Anda di halaman 1dari 6

Artikel Review

Reaksi Alergi dan Anafilaksis Selama Proses Anastesi


JM Dippenaar MBChB, DA(SA), Mmed (Anes)
S Naido MBChB, Mmed (Anes)
Current Allergy & Clinical Immunology, March 2015, Vol. 28 No.1

Abstrak
Walaupun reaksi alergi selama proses anastesi berlangsung sangat jarang terjadi, hal ini mungkin memiliki konsekuensi
yang berpotensi untuk mengancam kehidupan ketika reaksi anafilaksis berkembang. Setiap pasien memiliki kemungkinan
terjadi reaksi alergi meskipun dibawah pengaruh anastesi, oleh karena itu penting untuk mengidentifikasi agen pemicu
untuk mencegah paparan berulang selama prosedur anastesi. Artikel ini bertujuan untuk mengidentifikasi penyebab paling
sering dari reaksi anafilaksis selama proses anastesi, bagaimana penanganan keadaan darurat, dan bagaimana
menindaklanjuti pasien yang memiliki risiko.

Reaksi alergi dan anafilaksis selama proses anastesi

PENDAHULUAN
Reaksi anafilaksis selama proses anastesi adalah
fenomena yang langka, tetapi memiliki konsekuensi untuk
mengancaman kehidupan ketika ditemui dan tidak
ditangani dengan benar. Dalam konteks alergi dan
anafilaksis, anestesi merupakan situasi yang unik dan
berbahaya bagi beberapa alasan.1 Pertama, dokter anestesi
disiagakan untuk krisis hanya ketika terjadi reaksi alergi
dan anafilaksis yang cukup parah untuk menyebabkan
gejala dari peningkatan sistem kardiovaskular dan
penurunan fungsi sistem pernapasan2 (Tabel I), yang
akhirnya menyisakan sedikit waktu untuk mengelola
krisis ini. Tanda-tanda awal dan gejala-gejala ringan dari
reaksi alergi tetap hampir tidak dikenali karena pasien
tidak sadar dibawah pengaruh obat anastesi dan ditutupi
dengan kain bedah steril, hal ini juga mencegah observasi
manifestasi kulit sebagai tanda awal terjadi reaksi alergi.
Kedua, tingkat keparahan reaksi alergi dan anafilaksis
sering tidak dihiraukan oleh anasesiolog.3 Perburukan
sistem kardiovaskular awalnya mungkin karena pengaruh
ringan dari anestesi umum (atau luas daerah blok).
Sebaliknya, hipotensi dan kesulitan dalam ventilasi
mungkin memiliki penyebab yang lebih umum yang perlu
dikecualikan pada sebab yang pertama. Ketiga, beberapa
obat-obatan yang diberikan dalam kurun waktu yang
singkat. Beberapa dikenal sebagai releasers histamin,
sementara yang lain diakui karena bakat alergi mereka
terhadap obat anastesi itu sendiri. Untuk mengidentifikasi
substansi yang memicu terjadinya alergi dan anafilaksis
selama krisis dalam hal ini adalah cukup sulit. 4 Keempat,
agen alergi tidak terbatas obat intravena atau cairan, tapi
termasuk zat lain yang digunakan di ruang operasi seperti
desinfektan kulit, sarung tangan dan kateter lateks. Kulit
atau aplikasi mukosa menyebabkan onset lambat dari
reaksi, hal ini membutuhkan waktu 15-30 menit sampai
terjadi reaksi.5
Beberapa peneltian yang pernah dilaporkan di seluruh
dunia dari reaksi alergi selama anestesi sulit untuk
memperkirakan, dengan insiden 1: 3500 6 (Canada), 1:
60002 (Norwegia), 1: 10.000 sampai 1: 20.0007 (Australia)
dan 1: 34.0008 (USA), dengan reaksi anafilaksis memiliki
tingkat kematian 3,5%9 sampai 10%10 (tergantung pada
asal data). Angka pasti dari epidemiologi di seluruh dunia
sampai saat ini tetap tidak diketahui karena sering tidak
dilaporkan walaupun reaksi alergi terjadi. Setiap obat
yang digunakan dalam anestesi (kecuali volatil) telah
didokumentasikan, dengan golongan relaksan otot dan
antibiotik sebagai pemicu utama.
PATOFISIOLOGI
Anafilaksis adalah reaksi alergi berat yang
diperantarai oleh sistem imun yang disebabkan melalui
substansi tertentu yang masuk kedalam tubuh. 11
Anafilaksis
diklasifikasikan
sebagai
reaksi

