Anda di halaman 1dari 23

Tinjauan Pustaka

MEKANISME BIOKIMIA, SELULER, DAN MOLEKULER


KEMATIAN NEURON DAN CEDERA OTAK SEKUNDER
PADA PERAWATAN PASIEN KRITIS

Oleh :
dr. Nur Kusumawati
Pembimbing :
dr. Danu Soesilowati, SpAn, KIC

BAGIAN/SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNDIP/RSUP dr. KARIADI
SEMARANG
2014

MEKANISME BIOKIMIA, SELULER, DAN MOLEKULER


KEMATIAN NEURON DAN CEDERA OTAK SEKUNDER
PADA PERAWATAN PASIEN KRITIS

Nur Kusumawati, Danu Soesilowati


Bagian/SMF Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran UNDIP/RSUP dr. Kariadi Semarang

I.

PENDAHULUAN
Mekanisme biokima, seluler, dan molekuler kematian neuron dan
cedera otak sekunder yang berhubungan dengan cedera susunan saraf
pusat (SSP) yang membutuhkan perawatan neurointensif, menyoroti
mekanisme biokimia dan molekuler untuk menerangkan prinsip
patofisiologi umum dalam perawatan neurointensif, memfokuskan
pada dinamika intrakranial dan sirkulasi serebri. Selain itu juga
menerangkan aspek penting perawatan neurointensif lainnya, seperti
monitoring dan koma, bersama dengan patofisiologi spesifik dan
pengobatan proses utama penyakit dalam perawatan neurointensif pada
dewasa dan anak. Hal ini termasuk cedera kepala traumatik, henti
kardiopulmoner, stroke, perdarahan subarachnoid, dan kejang, diantara
cedera lainnya.1,3

II.

MATERI
Sketsa mengenai mekanisme yang paling penting dari cedera sekunder
pada otak setelah cedera akibat trauma atau iskemik terdapat pada
Gambar 29-1. Pusat semua cedera kepala yang memerlukan perawatan
neurointensif adalah iskemik serebri dan/atau kegagalan energi serebri.
Konsekuensi utama cedera iskemik dan/atau kegagalan energi adalah
kematian neuron. Dua bentuk utama dari iskemia dalam perawatan

neurointensif adalah global dan fokal, seperti terlihat dalam kasus henti
kardiopulmoner dan stroke.1,3

Gambar 29-1 Mekanisme biokimia, seluler, dan molekuler yang terjadi


dalam kerusakan sekunder setelah cedera otak iskemik atau traumatik. Tiga
kategori utama mekanisme sekunder ini antara lain (1) Iskemia,
eksitotoksisitas,

kegagalan

energi,

dan

kaskade

kematian

sel;

(2)

Pembengkakan otak; dan (3) Cedera akson. Kategori keempat, inflamasi dan
regenerasi, mempengaruhi masing-masing kaskade.

Pada kasus cedera otak traumatik, gangguan langsung pada parenkim


atau vaskuler atau vasospasme sering mengakibatkan serebral iskemik,
walaupun deformasi jaringan seperti peregangan dan pergeseran
neuron dan vaskuler bersama dengan cedera dendrit dan perdarahan
juga terlibat. Pada kasus perdarahan subarachnoid, perdarahan sering
diikuti dengan vasospasme yang tertunda, yang diikuti dengan serebral
iskemik

sekunder. Akhirnya,

kejang

dan

hipoglikemia

dapat

mengakibatkan kematian neuron dan menggambarkan situasi dimana


iskemia relatif dihasilkan, apakah dari proses metabolik yang
meningkat melebihi suplai atau dari pelepasan substrat yang

berkurang. Bila durasi cedera cukup, kegagalan energi akan


mengakibatkan cedera seluler atau kematian seluler. Iskemia dan
kegagalan energi jelas adalah penyebab dalam patofisiologi cedera
perawatan neurointensif.1
Iskemik Serebri Global
Pada pasien dengan iskemik serebri global, cedera hebat dan sering
terbentuk square-wave. Contoh cedera iskemik serebri global yang
sering terjadi adalah fibrilasi ventrikel kardiopulmoner. Dengan
menggunakan tindakan konvensional, pasien dapat diresusitasi dengan
baik dari cedera ini hanya jika hal ini terjadi dengan singkat, dimana
sirkulasi harus kembali pulih dalam 5 sampai 12 menit, walaupun
durasi maksimal yang akan memberikan keluaran neurologis yang
intak bergantung pada beberapa faktor, seperti temperatur.6 Pada kasus
dengan iskemik serebri komplit, kadar adenosin trifosfat (ATP) dan
fosfokreatinin dalam otak berkurang dalam waktu kurang dari 2 menit.
Kegagalan

membran

terjadi

kemudian,

dengan

hilangnya

keseimbangan ion, termasuk pelepasan ion K+ keluar sel dan


masuknya Ca++, Na+, dan Cl-.2 Pada reperfusi, urutan peristiwa yang
kompleks tergantung pada durasi cedera tersebut. Gangguan
metabolisme lemak seperti pelepasan asam lemak bebas dan hasil
kerusakan DNA, bersama dengan serangkaian kaskade yang merusak
termasuk stres oksidatif dan nitrosatif, eksitoksisitas, aktivasi poliADP-ribosa polimerase (PARP), disfungsi mitokondria dan reticulum
endoplasma, dan kelainan sel dalam memberikan sinyal. Sejumlah
respons neuroprotektan endogen juga diinisiasi. Peristiwa biokimia,
seluler, dan molekuler spesifik akan didiskusikan kemudian. Kenaikan
kadar kalsium yang telah disebutkan sebelumnya dipercaya memiliki
peran penting dalam memulai banyak peristiwa ini. Pada situasi
dimana pasien berpotensi untuk diselamatkan, seperti cedera di
ambang batas, hasil reperfusi dalam hiperemia transien (beberapa
menit) diikuti dengan hipoperfusi yang tertunda (beberapa jam). Pola

