jam;


Zidovudin
dan

zidovudin/lamivudin pada bayi selama seminggu;


Zidovudin intravena intrapartum, diikuti zidovudin pada bayi selama 6
minggu;

lamivudin

oral

pada

persalinan,

diikuti

34

Dua dosis nevirapin dikombinasi dengan zidovudin intravena selama


persalinan diikuti zidovudin pada bayi selama 6 minggu.
Segera setelah persalinan, wanita hamil yang terinfeksi HIV/AIDS
menjalani pemeriksaan seperti CD4 dan kadar HIV untuk menentukan

apakah antiretrovirus akan dilanjutkan.


4. Situasi Kehamilan : Jika bayi dari ibu wanita hamil yang terinfeksi
HIV/AIDS datang setelah persalinan, sedangkan ibu belum mendapatkan
antiretrovirus selama kehamilan atau intrapartum.
Rekomendasi : Zidovudin sirup diberikan pada bayi selama 6 minggu,
dimulai secepatnya dalam 6-12 jam setelah kelahiran. Beberapa dokter dapat
memilih kombinasi zidovudin dengan antiretrovirus lain, terutama jika ibunya
diketahui resisten terhadap zidovudin. Namun, efikasi regimen ini belum
diketahui dan dosis untuk anak belum sepenuhnya diketahui. Segera setelah
persalinan, wanita hamil yang terinfeksi HIV/AIDS menjalani pemeriksaan
seperti CD4 dan kadar HIV untuk menentukan apakah antiretrovirus akan
dilanjutkan. Bayi menjalani pemeriksaan diagnostik awal agar antiretrovirus
dapat diberikan sesegera mungkin jika ternyata HIV positif.
3.13 Penatalaksanaan Obsterik
Untuk mengurangi resiko transmisi HIV yang terutama terjadi pada saat
intrapartum, beberapa peneliti mencoba membandingkan transmisi antara wanita
hamil yang terinfeksi HIV/AIDS yang menjalani seksio sesarea dengan partus
pervaginam. Persalinan dengan seksio sesarea dipikirkan dapat mengurangi
paparan bayi dengan cairan servikovaginal yang mengandung HIV.3
Penelitian awal dari European Collaborative Study melaporkan transmisi
HIV yang lebih rendah pada wanita hamil yang terinfeksi HIV/AIDS yang
menjalani seksio sesarea dibandingkan partus pervaginam (11,7 % dibandingkan
17,6 % ) tanpa membedakan seksio elektif dan seksio emergensi. Namun, ternyata
penelitian-penelitian selanjutnya tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna
secara statistik. Women and Infants Transmission Study mengemukakan bahwa
lamanya ketuban pecah sebelum persalinan lebih bermakna daripada seksio

35

sesarea untuk menurunkan transmisi vertikal (resiko relatif 1,81 dibandingkan


1,13).1
Selanjutnya beberapa penelitian membandingkan resiko transmisi pada
partus pervaginam, seksio sesarea emergensi dan seksio elektif. European Mode
of Delivery Collaboration membandingkan transmisi perinatal pada wanita hamil
yang terinfeksi HIV/AIDS yang melahirkan pervaginam dan seksio sesarea
elektif. Ternyata seksio sesarea elektif dapat menurunkan resiko transmisi hingga
80 % dibandingkan partus pervaginam (1,8 % dibandingkan 10,5%). Demikian
juga hasil metaanalisis dari the International Perinatal HIV Group terhadap 15
penelitian dengan lebih dari 8000 sampel di berbagai negara.1
Seksio sesarea elektif akan lebih bermakna jika disertai dengan pemberian
antiretrovirus. Resiko transmisi akan berkurang sekitar 87 %. Karena itu, saat ini
seksio sesarea dianggap hanya mempunyai efek proteksi parsial terhadap
transmisi HIV vertikal.14
Untuk lebih mengurangi kemungkinan transmisi intrapartum, Towers, dkk
mencoba teknik seksio sesarea dengan perdarahan minimal. Namun, pada
penelitian tersebut tersebut ternyata efek seksio sesarea dengan perdarahan
minimal hampir sama dengan pemberian antiretrovirus (transmisi HIV 6,3 %
dibanding 7,9 %). Cara ini mungkin dapat menjadi alternatif pada ibu yang tidak
mendapat terapi antiretrovirus.1
Namun, pertimbangan untuk melakukan seksio sesarea tanpa indikasi
obstetric lain harus dilakukan dengan hati-hati, mengingat komplikasi seksio yang
mungkin terjadi pada wanita hamil yang terinfeksi HIV/AIDS, terutama pada
stadium lanjut. Laporan PACTG 185 menyebutkan bahwa komplikasi minor
seksio sesarea seperti endometritis, infeksi luka, dan infeksi traktus urinarius lebih
banyak terjadi pada wanita yang terinfeksi HIV/AIDS dibandingkan dengan
kelompok non-HIV. Namun, tidak ada perbedaan kejadian komplikasi mayor
seperti pneumonia, efusi pleura, ataupun sepsis.1
Selain seksio sesarea, berbagai cara telah dicoba untuk menurunkan resiko
transmisi intrapartum pada wanita yang terinfeksi HIV/AIDS . Salah satunya
adalah pencucian jalan lahir dengan kassa yang direndam dengan 0,25%
klorheksidin. Ternyata cara ini tidak dapat mengurangi resiko transmisi partus
pervaginam.1

