PENDAHULUAN
Rinosinusitis, istilah bagi suatu proses inflamasi yang melibatkan mukosa
hidung dan sinus paranasal, merupakan salah satu masalah kesehatan yang mengalami
peningkatan secara nyata dan memberikan dampak bagi pengeluaran finansial
masyarakat.1,2 Rinitis dan sinusitis umumnya terjadi bersamaan, sehingga terminologi
saat ini yang lebih diterima adalah rinosinusitis.1,2 Rinosinusitis dibagi menjadi
kelompok akut, subakut dan kronik.2
Berdasarkan data dari National Health Interview Survey 1995, sekitar 17,4 %
penduduk dewasa Amerika Serikat (AS) pernah mengidap sinusitis dalam jangka
waktu 12 bulan.3 Dari survei yang dilakukan, diperkirakan angka prevalensi
rinosinusitis kronik pada penduduk dewasa AS berkisar antara 13-16 %, dengan kata
lain, sekitar 30 juta penduduk dewasa AS mengidap rinosinusitis kronik.1-4 Dengan
demikian rinosinusitis kronik menjadi salah satu penyakit kronik yang paling populer
di AS melebihi penyakit asma, penyakit jantung, diabetes dan sefalgia. 2,4 Kennedy
melaporkan pada tahun 1994 adanya peningkatan jumlah kunjungan pasien sinusitis
kronik sebanyak 8 juta menjadi total 24 juta pertahun antara tahun 1989 dan 1992. 5
Dari Kanada tahun 2003 diperoleh angka prevalensi rinosinusitis kronik sekitar 5 %
dengan rasio wanita berbanding pria yaitu 6 berbanding 4 (lebih tinggi pada kelompok
wanita).1,3 Berdasarkan penelitian divisi Rinologi Departemen THT-KL FKUI tahun
1996, dari 496 pasien rawat jalan ditemukan 50 % penderita sinusitis kronik.6 Dampak
yang diakibatkan rinosinusitis kronik meliputi berbagai aspek, antara lain aspek
kualitas hidup ( Quality of Life / QOL ) dan aspek sosioekonomi.1-4
DEFINISI
Johnson dan Ferguson (1998) menyatakan bahwa karena mukosa kavum nasi
dan sinus paranasal saling berhubungan sebagai satu kesatuan maka inflamasi yang
terjadi pada kavum nasi biasanya berhubungan dengan inflamasi dalam sinus
paranasal.7 Secara histologi, mukosa kavum nasi dan mukosa sinus mempunyai
sejumlah kesamaan; mucous blanket sinus senantiasa berhubungan dengan kavum
nasi dan pada studi dengan CT-Scan untuk common cold ditunjukkan bahwa mukosa
kavum nasi dan sinus secara simultan mengalami proses inflamasi bersama-sama. 8
Alasan lainnya karena sebagian besar penderita sinusitis juga menderita rinitis, jarang
sinusitis tanpa disertai rinitis, gejala pilek, buntu hidung dan berkurangnya penciuman
ditemukan baik pada sinusitis maupun rinitis.9 Fakta tersebut menunjukkan bahwa
sinusitis merupakan kelanjutan dari rinitis, yang mendukung konsep one airway
disease yaitu bahwa penyakit di salah satu bagian saluran napas akan cenderung
berkembang ke bagian yang lain.9 Sejumlah kelompok konsensus menyetujui
pernyataan tersebut sehingga terminologi yang lebih diterima hingga kini adalah
rinosinusitis daripada sinusitis.7-11 Hubungan antara sinus paranasal dan kavum nasi
secara lebih jelas dapat dilihat pada gambar 1 dibawah ini.
Gambar 1.
Sejak tahun 1984 sampai saat ini telah banyak dikemukakan definisi
rinosinusitis kronik tanpa polip nasi oleh para ahli, masing-masing dengan kriterianya,
antara lain :5,7
Tabel 1.
Minor factors
Headache
Fever
symptom)
(all nonacute)
Halitosis
Nasal obstruction/blockage
Fatigue
Dental pain
Hyposmia/anosmia
Cough
Ear pain/pressure/
fullness
5.
6.
6.1.
berasal dari meatus medius dan atau udem mukosa primer pada meatus medius
6.2.
CT scan : perubahan mukosa pada kompleks ostiomeatal dan atau
sinus paranasal.