kerusakan neuron terlihat setelah iskemik serebri global dan biasanya


disebut dengan kerentanan selektif.1
Beberapa regio otak secara khusus rentan terhadap iskemia, termasuk
regio CA1 hipokampus, korteks 3 dan 5, bagian dari nukleus amigdala,
dan sel purkinje otak. Cedera iskemik global akibat henti
kardiopulmoner dimana terdapat kemungkinan pulih umumnya
dipercaya tanpa peningkatan tekanan intrakranial yang berarti, karena
berdasarkan penelitian pada binatang menunjukkan bahwa ambang
batas untuk menghasilkan keluaran yang buruk pada pasien dengan
cedera iskemik serebri global adalah kurang dari yang dibutuhkan
untuk menghasilkan hipertensi intrakranial yang signifikan secara
klinis.2 Sehingga, edema otak dan cedera vaskuler tidak dipercaya
menggambarkan target terapi yang penting setelah iskemik serebri
global. Keduanya relevan namun cedera global atipikal dalam
perawatan neurointensif adalah asphyxia cardiopulmonary arrest, dan
episode near-hanging. Pada yang terakhir, obstruksi drinase vena
serebri selama asfiksia mengakibatkan iskemik.1
Iskemik Serebri Fokal
Iskemik serebri fokal dalam perawatan neurointensif disebabkan oleh
trombosis atau emboli dan umumnya mengakibatkan iskemik fokal
yang dikelilingi oleh iskemik penumbra dengan aliran darah otak
(CBF) yang minimum. Fokus iskemik umumnya dipercaya tidak dapat
diselamatkan kecuali reperfusi segera dilakukan. Sedangkan iskemik
penumbra adalah bagian yang memiliki aliran kolateral dan merupakan
target terapi untuk reperfusi dengan agen trombolitik dan/atau terapi
farmakologis. Dalam kasus iskemik serebri, hirarki ambang batas CBF
telah dipelajari pada penelitian eksperimental, dengan inhibisi sintesis
protein menjadi yang paling sensitif pada pengurangan CBF, diikuti
dengan hilangnya aktivitas listrik (potensi yang dibangkitkan dan
elektroensefalogram), dan kegagalan membran pada akhirnya.1

Tidak seperti kerentanan selektif yang terlihat pada iskemik serebri


global, iskemik serebri fokal mengakibatkan pan-nekrosis pembuluh
darah dan astrosit, sehingga terjadi infark. Kematian sel di penumbra
dapat diakibatkan oleh nekrosis, apoptosis, dan fenotip campuran.
Walaupun apoptosis yang klasik tidak dapat terlihat. Pembengkakan
astrosit dan cedera sawar darah otak dapat memiliki peran yang
penting dalam iskemik serebri fokal.2 Pada penumbra, menyebarkan
gelombang

depresi

mengakibatkan

depolarisasi

yang

dapat

meningkatkan kerusakan eksitotoksik dengan perluasan inti lesi.


Reperfusi dapat terjadi secara spontan atau dengan pemberian agen
trombolitik dan dapat menghasilkan mikrokosmos seperti yang telah
disebutkan di atas, akibat stres oksidatif dan nitrosatif kerusakan
mitokondria dan retikulum endoplasma, dan kelainan sel dalam
memberikan sinyal yang terlihat pada iskemik serebri global. Pada
pasien

dengan

iskemik

serebri

fokal

dengan

infark

luas,

pembengkakan otak dapat mengakibatkan iskemik sekunder akibat


hipertensi intrakranial.1
Cedera Otak Traumatik
Pada kasus cedera otak traumatik yang berat, mekanisme biokimia dan
molekuler yang terjadi bergantung pada tipe spesifik cedera. Pada
kasus kontusio fokal, gangguan langsung pada parenkim dengan
nekrosis dan perdarahan lokal yang tumpang tindih dengan gangguan
vaskuler, permeabilitas sawar darah otak, dan iskemik lokal. Hal ini
mengakibatkan kaskade eksitotoksisitas dan nekrosis pada penumbra
kontusio, termasuk stres oksidatif dan nitrosatif, dan calpain-mediated
proteolisis. Cedera akson lokal juga dapat terlihat pada pasien dengan
kontusio. Kontusio fokal umumnya rumit ditandai dengan adanya
pembengkakan lokal dan sering dengan hipertensi intrakranial, dengan
kemungkinan adanya iskemik fokal atau global sekunder atau
sindroma herniasi. Sebaliknya dalam cedera difus, gangguan akson
difus dan vaskuler dapat terlihat, dengan karakteristik khas perdarahan

