Anda di halaman 1dari 7

Memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas merupakan kunci utama untuk

dapat mengimbangi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di abad XXI sebagai era
globalisasi yang situasinya penuh dengan persaingan (hypercompetitive). Fathurrahman,
(2014) mengemukakan bahwa upaya pengembangan dan peningkatan kualitas sumber daya
manusia dapat dilakukan melalui berbagai jalur, diantaranya melalui pendidikan. Karena
secara teoretis, pendidikan adalah dasar dari pertumbuhan ekonomi, dasar dari perkembangan
sains dan teknologi, mengurangi kemiskinan dan ketimpangan dalam pendapatan, dan
peningkatan kualitas peradaban manusia pada umumnya. John Dewey mengemukakan bahwa
pendidikan adalah metode dasar dalam melakukan reformasi dan kemajuan sosial. Ia
menyatakan, I believe that education is the fundamental method of social progress and
reform (Ridwan, 2015). Hal ini pun sejalan dengan Undang- undang Republik Indonesia
No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mengatakan bahwa pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara (Miftamuchin, 2015).
Pemerintah telah banyak melakukan inovasi dalam meningkatkan mutu pendidikan di
Indonesia. Menurut Putra Wiratha (2012) bahwa inovasi yang dilakukan dalam bentuk
perubahan kurikulum, integrasi pendidikan karakter, penataran dan juga berbagai seminar
maupun workshop bagi guru. Program yang telah dilaksanakan pemerintah diharapkan dapat
meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia yang nantinya berpengaruh pada sumber daya
manusia Indonesia. Diharapakan terwujudnya generasi muda yang mampu mengembangkan
ilmu pengetahuan dan teknologi serta menerapkannya untuk kemajuan dan kesejahteraan
bangsa, memimpin bangsa, serta memiliki rasa tanggung jawab terhadap keadaan bangsa.
Matematika merupakan salah satu ilmu yang sangat berperan penting dalam perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam perkembangannya, pembelajaran matematika di
Indonesia belum memuaskan. Pada Ujian Nasional SMP/sederajat tahun 2016 nilai mata
pelajaran matematika mengalami penurunan terbesar. Perubahannya dari 56,28 pada 2015
menjadi 50,24 di 2016. Menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan
dalam Republika.co.id, Yang terkoreksi paling besar adalah Matematika dengan penurunan
sebesar 6,04 poin.

Hal ini menjadi salah satu petunjuk kalau adanya kelemahan sekaligus kesulitan belajar serta
menunjukkan bahwa siswa mempunyai penguasaan yang kurang terhadap matematika.
Dalam Ujian Nasional juga dapat dilihat bahwa daya serap terhadap pokok bahasan tertentu
dalam matematika masih sangat rendah, salah satunya adalah pada pokok bahasan geometri.
Hal ini pun didasarkan pada hasil penelitian Fuy, dkk. (1988:4) dalam Miftahul Khoiri yang
mengemukakan bahwa pengalaman guru-guru sekolah menengah menunjukkan bahwa murid
menghadapi kesulitan ketika mempelajari geometri ditingkat sekolah lanjutan, khususnya
dalam kaitan dengan bukti-bukti formal.
Geometri merupakan salah satu cabang matematika (Bell, 1978:27) dalam Miftahul Khoiri
yang dipelajari siswa sekolah Menengah Pertama (SMP) atau sederajat. Bahasan ini penting
untuk dipelajari, karena pokok bahasan geometri merupakan dasar dari materi-materi
matematika selanjutnya, berkaitan dengan pentingnya belajar geometri, van de walle
(1994:325) dalam Miftahul Khoiri mengungkapkan lima alasan mengapa geometri sangat
penting dipelajari, (1) geometri membantu manusia memiliki aspirasi yang utuh tentang
dunianya, (2) eksplorasi geometri dapat membantu mengembangkan keterampilan
pemecahan masalah, (3) geometri memerankan peran utama dalam matematika lainnya, (4)
geometri digunakan oleh banyak orang dalam kehidupan sehari-hari, dan (5) geometri penuh
teka-teki dan menyenangkan. Jika pokok bahasan geometri ini dapat dikuasai dengan baik,
maka materi-materi selanjutnya tidak akan mengalami kesulitan. Sehingga prestasi belajar
matematika siswa akan menghasilkan prestasi yang baik dan sesuai harapan.
Bukan suatu pekerjaan yang mudah untuk memperoleh prestasi belajar seperti yang
diharapkan. Dalam mengajar guru berusaha menggunakan pembelajaran yang tepat dan
dianggap sesuai dengan kondisi, situasi dan tujuan yang ingin dicapai agar materi yang
disampaikan bisa diterima dengan baik oleh siswa, tetapi pada kenyataannya kadang belum
tercapai apa yang menjadi tujuan.
Keberhasilan dalam pembelajaran matematika dipengaruhi oleh berbagai komponen yang ada
di dalamnya, antara lain: tujuan, bahan atau materi, metode atau model pembelajaran, media,
guru dan siswa Gatot (..) . Salah satu komponen yang memperngaruhi yaitu guru. Dalam
mengajarkan matematika, guru harus memahami bahwa kemampuan setiap siswa berbedabeda (Herman, 2008). Hal ini ditegaskan dengan pendapat Hamzah B. Uno dan Masri
Kuadrat (2009) yang menyatakan bahwa agar pelayanan pendidikan yang selama ini
diberikan kepada siswa mencapai sasaran yang optimal, maka pembelajaran harus