7.
rinosinusitis dapat dibedakan lagi menjadi kelompok dengan polip nasi dan
kelompok tanpa polip nasi. EP3OS 2007 menyatakan bahwa rinosinusitis
kronik merupakan kelompok primer sedangkan polip nasi merupakan
subkategori dari rinosinusitis kronik.5,7,11 Alasan rasional rinosinusitis kronik
dibedakan antara dengan polip dan tanpa polip nasi berdasarkan pada beberapa
studi yang menunjukkan adanya gambaran patologi jaringan sinus dan konka
media yang berbeda pada kedua kelompok tersebut.11
8.
rinosinusitis kronik tanpa disertai polip nasi yang terjadi pada orang dewasa.
9.
10.
11. ETIOLOGI, PATOFISIOLOGI DAN HISTOPATOLOGI
12.
13.
14.
15.
16.
17. Gambar 2.
18.
19.
20.
21. Etiologi rinosinusitis akut dan rinosinusitis kronik berbeda secara mendalam.
Pada rinosinusitis akut, infeksi virus dan bakteri patogen telah ditetapkan
sebagai penyebab utama.2,14 Namun sebaliknya, etiologi dan patofisiologi
rinosinusitis kronik bersifat multifaktorial dan belum sepenuhnya diketahui;
rinosinusitis kronik merupakan sindrom yang terjadi karena kombinasi etiologi
yang multipel. Ada beberapa pendapat dalam mengkategorikan etiologi
rinosinusitis kronik. Berdasarkan EP3OS 2007, faktor yang dihubungkan
dengan kejadian rinosinusitis kronik tanpa polip nasi yaitu ciliary
impairment, alergi, asma, keadaan immunocompromised, faktor genetik,
kehamilan dan endokrin, faktor lokal, mikroorganisme, jamur, osteitis, faktor
lingkungan, faktor iatrogenik, H.pylori dan refluks laringofaringeal.1
22.
merupakan hasil akhir dari proses inflamatori dengan kontribusi beberapa faktor yaitu
faktor sistemik, faktor lokal dan faktor lingkungan.
2,14
Berdasarkan ketiga
kelompok tersebut, maka faktor etiologi rinosinusitis kronik dapat dibagi lagi menjadi
berbagai penyebab secara spesifik, ini dapat dilihat pada tabel 2 berikut.2,14 James
Baraniuk (2002) mengklasifikasikan bermacam kemungkinan patofisiologi penyebab
rinosinusitis kronik menjadi rinosinusitis inflamatori (berdasarkan tipe infiltrat selular
yang predominan) dan rinosinusitis non inflamatori (termasuk disfungsi neural dan
penyebab lainnya seperti hormonal dan obat).15 Rinosinusitis inflamatori kemudian
dibagi lagi berdasarkan tipe infiltrasi selular menjadi jenis eosinofilik, neutrofilik dan
kelompok lain.15
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
34.
35.
36.
37.
38.
39.
Tabel 2.
masing
40.
42. Environmental
actors
44.
47.
50.
Airway hyperreactivity
Immunodeficiency
53.
56.
59.
62.
Ciliary dysfunction
Aspirin sensitivity
Cystic fibrosis
Autoimmune disease
Granulomatous
Factors
45.
48.
51.
Allergy
Smoking
Irritants/pollution
54.
57.
60.
63.
Viruses
turbinate
55. Haller cells
disorders
Bacteria
Fungi
Stress
58.
61.
64.
Frontal cells
Scarring
Bone inflammation
Craniofacial anomalies
Foreign bodies
Dental disease
Mechanical trauma
Barotrauma
bagi rinosinusitis kronik, banyak penelitian menemukan ada asosiasi yang kuat antara
asma dengan rinosinusitis kronik.1,2 Identifikasi gen ADAM-33 (disintegrin dan
metaloprotease 33) pada pasien asma semakin memperkuat kemungkinan adanya
hubungan tersebut.2
67.