hipersensitivitas tipe I (menurut Gell dan Coombs), yang


mana sekarang diketahui bahwa reaksi dapat melalui jalur
IgE-mediated atau non IgE-mediated (sebagai pengganti
anafilatoid).12 Sensitisasi awal terjadi ketika limfosit T pada
pasien yang rentan disajikan dengan alergen dan akan
menghasilkan antibodi IgE sebagai respon. Antibodi IgE
berikatan dengan reseptor afinitas tinggi FcRI pada sel
mast dan basofil, sedangkan berikatan dengan reseptor
berafinitas rendah yang berada pada leukosit, trombosit,
dan eosinofil. Paparan alergen yang berulang menghasilkan
reaksi silang antibodi IgE dan akan terikat pada reseptor
afinitas tinggi, kemudian mengaktifkan intraseluler kaskade
transduksi dengan pembentukan mediator-mediator
(Histamin, tryptase, chymase, dan heparin) dari sel mast
dan basophils.13 Hal ini menginduksi pelepasan proinflamasi fosfolipid yang berasal dari mediator-mediator
radang (prostaglandin D2, leukotrien, platelet activating
factor (PAF), tromboksan A2,) yang pada akhirnya akan
menyebabkan pelepasan kemokin dan sitokin, dengan
perekrutan sel-sel inflamasi.14 Hanya sejumlah kecil antigen
yang diperlukan untuk memulai mekanisme ini.15
Reaksi imunologi tipe I, Non IgE-mediated, secara
klinis dibedakan dari respon IgE-mediated, dan dapat
terjadi pada paparan pertama pada alergen. Reaksi
imunologi yang diperantarai IgG kurang sering terjadi dan
kurang serius daripada reaksi imunologi pada IgEmediated.16 Pelepasan histamin dapat bersifat idiopatik, hal
ini mungkin dipicu langsung (dengan faktor fisik seperti
dingin atau panas, morfin dan vankomisin), atau dapat
dilepaskan sebagai respon terhadap aktivasi komplemen
dan bradikinin.17 IgG berikatan dengan antigen tertentu dan
dapat menghasilkan efek serupa.18 Kompleks IgG - antigen
dapat berikatan dengan reseptor FcRIII pada makrofag
dan atau basophils19 memediasi pelepasan PAF (Tapi tidak
histamin). PAF menyebabkan relaksasi otot polos dan
meningkatkan permeabilitas pembuluh darah. Mekanisme
ini membutuhkan interaksi IgG-antibodi yang jauh lebih
besar daripada respon pada IgE-mediated.20 IgG juga
berfungsi sebagai mekanisme umpan balik negatif pada
jalur IgE-mediated, menghambat pelepasan histamin yang
disebabkan oleh respon IgE-mediated.
PENCEGAHAN DAN DIAGNOSIS
Anamnesis riwayat pasien dengan spesifik dan teliti
mengenai obat yang dapat menyebabkan reaksi alergi dan
menghindarinya adalah cara paling aman untuk mencegah
anafilaksis peri-operatif. Riwayat alergi makanan, asma,
pasien atopik (peningkatan kadar IgE); pasien yang telah
menjalani beberapa prosedur bedah menunjukkan
peningkatan risiko terjadinya reaksi laergi terhadap media
lateks dan radio kontrast. Pasien wanita tiga kali lebih
rentan terhadap alergi terhadap lateks dan neuromuscular
blocking agen (NMBAs) dibanding pria.21
Banyak perokok yang menunjukkan reaksi sensitivitas
terhadap antibiotik akibat paparan berulang terhadap