diselaraskan dengan potensi siswa. Karena itu, guru perlu melakukan pelacakan potensi
siswa.
Siswa adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses
pendidikan (Dwi Siswoyo, dkk, 2011). Setiap siswa memiliki potensi-potensi yang berbeda
dengan individu lain. Salah satu potensi yang dimiliki siswa adalah kecerdasan. Menurut
Gardner (Munif Chotib, 2012) kecerdasan merupakan kemampuan seseorang untuk
menyelesaikan masalah dan menciptakan produk-produk baru yang mempunyai nilai budaya.
Shoimatul Ula (2013: 87) menyebutkan 9 jenis kecerdasan berdasarkan pemikiran dan
penelitian Gardner pada tahun 1983. Kesembilan kecerdasan tersebut adalah: 1) kecerdasan
linguistik, 2) kecerdasan logis matematis, 3) kecerdasan visual spasial, 4) kecerdasan
kinestetik, 5) kecerdasan musikal, 6) kecerdasan interpersonal, 7) kecerdasan intrapersonal,
8) kecerdasan naturalistik, dan 9) kecerdasan eksistensial. Beberapa jenis kecerdasan tersebut
dikenal dengan istilah kecerdasan majemuk. Kecerdasan majemuk ini tidak bersifat mutlak
dan ada kemungkinan masih terdapat banyak kecerdasan yang belum diteliti.
Semua siswa memiliki kecerdasan majemuk dalam tingkat yang berbeda satu sama lain.
Beberapa siswa memiliki tingkatan yang sangat tinggi pada semua atau hampir semua
kecerdasan, namun ada siswa yang memilki kekurangan dalam semua aspek kecerdasan.
Secara umum, siswa sangat berkembang pada beberapa kecerdasan, cukup berkembang pada
kecerdasan tertentu dan relatif agak terbelakang dalam kecerdasan yang lain. Gardner
(Armstrong, 2003: 17) berpendapat bahwa setiap orang sebenarnya memiliki kemampuan
mengembangkan semua kecerdasan sampai pada tingkat penguasaan yang memadai apabila
ia memperoleh cukup dukungan, pengayaan dan pengajaran.

Dalam pembelajaran matematika, guru perlu mengembangkan kecerdasan majemuk yang


dimiliki siswa. Sebagai langkah awal dalam pembelajaran, guru perlu mengenal karakteristik
siswa, seperti kecenderungan kecerdasan majemuk yang dimiliki siswa. Dengan mengetahui
kecenderungan kecerdasan yang dimiliki siswa, hal tersebut menjadi landasan bagi guru
untuk merancang pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik kecerdasan siswanya.
Gardner (Hamzah B. Uno dan Masri Kuadrat, 2009: 42) menyatakan bahwa guru selayaknya
dapat jeli dan cermat merancang sebuah metode khusus yang dapat membantu merangsang
potensi kecerdasan majemuk siswa. Apabila gaya mengajar guru telah sesuai dengan gaya

belajar siswa, maka tujuan pembelajaran yang tersirat melalui hasil belajar dapat tercapai
dengan optimal.