rinosinusitis kronik. Penelitian Chee dkk (2001) menunjukkan bahwa pada keadaan
level imunoglobulin (IgG, IgA, IgM) yang rendah dan kurangnya fungsi sel limfosit
T, maka kejadian sinusitis yang refrakter cenderung meningkat. 1,2 Defisiensi IgG
adalah yang paling sering menjadi penyebab bagi rinosinusitis kronik. 2,14 Pada
individu dengan HIV, rinosinusitis sering terjadi (38-68 %) dengan klinis yang lebih
berat namun resisten terhadap terapi.1,2,16 Garcia-Rodriques dkk (1999) melaporkan
adanya korelasi kuat antara jumlah sel CD4+ dengan probabilitas rinosinusitis.1 Juga
disebutkan bahwa organisme atipikal seperti Aspergilus spp, Pseudomonas
aeruginosa dan mikrosporidia sering diisolasi dari sinus penderita dan neoplasma
seperti Limfoma Non Hodgkin dan sarkoma Kaposi dapat menjadi faktor penyebab
gangguan sinonasal pasien HIV-AIDS.1,16 Keadaan hiperimun seperti pada sindroma
vaskulitis Churg-Strauss dan sindroma Job dapat juga menjadi predisposisi bagi
rinosinusitis kronik.2,14
68.
kronik adalah sistemik lupus eritematosus, polikondritis relaps dan sindroma Sjogren.
Sindroma Samter dimana terdapat polip nasi, asma bronkial dan intoleransi aspirin
merupakan suatu kondisi dengan etiologi yang tidak jelas namun mempunyai
hubungan dengan rinosinusitis onset dini.1,2,14 Kelainan bawaan seperti kistik fibrosis,
sindroma Young, sindroma Kartagener atau diskinesia siliar primer, berkaitan dengan
klirens mukosiliar sinus yang abnormal sehingga menyebabkan timbulnya
rinosinusitis kronik. Wang dkk (2000) menemukan adanya mutasi gen pada pasien
kistik fibrosis yang mengarah pada terjadinya rinosinusitis kronik. 2 Pada diskinesia
siliar primer dan sindroma Kartagener, terjadi disfungsi siliar yang menjadi faktor
penyebab rinosinusitis. 1,2,14,16
69.
sarkoidosis dan granulomatosis Wegener. Pada keadaan ini, terjadi respon inflamasi
kronik diikuti dengan perubahan jaringan lokal yang bervariasi tingkat berat
ringannya dari destruksi silia dan kelenjar mukus sampai destruksi jaringan lokal.1,2,14
70.
71. Faktor Lingkungan
72.
dipelajari dan tercatat walaupun hubungan kausal belum dapat ditegakkan secara
pasti.2 Pada pasien dengan rinosinusitis kronik, prevalensi rinitis alergi berkisar antara
25-50 %.2 Pada pasien yang menjalani operasi sinus, prevalensi hasil test kulit positif
berkisar antara 50-84 %, mayoritas (60%) dengan sensitivitas multipel. 1,2,14 Namun
bagaimana alergi bisa mengakibatkan rinosinusitis kronik, hingga hari ini belum
diketahui secara jelas. Stammberger 1991 menyatakan bahwa: udem mukosa nasal
pada pasien rinitis alergi yang terjadi pada ostium sinus dapat mengurangi ventilasi
bahkan mengakibatkan obstruksi ostium sinus sehingga mengakibatkan retensi mukus
dan infeksi.1 Namun hal ini lebih mengarah kepada rinosinusitis akut sedangkan
sejauh mana perkembangan dan persistensi keadaan ini memberikan pengaruh bagi
rinosinusitis kronik, hingga kini belum dapat dijelaskan.1,16
73.
perkembangan rinosinusitis kronik, antara lain : asap rokok, debu, ozon, sulfur
dioksida, komponen volatil organik, dll.1,2,14 Bahan polutan ini bertindak sebagai iritan
nasal mengakibatkan kekeringan dan inflamasi lokal diikuti influks neutrofil. Sebagai
tambahan, asap rokok juga menyebabkan kelainan siliar sekunder dengan defek
mikrotubular primer.14
74.
sepenuhnya jelas. Pada studi epidemiologik skala besar, Gable dkk (1994)
menemukan peningkatan insiden rinosinusitis kronik selama musim infeksi saluran
pernapasan atas. Sedangkan studi yang melibatkan manusia dan hewan, menunjukkan
bahwa virus menyebabkan perubahan morfologis dan fungsional multipel pada sel
epitel nasal, termasuk peningkatan pelepasan sel epitel, pemendekan silia,
berkurangnya frekuensi gerakan silia serta penurunan klirens mukosiliar.2 Adenovirus
dan RSV (respiratory syncytial virus) didapatkan pada pasien rinosinusitis kronik
yang menjalani operasi sinus endoskopik.16,17
75.