Reaksi alergi dan anafilaksis selama proses anastesi

antibiotik untuk infeksi saluran pernapasan. Terapi asma


dan penggunaan blocker dapat menyebabkan
perkembangan reaksi anafilaksis berat yang refrakter
terhadap beberapa pilihan pengobatan konvensional.
Pasien yang sedang mendapatkan terapi -blocker,
menunjukkan resistensi terhadap efek adrenalin,
menyebabkan penggunaan administrasi glukagon (1-5
mg) sebagai bagian dari efek resusitasi. 22 Premedikasi
dengan histamin (H)1 atau 2 reseptor antagonis atau
glukokortikoid tidak terlalu menguntungkan, karena
jarang mencegah reaksi dan mungkin menyebabkan
keterlambatan terjadi reaksi alergi onset awal dan
keterlambatan diagnosis.23 Obat ini harus disediakan
untuk pengobatan awal dari reaksi anafilaksis.
Diagnosis awal anafilaksis mengandalkan gejala klinis
yang ditemukan (Tabel I), dan harus diikuti dengan
konfirmasi retrospektif melalui skin test dan serologi.
Peningkatan serum tryptase dianggap cukup mampu
sebagai indikator degranulasi sel mast, namun jika belum
sampai ke tahap anafilaksis. Peningkatan serum tryptase
mencapai tingkat diagnostik dalam waktu 30 menit dari
timbulnya reaksi alergi dan sebagai enzim, waktu paruh
enzim ini adalah 2 jam, Kadar awal serum untuk
pengujian diperlukan. Namun, kadar serum tryptase bisa
juga tidak meningkat bahkan ketika reaksi dikonfirmasi
oleh titer antibodi IgE atau tidak adanya hipotensi.26
Sebaliknya, obat-obatan yang menyebabkan degranulasi
sel mast secara langsung akan meningkatkan kadar
tryptase.
OBAT KHUSUS
NEURO MUSCULAR
(NMBAS)

BLOCKING

AGENTS

Obat dari golongan pelumpuh otot ini menyebabkan


sekitar 60% dari reaksi hipersensitivitas langsung. Obat
ini memiliki struktur quaternary ammonium yang
merupakan faktor utama dalam perkembangan reaksi
alergi.21 Meskipun paparan pertama terhadap NMBA
dapat menyebabkan sensitisasi dengan reaksi tipe I pada
paparan berikutnya, sebagian besar reaksi untuk NMBA
ini terjadi tanpa paparan sebelumnya dengan agen
tertentu. Bahan kimia rumah tangga biasa (sampo,
deterjen, pasta gigi) dan bahkan opioid memiliki struktur
quaternary ammonium di inti masing-masing molekul
struktur yang bertanggung jawab sehingga menyebabkan
sensitisasi silang pada sistem kekebalan tubuh. Di
Norwegia, di mana pholocodeine (opioid penekan batuk)
tersedia sebagai obat yang dijual bebas, ada kejadian yang
sangat tinggi dari alergi untuk obat golongan NMBA's.27
Sebagian besar kasus anafilaksis dijelaskan dengan
penggunaan succinylcholine.28 Struktur molekul yang
melekat bebas berikatan dengan antibodi IgE sehingga
pada paparan berikutnya dapat menyebabkan reaksi
alergi. Rocuronium memiliki struktur seluler sedikit

kurang bebas, tapi mungkin mengikat IgE dalam setara


dengan
succinylcholine.29
Beberapa
penelitian
menunjukkan bahwa sugammadex, agen anecdote
alternative untuk amino steroid non-depolarisasi NMBA ini
dapat mengakhiri reaksi anafilaksis karena efek kelasi dan
menghilangkan molekul rocuronium yang telah berikatan
dengan sistem imun.30
Benzylisoquinoliniums
seperti
mivacurium
dan
atracurium dapat menyebabkan degranulasi sel mast secara
langsung ketika disuntikkan dengan cepat dan
menyebabkan wheal yang khas dan reaksi flare. Hal Ini
dapat memperpanjang reaksi sistemik juga, sehingga
menghindari obat ini pada populasi yang memiliki riwayat
atopik sangat disarankan.31 Cisatracurium, isomer dari
atracurium, tidak menyebabkan pelepasan histamin,
meskipun memiliki molekul benzylisoquinolinium yang
sama.32
Uji rutin skin test dengan relaksan otot tidak dianjurkan
karena memiliki nilai prediksi positif yang sangat kecil.
Jika agen penyebab pasti adalah relaksan otot, maka
pengujian dengan agen yang spesifik akan menghasilkan
nilai prediksi yang tinggi.33 Obat-obat seperti atracurium
dan mivacurium dikenal dapat meningkatkan kadar
histamin lokal dan sistemik, walaupun sering tanpa diikuti
peningkatan kadar IgE.34 Karena reaktivitas silang, uji
kekebalan radio immune assay (RIA) terhadap morfin
dapat menjadi sangat sensitif untuk mendeteksi antibodi
IgE untuk obat-obat golongan pelumpuh otot.35
ANTIBIOTIK
Penisilin bertanggung jawab untuk sekitar 70% populasi
secara umum yang mengalami reaksi anafilaksis. 36 Namun
hanya 10-20% dari pasien yang melaporkan alergi penisilin
dalam periode peri-operatif.37 Banyak teks yang masih
mengutip bahwa reaktivitas silang terhadap generasi 1
sefalosporin pada pasien dengan alergi penisilin adalah
sekitar 8-10%. Hal ini mungkin karena kedua golongan
obat ini memiliki struktur cincin beta-laktam yang sama.
Rekomendasi saat ini adalah bahwa sefalosporin generasi 2
dan 3 mungkin juga perlu hati-hati diberikan kepada
individu yang alergi terhadap alergi penisilin, tetapi tidak
sampai ke arah reaksi anafilaksis karena penicillin.38
Vancomycin ketika diberikan dalam waktu yang singkat
dikenal sebagai penyebab umum pelepasan histamin "Sindrom Red Man".39 Anafilaksis terhadap antibiotik
lainnya jarang ditemukan di anestesi.
LATEKS
Lateks adalah karet alami yang terbuat dari getah pohon
Hevea Brasilliensis. Lateks menimbulkan sekitar 20 % dari
semua reaksi anafilaksis selama proses peri-operatif. Akhirakhir ini, insiden reaksi alergi terhadap lateks mulai
berkurang karena pengetahuan semakin berkembang dan
menghindari penggunaan bahan lateks lebih efisien selama

