Anda di halaman 1dari 21

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN HIV-AIDS

Konsep Dasar
I.

Pengertian
AIDS adalah sindroma yang menunjukkan defisiensi imun seluler pada seseorang tanpa adanya
penyebab yang diketahui untuk dapat menerangkan tejadinya defisiensi, tersebut seperti
keganasan, obat-obat supresi imun, penyakit infeksi yang sudah dikenal dan sebagainya.

II. Etiologi
Penyebab adalah golongan virus retro yang disebut human immunodeficiency virus (HIV).
HIV pertama kali ditemukan pada tahun 1983 sebagai retrovirus dan disebut HIV-1. Pada tahun
1986 di Afrika ditemukan lagi retrovirus baru yang diberi nama HIV-2. HIV-2 dianggap sebagai
virus kurang pathogen dibandingkaan dengan HIV-1. Maka untuk memudahkan keduanya
disebut HIV.
Transmisi infeksi HIV dan AIDS terdiri dari lima fase yaitu :
1. Periode jendela. Lamanya 4 minggu sampai 6 bulan setelah infeksi. Tidak ada gejala.
2. Fase infeksi HIV primer akut. Lamanya 1-2 minggu dengan gejala flu likes illness.
3. Infeksi asimtomatik. Lamanya 1-15 atau lebih tahun dengan gejala tidak ada.
4. Supresi imun simtomatik. Diatas 3 tahun dengan gejala demam, keringat malam hari, B
menurun, diare, neuropati, lemah, rash, limfadenopati, lesi mulut.
5. AIDS. Lamanya bervariasi antara 1-5 tahun dari kondisi AIDS pertama kali ditegakkan.
Didapatkan infeksi oportunis berat dan tumor pada berbagai system tubuh, dan
manifestasi neurologist.
AIDS dapat menyerang semua golongan umur, termasuk bayi, pria maupun wanita. Yang
termasuk kelompok resiko tinggi adalah :
1. Lelaki homoseksual atau biseks.

5. Bayi dari ibu/bapak terinfeksi.

2. Orang yang ketagian obat intravena


3. Partner seks dari penderita AIDS
4. Penerima darah atau produk darah (transfusi).

III.
Menyerang T Limfosit,
selsaraf, makrofag, monosit,
limfosit B

Patofisiologi :
IV. Pemeriksaan Diagnostik
1. Tes untuk diagnosa infeksi HIV :
-

ELISA

Western blot

P24 antigen test

Kultur HIV

2. Tes untuk deteksi gangguan system imun.


-

Hematokrit.

LED

CD4 limfosit

Rasio CD4/CD limfosit

Serum mikroglobulin B2

Hemoglobulin
Asuhan Keperawatan

I.

Pengkajian.

3. Riwayat : tes HIV positif, riwayat perilaku beresiko tinggi, menggunakan obat-obat.
4. Penampilan umum : pucat, kelaparan.
5. Gejala subyektif : demam kronik, dengan atau tanpa menggigil, keringat malam hari berulang
kali, lemah, lelah, anoreksia, BB menurun, nyeri, sulit tidur.
6. Psikososial : kehilangan pekerjaan dan penghasilan, perubahan pola hidup, ungkapkan perasaan
takut, cemas, meringis.
7. Status mental : marah atau pasrah, depresi, ide bunuh diri, apati, withdrawl, hilang interest pada
lingkungan sekitar, gangguan prooses piker, hilang memori, gangguan atensi dan konsentrasi,
halusinasi dan delusi.
8. HEENT : nyeri periorbital, fotophobia, sakit kepala, edem muka, tinitus, ulser pada bibir atau
mulut, mulut kering, suara berubah, disfagia, epsitaksis.

9.

Neurologis :gangguan refleks pupil, nystagmus, vertigo, ketidakseimbangan , kaku kuduk,


kejang, paraplegia.

10. Muskuloskletal : focal motor deifisit, lemah, tidak mampu melakukan ADL.
11. Kardiovaskuler ; takikardi, sianosis, hipotensi, edem perifer, dizziness.
12. Pernapasan : dyspnea, takipnea, sianosis, SOB, menggunakan otot Bantu pernapasan, batuk
produktif atau non produktif.
13. GI : intake makan dan minum menurun, mual, muntah, BB menurun, diare, inkontinensia, perut
kram, hepatosplenomegali, kuning.
14. Gu : lesi atau eksudat pada genital,
15. Integument : kering, gatal, rash atau lesi, turgor jelek, petekie positif.
II. Diagnosa keperawatan
1.

Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imunosupresi, malnutrisi dan pola hidup yang
beresiko.

2.

Resiko tinggi infeksi (kontak pasien) berhubungan dengan infeksi HIV, adanya infeksi
nonopportunisitik yang dapat ditransmisikan.

3. Intolerans aktivitas berhubungan dengan kelemahan, pertukaran oksigen, malnutrisi, kelelahan.


4.

Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang kurang,
meningkatnya kebutuhan metabolic, dan menurunnya absorbsi zat gizi.

5. Diare berhubungan dengan infeksi GI


6. Tidak efektif koping keluarga berhubungan dengan cemas tentang keadaan yang orang dicintai.

III. Perencanaan keperawatan.


Diagnosa Keperawatan
Resiko
tinggi
infeksi
berhubungan
dengan
imunosupresi, malnutrisi
dan pola hidup yang
beresiko.

Resiko
tinggi
infeksi
(kontak
pasien)
berhubungan
dengan
infeksi HIV, adanya infeksi
nonopportunisitik
yang
dapat ditransmisikan.
Intolerans
berhubungan
kelemahan,
oksigen,
kelelahan.

aktivitas
dengan
pertukaran
malnutrisi,

Perubahan nutrisi kurang


dari
kebutuhan
tubuh
berhubungan dengan intake
yang kurang, meningkatnya
kebutuhan metabolic, dan
menurunnya absorbsi zat
gizi.
Diare berhubungan dengan
infeksi GI

Tidak
efektif
koping
keluarga
berhubungan
dengan cemas tentang
keadaan
yang
orang
dicintai.

