Anda di halaman 1dari 65

BAB I

PENDAHULUAN
I.1. LATAR BELAKANG
Memasuki milenium baru, Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes
RI) telah mencanangkan Gerakan Pembangunan Berwawasan Kesehatan yang dilandasi
paradigma sehat. Paradigma sehat adalah cara pandang, pola pikir atau model
pembangunan kesehatan yang bersifat holistik, melihat masalah kesehatan yang
dipengaruhi oleh banyak faktor yang bersifat lintas sektor dan upayanya lebih
diarahkan pada peningkatan, pemeliharaan dan perlindungan kesehatan. Penanganan
masalah secara holistik menurut konsep Triangle of Epidemiology diartikan sebagai
penanganan

terhadap

masalah

dengan

mempertimbangkan

host,

agent

dan

environment sebagai faktor determinan masalah. Secara makro, paradigma sehat berarti
semua sektor memberikan kontribusi positif bagi pengembangan perilaku dan
lingkungan sehat, sedangkan secara mikro berarti pembangunan kesehatan lebih
menekankan upaya promotif dan preventif tanpa mengesampingkan upaya kuratif dan
rehabilitatif (Depkes RI, 2010).
Sesuai dengan strategi Indonesia Sehat 2010 dan kebutuhan pembangunan sektor
kesehatan di era desentralisasi ini, Depkes RI menetapkan visi dan misi puskesmas. Visi
pembangunan kesehatan puskesmas adalah terwujudnya kecamatan sehat yang
merupakan gambaran masyarakat kecamatan masa depan yang hidup di lingkungan
yang sehat dan perilaku hidup masyarakat yang juga sehat, mampu menjangkau
pelayanan kesehatan yang ada di wilayahnya serta memiliki derajat kesehatan yang
setinggi-tingginya. Pencapaian visi tersebut dapat dicapai dengan menggerakan
puskesmas sebagai pelaksana teknis dinas kesehatan (dinkes) terbawah yang memiliki
enam kewajiban yang harus dilaksanakan, yaitu upaya promosi kesehatan, kesehatan
lingkungan (kesling), kesehatan ibu anak dan keluarga berencana, perbaikan gizi
masyarakat, pencegahan dan pemberantasan penyakit menular serta pengobatan
(Depkes RI, 2010).
Program kesling pada masyarakat adalah bagian dari program pembangunan
kesehatan nasional. Tujuan utamanya adalah meningkatkan derajat kesehatan dan
kemandirian masyarakat dalam pemeliharaan kesehatan dengan titik berat pada upaya
peningkatan kualitas hidup dan pencegahan penyakit. Indikator yang dicapai adalah
1

meningkatnya

kesadaran masyarakat tentang pola hidup bersih dan sehat,

meningkatnya industri dan tempat-tempat umum yang sehat, menurunnya angka


penyakit diare dan demam berdarah dengue (DBD) serta penyakit akibat kurang
sehatnya lingkungan di sekitar masyarakat (Trikarjana, 2008).
Penyakit DBD adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan
disebarluaskan oleh nyamuk terutama spesies Aedes aegypti. World Health
Organization (WHO) melaporkan lebih dari 2,5 miliar penduduk dunia berisiko terkena
DBD dengan mayoritas atau sekitar 70% populasi hidup di kawasan Asia Pasifik. DBD
juga merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia karena incidence rate yang
terus meningkat dan penyebarannya semakin luas. Propinsi yang terus mengalami
peningkatan kasus DBD antara lain Jakarta, Jawa Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi
Utara dan Nusa Tenggara Barat. Pada tahun 2013, kasus DBD di Indonesia dilaporkan
sebanyak 112.511 kasus dengan jumlah kematian 871 orang, sementara di Kota Depok
dilaporkan sebanyak 1.450 kasus dengan jumlah kematian 2 orang (Profil Kesehatan
Kota Depok, 2013).
DBD merupakan penyakit berbasis lingkungan. Berdasarkan kajian Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) disimpulkan bahwa KLB DBD di
Indonesia diakibatkan oleh beragam faktor. Pertama, DBD masih endemik di beberapa
wilayah karena terdapat vektor nyamuk hampir di seluruh pelosok tanah air serta
adanya empat tipe virus yang bersirkulasi sepanjang tahun. Kedua, lemahnya sistem
kewaspadaan dini sehingga penanganan dan pengobatan kasus sebagai intervensi belum
dilakukan sebagaimana mestinya. Ketiga, kemudahan alat transportasi memungkinkan
perpindahan dari satu wilayah ke wilayah lain yang merupakan daerah endemik. Ketiga
faktor tersebut didukung dengan masih rendahnya kesadaran masyarakat akan
paradigma hidup sehat dan kondisi lingkungan sekitar sebagai faktor risiko penyebaran
penyakit. Akibatnya, anjuran 3M Plus (menguras, menutup dan mengubur plus
menaburkan larvasida serta memelihara ikan pemakan jentik) untuk mencegah DBD
belum terlaksana secara efektif (Depkes RI, 2010).
Berdasarkan kenyataan di atas, pemerintah Indonesia terus berusaha memperbaiki
program pemberantasan DBD. Program tersebut bertujuan mengurangi penyebarluasan
wilayah yang terjangkit DBD, mengurangi jumlah pasien DBD dan menurunkan angka
kematian akibat DBD. Kemenkes RI telah menetapkan Program Nasional
Penanggulangan DBD melalui Kepmenkes No. 581 Tahun 1992, terdiri dari delapan
pokok program yang meliputi surveilans epidemiologi dan pemberantasan KLB,
2

pemberantasan vektor, penatalaksanaan kasus, penyuluhan, kemitraan dalam wadah


kelompok kerja operasional (pokjanal) DBD, peran serta masyarakat berupa juru
pemantau jentik (jumantik), pelatihan dan penelitian (Kemenkes RI, 2011).
Puskemas juga turut serta dalam upaya pencegahan dan pemberantasan DBD
dengan melaksanakan program pemeriksaan jentik berkala (PJB) untuk memonitor
kepadatan jentik. Program PJB selain untuk kasus DBD juga bertujuan untuk deteksi
filariasis. Peran jumantik sangat penting dalam sistem kewaspadaan dini mewabahnya
DBD karena dapat memantau keberadaan jentik dan menghambat perkembangan awal
vektor penular DBD. Peran jumantik juga bertujuan menggerakkan peran serta
masyarakat dalam usaha pemberantasan kasus DBD. Keaktifan kader jumantik dalam
memantau lingkungannya diharapkan dapat menurunkan angka kasus DBD. Oleh
karena itu, diperlukan upaya peningkatan keaktifan jumantik melalui motivasi yang
dilakukan oleh dinkes (Yuliyanti, 2007).
Dalam upaya pemberantasan DBD dengan menggalakkan progam PJB, dinkes
Kota Depok memasukkan program ini ke dalam standar pelayanan minimal (SPM).
Dalam hal ini dinkes Kota Depok menargetkan angka bebas jentik (ABJ) dalam satu
wilayah sebesar 95%. Program PJB di Puskesmas Pancoran Mas telah mencapai target
yang ditetapkan, namun permasalahan yang didapat ternyata angka tersebut tidak
merata di seluruh wilayah kerja Puskesmas Pancoran Mas. Berdasarkan laporan
evaluasi program PJB Puskesmas Pancoran Mas bagian sanitasi dan kesling, masih
terdapat 12 RW di wilayah kerja Puskesmas Pancoran Mas yang ABJnya <95% yakni
RW 2, 4, 7, 12, 13, 19 di Kelurahan Pancoran Mas dan RW 3, 6, 14, 18, 19, 20 di
Kelurahan Depok. Oleh karena belum optimalnya dan belum dievaluasi program PJB
untuk periode 2014, maka penulis tertarik untuk mengevaluasi program tersebut.
Penulis mengangkat topik mengenai evaluasi program PJB di RW 2, 4, 7, 12, 13, 19
Kelurahan Pancoran Mas dan RW 3, 6, 14, 18, 19, 20 Kelurahan Depok di wilayah
kerja Puskesmas Pancoran Mas periode Januari-Desember 2014 sebagai tugas mandiri.
I.2. PERUMUSAN MASALAH
Prevalensi DBD cenderung meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Berbagai
studi pengamatan yang berbasiskan populasi wilayah telah dilakukan untuk
mengidentifikasi upaya pemberantasan DBD ini. Evaluasi program PJB belum
dilakukan padahal pemahaman mengenai angka pencapaian program PJB ini sangat
penting. Dengan demikian, permasalahan yang akan dibahas adalah evaluasi program
3

PJB di RW 2, 4, 7, 12, 13, 19 Kelurahan Pancoran Mas dan RW 3, 6, 14, 18, 19, 20
Kelurahan Depok di wilayah kerja Puskesmas Pancoran Mas periode Januari-Desember
2014.
I.3. TUJUAN
I.3.1. Tujuan Umum
Diketahuinya evaluasi program PJB di RW 2, 4, 7, 12, 13, 19 Kelurahan Pancoran
Mas dan RW 3, 6, 14, 18, 19, 20 Kelurahan Depok di wilayah kerja Puskesmas
Pancoran Mas periode Januari-Desember 2014.
I.3.2. Tujuan Khusus
1. Diketahuinya cakupan ABJ di RW 2, 4, 7, 12, 13, 19 Kelurahan Pancoran Mas
dan RW 3, 6, 14, 18, 19, 20 Kelurahan Depok di wilayah kerja Puskesmas
Pancoran Mas periode Januari-Desember 2014.
2. Diketahuinya masalah program PJB di RW 2, 4, 7, 12, 13, 19 Kelurahan
Pancoran Mas dan RW 3, 6, 14, 18, 19, 20 Kelurahan Depok di wilayah kerja
Puskesmas Pancoran Mas periode Januari-Desember 2014.
3. Diketahuinya prioritas masalah program PJB di RW 2, 4, 7, 12, 13, 19
Kelurahan Pancoran Mas dan RW 3, 6, 14, 18, 19, 20 Kelurahan Depok di
wilayah kerja Puskesmas Pancoran Mas periode Januari-Desember 2014.
4. Diketahuinya penyebab dari prioritas masalah program PJB di RW 2, 4, 7, 12,
13, 19 Kelurahan Pancoran Mas dan RW 3, 6, 14, 18, 19, 20 Kelurahan Depok
di wilayah kerja Puskesmas Pancoran Mas periode Januari-Desember 2014.
5. Diketahuinya alternatif pemecahan masalah program PJB di RW 2, 4, 7, 12, 13,
19 Kelurahan Pancoran Mas dan RW 3, 6, 14, 18, 19, 20 Kelurahan Depok di
wilayah kerja Puskesmas Pancoran Mas periode Januari-Desember 2014.
6. Diketahuinya prioritas dari alternatif pemecahan masalah program PJB di RW
2, 4, 7, 12, 13, 19 Kelurahan Pancoran Mas dan RW 3, 6, 14, 18, 19, 20
Kelurahan Depok di wilayah kerja Puskesmas Pancoran Mas periode JanuariDesember 2014.

I.4.

MANFAAT
I.4.1. Bagi Puskesmas
1. Mendapatkan gambaran dalam mengidentifikasi masalah dan penyebab
masalah program PJB di Puskesmas Pancoran Mas.
2. Mendapatkan alternatif pemecahan masalah program PJB di Puskesmas
Pancoran Mas guna pencapaian yang lebih maksimal.
3. Sebagai bahan kajian bagi penentu kebijakan dalam program PJB selanjutnya
di Puskesmas Pancoran Mas dalam upaya peningkatan kualitas kerja.
I.4.2. Bagi Masyarakat
1. Menambah informasi bagi masyarakat mengenai cara penularan dan dampak
yang ditimbulkan dari kasus DBD serta upaya pencegahannya di lingkungan
tempat tinggal.
2. Meningkatkan pengetahuan, kesadaran dan ketrampilan masyarakat dengan
mensosialisasikan program PJB yang dilaksanakan di wilayah kerja
Puskesmas Pancoran Mas.
I.4.3. Bagi Peneliti
1. Sebagai penerapan aplikasi ilmu pengetahuan yang telah didapat selama
menjalani pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Pembangunan
Nasional Veteran Jakarta.
2. Mendapatkan pengalaman belajar mengenai manajemen dan evaluasi suatu
program di Puskesmas Pancoran Mas.
3. Mendapatkan informasi mengenai pelaksanaan program PJB di Puskesmas
Pancoran Mas periode Januari-Desember 2014, mulai dari identifikasi masalah
sampai memberikan alternatif pemecahan masalah.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)
II.1.1. Definisi
DBD adalah penyakit infeksi akut yang seringkali muncul dengan gejala
sakit kepala, sakit pada tulang, sendi dan otot serta ruam merah pada kulit. DBD
ditandai dengan empat manifestasi klinik utama, yakni demam tinggi,
perdarahan, pembengkakan hati dan pada beberapa kasus yang parah terjadi
kegagalan sirkulasi darah. DBD adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
virus dengue dan ditularkan melalui perantara vektor nyamuk Aedes aegypti dan
Aedes albopictus yang ditandai dengan demam mendadak 2-7 hari tanpa
penyebab yang jelas, lelah/lesu, gelisah, nyeri ulu hati disertai dengan
perdarahan pada kulit berupa bintik-bintik (ptekie), lebam (ekimosis) atau ruam
(purpura), dapat pula terjadi mimisan, muntah darah, penurunan kesadaran atau
renjatan (syok). Penyakit ini merupakan salah satu masalah kesehatan utama
karena dapat menyerang semua golongan umur dan menyebabkan kematian.
II.1.2. Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh virus dengue yang termasuk dalam genus
Flavivirus grup famili Togaviridae. Virus ini mempunyai ukuran diameter
sebesar 30 nanometer dan terdiri dari empat serotip, yakni dengue (DEN) 1,
DEN 2, DEN 3 serta DEN 4. Virus yang ditularkan pada manusia melalui
gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus, pada suhu 30C
memerlukan 8-10 hari untuk menyelesaikan masa inkubasi ekstrinsik dari
lambung sampai kelenjar ludah nyamuk tersebut. Sebelum demam muncul,
virus ini sudah terlebih dahulu berada dalam darah 1-2 hari. Selanjutnya
penderita berada dalam kondisi viremia selama 4-7 hari.
II.1.3. Penularan
Virus dengue (arbovirus) ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk
Aedes aegypti betina, dapat pula melalui gigitan nyamuk Aedes albopictus
namun nyamuk tersebut bukan sebagai vektor utama di daerah perkotaan. Sekali
terinfeksi dengan arbovirus, maka seumur hidup nyamuk akan tetap terinfeksi

dan dapat terus menularkan virus tersebut pada manusia. Beberapa faktor yang
berkaitan dengan peningkatan penularan antara lain:
a. Vektor: perkembangbiakan vektor, kepadatan vektor di lingkungan,
transportasi vektor dari satu tempat ke tempat lain.
b. Host: terdapatnya penderita di lingkungan, mobilisasi dan paparan terhadap
nyamuk.
c. Lingkungan: curah hujan, suhu, sanitasi dan kepadatan penduduk (Widiyono,
2011).
II.1.4. Patogenesis
Ada dua perubahan patofisiologi utama yang terjadi pada DBD. Pertama
adalah peningkatan permeabilitas vaskular yang meningkatkan kehilangan
plasma

dari

kompartemen

vaskular.

