Anda di halaman 1dari 1

dummy lipsus naik kelasok

8/15/16

8:02 PM

Page 25

VI
INDONESIA NAIK KELAS
SELASA 16 AGUSTUS 2016

Perkebunan kelapa sawit di lahan gambut di Kabupaten


Labuhan Batu, Sumatera Utara yang telah ditanami
lebih dari tiga siklus. Kelapa sawit ini tumbuh subur
dan produktivitasnya mencapai 25-28 ton/ha/tahun.

Gambut menjadi isu lingkungan dalam beberapa


tahun belakangan ini. Pro-kontra pemanfaatan lahan
gambut untuk perkebunan kelapa sawit
masih terus terjadi hingga saat ini.

agi yang kontra, pemanfaatan lahan gambut menjadi pemicu


terjadinya degradasi lingkungan, termasuk di antaranya penyebab
kebakaranhutandanlahan(karhutla).Padahalkalaulahangambut
dikelola secara tepat dengan menerapkan teknologi yang benar,
justru akan memberikan manfaat ekonomi yang besar.
Menurut data Wetland International (Joosten, 2009)
sebagaimana dikutip PASPI (2013), lahan gambut di dunia ini pada
2008 mencapai 381 juta hektare (ha). Dari total lahan gambut
tersebut, paling luas berada di Eropa dan Rusia (44,07%) dan
Amerika (40,49%).
Di Indonesia berdasarkan data Kementerian Pertanian, luasnya
sekitar 14,9 juta ha atau sekitar 7% dari total lahan gambut di dunia.
Sementara itu, sisanya tersebar di Afrika (3,41%), Asia Lainnya
(2,73%), Australia dan Pasifik (1,90%), dan Antartika (0,40%).
Gambut di wilayah Eropa, termasuk di Skotlandia, Jerman,
Irlandiabanyakdipanendandiolahmenjadibriketyangdijualsecara
komersial sebagai bahan bakar alternatif minyak bumi, sedangkan
gambut di wilayah tropis dihijaukan dengan tanaman pertanian.

SEBARAN LAHAN
GAMBUT DI DUNIA
Eropa+Rusia (44,07%)
Amerika (40,49%)
Indonesia (7,00%)

2008

Afrika (3,41%)
Asia Lainnya (2,73%)
Australia+Pasifik (1,90%)
Antartika (0,40%)

Sumber: Joosten, 2009:Wetland Iternational yang


dikutip PASPI (2013)

Walaupun demikian, pemanfaatan lahan gambut


di Indonesia banyak mendapat tantangan, terutama dari kalangan
LSM lingkungan. Isu kebakaran menjadi senjata ampuh bagi LSM
untuk menyerang perkebunan kelapa sawit.
Pada 2011, Indonesia mengeluarkan Inpres moratorium izin
barudilahangambutdanhutanprimer.Inprestersebutbersamaan
dengan ditandatanganinya Letter of Inten (LoI) IndonesiaNorwegiadimanaNorwegiamenjanjikanmemberikandanaUSD1
miliar untuk mendukung proyek moratorium tersebut. Konon
hingga kini janji tersebut belum direalisasikan pembayarannya,
sedangkan moratorium diperpanjang hingga 2017.
Tahunlalu,aktivislingkunganmenuduhkebakarandiIndonesia
terjadi di lahan gambut yang masuk dalam konsesi perkebunan
maupun hutan tanaman industri (HTI). Menurut data yang dirilis
Global Forest Watch (Juli-Oktober 2015), sebuah lembaga
pemantau hutan global, secara nasional kebakaran di lahan gambut
meliputi 49%, sedangkan kebakaran di lahan non gambut meliputi
51%. Dikaitkan di dengan moratorium, mengambil kasus di Riau,
data Global Forest Watch menyatakan bahwa sebanyak 61%
kebakaran gambut justru terjadi di areal yang dimoratorium.
Namun polemik soal gambut tidak berhenti. Kampanye negatif
terhadap perkebunan kelapa sawit, masih saja terjadi. Karena