Reaksi alergi dan anafilaksis selama proses anastesi

proses peri-operatif.2 Kelompok risiko tinggi terjadi reaksi


alergi seperti pasien dengan riwayat atopik, pasien dengan
riwayat alergi makanan (pisang, mangga, kiwi, alpukat,
kacang-kacangan), anak-anak yang berulang kali
menjalani tindakan operasi dari usia dini (khususnya
spina bifida)41, praktisi kesehatan42, dan pasien dengan
dermatitis kontak yang berat43. Memperbaharui minat
dalam kelompok masyarakat yang tertarik pada
penggunaan etilen oksida untuk sterilisasi alat bedah,
lateks, dan sinpa bifida44, telah muncul dalam literatur
terbaru akhir-akhir ini.45
Selama anestesi terdapat beberapa point dari kemungkinan
kontak yang dapat menimbulkan reaksi termasuk
penggunaan sarung tangan dari penyedia layanan
kesehatan, injeksi intravena dari obat, bahkan pemasangan
kateter urin dan tuba endotrakeal. Penghindaran adalah
satu satunya pilihan terapi efektif saat ini, walaupun
desensitisasi dengan paparan kontak berulang dari allergen
indivual kepada lateks, telah dilaporkan.
ANASTESI LOKAL
Anafilaksis karena anestesi local (LA) sangatlah langka.
Ester seperti benzocaine bermetabolis ke asam para amino
benzoic (PABA) yang dimana dapat memprovokasi reaksi
yang dimediasi IgE tipe I. Pengawet seperti metilparaben
dan metabisulfit, adalah penyebab termungkin kedua dari
anfilaksis LA. Hal ini mungkin sangat penting yang dimana
anestesi local tanpa pengawet digunakan saat pasien
diperlakukan skin test atau challenge test. Tidak ada
sensitisasi silang antara ester dan grup amida pada obat LA.
Toksisitas sistemik harus selalu dipertimbangkan saat pasien
memiliki masalah kolaps kardio-respiratory selah injeksi
LA.
OPIOID
Anafilaksis murni telah dilaporkan dengan seriao obat
opioid tetapi insidennya sangat rendah. Struktur amino
tertier dari morfin, kodein, dan meperidine (Pethidine)
beresiko untuk terjadinya degranulasi mast cell dengan
pelepasan histamine, dengan meperidine sebagai pelaku
utama. Hal ini mungkin bertentangan dengan hasil skin test
saat pencarian opioid pelaku. Reaktivitas silang ada di antara
opioid di grup yang sama, kecuali di grup fenilpiperidine
(sufentanil, alfentanil, remifentanil).
AGEN INDUKSI
Propofol bertanggung jawab terhadap 1,2% sampai 2% dari
seluruh reaksi anafilaktf perioperative. Komposisi terkini
dalam emulsi minyak kedelai, albumin telur, dan gliserol
(Intalipid) dapat menyarankan penggunaan yang berhati hati
pada pasien dengan alergi kedelai atau telur, akan tetapi
tidak terdapat bukti yang menunjukkan peningkatan resiko
anafilaksis pada populasi ini. Kelompok isopropyl yang