Perencanaan Keperawatan
Intervensi
Monitor tanda-tanda infeksi baru.
gunakan teknik aseptik pada setiap
tindakan invasif. Cuci tangan sebelum
meberikan tindakan.
Anjurkan pasien metoda mencegah
terpapar terhadap lingkungan yang
patogen.
Kumpulkan spesimen untuk tes lab
sesuai order.
5. Atur pemberian antiinfeksi sesuai order

Tujuan dan criteria hasil


Pasien akan bebas infeksi
1.
oportunistik dan komplikasinya
2.
dengan kriteria tak ada tandatanda infeksi baru, lab tidak ada
infeksi oportunis, tanda vital
3.
dalam batas normal, tidak ada
luka atau eksudat.
4.

Infeksi
HIV
tidak
1.
ditransmisikan, tim kesehatan
memperhatikan
universal
precautions dengan kriteriaa
2.
kontak pasien dan tim kesehatan
tidak terpapar HIV, tidak
terinfeksi patogen lain seperti
TBC.
Pasien berpartisipasi dalam
kegiatan, dengan kriteria bebas
dyspnea dan takikardi selama
aktivitas.

Ras
Untuk pengobatan dini
Mencegah pasien terpa
yang diperoleh di ruma

Mencegah bertambahny

Meyakinkan diagnosis a

Mempertahankan kadar

Anjurkan pasien atau orang penting


lainnya metode mencegah transmisi
HIV dan kuman patogen lainnya.
Gunakan darah dan cairan tubuh
precaution bial merawat pasien.
Gunakan masker bila perlu.

Pasien dan keluarga


informasikan ini

Monitor respon fisiologis terhadap


aktivitas
Berikan bantuan perawatan yang
pasien sendiri tidak mampu
Jadwalkan perawatan pasien sehingga
tidak mengganggu isitirahat.

Respon bervariasi dari

Monitor kemampuan mengunyah dan


menelan.
Monitor BB, intake dan ouput
Atur antiemetik sesuai order
Rencanakan diet dengan pasien dan
orang penting lainnya.

Intake menurun dihu


tenggorokan dan mulut
Menentukan data dasar
Mengurangi muntah
Meyakinkan bahwa m
keinginan pasien

Kaji konsistensi dan frekuensi feses


dan adanya darah.
Auskultasi bunyi usus
Atur agen antimotilitas dan psilium
(Metamucil) sesuai order
Berikan ointment A dan D, vaselin atau
zinc oside
Keluarga atau orang penting lain1. Kaji koping keluarga terhadap sakit
mempertahankan suport sistem pasein dan perawatannya
dan adaptasi terhadap perubahan2.
Biarkan keluarga mengungkapkana
akan kebutuhannya dengan perasaan secara verbal
kriteria pasien dan keluarga3. Ajarkan kepada keluaraga tentang
berinteraksi dengan cara yang penyakit dan transmisinya.
konstruktif

Mendeteksi adanya dar

Pasien mempunyai intake kalori


dan protein yang adekuat untuk
memenuhi
kebutuhan
metaboliknya dengan kriteria
mual dan muntah dikontrol,
pasien makan TKTP, serum
albumin dan protein dalam batas
n ormal, BB mendekati seperti
sebelum sakit.
Pasien merasa nyaman dan
mengnontrol diare, komplikasi
minimal dengan kriteria perut
lunak, tidak tegang, feses lunak
dan warna normal, kram perut
hilang,

Mencegah transimisi in

Mengurangi kebutuhan

Ekstra istirahat perlu ji


kebutuhan metabolik

Hipermotiliti mumnya d
Mengurangi motilitas
emperburuk perforasi p
Untuk menghilangkan d

Memulai suatu hubunga


konstruktif dengan kelu
Mereka tak menyadari b
secara bebas
Menghilangkan kecem
melalui kontak sederhan

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN SROKE NON


HEMORAGIK
BAB I
PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang

Gaya hidup manusia dewasa ini semakin mengarah kepada gaya hidup yang pragmatis.
Semuanya memenuhi kebutuhan hidup secara instan dan praktis, dan mengabaikan segala hal
yang ada di balik pragmatisme dalam hidup tersebut. Hal ini tentu akan membawa berbagai
konsekuensi, dan konsekuensi yang paling rentan adalah masalah kesehatan. Pola hidup yang
instan seperti makan makanan junk food, merokok dan minum kopi yang berlebihan untuk
mengusir rasa kantuk akibat lelah kerja, tidak pernah melakukan olah raga karena harus
mengejar karier serta gaya hidup yang selalu identik dengan narkoba, rokok dan alkohol maka
segala penyakit akan datang menyerang. Bermula dari kelebihan kolesterol, kelelahan karena
kurang istirahat, tingkat stres yang tinggi dan hipertensi maka timbullah berbagai penyakit
seperti jantung dan stroke.
Menurut Batticaca (2008) stroke masih merupakan masalah medis yang menjadi penyebab
kesakitan dan kematian nomor 2 di Eropa serta nomor 3 di Amerika Serikat. Sebanyak 10%
penderita stroke mengalami kelemahan yang memerlukan perawatan. Penyakit ini juga
menimbulkan kecacatan terbanyak pada kelompok usia dewasa yang masih produktif. Tingginya
kasus stroke ini salah satunya dipicu oleh rendahnya kepedulian masyarakat dalam mengatasi
berbagai faktor resiko yang dapat menimbulakan stroke. Penyebab stroke adalah pecahnya
(ruptur) pembuluh darah di otak dan atau terjadinya trombosis dan emboli. Gumpalan darah akan
masuk ke aliran darah sebagai akibat dari penyakit lain atau karena adanya bagian otak yang
cedera dan menutup atau menyumbat arteri otak. Secara sederhana stroke didefinisikan sebagai
penyakit otak akibat terhentinya suplai darah ke otak karena sumbatan atau perdarahan dengan
gejala lemas, lumpuh sesaat, atau gejala berat sampai hilangnya kesadaran, dan kematian.
Menurut ctella93 (2008), di Indonesia stroke merupakan penyakit nomor tiga yang mematikan
setelah jantung dan kanker. Bahkan, menurut survei tahun 2004, stroke merupakan pembunuh
no.1 di RS Pemerintah di seluruh penjuru Indonesia. Diperkirakan ada 500.000 penduduk yang
terkena stroke. Dari jumlah tersebut, sepertiganya bisa pulih kembali, sepertiga lainnya
mengalami gangguan fungsional ringan sampai sedang dan sepertiga sisanya mengalami
gangguan fungsional berat yang mengharuskan penderita terus menerus di kasur.