petekie di substansia alba. Cedera ini dapat berakibat buruk walaupun


tanpa hipertensi intrakranial.2 Pada kasus cedera otak traumatik berat,
cedera gabungan yaitu kontusio multipel dan cedera difus sering
terjadi. Pada akhirnya, iskemia kompresi sekunder dapat terjadi akibat
hipertensi refrakter intrakranial, cedera ekstraserebri sekunder seperti
hipotensi dan hipoksemia dapat memberikan keluaran yang buruk, dan
yang penting adalah, mempersulit respon biokimia dan molekuler pada
cedera otak traumatik, ditandai dengan meningkatnya kematian neuron
yang tertunda dalam regio otak.1
Mekanisme Utama Biokimia dan Molekuler Kerusakan Neuron
Sekunder
Sejumlah kaskade

patologi

cedera

penting

pada

perawatan

neurointensif, termasuk eksitotoksisitas, kematian sel yang terprogram,


cedera akson, dan inflamasi, bersama dengan respon neuroprotektan
endogen.1
Eksitotoksisitas
Eksitotoksisitas menggambarkan proses dimana glutamat dan asam
amino eksitator lainnya menyebabkan kerusakan neuron. Lucas dan
Newhouse pertama menjelaskan toksisitas glutamate. Olney kemudian
melaporkan bahwa pemberian glutamat intraperitoneal mengakibatkan
cedera

otak

pada

hewan

coba.

Walaupun

glutamat

adalah

neurotransmiter yang paling banyak dalam otak, paparan kadar toksik


dapat menyebabkan kematian saraf. Paparan glutamat mengakibatkan
cedera saraf dalam dua fase. Beberapa menit setelah paparan, terjadi
pembengkakan saraf yang dependen sodium. Hal ini diikuti dengan
degenerasi yang dependen kalsium. Efek-efek ini dimediasi oleh
reseptor yang terikat pada ionofor, diberi label menurut agonis spesifik
N-metil-d-aspartat (NMDA), kainit, dan asam -amino-3-hidroksi-5metil-4-isoksazolepropionik (AMPA), dan reseptor yang terikat pada
sistem pembawa pesan kedua, disebut reseptor metabotropik. Aktivasi
reseptor-reseptor ini menimbulkan influks kalsium melalui kanal

gerbang reseptor atau gerbang voltase, atau melalui pelepasan


simpanan kalsium intraseluler.2 Peningkatan konsesntrasi kalsium
intraseluler adalah pemicu sejumlah proses yang menyebabkan cedera
atau kematian sel (Gambar 29-2). Salah satu mekanismenya
mempengaruhi aktivasi neuronal nitric oxide synthase (nNOS),
menyebabkan produksi nitrit oksida (NO), pembentukan peroksinitrit,
dan menyebabkan kerusakan DNA. PARP adalah enzim yang secara
normal bekerja dalam perbaikan DNA. Dalam menghadapi kerusakan
DNA, aktivasi PARP yang berlebihan mengakibatkan deplesi NAD
dan ATP, kegagalan metabolik, dan kematian sel. PARP dapat
mengganggu produksi ATP secara langsung melalui modifikasi
posttranslasi protein rantai transpor elektron. Hal ini mungkin penting,
karena mencit dengan PARP menunjukkan hasil yang lebih baik
dibandingkan kontrol setelah percobaan stroke atau cedera otak
traumatik.1,3

Gambar 29-2 Mekanisme-mekanisme yang terjadi dalam eksitotoksisitas.


Glutamat menyebabkan peningkatan konsentrasi kalsium melalui stimulasi
(1) reseptor NMDA dengan pembukaan reseptor yang terikat ionofor

kalsium, (2) reseptor AMPA dengan pembukaan saluran kalsium dengan


gerbang voltase, dan (3) reseptor metabotropik, dengan pelepasan simpanan
kalsium intraseluler melalui messenger kedua, inositol trifosfat dan
diasilgliserol. Peningkatan konsentrasi kalsium intraseluler menyebabkan
aktivasi protease, lipase, dan endonuklease bersama stimulasi NOS neuron
(nNOS) dan produksi radikal oksigen. Hal ini mengakibatkan pembentukan
peroksinitrit, kerusakan mitokondria, dan cedera DNA, kemudian cedera dan
kematian sel. AMPA, -amino-3-hidroksi-5-metil-4-isoksazolepropionik;
DG, diasilgliserol; GLY, koagonis glisin; IP3, inositol trifosfat; METAB,
reseptor metabotropik glutamat; NMDA, reseptor N-metil-D-aspartat; NOS,
nitrit oksida sintase; PIP2, fosfoinositida.

Beberapa bukti yang dapat dipertimbangkan dalam laboratorium


eksperimental memberikan kontribusi penting tentang eksotoksisitas
mengenai evalusi kerusakan sekunder pada kasus iskemik serebri
global dan fokal, cedera otak traumatik berat, PSA, dan status
epileptikus. Bukti mendukung peran penting eksotoksisitas pada
manusia sama terdapat pada cedera otak traumatik berat, stroke, dan
perdarahan

subarachnoid.3

Persson

dan

Hillered

melaporkan

peningkatan kadar gluamat interstitial pada pasien dengan perdarahan


subarachnoid pada 1992. Palmer et al pertama menggambarkan
peningkatan konsentrasi asam amino eksitator

pada cairan

serebrospinal (CSS) ventrikel dari pasien dewasa dengan cedera otak


traumatik. Konsesntrasi glutamat meningkat kurang lebih lima kali
lipat dibandingkan pasien kontrol (mencapai 7 M) konsentrasinya
cukup untuk menyebablan kematian sel pada kultur sel. Bullock et al
mengkarakteristikkan pola pelepasan glutamat dengan mengukur asam
amino ekstitator dengan mikrodialisis pada pasien setelah cedera otak
traumatik. Pasien dengan CT-scan kepala normal dan tidak ada iskemik
sekunder memiliki konsentrasi glutamat interstitial yang meningkat di
awal saja dan kemudian kembali ke normal. Sebaliknya, pasien dengan
konsentrasi glutamat yang meningkat progresif meninggal. Sama

