Anda di halaman 1dari 2

Cerita setetes embun

Entah apa yang membangunkanku pagi itu, rasa letih selepas pekerjaan malam yang harus ku
selesaikan. Saat itu langit masih semu hitam kemerahan, tak biasanya aku bangun sepagi itu saat
hari libur tiba. aku masih menutupi separuh tubuhku dengan selimut sembari mengintip jam
dinding yang menunjukan pukul 05.00 pagi.
Ah, yasudahlah pikirku, selagi pagi aku bergegas bangkit dan bersiap untuk menggerakan
badanku keluar rumah. lari pagi mungkin bisa sedikit menghilangkan rasa penat ku setelah
seminggu berkutit dengan kesibukan.
Kanan kiri kulihat jalanan yang masih sepi dan tanah yang basah karna semalaman terguyur
hujan. aroma air yang menyatu dengan udara pagi memenuhi ruang paru paruku. rasanya sudah
lama aku tak menikmati suasana seperti ini. nikmat sekali tuhan, kurasakan kemurnian pagi yang
menyelusup menelusuri aliran darahku. menyesal rasanya selama ini aku tak memiliki waktu untuk
tubuhku sendiri.
aku berjalan menelusuri jalan kecil yang memang diperuntukan untuk pelari pagi. kusapa beberapa
orang yang kukenal dengan senyuman ramah yang mereka balaskan untuku. Rupanya saat aku
tertidur orang orang itu sudah lebih dulu terbangun, mencuri beberapa kenikmatan tuhan yang
selalu Ia suguhkan setiap pagi.
Aku duduk disebuah bangku kayu panjang di taman, menghela napas sejenak sembari
menengguk air putih yang telah kubawa. melihat sekitar dengan bunga indah beraneka warna
yang mengelilingi taman. Entah siapa yang merawatnya, namun tempat ini tak pernah berubah
sedari dulu. tetap sejuk, indah, dan asri. suasana ini seketika itu menghantarkanku pada memori
beberapa belastahun silam.
Aku memang sejak lahir tinggal di daerah ini, saat masih kecil ayah dan ibuku selalu mengajaku ke
tempat ini. setiap minggu pagi sekedar berjalan kaki melatih otot dan persendian mereka yang
semakin menua. satu dua bunga yang sesekali mereka petik, lalu diselipkannya ditelingaku.
badanku saat itu yang masih mungil seringkali ayah gendong untuk diletakan dipundaknya, berlali
kecil lalu menggelitiku kami bertiga tertawa bahagia. ah indah sekali rasanya saat itu, sesekali
terbersit harapan untuk dapat bisa mengulang masa masa indah yang pernah aku alami dulu.
cuiitt. . .
cuiitt. . .
cuiitt. . .
seketika, suara burung pipit membangunkanku dari kenangan itu, aku tersadar bahwa dulu adalah
dulu, dan masa yang sedang aku jalani adalah kini. aku tak mampu menerobos dimensi waktu
yang telah sedemikian rupa tuhan ciptakan. kini aku tinggal sendiri, ayah telah pergi untuk
selamanya sejak 3 tahun yang lalu, menyusul ibu yang terlebih dulu pergi saat melahirkan adik
keduaku.

oya, umurku kini 21 tahun, aku memiliki seorang adik kecil berumur 7 tahun, namanya aisyah, aku
memanggilnya isah. Jarak umur kami memang jauh, ibuku mengandung isah dulu

Anda mungkin juga menyukai