Data pencatatan dari rekam medik di Ruang Bougenville Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD)
Dr. Hi. Abdul Moeloek Provinsi Lampung diketahui bahwa sejak bulan Januari Juni 2011
terdapat sebanyak 663 orang yang terdiri dari berbagai penyakit diantaranya: cidera kepala 260
orang (39%), stroke non hemoragik 172 orang (26%), stroke hemoragik 95 orang (14%), dan
lain-lain seperti: cephalgia, meningitis, dan sol 140 orang (21%).
Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk menjadikan penyakit stroke sebagai makalah
ilmiah, agar penulis lebih memahami bagaimana proses keperawatan yang dilakukan pada klien
dengan penyakit stroke. Untuk mendapatkan hasil yang memuaskan penulis mengambil judul
makalah: Asuhan Keperawatan Pada Tn. U dengan gangguan system persyarafan: Stroke Non
Hemoragik di ruang Bougenvile RSUD Dr. Hi. Abdul Moeloek Provinsi Lampung.
B.
1.

Tujuan Penulisan
Tujuan Umum

Penulis mampu menggambarkan asuhan keperawatan secara komprehensif yang meliputi aspek
biopsikososiospritual pada klien dengan stroke non hemoragik dengan menggunakan pendekatan
proses keperawatan.
2.

Tujuan Khusus

Penulis mampu menggambarkan:


a.

Konsep teori penyakit stroke non hemoragik.

b.
Pengkajian status kesehatan pada Tn. U dengan masalah stroke non hemoragik secara
komprehensif melalui pendekatan proses keperawatan.
c.

Diagnosa keperawatan yang muncul pada Tn. U dengan masalah stroke non hemoragik.

d.
Rencana asuhan keperawatan sesuai dengan diagnosa yang muncul pada Tn. U dengan
stroke non hemoragik.
e.

Pelaksanaan implementasi keperawatan terhadap Tn. U dengan stroke non hemoragik.

f.

Evaluasi asuhan keperawatan pada Tn. U dengan stroke non hemoragik.

g.
Pendokumentasian asuhan keperawatan yang benar pada Tn. U dengan stroke non
hemoragik.
C.

Ruang Lingkup

Ruang lingkup laporan study kasus ini mengacu pada masalah keperawatan pada system
persyarafan: Stroke Non Hemoragik pada Tn. U diruang Buogenvile RSUD Dr. Hi. Abdul
Moeloek Provinsi Lampung yang dilaksanakan pada tanggal 09 s/d 11 Juni 2011 dengan
menggunakan proses keperawatan.
D.

Metode Penulisan

Metode penulisan laporan ini menggunakan metode deskriptif yang berbentuk study kasus.
Tekhnik pengambilan data pada kasus dengan pengamatan atau observasi langsung ke klien,

wawancara, pemeriksaan fisik, dokumentasi atau catatan perawatan, partisipasi aktif dan studi
kepustakaan.

E.

Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan yang diuraikan dalam laporan kasus ini dibagi menjadi 5 Bab, yaitu:
BAB I

: PENDAHULUAN

Pendahuluan terdiri dari latar belakang, tujuan, ruang lingkup, metode penulisan
dan sistematika penulisan.
BAB II

: TINJAUAN TEORI

Landasan teori meliputi konsep dasar penyakit, berisi definisi, etiologi,


manifestasi klinis, komplikasi, diagnostik, penatalaksanaan medik dan keperawatan, konsep
dasar asuhan keperawatan, berisikan pengkajian, diagnosa keperawatan, rencana keperawatan,
implementasi dan evaluasi.
BAB III

: TINJAUAN KASUS

Meliputi pengkajian keperawatan, diagnosa keperawatan,


keperawatan, pelaksanaan keperawatan, evaluasi dan catatan perkembangan.
BAB IV

: PEMBAHASAN

BAB V

: PENUTUP

perencanaan

Meliputi kesimpulan dan saran.


DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A.
1.

Konsep Dasar
Definisi

Menurut Batticaca (2008), stroke adalah suatu keadaan yang timbul karena terjadi gangguan
peredaran darah di otak yang menyebabkan terjadinya kematian jaringan otak sehingga
mengakibatkan seseorang menderita kelumpuhan atau kematian.
Stroke adalah kehilangan fungsi otak yang diakibatkan terhentinya suplai darah kebagian otak
(Smeltzer & Bare, 2002).
Menurut Ginsberg (2008), stroke adalah sindrom yang terdiri dari tanda dan/gejala hilangnya
fungsi system syaraf pusat fokal (atau global) yang berkembang cepat (dalam detik atau menit).

Sedangkan menurut Muttaqin (2008), stroke sebagai sindrom klinis dengan gejala gangguan
fungsi otak secara fokal yang berlangsung 24 jam atau lebih tanpa penyebab lain kecuali
gangguan pembuluh darah otak.

2.