Keadaan

ini

mengakibatkan

hemokonsentrasi, tekanan nadi rendah dan tanda syok lainnya. Perubahan kedua
adalah gangguan pada hemostatis yang mencakup perubahan vaskular,
trombositopenia dan koagulopati.
Virus bereplikasi di nodus limfatikus regional dan menyebar ke jaringan
lain, terutama ke sistem retikuloendotelial dan kulit secara hematogen. Tubuh
akan membentuk kompleks virus-antibodi dalam sirkulasi darah sehingga akan
mengaktivasi sistem komplemen yang berakibat dilepaskannya anafilaktosin
C3a-C5a sehingga permeabilitas dinding pembuluh darah meningkat. Akan
terjadi juga agregasi trombosit yang melepaskan ADP, trombosit melepaskan zat
vasoaktif yang bersifat meningkatkan permeabilitas kapiler dan melepaskan
trombosit faktor III yang merangsang koagulasi intrvaskular. Terjadinya aktivasi
faktor XII akan menyebabkan pembekuan intravaskular yang meluas dan
meningkatkan permeabilitas dinding pembuluh darah. Defek trombosit terjadi
baik kualitatif dan kuantitatif. Beberapa trombosit yang bersirkulasi selama fase
akut DBD tidak dapat berfungsi normal. Oleh karena itu, meskipun penderita
dengan jumlah trombosit >100.000/mm3 mungkin masih mengalami

masa

perdarahan panjang.

II.1.5. Kriteria Diagnostik


1. Gejala Klinik dan Pemeriksaan Fisik
a. Demam, yang terjadi secara mendadak dan berlangsung 2-7 hari
kemudian turun menuju suhu normal atau lebih rendah. Demam dapat
disertai dengan gejala klinik yang tidak spesifik seperti anoreksia, nyeri
tulang dan sendi serta rasa lemah.
b. Perdarahan, yang biasanya terjadi pada hari kedua demam dan umumnya
pada kulit, dapat pula berupa hasil uji bendung yang positif. Selain itu
dapat juga dijumpai adanya epistaksis, perdarahan pada gusi, hematemesis
maupun melena.
c. Hepatomegali, yang teraba pada permulaan demam. Bila terjadi
peningkatan hepatomegali dan hati teraba kenyal kemungkinan akan
terjadi renjatan pada penderita.
d. Renjatan (syok), yang biasanya terjadi pada hari ketiga sejak penderita
sakit, dimulai dengan tanda-tanda kegagalan sirkulasi yaitu kulit lembab,
dingin dan sianosis. Bila syok terjadi pada masa demam, maka biasanya
menunjukkan prognosis yang buruk. Nadi menjadi lemah dan cepat,
bahkan sering tidaj teraba. Tekanan darah sistolik akan menurun sampai di
bawah 80 mmHg (Shepherd, 2007).

Gambar 1. Siklus manifestasi klinis DBD

2. Pemeriksaan Laboratorium
8

a. Trombositopenia, jumlah trombosit dalam darah mengalami penurunan


drastis hingga mencapai 100.000/mm3 atau dapat lebih rendah lagi.
b. Hemokonstrasi, adanya rembesan plasma karena peningkatan
permeabilitas vaskular dimanifestasikan sebagai berikut:
1) Peningkatan hematokrit 20% di atas rata-rata usia dan jenis kelamin
2) Penurunan hematokrit setalah tindakan penggantian volume (resusitasi)
20% dari sebelumnya
3) Tanda rembesan plasma seperti efsi pelura, asites dan hipopreteinemia
(WHO, 2009).
3. Pemeriksaan Serologis
a. IgM, yang terdeteksi mulai hari ketiga sampai kelima, meningkat sampai
minggu ketiga, menghilang setelah 60-90 hari.
b. IgG, pada infeksi primer IgG mulai terdeteksi pada hari ke 14, sedangkan
pada infeksi sekunder pada hari kedua.
c. NS 1, yang terdeteksi pada awal demam hari pertama sampai hari ketiga.
Sensitivitas antigen NS 1 berkisar antara 60-90% dan spesifitasnya
mencapai 100%, sama tingginya dengan spesifitas gold standar kultur
virus. Hasil negatif antigen NS 1 tidak menyingkirkan adanya infeksi
virus dengue (Sutedjo, 2007).
II.1.6. Klasifikasi
Menurut WHO, derajat DBD dibagi menjadi empat stadium, yakni:
1. Derajat I (ringan)
Bila demam disertai dengan gejala konstitusional non spesifik. Satu-satunya
manifestasi perdarahan adalah hasil uji bendung positif dan atau mudah
memar.
2. Derajat II (sedang)
Gejala penderita pada derajat I ditambah dengan manifestasi perdarahan
spontan seperti epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan melena.
3. Derajat III (berat)
Gejala penderita pada derajat II ditambah dengan manifestasi kegagalan
sirkulasi darah seperti tekanan darah menurun, tekanan nadi menyempit, kulit
dingin dan lembab dan gelisah.
4. Derajat IV (sangat berat)

Bila terjadi syok berat dengan tekanan darah tidak teratur dan nadi sulit
teraba (Suhendro, 2009).
II.1.7. Penatalaksanaan
Tidak ada terapi spesifik untuk DBD, prinsip utama adalah terapi suportif.
Pemeliharaan volume cairan sirkulasi merupakan tindakan yang paling penting
dalam penanganan DBD. Asupan cairan pasien harus tetap dijaga terutama
cairan oral. Bila asupan cairan oral pasien tidak mampu dipertahankan, maka
dibutuhkan tambahan cairan melalui intravena untuk mencegah kebocoran
plasma yang berlebihan dan untuk mengganti cairan intravaskular.

Gambar 2. Observasi dan pemberian cairan suspek DBD dewasa di IGD

Gambar 3. Pemberian cairan suspek DBD dewasa di ruang rawat

10

Gambar 4. Penatalaksaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20%


11

Gambar 5. Penatalaksanaan syok dengue dewasa

12

II.2. VEKTOR PENULAR DBD


Vektor penular DBD adalah nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Kedua
spesies ini ditemukan hampir di seluruh wilayah Indonesia, kecuali di ketinggian >1000
m di atas permukaan laut. Di Indonesia Aedes aegypti merupakan vektor utama yang
paling berperan dalam penularan penyakit karena nyamuk ini hidup di dalam dan
sekitar rumah sehingga kesempatan untuk kontak dengan manusia lebih besar,
sedangkan Aedes albopictus hidup di kebun. Nyamuk Aedes aegypti biasa hidup di
lingkungan gelap tersembunyi sebagai tempat peristirahatannya. Larva nyamuk ini
dapat ditemukan di dalam atau di dekat perumahan, di dalam kaleng atau tempat-tempat
penyimpanan air yang relatif bersih yang digunakan untuk minum atau mandi.
Sedangkan nyamuk Aedes albopictus berkembangbiak di dalam lubang-lubang pohon,
potongan batang bambu dan buah kepala yang terbuka. Larvanya dapat hidup di dalam
kaleng dan tempat penampungan air lainnya.
II.2.1. Morfologi
Nyamuk Aedes aegypti dewasa berukuran kecil, memiliki warna dasar
hitam dengan bintik-bintik putih di badannya (terutama pada kaki) dan dikenal
dari bentuk morfologinya yang khas sebagai nyamuk yang mempunyai
gambaran lira (lyre form) yang putih pada punggungnya. Oksiput bersisik lebar,
berwarna putih terletak memanjang. Tibia berwarna hitam seluruhnya. Sayap
bersisik hitam dan mempunyai ukurtan selebar 2-3 mm. Sifat atau ciri-ciri
nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor utama DBD sebagai berikut:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

Sangat domestik
Senang tinggal di dalam ruangan
Senang bersitirahat di tempat yang gelap dan lembab
Senang hinggap di benda-benda yang menggantung
Menggigit pada pagi hari (09-12) dan sore hari (15-17)
Hidup tersebar di daerah tropis dan dataran rendah
Jarak terbang rata-rata 40-100 m.

II.2.2. Siklus Hidup


Nyamuk Aedes aegypti mengalami metamorfosis sempurna, yaitu telur
- larva/jentik - pupa/kepompong - nyamuk dewasa. Nyamuk betina meletakkan
telurnya di atas permukaan air dalam keadaan menempel pada dinding tempat
perindukannya. Stadium telur, larva dan pupa hidup di air. Seekor nyamuk
betina dapat meletakkan rata-rata 100 butir telur setiap kali bertelur. Telur
nyamuk Aedes aegypti berwarna hitam dan berukuran sangat kecil sekitar 0,70,8 mm. Telur biasanya menempel pada dinding tempat perindukan. Pada
13

umumnya telur akan menetas menjadi larva/jentik biasanya sekitar dua hari
setelah telur terendam air.
Stadium larva/jentik berlangsung 2-4 hari. Jentik nyamuk Aedes aegypti
selalu bergerak aktif di dalam air, gerakannya naik turun dari bawah ke atas
secara berulang. Gerakan ini dilakukan untuk bernapas. Jika terkena cahaya,
jentik akan bergerak menjauhi sumber cahaya. Pada waktu istirahat, posisi
jentik berada tegak lurus dengan permukaan air. Sesuai dengan pertumbuhan
jentik nyamuk Aedes aegypti, ada empat tingkatan (instar) jentik yang
dibedakan berdasarkan ukuran tubuh, yakni instar I (1-2 mm), instar II (2,5-3,5
mm), instar III (ukuran lebih besar sedikit dari instar II) dan instar IV (5 mm).
Jentik biasanya hidup di air bersih yang tergenang, tidak terkena sinar matahari
dan tidak berhubungan langsung dengan tanah. Jentik sering ditemukan di bak
mandi, lokasi pengumpulan barang bekas, tempat air untuk menyiram tanaman
dan kendi. Jentik akan berubah menjadi pupa setelah 6-8 hari.
Stadium berikutnya adalah pupa berbentuk koma yang berlangsung dua
hari pada suhu 24-27C. Gerakannya lambat dan sering berada di atas
permukaan air. Setelah 1-2 hari akan berubah menjadi dewasa dan melanjutkan
siklus berikutnya. Dalam suasana yang optimal, perkembangan dari telur
menjadi dewasa memerlukan waktu sedikitnya sembilan hari. Umur nyamuk
betina diperkirakan mencapai 2-3 bulan.
Untuk keperluan hidupnya, nyamuk Aedes aegypti betina menghisap
darah. Darah manusia lebih disukai daripada darah binatang (antropofilik).
Nyamuk Aedes aegypti menghisap darah manusia setiap dua hari. Protein yang
terkandung dalam darah manusia digunakan untuk mematangkan telur yang
dikandungnya agar dapat menetas jika dibuahi oleh nyamuk Aedes aegypti
jantan. Berbeda dengan nyamuk Aedes aegypti betina, nyamuk Aedes aegypti
jantan biasanya menghisap sari bunga atau tumbuhan. Setelah menghisap darah,
nyamuk akan mencari tempat hinggap yang digunakan untuk istirahat. Tempat
yang disukai nyamuk untuk beristirahat berupa benda-benda yang tergantung
seperti

pakaian,

kelambu,

gorden

atau

tumbuhan

di

dekat

tempat

perkembangbiakannya yang gelap dan lembab. Setelah beristirahat, nyamuk


akan bertelur dan menghisap darah kembali. Berbeda dengan nyamuk lainnya,
nyamuk Aedes aegypti memiliki kebiasaan menghisap darah secara berulang
kali dalam satu siklus gonotropik. Satu siklus gonotropik adalah waktu yag
14

diperlukan untuk menyelesaikan perkembangan telur mulai dari nyamuk


menghisap darah sampai telur dikeluarkan, biasanya berlangsung 3-4 hari. Hal
inilah yang membuat nyamuk Aedes aegypti sangat efektif dalam menularkan
DBD (Hadi, 2012).
II.2.3. Ekologi Vektor
Ekologi vektor bertujuan untuk mempelajari hubungan antara vektor dan
lingkungannya atau mempelajari bagaimana pengaruh lingkungan terhadap
vektor. Lingkungan yang mempengaruhi vektor ada dua macam, yakni
lingkungan fisik dan lingkungan biotik.
1. Lingkungan fisik
a. Jarak antara rumah dan konstruksi rumah
Jarak rumah mempengaruhi penyebaran nyamuk dari satu rumah ke
rumah lain. Semakin dekat jarak antar rumah, semakin mudah nyamuk
menyebar ke rumah sebelah. Bahan-bahan pembuat rumah, konstruksi
rumah, warna dinding dan pengaturan barang-barang dalam rumah
menyebabkan rumah tersebut menjadi disenangi atau tidak oleh nyamuk.
b. Macam kontainer
Macam kontainer termasuk pula letak kontainer, bahan kontainer, warna,
bentuk, tutup dan asal air pada kontainer mempengaruhi nyamuk betina
dalam pemilihan tempat bertelur.
c. Ketinggian tempat
Setiap kenaikan 100 m suatu tempat, makan selisih suhu udara dengan
tempat semula adalah setengah derajat celcius. Bila perbedaan cukup
tinggi, maka perbedaan suhu juga akan cukup banyak dan mempengaruhi
pula faktor-faktor lain, termasuk penyebaran nyamuk. Pada ketinggian
1000 m di atas permukaan laut, tidak ditemukan vektor penular DBD.
d. Iklim
Iklim adalah suatu komponen fisik yan terdiri atas suhu udara,
kelembaban nisbi udara, curah hujan dan kecepatan angin. Rata-rata suhu
optimum untuk pertumbuhan nyamuk adalah 25-27C. Pertumbuhan
nyamuk akan berhenti sama sekali pada suhu <10C atau >40C. Umur
nyamuk juga dipengaruhi oleh kelembaban udara. Pada kelembaban
<60%, umur nyamuk akan menjadi pendek, tidak dapat menjadi vektor
karena tidak cukup waktu untuk perpindahan virus dari lambung ke
15

kelenjar ludah nyamuk. Curah hujan mempengaruhi dua cara yakni


turunnya temperatur dan naiknya kelembaban nisbi udara. Temperatur dan
kelembaban nisbi udara selama musim hujan sangat kondusif untuk
kelangsungan

hidup

nyamuk

dewasa

dan

juga

meningkatkan

kemungkinan hidup nyamuk yang terinfeksi. Secara tidak langsung, angin


akan mempengaruhi penguapan air dan suhu udara. Angin juga
berpengaruh pada penerbangan nyamuk. Bila kecepatan angin 11-14
m/detik, hal ini akan menghambat penerbangan nyamuk (Dini AMV,
2010).
2. Lingkungan biotik
Lingkungan biotik yang mempengaruhi penularan DBD terutama adalah
banyaknya tanaman pekarangan yang mempengaruhi pencahayaan dan
kelembaban di sekitar rumah. Kelembaban yang tinggi dan kurangnya
pencahayaan dalam rumah merupakan tempat yang disenangi nyamuk Aedes
aegypti untuk beristirahat.
II.2.4. Kepadatan Vektor
Monitoring kepadatan populasi nyamuk Aedes aegypti sangat penting
untuk membantu dalam mengadakan evaluasi adanya ancaman DBD di suatu
wilayah. Untuk mengetahui situasi vektor DBD, dilakukan pemantauan vektor
DBD yang mencakup kegiatan survei di rumah penduduk yang dipilih secara
acak. Kegiatan survei yang biasa dilakukan adalah survei nyamuk dewasa dan
survei jentik.
1. Survei nyamuk dewasa
Survei nyamuk dewasa dilakukan dengan cara penangkapan nyamuk umpan
orang di dalam dan di luar ruangan. Masing-masing dilakukan selama 20
menit per rumah dan penangkapan nyamuk yang hinggap di dinding
dilakukan dengan cara yang sama. Penangkapan nyamuk menggunakan alat
yang disebut aspirator.