36

Perinatal HIV Guidelines Working Group di Amerika Serikat mengajukan


rekomendasi penatalaksanaan obstetrik untuk mengurangi transmisi HIV vertikal.
Rekomendasi yang dianjurkan adalah:1
1. Cara Persalinan : Wanita hamil yang terinfeksi HIV/AIDS yang datang pada
kehamilan di atas 36 minggu, belum mendapat antiretrovirus, dan sedang
menunggu hasil pemeriksaan kadar HIV dan CD4 yang diperkirakan
adasebelum persalinan.
Rekomendasi : Ada beberapa regimen yang harus didiskusikan dengan jelas.
Wanita hamil yang terinfeksi HIV/AIDS harus mendapat terapi antiretrovirus
seperti regimen PACTG 076. Wanita hamil yang terinfeksi HIV/AIDS
dilakukan konseling tentang seksio sesarea untuk mengurangi resiko
transmisi dan resiko komplikasi pascaoperasi, anestesi, dan resiko operasi lain
padanya. Jika diputuskan seksio sesarea, seksio direncanakan pada minggu
ke-38 kehamilan,. Selama seksio, wanita hamil yang terinfeksi HIV/AIDS
mendapat zidovudin intravena yang dimulai 3 jam sebelumnya, dan bayi
mendapat zidovudin sirup selama 6 minggu. Keputusan akan meneruskan
antiretrovirus setelah melahirkan atau tidak tergantung pada hasil
pemeriksaan kadar virus dan CD4.
2. Cara Persalinan : Wanita hamil yang terinfeksi HIV/AIDS yang datang pada
kehamilan awal, sedang mendapat kombinasi antiretrovirus, dan kadar HIV
tetap di atas 1000 kopi/mL pada minggu ke 36 kehamilan.
Rekomendasi : Regimen antiretrovirus yang digunakan tetap diteruskan.
Wanita hamil yang terinfeksi HIV/AIDS harus mendapat konseling bahwa
kadar HIV-nya mungkin tidak turun sampai kurang dari 1000 kopi/mL
sebelum persalinan, sehingga dianjurkan untuk melakukan seksio sesarea.
Demikian juga dengan resiko komplikasi seksio yang meningkat, seperti
infeksi pascaoperasi, anestesi, dan operasi. Jika diputuskan seksio sesarea,
seksio direncanakan pada minggu ke-38 kehamilan. Selama seksio, wanita
hamil yang terinfeksi HIV/AIDS mendapat zidovudin intravena yang dimulai
minimal 3 jam sebelumnya. antiretrovirus lain tetap diteruskan sebelum dan
sesudah persalinan. Bayi mendapat zidovudin sirup selama 6 minggu.