Klasifikasi Stroke

a.
Menurut Muttaqin (2008), klasifikasi stroke berdasarkan keadaan patologis dari serangan
stroke meliputi:
1)

Stroke hemoragik

Merupakan perdarahan serebral dan mungkin perdarahan subaraknoid. Disebabkan oleh


pecahnya pembuluh darah otak pada area otak tertentu. Biasanya kejadiannya saat melakukan
aktivitas atau saat aktif, namun bisa juga terjadi saat istirahat. Kesadaran klien umumnya
menurun. Perdarahan otak dibagi dua, yaitu:
a)

Perdarahan Intraserebri (PIS)

Pecahnya pembuluh darah terutama karena hipertensi mengakibatkan darah masuk ke dalam
jaringan otak, membentuk massa yang menekan jaringan otak, dan menimbulkan edema otak.
b) Perdarahan Subarakhnoid (PSA)
Perdarahan ini berasal dari pecahnya aneurisma berry, aneurisma yang berasal dari pembuluh
darah sirkulasi Willisi dan cabang-cabangnya. Dapat menimbulkan nyeri kepala hebat, sering
juga dijumpai kaku kuduk dan tanda-tanda rangsang selaput otak lainnya, dapat pula terjadi
penurunan kesadaran.
c) Sub Dural Hemoragic (SDH)
Biasanya terjadi robeknya jembatan vena sehingga periode pembentukan hematoma lebih lama
dan menyebabkan tekanan pada otak.
d) Epidural Hemoragic (EDH)
Adalah kedaruratan bedah neuro yang memerlukan perawatan segera. Ini biasanya mengikuti
fraktur tengkorak dengan robekan arteri tengah atau arteri meninges lain. Pasien harus diatasi
dalam beberapa jam untuk mempertahankan hidup.
2) Stroke Non Hemoragik
Dapat berupa iskemia atau emboli dan trombosis serebri, umumnya terjadi saat setelah lama
beristirahat, baru bangun tidur pada dipagi hari. Tidak terjadi perdarahan namun terjadi iskemia
yang menimbulkan hipoksia, kesadaran umumnya baik.
b.

Menurut Batticaca (2008), klasifikasi stroke dibagi menjadi:

1)
Stroke iskemik (infark atau kematian jaringan). Serangan sering terjadi pada usia 50 tahun
atau lebih dan terjadi pada malam hingga pagi hari.
a)

Trombosis pada pembuluh darah otak (trombosis of cerebral vessels).

b)

Emboli pada pembuluh darah (embolism of cerebral vessels)

2)
Stroke hemoragik (perdarahan). Serangan sering terjadi pada usia 20-60 tahundan biasanya
timbul setelah beraktivitas fisik atau karena psikologis (mental).
a)

Perdarahan intraserebral (parenchymatous hemorrhage)

Gejalanya:
(1)

Tidak jelas, kecuali nyeri kepala hebat karena hipertensi.

(2)

Serangan terjadi pada siang hari, saat beraktivitas, dan emosi atau marah.

(3)

Mual atau muntah pada permulaan serangan.

(4)

Hemiparasis atau hemiplegia terjadi sejak awal serangan.

(5)
Kesadaran menurun dengan cepat dan menjadi koma (65% terjadi kurang dari jam-2
jam; < 2% terjadi setelah 2 jam- 19 hari).
b)

Perdarahan subarachnoid (subarachnoid hemorrhage)

Gejalanya:
(1)

Nyeri kepala hebat dan mendadak.

(2)

Kesadaran sering terganggu dan sangat bervariasi.

(3)

Ada gejala atau tanda meningeal.

(4)
Papiledema terjadi bila ada perdarahan subarachnoid karena pecahnya aneurisma pada
arteri komunikans anterior atau arteri karotis interna.
3.

Etiologi

Menurut Smeltzer & Bare (2002), keadaaan yang dapat menyebabkan stroke:
a.

Trombosis Serebri

Trombosis (penyakit trombo-okulsif) merupakan penyebab stroke yang paling sering dikaitkan
dengan kerusakan lokal dinding pembuluh darah. Beberapa keadaan dibawah ini dapat
menyebabkan trombosis otak:
1)

Aterosklerosis

Ateroskleroris adalah pengerasan pembuluh darah serta berkurangnya kelenturan dan elastisitas
pembuluh darah.
2)

Hiperkoagulasi pada polisitemia

Darah bertambah kental, penambahan viskositas atau hematokrit meningkat dapat melambatkan
aliran darah serebri.
3)

Arteritis

Radang pada arteri.


b.

Embolisme Serebral

Emboli serebral merupakan penyumbatan pembuluh darah otak oleh bekuan darah, lemak dan
udara. Pada umumnya emboli berasal dari trombus di jantung yang terlepas yang merupakan
perwujutan penyakit jantung.
c.

Hemoragik

1)

Hemoragi ekstradural atau epidural

Hemoragi ekstradural merupakan kedaruratan bedah neuro yang memerlukan perawatan segera
dan biasanya mengikuti fraktur tengkorak dengan robekan arteri tengah atau arteri meningen
lain. Pasien harus diatasi dalam beberapa jam cidera untuk mempertahankan hidup.
2)

Hemoragi subdural

Hemoragi subdural pada dasarnya sama dengan hemoragi epidural, kecuali bahwa hematom
lebih lama dan menyebabkan tekanan pada otak.
3)

Hemoragi subarakhnoid

Hemoragi subarakhnoid dapat terjadi akibat trauma atau hipertensi, tetapi penyebab paling sering
adalah kebocoran aneurisme pada sirkulus willisi dan malformasi arteri vena kongenital pada
otak.
4)

Hemoragi intra serebral

Perdarahan di subtansi dalam otak paling umum pada pasien dengan hipertensi aterosklerosis
serebral, karena perubahan degeneratif yang ruptur pembuluh darah.
d.