halnya pada kasus strok pada manusia, Bullock et al juga melaporkan


peningkatan asam amino eksitator secara massif, glutamat dan
aspartate, pada pasien yang membutuhkan kraniektomi dekompresi
untuk mencegah herniasi batang otak.1,4
Kaskade Kematian Sel Yang Terprogram
Sekarang semakin jelas dari model eksperimental dan data manusia
bahwa sel-sel yang mati setelah iskemia serebri global atau fokal atau
cedera otak traumatik dapat dikategorikan menurut kontinum
morfologis mulai dari nekrosis ke apoptosis. Apoptosis adalah
deskripsi morfologis kematian sel dengan penyusutan sel dan
kondensasi nukleus, fragmentasi DNA internukleus, dan pembentukan
badan apoptosis. Sebaliknya, kematian sel oleh nekrosis menunjukkan
pembengkakan sel dan nukleus dengan disolusi membran. Apoptosis
membutuhkan kaskade intraseluler untuk menyelesaikan kematian sel;
sehingga, kata apoptosis sebelumnya digunakan sama dengan kematian
sel yang terprogram. Pada penyakit dengan mekanisme yang kompleks
dan multipel, seperti stroke dan cedera otak traumatik, biasanya lebih
kepada aturan daripada harapan untuk mendeteksi sel yang mati
dengan banyak atau semua fenotipe kematian sel saat ini. 3 Sebagai
contoh, beberapa sel menunjukkan fragmentasi DNA dan aktivasi
protease yang menyebabkan apoptosis, meskipun juga terdapat
pembengkakan nukleus dan sel. Sel yang mati dengan fenotipe
campuran dapat menyebabkan target terapi yang sulit.1
Kematian Sel Terprogram Pada Cedera Otak Manusia
Deskripsi fenotip kematian sel terprogram yang terjadi setelah cedera
otak pada manusia sudah diketahui tahun 1940-an. Namun, bukti
biokimia dari kematian sel terprogram setelah cedera otak pada
manusia telah dilaporkan hanya dalam dekade terakhir dan sekarang
telah dilaporkan juga setelah cedera otak traumatik, stroke, dan
epilepsi.3 Sampel jaringan otak dari pasien cedera otak traumatik yang
membutuhkan kraniektomi dekompresi untuk pengobatan hipertensi

intrakranial yang mengancam jiwa, ditemukan memiliki bukti


fragmentasi DNA dengan label terminal deoxynucleotidyl transferase
mediated nick-end (TUNEL) dan pembelahan caspase 1 dan 3,
menunjukkan aktivasi kaskade apoptosis. Up-regulation caspase-8 di
otak manusia setelah cedera otak traumatik baik di tingkat transkripsi
dan translasi juga telah dilaporkan. Caspase 8 ditemukan terutama di
neuron dan dikaitkan dengan tingkat relatif dari reseptor kematian Fas,
memberikan

bukti

jalur

apoptosis

ekstrinsik

dalam

neuron.5

Peningkatan Fas dan Fas ligand juga telah dilaporkan dalam cairan
serebrospinal dari pasien dengan cedera otak traumatik, dimana tingkat
Fas berhubungan dengan tekanan intrakranial. Aktivasi jalur apoptosis
intrinsik juga terjadi setelah cedera otak traumatik. 2 Sel dengan
morfologi apoptosis dan kerusakan DNA yang terdeteksi oleh TUNEL
telah dilaporkan dalam spesimen otopsi dari pasien yang meninggal
hingga 12 bulan setelah cedera, mungkin menunjukkan bahwa terdapat
jendela terapi yang relatif luas untuk pemberian obat yang bertujuan
untuk mengurangi kematian sel terprogram.1
Banyak dari studi observasi klinis menunjukkan potensial perbedaan
jenis kelamin dalam mekanisme kematian sel setelah cedera otak.
Misalnya, kadar sitokrom C dalam cairan serebrospinal berhubungan
dengan jenis kelamin perempuan setelah cedera otak traumatik pada
anak-anak, dan kadar dari jejak biokimia aktivasi PARP dalam cairan
serebrospinal berhubungan dengan jenis kelamin laki-laki setelah
cedera otak traumatik pada anak-anak dan orang dewasa. Studi-studi
ini sudah konsisten terbukti baik dengan studi eksperimental kematian
neuron in vitro dan in vivo. Beberapa catatan yang perlu diperhatikan
berurutan. Pertama, tidak jelas apa kontribusi kuantitatif kematian sel
terprogram, apoptosis khususnya, dalam kasus-kasus klinis iskemia
serebri atau cedera otak traumatik. Sangat mungkin bahwa sel-sel mati
menunjukkan beberapa fitur biokimia dan fenotip kematian sel
terprogram, namun cedera yang parah untuk sel sebenarnya tidak
10

tergantung pada proses aktif.2 Bahkan jika mekanisme kematian sel


terprogram memainkan peran penting, tidak jelas apakah menghambat
kematian neuron setelah cedera sepenuhnya menguntungkan, karena
apoptosis merupakan mekanisme penting bagi sistem biologis untuk
menghilangkan sel yang abnormal atau mengalami