Pada kenyataaannya, menurut Thomas (Tombokan Runtukahu dan Selpius Kandou, 2014:
15), pembelajaran matematika di sekolah umumnya belum memperhatikan kebutuhankebutuhan dari setiap siswa. Pembelajaran matematika kurang memperhatikan kebutuhan
khusus siswa, seperti kecenderungan kecerdasan siswa. Model maupun metode pembelajaran
yang diterapkan di dalam kelas tidak memperhatikan kecenderungan kecerdasan yang
dimiliki siswa. Terkait dengan model pembelajaran, berdasarkan hasil wawancara dengan
guru kelas VII dan observasi sederhana peneliti di SMP Negeri 3 Makassar, peneliti
menemukan bahwa guru melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan pembelajaran
konvensional, yang cenderung berjalan searah, berpusat pada guru dan kurang melibatkan
siswa dalam belajar mengajar serta kurang memperhatikan karakteristik yang dimiliki siswa
terkhusus pada kecerdasan majemuk siswa. Pembelajaran matematika di kelas VII SMP
Negeri 3 Makassar sebenarnya sudah melibatkan kecerdasan lingustik dan logis matematis,
namun belum melibatkan jenis kecerdasan majemuk lain, seperti kecerdasan visual spasial,
musical, kinestetik, interpersonal, intrapersonal dan eksistensial.
Pembelajaran matematika yang hanya melibatkan kecerdasan linguistik dan logis matematis
dapat menyebabkan siswa dengan kecerdasan logis matematis dan linguistik yang lemah
mengalami kesulitan dalam memahami pelajaran matematika yang ditunjukkan dengan hasil
belajar yang masih rendah.Hal tersebut sesuai dengan pendapat Paul Suparno (2004: 56) yang
menyatakan bahwa siswa ternyata lebih mudah belajar atau memahami bahan yang diajarkan
guru bila bahan itu disajikan sesuai dengan kecerdasan siswa yang menonjol. Kecerdasan
linguistik dan logis matematis siswa yang lemah ditambah pengabaian terhadap kemampuan
mereka di bidang kecerdasan lain dalam suatu pembelajaran matematika akan berdampak
pada hasil belajarnya Dari penerapan tersebut masih ada siswa yang mengalami kesulitan
dalam memahami pelajaran matematika. Tidak semua siswa mampu menguasai materi
pelajaran yang disampaikan oleh guru. Hal ini terlihat ketika siswa diberi pertanyaan oleh
guru, ada siswa yang tidak mampu menjawab pertanyaan tersebut.
Kesulitan belajar yang dialami beberapa siswa dalam mata pelajaran matematika juga terlihat
dari hasil belajar yang masih rendah. Berdasarkan hasil Ulangan Tengah Semester (UTS)
mata pelajaran matematika di salah satu kelas VII diperoleh bahwa ada xx siswa dari 28

siswa yang nilainya belum mencapai KKM. Nilai KKM di SMP Negeri 3 Makassar untuk
mata pelajaran matematika kelas VII adalah 75. Selain itu, ada siswa yang mendapatkan nilai
xx, padahal nilai tertinggi di kelas tersebut adalah 100. Hal ini diperkuat dengan penelitian
yang dilakukan oleh K. Arie, yang menghasilkan bahwa prestasi belajar matematika siswa
dengan model pembelajaran konvensional tidak lebih baik daripada prestasi belajar
matematika siswa dengan model pembelajaran Team Assisted Individualization dengan tutor
sebaya (2013). Dan juga hasil penelitian oleh Larasati, yang menghasilkan bahwa ada
pengaruh positif penerapan strategi pembelajaran berbasis kecerdasan majemuk terhadap
hasil belajar hasil belajar matematika siswa kelas III SD Negeri Percobaan 4 Wates. Hal ini
berarti strategi pembelajaran berbasis kecerdasan majemuk memberikan pengaruh dalam
meningkatkan hasil belajar matematika siswa, sehingga siswa yang mendapatkan
pembelajaran yang menerapkan strategi pembelajaran berbasis kecerdasan majemuk akan
memiliki hasil belajar yang baik (2015).
Berdasarkan permasalahan di atas, salah satu
Model pembelajaran kooperatif terdiri dari berbagai macam salah satunya adalah tipe Team
Assisted Individualization (TAI). TAI merupakan pembelajaran yang mengkombinasikan
individualistic dan kooperatif. Artinya dalam pembelajaran ini tetap memeprhatikan
karakteristik masing-masing individu tanpa mengabaikan social impulse sehingga siswa
dapat mengkonstruksi konsep teoritis seperti yang diinginkan (K. Arie, 2013). Model
pembelajaran kooperatif tipe TAI, peserta didik ditempatkan dalam kelompok-kelompok
kecil yang heterogen dan selanjutnya diikuti dengan pemberian bantuan secara individu bagi
peserta didik yang memerlukan. Dalam penelitian ini, pembagian kelompok selain
mempertimbangkan