terdapat pada produk perawatan kulit dapat menginduksi


sensitisasi IgE dengan reaksi silang berikutnya dengan
kelompok isopropyl dari molekul propofol.
Insiden dari alergi thiopentone adalah 1:30000, tetapi sejak
obat ini jarang sekali digunakan sekarang, laporan dari reaksi
tersebut menjadi sangat jarang. Alergi ketamine sangat jarang,
dan etomidate dianggap obat yang sangat aman secara
imunologi dalam anestesi.
Anafilaksis terhadap benzodiazepine (BZ) adalah sangat
jarang. Diazepam dicampur dalam bahan dasar propylene
glycol, menjadikannya lebih sering menyebabkan anafilaksis
disbanding midazolam. Metabolit desmethyldiazepam
bertanggung jawab atas reaktivitas silang dengan BZ lainnya.
Midazolam tidak memiliki metabolit, dan dianggap sebagai
BZ paling aman secara imunologis.
AGEN VOLATILE
Tidak ada satupun laporaan dari reaksi anafilaktik terhadap
agen volatile. Bentuk langka hepatitis fulminant dihubungkan
dngan penggunaan halothane diperkirakan memiliki
komponen imun tetapii tidak berhubungan dengan anafilaksis.
AGEN PERI-OPERASI LAIN
Antiseptik topical seperti povidone iodine (betadine) dan
chlorhexidine jarag dilaporkan sebagai allergen. Riwayat
sensitivitas terhadap iodin atau reaksi atau skin test positif
termasuk dengan penggunaan senyawa tersebut pada pasien
yang relevan.
Media kontras terioda tidak menganduk fraksi iodin yang
dapat menstimulasi reaksi. Media non ioda dapat
menyebabkan reaksi grade 1 (manifestasi kutaneus), dan
perawatan awal antihistamin dan kortikosteroid efektid dalam
pencegahan reaksi tersebut. Hyperosmolar yang lebih besar,
media ioda dapat mennimbulkan reaksi yang tidak dimediasi
IgE, dan steroid perawatan awal tidak mencegahnya.
Koloid adalah pelebar volume plasma yang digunakan untuk
mengembalikan volume intravascular selama operasi dan
trauma. Koloid adalah penyebab dari 2,5% seluruh reaksi
anafilaktik dalam operasi. Insiden reaksi alerdi diperkirakan
menjadi 0,06% untuk hydroxyl-ethyl, 0,1% untuk albumin,
0,26% untuk dextrans, dan 0,34% untuk gelatin. Reaksi silang
antara koloid yang berbeda tidak ada.
PENANGANAN
Saat anafilaksi diketahui, manajemen terdiri atas tida aksi
berbeda: 1)withdrawal dari senyawa yang memicu 2)interupsi
efek dari pelepasan mediator yang dibentuk sebelumnya
dalam respon terhadap presetasi antigen, dan 3) pencegahan
dari pelepasan mediator lebih lanjut. Lihat table II untuk
ringkasan manajemen.