Hipoksia umum

Pada keadaan hipertensi yang parah jantung dapat mengalami pembengkakan dan gangguan
dalam irama, sehingga dapat menurunkan curah jantung, selain itu pula keelastisitasan pembuluh
darah berkurang dan pembuluh darah dapat mengalami arterosklerosis. Pada keadaan tersebut
suplai darah ke jaringan tubuh dapat terganggu, apabila gangguan tersebut mengenai jaringan
otak maka suplai oksigen dan nutrisi bagi otak akan berkurang, bila keadaan itu terus berlanjut
maka dapat mengalami iskemi dan hipoksia dan berakibat kematian jaringan otak.
e.

Hipoksia lokal

Spasme arteri serebri ataupun vasokontriksi arteri otak dapat menghambat aliran darah ke otak
sehingga otak mengalami iskemi.
4.

Faktor Resiko Stroke

Menurut Smeltzer & Bare (2002), faktor resiko terjadinya stroke sebagai berikut:
a.

Hipertensi

Pengendalian hipertensi adalah kunci untuk mencegah stroke.


b.

Penyakit kardiovaskuler

c.

Kolesterol tinggi

d.

Obesitas

e.

Diabetes

f.

Merokok

5.

Patofisiologi

Skema 2.1. Patofisiologi


Patofisiologi Stroke menurut Muttaqin (2008).
Penyebab (Trombosis, emboli dan perdarahan)
Oklusi
Penurunan perfusi jaringan serebral
Iskemia
Metabolisme anaerob
Penimbunan asam laktat

Aktivitas elektrolit terhenti


Pompa Na dan K gagal

Edema serebral
Perfusi otak menurun
Nekrosis jaringan otak
Keterangan Skema:
Trombosis, emboli dan perdarahan serebral merupakan faktor penyebab yang dapat
mengakibatkan terjadinya oklusi pada pembuluh darah otak, sehingga akan terjadi penurunan
perfusi jaringan serebral, karena suplai oksigen dalam jaringan berkurang sehingga akan terjadi
iskemia kemudian terjadi metabolisme anaerob dan menimbulkan penimbunan asam laktat, dari
iskemia juga dapat menghentikan aktivitas elektrolit sehingga pompa Na dan K gagal,
mengakibatkan edema serebral sehingga perfusi jaringan otak menurun dan terjadi nekrosis
jaringan serebral atau stroke.
6.

Manifestasi Klinis

Menurut Smeltzer & Bare (2002), stroke menyebabkan berbagai defisit neurologis bergantung
pada lokasi lesi, ukuran area yang perfusinya tidak adekuat dan jumlah aliran darah kolateral
(sekunder atau aksesori).
a.

Kehilangan motorik

Stroke adalah penyakit motor neuron dan mengakibatkan kehilangan kontrol volunter terhadap
gerak motorik. Karena neuron motor atas melintas, gangguan kontrol volunter pada salah satu

sisi tubuh dapat menunjukkan kerusakan pada neuron motor atas pada sisi yang berlawanan dari
otak. Disfungsi motor yang paling umum adalah
1) Hemiplegia, yaitu paralisis pada salah satu sisi.
2) Hemiparesis, yaitu kelemahan pada salah satu sisi tubuh.
b.

Kehilangan komunikasi

Fungsi otak yang dipengaruhi stroke adalah bahasa dan komunikasi.


1)
Disartria (kesulitan berbicara), ditunjukan dengan bicara yang sulit dimengerti yang
disebabkan oleh paralisis otot yang bertanggung jawab untuk menghasilkan bicara.
2)

Disfasia atau Afasia (kehilangan bicara), yang terutama ekspresif atau reseptif.

3)
Apraksia (ketidak mampuan untuk melakukan tindakan yang dipelajari sebelumnya),
seperti terlihat ketika pasien mengambil sisir dan berusaha untuk menyisir rambutnya.
c.

Gangguan persepsi

Persepsi adalah ketidakmampuan menginterprestasikan sensasi.


1)

Disfungsi persepsi visual

Kehilangan setengah lapang pandang (hemianopsia), sisi visual yang terkena berkaitan dengan
sisi tubuh yang paralisis.
2)

Kehilangan sensori

Stroke dapat berupa kerusakan sentuhan ringan atau mungkin lebih berat, dengan kehilangan
kemampuan untuk merasakan posisi dan gerak bagian tubuh serta kesulitan dalam
menginterpretasikan strimulasi visual, taktil dan auditorius.
d.

Gangguan fungsi koknitif dan efek psikologis

Bila kerusakan terjadi pada lobus frontal, mempelajari kapasitas, memori atau fungsi kortikal
yang lebih tinggi mungkin rusak. Disfungsi ini ditunjukan dalam lapang perhatian terbatas,
kesulitan dalam pemahaman, lupa dan kurang motivasi.
e.

Disfungsi kandung kemih

Setelah stroke, pasien mungkin mengalami inkontinensia urinarius sementara karena konfusi,
ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan dan ketidakmampuan menggunakan urinal
karena kerusakan kontrol motorik postural.
Berdasarkan bagian hemisfer yang terkena tanda dan gejala dapat berupa:
a.

Stroke hemisfer kanan

Hemiparesis atau hemiplegia pada sisi kiri tubuh, defek lapang penglihatan kiri, defisit persepsi,
prilaku implusif dan penilaian buruk, kurang kesadaran terhadap defisit.
b.

Stroke hemisfer kiri

Hemiparesis atau hemiplegia kanan, defek lapang pandang kanan, afasia (ekspresif, reseptif atau
global), prilaku lambat dan kewaspadaan.

7.

Komplikasi

Menurut Smeltzer & Bare (2002), setelah mengalami stroke klien mungkin akan mengalami
komplikasi yang dapat dikelompokan berdasarkan:
a.

Hipoksia serebral

b.

Hipertensi atau hipotansi

c.

Embolisme serebral

8.

Pemeriksaan Penunjang

a.