37

3. Cara Persalinan : Wanita hamil yang terinfeksi HIV/AIDS yang sedang


mendapat kombinasi antiretrovirus, dan kadar HIV tidak terdeteksi pada
minggu ke 36 kehamilan. \
Rekomendasi : Wanita hamil yang terinfeksi HIV/AIDS diberikan konseling
bahwa kemungkinan transmisi jika kadar HIV tidak terdeteksi mungkin
kurang dari 2 %, bahkan pada persalinan pervaginam. Pemilihan cara
persalinan harus mempertimbangkan keuntungan dan resiko komplikasi
seksio.
4. Cara Persalinan : Wanita hamil yang terinfeksi HIV/AIDS yang sudah
direncanakan seksio sesarea elektif, namun datang pada awal persalinan atau
setelah ketuban pecah.
Rekomendasi : Zidovudin intravena segera diberikan. Jika kemajuan
persalinan cepat, wanita hamil yang terinfeksi HIV/AIDS ditawarkan untuk
menjalani persalinan pervaginam. Jika dilatasi serviks minimal dan diduga
persalinan akan berlangsung lama, dapat dipilih antara zidovudine intravena
dan melakukan seksio sesarea atau memberikan pitosin untuk mempercepat
persalinan. Jika diputuskan untuk menjalani persalinan pervaginam, elektrode
kepala, monitor invasive dan alat bantu lain sebaiknya dihindari. Bayi
sebaiknya mendapat zidovudin sirup selama 6 minggu.
3.14 Penatalaksanaan Pasca Persalinan
3.14.1 Pemberian Air Susu Ibu
Penularan HIV melalui air susu ibu diketahui merupakan faktor penting
transmisi pasca persalinan dan meningkatkan resiko transmisi dua kali lipat.
Miotti, dkk pada penelitian di Malawi membuktikan air susu ibu meningkatkan
insidens transmisi HIV 0,7% per bulan pada usia 0 sampai 5 bulan; 0,6% pada
usia 6-11 bulan; 0,3% per bulan pada usia 12-17 tahun. Penelitian di Nairobi
yang membandingkan bayi dari ibu dengan HIV yang disusui dengan air susu ibu
dibandingkan dengan susu formula menunjukkan probabilitas kumulatif infeksi
HIV pada usia 24 bulan 36,7% dibandingkan 20,5%. Namun angka kematian
setelah 2 tahun pada kedua kelompok ternyata sama. Penelitian Leroy, dkk di

38

berbagai negara menyebutkan resiko transmisi HIV melalui air susu ibu yang
diperkirakan adalah 3,2 per 100 anak-tahun.1,10
Di negara maju, upaya untuk menghindari menyusui bayi dari ibu
penderita HIV seperti yang dianjurkan tidak mengalami kendala. Namun, hal
tersebut sulit dilakukan di negara berkembang mengingat keterbatasan dana
untuk membeli susu formula, kesulitan mencari air bersih dan menyediakan botol
yang bersih, selain norma-norma di masyarakat tertentu. Ternyata tidak
selamanya susu formula lebih efektif daripada air susu ibu untuk mencegah
penularan HIV, tetapi tergantung dari cara pemberiannya. Penelitian Coutsoudis,
dkk di Afrika Selatan menunjukkan bahwa bayi yang mendapat air susu eksklusif
selama 3 bulan mempunyai resiko transmisi HIV lebih rendah (14,6%)
dibandingkan dengan bayi yang mendapat air susu formula dan air susu ibu
(24,1%), bahkan menyamai resiko pemberian susu formula saja. Hal ini
diperkirakan karena air dan makanan terkontaminasi yang diberikan pada bayi
yang menerima dua macam susu tersebut merusak usus bayi, sehingga HIV dari
air susu ibu dapat masuk ke tubuh bayi.1,10
Karena hal-hal tersebut, WHO, Unicef dan UNAIDS mengeluarkan
rekomendasi untuk menghindari air susu ibu yang terkena HIV jika alternatif
susu lain tersedia dan aman. Pada bayi yang terinfeksi HIV in utero, air susu ibu
eksklusif dianjurkan kecuali jika keadaan ibu yang tidak memungkinkan.
Keadaan penyakit ibu juga perlu diperhatikan karena wanita yang terinfeksi
HIV/AIDS menyusui mempunyai resiko kematian yang lebih tinggi daripada
yang tidak menyusui.3,10
3.14.2 Pilihan Untuk Hamil Pada Wanita Yang Terinfeksi HIV/AIDS
Seperti yang sudah ditunjukkan berbagai penelitian dengan antiretrovirus,
penatalaksanaan obstetrik yang tepat dan pemilihan susu yang sesuai,
kemungkinan transmisi HIV dari ibu ke bayinya dapat dikurangi, namun tidak
dapat sama sekali dihilangkan. Selain itu, intervensi-intervensi ini belum tersedia
luas di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Banyak wanita hamil yang
belum menjalani konseling yang sesuai, serta pelayanan antenatal dan obstetrik di