Reaksi alergi dan anafilaksis selama proses anastesi

Sejak anestesi bergantung pada pemberian obat intravena,


withdrawal dari agen pencetus adalah hamper tidak
mungkin. Manajemen lansung dari pengukuran basic life
support (airway, breathing, circulation) dan pemberian awal
adrenalin (epinefrin) adalah basis untuk perawatan. Intubasi
endotrakeal dengan pemberian oksigen 100% melalui
ventilasi tekanan positif dibutuhkan untuk menkompensiasi
peningkatan konsumsi oksigen. Dukungan sirkulasi
termasuk pemberian darri cairan intavena yang besar (2-4l
kristaloid) untuk melawan kehilangan volume intravascular
karena kebocoran kapiler, dan pemberian adrenalin
(epinefrin alfa dan beta agonis). Efek alfa1 melawan aksi
hipotensi dengan peningkatan kontraktilitas kardiak dan
vasokonstriksi, seementara efek beta2 menginduksi
bronkodilasi. Kebutuhan bolus hipotensi dari 510ug(0,2ug,kg)
secukupnya,
tetapi
kolaps
CVS
membutuhkan bolus 0,5-1 mg(0,2mg/kg).
Untuk melawan efek dari pelepasan mediator, dibutuhkan
juga pemberian H1(dipenhidramin) dan H2(cimetidine,
ranitidine) reseptor agonis. Bronkospasma persisten akan
membutuhkan penggunaan beta2 agonis murni (salbutamol).
Glukokortikoid memiliki property stabilisasi mast cell,
adalah anti inflamsai dan dapat mencegah timbulnya
kembali dan minimalisir bengkak airway. Hidrokortison
adalah kortikosteroid yang disarankan karena onset aksinya
cepat.
Saat pasien stabil maka airway di ekstubasi. Pasien akan
butuh observasi ketat selama 24 jam. Pembengkakan airway,
bronkospasma persisten, adat rekuren dan instabilitas
hemodinamik akan menunda extubasi dan rujukan ICU akan
dibutuhkan
KESIMPULAN
Walaupun kebanyakan obat digunakan dalam masa
perioperative fapan menyebabkan anafilaksis, hal ini
merupakan hal yang langka. Untuk mengidentifikasi agen
penyebab selama prosedur merupakan hal yang sult, dan
pasien tidak selalu disarankan untuk testing post operasi.
Skin test dapat mengkonfirmasi identitas dari agen penyebab
dalam jumlah kecil. Relaksan otot, lateks, dan antibiotic
merupakan allergen anestesi yang palingg sering, dan
pencegahann merupakan komponen paling penting untuk
mengurangi resiko. Rujukan post operasi ke ahli alergi untuk
identifikasi dari allergen penyebab adalah penting untuk
pencegahan insiden anaffilaksis kedepannya.
Tinjauan Pustaka
1.
Norred
CL.
Anesthetic-induced
anaphylaxis.
AANA
2012;80(2):129-40.
2. Laxenaire MC, Mertes PM, Benabes B. Anaphylaxis during
anaesthesia: results from a two year survey in France. Br J Anaesth
2001;87:163-7.

3. Panjo GB, Crisafulli J, Calminiti L, Marseglia GL, Cardinale F,


Paravati F, Caffarelli C. Peri-operative allergy: Therapy. Int J
Immunopath Phar 2011;24(3):101-4.
4. Krigaard M, Garvey LH, Menne T, Husum B. Allergic reactions in
anaesthesia: are suspected causes confirmed on subsequent testing? Br J
Anaesth 2005;95(4):468-71.
5. Whittington T, Fischer MM. Anaphylactic and anaphylactoid
reactions. Ballieres Clin Anesthesiol 1998;12(2):302-21.
6. Fasting S, Gisvold SE. Serious intraoperative problemsa five year
review of 83,844 anesthetics. Can J Anaesth 2002;49:545-53.
7. Fisher MM, Baldo BA. The incidence and clinical features of
anaphylactic reactions during anaesthesia in Australia. Ann Fr Anesth
Reanim 1993;12:97-104.
8. Gurrieri C, Weingarten TN, Martin DP, et al. Allergic reactions during
anaesthesia at a large United States referral center. Anesth Analg
2011;113:1202-12.
9. Fischer MMD, More DG. The epidemiology and clinical features of
anaphylactic reactions in anaesthesia. Anaesth Intens Care 1981;9:22632.
10. Schummer C, Wirsing M, Schummer W. The pivotal role of
vasopressin in refractory anaphylactic shock. Anesth Analg
2008;107(2):620-624.
11. Johansson SG, Hourihane JO, Bousquet J, et al. A revised
nomenclature for allergy: An EAACI position statement from the EAACI
Nomenclature Task Force. Allergy 2001;56:813-24.
12. Sampson HA, Munoz-Furlong A, Campbell RL, et al. Second
symposium on the definition and management of anaphylaxis: Summary
Report-Second National Institute of Allergy and Infectious Disease/ Food
Allergy and Anaphylaxis Network symposium. J Allergy Clin
Immunol 2006;117:391-7.
13. Kalesnikoff J, Galli SJ. Anaphylaxis: mechanisms of mast cell
activation. Chem Immunol Allergy 2010;95:45-66.
14. Peavy RD, Metcalfe DD. Understanding mechanisms of anaphylaxis
Curr Opin Allergy Clin Immunol 2008;8(4):310-315.
15. Dewachter P, Mouton-Faivre C Emala CW. Anaphylaxis and
anaesthesia: controversies and new insights. Anesthesiology
2009;111:1141-50.
16. Mertes PM, Alia F, Trchot P, Auroy Y, Jougla E. Anaphylaxis during
anaesthesia in France: an 8-yar national survey. J Allergy Clin Immunol
2011;128(2):366-373.
17. Lieberman P. Anaphylaxis and anaphylactoid reactions. In: Adkinson
Jr NF, Yunginger JW, Busse WW (eds). Middletons allergy: principles
and practice, 6th ed. St Louis, MO: Mosby-Year Book; 2003. pp. 14971522.
18. Vadas P, Gold M, Perelman B. Platelet-activating factor, PAF
acetylhydrolase, and severe anaphylaxis. N Engl J Med 2008;358:28-35.
19. Karasuyama H, Tsujimura Y, Obata K, et al. Role for basophils in
systemic anaphylaxis. Chem Immunol Allergy 2010;95:85-97.
20. Strait RT, Morris SC, Finkelman FD. IgG-blocking antibodies inhibit
IgE-mediated anaphylaxis in vivo through both antigen interception and
FcgRIIb cross-linking. J Clin Invest 2006;116:833-841.
21. Mertes PM, Laxenaire MC. Anaphylactic and anaphylactoid
reactions occurring during anaesthesia in France. Seventh epidemiologic
survey (January 2001December 2002). Ann Fr Anesth Reanim
2004;23:1133-43.
22. Mertes PM, Tajima K, Regnier-Kimmoun MA. Perioperative
anaphylaxis. Med Clin North Am 2010;94:761-89.
23. Setlock MA, Cotter TP, Rosner D. Latex allergy: failure of
prophylaxis to prevent a severe reaction. Anesth Analg 1993;76:650-2.
24. Brown SGA. Clinical features and severity grading of anaphylaxis. J
Allergy Clin Immunol 2004;114(2):371-376.
25. Dewachler P, Hepner DL. Anaphylaxis during radiologic procedures
and in the peri-operative setting. In: Castells MC, ed. Anaphylaxis and
Hypersensitivity Reactions. New York, New York: Springer; 2011:183208.
26. Schwartz LB, Bradford TR, Rouse C, et al. Development of a new,
more sensitive immunoassay for human tryptase: use in systemic
anaphylaxis. J Clin Immunol 1994;14:190-204.
27. Johansson SG, Florvaag E, Oman H, et al. National pholcodine
consumption and prevalence of IgE-sensitization: a multicentre study.
Allergy 2010;65:498-502.