penuaan, dan

autofagi penting bagi protein dan pergantian organel. Dengan kata lain,
eliminasi tenang melalui "bunuh diri sel" pada sel dan/atau organel
yang rusak atau mengalami disfungsi dapat menyebabkan manfaat
secara keseluruhan untuk pasien, pada dasarnya "debridemen
molekul." Hanya uji klinis terapi baru yang memiliki target kaskade
individu kematian sel terprogram akan dapat menentukan apakah
mekanisme ini, sendiri atau dalam kombinasi, merupakan target
penting dalam perawatan neurointensif.6 Penelitian terbaru mengenai
efektifitas hipotermia ringan setelah serangan kardiopulmoner
eksperimental dan klinis, bagaimanapun, menunjukkan bahwa
keberhasilan intervensi ini mungkin berasal dari efek pada kematian
sel terprogram.1
Cedera Akson
Kerusakan area putih penting dalam infark yang terjadi karena stroke,
tetapi mungkin hanya memainkan peran yang terbatas dalam patologi
reversibel iskemia otak global.3 Sebaliknya, cedera akson sangat
penting pada pasien dengan cedera otak traumatik. Ini telah dibuktikan
baik secara klinis dan pada model eksperimental. Tingkat dan
distribusi cedera akson traumatik tergantung pada tingkat keparahan
cedera dan kategorinya (fokal atau difus). Pendapat klasik bahwa
cedera akson traumatik terjadi karena pergeseran fisik ditunjukkan
terutama dalam kasus-kasus cedera parah di mana terjadi frank axonal
tears. Namun, penelitian eksperimental terbaru menunjukkan bahwa
kerusakan aksonal terutama terjadi oleh proses tertunda yang disebut
aksotomi sekunder. Dua hipotetis telah berusaha untuk menjelaskan
aksotomi

sekunder,

yang

satu

menghubungkan

permeabilitas

11

aksolemal dan masuknya kalsium sebagai kejadian awal (Gambar 295), dan yang lainnya kelainan sitoskeletal langsung mempengaruhi
aliran aksoplasmik. Telah dikemukakan bahwa kedua bentuk reaktif
pembengkakan aksonal terjadi tetapi dalam proporsi yang berbeda
tergantung pada tingkat keparahan cedera. Tumpang tindih dengan
teori ini adalah temuan bahwa hipoksia atau cedera iskemik juga dapat
menghasilkan pembengkakan aksonal.2 Akhirnya, perbedaan serta
teori-teori pemersatu untuk cedera aksonal pada pasien dengan cedera
otak telah diusulkan. Fitur mekanik umum meliputi fluks ion fokal,
disregulasi kalsium, dan disfungsi mitokondria dan sitoskeletal.1

Gambar 29-5 Pembengkakan akson reaktif telah diusulkan sebagai hasil dari
fokus gangguan aksolemal, pergeseran ion, dan pemadatan neurofilamen.
Satu atau semua peristiwa ini pada hasil pencarian situs A dalam
pembengkakan reaktif di situs B di wilayah hulu akson. Di lokasi masuknya
ion, pemadatan neurofilamen dan pembengkakan mitokondria terlihat (C).
Pemadatan neurofilamen terkait dengan kehilangan pistol neurofilamen (D).
Transportasi akson yang terhalang mengakibatkan pembesaran hulu akson,
misalignment

neurofilamen,

akumulasi

organel,

dan

pembentukan

pembengkakan aksonal reaktif yang khas (E).

Cedera aksonal traumatik memberikan kontribusi terhadap morbiditas

12

dan mortalitas setelah cedera otak traumatik. Sampai saat ini,


kontribusi cedera akson untuk morbiditas tetap spekulatif, karena
cedera akson traumatik tetap refrakter terhadap pengobatan bahkan di
laboratorium. Namun, studi terbaru dalam model eksperimental cedera
otak traumatik telah menunjukkan bahwa hipotermia atau siklosporinA dapat mengurangi kerusakan area putih. Kemajuan terapi ini
seharusnya membantu menentukan secara pasti pengaruh cedera akson
traumatik kepada kerusakan sekunder.2 Aplikasi Terbaru dari magnetic
resonance imaging (MRI) untuk mempelajari cedera akson traumatik
dan hubungan akson dapat meningkatkan pemahaman kita tentang
mekanisme cedera dan regenerasi akson.1
Pembengkakan Serebri
Selain kaskade kematian neuron dan kerusakan akson, pembengkakan
otak merupakan temuan khas dalam kasus fokal iskemia serebral,
cedera otak traumatik berat, dan iskemia otak global yang parah dari
serangan kardiopulmoner berkepanjangan. Pembengkakan otak sering
mengakibatkan hipertensi intrakranial. Pembengkakan otak dan
hipertensi intrakranial berkontribusi terhadap kerusakan sekunder
dalam dua cara. Hipertensi intrakranial dapat mengurangi perfusi
serebri yang menyebabkan iskemia sekunder. Hal ini juga dapat
menghasilkan dampak yang fatal dengan deformasi otak dan kompresi
pembuluh darah melalui sindrom herniasi. Hasil hipertensi intrakranial
dari kenaikan volume intrakranial dari berbagai sumber, diuraikan
dalam Gambar 29-1. Dalam beberapa kasus cedera otak traumatik atau
perdarahan intrakranial spontan, seperti epidural, subdural, atau
pembentukan hematoma parenkim, pengumpulan darah ekstra aksial
atau parenkim adalah penyebab utama dan dapat diatasi dengan
evakuasi bedah. Namun, ada beberapa mekanisme yang penting yang
terlibat dalam perjalanan hipertensi intrakranial. Ini terkait dengan
pembengkakan otak dari edema vasogenik, pembengkakan astrosit,
dan peningkatan beban osmolar jaringan, atau disregulasi vaskular