rinosinusitis akut, namun sejauh ini hal tersebut belum dapat dibuktikan. 1 Gambaran
bakteriologi rinosinusitis kronik pada kenyataannya berbeda dengan rinosinusitis
akut.2,13 Pada rinosinusitis kronik, kuman yang predominan adalah S.aureus,
Stafilokakus koagulase negatif, bakteri anaerob dan gram negatif. Sedangkan pada
rinosinusitis akut, kuman predominan antara lain S.pneumoniae, H.influenzae dan
M.catarrhalis.1,13,15 Beberapa penelitian retrospektif dan prospektif telah dilakukan
untuk menilai bakteri penyebab rinosinusitis kronik baik pada orang dewasa maupun
anak.14 Pada orang dewasa, gambaran kuman umumnya polimikrobial baik gram
positif maupun gram negatif, aerob dan anaerob. 1,14,17 Kuman aerob yang terisolasi
berkisar antara 50-100 % sedangkan kuman anaerob berkisar antara 0-100 %. 1,17
Kuman anaerob banyak terdapat pada infeksi sekunder akibat masalah gigi.1
76.
pada berbagai studi yang dilakukan oleh Nord (1995).17 Kemampuan potensial bakteri
aerob dan anaerob memproduksi beta laktamase untuk melindungi organisme yang
suseptibel terhadap penisilin ditunjukkan oleh Brook dkk (1996).13,17 Resistensi kuman
Streptocossus pneumoniae penghasil protein pengikat penisilin berkisar antara 28
hingga 44 %.9,13
78.
82.
83.
84.
85.
86.
87.
88.
89.
90.
91.
92.
93.
94.
Ponikau dkk (1999) mendapatkan 96 % kultur jamur positif pada 210 pasien
Mukosa cavum nasi dan sinus paranasal memproduksi sekitar satu liter
mukus per hari, yang dibersihkan oleh transport mukosiliar. Obstruksi ostium sinus
kronik telah lama diamati secara klinis, radiografik dan histologik. 8 Beberapa studi
menunjukkan bahwa perubahan osteitis dimulai dari meningkatnya vaskularisasi,
infiltrasi proses inflamasi dan selanjutnya terjadi fibrosis pada sistem kanal
Haversian.1,2,8,13,14 Histomorfometri menunjukkan peningkatan jumlah sel inflamatori
dan turnover tulang, seperti yang terdapat pada osteomielitis. Pada CT-scan terlihat
adanya peningkatan densitas tulang dan penebalan tulang iregular. Penebalan tulang
iregular yang terjadi merupakan tanda adanya proses inflamasi pada tulang yang
berpengaruh pada inflamasi mukosa.1,2,8,13,14
99.
kronik.13 Fase inisial yang paling penting bagi terjadinya rinosinusitis kronik adalah
iritasi mukosa.17 Gambaran skematik dibawah (gambar 3) menunjukkan alterasi
potensial pada mukosa nasal yang terjadi setelah terpapar oleh bakteri, virus, alergen,
polusi udara, superantigen maupun jamur. Semua itu mengakibatkan peningkatan
ICAM-1 (intercellullar adhesion molecule 1) dan sitokin lainnya. Molekul HLA-DR
(human leukocyte antigen DR) pada permukaan epitelial ikut meningkat, selanjutnya
memegang peranan pada respon imun spesifik melalui sel TH1 dan TH2 untuk
kemudian melepaskan berbagai sitokin spesifik. GM-CSF (granulocyte-macrophagecolony stimulating factor), IL-8 dan TNF- (tumor necrosing factor alpha) ikut
dilepaskan yang kemudian memberikan efek kepada sel makrofag, mastosit, eosinofil
dan neutrofil. Interferon gamma yang dilepaskan sel TH1 juga ikut meningkatkan
produksi ICAM-1 pada permukaan sel epitel respiratorik.17
100.
101.
102.
103.
104.
adanya penebalan dasar membran sel, hiperplasia sel goblet, udem subepitelial dan
infiltrasi sel mononuklear.1,13 Proses inflamasi pada rinosinusitis dibagi menjadi
golongan inflamasi infeksius dan golongan inflamasi noninfeksius. 13 Inflamasi
infeksius umumnya terjadi pada rinosinusitis akut sedangkan pada rinosinusitis kronik
terjadi inflamasi noninfeksius.13
105.
dan mediator rinosinusitis kronik.1,9,13 Dibawah ini akan dijabarkan berbagai sel
inflamasi dan mediator yang ditemukan pada rinosinusitis kronik.
