Anda di halaman 1dari 9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.
Tanaman Singkong
Kandungan gizi yang terdapat dalam singkong sudah kita
kenal sejak dulu. Umbi singkong merupakan sumber energi yang
kaya karbohidrat namun miskin akan protein. Selain umbi akar
singkong banyak mengandung glukosa dan dapat dimakan
mentah. Berbagai macam upaya penanganan singkong yang
telah banyak dilakukan adalah dengan mengolahnya menjadi
berbagai macam produk olahan baik basah maupun kering.
Selain sebagai bahan makanan pokok, banyak macam produk
No

Unsur Gizi

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

Banyaknya dalam... (per 100 g)


Singkong putih
Singkong
kuning
146,00
157,00
1,20
0,80
0,30
0,30
34,70
37,90
33,00
33,00
40,00
40,00
0,70
0,70
0
385,00
0,06
0,06
30,00
30,00
62,50
60,00
75,00
75,00

Kalori (kal)
Protein (g)
Lemak (g)
Karbohidrat (g)
Kalsium(mg)
Fosfor(mg)
Zat Besi (mg)
Vitamin A(SI)
Vitamin B1(mg)
Vitamin C(mg)
Air (g)
Bagian dapat
dimakan(%)
olahan singkong yang telah dimanfaatkan oleh masyarakat kita
antara

lain

adalah

tape

singkong,

enyek-enyek

singkong,

peuyeum, opak, tiwul, kerupuk singkong, keripik singkong, kue,


dan lain-lain.
Adapun unsur gizi yang terdapat dalam tiap 100 g singkong
segar dapat dilihat dalam Tabel 1:
Sumber: Direktorat Gizi, Depkes R.I., 1981.
Tabel 1. Unsur gizi dalam tiap 100 g singkong
4

Selain

kandungan

gizi

di

atas,

singkong

juga

mengandung racun yang dalam jumlah besar cukup


berbahaya. Racun singkong yang selama ini kita kenal
adalah Asam biru atau Asam sianida. Baik daun maupun
umbinya mengandung suatu glikosida cyanogenik, artinya
suatu ikatan organik yang dapat menghasilkan racun biru
atau HCN yang bersifat sangat toksik (Sosrosoedirdjo,
1993).
Kandungan

sianida

dalam

singkong

sangat

bervariasi. Kadar sianida rata- rata dalam singkong manis


dibawah 50 mg/kg berat asal, sedangkan singkong pahit/
racun diatas 50 mg/kg. Menurut FAO, singkong dengan
kadar 50 mg/kg masih aman untuk dikonsumsi manusia
(Winarno F.G, 2004).
Besarnya racun dalam singkong setiap varietas tidak
konstan dan dapat berubah. Hal ini disebabkan adanya
beberapa faktor yang mempengaruhi yaitu antara lain :
keadaan iklim, keadaan tanah, cara pemupukan dan cara
budidayanya.
Singkong dapat dibedakan menurut warna, rasa,
umur dan kandungan sianidanya (HCN). Bila rasa pahit
maka kandungan sianidanya tinggi (Winarno F.G, 1995).
Berdasarkan

kadar

Asam

Sianida

(HCN)

dalam

singkong, tidak semua jenis singkong dapat dikonsumsi


ataupun diolah secara langsung. Singkong dengan kadar
HCN kurang dari 100 mg/kg (ditandai dengan adanya rasa
manis),

merupakan

singkong

yang

layak

dan

aman

dikonsumsi ataupun diolah sebagai bahan makanan secara


langsung. Adapun kadar HCN dalam beberapa jenis/
varietas singkong dapat dilihat dalam Tabel 2.
N

Jenis/Varietas

Rasa

Kadar HCN mg/kg

o
1

Enak

Umbi
32

Daun
136

Mangi

(ditanah

subur)
Mangi

(ditanah

Pahit

289

542

3
4
5
6

kering)
Betawi
Valenka
Singapura
Basiorao

Enak
Enak
Enak
Agak

33
39
60
82

146
158
201
230

Bogor

pahit
Agak

90

324

8
9

pahit
Tapi kuru
Pahit
130
SPP
Pahit
206
Sumber: Rahmat Rukmana, 1997

230
468

Tabel 2. Kadar HCN dalam Beberapa Jenis/


Varietas Singkong
2.2.

Sianida
Sianida adalah kelompok senyawa yang mengandung

gugus siano (CN) yang terdapat dialam dalam bentukbentuk berbeda (Kjeldsen 1999, Luque-Almagro et al.
2011). Sianida di alam dapat diklasifikasikan sebagai
sianida bebas, sianida sederhana, kompleks sianida dan
senyawa turunan sianida (Smith and Mudder 1991).
Sianida bebas adalah penentu ketoksikan senyawa
sianida yang dapat didefinisikan sebagai bentuk molekul
(HCN) dan ion (CN) dari sianida yang dibebaskan melalui
proses pelarutan dan disosiasi senyawa sianida (Smith and
Mudder

1991).