Pemeriksaan laboratorium

Menurut Muttaqin (2008), pemeriksaan laboratorium pada stroke sebagai berikut:


1)

Darah rutin.

2)

Pemeriksaan kimia darah: Gula darah.

3)

Cairan serebrospinal.

4)

Pemeriksaan darah lengkap.

b.

Pemeriksaan diagnostik

Menurut Doenges, Moorhouse & Geissler (2000), pemeriksaan diagnostik pada stroke sebagai
berikut:
1. CT Scan Memperlihatkan adanya edema , hiperdens (perdarahan), iskemia dan adanya
infark.
2. Angiografi serebral membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik seperti
perdarahan atau obstruksi arteri.
3.

Pungsi Lumbal

a)

Menunjukan adanya tekanan normal.

b) Tekanan meningkat dan cairan yang mengandung darah menunjukan adanya perdarahan.
4.

Ultrasonografi Dopler : Mengidentifikasi penyakit arteriovena.

5.

Sinar X Tengkorak : Menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal

9.

Penatalaksanaan umum

a.

Medik

Penatalaksaan Medik menurut Muttaqin (2008), adalah:


1)
Menurunkan kerusakan iskemik serebral dengan mempertahankan saluran napas yaitu :
oksigenisasi, penghisapan lendir, bila perlu lakukan trakeostomi serta dengan vasodilator untuk
meningkatkan aliran darah serebral seperti asam nikotinat tolazin dan jenis lainnya
2)

Pemberian trombolisis dengan rt-PA (recombinant tissue plasminogen)

3)
Pemberian obat-obatan seperti digoksin pada aritmia jantung atau alfa beta, kaptropil,
antagonis kalsium pada pasien dengan hipertensi.
4)

Pemberian Steroid guna menurunkan permeabilitas kapiler.

5)
Pemberian Osmotis Diuretika seperti manitol, lasix atau furosemide untuk menurunkan
edema serebral.
6)
Pemberian Anti koagulan untuk mencegah memberatnya trombosis dan embolisasi dari
tempat lain dalam sistem kardivaskuler (Smeltzer & Bare, 2000).
b.

Keperawatan

Menurut Doenges, Moorhouse & Geissler (2000), tindakan yang dilakukan pada pasien stroke:
1)

Meningkatkan perfusi dan oksigenasi serebral yang adekuat.

2)

Mencegah atau meminimalkan komplikasi dan ketidakmampuan yang bersifat permanen.

3)
hari.

Membantu pasien untuk menemukan kemandiriannya dalam melakukan aktivitas sehari-

4)
Memberikan dukungan terhadap proses koping dan mengintegrasikan perubahan dalam
konsep diri pasien.
5)
Memberikan informasi tentang proses penyakit atau prognosisnya dan kebutuhan
tindakan atau rehabilitasi.
B
1.

Konsep Dasar Asuhan Keperawatan

Pengkajian

Menurut Doenges, Moorhouse & Geissler (2000), secara teoritis data yang perlu dikaji dari
pasien stroke adalah sebagai berikut:
a.

Aktivitas / Istirahat

Gejala: merasa kesulitan untuk melakukan aktivitas karena kelemahan, kehilangan sensasi atau
paralisis (hemiplegia).
Tanda: gangguan tonus otot, paralitik dan kelemahan umum, gangguan penglihatan, dan
gangguan tingkat kesadaran.
b.

Sirkulasi

Gejala: adanya penykit jantung ( penyakit jantung vaskular, endokarditis), polisitemia, dan
riwayat hipotensi postural.
Tanda: hipertensi arterial sehubungan dengan adanya embolisme atau malformasi vaskular.
Frekuensi nadi dapat bervariasi karena ketidaksetabilan fungsi jantung, obat-obatan dan efek
stroke pada pusat vasomotor.
c.

Integritas ego

Gejala: perasaan tidak berdaya, dan putus asa.


Tanda: emosi yang labil dan ketidaksiapan untuk marah, sedih, gembira, dan kesulitan untuk
mengekspresikan diri.
d.

Eliminasi

Gejala: perubahan pola berkemih seperti inkontinensia, anuria, distensi abdomen, dan bising usus
negatif.
e.

Makanan/cairan

Gejala: nafsu makan hilang, mual dan muntah selama fase akut (peningkatan TIK). Kehilangan
sensasi rasa kecap pada lidah, pipi dan tenggorokan, disfagia. Adanya riwayat diabetes,
peningkatan lemak dalam darah.
Tanda: kesulitan menelan (gangguan pada reflek palatum dan faringeal), dan obesitas (faktor
resiko).
f.

Neurosensori

Gejala: sinkop atau pusing, sakit kepala, akan sangat berat dengan adanya PIS atau PSA,
kelemahan, kesemutan, atau kebas. Penglihatan menurun, kehilangan daya lihat sebagian,
penglihatan ganda. Sentuhan, hilangnya rangsang sensorik kolateral pada ekstermitas dan
kadang-kadang ipsilateral pada wajah. Gangguan rasa pengecapan dan penciuman.
Tanda: status mental atau tingkat kesadaran menurun, gangguan tingkah laku (letargi, apatis,
menyerang), gangguan fungsi kognitif atau penurunan memori, kelemahan atau paralisis pada
ekstermitas, reflek tendon melemah. Afasia, kehilanagan kemempuan menggunakan motorik
(afraksia), ukuran atau reaksi pupil tidak sama, dan kejang.
g.

Nyeri/ Kenyamanan

Gejala: sakit kepala dengan intesitas yang berbeda-beda.


Tanda: tingkah laku yang tidak stabil, gelisah, dan ketegangan pada otot (fasia).
h.

Pernafasan

Gejala: merokok
Tanda: ketidak mampuan menelan, batuk, hambatan jalan nafas. Timbulnya pernafasan sulit,
tidak teratur, dan suara nafas terdengar ronchi.
i.