13

dengan pembengkakan sekunder yang berakibat peningkatan volume


darah otak (CBV).1
Data terakhir menunjukkan bahwa pembengkakan otak setelah cedera
otak traumatik berat berasal dari edema, bukan peningkatan CBV.
Marmarou dan koleganya mengukur baik CBV dan cairan otak pada
orang dewasa dengan cedera otak traumatik. Menggunakan teknik
indikator pewarna (digabungkan ke CT) untuk mengukur CBV dan
MRI untuk mengukur cairan otak, peningkatan cairan otak biasanya
terlihat, tetapi pada umumnya dikaitkan dengan CBV (Gambar 29-6).

Gambar 29-6 Persentase perubahan kadar isi air otak dinilai oleh pencitraan
resonansi magnetik, dan volume darah otak (CBV) yang diukur dengan
computed tomography dan teknik indikator dilusi dalam 109 penelitian orang
dewasa dengan cedera otak traumatis. Cairan otak meningkat dan CBV
berkurang pada orang dewasa dengan cedera otak traumatik berat. ( Dari
Marmarou A, Barzo P, Fatouros P, et al Pembengkakan otak traumatik di
kepala pasien yang cedera: edema otak atau pembengkakan pembuluh darah?
Acta Neurochir Suppl 1997; 70: 68-70)

Dengan demikian, edema dibandingkan peningkatan CBV menjadi


kontributor dominan pembengkakan otak setelah cedera otak
traumatik. Kedua edema sitotoksik dan vasogenik dapat memainkan
14

peran penting dalam pembengkakan otak, tetapi jalur biokimia dan


molekuler yang terlibat dalam konsep tradisional kita mengenai edema
sitotoksik dan vasogenik mengalami perkembangan. Tampaknya ada
empat mekanisme yang diduga berperan dalam pembentukan edema di
otak yang cedera. Pertama, edema vasogenik bisa terbentuk di ruang
ekstraselular

akibat

gangguan

sawar

darah-otak.

Kedua,

pembengkakan sel dapat terjadi dalam dua cara. Pembengkakan


astrosit dapat terjadi sebagai bagian dari homeostatis penyerapan zatzat

seperti

glutamat.

Penyerapan

glutamat

bersama

dengan

pemanfaatan glukosa melalui natrium / kalium ATPase, dengan


akumulasi natrium dan air di astrosit. Pembengkakan astrosit
tampaknya penting terkait dengan pergerakan air melalui kanal
aquaporin-4 yang ditemukan dalam prosesus kaki astrosit dekat
kapiler. Penelitian telah menunjukkan pengurangan edema serebri pada
mencit yang secara genetik kekurangan saluran ini. Pembengkakan
neuron dan sel-sel lain di neuropil juga dapat terjadi akibat dari
kegagalan pompa ion akibat ischemia atau trauma. Hal ini penting di
daerah penumbra iskemia otak fokal dan sekitar kontusio serebral.
Akhirnya, pembengkakan osmolar juga dapat berkontribusi untuk
pembentukan edema di ruang ekstraselular, khususnya dalam kontusio
serebri.Bbagaimanapun pembengkakan osmolar adalah benar-benar
tergantung pada sawar darah-otak yang intak atau penghalang zat
terlarut alternatif.1
Dalam iskemia otak dan cedera otak traumatik, pembengkakan seluler
mungkin paling penting. Menggunakan model difus cedera otak
traumatik pada tikus, Barzo dan koleganya menggunakan MRI untuk
mengetahui lokasi peningkatan cairan otak. Penurunan koefisien difus
yang jelas setelah cedera disimpulkan didominasi oleh pembengkakan
selul daripada edema vasogenik dalam perkembangan hipertensi
intrakranial. Pembengkakan sel mungkin bahkan lebih penting dalam
cedera otak traumatik dengan cedera hipoksemia-iskemik sekunder.
15

Katayama et al juga menjelaskan bahwa peran sawar darah-otak dalam


perkembangan edema pasca trauma mungkin telah berlebihan, bahkan
dalam pengaturan kontusio serebri. Salah satu kemungkinan yang
menarik adalah bahwa makromolekul terdegradasi dalam daerah otak
yang terluka, beban osmolar di jaringan yang mengalami kontusio atau
infark meningkat. Saat sawar darah-otak pulih (atau hambatan osmolar
lain dibentuk), tekanan osmolar yang cukup untuk akumulasi lokal air
berkembang, ditandai dengan pembengkakan yang sering terlihat di
dan sekitar kontusio serebri (Gambar 29-7). Ini telah didukung oleh
studi klinis baru-baru ini mengenai kontusio serebri pada manusia.1

Gambar 29-7 Skema berdasarkan hipotesis Katayama et al menunjukkan


bahwa peningkatan beban osmolar (pemecahan makromolekul di daerah
kontusio nekrosis), kekuatan pendorong yang cukup berkembang untuk
akumulasi air, berakibat terjadinya pembengkakan sekunder sehingga sering
terlihat di dan sekitar kontusio serebral.