2. Survei jentik
Survei jentik dilakukan dengan cara sebagai berikut:
16

a. Memeriksa semua tempat maupun bejana yang dapat menjadi tempat


perindukan nyamuk Aedes aegypti dengan mata telanjang untuk
mengetahui adanya jentik.
b. Pada tempat penampungan air yang berukuran besar, sebaiknya
menunggu sekitar satu menit untuk memastikan adanya jentik bila
penglihatan pertama tidak ditemukan adanya jentik.
c. Pada tempat penampungan air yang berukuran kecil seperti vas bunga,
pot tanaman, botol yang airnya keruh sebaiknya dipindahkan terlebih
dahulu ke wadah yang agak luas sehingga dapat dilihat adanya jentik.
d. Saat memeriksa jentik di tempat yang agak gelap atau airnya keruh,
sebaiknya menggunakan senter.
Dalam program pemberantasan DBD, survei jentik yang biasanya
digunakan adalah dengan cara larva tunggal dan visual. Cara larva tunggal yakni
dilakukan pengambilan satu jentik di setiap tempat genangan air yang
ditemukan jentik untuk diidentifikasi lebih lanjut. Sedangkan cara visual yakni
melihat ada atau tidaknya jentik di setiap tempat genangan air yang diperiksa
tanpa mengambil jentiknya. Ukuran yang dipakai untuk mengetahui kepadatan
jentik Aedes aegypti adalah:
a. Angka bebas jentik (ABJ) :
Jumlah rumah/bangunan yang tidak ditemukan jentik x100%
Jumlah rumah/bangunan yang diperiksa
b. Rumah indeks (HI) :
Jumlah rumah/bangunan yang ditemukan jentik x100%
Jumlah rumah/bangunan yang diperiksa
II.2.5. Pengendalian Vektor
1. Surveilans tempat perindukan vektor
a. Pendataan rumah/bangunan di wilayah kerja
b. Pemeriksaan tempat perindukan vektor pada rumah/bangunan
c. Pengolahan data hasil pemeriksaan tempat perindukan vektor
d. Rekomendasi kepada petugas kesehatan dan sektor terkait
e. Laporan kepada atasan langsung dan sektor terkait
f. Penyebarluasan
(sosialisasi,
diseminasi
informasi)

hasil

surveilans/pengamatan kepada lintas program dan lintas sektor maupun


swasta dan masyarakat.
2. Pengendalian vektor
a. Investigasi rumah/bangunan dan lingkungan yang potensial jentik di
wilayah kerja melalui survei lingkungan
17

b. Menentukan jenis pengendalian vektor sesuai dengan permasalahan di


wilayah kerja.
3. Penyuluhan dan penggerakan masyarakat
a. Melakukan identifikasi masalah sesuai dengan sasaran
b. Menentukan jenis media penyuluhan sesuai dengan sasaran
c. Menentukan materi penyuluhan pengendalian vektor
d. Melaksanakan penyuluhan dan penggerakan masyarakat

dalam

pengendalian vektor khususnya tempat perindukan vektor


e. Menghimpun umpan balik yang diberikan oleh sasaran.
4. Sosialisasi, advokasi dan kemitraan
a. Melakukan pertemuan untuk sosialisasi terhadap lintas program, lintas
sektor terkait, swasta dan masyarakat
b. Menentukan jumlah dan jenis

peraturan/pedoman

yang

akan

disosialisasikan
c. Melakukan advokasi terhadap pengambilan keputusan di tingkat
kecamatan maupun kabupaten/kota
d. Menjalin jejaring kerjasama baik terhadap lintas sektor maupun swasta
e. Hasil sosialisasi dilaporkan kepada atasan langsung atau sektor terkait.
5. Monitoring dan evaluasi
a. Pemantauan berkala terhadap hasil surveilans tempat perindukan vektor
b. Pembinaan teknis terhadap pemerintah (dinas kesehatan, puskesmas),
swasta dan masyarakat.
6. Peningkatan sumber daya manusia (SDM)
a. Menentukan jenis pelatihan yang sesuai dengan peserta yang dilatih
b. Melaksanakan pelatihan pengendalian vektor.

II.2.6. Pemberantasan vektor penular


Pemberantasan vektor penular (Aedes aegypti) merupakan cara utama
untuk menanggulangi DBD. Hal ini disebabkan karena belum tersedianya
vaksin maupun obat untuk membasmi virusnya. Pemberantasan nyamuk Aedes
aegypti dapat dilakukan terhadap nyamuk dewasa maupun jentiknya.
1. Pemberantasan nyamuk Aedes aegypti dewasa
Pemberantasan nyamuk Aedes aegypti dewasa dilakukan dengan cara
penyemprotan/pengasapan dengan insektisida (fogging). Insektisida yang
digunakan adalah golongan organofosfat (malathion dan fenitrothion),
pyretoid (lamba sihalotrin dan pernetrin) serta karbanat. Fogging dilakukan
dalam dua siklus dengan interval satu minggu untuk membatasi penularan
virus. Penyemprotan dengan insektisida ini dalam waktu singkat dapat
membatasi

penularan,

namun

tindakan

ini

perlu

diikuti

dengan
18

pemberantasan jentiknya agar populasi vektor penular DBD dapat ditekan


(Sayono, 2012).
2. Pemberantasan jentik Aedes aegypti
Pemberatasan jentik Aedes aegypti dikenal dengan istilah Pemberantsan
Sarang Nyamuk (PSN) yang dilakukan dengan cara:
a. Kimia
Memberantas jentik dengan menggunakan insektisida (larvasida) yang
lebih dikenal dengan nama abatisasi. Larvasida yang digunakan adalah
temephos. Formulasi temephos yang digunaka adalah granules (butiran
halus seperti pasir) dan dosis yang digunakan sebanyak 10 gram (satu
sendok makan) tiap 100 liter air. Temephos ini mempunyai efek residu
selama tiga bulan. Oleh karena itu, pemakaian temephos harus rutin
dilakukan secara periodik.
b. Biologi
Secara biologi, pemberantasan jentik dilakukan dengan cara memelihara
ikan pemakan jentik pada tempat-tempat yang menjadi penampung air
seperti kolam dan vas bunga. Ikan yang sebaiknya digunakan antara lain
jenis ikan kepala timah, ikan tempalo, ikan gupi dan ikan cupang.
c. Fisik
Cara ini dikenal dengan sebutan 3M (menguras, menutup dan mengubur).
Pengurasan dilakukan pada tempat-tempat penampungan air seperti bak
mandi, bak air, tempayan, bak tempat wudhu, vas bunga, tempat minum
burung dan tempat penampung air kulkas. Hal ini harus dilakukan
sekurang-kurangnya seminggu sekali. Penutupan tempat penampungan air
juga turut dilakukan dengan cara menutup rapat agar nyamuk tidak dapat
masuk untuk berkembangbiak. Lubang bambu bekas ditebang juga harus
ditutup dengan tanah atau adonan semen. Terakhir, mengubur barangbarang bekas yang dapat menjadi tempat berkembangbiak nyamuk seperti
ban bekas, kaleng dan botol bekas (Tamza, 2013).
II.2.7. Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB)
PJB merupakan pemeriksaan tempat penampungan air dan tempat
perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti untuk mengetahui adanya jentik
nyamuk. Kegiatan ini dilakukan secara teratur oleh petugas kesehatan atau kader
atau jumantik di rumah dan tempat-tempat umum. Selain melakukan
19

pemeriksaan jentik, petugas memberikan penyuluhan mengenai PSN kepada


masyarakat atau pengelola tempat umum. Dengan kunjungan yang berulang
diharapkan masyarakat dapat termotivasi untuk melaksanakan PSN secara
teratur. Tahapan pelaksanaan program PJB sebagai berikut:
1. Persiapan
a. Pemetaan dan pengumpulan data penduduk, rumah/bangunan dan
lingkungan oleh puskesmas
b. Pertemuan/pendekatan:
(1) Pendekatan lintas sektor (RT, RW, swasta, LSM, tokoh masyarakat)
(2) Pertemuan singkat kelurahan yang dihadiri lintas sektor
(3) Pertemuan singkat RT yang dihadiri oleh warga setempat.
2. Melakukan kunjungan rumah
a. Penyusunan rencana waktu kunjungan rumah
b. Konseling tentang DBD (cara penularan, gejala klinik, dampak yang
ditimbulkan, komplikasi yang mungkin terjadi dan upaya pencegahannya)
c. Mengajak tuan rumah bersama-sama memeriksa tempat penampungan air
dan barang-barang yang menjadi tempat berkembangbiaknya nyamuk,
baik di dalam maupun luar rumah.

3. Melakukan pemeriksaan jentik


a. Pemeriksaan bak mandi, tempayan dan tempat penampungan air lainnya
b. Jika tidak tampak, tunggu satu menit. Pemeriksaan positif jika ditemukan
jentik yang muncul ke permukaan air
c. Gunakan senter untuk pemeriksaan di tempat gelap
d. Lakukan juga pemeriksaan di vas bunga, tempat minum burung, kalengkaleng plastik, ban bekas dan lainnya.
4. Mencatat dan melaporkan hasil
a. Tulis tanggal pemeriksaan, nama petugas pemeriksa, nama wilayah
bangunan yang diperiksa dan hasil pemeriksaannya
b. Laporkan hasil pemeriksaan ke puskesmas setiap bulannya.
Program PJB di wilayah kerja Puskesmas Pancoran Mas berada di bawah
tanggung jawab koordinator sanitasi dan kesling Puskesmas Pancoran Mas.
Program PJB dilakukan oleh dua orang kader dari setiap RW yang merupakan
perwakilan warga yang telah menjalani pelatihan PJB sebelumnya. Kader
tersebut melaksanakan program PJB empat kali dalam sebulan kemudian
dilaporkan ke koordinator sanitasi dan kesling Puskesmas Pancoran Mas setiap
bulannya. Program PJB dipantau langsung oleh koordinator sanitasi dan kesling
Puskesmas Pancoran Mas setiap Jumat di kedua kelurahan. Pencatatan dan
20

pelaporan bulanan program PJB dilakukan oleh koordinator sanitasi dan kesling
Puskesmas Pancoran Mas sebagai bahan evaluasi tahunan Puskesmas Pancoran
Mas. Berikut ini adalah tolok ukur pencapaian yang digunakan sebagai landasan
dalam program PJB Puskesmas Pancoran Mas:
Tabel 1. Variabel dan tolok ukur penilaian
No
1

Variabel
Cakupan
angka bebas
jentik (ABJ)
Laporan
kasus yang
ditindaklanjut
i dengan
penyelidikan
epidemiologi
(PE)
Pencatatan
dan
pelaporan
Angka
morbiditas
dan
mortalitas
DBD

Definisi operasional atau rumus

Tolok ukur
keberhasilan
>95%

Jumlah bangunan yang tidak ada jentik x


100%
Jumlah bangunan yang diperiksa jentiknya
Jumlah kasus yang ada di wilayah kerja
100% laporan
puskesmas termasuk kasus yang ditemukan kasus
di rumah sakit.
ditindaklanjuti
dengan PE

Pencatatan dan pelaporan tahun


sebelumnya digunakan sebagai masukan
dalam upaya perbaikan program
selanjutnya
Morbiditas: banyaknya jumlah penderita
DBD
Mortalitas: banyaknya jumlah penderita
yang meninggal akibat DBD

Dilakukan
evaluasi
program
Mengalami
penurunan dari
tahun ke tahun

Sumber: Peraturan Pemerintah Daerah No. 6 Tahun 2007 tentang Pengendalian DBD

II.3. SISTEM
II.3.1. Definisi
Kata sistem awalnya berasal dari bahasa Yunani (sustma) dan bahasa
Latin (systma). Beberapa macam pengertian dari sistem antara lain:
a)

Sistem adalah suatu struktural konseptual yang terdiri dari fungsi-fungsi


yang saling berhubungan yang bekerja sebagai satu unit organik untuk
mencapai keluaran yang diinginkan secara efektif dan efisien.

b)

Sistem adalah gabungan dari elemen-elemen yang saling dihubungkan oleh


suatu proses atau struktur dan berfungsi sebagai satu kesatuan organisasi
dalam upaya menghasilkan sesuatu yang telah ditetapkan.

21

c)

Sistem adalah kumpulan dari bagian-bagian yang berhubungan dan


membentuk satu kesatuan yang majemuk, dimana masing-masing bagian
bekerja sama secara bebas dan terkait untuk mencapai sasaran kesatuan
dalam suatu situasi yang majemuk pula.

d)

Sistem adalah suatu kesatuan yang utuh dan terpadu dari berbagai elemen
yang berhubungan serta saling mempengaruhi yang dengan sadar
dipersiapkan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Sesuatu disebut sebagai sistem apabila ia memiliki beberapa ciri pokok

sistem. Ciri-ciri pokok yang dimaksud banyak macamnya, jika disederhanakan


dapat dibedakan atas empat macam yaitu (Anwar, 2008):
1. Dalam sistem terdapat bagian atau elemen yang satu sama lain saling
berhubungan dan mempengaruhi yang membentuk satu kesatuan, dalam arti
semuanya berfungsi untuk mencapai tujuan yang sama yang telah ditetapkan.
2. Fungsi yang diperankan oleh masing-masing bagian atau elemen yang
membentuk satu kesatuan tersebut adalah dalam rangka mengubah masukan
menjadi keluaran yang direncanakan.
3. Dalam melaksanakan fungsi tersebut, semuanya bekerja sama secara bebas
namun terkait, dalam arti terdapat mekanisme pengendalian yang
mengarahkannya agar tetap berfungsi sebagaimana yang telah direncanakan.
4. Sekalipun sistem merupakan satu kesatuan yang terpadu, bukan berarti ia
tertutup terhadap lingkungan.
II.3.2. Unsur Sistem
Sistem terbentuk dari bagian atau elemen yang saling berhubungan dan
mempengaruhi. Adapun yang dimaksud dengan bagian atau elemen tersebut
dikelompokan ke dalam enam unsur yaitu:
1. Masukan (input)
Masukan adalah kumpulan bagian atau elemen yang terdapat dalam sistem
dan yang diperlukan untuk dapat berfungsinya sistem tersebut. Dalam sistem
pelayanan

kesehatan,

masukan

terdiri

atas

tenaga,

dana,

metode,

sarana/material.
2. Proses (process)
Proses adalah kumpulan bagian atau elemen yang terdapat dalam sistem dan
yang berfungsi untuk mengubah masukan menjadi keluaran yang

22

direncanakan. Dalam sistem pelayanan kesehatan terdiri atas perencanaan,


pengorganisasian, pelaksanaan dan penilaian.
3. Keluaran (output)
Keluaran adalah kumpulan bagian atau elemen yang dihasilkan dari
berlangsungnya proses dalam sistem.
4. Umpan balik (feed back)
Umpan balik adalah kumpulan bagian atau elemen yang merupakan keluaran
dari sistem dan sekaligus sebagai masukan bagi sistem tersebut.
5. Dampak (impact)
Dampak adalah akibat yang dihasilkan oleh keluaran suatu sistem.
6. Lingkungan (environment)
Lingkungan adalah dunia diluar sistem yang tidak dikelola olah sistem tetapi
mempunyai pengaruh besar terhadap sistem.