kemampuan

siswa

juga

dilakukan

dengan

mempertimbangkan kecerdasan majemuk yang dimiliki siswa dengan terlebih


dahulu memberikan angket kecerdasan secara individu. Diharapkan dengan
mempertimbangkan

kecerdasan

majemuk

yang

dimiliki

siswa

akan

mempermudah siswa dalam memahami materi yang diajarkan guru, sehingga


pada akhirnya akan berdampak pada hasil belajarnya. Hal yang sama
disampaikan

oleh

Niken

Larasati

(2013)

bahwa

pembelajaran

yang

mempertimbangkan kecerdasan majemuk akan dapat membuat siswa senang,


termotivasi

untuk

belajar

dan

juga

dapat

merangsang

berkembangnya

kecerdasan majemuk siswa serta dapat membuat siswa lebih aktif dalam
pembelajaran.

Pembelajaran kooperatif tipe TAI bias dipadukan dengan teknik tutor sebaya,
dimana dengan tutor sebaya siswa yang kurang aktif menjadi aktif karena tidak
malu lagi untuk bertanya dan mengeluarkan pendapat secara bebas. Jadi,
system pengajaran dengan tutor sebaya akan membantu siswa yang kurang
mampu atau kurang cepat menerima pelajaran dari gurunya
Model pembelajaran kooperatif tipe TAI menurut Endang (2013) merupakan
model pembelajaran yang membentuk kelompok kecil yang heterogen dengan
latar belakang cara berfikir yang berbeda untuk saling membantu terhadap
siswa yang lain yang membutuhkan bantuan.

Dalam hal ini diterapkan tutor

sebaya yaitu siswa yang pandai bertanggung jawab terhadap siswa yang lemah
atau kurang pandai, disamping itu dapat meningkatkan partisipasi siswa dalam
kelompok kecil. Siswa yang pandai dapat mengembangkan kemampuan dan
ketrampilannya sedangkan siswa yang kurang pandai dapat terbantu dalam
menyelesaikan permasalahannya (Amin Suyitno. 2006:9). Sintaksnya adalah tes
penempatan, teams, kelompok pengajaran, belajar kelompok tes unit unit
seluruh kelas skor tim dan rekognisi tim. Alasan peneliti yakni pengetahuan
dapat diperoleh dari kelompok atau dari diskusi yang dilakukan bersama teman
atau dalam kelompok. Kelompok belajar tersebut beranggotakan 4 orang, yang
mana ketika salah satu anggota tidak dapat menyelesaikan masalah dapat
dibantu dengan teman dalam kelompoknya. Diharapkan nantinya dengan model
ini peserta didik mampu menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya.

Pemilihan model pembelajaran yang tepat akan berdampak positif terhadap prestasi belajar
matematika (Indra, 2015)
Matematika

yang

memiliki

objek

yang

abstrak,

menuntut

guru

untuk

dapat

membelajarkannya dengan model tertentu agar dapat dipahami dengan mudah. Untuk dapat
memilih model yang tepat, guru hendaknya mempelajari dan memahami serta
mengimplementasikan teori-teori belajar
Oleh karena itu peneliti model pembelajaran yang lebih variatif dan sesuai dengan
kecerdasan yang menonjol pada masing-masing siswa serta sesuai dengan minat siswa
sehingga menarik minat .

Menurut Faiziyah (2012) Karakteristik siswa ada bermacam-macam, diantaranya adalah


kecerdasan intelektual, gaya belajar, motivasi, minat, pola asuh, kecerdasan emosional,
kecerdasan spiritual, dan tipe kecerdasan . Beberapa macam karakteristik tersebut
dimungkinkan dapat mempengaruhi prestasi belajar siswa termasuk tipe kecerdasan.
Berkaitan dengan kecerdasan, Armstrong (Alamsyah, 2015) membagi menjadi 8 (delapan)
tipe kecerdasan dasar yang dimiliki setiap orang, yang selanjutnya dikenal sebagai
kecerdasan majemuk (Multiple intelligences). Delapan tipe kecerdasan itu meliputi
kecerdasan linguistic, kecerdasan matematis-logis, kecerdasan spasial, kecerdasan kinestetiktubuh, kecerdasan musical, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal dan
kecerdasan naturalis. Delapan tipe kecerdasan tersebut dimiliki setiap orang dalam kadar
yang berbeda-beda. Dengan perbedaan tipe kecerdasan ini pada siswa diharapkan dapat
bekerja sama dengan baik dalam pembelajaran pada matematika

Anda mungkin juga menyukai