106.
107.
Gambar 3.
setelah terpapar benda asing, diikuti berbagai proses yang melibatkan sel
limfosit
108.
mempengaruhi
sel-sel fagosit.17
109.
110.
111.
1. Limfosit
112.
Sel
CD4+
sel
berperan
inisiasi
terutama
helper,
pada
proses
dan
regulasi
inflamasi
2. Eosinofil
113.
ECP) pada rinosinusitis kronik tanpa polip nasi lebih rendah bila dibandingkan
dengan pada polip nasi, juga infiltrasi sel eosinofil dan sel plasma pada
rinosinusitis kronik tanpa polip nasi berbeda dengan pada polip nasi.
3. Makrofag (sel CD68+)
114.
124.
125.
126.
127.
128.
129.
a. Sitokin
b.
kronik tanpa polip nasi. Kadar IL-5 pada kelompok tanpa polip nasi masih
lebih rendah bila dibandingkan dengan kelompok dengan polip nasi.
Rinosinusitis tanpa polip nasi mempunyai karakteristik yaitu polarisasi TH1
dengan level IFN- dan TGF- yang tinggi; sedangkan pada rinosinusitis
kronik dengan polip nasi menunjukkan polarisasi TH2 dengan level IL-5 dan
IgE yang meningkat. Peningkatan TLR2 (toll-like receptor 2) dan sitokin
proinflamatori (RANTES / Regulated on Activation, normal T-cell expressed
and secreted dan GM-CSF / granulocyte-monocyte colony stimulating factor)
juga ditemukan pada keadaan ini.
c. Kemokin
d.
sel CCR4+ dan EG2+) dan yang non atopi (penurunan sel CCR5+). Kemokin
lain yang meningkat yaitu GRO- (growth-related oncogene alpha) dan GCP2 (granulocyte chemotactic protein-2).
e. Molekul adhesi
f.
h.
w.
x.
y.
z.
aa.
ab. Musin
ac.
1996, terdapat faktor klinis/ gejala mayor dan minor yang diperlukan untuk
diagnosis.1,2,12,17,18 Selanjutnya menurut Task Force on Rhinosinusitis (TFR) 2003, ada
tiga kriteria yang dibutuhkan untuk mendiagnosis rinosinusitis kronik, berdasarkan
penemuan pada pemeriksaan fisik seperti ditampilkan pada tabel 3. 2 Diagnosis klinik
ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
meliputi transiluminasi, pemeriksaan radiologi, endoskopi nasal, CT-scan dan lainnya.
ah.
ai.
aj.
ak.
al.
am.Tabel 3.
pemeriksaan
an.
ao.
c. Duration
present)
e. >12 weeks of
continuous
1.
symptoms (as
or nasal endoscopy
described by 1996
Task Force) or
2.
physical findings
3.
4.
ap.
aq.
ar.
as.
at.
au.
av.
aw.
ax.
rinosinusitis kronik yang kompleks. Adanya penyebab infeksi baik bakteri maupun
virus, adanya latar belakang alergi atau kemungkinan kelainan anatomis rongga
hidung dapat dipertimbangkan dari riwayat penyakit yang lengkap. 18 Informasi lain
yang perlu berkaitan dengan keluhan yang dialami penderita mencakup durasi
keluhan, lokasi, faktor yang memperingan atau memperberat serta riwayat pengobatan
yang sudah dilakukan.2 Beberapa keluhan/gejala yang dapat diperoleh melalui
anamnesis dapat dilihat pada tabel 1 pada bagian depan. Menurut EP3OS 2007,
keluhan subyektif yang dapat menjadi dasar rinosinusitis kronik adalah:
1) Obstruksi nasal
bc. Keluhan buntu hidung pasien biasanya bervariasi dari obstruksi aliran
udara mekanis sampai dengan sensasi terasa penuh daerah hidung dan
sekitarnya
2) Sekret / discharge nasal
bd. Dapat berupa anterior atau posterior nasal drip
3) Abnormalitas penciuman
be. Fluktuasi penciuman berhubungan dengan rinosinusitis kronik yang
mungkin disebabkan karena obstruksi mukosa fisura olfaktorius dengan /
tanpa alterasi degeneratif pada mukosa olfaktorius
4) Nyeri / tekanan fasial
bf. Lebih nyata dan terlokalisir pada pasien dengan rinosinusitis akut, pada
rinosinusitis kronik keluhan lebih difus dan fluktuatif.