Interaksi sosial

Tanda: masalah bicara, dan ketidakmampuan untuk berkomunikasi.


j.

Penyuluhan/pembelajaran

Gejala: adanya riwayat hipertensi pada keluarga, stroke, pemakaian kontrasepsi oral, dan
kecanduan alkohol.
2.

Diagnosa Keperawatan (DX. Kep)

Menurut Doenges, Moorhouse & Geissler (2000), diagnosa keperawatan yang muncul pada klien
dengan stroke antara lain:
a.
Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan gangguan interupsi aliran darah,
oklusif, hemoragi, edema serebral, vasospasme.
b.
Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskular: hemiparese atau
hemiplegia.

c.
Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan neuromuskular: kerusakan
pada area bicara (afasia), kehilangan kontrol tonus otot facial.
d.

Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan transmisi saraf sensori.

e.
Kurang perawatan diri: aktivitas daili (ADL) berhubungan dengan kerusakan
neuromuskular, penurunan kekuatan atau tahanan, kehilangan kontrol atau koordinasi otot.
Sedangkan menurut Batticaca (2008), diagnosa keperawatan yang muncul pada klien dengan
stroke antara lain:
a.
Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan perfusi ventilasi dan
perubahan membran alveolar kapiler.
b.
Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan peningkatan tekanan
intracranial.
c.

Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan neuromuskular.

d.

Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan gangguan sirkulasi serebral.

e.

Defisit perawatan diri berhubungan dengan paralisi, hemiparase, quadriplegi.

f.
Resiko ketidak seimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
kelemahan otot dalam mengunyah dan menelan.
3.

Rencana Tindakan Keperawatan

Intervensi keperawatan adalah upaya yang dilakukan perawat untuk mencapai hasil yang
diharapkan yaitu kesembuhan pasien dan kemampuan pasien melakukan atau memenuhi
kebutuhan hidupnya kembali dan tujuan pemulangan pasien. Menurut Doenges, Moorhouse &
Geissler (2000), rencana tindakan pada pasien dengan stroke adalah sebagai berikut:
a.
Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan gangguan interupsi aliran darah,
oklusif, hemoragi, edema serebral, vasospasme.
Tujuan: perfusi jaringan otak dapat tercapai secara optimal dengan kriteria hasil yang ingin
dicapai yaitu: klien tidak gelisah, tidak ada keluhan nyeri kepala, mual, atau kejang. GCS: 15
(E:4 M:6 V:5), tanda-tanda vital dalam batas normal, tingkat kesadaran membaik, dan tidak ada
penurunan fungsi neurologis.
Intervensi:
1)
Kaji faktor penyebab dan beri penjelasan kepada keluarga tentang sebab-sabab peningkatan
TIK dan akibatnya.
Rasional: mempengaruhi penetapan intervensi. Kerusakan atau kemunduran tanda dan gejala
neurologis atau kegagalan mempebaikinya setelah fase awal memerlukan tindakan pembedahan
dan atau pasien harus dipindahkan keruang perawatan kritis (ICU) untuk melakukan pemantauan
TIK.
2)
Pantau atau catat status neurologis sesering mungkin dan bandingkan dengan keadaan
normalnya.
Rasional: dapat mengurangi kerusakan otak lebih lanjut.

3)

Monitor tanda-tanda vital seperti: (tekanan darah, nadi, suhu, dan frekuensi pernafasan).

Rasional: pada keadaan normal, otoregulasi mempertahankan keadaan tekanan darah sistemik
berubah secara fluktuasi. Kegagalan otoreguler akan menyebabkan kerusakan vaskuler serebri
yang dapat dimanifestasikan dengan peningkatan sistolik dan diikuti oleh penurunan tekanan
diastolik, sedangkan peningkatan suhu dapat menggambarkan perjalanan infeksi.
4)

Tinggikan posisi kepala 30-450 dan dalam posisi anatomis (netral).

Rasional: menurunkan tekanan arteri dengan meningkatkan drainase dan meningkatkan sirkulasi
atau perfusi serebral.
5)
Pertahankan keadaan tirah baring, ciptakan lingkungan yang nyaman dan tenang, dan
batasi pengunjung.
Rasional: aktivitas atau stimulasi yang kontinu dapat meningkatkan TIK.
6)

Anjurkan klien untuk tidak menekuk lutut, batuk, bersin atau mengejan berlebihan.

Rasional: batuk dan mengejan dapat meningkatkan tekanan intrakranial.


7)

Kolaborasi pemberian oksigen sesuai indikasi.

Rasional: menurunkan hipoksia yang dapat menyebabkan vasodilatasi serebral dan tekanan
meningkat atau terbentuknya edema.
8)
Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi: antikoagulan heparin, antifibrolitik asam
aminocaproid, antihipertensi, steroid, diuretik,
Rasional: dapat digunakan untuk memperbaiki aliran darah serebral, untuk mencegah lisis
bekuan yang terbentuk dan perdarahan berulang.
b.
Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskular, hemiparese atau
hemiplegi.
Tujuan: klien mampu melaksanakan aktifitas fisik sesuai dengan kemampuannya dengan kriteria
hasil yang ingin dicapai yaitu: klien mempertahankan posisi tubuh secara optimal seperti tidak
adanya kontraktur atau footdrop, mempertahankan atau meningkatkan fungsi tubuh yang terkena,
klien dapat ikut serta dalam program latihan, mendemonstrasikan tekhnik melakukan aktivitas,
mempertahankan integritas kulit, kebutuhan ADL terpenuhi, dan tonus otot meningkat.
Intervensi:
1)
Kaji kemampuan secara fungsional atau luasnya kerusakan awal dan dengan cara yang
teratur, klasifikasikan melalui skala 0-4.
Rasional: mengidentifikasi kekuatan atau kelemahan dan dapat memberikan informasi mengenai
pemulihan.
2)

Ubah posisi minimal setiap 2 jam.