LINGKUNG
AN
MASUKA
N

PROSES

KELUARAN

DAMPA
K

UMPAN
BALIK
Bagan 1. Hubungan unsur-sistem

II.3.3. Pendekatan Sistem


Dibentuknya suatu sistem pada dasarnya untuk mencapai suatu tujuan
tertentu yang telah ditetapkan. Untuk terbentuknya sistem tersebut perlu
dirangkai berbagai unsur atau elemen sedemikian rupa sehingga secara
keseluruhan membentuk suatu kesatuan dan secara bersama-sama berfungsi
untuk mencapai tujuan kesatuan. Apabila prinsip pokok atau cara kerja sistem
ini diterapkan pada waktu menyelenggarakan pekerjaan administrasi, maka
prinsip pokok atau cara kerja ini dikenal

dengan nama pendekatan sistem

(system approach). Pada sistem ini batasan tentang pendekatan sistem banyak
macamnya, beberapa yang terpenting adalah :

23

1.

Pendekatan sistem adalah penerapan suatu prosedur


yang logis dan rasional dalam merancang suatu rangkaian komponenkomponen yang berhubungan sehingga dapat berfungsi sebagai satu kesatuan
mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

2.

Pendekatan

sistem

adalah

suatu

strategi

yang

menggunakan metode analisis, desain dan manajemen untuk mencapai tujuan


yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien.
3.

Pendekatan sistem adalah penerapan dari cara berpikir


yang sistematis dan logis dalam membahas dan mencari pemecahan dari
suatu masalah atau keadaan yang dihadapi.

II.4. EVALUASI PROGRAM


Menurut The American Public Association definisi evaluasi adalah suatu proses
untuk menentukan nilai atau jumlah keberhasilan dari pelaksanaan suatu program dalam
mencapai tujuan yang telah ditetapkan, sedangkan menurut The International Clearing
House on Adolescent Fertility Control For Population Options, evaluasi adalah suatu
yang teratur dan sistematis dalam membandingkan hasil yang dicapai dengan tolok ukur
dan kriteria yang telah ditetapkan, dilanjutkan dengan pengambilan kesimpulan serta
penyusunan saran-saran, yang dapat dilakukan pada setiap tahap dari pelaksanaan
program. Menurut Riecken, evaluasi adalah pengukuran terhadap akibat yang
ditimbulkan dari dilaksanakannya program dalam mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Evaluasi program dapat dilakukan pada setiap tahap program tergantung
tujuannya, yakni:
1. Evaluasi formatif (dilakukan pada tahap perencanaan program)
Tujuannya adalah meyakinkan bahwa rencana yang akan disusun benar-benar telah
sesuai dengan masalah yang ditemukan sehingga nantinya dapat menyelesaikan
masalah tersebut.
2. Evaluasi promotif (dilakukan pada tahap pelaksanaan program)

24

Tujuannya untuk mengukur apakah program yang sedang dilaksanakan tersebut


telah sesuai dengan rencana atau tidak dan apakah terjadi penyimpangan yang dapat
merugikan tujuan program.
3. Evaluasi sumatif (dilakukan pada tahap akhir program)
Tujuannya untuk mengukur keluaran atau dampak bila memungkinkan. Jenis
evaluasi ini yang dilakukan dalam makalah ini.
Ruang lingkup evaluasi program secara sederhana dibedakan menjadi empat
kelompok, yakni evaluasi terhadap masukan, proses, keluaran dan dampak secara
umum. Evaluasi bertujuan untuk menilai keberhasilan program serta meningkatkan
keberhasilan program di masa yang akan datang. Langkah-langkah yang ditempuh
dalam melakukan evaluasi terhadap suatu program meliputi:
1. Penentuan topik/judul
2. Penentuan indikator keluaran
3. Pentuan tolok ukur/nilai dari tiap indikator keluaran
4. Temukan pencapaian/hasil dari masing-masing indikator keluaran
5. Bandingkan pencapaian masing-masing indikator keluaran program dengan tolok
ukurnya
6. Penentuan masalah (kesenjangan antara pencapaian dengan tolok ukurnya)
7. Penentuan prioritas masalah
8. Penentuan penyebab masalah
9. Pembuatan kerangka konsep dari masalah yang diprioritaskan
10. Penentuan prioritas penyebab masalah
11. Pembuatan alternatif jalan keluar
12. Penentuan prioritas jalan keluar
13. Pembuatan kesimpulan yang terdiri atas masalah yang ditemukan, prioritas
masalah, penyebab masalah, alternatif jalan keluar dan jalan keluar yang terpilih
14. Pembuatan saran.

25

BAB III
METODE EVALUASI
III.1. BAHAN EVALUASI
Evaluasi ini dilakukan dengan pendekatan sistem. Data dikumpulkan menurut komponen
sistem, baik tolok ukur maupun pencapaian program. Sumber rujukan variabel dan tolok ukur
penilaian yang digunakan adalah sebagai berikut:
1. Profil kesehatan Puskesmas Pancoran Mas tahun 2014
2. Laporan bulanan program kerja sanitasi dan kesling Puskesmas Pancoran Mas tahun 2014
3. Hasil wawancara dengan koordinator bagian sanitasi dan kesling Puskesmas Pancoran Mas

Tabel 1. Variabel dan tolok ukur penilaian


No
1

Variabel
Cakupan
angka bebas
jentik (ABJ)
Laporan
kasus yang
ditindaklanjut

Definisi operasional atau rumus

Tolok ukur
keberhasilan
>95%

Jumlah bangunan yang tidak ada jentik x


100%
Jumlah bangunan yang diperiksa jentiknya
Jumlah kasus yang ada di wilayah kerja
100% laporan
puskesmas termasuk kasus yang ditemukan kasus
di rumah sakit.
ditindaklanjuti
26

i dengan
penyelidikan
epidemiologi
(PE)
Pencatatan
dan
pelaporan
Angka
morbiditas
dan
mortalitas
DBD

dengan PE

Pencatatan dan pelaporan tahun


sebelumnya digunakan sebagai masukan
dalam upaya perbaikan program
selanjutnya
Morbiditas: banyaknya jumlah penderita
DBD
Mortalitas: banyaknya jumlah penderita
yang meninggal akibat DBD

Dilakukan
evaluasi
program
Mengalami
penurunan dari
tahun ke tahun

Sumber: Peraturan Pemerintah Daerah No. 6 Tahun 2007 tentang Pengendalian DBD

Tabel 2. Tolok ukur pada komponen masukan


No Variabel
1
Tenaga

Dana

Data

Sarana

Metode

Tolok ukur
Satu orang penanggungjawab program PJB dan pelaksana
lapangan non medik seperti kader, PKK dan jumantik dalam
setiap RW, jumlah tergantung luas wilayah atau sedikitnya dua
orang dalam satu RW.
Kader adalah orang yang mengerti tentang PJB.
Tersedianya dana yang sesuai untuk pelaksanaan program PJB
setiap bulan.
Tersedianya sumber dana yang berasal dari subsidi penuh
pemerintah.
Terdapat data lengkap warga di dua kelurahan yang merupakan
wilayah kerja puskesmas
1. Medis: bubuk abate tiap kali melaksanakan PJB terutama
untuk wilayah yang berpotensi ditemukan jentik.
2. Non medis:
a. sarana penyuluhan bagi warga berupa poster dan leaflet
mengenai siklus hidup nyamuk Aedes aegypti.
b. lampu senter untuk pelaksanaan program PJB.
Penggunaan formulir pemeriksaan entomologi yang didapat dari
puskesmas setiap pelaksanaan PJB.

Sumber: Peraturan Pemerintah Daerah No. 6 Tahun 2007 tentang Pengendalian DBD

Tabel 3. Tolok ukur pada komponen proses


27

No
Variabel
1
Perencanaan
2
3

Pengorganisa
sian
Pelaksanaan

Pencatatan
dan
pelaporan
Pengawasan
dan penilaian

Tolok ukur
Adanya perencanaan operasional yang jelas: jenis kegiatan,
target kegiatan, waktu kegiatan dan pendanaan kegiatan.
Adanya struktur organisasi program PJB serta pembagian
tugas dan tanggung jawab yang jelas.
Dilakukan minimal tiga bulan sekali oleh petugas
kesehatan.
Dilakukan sekurang-kurangnya satu minggu sekali oleh
jumantik.
Ruang lingkup program PJB adalah di rumah dan tempat
umum.
Pelaksanaan minimal pada 30 KK per RW.
Pelaksanaan program PJB diikuti penyuluhan PSN.
Semua tempat yang berpotensi menjadi sarang nyamuk
diperiksa.
Penilaian kegiatan dicatat dan disusun dalam bentuk
laporan tertulis secara periodik dan dilaporkan per tahun.
Dilakukan oleh kepala puskesmas dalam bentuk pertemuan
di puskesmas.

Sumber: Peraturan Pemerintah Daerah No. 6 Tahun 2007 tentang Pengendalian DBD

Tabel 4. Tolak ukur komponen lingkungan dan umpan balik


No
Variabel
1
Lingkungan
2

Umpan
balik

Tolok ukur
Tingkat pengetahuan masyarakat tentang PJB yang didukung
adanya penyuluhan tentang PSN.
Pencatatan dan pelaporan tahun sebelumnya digunakan
sebagai masukan dalam evaluasi program PJB.
Pencatatan dan pelaporan untuk diteruskan ke kotamadya dan
propinsi.

Sumber: Peraturan Pemerintah Daerah No. 6 Tahun 2007 tentang Pengendalian DBD
III.2. LANGKAH EVALUASI

Pada kegiatan evaluasi program PJB, metode yang digunakan ialah analisis
sistem. Pendekatan sistem adalah suatu pendekatan analisis organisasi yang
menggunakan sifat-sifat dasar sebagai pusat analisis. Cara penilaian dan evaluasi
dilakukan dengan pendekatan sistem sebagai berikut:
a.Menetapkan tolok ukur dari masukan, proses, keluaran, dampak, umpan balik dan
lingkungan berdasarkan nilai standar dari puskesmas.
b.Membandingkan keluaran dengan tolak ukur untuk mencari adanya kesenjangan yang
kemudian ditetapkan sebagai masalah.
28

c.Membandingkan masukan, proses, dampak, umpan balik dan lingkungan dengan


tolak ukur untuk mencari adanya kesenjangan yang kemudian ditetapkan sebagai
penyebab masalah.
d.Menetapkan prioritas masalah.
e.Memberi saran-saran untuk pemecahan masalah.
III.2.1. Penetapan Masalah
Masalah adalah kesenjangan antara apa yang telah ditemukan (observed)
dengan apa yang diharapkan atau semestinya terjadi (expected). Masalah dapat
diidentifikasi dengan cara membandingkan keluaran pada program dan tolok
ukur yang telah ditetapkan sebelumnya. Terdapat masalah apabila ada
kesenjangan antara keluaran pada program dengan tolok ukur yang telah
ditetapkan.
III.2.2. Penentuan Prioritas Masalah
Prioritas masalah perlu ditetapkan karena keterbatasan puskesmas. Selain
itu, terkadang dengan menyelesaikan masalah yang dianggap prioritas, masalah
lain pun ikut terselesaikan karena adanya keterkaitan antara satu masalah
dengan masalah yang lain. Penetapan prioritas masalah dilakukan dengan
menggunakan teknik kriteria matriks (criteria matrix technique). Pada teknik ini
terdapat beberapa variabel yaitu:
a. Pentingnya masalah (Importancy/I)
Ditentukan berdasarkan besarnya masalah (Prevalence/P), akibat yang
ditimbulkan masalah (Severity/S), kenaikan besarnya masalah (Rate of
Increase/RI), derajat keinginan masyarakat yang tidak terpenuhi (Degree of
Unmeet Need/DU), keuntungan sosial karena selesainya masalah (Social
Benefit/SB), keprihatinan (Public Concern/PB) dan suasana politik (Political
Climate/PC).
b. Kelayakan teknologi (Technical Feasibility/TF)
Makin layak teknologi yang dapat tersedia yang dapat digunakan untuk
menyelesaikan masalah maka makin diprioritaskan masalah tersebut.
c. Sumber daya yang tersedia (Resources Availability/R)
Makin tersedia sumber daya yang tersedia untuk menyelesaikan masalah
maka semakin diprioritaskan masalah tersebut. Diberikan nilai 1 (tidak
penting) sampai 5 (sangat penting). Masalah yang dipilih sebagai prioritas
adalah yang memiliki nilai IxRxT tertinggi.
III.2.3. Menyusun Kerangka Konsep
29

Pembuatan kerangka konsep bertujuan untuk menentukan faktor-faktor


penyebab masalah yang berasal dari komponen sistem lainnya, yaitu komponen
masukan, proses, lingkungan, dan umpan balik. Dengan mengetahui penyebab
masalah, alternatif pemecahan masalah dapat disusun sebagai evaluasi
perencanaan pelaksanaan program berikutnya. Kerangka konsep dibuat dengan
menggunakan bagan tulang ikan (fish bone).

III.2.4. Identifikasi Faktor Penyebab Masalah


Langkah-langkah untuk mengidentifikasi penyebab masalah:
a. Mengelompokkan faktor yang berpengaruh pada prioritas masalah menjadi
kelompok input, proses, output, umpan balik dan lingkungan
b. Menentukan tolok ukur dari faktor-faktor tersebut
c. Membandingkan kesenjangan antara tolok ukur dan pencapaian dari tiap
faktor yang mempengaruhi.
III.2.5. Mengkonfirmasi Penyebab Masalah
Tahapan setelah melakukan identifikasi penyebab masalah adalah
mengkonfirmasi penyebab masalah baik secara langsung dengan melakukan
wawancara pada petugas pelaksana program, kepala puskesmas maupun
observasi, sedangkan konfirmasi tidak langsung dilakukan dengan menelaah
data sekunder hasil pencapaian program.
III.2.6. Daftar Penyebab Masalah
Setelah dilakukan konfirmasi akan ditentukan beberapa penyebab masalah
kemudian dibuat daftar penyebab masalah.
III.2.7. Menetapkan Prioritas Penyebab Masalah
Penetapan prioritas penyebab masalah dilakukan dengan menggunakan
teknik kriteria matriks (crtiteria matrix technique). Hal ini tergantung dari
kontribusi (C/contribution), kelayakan teknologi (T/technical feasibility) dan
ketersediaan sumber daya (R/resource availability). Diberikan nilai antara 1
(tidak penting) sampai dengan 5 (sangat penting). Penetapan prioritas
(P/priority) masalah dilakukan dengan cara mengalikan C, T, R. Nilai tertinggi
ditetapkan sebagai prioritas yang akan dicari alternatif pemecahannya.
III.2.8. Membuat Alternatif Pemecahan Masalah
30

Setelah diketahui penyebab masalah, dicari dan dibuat beberapa


alternatif pemecahan masalah. Alternatif pemecahan masalah tersebut dibuat
untuk mengatasi penyebab masalah yang telah ditemukan. Alternatif pemecahan
masalah ini dibuat dengan memperhatikan kemampuan serta kondisi puskesmas.
III.2.9. Membuat Prioritas Pemecahan Masalah
Dari berbagai alternatif cara pemecahan masalah yang telah dibuat,
dipilih satu cara pemecahan masalah yang dianggap paling baik dan
memungkinkan. Pemilihan prioritas cara pemecahan masalah ini dengan
memakai teknik kriteria matriks. Dua kriteria yang lazim digunakan adalah
sebagai berikut ini:
a. Efektivitas jalan keluar
Tetapkan nilai efektifitas (effectivity) untuk setiap alternatif jalan keluar,
yakni dengan memberikan angka 1 (paling tidak efektif) sampai dengan
angka 5 (paling efektif). Prioritas jalan keluar adalah yang nilai
efektivitasnya paling tinggi. Untuk

menentukan efektivitas jalan keluar,

dipergunakan kriteria tambahan sebagai berikut:


1) Besarnya masalah yang dapat diselesaikan (M/Magnitude)
Makin besar masalah yang dapat diatasi, makin tinggi prioritas jalan
keluar tersebut.
2) Pentingnya jalan keluar (I/Importancy)
Pentingnya jalan keluar dikaitkan dengan kelanggengan masalah. Makin
langgeng selesainya masalah, makin penting jalan keluar tersebut.
3) Sensitivitas jalan keluar (V/Vulnerability)
Sensitivitas dikaitkan dengan kecepatan jalan keluar mengatasi masalah.
Makin cepat masalah teratasi, makin sensitif jalan keluar tersebut.
b. Efisiensi jalan keluar
Tetapkan nilai efisiensi untuk setiap alternatif jalan keluar. Nilai efisiensi ini
biasanya

dikaitkan dengan biaya

(C/Cost) yang diperlukan untuk

melaksanakan jalan keluar. Makin besar biaya yang diperlukan, makin tidak
efisien jalan keluar tersebut. Nilai prioritas (P/Priority) dihitung untuk setiap
alternatif jalan keluar dengan membagi hasil perkalian nilai MxI xV dengan
C. Jalan keluar dengan nilai P tertinggi, adalah prioritas jalan keluar terpilih.
III.3. CARA EVALUASI
31

III.3.1. Pengumpulan Data


Pengumpulan data dilakukan dengan cara:
a. Sumber data primer diperoleh melalui wawancara dengan koordinator
bagian sanitasi dan kesling Puskesmas Pancoran Mas
b. Sumber data sekunder diperoleh dari dokumentasi puskesmas berupa
laporan bulanan program PJB di Puskesmas Pancoran Mas periode JanuariDesember 2014.
III.3.2. Pengolahan Data
Data diolah dengan menyusun data dengan pengolahan secara manual,
mekanikal dan elektrikal.
III.3.3. Penyajian Data
Data yang telah diolah disajikan secara tekstural, tabular ataupun secara
grafikal.
III.4. TAHAPAN KERJA
III.4.1. Persiapan dan Perencanaan
Persiapan evaluasi program dilakukan pada bulan Januari 2015. Pada
persiapan hal-hal yang dilakukan adalah menghubungi pembimbing, diskusi
dengan pembimbing dan koordinator program sanitasi dan kesling Puskesmas
Pancoran Mas, penyusunan proposal evaluasi program serta memperbaiki hasil
proposal setelah diskusi dengan pembimbing.
III.4.2 Pelaksanaan
Pelaksanaan dilakukan pada waktu dan tempat yang telah disepakati
dengan mengkonsultasikannya kepada pembimbing secara intensif guna
mendapatkan hasil evaluasi yang diharapkan. Data-data yang didapatkan akurat
dan sumber-sumber yang terpercaya kemudian dilakukan evaluasi dengan
membandingkan pencapaian indikator keluaran dengan tolok ukur keluaran.
III.4.3. Pelaporan
Pelaporan dimulai dengan penyusunan laporan hasil evaluasi program,
diskusi dengan pembimbing, memperbaiki sesuai dengan diskusi pembimbing,
pengesahan hasil evaluasi program, hingga penyerahan hasil evaluasi program
ke Departemen IKK/IKM Fakultas Kedokteran UPN Veteran Jakarta.
III.4.4. Waktu Evaluasi
Waktu evaluasi program pada bulan Februari 2015 dalam

rangka
32

membantu evaluasi program pada laporan tahunan Puskesmas Pancoran Mas.


III.4.5. Lokasi Evaluasi
Pengumpulan data dilakukan di Puskesmas Pancoran Mas.
III.4.6. Pelaksana
Pelaksana evaluasi program adalah mahasiswa yang sedang melaksanakan
kepaniteraan klinik IKK/IKM dibantu oleh satu dosen pembimbing dan juga
kepala puskesmas serta staf puskesmas dalam pengumpulan data.

BAB IV
PENYAJIAN DATA
IV.1. DATA UMUM PUSKESMAS PANCORAN MAS
IV.1.1. Kondisi Geografis
Puskesmas Pancoran Mas merupakan puskesmas di Kota Depok yang
mempunyai tanggung jawab dua wilayah kelurahan, yaitu Kelurahan Depok dan
Kelurahan Pancoran Mas. Puskesmas Pancoran Mas merupakan dataran rendah
yang terletak di tengah wilayah Kota Depok. Luas wilayah kerja Puskesmas
Pancoran Mas 18,2 km2 dengan tingkat kepadatan penduduk 116.726/km2.
Batas-batas wilayah kerja Puskesmas Pancoran mas adalah sebagai berikut:
a. Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Beji
b. Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Cipayung
c. Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Bojong Gede
d. Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Sukmajaya

Gambar 6. Wilayah kerja Puskesmas Pancoran Mas


33

IV.1.2. Kondisi Demografi


a. Komposisi Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Kelompok Umur
Berdasarkan data Kecamatan Pancoran Mas, tahun 2014 penduduk di
wilayah kerja Puskesmas Pancoran Mas berjumlah 361.639 jiwa.

Tabel 5. Jumlah penduduk menurut kelompok umur di wilayah kerja Puskesmas


Pancoran Mas Tahun 2014
No

Golongan Umur

Tahun 2014

04

L
8.303

5 14

18.865

38.496

57.361

15 44

64.693

130.570

195.272

45 64

18.179

39.986

58.165

> 65

7.897

17.672

25.569

125.756

117.937

361.639

Jumlah

P
16.969

Total
25.272

Sumber: Kecamatan Pancoran Mas tahun 2014

Tahun 2014, jumlah penduduk berdasarkan kelompok umur yang


paling dominan adalah kelompok umur 15-44 tahun sejumlah 195.272 jiwa.
Diikuti oleh kelompok umur 45-64 sejumlah 58.165 jiwa. Tterdapat 57.361
jiwa yang termasuk kelompok umur belum produktif secara ekonomi (5-14
tahun). Untuk penduduk umur produktif (15-64 tahun) sebesar 336.367
jiwa dari total penduduk. Artinya jumlah penduduk umur produktif lebih dari
setengah jumlah penduduk di wilayah kerja Puskesmas Pancoran Mas.
Jumlah penduduk usia lanjut (>65 tahun) sebesar 25.569 jiwa. Berbeda
dengan kelompok umur 0-14 tahun dan 15-64 tahun, pada kelompok >65
tahun jumlah penduduk laki-laki lebih sedikit dibandingkan perempuan. Hal
ini menunjukan angka harapan hidup perempuan lebih tinggi dari laki-laki
Tabel 6. Jumlah penduduk umur 10 tahun ke atas menurut tingkat pendidikan
di wilayah kerjaPuskesmas Pancoran Mas tahun 2014
No

Kelurahan

Tingkat Pendidikan

34

Tidak

Tamat

Tamat

Tamat

Tamat

Tamat

tamat

SD

SLTP

SMU

Diploma

AK/PT

Jumlah

Depok

SD
3.518

6.619

10.314

16.947

3.358

2.377

43.133

Pancoran

6.828

9.402

9.836

24.387

3.034

3.930

57.417

16.021
20.150 41.334
6.392
6.307
Sumber: Kecamatan Pancoran Mas tahun 2014

100.550

Mas
Jumlah

10.346

Tahun 2014, jumlah penduduk 10 tahun ke atas berdasarkan laporan


tingkat pendidikan di wilayah kerja Puskesmas Pancoran Mas sebanyak
100.500 jiwa, paling dominan adalah kelompok tamat SMU sejumlah 41.334
jiwa, diikuti tamat SLTP sejumlah 20.150 jiwa dan tamat SD sejumlah
16.021 jiwa. Jumlah penduduk kelompok tidak tamat SD (sejumlah 10.346
jiwa) lebih rendah dibandingkan dengan penduduk yang memiliki tingkat
pendidikan tinggi dengan jumlah total 12.699 jiwa.
Tabel 7. Jumlah penduduk menurut pekerjaan di wilayah kerja Puskesmas
Pancoran Mas Tahun 2014
No

Kelurahan

Tingkat Pendidikan
Petani

Pedagang

Buruh

Wiraswasta

PNS/TNI

Pegawai

/POLRI

Swasta

Jasa

Lainnya

Jumlah

1.

Depok

29.621

2.064

24.900

1.556

2.427

5.480

1.795

67.843

2.

Pancoran

3.880

1.691

12.945

283

13.639

200

14.432

47.070

31.312

2.064

37.845

1.839

16.066

5.680

16.227

114.913

Mas
Jumlah

3.880

Sumber: Kelurahan Depok dan Pancoran Mas tahun 2014

Tahun 2014, jumlah penduduk berdasarkan laporan pekerjaan di


wilayah kerja Puskesmas Pancoran Mas sebanyak 114.913 jiwa, yang paling
dominan adalah kelompok wiraswasta sejumlah 37.845 jiwa, diikuti
kelompok pedagang sejumlah 31.312 jiwa. Jumlah penduduk kelompok
buruh

dan pekerja tidak tetap (sejumlah 2.064 jiwa) lebih rendah

dibandingkan dengan penduduk yang memiliki pekerjaan tetap dengan


jumlah total 87.0062 jiwa yang terdiri dari kelompok pedagang, wiraswasta,
PNS/TNI/POLRI, pegawai swasta dan penyedia jasa.

35

Tabel 8. Jumlah penduduk menurut jumlah KK, jumlah RT dan RW di wilayah kerja
Puskesmas Pancoran Mas Tahun 2014
No

Kelurahan

Tingkat Pendidikan
Jumlah

Jumlah

Jumlah

Jumlah

Penduduk

KK

RT

RW

1.

Depok

49.268

13.692

116

23

2.

Pancoran

69.626

18.574

132

21

118.894

32.266

248

44

Mas
Jumlah

Sumber: Kelurahan Depok dan Pancoran Mas tahun 2014

Tahun 2014, jumlah penduduk berdasarkan data laporan Kelurahan


Depok dan Pancoran Mas sebanyak 118.894 jiwa dengan 32.266 KK.
Berdasarkan jumlah RT sebanyak 288 RT dan jumlah RW sebanyak 44 RW.
Tabel 9. Jumlah penduduk menurut derajat kesehatan (mortalitas)
Uraian

Jumlah

Jumlah bayi lahir mati

Jumlah kematian ibu hamil

Jumlah kematian neonatus menurut penyebab:


a.

Kematian neonatal

b. Asfiksia berat

c.

BBLR

d. Infeksi lain

Sumber: P2KT Puskesmas Pancoran Mas

Tahun 2014, jumlah bayi lahir mati mendominasi yakni sebanyak 8


kasus, sedangkan jumlah kematian ibu hamil sebanyak 2 kasus. Jumlah
kematian neonatus sebanyak 2 kasus, akibat asfiksia berat sebanyak 1 kasus,
akibat BBLR sebanyak 2 kasus dan akibat infeksi lainnya sebanyak 3 kasus.

36

Tabel 10. Jumlah pelayanan kesehatan


Jenis Tenaga

Yang ada

Dokter Umum

Dokter Gigi

Sarjana Kes. Masyarakat

Sarjana Non. Kesehatan


Bidan

18

Perawat

10

Perawat Gigi

Apoteker

Asisten Apoteker

Analis

Tenaga Gizi

Sanitarian

TU/Bendahara/Umum

Petugas Pendaftaran

Perkaya

Administrasi

Pertugas Kebersihan

Penjaga Puskesmas

Kasir

Supir

Juru Masak

Sumber: Kepegawaian Puskesmas Pancoran Mas tahun 2014

37

Tabel 11. Sarana pelayanan kesehatan swasta di wilayah kerja Puskesmas Pancoran Mas
Jenis Sarana
Rumah Sakit

Jumlah
5

BP/Klinik

Rumah Bersalin

Dokter Praktek Umum

dr. Spesialis THT

dr. Gigi

Klinik Fisioterapi

dr. Spesialis Saraf

Bidan

Apotik

Optik

Laboraturium

Radiologi

Pengobatan Tradisional

Akupuntur

Toko Obat

Sumber: Profil kesehatan Puskesmas Pancoran Mas tahun 2014

38

IV.1.3. Struktur Organisasi Puksesmas Pancoran Mas


Ka. UPT. Puskesmas
Dr. Tri Wahyuningsih
Ka. Sub. Bag. TU
Maryanah
Bendahara BOK

Bendahara JKN

Hj. Rodiawati, S,SiT

Drg. Emma Novita

UNIT YANKES

KESGA

P2P

BPU: dr. D.
Ningsih

KIA : Nur. Eulis


Lestari, Am.Keb

Kesling:
Ecih S.

BPG: drg. Ema

KB: Rodiawati, S.SiT

LANSIA: dr.
Laura Lubis

PKPR: dr. Dian N.

Imunisasi:
Meiliana,
Am.Keb

GIZI: Popi Sopiyati


Lansia : Rufina
Primestari, AMK
PROMKES: Deksiana
Farida
UKGS/UKS : drg.
Ihyani Nurdiena

Bendahara

Bendahara Barang

Desi Purvawidiati

Rohaedi Jayaatmaja

UNIT
PENUNJANG

RB/PONED
PJ : dr. Dian N.
Bidan: Engkas
A, Am. Keb

Farmasi: Etik
Yuliana, Apt
Lab: Aan M,
AMAK

Survailan: dr.
Kathia Utami

UNIT KHUSUS
PJ: Rini S, S. Kep
Mata: Rufina
Primestari, AMK
Kesor: Nuriana
Harianja, SKM
Batra: Rini, S. Kep

TBC: Nuriana
Harianja, SKM

UKK: dr. Dharma


Ningsih

Kusta: Rufina
Primestari,
AMK

Keswa : dr. Laura


Lubis

UPF RANGKAPAN JAYA


KLINIK PEMDA

UPF DEPOK JAYA

dr. Euis Eka K

dr. Yani Haryani

Dr. Zakiah

PUSTU
RANGKAPAN JAYA

39

Bagan 2. Struktur organisasi Puskesmas Pancoran Mas

IV.1.4. Struktur Organisasi Khusus Bagian Sanitasi dan Kesling


KEPALA PENANGGUNG JAWAB
Ecih Sumiasih

Kelurahan Pancoran Mas

Kelurahan Depok

42 Kader

46 Kader

Bagan 3. Struktur organisasi program PJB

IV.2. DATA KHUSUS PROGRAM PJB


Tabel 12. Jumlah kasus DBD di Puskesmas Pancoran Mas tahun 2013 dan 2014
Tahun
2013
2014

Morbiditas
15
37

Mortalitas
0
1

Sumber: Profil kesehatan Puskesmas Pancoran Mas tahun 2014

Tabel 13. Persentase rumah/bangunan bebas jentik nyamuk Aedes aegypti di wilayah kerja
Puskesmas Pancoran Mas tahun 2014
No
1
2

Kelurahan

Jumlah rumah/bangunan

Jumlah rumah/bangunan

Pancoran Mas
Depok
Jumlah

yang diperiksa
13.956
12.120
26.076

yang bebas jentik


13.444
11.703
25.147

Sumber: Laporan tahunan bagian sanitasi dan kesling Puskesmas Pancoran Mas tahun 2014