bg.
bh.
bi.
bj.
bk.
bl.
bm.
bn.
bo.
digunakan untuk menentukan berat ringannya keluhan yang dialami penderita. Ini
berguna bagi penilaian kualitas hidup penderita. Ada beberapa metode/test yang dapat
digunakan untuk menilai tingkat keparahan penyakit yang dialami penderita, namun
lebih sering digunakan bagi kepentingan penelitian, antara lain dengan SNOT-20
(sinonasal outcome test), CSS (chronic sinusitis survey) dan RSOM-31 (rhinosinusitis
outcome measure)1,2,11
bp.
bq. Pemeriksaan Fisik
Rinoskopi anterior dengan cahaya lampu kepala yang adekuat dan kondisi
rongga hidung yang lapang (sudah diberi topikal dekongestan sebelumnya) 1,2,18
Dengan rinoskopi anterior dapat dilihat kelainan rongga hidung yang berkaitan
dengan rinosinusitis kronik seperti udem konka, hiperemi, sekret (nasal drip),
X-foto posisi Water, CT-scan, MRI dan USG. CT-scan merupakan modalitas
pilihan dalam menilai proses patologi dan anatomi sinus, serta untuk evaluasi
rinosinusitis lanjut bila pengobatan medikamentosa tidak memberikan
respon.1,18 Ini mutlak diperlukan pada rinosinusitis kronik yang akan dilakukan
pembedahan.1,2,18 Contoh gambaran CT-scan rinosinusitis kronik tanpa polip
nasi pada orang dewasa dapat dilihat pada gambar 4.
Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan antara lain:1,2,13,18
1. Sitologi nasal, biopsi, pungsi aspirasi dan bakteriologi
2. Tes alergi
3. Tes fungsi mukosiliar : kliren mukosiliar, frekuensi getar siliar, mikroskop
bt.
bu.
Gambar 4.
bv.
bw.PENATALAKSANAAN
bx.
Terapi
medikamentosa
memegang
peranan
dalam
penanganan
rinosinusitis kronik yakni berguna dalam mengurangi gejala dan keluhan penderita,
membantu dalam diagnosis rinosinusitis kronik (apabila terapi medikamentosa gagal
maka cenderung digolongkan menjadi rinosinusitis kronik) dan membantu
memperlancar kesuksesan operasi yang dilakukan.20,21,22 Pada dasarnya yang ingin
dicapai melalui terapi medikamentosa adalah kembalinya fungsi drainase ostium sinus
dengan mengembalikan kondisi normal rongga hidung.20,21
cb.
Florokuinolon : ciprofloksasin
e.
Klindamisin
f.
Metronidazole
2.
mometason
a.
3.
Antihistamin
c.
d.
Mukolitik
e.
Antagonis leukotrien
f.
Imunoterapi
g.
Sinus maksila:
b.
Nasal antrostomi
c.
Operasi Caldwell-Luc
2.
Sinus etmoid:
a. Etmoidektomi intranasal, eksternal dan transantral
3.
Sinus frontal:
a.
Intranasal, ekstranasal
b.
c.
Fronto-etmoidektomi
4.
Sinus sfenoid :
a.
Trans nasal
b.
Trans sfenoidal
5.
b.
Poliposis nasi
c.
d.
e.
Benda asing
f.
Osteoma kecil
g. Tumor (terutama jinak, atau pada beberapa tumor ganas)
h.
j.
Atresia koanae
k.
Dakriosistorinotomi
l.
Kontrol epistaksis
m. Tumor pituitari, ANJ, tumor pada skull base
ch.
ci. KOMPLIKASI
cj.
Pada era pra antibiotika, komplikasi merupakan hal yang sering terjadi
Komplikasi orbita :
a) Selulitis periorbita
b) Selulitis orbita
c) Abses subperiosteal
d) Abses orbita
129.2.
129.3.
a)
b)
Abses otak
c)
Meningitis
d)
Serebritis
e)
ck.
cl.