Rasional: menurunkan resiko terjadinya iskemia jaringan akibat sirkulasi darah yang jelek pada
daerah yang tertekan.
3)
Ajarkan klien latihan rentang gerak aktif dan pasif, libatkan keluarga dalam melakukan
tindakan.
Rasional: meminimalkan atrofi otot, meningkatkan sirkulasi, membantu mencegah kontraktur.
4)

Tempatkan bantal dibawah aksila untuk melakukan abduksi pada tangan.

Rasional: mencegah adduksi bahu dan fleksi siku.


5)

Posisikan lutut dan panggul dalam posisi ekstensi.

Rasional: mempertahankan posisi fungsional.


6)

Pertahankan kaki dalam posisi netral dengan gulungan bantal.

Rasional: mencegah rotasi eksternal pada pinggul.


7)
Inspeksi kulit terutama pada daerah yang tertekan dan menonjol secara teratur, lakukan
massage pada daerah tertekan, sanggah tangan dan pergelangan pada kelurusan alamiah.
Rasional: titik-titik tekanan pada daerah yang menonjol paling berisiko untuk terjadinya
penurunan perfusi atau iskemia.
8)

Kolaborasi dengan ahli fisiotrapi untuk latihan fisik klien.

Rasional: peningkatan kemampuan dalam mobilisasi ekstremitas dapat ditingkatkan dengan


latihan fisik dari tim fisiotherapis.
c. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan neuromuskular: kerusakan
pada area bicara (afasia), kehilangan kontrol tonus otot facial atau oral, dan kelemahan secara
umum.
Tujuan: klien dapat menunjukkan pengertian terhadap masalah komunikasi, mampu
mengekspresikan perasaannya, mampu menggunakan bahasa isyarat dengan kriteria hasil yang
ingin dicapai yaitu: terciptanya suatu komunikasi dimana kebutuhan klien terpenuhi, klien
mampu berespon setiap berkomunikasi secara verbal maupun isyarat, membuat metode
komunikasi, mampu mengekspresikan diri dan memahami orang lain.
Intervensi:
1)
Kaji tipe atau derajat disfungsi misalnya klien tidak mengerti tentang kata-kata atau
masalah berbicara atau tidak mengerti bahasa sendiri.
Rasional: membantu menentukan kerusakan area pada otak dan menentukan kesulitan klien
sebagian atau seluruh proses komunikasi, klien mungkin mempunyai masalah dalam
mengartikan kata-kata.
2)
Katakan untuk mengikuti perintah secara sederhana seperti tutup matamu dan lihat
kepintu.
Rasional: untuk menguji afasia reseptif.
3)
Berikan metode komunikasi alternatif misalnya menulis pada papan tulis, menggambar,
gunakan kata-kata sederhana secara bertahap dan dengan bahasa tubuh.
Rasional: memberikan komunikasi dasar sesuai dengan situasi individu.
4)

Antisipasi dan penuhi kebutuhan klien.

Rasional: membantu menurunkan frustasi oleh karena ketergantungan atau ketidakmampuan


berkomunikasi.
5)

Mintalah pasien mengucapkan suara sederhana seperti Sh atau


Pus.
Rasional: mengidentifikasi disatria komponen bicara (lidah, gerakan bibir).

6)
Anjurkan klien untuk menulis nama atau kalimat pendek, bila tidak mampu anjurkan klien
untuk membaca kalimat pendek.
Rasional: menguji ketidakmampuan menulis (agrafia) dan defisit membaca.
7)
Berbicara dengan nada normal dan hindari ucapan yang terlalu cepat, berikan waktu klien
untuk berespon.
Rasional: klien tidak dipaksa untuk mendengar, tidak menyebabkan klien marah dan tidak
menyebabkan rasa frustasi.
d. Resiko ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
kelemahan otot dalam mengunyah dan menelan.
Tujuan: kebutuhan nutrisi klien terpenuhi dengan kriteria hasil yang ingin dicapai yaitu: asupan
dapat masuk sesuai kebutuhan, terdapat kemampuan menelan, tidak terjadi penurunan berat
badan, tidak terpasang sonde.
Intervensi:
1)

Lakukan oral higiene.


Rasional: kebersihan mulut merangsang nafsu makan.

2) Observasi intake dan output nutrisi.


Rasional: mengetahui keseimbangan nutrisi klien.
3)

Tentukan kemampuan klien dalam mengunyah, menelan dan reflek batuk.


Rasional: untuk menetapkan jenis makanan yang akan diberikan pada klien.

4)

Letakan posisi kepala lebih tingggi pada waktu, selama dan sesudah makan.
Rasional: untuk klien lebih mudah untuk menelan karena gaya gravitasi.

5) Stimulasi bibir untuk membuka dan menutup mulut secara manual dengan menekan ringan
diatas bibir atau dibawah dagu jika diperlukan.
Rasional: membantu dalam melatih kembali sensorik dan meningkatkan kembali
kontrolmuskular.
6)

Berikan makan perlahan dengan lingkungan yang tenang.

Rasional: klien dapat berkonsentrasi pada mekanisme makan tanpa adanya distraksi atau
gangguan dari luar.
7) Mulailah untuk memberi makan per oral setengah cair, makanan lunak ketika klien dapat
menelan air.
Rasional: makan lunak/cairan kental mudah untuk mengendalikannya di dalam mulut, dan
menurunkan terjadinya aspirasi.
8)

Anjurkan klien menggunakan sedotan minuman cairan.

Rasional: menguatkan otot fasial dan otot menelan dan menurunkan resiko terjadinya
tersedak.
9)

Kolaborasi dalam pemberian nutrisi melalui parenteral dan makanan melalui selang.

Rasional: mungkin diperlukan untuk memberikan cairan pengganti dan juga makanan jika
klien
tidak mampu untuk memasukkan segala sesuatu melalui mulut.

Anda mungkin juga menyukai