Kedua

spesies

ini

berada

dalam

kesetimbangan satu sama lain yang bergantung pada pH


sehingga konsentrasi HCN dan CN dipengaruhi oleh pH
(Kyle 1988). Pada pH dibawah 7, keseluruhan sianida
berbentuk

HCN

sedangkan

pada

pH

diatas

10,5,

keseluruhan sianida berbentuk CN (Kyle 1988). Reaksi


6

antara ion sianida dan air ditunjukkan oleh dalam reaksi di


bawah ini (Smith and Mudder 1991):
CN + HOH HCN + OH
Sianida sederhana dapat didefinisikan
garam-garam

anorganik

sebagai

hasil

sebagai

persenyawaan

sianida dengan natrium, kalium, kalsium, dan magnesium


(Kjeldsen 1999, Kyle 1988). Sianida sederhana dapat juga
didefinisikan sebagai garam dari HCN yang terlarut dalam
larutan menghasilkan kation alkali bebas dan anion sianida
(Smith and Mudder 1991):
NaCN Na+ + CN
Ca(CN)2 Ca2+ + 2 CN
Bentuk sianida sederhana biasanya digunakan dalam
leaching emas. Sianida sederhana dapat larut dalam air
dan terionisasi secara cepat dan sempurna menghasilkan
sianida bebas dan ion logam (Kyle 1988, Smith and Mudder
1991).
Kompleks sianida termasuk kompleks dengan logam
kadmium, tembaga, nikel, perak, dan seng (Smith and
Mudder

1991).

Kompleks

sianida

ketika

terlarut

menghasilkan HCN dalam jumlah yang sedikit atau bahkan


tidak sama sekali (Kyle 1988) tergantung pada stabilitas
kompleks tersebut. Kestabilan kompleks sianida bervariasi
dan bergantung pada logam pusat (Smith and Mudder
1991). Kompleks lemah seperti kompleks dengan sianida
dengan seng dan kadmium mudah terurai menjadi sianida
bebas. Kompleks sedang lebih sulit terurai dibanding
kompleks lemah dan meliputi kompleks sianida dengan
tembaga, nikel, dan perak. Sedangkan kompleks kuat
seperti kompleks sianida dengan emas, besi, dan kobalt
cenderung sukar terurai menghasilkan sianida bebas.
Yang tergolong senyawa turunan sianida adalah SCN
(tiosianat), CNO , dan NH3 (amonia) yang biasanya

dihasilkan dari sianidasi, degradasi alami dan pengolahan


limbah mengandung sianida (Smith and Mudder 1991).
2.3.
Sensor Kimia
Secara umum sensor bisa diartikan sebagai alat atau
piranti yang dapat mentransform (mengubah) suatu energi
ke energi lainnya. Sensor kimia adalah suatu alat analisa
(analytical device) yang berisi reagen kimia (chemical
reagent) yang dapat bereaksi dengan analit tertentu dalam
larutan atau gas sehingga menghasilkan perubahan fisikakimiawi yang selanjutnya dapat dirubah menjadi sinyal
elektrik yang menunjukkan konsentrasi dan analit tersebut.
Performasi atau kemampuan suatu sensor kimia dapat
ditunjukan oleh beberapa parameter berikut (Kuswandi,
2010):
1. Selektivitas
Selektivitas merupakan salah satu parameter
penting sensor kimia, dan parameter ini ,menentukan
kelayakan sensor kimia yang digunakan dalam analisis
suatu analit. IUPAC metode penentuan selektivitas
suatu sensor ditentukan dengan metode interferensi
tetap (fixed interference method).
2. Waktu Respon
Menurut IUPAC waktu respon dari suatu sensor
kimia dinyatakan sebagai waktu antara pertama kali
sensor direaksikan dengan sampel (bisa dicelupkan,
diekspos, dan dialirkan) dan waktu pertama kali respon
menghasilkan sinyal (warna) yang stabil.
Beberapa penelitian telah dilakukan dalam bidang
sensor kimia, antara lain: Rahmatulloh (2011) melakukan
pembuatan sensor kimia bentuk stik untuk mendeteksi
logam kromium (VI) dalam sampel limbah elektroplating

menggunakan

reagen

dyphenylcarbazide.

Wulandari

(2012) melakukan penelitian tentang pembuatan sensor


kimia metode spot test sebagai pendeteksi logam berat
tembaga (II) dalam air limbah industri kertas menggunakan
reagen 4-(2-piridilazo) re . Prabowo (2012) melakukan
penelitian tentang pembuatan sensor kimia bentuk stik
menggunakan

reagen

Zn(CNS)

untuk

mendeteksi

rhodamin B dalam sampel makanan.


