Anda di halaman 1dari 3

Reformasi birokrasi

membutuhkan kepemimpinan spiritual


siapa yang tidak mengenal Gayus Tambunan dengan kekayaan yang sungguh fenomenal.
Seorang pegawai negeri golongan III/a dengan masa kerja yang terhitung relatif singkat mampu
mengumpulkan aset sedemikian fantastis.
Lebih menyesakkan lagi, praktik tersebut terkuak ditengah kampanye reformasi birokrasi yang
digalakkan di lingkungan Kementerian Keuangan. Kerja keras dari Kementerian Keuangan untuk
melakukan reformasi birokrasi melalui pilar-pilar penataan organisasi, penyempurnaan proses bisnis,
peningkatan disiplin kerja dan manajemen sumber daya manusia, serta diikuti dengan perbaikan
remunerasi, lenyap dalam sekejap.
Kegeraman masyarakat terhadap penyimpangan yang dilakukan Gayus memunculkan
kecaman publik yang sangat luas dan berdampak besar pada kondisi psikologis pegawai
Kementerian Keuangan, terutama kepada pegawai Direktorat Jenderal Pajak.
Sebagian kalangan berpendapat bahwa praktik memalukan tersebut terjadi tidak terlepas dari
lemahnya sistem nilai/value dan kepemimpinan di lingkungan tempat Gayus bekerja. Pengakuan
Gayus bahwa praktik yang dilakukan adalah hal yang lazim dilakukan oleh rekan sejawatnya bahkan
melibatkan atasannya, mengindikasikan betapa lemahnya sistem nilai/value yang dianut dalam
hubungannya dengan pekerjaan.
Ada satu pelajaran penting dari skandal tersebut yang layak kita perhatikan. Bahwa tidak ada
satu pun organisasi yang eksis tanpa ada value/nilai yang secara kuat mendasarinya. Karenanya,
value/nilai tersebut perlu dibangun dan dikembangkan.
Pengembangan nilai-nilai dalam organisasi membutuhkan adanya model kepemimpinan yang
tepat. Salah satu model yang tepat untuk menjawab kebutuhan tersebut adalah kepemimpinan
spiritual.
Model kepemimpinan spiritual adalah kepemimpinan yang mendasarkan tindakan dan perilaku
kepemimpinan pada suara hati nurani sebagai pusat kendali diri. Dalam model ini, seorang pemimpin
tidak hanya dituntut berpandangan visioner, namun juga harus memiliki sejumlah nilai yang meliputi
kepekaan nurani, karakter yang kuat serta memiliki kekuatan untuk mengembangkan dan
memobilisasi seluruh sumber daya dalam rangka mencapai tujuan organisasi.
Dengan demikian, kepemimpinan spiritual adalah model kepemimpinan yang memadukan
unsur cipta (pikir), karsa (keinginan/nafsu), karya (tindakan), dan rasa (hati nurani). Tanpa pelibatan
unsur rasa (hati nurani), tindakan dalam mengoperasikan kepemimpinan akan kehilangan fungsi
sebagai pemberi arah yang baik.
Dalam perspektif spiritual, fungsi kepemimpinan dalam organisasi diletakkan sebagai bagian
dari cara untuk mewujudkan kebaikan dan reformasi dalam segala bidang kehidupan.
Para pakar manajemen, berkonsensus bahwa inti dari efektivitas proses kepemimpinan terletak
pada pengaruh interaktif antara pemimpin dan bawahannya. Kepemimpinan yang sukses adalah
kepemimpinan yang mampu mempengaruhi perilaku individu-individu dalam organisasi untuk
menunaikan tugasnya melalui arahan, petunjuk dan contoh perilaku pemimpin dalam rangka
mewujudkan tujuan organisasi.
Teori kepemimpinan kini telah berkembang dengan mengapresiasikan nilai-nilai kehidupan
(values) dan kemanusiaan.
Dari sudut pandang spiritual, memobilisasi kekuatan manusia yang potensial dan memandu
manusia di jalan kesempurnaan merupakan tugas sangat mulia yang tidak mudah untuk dilakukan.
Dalam hal ini, Patricia Patton (dalam Pagu, 2002) menggemukakan pandangan yang sangat menarik,
It took a heart, soul and brains to lead a people...
Sejalan dengan pernyataan tersebut, menurut Pagu, seorang pemimpin haruslah memiliki
perasaan, keutuhan jiwa dan kemampuan intelektual. Dengan perkataan lain, modal yang harus
dimiliki oleh seorang pemimpin tidak hanya intektualitas semata, namun harus didukung oleh

