kecerdasan emosional, serta komitmen pribadi dan integritas, sebagai bentuk kecerdasan spiritual
yang sangat dibutuhkan untuk mengatasi berbagai tantangan.
Spiritualitas berbicara tentang interaksi jiwa (the soul) manusia pada dunia sekitar, sebagai
bentuk respon yang memengaruhi perilaku manusia di mana pun dan dalam kondisi apa pun.
Spiritualitas bukanlah segalanya tentang agama. Spiritualitas adalah bagaimana melakukan segala
sesuatu dengan usaha terbaik dalam kesempurnaan batin sesuai dengan nilai-nilai kehidupan yang
diyakini, termasuk agama.
Spiritualitas membantu membangun karakter dalam diri sehingga mempengaruhi dalam pola
kepemimpinan yang dijalankan. Kepemimpinan yang berbasis spiritualitas, bukanlah tentang
kecerdasan dan keterampilan dalam memimpin belaka. Namun juga menjunjung nilai-nilai kebenaran,
kejujuran, integritas, kredibilitas, kebijaksanaan, belas kasih, yang membentuk akhlak dan moral diri
sendiri dan orang lain. Spiritual Leadership adalah kepemimpinan yang mengedepankan moralitas,
kepekaan (sensitivitas), keseimbangan jiwa, kekayaan batin dan etika dalam berinteraksi dengan
orang lain.
Seperti dikemukakan Ashmos dan Duchon (2002), spiritualitas di tempat kerja bukanlah agama
atau pengganti agama. Bukan pula perihal mengajak orang untuk mengikuti sistem keyakinan
tertentu. Spiritualitas di tempat kerja adalah mengenai pemahaman diri pegawai sebagai makhluk
spiritual yang jiwanya memerlukan makanan di tempat kerja; mengenai pengalaman akan rasa
bertujuan dan bermakna dalam pekerjaannya; dan juga tentang mengalami perasaan saling
terhubung dengan orang lain dan dengan komunitasnya di tempat kerja.
Perkembangan spiritualitas di tempat kerja tidak dapat diharapkan berkembang sendiri tanpa
adanya dukungan dari pimpinan. Itu sebabnya, wacana kepemimpinan spiritual menjadi penting untuk
dikemukakan.
Sejak tahun 1980-an mulai terjadi pergeseran fokus dari teori kepemimpinan behavioral
contingency, yang mempelajari perilaku pemimpin yang cocok dengan situasi tertentu, menuju
kepemimpinan strategis yang menekankan visi, motivasi, dan pengendalian melalui nilai-nilai atau
budaya di dalam organisasi, yang adaptif terhadap perubahan lingkungan organisasi. Pandangan
terhadap kebutuhan akan perubahan model kepemimpinan ini dinyatakan oleh Louise W. Fry dalam
tulisannya, toward a theory of spiritual leadership. (2003).
Pernyataan Fry ini didukung dengan maraknya penerbitan buku-buku teks kepemimpinan yang
mengupas tentang kepemimpinan dan budaya organisasi, kepemimpinan perusahaan berdasarkan
misi dan nilai-nilai, dan artikel-artikel tentang spiritualitas di tempat kerja dalam jurnal-jurnal
bisnis/manajemen.
Dari berbagai penelitian diketahui bahwa pengembangan spiritualitas di tempat kerja
berpengaruh positif terhadap sikap dan perilaku kerja para pegawai. Antara lain menyangkut
kepuasan kerja, komitmen, motivasi, keterlibatan kerja, inovasi, dan produktivitas. Hal-hal tersebut
sangat penting bagi efektivitas organisasi secara keseluruhan.
Bagi kita, isu mengenai spiritualitas di tempat kerja ini tentu sangat berarti. Hal ini dapat
menjadi alternatif dari model birokrasi yang sudah terbukti tidak efektif. Birokrasi yang banyak
diterapkan pada organisasi pemerintah cenderung berorientasi pada standardisasi, formalisasi, dan
sentralisasi.
Model ini tidak cukup mampu mengantisipasi perubahan-perubahan dari lingkungan dan tidak
mendukung kebermaknaan hidup. Banyak orang bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi
dan status, bukan karena mencintai pekerjaan itu sendiri dan menemukan makna hidup melalui
pekerjaannya.
Menurut Fry, kepemimpinan spiritual merupakan kumpulan nilai-nilai, sikap, dan perilaku yang
diperlukan untuk memotivasi diri sendiri maupun orang lain secara intrinsik, sehingga masing-masing
memiliki perasaan survival yang bersifat spiritual melalui keanggotaan dan keterpanggilan.
Manakala fungsi motivasi ini dapat bekerja dengan baik, setiap pegawai akan mengalami suatu
perasaan terpanggil, suatu bentuk pengalaman transendens sehubungan dengan tugas/pekerjaan.
Selain itu, setiap pegawai akan memiliki makna dalam hidupnya.
Melalui kepemimpinan spiritual, suatu budaya organisasi yang berdasarkan cinta altruistik
(tanpa pamrih pribadi) akan terbentuk. Imbasnya, perilaku birokrasi yang rentan dengan budaya
mencari untung (rent seeking behaviour) dapat dihilangkan.
Diharapkan, melalui penerapan kepemimpinan yang bercorak spiritual, pengembangan
value/nilai untuk melengkapi reformasi birokrasi di lingkungan Kementerian Keuangan dapat berjalan
dengan baik. Dampaknya, penyalahgunaan kewenangan sehubungan pelaksanaan pekerjaan dapat
diminimalisir. Jangan pernah ada lagi, Gayus-Gayus baru yang menari ditengah himpitan kesulitan
ekonomi yang mendera sebagian besar anak bangsa.
Sampurna Budi Utama, Ak., ME.
Referensi:
Ashmos and Duchon. Spirituality at Work: A Conceptualization and Measure. Journal of Management
Inquiry. 2000.
Frey, Louis W. Toward a Theory of Spiritual Leadership dalam The Leadership Quarterly, Volume
14, No. 6. Desember 2003.
Pagu, Johanes. EQ dalam Kepemimpinan. 1992. Situs: www.e-psikologi.com/wirausaha/eq.htm.
Zohar, Danah and Marshall, Ian. Spiritual Intellegence: SQ the ultimate intelligence. London.
Bloomsburry Publishing. 2001.