2.4.

Metode Sol-Gel
Proses sol gel merupakan proses

pembentukan

senyawa anorganik melalui reaksi kimia dalam larutan


pada

suhu

rendah,

dalam

proses

tersebut

terjadi

perubahan fasa dari suspensi koloid(sol) membentuk fasa


cair kontinyu (gel). Prekursor yang umumnya digunakan
adalah senyawa logam anorganik atau organik yang
dikelilingi oleh ligan seperti logam alkoksida (M(OR)z),
dimana R menunjukkan gugus alkil (CnH2n+1). Logam
alkoksida banyak digunakan karena sifatnya yang mudah
bereaksi dengan air (Fernandez,2011).
Berikut
merupakan
skema

umum

proses

pembentukan sol-gel (Sari,2008):

Gambar 2.1. Skema umum proses pembentukan sol-gel


(Sari,2008)
Metode sol gel sendiri terdiri dari empat tahap, yaitu
hidrolisis,

kondensasi,

pematangan

(aging),

dan

pengeringan (drying) (Fernandez,2011):


1. Hidrolisis
Pada tahap pertama logam prekursor (alkoksida)
dilarutkan

dalam

alkohol

dan

terhidrolisis

dengan

penambahan air pada kondisi asam, netral atau basa


menghasilkan sol koloid. Hidrolisis menggantikan ligan (OR) dengan gugus hidroksil (-OH). Adapaun reaksi hidrolisis
alkoksilan menggunakan katalis asam adalah sebagai
berikut (Daekin,1999):
Si(C2H5O)4 + 4H2O + H+ Si(OH)4 + 4C2H5OH + H+ (2.1)
Proses hidrolisis menyebabkan seluruh gugus alkoksi pada
alkoksida silika akan digantikan dengan gugus hidroksil
sehingga terbentuk silanol (Yunianti,2012). Faktor yang
sangat berpengaruh terhadap proses hidrolisis adalah rasio
air

atau

prekusor

dan

jenis

katalis

hidrolisis

yang

digunakan. Peningkatan rasio pelarut atau prekursor akan


meningkatkan reaksi hidrolisis yang mengakibatkan reaksi
berlangsung cepat sehingga waktu gelasi lebih cepat.
Katalis yang digunakan pada proses hidrolisis adalah
jenis katalis asam atau katalis basa, namun proses
hidrolisis juga dapat berlangsung tanpa menggunakan
katalis. Dengan adanya katalis maka proses hidrolisis akan
berlangsung lebih cepat dan konversi menjadi lebih tinggi.
2. Kondensasi
Reaksi kondensasi melibatkan ligan hidroksil untuk
menghasilkan polimer dengan ikatan M-O-M. Adapun reaksi
kondensasi menggunakan katalis asam adalah sebagai
berikut (Buckley, 1994):
10

Si(OH)4 + Si(OH)4 + H+ - [Si(OH)3-O-Si(OH)3]- + H3O+


(2.2)
Reaksi

kondensasi

tejadi

dengan

melibatkan

gugus

hidroksil pada silanol untuk membentuk polimer dengan


ikatan siloksan (Si-O-Si) (Fahmiati,2006).
3. Pematangan (aging)
Setelah reaksi hidrolisis dan kondensasi, dilanjutkan
dengan proses pematangan gel yang terbentuk. Proses ini
lebih dikenal dengan proses aging. Proses pematangan ini
terjadi reaksi pembentukan jaringan sel yang lebih kaku
dan kuat. Hasil dari proses aging ini disebut dengan wetgel
atau hydrogel.
4. Pengeringan (drying)
Tahapan terakhir adalah proses penguapan larutan
dan cairan yang tidak diinginkan untuk mendapatkan
struktur gel yang memiliki luas permukaan yang tinggi.
Menurut Lalena,dkk (2008) terdapat dua jenis hasil yang
diperoleh dari proses drying ini, yaitu apabila pelarut dan
air didalam hydrogel dihilangkan menggunakan suhu
tinggi, maka struktur yang terbentuk disebut aerogel.
Apabila pelarut dan air didalam hydrogel dihilangkan
menggunakan penguapan pada suhu ruang, maka struktur
yang terbentuk disebut xerogel.
Rahmatullah

(2011)

dan

Prabowo,dkk(2013)

menggunakan metode sol-gel untuk membentuk lapisan


tipis sebagai daerah interface dalam sensor stik. Prekursor
yang digunakan adalah tetraetilortosolika (TEOS). Proses
sol-gel memiliki kelebihan berupa sintesis dapat dilakukan
pada temperatur kamar dan proses penanganannya relatif
sederhana, sehingga dalam pembuatan sensor stik sering

11

digunakan untuk membuat lapisan tipis sebagai daerah


interface (Suwanto,2006).

12

Anda mungkin juga menyukai