Reaksi alergi dan anafilaksis selama proses anastesi


28. Vervloet D, Magnan A, Birnbaum J, et al. Allergic emergencies
seen in surgical suites. Clin Rev Allergy Immunol 1999;17:459-67.
29. Matthey P, Wang P, Finegan BA, Donnelly M. Rocuronium
anaphylaxis and multiple neuromuscular blocking drug sensitivities.
Can J Anaesth 2000;47:890-3.
30. McDonnell NJ, Pavy TJ, Green LK, Platt PR. Sugammadex in the
management of rocuronium-induced anaphylaxis. Br J Anaesth
2011;106:199-201.
31. Baldo BA, Fisher MM. Substituted ammonium ions as allergic
determinants in drug allergy. Nature 1983;306:262-6.
32. Peroni DG, Sansotta N, Bernadini R, Chrisafulli N, Franceshini F,
Caffarelli C, Boner AL. Muscle relaxant allergy. Int J Immunopath
Pharm 2011;24(S3):35-46.
33. Porri F, Lemiere C, Birnbaum J, et al. Prevalence of muscle
relaxant sensitivity in a general population: implications for a
preoperative screening. Clin Exp Allergy 1999;29:72-5.
34. Naguib M, Samarkani HA, Bakhamees HS, Magboul MA, Bakry
AK. Histamine-release hemodynamic changes produced by
rocuronium, vecuronium, mivacurium, atracurium and tubucurarine. Br
J Anaesth 1995;75:588-92.
35. Fisher MM, Baldo BA. Immunoassays in the diagnosis of
anaphylaxis to neuromuscular blocking drugs: the value of morphine
for the detection of IgE antibodies in allergic subjects. Anaesth
Intensive Care 2000;28:167-70.
36. Nicklas RA, Bernstein IL, Li JT. Beta-lactam antibiotics. J Allergy
Clin Immunol 1998;101:S498-501.
37. Salkind AR, Cuddy PG, Foxworth JW. Is this patient allergic to
penicillin? An evidence-based analysis of the likelihood of penicillin
allergy. JAMA 2001;285:2498-505.
38. Goodman EJ, Morgan MJ, Johnson PA, et al. Cephalosporins can
be given to penicillin-allergic patients who do not exhibit an
anaphylactic response. J Clin Anesth 2001;13:561-4.
39. Renz CL, Laroche D, Thurn JD. Tryptase levels are not
increasedduring vancomycin-induced anaphylactoid reactions.
Anesthesiology 1998;89:620-5.
40. Vervloet D, Pradal M, Castelain M. Drug allergy. 2nd ed. Uppsala,
Sweden: Pharmacia & Upjohn, 1999.
41. Hepner DL, Castells MC. Latex allergy: an update. Anesth Analg
2003;96:1219-29.
42. Brown RH, Schauble JF, Hamilton RG. Prevalence of latex allergy
among anesthesiologists: identification of sensitized but asymptomatic
individuals. Anesthesiology 1998;89:292-9.
43. Berry AJ, Katz JD, Brown RH, et al. Natural rubber latex allergy:
considerations for anesthesiologists. Park Ridge, IL: American Society
of Anesthesiologists 1999:1-34.
44. Moneret-Vautrin DA, Mertes PM. Anaphylaxis to general
anesthetics. Chem Immunol Allergy 2010;95:180-189.
45. Bache S, Petersen JT, Garvey LH. Anaphylaxis to ethylene oxide: a
rare and overlooked phenomenon? Acta Anaesthesiol Scand
2011;55:1279-1282.