39

tempat-tempat yang menyediakan antiretrovirus. Karena itu, timbul pertanyaan


apakah keinginan wanita yang terinfeksi HIV/AIDS dan pasangannya untuk
mempunyai keturunan sendiri lebih penting daripada resiko menularkan penyakit
serius seperti HIV kepada bayinya?1,14
Selain kemungkinan tertular HIV, anak yang dilahirkan wanita yang
terinfeksi HIV/AIDS juga mempunyai kemungkinan menjadi yatim piatu pada
usia muda karena kematian ibunya akibat AIDS. Kematian orangtuanya akibat
AIDS akan menyebabkan anak berada pada situasi yang membahayakan. Anak
yang tidak mempunyai orang tua lagi cenderung menjadi malnutrisi dan
terlambat tumbuh kembangnya dibandingkan dengan anak yang dibesarkan
dengan orang tua. Mereka juga cenderung kurang mendapatkan pendidikan dan
layanan kesehatan dibandingkan anak lainnya. Belum lagi akibat isolasi sosial
dari masyarakat karena dilahirkan dari ibu yang terinfeksi HIV/AIDS.14
Seseorang dengan HIV/AIDS yang mempunyai pasangan sebaiknya
menjalani konseling tentang pilihan reproduksi mereka, apakah mempunyai anak
atau tidak. Selanjutnya, keputusan tetap di tangan mereka. Alternatif terbaik
adalah tidak mempunyai anak atau adopsi. Namun, jika pasangan suami istri
tersebut memutuskan untuk mempunyai anak sendiri dengan kemungkinan
infeksi yang sudah disadari, pasangan tersebut sebaiknya pergi ke fasilitas
kesehatan yang menyediakan konseling. Evaluasi, terapi dan pemantauan
penularan perinatal HIV. Beberapa alternatif yang dapat dilakukan adalah
pemakaian antiretrovirus, inseminasi dan pencucian sperma bagi suami, operasi
seksio sesarea dan tidak menyusui bayi.12
3.15 Pencegahan dan Penatalaksanaan Infeksi Oportunistik Selama
Kehamilan
Infeksi oportunistik terjadi karena kekebalan tubuh yang amat menurun.
Pola infeksi oportunistik berbeda di berbagai negara tergantung pola mikroba
yang ada dalam tubuh atau lingkungan penderita. Infeksi ini dapat disebabkan
oleh kuman yang semula komensal, reaktivasi kuman atau parasit yang telah ada
dalam tubuh pasien atau infeksi baru.1,3

40

Terapi profilaksis dan terapi terhadap infeksi Mycobacterium tuberculosis,


pneumocystis carinii, M avium complex, Toxoplasma gondii dan virus Herpes
simplex pada wanita hamil yang terinfeksi HIV/AIDS tidak berbeda dengan
wanita terinfeksi HIV/AIDS yang tidak hamil. Namun profilaksis primer
terhadap infeksi sitomegalovirus, kandida dan infeksi jamur invasif tidak
dianjurkan secara rutin mengingat toksisitas obatnya. Flukonazol misalnya,
diketahui dapat menyebabkan deformitas skeletal dan kraniofasial pada
pemakaian jangka lama selama kehamilan. Vaksinasi hepatitis B, influenza dan
pneumokokus tetap dapat diberikan selama kehamilan. Sebaiknya vaksinasi
tersebut diberikan sesudah kadar HIV turun sampai tidak terdeteksi untuk
mencegah peningkatan kadar HIV RNA setelah vaksinasi. 1,4
3.16 Prognosis
Prognosis HIV/AIDS menyangkut masa lamanya AIDS, kemungkinan
terjadi komplikasi, harapan terjadi kesembuhan, angka keberhasilan hidup, angka
kematian dan kemungkinan-kemungkinan lainnya yang menyangkut prognosis
dari HIV/AIDS.10
Prognosis untuk HIV/AIDS pada beberapa tahun terakhir ini, angka
prognosis telah meningkat secara signifikan, hal ini karena adanya obat-obatan
yang baru, dan penyuluhan dalam hal-hal yang berhubungan dengan pencegahan.
Angka rata-rata keberhasilan hidup sekarang ini adalah 35,7 tahun dan di
California Utara 37,9 tahun. Angka kematian HIV adalah 15.245 kematian pada
tahun 2000 dan di Amerika pada tahun 1999 dilaporkan terjadi kematian sekitar
14.802.10
Infeksi HIV pada bayi menyebutkan prognosis yang sangat buruk dengan
angka harapan hidup setelah didiagnosis 9,4 bulan. Namun penelitian selanjutnya
menunjukkan angka harapan hidup yang lebih baik (median 60-120 bulan). Tanpa
obat pencegahan, dua pertiga bayi yang tertular HIV dari ibunya tetap
asimptomatik sampai usia sekolah dan perjalanan penyakitnya perlahan-lahan; 2030% sisanya penyakit lebih progresif dan sudah bermanifestasi pada tahun