Pada beberapa kasus, peningkatan CBV dapat terlihat setelah cedera


otak traumatik dan menyebabkan hipertensi intrakranial. Ketika
peningkatan CBV terlihat, mungkin berasal dari peningkatan lokal di
glikolisis serebri, "hiperglikolisis" seperti yang dijelaskan oleh

16

Bergsneider dan koleganya. Di regio dengan peningkatan kadar


glutamat, seperti kontusio, peningkatan glikolisis diamati karena
serapan glutamat oleh astrosit terikat dengan dengan glikolisis
daripada metabolisme oksidatif. Perlu diingat bahwa metabolisme
oksidatif umumnya menurun sekitar 50% pada pasien koma setelah
cedera otak traumatik berat di unit perawatan intensif. Hiperglikolisis
mengakibatkan peningkatan lokal dalam otak ditandai dengan
penggunaan glukosa otak, bersama dengan peningkatan CBF dan CBV
dan pembengkakan otak lokal.1
MRI dan metode resonansi magnetik spektroskopi terus berkembang
dan menjadi diterapkan kepada pasien sakit kritis, pengetahuan kita
tentang

mekanisme

yang

terlibat

dalam

pembengkakan

otak

seharusnya sangat meningat. Harus diingat bahwa meskipun cedera


neuron dan akson adalah kejadian hilir penting dalam perkembangan
kerusakan setelah cedera otak traumatik berat, pembengkakan otak dan
hipertensi intrakranial yang dihasilkan masih menjadi target utama
untuk titrasi terapi di unit perawatan intensif.1
Inflamasi dan Regenerasi
Tampaknya ada aspek kerugian akut dan keuntungan subakut/kronik
inflamasi pada iskemia otak dan cedera otak traumatik. Mekanisme
Inflamasi dalam evolusi cedera sekunder dan perbaikan berperan
penting dalam stroke dan cedera otak traumatik, meskipun beberapa
peran kecil peradangan dalam regulasi kematian neuron telah
disarankan bahkan dalam kasus cedera transien iskemik global. Ada
peradangan akut yang kuat setelah stroke dan cedera otak traumatik
pada model eksperimental dan pada pasien.3 Nukleus faktor-kB, TNF 156, interleukin (IL) -1, eikosanoid, neutrofil, dan makrofag
berkontribusi dalam kerusakan sekunder dan perbaikan.1
Neuroprotektan Endogen
Iskemia, eksitotoksisitas, atau kombinasinya adalah

aspek yang

penting dari cedera sekunder. Mekanisme ini terkait dengan kalsium


17

yang berlebihan, stres oksidatif, dan kegagalan mitokondria.


Bagaimanapun, ada respon balasan endogen yang terkait untuk cedera
iskemik dan eksitotoksik ini. Dua komponen penting dari kaskade ini
adalah adenosin dan syok panas protein 70 (Hsp70). Adenosin adalah
neuroprotektan endogen yang diproduksi sebagai respon terhadap
iskemia dan eksitotoksisitas. Adenosin menjadi antagonis sejumlah
peristiwa yang diperkirakan dapat memediasi kematian neuronal.
Pemecahan ATP menyebabkan pembentukan adenosin, nukleosida
purin yang menurunkan metabolisme neuronal dan meningkatkan CBF
di antara mekanisme lainnya. Adenosine mengikat reseptor A1
menurunkan metabolisme dengan meningkatkan K+ dan Cl- dan
menurunkan Ca++ dalam membran saraf. Reseptor A1 mengikat
adenosin dengan afinitas tinggi dan terletak di neuron di daerah otak
yang rentan terhadap cedera dan secara spasial terkait dengan reseptor
NMDA.

Dengan

demikian,

pelepasan

adenosin

secara

lokal

meminimalkan eksitotoksisitas. Pengikatan adenosin lebih rendah


afinitasnya terhadap reseptor A2 (pada otot polos serebrovaskular)
menyebabkan vasodilatasi, meskipun pengikatan terhadap reseptor
A2a pada neuron dapat merugikan. Kadar adenosine di interstitial otak
meningkat 50 sampai 100 kali lipat pada awal setelah percobaan
iskemia otak atau cedera otak traumatik. Dalam uji klinis, peningkatan
kadar adenosin di interstitial otak pada orang dewasa dengan cedera
otak traumatik terlihat selama episode desaturasi vena jugularis (cedera
sekunder), mendukung peran adenosin sebagai "pembalasan" metabolit
pertahanan. Anehnya, peningkatan kadar antagonis reseptor adenosin
yang biasa digunakan dalam cairan serebrospinal, kafein, dihubungkan
dengan keluaran yang menguntungkan setelah cedera otak traumatik
berat pada manusia, sebuah temuan yang dapat dijelaskan oleh upregulation reseptor A1 oleh paparan kafein kronis. Neuroprotektan
endogen lain yang berperan setelah iskemia serebral, cedera otak
traumatik berat, dan PSA adalah Hsp70. Hsp70 mengoptimalkan

18

pelipatgandaan protein sebagai pendamping molekul. Hal ini juga


menghambat pemberi sinyal proinflamasi. Hsp70 diinduksi sebagai
bagian dari respon pengkondisian di otak dan telah terbukti
ditingkatkan di cairan serebrospinal dan jaringan otak setelah cedera
otak traumatik berat pada manusia. Dengan demikian, otak
mengeluarkan respon pertahanan endogen yang penting terhadap
cedera otak traumatik. Terapi yang dirancang untuk meningkatkan
jalur ini belum diuji secara memadai.1
III.