kecerdasan emosional, serta komitmen pribadi dan integritas, sebagai bentuk kecerdasan spiritual
yang sangat dibutuhkan untuk mengatasi berbagai tantangan.
Spiritualitas berbicara tentang interaksi jiwa (the soul) manusia pada dunia sekitar, sebagai
bentuk respon yang memengaruhi perilaku manusia di mana pun dan dalam kondisi apa pun.
Spiritualitas bukanlah segalanya tentang agama. Spiritualitas adalah bagaimana melakukan segala
sesuatu dengan usaha terbaik dalam kesempurnaan batin sesuai dengan nilai-nilai kehidupan yang
diyakini, termasuk agama.
Spiritualitas membantu membangun karakter dalam diri sehingga mempengaruhi dalam pola
kepemimpinan yang dijalankan. Kepemimpinan yang berbasis spiritualitas, bukanlah tentang
kecerdasan dan keterampilan dalam memimpin belaka. Namun juga menjunjung nilai-nilai kebenaran,
kejujuran, integritas, kredibilitas, kebijaksanaan, belas kasih, yang membentuk akhlak dan moral diri
sendiri dan orang lain. Spiritual Leadership adalah kepemimpinan yang mengedepankan moralitas,
kepekaan (sensitivitas), keseimbangan jiwa, kekayaan batin dan etika dalam berinteraksi dengan
orang lain.
Seperti dikemukakan Ashmos dan Duchon (2002), spiritualitas di tempat kerja bukanlah agama
atau pengganti agama. Bukan pula perihal mengajak orang untuk mengikuti sistem keyakinan
tertentu. Spiritualitas di tempat kerja adalah mengenai pemahaman diri pegawai sebagai makhluk
spiritual yang jiwanya memerlukan makanan di tempat kerja; mengenai pengalaman akan rasa
bertujuan dan bermakna dalam pekerjaannya; dan juga tentang mengalami perasaan saling
terhubung dengan orang lain dan dengan komunitasnya di tempat kerja.
Perkembangan spiritualitas di tempat kerja tidak dapat diharapkan berkembang sendiri tanpa
adanya dukungan dari pimpinan. Itu sebabnya, wacana kepemimpinan spiritual menjadi penting untuk
dikemukakan.
Sejak tahun 1980-an mulai terjadi pergeseran fokus dari teori kepemimpinan behavioral
contingency, yang mempelajari perilaku pemimpin yang cocok dengan situasi tertentu, menuju
kepemimpinan strategis yang menekankan visi, motivasi, dan pengendalian melalui nilai-nilai atau
budaya di dalam organisasi, yang adaptif terhadap perubahan lingkungan organisasi. Pandangan
terhadap kebutuhan akan perubahan model kepemimpinan ini dinyatakan oleh Louise W. Fry dalam
tulisannya, toward a theory of spiritual leadership. (2003).
Pernyataan Fry ini didukung dengan maraknya penerbitan buku-buku teks kepemimpinan yang
mengupas tentang kepemimpinan dan budaya organisasi, kepemimpinan perusahaan berdasarkan
misi dan nilai-nilai, dan artikel-artikel tentang spiritualitas di tempat kerja dalam jurnal-jurnal
bisnis/manajemen.
Dari berbagai penelitian diketahui bahwa pengembangan spiritualitas di tempat kerja
berpengaruh positif terhadap sikap dan perilaku kerja para pegawai. Antara lain menyangkut
kepuasan kerja, komitmen, motivasi, keterlibatan kerja, inovasi, dan produktivitas. Hal-hal tersebut
sangat penting bagi efektivitas organisasi secara keseluruhan.
Bagi kita, isu mengenai spiritualitas di tempat kerja ini tentu sangat berarti. Hal ini dapat
menjadi alternatif dari model birokrasi yang sudah terbukti tidak efektif. Birokrasi yang banyak
diterapkan pada organisasi pemerintah cenderung berorientasi pada standardisasi, formalisasi, dan
sentralisasi.
Model ini tidak cukup mampu mengantisipasi perubahan-perubahan dari lingkungan dan tidak
mendukung kebermaknaan hidup. Banyak orang bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi
dan status, bukan karena mencintai pekerjaan itu sendiri dan menemukan makna hidup melalui
pekerjaannya.
Menurut Fry, kepemimpinan spiritual merupakan kumpulan nilai-nilai, sikap, dan perilaku yang
diperlukan untuk memotivasi diri sendiri maupun orang lain secara intrinsik, sehingga masing-masing
memiliki perasaan survival yang bersifat spiritual melalui keanggotaan dan keterpanggilan.

Manakala fungsi motivasi ini dapat bekerja dengan baik, setiap pegawai akan mengalami suatu
perasaan terpanggil, suatu bentuk pengalaman transendens sehubungan dengan tugas/pekerjaan.
Selain itu, setiap pegawai akan memiliki makna dalam hidupnya.
Melalui kepemimpinan spiritual, suatu budaya organisasi yang berdasarkan cinta altruistik
(tanpa pamrih pribadi) akan terbentuk. Imbasnya, perilaku birokrasi yang rentan dengan budaya
mencari untung (rent seeking behaviour) dapat dihilangkan.
Diharapkan, melalui penerapan kepemimpinan yang bercorak spiritual, pengembangan
value/nilai untuk melengkapi reformasi birokrasi di lingkungan Kementerian Keuangan dapat berjalan
dengan baik. Dampaknya, penyalahgunaan kewenangan sehubungan pelaksanaan pekerjaan dapat
diminimalisir. Jangan pernah ada lagi, Gayus-Gayus baru yang menari ditengah himpitan kesulitan
ekonomi yang mendera sebagian besar anak bangsa.
Sampurna Budi Utama, Ak., ME.
Referensi:
Ashmos and Duchon. Spirituality at Work: A Conceptualization and Measure. Journal of Management
Inquiry. 2000.
Frey, Louis W. Toward a Theory of Spiritual Leadership dalam The Leadership Quarterly, Volume
14, No. 6. Desember 2003.
Pagu, Johanes. EQ dalam Kepemimpinan. 1992. Situs: www.e-psikologi.com/wirausaha/eq.htm.
Zohar, Danah and Marshall, Ian. Spiritual Intellegence: SQ the ultimate intelligence. London.
Bloomsburry Publishing. 2001.

Anda mungkin juga menyukai