41

pertama. Infeksi oportunistik yang berat seperti pneumocystis carinii, ensefalopati


dan gangguan pertumbuhan sudah tampak pada bayi tersebut.1
Para peneliti juga telah meneliti 2 jenis kelainan pada anak-anak yang
menderita HIV, sekitar 20% menderita penyakit yang serius pada tahun pertama
kehidupan, dan kebanyakan anak tersebut meninggal pada umur 4 tahun. Sekitar
80% anak yang terinfeksi HIV mempunyai angka progresivitas yang rendah dan
kebanyakan tidak menderita penyakit-penyakit yang serius sebelum masuk
sekolah sampai masa dewasa. Ada laporan dinegara Eropa dimana anak-anak yang
menderita HIV akan tetap hidup sampai umur 9 tahun. Penelitian lainnya kurang
lebih 42 anak yang terinfeksi HIV, yang mempunyai survival rate sampai umur 9
tahun ditemukan kurang lebih seperempat anak tersebut tidak bergejala dengan
sistem pertahanan tubuh yang baik.10
Pada wanita yang menderita infeksi HIV yang dideteksi secara awal dan
mendapat pengobatan yang sesuai akan bertahan hidup seperti pada laki-laki. Pada
beberapa penelitian menunjukkan bahwa wanita dengan HIV menunjukkan masa
hidup yang lebih sebentar dibandingkan laki-laki. Hal ini disebabkan karena pada
wanita lebih jarang terdeteksi secara dini. Pada analisis yang mengikutsertakan
4.500 orang dengan infeksi HIV, ternyata perbandingan angka kematian antara
wanita dan laki-laki adalah 3:1. Para peneliti tidak dapat mengidentifikasikan
alasan penyebab dari kematian tersebut. Namun mereka menduga bahwa hal ini
disebabkan karena akses yang lebih sulit dalam menggunakan pelayanan
kesehatan dibandingkan dengan laki-laki, adanya kekerasan rumah tangga, tidak
mempunyai tempat tinggal dan kurangnya dukungan sosial yang merupakan
faktor yang paling penting. Pada orang yang lebih tua dengan HIV, hidupnya tidak
selama dibandingkan orang yang lebih muda.10
Jika tidak ada pencegahan transmisi ibu ke anak dilaporkan terjadi pada
sekitar 25% kelahiran, dan bisa dikurangi sekitar 8% dengan pengobatan
antiretrovirus seperti zidovudine. Kombinasi terapi antiretroviral, sectio caesarea,
menghindari pemberian ASI akan lebih mengurangi resiko transmisi ibu ke anak
sekitar 1%. Di Inggris rata-rata transmisi ibu keanak sekitar 19,6% pada tahun
1993 dan menurun sampai 22,2% pada tahun 1998. 10 Penelitian terbaru juga

42

menegaskan bahwa suatu kehamilan tidak mempunyai efek terhadap pertumbuhan


AIDS, penyakit yang berhubungan dengan AIDS atau terjadi imunosupresi yang
berat sampai 1 tahun setelah kelahiran ataupun aborsi. Semakin cepat kita
memulai pengobatan maka peluang untuk hidup akan lebih lama.10