RINGKASAN
Mekanisme biokimia, seluler, dan molekuler yang terlibat dalam
evolusi cedera otak sekunder setelah iskemia global dan fokal dan
cedera otak traumatik telah ditinjau dengan perhatian khusus pada uji
klinis yang relevan dengan perawatan neurointensif. Pemahaman kita
tentang respon biokimia, seluler, dan molekuler telah berkembang,
terutama dengan penerapan metode biologi molekuler terhadap
manusia. Penelitian di masa depan harus mengintegrasikan temuan ini
bersama dengan fisiologi dan penilaian keluaran yang lebih baik.
Akhirnya, metode pencitraan dan diagnostic yang baru - khususnya
MRI, spektroskopi resonansi magnetik, dan tomografi emisi positronharus dikaitkan dengan metode biokimia dan molekuler untuk
memperjelas mekanisme yang terlibat dalam kerusakan sekunder dan
efek lokal terapi baru, termasuk penelitian terhadap farmakodinamik
otak.
1. Banyak mekanisme biokimia, seluler, dan molekuler yang
penting bagi evolusi kerusakan otak sekunder setelah cedera
dalam

perawatan

neurointensif,

termasuk

serangan

kardiopulmoner, stroke, cedera otak traumatik, perdarahan


subarachnoid, status epileptikus, dan hipoglikemia, iskemia
otak dan/atau kegagalan energi sebagai inisiator kritis
kerusakan.
2. Cedera iskemik serebri global, seperti yang dihasilkan dari

19

serangan kardiopulmoner, umumnya singkat pada kasus pasien


yang dapat berhasil diresusitasi. Kondisi patobiologis yang
dihasilkan ditandai dengan tertundanya kematian neuron di
daerah otak selektif rentan, dan kaskade biokimia dan
molekuler dalam kasus ini melibatkan komponen kematian sel
terprogram.
3. Cedera iskemik serebri fokal, seperti yang dihasilkan dari
stroke dan perdarahan subarachnoid, umumnya termasuk
iskemik fokal yang dikelilingi oleh daerah iskemik penumbra.
Kaskade biokimia dan molekuler melibatkan perluasan
nekrosis dan/atau infark ke penumbra. Kematian sel di
penumbra dapat mencakup fenotip yang menjangkau kontinum
dari nekrosis ke apoptosis.
4. Dalam kasus cedera otak traumatis, mekanisme biokimia dan
molekuler yang terlibat tergantung pada jenis tertentu dari
cedera, mulai dari kontusio fokal (di mana pembengkakan
osmolar lokal dan eksitotoksisitas mendominasi) hingga cedera
aksonal difus (di mana aksotomi sekunder dari proteolisis
mendominasi) .
5. Eksitotoksisitas, akibat peningkatan konsentrasi dari sejumlah
asam amino eksitator di interstitial otak, adalah mediator umum
dari cedera sekunder.
6. Apoptosis melibatkan beberapa jalur yang berbeda, termasuk
jalur ekstrinsik yang dipicu oleh sinyal eksternal sel seperti
interaksi reseptor-ligand kematian, jalur intrinsik dipicu oleh
sinyal dari mitokondria atau retikulum endoplasma, dan jalur
independen caspase yang melibatkan disfungsi mitokondria.
Namun, kematian neuron yang tertunda pada pasien dengan
cedera sistem saraf pusat yang kritis di unit perawatan intensif
tidak menunjukkan fitur apoptosis klasik melainkan sering
menunjukkan fenotip campuran.
7. Pembengkakan serebri dapat diakibatkan oleh berbagai
mekanisme selular, termasuk edema vasogenik, pembengkakan
20

astrosit, peningkatan beban osmolar jaringan, atau disregulasi


vaskular dengan peningkatan volume darah otak.
8. Inflamasi tampaknya memiliki peran dikotomis setelah iskemia
otak atau cedera otak traumatis, termasuk eksaserbasi awal
kerusakan oleh mediator inflamasi tetapi ada manfaat sekunder
melalui hubungan antara inflamasi dan regenerasi.
9. Neurodegenerasi autofagi diamati setelah cedera otak akut
akibat trauma atau iskemia; namun, apakah autofagi (konsumsi
selular oleh dirinya sendiri) memberikan kontribusi untuk atau
melindungi

dari

kematian

neuron

atau

hanyalah

epiphenomenon masih harus dipastikan.

IV.

DAFTAR PUSTAKA
1. Vincent JL, Abraham E, Moore FA, Khocanek PM, Fink MP.
Textbook of critical care sixth edition: Elsevier saunder; 2011.
2. Matta BF, Menon DK, Turner JM. Essentials of neuroanesthesia
and critical care. London: Greenwich medical media Ltd; 2000.
3. Barone FC, Feuerstein GZ. Inflammatory mediators and stroke:
new opportunities for novel therapeutics: J Cereb Blood flow
Metab 1999; 19 (8):819-34.
4. Bullock R, Zauner A, Woodward JJ, et al. Factors affecting
excitatory amino acid release following severe human head injury.
J Neurosurg 1998;89(4):507-18.

21

5. Clark RS, Kochanek PM, Chen M, et al. Increases in Bcl-2 and


cleavage of caspase-1 and caspase-3 in human brain after head
injury. FASEB J 1999;13(8):813-21.
6. Suarez JI, Tarsy D. Critical care neurology and neurosurgery:

Human press Inc; 2004.

22

Anda mungkin juga menyukai