46. Patriarca G, Nucera E, Buonomo A, et al. Latex allergy


desensitization by exposure protocol: five case reports. Anesth Analg
2002;94:754-8.
47. Wasserfallen JB, Frey PC. Long term evaluation of usefulness of skin
and incremental challenge tests in patients with history of adverse
reaction to local anesthetics. Allergy 1995;50:162-5.
48. Soto-Aguilar MC, deShazo RD, Dawson ES. Approach to the patient
with suspected local anesthetic sensitivity. Immunol Allergy Clin North
Am 1998;4:851-65.
49. De Leon-Casasola OA, Weiss A, Lema MJ. Anaphylaxis due to
propofol. Anesthesiology 1992;77:384-6.
50. Lizaso Bacaicoa MTL, Acero Sainz S, Alvarez Puebla MJ, et al.
Cutaneous response to Diprivan (propofol) and Intralipid in patients with
leguminous and egg allergy. Rev Esp Alergol Immunol Clin
1998;13:153-7.
51. Laxenaire MC, Mata-Bermejo E, Moneret-Vautrin DA. Lifethreatening anaphylactoid reactions to propofol. Anesthesiology
1992;77:275-80.
52. Clarke RS. Epidemiology of adverse reactions in anaesthesia in the
United Kingdom. Klin Wochenschr 1982;60:1003-5.
53. Watkins J. Etomidate, an immunologically safe anaesthetic agent.
Anaesthesia 1983;38(Suppl):34-8. 54. Nishiyama T, Hirasaki A, Odaka
Y, et al. Midazolam for rapid sequence induction. Masui 1990;39:230-6.
55. Clarke JB, Thomas C, Chen M, et al. Halogenated anesthetics form
liver adducts and antigens that cross-react with halothane-induced
antibodies. Int Arch Allergy Immunol 1995;108:24-32.
56. Lopez Saez MP, de Barrio M, Zubeldia JM. Acute IgE-mediated
generalized urticaria-angioedema after topical application of povidoneiodine. Allergol Immunopathol 1998;26:23-6.
57. Garvey LH, Roed-Petersen J, Husum B. Anaphylactic reactions in
anaesthetised patients: four cases of chlorhexidine allergy. Acta
Anaesthesiol Scand 2001;45:1290-4.
58. Hauben M. Seizures after povidone-iodine mediastinal irrigation
[letter]. N Engl J Med 1993;328:355
59. Lasser EC, Berry CC, Mishkin MM. Pretreatment with
corticosteroids to prevent adverse reactions to nonionic contrast media.
Am J
Roentgenol 1994;162:523-6.
60. Bettmann MA, Heeren T, Greenfield A, Goudey C. Adverse events
with radiographic contrast agents: results of the SCVIR contrast agent
registry. Radiology 1997;203:611-20.
61. Laxenaire MC, Charpentier C, Feldman L. Anaphylactoid reactions
to colloid plasma substitutes: incidence, risk factors, and mechanisms
a French multicenter prospective study. Ann Fr Anesth Reanim
1994;13:301-10.
62. Levy JH, Yegin A. Anaphylaxis: what is monitored to make a diagnosis?
How is therapy monitored? Anesthesiol Clin North Am 2001;19:705-15.
63. Nicklas RA, Bernstein IL, Li JT, et al. Algorithm for the treatment of
acute anaphylaxis. J Allergy Clin Immunol 1998;101:S469-71

Anda mungkin juga menyukai