BAB III

43

PEMBAHASAN
BAB IV
KESIMPULAN
Penularan HIV dapat melalui hubungan seksual, terjadi secara horizontal
maupun vertikal (dari ibu ke anak). Transmisi horisontal dapat terjadi melalui
darah (diantaranya transfusi darah atau produk darah yang tercemar HIV,
penggunaan alat yang tidak steril disarana pelayanan kesehatan, penggunaan alat
yang tidak steril dilayanan kesehatan tradisional ) dan melalui hubungan seks
(misalnya pelecehan seksual pada anak, pelacuran anak ). Kurang lebih 10%
penularan HIV terjadi melalui transmisi horizontal. Dan yang cukup penting
adalah penularan secara vertikal dari ibu ke anak. Penularan vertikal dapat terjadi
selama intra uterine, intra partum maupun post partum.
Penatalaksanaan klinis penyakit HIV pada kehamilan terus dikembangkan
untuk menekan transmisi secara vertikal. Pemberian antiretrovirus bertujuan
untuk mengurangi viral load agar menjadi sangat rendah atau dibawah tingkat
yang dapat terdeteksi untuk jangka waktu yang lama. Rekomendasi cara
persalinan dikeluarkan oleh Perinatal HIV Guidelines Working Group di Amerika
Serikat untuk mengurangi transmisi HIV dari ibu ke anak dan persalinan dengan
seksio sesarea dipikirkan dapat mengurangi paparan bayi dengan cairan
servikovaginal yang mengandung HIV. Selain itu WHO, Unicef dan UNAIDS
mengeluarkan rekomendasi untuk menghindari air susu ibu yang terkena HIV jika
alternatif susu lain tersedia dan aman.
Cara yang efektif untuk mengurangi resiko penularan HIV dari ibu ke anak
tergantung pada saat kapan wanita tersebut mengetahui status HIV-nya sehingga
dapat ditentukan penatalaksanaannya secepat mungkin. Oleh karena itu peranan
konseling dan tes HIV bagi ibu hamil sangatlah penting sebagai salah satu cara
untuk deteksi dini terhadap infeksi HIV.

44

DAFTAR PUSTAKA
1. McFarland, Elizabeth J. Human Immunodeficiency Virus (HIV) Infection in :
Current Pediatric Diagnosis &Treatment. 16th edition. 2003. McGraw & Hill
Company. Singapore (1140-50).
2. Yunihastuti E, Wibowo N, Djauzi S, Djoerban Z. Kelompok Studi Kasus
AIDS FKUI/RSUPN dr.Ciptomangunkusumo. Infeksi HIV pada Kehamilan.
2003. FKUI. Jakarta (1 32).
3. Volderding A, Sande A.. The Medical Management of AIDS. 4th edition.
1995. WB Saunders Company. United State of America . (22-4, 614-32).
4. Behrman, Kliegman, Jenson. Acquired Immunodeficiency Syndrome (Human
Immunodeficiency Virus). in: Nelson Textbook of Pediatrics. 17th Edition.
2004. WB Saunders Company. Philadelpia. (1109-20).
5. Suwendra, Putu. Human Immunodeficiency Virus. Dalam : Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Anak Infeksi&Penyakit Tropis. Edisi Pertama. 2001. IDAI. Jakarta
(281-301).
6. Maslow S. AIDS in Gynocology in Gynecology and Obstetrics Sciarra.
Volume 1 Edisi Revisi.1995. J.B Lippincott Company 46. Philadelphia (112).
7. Walker K, Stratton P. Human Immunodeficiency Virus (HIV) In Non
Pregnant Women in Text Book of Gynecology. 2th edition. 2000. WB
Saunders Company. United State of America (895 902).
8. Djauzi, Samsuridjal & djoerban, Zubairi. Penatalaksanaan Infeksi HIV di
Pelayanan Kesehatan Dasar. Edisi kedua. 2003. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.Jakarta (1, 3-4, 8-10, 19-20, 26-48).
9. Murati T P. Acquired Immunodeficiency Syndrome. Dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi Ketiga. 1996. FKUI. Jakarta. (543-50).
10. http://www.google.com . HIV and AIDS. 2002.
11. Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular & Penyehatan
Lingkungan Departemen Kesehatan RI.. Pedoman Nasional Perawatan,
Dukungan dan Pengobatan Bagi ODHA. 2003. Departemen Kesehatan RI
Jakarta (4-6, 21-7, 68-104).
12. http://www.google.com. Konseling HIV/AIDS. 2000

45

13. Berek S. Human Immunodeficiency Virus (HIV). in Novaks Gynecology.


13th edition. 2003. Lippincott William & Wilkins Wloter Kluwer Company.
Philadelpia (465-7).
14. De Cherney H, Nathan L. Human Immunodeficiency Virus (HIV) Infection.

in Current Obstetric & Gynecologyc Diagnosis & Treatment. 9th Edition. Mc


Graw-Hill Companies. United State (745-8).

Anda mungkin juga menyukai