40

Tabel 14. Cakupan ABJ Puskesmas Pancoran Mas tahun 2014


No

Target

Kelurahan

Pencapaian

Kelurahan

Pencapaian

95%
95%

Pancoran Mas
RW 01
RW 02

96,71%
93,88%

Depok
RW 01
RW 02

1
2

95,83%
99,89%

95%

RW 03

97,3%

RW 03

94,91%

95%

RW 04

89,8%

RW 04

98,8%

95%

RW 05

97,18%

RW 05

98,33%

95%

RW 06

100%

RW 06

93,66%

95%

RW 07

93,03%

RW 07

96,28%

95%

RW 08

95,97%

RW 08

95,67%

95%

RW 09

99,56%

RW 09

97,91%

10

95%

RW 10

96,57%

RW 10

98,75%

11

95%

RW 11

97,21%

RW 11

98,75%

12

95%

RW 12

94,44%

RW 12

96,14%

13

95%

RW 13

94,06%

RW 13

96,7%

14

95%

RW 14

95,28%

RW 14

91,95%

15

95%

RW 15

95,43%

RW 15

99,23%

16

95%

RW 16

95,93%

RW 16

98%

17

95%

RW 17

99,79%

RW 17

96,18%

18

95%

RW 18

98,12%

RW 18

92,71%

19

95%

RW 19

91,63%

RW 19

92,67%

20

95%

RW 20

95,5%

RW 20

92,87%

21

95%

RW 21

95,34%

RW 21

98,33%

22

95%

RW 22

99,16%

23

95%

RW 23
100%
Jumlah
95,84%
96,64%
Sumber: Laporan tahunan bagian sanitasi dan kesling Puskesmas Pancoran Mas tahun 2014

Tabel 15. Persentase rumah/bangunan bebas jentik nyamuk Aedes aegypti di RW wilayah
kerja Puskesmas Pancoran Mas dengan ABJ <95% tahun 2014
41

No

Wilayah

Pancoran Mas
1 RW 02

Jumlah rumah/bangunan

Jumlah rumah/bangunan

yang diperiksa

yang bebas jentik

1.080

1.014

RW 04

1.040

934

RW 07

1.120

1.042

RW 12

1.080

1.020

RW 13

1.280

1.204

6 RW 19
Depok
1 RW 03

1.040

953

1.120

1.063

RW 06

1.120

1.049

RW 14

1.280

1.177

RW 18

920

853

RW 19

1.160

1.075

RW 20

1.080

1.003

Sumber: Laporan tahunan bagian sanitasi dan kesling Puskesmas Pancoran Mas tahun 2014

BAB V
EVALUASI DAN PEMBAHASAN

42

V.1. IDENTIFIKASI MASALAH


Masalah ditetapkan jika terdapat kesenjangan antara keluaran dengan tolok ukur,
sedangkan penyebab masalah ditentukan bila ada kesenjangan antara unsur sistem
lainnya dengan tolok ukur.
Proses identifikasi masalah dilakukan secara bertahap, dimulai dari keluaran
program kerja puskesmas kemudian bila ditemukan adanya kesenjangan antara tolok
ukur dengan data keluaran tersebut maka harus dicari kemungkinan penyebab masalah
pada unsur masukan, proses, lingkungan, umpan balik dan dampak.
Identifikasi masalah program PJB di RW 2, 4, 7, 12, 13, 19 Kelurahan Pancoran
Mas dan RW 3, 6, 14, 18, 19, 20 Kelurahan Depok wilayah kerja Puskesmas Pancoran
Mas periode Januari-Desember 2014 dilakukan dengan membandingkan antara
pencapaian keluaran dengan tolok ukur program.
Tabel 16. Identifikasi masalah program PJB Puskesmas Pancoran Mas tahun 2014
No
Variabel
1. ABJ Puskesmas Pancoran

Tolok ukur
95%

Pencapaian
18.742 x100%

Mas: Jumlah rumah yang

19.452

tidak ada jentik x 100%

= 96,24%

Masalah
(-)

Jumlah rumah yang


diperiksa
Kelurahan Pancoran Mas:

95%

RW 02

93,88%

(+)

RW 04

89,8%

(+)

RW 07

93,03%

(+)

RW 12

94,44%

(+)

RW 13

94,06%

(+)

RW 19

91,63%

(+)

RW 03

94,91%

(+)

RW 06

93,66%

(+)

RW 14

91,95%

(+)

RW 18

92,71%

(+)

RW 19

92,67%

(+)

RW 20

92,87%

(+)

Kelurahan Depok:

95%

43

2.

Laporan kasus yang

Jumlah kasus yang 100% laporan

ditindaklanjuti dengan

ada di wilayah

kasus

penyelidikan

kerja puskesmas

ditindaklanjuti

epidemiologi (PE)

termasuk kasus

dengan PE.

(-)

yang ditemukan di
3.

Pencatatan dan pelaporan

rumah sakit.
Pencatatan dan

Dilakukan

pelaporan tahun

evaluasi program.

(-)

sebelumnya
digunakan sebagai
masukan dalam
upaya perbaikan
program
4.

Angka morbiditas dan

selanjutnya.
Morbiditas:

Mengalami

mortalitas DBD

banyaknya jumlah

penurunan dari

penderita DBD.

tahun ke tahun

(+)

Mortalitas:
banyaknya jumlah
penderita yang
meninggal akibat
DBD.
Sumber: Peraturan Pemerintah Daerah No. 6 Tahun 2007 tentang Pengendalian DBD

V.2. PENETAPAN MASALAH


Pada Tabel 15 didapatkan masalah program PJB Puskesmas Pancoran Mas yaitu:
a. cakupan ABJ di RW 2, 4, 7, 12, 13, 19 Kelurahan Pancoran Mas dan RW 3, 6, 14,
18, 19, 20 Kelurahan Depok yang belum mencapai target
b. angka morbiditas dan mortalitas DBD meningkat dari tahun sebelumnya

V.3. PEMILIHAN PRIORITAS MASALAH


Tidak semua masalah harus diselesaikan karena mungkin ada masalah yang saling
berkaitan dan keterbatasan kemampuan dalam menyelesaikan masalah pokok tersebut.
Pemilihan prioritas masalah dilakukan menggunakan teknik kriteria matriks (criteria
44

matrix technique). Penetapan prioritas masalah di atas dilakukan dengan teknik skoring
sederhana, penilaian antara 1 (tidak penting) sampai dengan dengan 5 (sangat penting).
Tabel 17. Pemilihan prioritas masalah
No

Daftar masalah

cakupan ABJ di

I
S RI DU SB

PB

PC

Jumlah
(I x T x
R)
306

270

RW 2, 4, 7, 12,
13, 19 Kelurahan
Pancoran

Mas

dan RW 3, 6, 14,
18,

19,

20

Kelurahan Depok
belum
2

mencapai

target
angka morbiditas
dan

mortalitas

DBD

meningkat

dari

tahun

sebelumnya
Keterangan :
P: Prevalence

PB: Public concern

S: Severity

PC: Political climate

RI: Rate of increase

T: Technical feasiability

DU: Degree of unmeet need

R: Resources availability

SB: Social benefit

1. Berdasarkan importancy (I)/pentingnya masalah


a. Berdasarkan besarnya masalah/P (prevalence)
Cakupan ABJ dan angka morbiditas mortalitas DBD diberikan nilai 5
karena cakupan ABJ yang belum mencapai target menandakan lingkungan yang
kurang sehat (masih banyak ditemukan tempat perkembangbiakan vektor DBD)
45

dan dapat menjadi sumber penularan DBD sehingga angka kejadian kasus DBD
masih ditemukan dan berpotensi menjadi KLB.
b. Berdasarkan akibat yang ditimbulkan dari masalah/S (severity)
Cakupan ABJ dan angka morbiditas mortalitas DBD diberikan nilai 5
karena cakupan ABJ yang rendah menandakan wilayah tersebut masih menjadi
endemis DBD dan bila angka morbiditas mortalitas masih tinggi dapat
menurunkan derajat kesehatan masyarakat.
c. Berdasarkan kenaikan besarnya masalah/RI (Rate of Increase)
Cakupan ABJ diberikan nilai 5 karena cakupan ABJ yang belum mencapai
target menandakan program PJB belum berjalan optimal. Angka morbiditas
mortalitas DBD diberikan nilai 4 karena dapat menjadi bukti bahwa kasus DBD
masih menjadi masalah yang perlu ditindaklanjuti.
d. Berdasarkan derajat keinginan masyarakat yang tidak terpenuhi/DU (Degree of
Unmeet Need)
Cakupan ABJ diberikan nilai 4 karena secara keseluruhan program PJB
telah berjalan baik, hanya belum merata di seluruh wilayah. Angka morbiditas
mortalitas DBD diberikan nilai 3 karena kesadaran masyarakat dalam membantu
memberantas DBD (pelaksanaan PSN) masih kurang.
e. Berdasarkan keuntungan sosial karena selesainya masalah/SB (sosial benefit)
Cakupan ABJ dan angka morbiditas mortalitas DBD diberikan nilai 5
karena jika cakupan ABJ merata di seluruh wilayah, menandakan bahwa tidak
adanya lagi wilayah yang menjadi endemis DBD, program PJB juga sudah
berjalan baik serta dapat mengeliminasi kasus DBD.
f. Berdasarkan rasa kepedulian masyarakat terhadap masalah/PB (public concern)
Cakupan ABJ diberikan nilai 5 karena jika cakupan ABJ masih di bawah
target akan sangat disayangkan sekali padahal program PJB telah berjalan dan
keaktifan kader menandakan bentuk partisipasi dalam upaya pemberantasan kasus
DBD. Angka morbiditas mortalitas DBD diberikan nilai 3 karena masih banyak
masyarakat yang belum peduli tentang pelaksanaan PSN.
g. Berdasarkan suasana politik /PC (political climate)
Cakupan ABJ dan angka morbiditas mortalitas DBD diberikan nilai 5 karena
perhatian pemerintah cukup besar untuk mengatasi permasalahan ini.
2. Berdasarkan technical feasibility (T)/kriteria kelayakan teknologi
Cakupan ABJ dan angka morbiditas mortalitas DBD diberikan nilai 3 karena
46

semua sarana untuk menyelesaikan masalah tersebut sebenarnya sudah tersedia


hanya tinggal proses pelaksanaannya saja yang harus dioptimalkan.
3. Berdasarkan resources avaibility (R)/ ketersediaan sumber daya
Cakupan ABJ dan angka morbiditas mortalitas DBD diberikan nilai 3 karena
sumber daya (tenaga, biaya, material) untuk menyelesaikan masalah tersebut
sebenarnya sudah tersedia, namun jumlahnya belum mencukupi. Jadi hanya tinggal
proses pelaksanaannya saja yang harus dioptimalkan.
Dari penetapan prioritas berdasarkan teknik kriteria matriks di atas, maka prioritas
masalah yang dipilih adalah cakupan ABJ di RW 2, 4, 7, 12, 13, 19 Kelurahan Pancoran
Mas dan RW 3, 6, 14, 18, 19, 20 Kelurahan Depok yang belum mencapai target. Adapun
urutan prioritas masalah yang ditetapkan adalah sebagai berikut:
1. cakupan ABJ di RW 2, 4, 7, 12, 13, 19 Kelurahan Pancoran Mas dan RW 3, 6, 14, 18,
19, 20 Kelurahan Depok yang belum mencapai target
2. angka morbiditas dan mortalitas DBD meningkat dari tahun sebelumnya.
Cakupan ABJ menggambarkan jumlah rumah/bangunan yang bebas jentik
dibandingkan dengan jumlah rumah/bangunan yang dilakukan pemeriksaan. Rendahnya
cakupan ABJ di RW tertentu mengartikan bahwa pelaksanaan program PJB di wilayah
kerja Puskesmas Pancoran Mas masih belum merata, walaupun secara keseluruhan
cakupan ABJnya telah mencapai target (95%). Hal ini berkaitan dengan bias antar RW di
wilayah kerja Puskesmas Pancoran Mas.
Ketidakmerataan cakupan ABJ di wilayah kerja Puskesmas Pancoran Mas mungkin
menjadi penyebab masih ditemukannya kasus baru DBD di wilayah tersebut. Penemuan
kasus baru DBD menggambarkan kurang optimalnya kegiatan PJB yang telah dilakukan,
karena masih terdapat beberapa wilayah yang cakupan ABJ nya belum memenuhi target
(95%) dan menjadi wilayah endemis DBD. Hal ini bisa menyebabkan keterlambatan
deteksi kasus DBD dan pencegahannya, mengakibatkan pasien DBD dirujuk ke layanan
kesehatan yang lebih tinggi seperti rumah sakit karena komplikasi DBD bisa
menyebabkan syok. Tentunya selain risiko kematian yang lebih besar, biaya pengobatan
yang dikeluarkan juga bisa sangat meningkat. Puskesmas sebagai sentra layanan
kesehatan primer seharusnya menjadi lini pertama dalam penanggulangan dan
pencegahan kasus DBD. Hal ini mengacu pada tugas pokok puskesmas yakni sebagai
layanan kesehatan dalam upaya promotif, preventif dan kuratif. Seperti yang kita ketahui
sebelumnya, DBD merupakan penyakit berbasis lingkungan. Pemeliharaan lingkungan
yang bersih dan sehat dapat turut membantu memberantas DBD.
47

Program PJB merupakan tanggungjawab puskesmas, namun dalam pelaksanaannya


dibutuhkan peran kader wilayah setempat dalam upaya penentuan keberhasilan program
ini. Tugas kader PJB adalah melakukan pemeriksaan dan pencatatan cakupan ABJ di
wilayahnya, memberikan sosialiasi mengenai DBD mulai dari cara penularan, tanda dan
gejala hingga alur penatalaksaannya serta konseling mengenai PSN. Kurangnya
pengetahuan masyarakat mengenai pencegahan DBD dapat meningkatkan risiko
penularan, terlebih lagi jika kegiatan penyuluhan ke masyarakat tidak berjalan. Deteksi
dini kasus DBD meningkatkan prognosis kasus ini dari masyarakat. Cakupan ABJ yang
memenuhi target dan merata di seluruh wilayah menandakan keberhasilan program PJB
dan dapat membantu meminimalisasikan kejadian kasus baru DBD di wilayah tersebut.
V.4. IDENTIFIKASI PENYEBAB MASALAH
V.4.1. Kerangka Konsep
Sesuai dengan pendekatan sistem, belum terpenuhinya cakupan ABJ di
wilayah tertentu merupakan suatu keluaran yang tidak sesuai dengan target.
Untuk menanganinya harus dilihat kemungkinan adanya masalah pada unsur
sistem yang merupakan penyebab tidak terintegrasinya keluaran sebagaimana
mestinya, mengingat suatu sistem merupakan keadaan yang berkesinambungan
dan saling mempengaruhi. Kerangka konsep dibuat dengan menggunakan
pendekatan analisis, bertujuan untuk mengidentifikasi faktor penyebab masalah
masih rendahnya cakupan ABJ di RW tertentu oleh program PJB di wilayah
kerja Puskesmas Pancoran Mas. Untuk mempermudah mengidentifikasi
penyebab masalah maka diperlihatkan kerangka konsep sebagai alur pikir
penyebab masalah dengan menggunakan diagram tulang ikan yang terlampir.
V.4.2. Estimasi Penyebab Masalah
Masalah program PJB akan dibahas sesuai dengan pendekatan sistem
yang mempertimbangkan seluruh faktor baik dari unsur masukan, proses,
umpan balik dan lingkungan.
Pada komponen masukan, yang berpotensi menjadi penyebab masalah
adalah sumber daya manusia, dana yang tersedia, sarana medis dan non medis,
sarana penyuluhan dan metode yang digunakan. Komponen proses terdiri dari
perencanaan dan pengorganisasian, pelaksanaan, pencatatan dan pelaporan serta
pengawasan. Setiap program memiliki perencanaan target dan waktu
pelaksanaan program sebagai pedoman dalam pelaksanaannya. Organisasi juga
48

perlu direncanakan dengan baik agar pembagian tugas jelas sehingga masingmasing koordinator dapat bekerja sesuai tugasnya masing-masing dan tercipta
kerjasama yang baik. Pengawasan juga merupakan hal penting karena apabila
tidak terlaksana dengan baik, dapat menyebabkan tidak adanya laporan tertulis,
penyimpanan laporan yang tidak tersistematisasi dengan baik dan pelaporan
yang terlambat atau tidak lengkap di puskesmas. Hal-hal di atas pada akhirnya
mengakibatkan target pencapaian program yang telah ditentukan tidak tercapai.
Komponen lingkungan juga berperan dalam keberhasilan program.
Komponen ini meliputi tingkat pendidikan masyarakat dan tingkat sosial
ekonomi. Komponen umpan balik terdiri dari masukan hasil pelaporan yang
diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan untuk menyusun rencana
program selanjutnya sehingga diharapkan adanya perbaikan.
V.4.3. Konfirmasi Penyebab Masalah
Tabel 18. Konfirmasi penyebab masalah program PJB pada komponen masukan
No
1

Variabel
Tenaga

Tolok ukur

Pencapaian

Satu orang penanggungjawab Terdapat

satu

Penyebab
orang

masalah
(-)

program PJB dan pelaksana penanggungjawab


lapangan non medik seperti program PJB dan dua
kader,

PKK

dalam

setiap

dan

jumantik orang kader dalam satu

RW,

jumlah RW.

tergantung luas wilayah atau


sedikitnya dua orang dalam
satu RW.
Kader

adalah

orang

yang Kader

mengerti tentang PJB.


2.

Dana

sudah

mendapatkan

pelatihan

PJB sebelumnya.
Tersedianya dana yang sesuai Dana tidak selalu tersedia
untuk

pelaksanaan

(-)

program sesuai

(+)

jadwal

PJB setiap bulan.

pelaksanaan PJB.

Tersedianya sumber dana yang

Dana

berasal dari subsidi penuh

merupakan hasil swadaya

pemerintah.

kader

yang
karena

tersedia

(+)

program

PJB harus tetap berjalan


49

setiap bulannya.
3.

4.

Data

Sarana

Terdapat data lengkap warga di

Terdapat data lengkap

dua kelurahan yang merupakan

warga di dua kelurahan

wilayah kerja puskesmas.

yang merupakan wilayah

(-)

kerja puskesmas.
3. Medis: bubuk abate tiap kali Tersedia bubuk abate tiap

(-)

melaksanakan PJB terutama kali melaksanakan PJB.


untuk

wilayah

yang

berpotensi ditemukan jentik.


4. Non medis:
a.

sarana penyuluhan Penyuluhan


bagi warga berupa poster melalui
dan

leaflet

siklus

hanya
penyampaian

mengenai langsung

hidup

saja

nyamuk (konseling),

Aedes aegypti.

(+)

tidak

menggunakan alat bantu


penyuluhan.

b. lampu

senter

pelaksanaan

untuk Lampu

Metode

kadang

(+)

program habis baterai atau senter

PJB.
5.

senter

yang digunakan redup.

Penggunaan

formulir Digunakan

formulir

(-)

pemeriksaan entomologi yang pemeriksaan entomologi


didapat dari puskesmas setiap setiap
pelaksanaan program PJB.

pelaksanaan

program PJB.

Sumber: Peraturan Pemerintah Daerah No. 6 Tahun 2007 tentang Pengendalian DBD

Tabel 19. Konfirmasi penyebab masalah program PJB pada komponen proses
No
1

Variabel

Tolok ukur

Pencapaian

Perencana

Adanya

an

operasional yang jelas: jenis dilakukan oleh Dinkes


kegiatan,

perencanaan Rencana
target

operasional

Penyebab
masalah
(-)

kegiatan, Kota Depok, puskesmas


50

waktu kegiatan dan pendanaan sebagai


kegiatan.
2

pelaksanaan lapangan.

Pengorgan

Adanya

struktur

organisasi Terdapat

isasian

program PJB dan pembagian organisasi program PJB


tugas dan tanggungjawab yang dan
jelas.

perantara
struktur

pembagian

(-)

tugas

yang jelas.

Pelaksana

Dilakukan minimal tiga bulan Program PJB dilakukan

an

sekali oleh petugas kesehatan.

(-)

satu bulan sekali oleh


petugas kesehatan.

Dilakukan sekurang-kurangnya Program PJB dilakukan


satu

minggu

sekali

jumantik.

oleh satu minggu sekali oleh


jumantik.

Ruang lingkup program PJB Program PJB dilakukan


adalah

(-)

rumah

dan

tempat di

umum.

rumah

warga

(-)

dan

tempat umum.

Pelaksanaan minimal pada 30 Program PJB dilakukan


KK per RW.

(-)

dilakukan pada >30 KK


per RW.

Pelaksanaan

program

diikuti penyuluhan PSN.

PJB Program PJB tidak selalu


diikuti

(+)

dengan

penyuluhan tentang PSN.


Semua tempat yang berpotensi Tidak
menjadi

sarang

diperiksa.

semua

tempat

(+)

nyamuk diperiksa kader (kulkas,


bak

mandi,

dispenser,

tempat minum burung,


kaleng bekas).
4

Pencatatan Penilaian kegiatan dicatat dan Penilaian program PJB


dan

disusun dalam bentuk laporan disusun

dalam

bentuk

pelaporan

tertulis secara periodik dalam laporan

tertulis

secara

(-)

setahun dan dilaporkan per periodik dalam setahun


tahun.
5

Pengawas

Dilakukan

dan dilaporkan per tahun.


oleh

kepala Adanya

pertemuan

(-)

51

an

dan puskesmas

penilaian

dalam

bentuk kepala

pertemuan di puskesmas.

puskesmas

dengan
penanggungjawab
program PJB.

Sumber: Peraturan Pemerintah Daerah No. 6 Tahun 2007 tentang Pengendalian DBD

Tabel 20. Konfirmasi penyebab masalah program PJB pada komponen lingkungan dan
umpan balik
No
1

Variabel

Tolok ukur

Lingkunga Tingkat
n

Pencapaian

pengetahuan Masyarakat

masyarakat tentang PJB yang manfaat


didukung adanya penyuluhan PJB

2.

mengerti

masalah
(+)

dilakukannya

dan PSN namun

Umpan

tentang PSN.
Pencatatan dan

balik

tahun sebelumnya digunakan evaluasi


sebagai

Penyebab

tidak mau melakukannya.


pelaporan Digunakan
untuk

masukan

program

(-)

PJB

dalam selanjutnya.

evaluasi program PJB.


Pencatatan dan pelaporan

Pelaporan

diteruskan

untuk diteruskan ke kotamadya

hingga ke tingkat pusat.

(-)

dan propinsi.
Sumber: Peraturan Pemerintah Daerah No. 6 Tahun 2007 tentang Pengendalian DBD

Berdasarkan tabel di atas maka ditetapkan penyebab masalah belum


tercapainya cakupan ABJ di RW 2, 4, 7, 12, 13, 19 Kelurahan Pancoran Mas
dan RW 3, 6, 14, 18, 19, 20 Kelurahan Depok untuk program PJB di Puskesmas
Pancoran Mas periode Januari-Desember 2014 yaitu:
1. Komponen Masukan
a. Dana tidak selalu tersedia sesuai jadwal pelaksanaan PJB serta dana yang
tersedia juga merupakan hasil swadaya kader karena program PJB harus
tetap berjalan setiap bulannya.
b. Sarana penyuluhan hanya melalui penyampaian langsung saja (konseling)
dan tidak menggunakan alat bantu penyuluhan.
c. Lampu senter kadang habis baterai atau senter yang digunakan redup
sehingga bisa menjadi masalah dalam melaksanakan kegiatan PJB.

52

2. Komponen Proses
a. Program PJB tidak selalu diikuti dengan penyuluhan tentang PSN.
b. Tidak semua tempat diperiksa kader (kulkas, bak mandi, dispenser, tempat
minum burung, kaleng bekas).
3. Komponen Lingkungan
a. Masyarakat mengerti manfaat dilakukannya PSN namun tidak mau
melakukannya.
V.5. PENETAPAN PRIORITAS PENYEBAB MASALAH
Berdasarkan penyajian data di atas, ditemukan beberapa penyebab dari masalah
yang terjadi. Namun penyebab masalah tersebut tidak dapat diselesaikan semua secara
langsung karena mungkin ada masalah yang saling berkaitan dan karena adanya
keterbatasan kemampuan dalam menyelesaikan semua masalah. Oleh karena itu harus
ditentukan prioritas penyebab masalah dengan menggunakan teknik kriteria matriks
sebgaai berikut:
Tabel 21. Prioritas penyebab masalah
No

Masalah

Penentu Prioritas

Dana tidak selalu tersedia sesuai

Penyebab
C
T
R
4
3
4

Total
CxTxR
48

jadwal pelaksanaan PJB serta


dana

yang

tersedia

juga

merupakan hasil swadaya kader


karena program PJB harus tetap
2

berjalan setiap bulannya.


Sarana penyuluhan hanya melalui
penyampaian
(konseling)
menggunakan

langsung
dan
alat

64

64

60

saja
tidak
bantu

penyuluhan.
Lampu senter

kadang

habis

baterai

senter

yang

atau

digunakan redup sehingga bisa


menjadi masalah dalam proses
4

pelaksanaan PJB.
Program PJB tidak selalu diikuti

53

dengan penyuluhan tentang PSN.


Tidak semua tempat diperiksa
kader

(kulkas,

bak

60

75

mandi,

dispenser, tempat minum burung,


6

kaleng bekas).
Masyarakat mengerti
dilakukannya PJB

manfaat
dan PSN

namun tidak mau melakukannya.


1. Contribution/C
Diberikan nilai 4 pada butir 1 karena dana merupakan unsur penting dalam
pelaksanaan suatu program, dalam hal ini program PJB membutuhkan biaya setiap
kali pelaksanannya.
Diberikan nilai 4 pada butir 2 karena sarana penyuluhan seperti leaflet, brosur
atau poster sangat dibutuhkan dalam kegiatan PJB dan bukan hanya sekedar
penyampaian langsung (konseling) saja.
Diberikan nilai 4 pada butir 3 karena lampu senter sangat berperan penting
dalam kegiatan PJB, jika kader tidak menggunakan senter yang berfungsi baik, maka
jentik nyamuk tidak akan terlihat.
Diberikan nilai 5 pada butir 4 karena penyuluhan PSN sangat berperan penting
dalam kegiatan PJB, hal ini dapat membantu meningkatkan kesadaran masayarakat
dalam menerapkan PSN dan mencegah penularan DBD.
Diberikan nilai 5 pada butir 5 karena sebaiknya semua kader melakukan
pemeriksaan tidak hanya di lingkungan rumah saja namun juga di tempat-tempat
seperti (kulkas, bak mandi, dispenser, tempat minum burung, kaleng bekas).
Diberikan nilai 5 pada butir 6 karena jika masyarakat hanya mengetahui
tentang PSN namun tidak disertai kesadaran untuk melakukannya, cakupan ABJ
akan sulit untuk mencapai target.
2. Technical Feasibility/T
Diberikan nilai 3 pada butir 1, 4, 5 dan 6 karena tidak terlalu memberikan
pengaruh dalam kegiatan PJB yang dipengaruhi oleh pemanfaatan teknologi.
Diberikan nilai 4 pada butir 2 dan 3 karena penggunaan lampu senter yang
berfungsi baik dan sarana penyuluhan seperti leaflet, brosur atau poster sangat
dibutuhkan dalam kegiatan PJB sehingga diperlukan kelayakan teknologi yang baik.

54

3. Resources/R
Diberikan nilai 4 pada butir 1, 2, 3, 4 dan 5 karena dirasakan pemanfaatan
sumber daya berupa tenaga, material dan dana mempengaruhi tercapainya cakupan
yang optimal dan akan memberikan pengaruh yang besar.
Diberikan nilai 5 pada butir 6 karena peran kader sangat dibutuhkan dalam
kegiatan PJB ini untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam menjalankan
PSN sehingga sangat dibutuhkan sumber daya tenaga.
Berdasarkan tabel di atas maka prioritas penyebab masalah adalah masyarakat
mengerti manfaat dilakukannya PJB dan PSN namun tidak mau melakukannya.
V.6. PENETAPAN ALTERNATIF PEMECAHAN MASALAH
Berdasarkan penetapan prioritas penyebab masalah, didapatkan alternatif
pemecahan masalah dan penjabaran programnya yang diharapkan dapat mengatasi
penyebab masalah di atas adalah:
1. Penyuluhan mengenai PSN
Tujuan: meningkatkan cakupan ABJ pada program PJB dengan meningkatkan
kesadaran masyarakat untuk melaksanakan PSN
Sasaran: seluruh kepala keluarga di wilayah kerja Puskesmas Pancoran Mas
Bentuk kegiatan: penyuluhan tentang penyakit DBD dan kegiatan PSN
Waktu dan tempat: tiga kali dalam setahun, bertempat di aula Kelurahan Pancoran
Mas dan Kelurahan Depok
Pelaksana: koordinator program PJB Puskesmas Pancoran Mas
Alat dan bahan: ruang pertemuan, laptop, proyektor LCD, leaflet
Dana: APBD
Alokasi dana:
Jasa tenaga pengajar
Foto kopi leaflet
Konsumsi
Notebook & proyektor
Biaya tak terduga
Total dana

1 x Rp 100.000
30.000 x Rp 400
30.000 x Rp 2.000
milik puskesmas

=Rp 100.000
=Rp 12.000.000
=Rp 60.000.000
=Rp
100.000
=Rp 72.200.000

2. Penyuluhan mengenai program PJB


Tujuan: meningkatkan cakupan ABJ pada program PJB dengan meningkatkan
efektifitas kader
Sasaran: kader jumantik di wilayah kerja Puskesmas Pancoran Mas
Bentuk kegiatan: penyuluhan tentang penyakit DBD, pgoram PJB dan kegiatan PSN
55

Waktu dan tempat: dua kali dalam setahun, bertempat di aula Puskesmas Pancoran
Mas
Pelaksana: koordinator program PJB Puskesmas Pancoran Mas
Alat dan bahan: ruang pertemuan, laptop, proyektor LCD, handout, leaflet
Dana: APBD
Alokasi dana :
Jasa tenaga pengajar
Fotokopi handout
Foto kopi leaflet
Konsumsi
Notebook & proyektor
Biaya tak terduga
Total dana

1 x Rp 100.000
88 x Rp 5.000
88 x Rp 500
88 x Rp 5.000
milik puskesmas

=Rp 100.000
=Rp 440.000
=Rp 44.000
=Rp 440.000
=Rp 100.000
=Rp 1.124.000

V.7. PENETAPAN PRIORITAS PEMECAHAN MASALAH


Dari berbagai alternatif cara pemecahan masalah yang telah dibuat, dipilih satu
cara pemecahan masalah yang dianggap paling baik dan memungkinkan. Pemilihan
prioritas cara dari pemecahan masalah ini dengan menggunakan teknik kriteria matriks
yakni:
Tabel 22. Penentuan prioritas alternatif pemecahan masalah
No

Alternatif Pemecahan
M

Masalah

Efektifitas
I
V

Efisiensi
(C)

Jumlah (P)
MxIxV

1.

Penyuluhan mengenai PSN 5

C
16

2.

pada masyarakat
Penyuluhan

41,6

mengenai 5

program PJB pada kader


1. Magnitude/M
Diberikan nilai 5 pada butir 1 dan 2 karena mengadakan kegiatan penyuluhan
mengenai penyakit DBD, program PJB dan PSN sangat diperlukan baik untuk kader
ataupun masyarakat langsung serta dapat meningkatkan kesadaran dalam upaya
pemberantasan DBD.
2. Importancy/I

56

Diberikan nilai 3 pada butir 1 karena pentingnya jalan keluar dikaitkan dengan
kelanggengan masalah. Pada masyarakat yang kesadarannya kurang mengenai
kegiatan PSN akan menghambat kelanggengan kegiatan PJB.
Diberikan nilai 5 pada butir 2 karena makin langgeng suatu masalah, maka
makin cepat prioritas jalan keluar. Pengaktifan kader dapat membantu meningkatkan
kesadaran masyarakat untuk melakukan kegiatan PSN.
3. Vulnerability/V
Diberikan nilai 4 pada butir 1 dan 2 karena waktu yang dibutuhkan
kemungkinan sama, namun tetap diperlukan kesadaran masyarakat demi berjalannya
program PJB ini.
4. Cost/C
Diberikan nilai 5 pada butir 1 dan nilai 3 pada butir 2 karena perkiraan dana
yang dibutuhkan untuk penyuluhan kader lebih sedikit daripada penyuluhan langsung
ke masyarakat.
Berdasarkan tabel di atas maka prioritas pemecahan masalah adalah penyuluhan
mengenai program PJB pada kader agar lebih aktif, rutin dan teliti pelaksanaan program
PJB di wilayahnya. Diharapkan dengan keberadaan kader, dapat membantu mencegah
penularan kasus DBD di masyarakat dan memberikan pelayanan serta penyuluhan
langsung ke masyarakat.

57

BAB VI
PENUTUP
VI.1. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil evaluasi program PJB Puskesmas Pancoran Mas periode JanuariDesember tahun 2014 didapatkan kesimpulan sebagai berikut:
1.
Secara
keseluruhan,

cakupan

ABJ

Puskesmas Pancoran Mas periode Januari-Desember telah mencapai target (95%),


namun di RW 2, 4, 7, 12, 13, 19 Kelurahan Pancoran Mas dan RW 3, 6, 14, 18, 19,
2.

20 Kelurahan Depok, cakupan ABJ nya masih di bawah target.


Masalah yang ditemukan pada program PJB
antara lain cakupan ABJ yang tidak merata di seluruh wilayah kerja Puskesmas
Pancoran Mas serta angka morbiditas dan mortalitas DBD yang meningkat dari
tahun sebelumnya, namun yang menjadi prioritas masalah adalah cakupan ABJ di
RW 2, 4, 7, 12, 13, 19 Kelurahan Pancoran Mas dan RW 3, 6, 14, 18, 19, 20

3.

Kelurahan Depok yang belum mencapai target.


Penyebab masalah pada program PJB antara
lain dari komponen masukan (dana, sarana penyuluhan dan sarana pemeriksaan),
komponen proses (penyuluhan PSN dan cara pemeriksaan PJB) dan komponen
lingkungan (kesadaran masyarakat), namun yang menjadi prioritas penyebab

masalah adalah kurangnya kesadaran masyarakat dalam melakukan kegiatan PSN.


4.
Alternatif pemecahan masalah pada program
PJB antara lain melakukan penyuluhan langsung tentang DBD dan PSN ke
masyarakat serta penyuluhan tentang DBD, PJB dan PSN ke kader, namun yang
menjadi prioritas pemecahan masalah adalah dilakukannya penyuluhan tentang
DBD, PJB dan PSN ke kader.

58

VI.2. SARAN
Berdasarkan evaluasi program dan kesimpulan di atas, saran yang dapat diberikan
untuk meningkatkan pencapaian program PJB Puskesmas Pancoran Mas antara lain:
1. Pemerintah diharapkan selalu menyediakan dana untuk program PJB sesuai jadwal
agar kegiatan ini tidak terkendala masalah biaya.
2. Puskesmas diharapkan menyediakan sarana penyuluhan (leaflet, poster, brosur) dan
sarana pemeriksaan (lampu senter+baterai) untuk program PJB agar kegiatan ini dapat
berjalan optimal.
3. Kader diharapkan melaksanakan program PJB secara rutin dan teliti, memeriksa
semua tempat yang mungkin menjadi tempat perkembangbiakan vektor DBD seperti
(kulkas, bak mandi, dispenser, tempat minum burung, kaleng bekas).
4. Puskesmas beserta kader diharapkan mengadakan penyuluhan di masyarakat
mengenai DBD, PJB dan PSN secara berkala untuk meningkatkan kesadaran
masyarakat.

59

DAFTAR PUSTAKA
1. Anwar Azrul dkk. 2008. Evaluasi Program Kedokteran / Kesehatan Berdasarkan
pendekatan Sistem. Departement Ilmu Kedokteran Komunitas FKUI. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
2. Depkes RI. Kesehatan dan Indonesia Sehat 2010. http://www.depkes.go.id [diunduh
pada Januari 2015]
3. Dini AMV, Fitriany RN, Wulandari RA. Faktor iklim dan angka insiden DBD di
Kabupaten Serang. Depok: Universitas Indonesia; 2010.
4. Hadi UK, Soviana Susi, Gunandini DD. Aktivitas nokturnal vektor demam berdarah
dengue di Indonesia. Bogor: IPB; 2012.
5. Kemenkes RI. Tabulasi kasus DBD di Indonesia. Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia; 2011.
6. Profil Kesehatan Kota Depok. http://dinkes.depok.go.id/wp-content/uploads/narasiprofil-2013-anyar1.pdf [diunduh pada Januari 2015]
7. Sayono, Syafruddin Din, Sumanto Didik. Distribusi resistensi nyamuk Aedes aegypti
terhadap insektisida sipermetrin di Semarang. Semarang: Unimus 2012.
8. Shepherd
SM.
Dengue
fever
[serial
online]

2007.

http://.www.emedicine.medscape.com. [diunduh pada Januari 2015]


9. Suhendro N, Chen L, Khie. Demam berdarah dengue. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid III. Edisi ke-5. Jakarta: Interna Publishing; 2009.
10. Sutedjo AY. Mengenal penyakit melalui hasil pemeriksaan laboratorium. Yogyakarta:
Amara Books; 2007.
11. Tamza BR, Suhartono, Dharminto. Hubungan faktor lingkungan dan perilaku dengan
kejadian DBD di wilayah Kelurahan Perumnas Way Halim Kota Bandar Lampung.
Semarang: Universitas Diponegoro; 2013.
12. Trikarjana P. Pelayanan Kesehatan Di Era Globalisasi. www.lib-unair.edu.id [diunduh
pada Januari 2015]
13. Widoyono. Penyakit

Tropis:

Epidemiologi,

penularan,

pencegahan

&

pemberantasannya. Edisi ke-2. Jakarta: Erlangga; 2011.


60

14. World Health Organisation. Dengue hemorrhagic fever [serial online] 2009.
http://www.who.int. [diunduh pada Januari 2015]
15. Yulianti NS. Pengaruh keaktifan jumantik terhadap ABJ dan kejadian DBD (studi
pada pelaksanaan gerakan jumat berseri + PSN 60 menit di Kota Mojokerto).
Surabaya: Universitas Airlangga; 2007.
16. Profil Puskesmas Pancoran Mas Tahun 2014.

61

LAMPIRAN

62

PROPOSAL PENYULUHAN PROGRAM PJB


PUSKESMAS PANCORAN MAS
I. Latar Belakang
Penyakit DBD adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan
disebarluaskan oleh nyamuk terutama spesies Aedes aegypti. World Health Organization
(WHO) melaporkan lebih dari 2,5 miliar penduduk dunia berisiko terkena DBD dengan
mayoritas atau sekitar 70% populasi hidup di kawasan Asia Pasifik. DBD juga merupakan
masalah kesehatan masyarakat di Indonesia karena incidence rate yang terus meningkat
dan penyebarannya semakin luas. Propinsi yang terus mengalami peningkatan kasus DBD
antara lain Jakarta, Jawa Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara dan Nusa Tenggara
Barat. Pada tahun 2013, kasus DBD di Indonesia dilaporkan sebanyak 112.511 kasus
dengan jumlah kematian 871 orang, sementara di Kota Depok dilaporkan sebanyak 1.450
kasus dengan jumlah kematian 2 orang (Profil Kesehatan Kota Depok, 2013).
DBD merupakan penyakit berbasis lingkungan. Berdasarkan kajian Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) disimpulkan bahwa KLB DBD di
Indonesia diakibatkan oleh beragam faktor. Pertama, DBD masih endemik di beberapa
wilayah karena terdapat vektor nyamuk hampir di seluruh pelosok tanah air serta adanya
empat tipe virus yang bersirkulasi sepanjang tahun. Kedua, lemahnya sistem kewaspadaan
dini sehingga penanganan dan pengobatan kasus sebagai intervensi belum dilakukan
sebagaimana mestinya. Ketiga, kemudahan alat transportasi memungkinkan perpindahan
dari satu wilayah ke wilayah lain yang merupakan daerah endemik. Ketiga faktor tersebut
didukung dengan masih rendahnya kesadaran masyarakat akan paradigma hidup sehat dan
kondisi lingkungan sekitar sebagai faktor risiko penyebaran penyakit. Akibatnya, anjuran
3M Plus (menguras, menutup dan mengubur plus menaburkan larvasida serta memelihara
ikan pemakan jentik) untuk mencegah DBD belum terlaksana secara efektif (Depkes RI,
2010).
Berdasarkan kenyataan di atas, pemerintah Indonesia terus berusaha memperbaiki
program pemberantasan DBD. Program tersebut bertujuan mengurangi penyebarluasan
wilayah yang terjangkit DBD, mengurangi jumlah penderita DBD dan menurunkan angka
kematian akibat DBD. Kemenkes RI telah menetapkan Program Nasional Penanggulangan
DBD melalui Kepmenkes No. 581 Tahun 1992, terdiri dari delapan pokok program yang
63

meliputi surveilans epidemiologi dan pemberantasan KLB, pemberantasan vektor,


penatalaksanaan kasus, penyuluhan, kemitraan dalam wadah kelompok kerja operasional
(pokjanal) DBD, peran serta masyarakat berupa juru pemantau jentik (jumantik), pelatihan
dan penelitian (Kemenkes RI, 2011).
Puskemas juga turut serta dalam upaya pencegahan dan pemberantasan DBD dengan
melaksanakan program pemeriksaan jentik berkala (PJB) untuk memonitor kepadatan
jentik. Program PJB selain untuk kasus DBD juga bertujuan untuk deteksi filariasis. Peran
jumantik sangat penting dalam sistem kewaspadaan dini mewabahnya DBD karena dapat
memantau keberadaan jentik dan menghambat perkembangan awal vektor penular DBD.
Peran jumantik juga bertujuan menggerakkan peran serta masyarakat dalam usaha
pemberantasan kasus DBD. Keaktifan kader jumantik dalam memantau lingkungannya
diharapkan dapat menurunkan angka kasus DBD. Oleh karena itu, diperlukan upaya
peningkatan keaktifan jumantik melalui motivasi yang dilakukan oleh dinkes (Yuliyanti,
2007).
Dalam upaya pemberantasan DBD dengan menggalakkan progam PJB, Dinkes Kota
Depok memasukkan program ini ke dalam standar pelayanan minimal (SPM). Dalam hal
ini Dinkes Kota Depok menargetkan angka bebas jentik (ABJ) dalam satu wilayah sebesar
95%. Program PJB di Puskesmas Pancoran Mas telah mencapai target yang ditetapkan,
namun permasalahan yang didapat ternyata angka tersebut tidak merata di seluruh wilayah
kerja Puskesmas Pancoran Mas. Berdasarkan laporan evaluasi program PJB Puskesmas
Pancoran Mas bagian sanitasi dan kesling, masih terdapat 12 RW di wilayah kerja
Puskesmas Pancoran Mas yang ABJnya <95% yakni RW 2, 4, 7, 12, 13, 19 di Kelurahan
Pancoran Mas dan RW 3, 6, 14, 18, 19, 20 di Kelurahan Depok. Oleh karena belum
optimalnya program PJB, maka diadakan penyuluhan kader jumantik untuk mensukseskan
program PJB Puskesmas Pancoran Mas.
II. Tujuan
II.1. Tujuan umum
Meningkatkan keberhasilan program PJB Puskesmas Pancoran Mas.
II.2. Tujuan khusus
a. Menyiapkan kader yang dapat memberikan konseling PSN kepada warga
b. Menciptakan kader berkualitas yang dapat melaksanakan program PJB dengan baik
III. Penyelenggara
Koordinator program PJB Puskesmas Pancoran Mas.
IV. Sasaran
Seluruh kader Kelurahan Pancoran Mass dan Depok.
64

V. Bentuk Kegiatan
Penyuluhan dan diskusi tentang penyakit DBD, pgoram PJB dan kegiatan PSN
Puskesmas Pancoran Mas.
VI. Waktu dan Tempat
Awal periode baru pelayanan puskesmas, dua kali dalam setahun. Bertempat di aula
Puskesmas Pancoran Mas.
VII. Alat dan Bahan
Ruang pertemuan, laptop, proyektor LCD, handout, leaflet.
VIII. Materi
Diadakan pertemuan setiap enam bulan di Puskesmas Pancoran Mas yang
melibatkan koordinator program PJB Puskesmas Pancoran Mas. Penyampaian materi
dilakukan dalam bentuk presentasi singkat mengenai penyakit DBD, program PJB dan
kegiatan PSN. Presentasi menggunakan LCD proyektor, poster dan leaflet yang
dibagikan kepada peserta.
Saat penyampaian materi, peserta diperbolehkan untuk bertanya atau dapat juga
dilakukan setelah selesai pemberian materi. Diharapkan peserta turut berperan aktif
dalam diskusi sehingga diketahui tingkat pemahaman peserta. Selain diskusi juga
dilakukan simulasi mengenai pemeriksaan PJB dan PSN.
Selain penyampaian materi dan tanya jawab, diberikan himbauan agar para
peserta dapat melakukan pencatatan dan pelaporan kasus DBD yang ditangani. Data
tersebut kemudian dilaporkan ke puskesmas untuk evaluasi program selanjutnya.
IX. Anggaran Dana
Perencanaan anggaran dana dihitung setiap kali kegiatan dilakukan yaitu :
Jasa tenaga pengajar
1 x Rp 100.000
=Rp 100.000
Fotokopi handout
88 x Rp 5.000
=Rp 440.000
Foto kopi leaflet
88 x Rp 500
=Rp 44.000
Konsumsi
88 x Rp 5.000
=Rp 440.000
Notebook & proyektor milik puskesmas
Biaya tak terduga
=Rp 100.000
Total dana
=Rp 1.124.000

65

Anda mungkin juga menyukai