gambut yang sudah dibudidayakan


untuk perkebunan kelapa sawit di
Indonesia, masih saja diributkan. Ini
terkaitdenganbatasmukaairtanahyang
diizinkan untuk tanaman budidaya.
Sebagaimana implementasi PP No
71/2014 tentang Pengelolaan dan
Perlindungan Ekosistem Gambut, batas
mukaairtanahyangdiizinkanadalah0,4
meter. Angka 0,4 meter tersebut tidak
mungkin dicapai oleh perkebunan
kelapa sawit di lahan gambut, karena
pada kondisi ekosistem hutan tanpa
drainasebuatanpun,mukaairtanahbisa
turun hingga lebih dari 80 cm.
Dari sisi agronomi, water level 0,4
meter akan berdampak menggenangi
perakaransehinggatanamankelapasawit
akan kekurangan oksigen. Dalam jangka
panjang,kinerjatanamanakanterganggu
sehinggabisamenurunkanproduksi.
Wakil Ketua Komisi IV DPR Herman
Khaeron mengatakan black campaign
terhadap kelapa sawit tidak akan berhenti selama terjadi persaingan produk minyak nabati di dunia. Sawit merupakan
tanaman yang sangat cocok ditanam di
sepanjang garis khatulistiwa, sementara
EropadanAmerikamerupakanprodusen
minyak nabati non sawit seperti bunga
matahari,minyakkedelai,danrapeeseed.
Dalam beberapa tahun terakhir ini
penetrasi pasar minyak sawit mulai
menggeser pasar minyak nabati non
sawit. Eropa dan AS sebagai produsen
minyak nabati non sawit, jelas sangat
khawatir dengan kondisi ini.
Karena itu, kata Herman, mereka berusaha melakukan black campaign terhadap sawit melalui LSM-LSM. Bila dulu
blackcampaignitudarisisikesehatan,kini
bergeser ke isu lingkungan. Ironisnya,
LSM-LSM lokal kita latah mengikuti
kemauan asing itu, kata Herman.
Pemanfaatan Lahan Gambut:
Dulu, Sekarang, dan Masa Depan
Di dalam dunia ilmu pengetahuan,
gambut dikenal dengan sebutan histosols atau yang populer disebut sebagai
peat. Penamaan gambut diambil dari
nama Kecamatan Gambut, dekat Kota
Banjarmasin, Kalimantan Selatan (Sabiham 2015). Tanah gambut tersusun
oleh bahan-bahan organik yang terbentuk sejak puluhan ribu tahun lalu yang
melibatkan proses kimia, fisika, dan biologi. Tanahgambut bermula dari tertimbunnya bahan-bahan organik seperti
kayu, daun, dan serasah pada suatu areal
cekung dengan drainase yang buruk.
Pembentukan lapisan gambut terjadi
secara bertahap danberlangsung selama
ribuantahundalamkondisitergenangair
sehingga menciptakan situasi anareobik
(kurang oksigen) yang menghambat
proses dekomposisi (pelapukan).
Pada masa lalu gambut dianggap
sebagai tanah marginal, dan tidak cocok

Water management lahan gambut perkebunan sawit di Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara.

untuk kegiatan pertanian karena miskin


unsurhara,porositasyangtinggi,dankeasaman tinggi sehingga tidak bisa memegang pupuk yang diaplikasikan. Seiringdenganperkembanganilmupengetahuan dan teknologi, tanah gambut
mulai bisa dimanfaatkan dan menjadi
lahan pertanian yang berpotensi meningkatkanpendapatan negara dan mengentaskan kemiskinan.
Pemanfaatan lahan gambut di Indonesia untuk pertanian telah dimulai sejak
lama ketika masyarakat Bugis (Sulawesi
Selatan)danBanjar(KalimantanSelatan)
membuka wilayah pasang surutgambut
untuk persawahan. Di tingkat
masyarakat, tanah gambut juga ditanami
berbagai jenis hortikultura seperti nanas,
jagung, dan tanaman lainnya. Lahan
gambut mulai dikenal secara luas sejak
adanyaproyek Pembukaan Persawahan
Pasang Surut (P4S) pada tahun 1969 an.
Pemanfaatan lahan gambut untuk
perkebunan kelapa sawit telah dimulai
sejak tahun 1910an. Fakta fisik masih
bisa dilihat tepatnya di perkebunan Meranti Paham dan Negeri Lama di wilayahLabuhan Batu Sumatera Utara yang
saat ini telah ditanam lebih dari dua siklus. Subsidensi tidak terjadi secara liniersepertiyangseringdibahasolehpara
ilmuwan, kondisi gambut masih baik,
danproduktivitasnya mencapai 25-28
ton/ha/tahun.
Pengelolaan lahan gambut dikembangkan untuk menghasilkan dua hal,
yaitu produksi tanaman yang optimal
dan ekosistem yang terjaga. Pengendalian muka air tanah adalah kunci untukmendapatkan hasil yang optimal dengan daya dukung ekosistem gambut
yangtetapterjaga.Drainaselahandibangun berdasarkan informasi topografi
yang dihasilkan dari survei, yang diikuti
denganpengembangan sistem zonasi
untuk pembangunan sistem kanal, parit
dan overflow yang berfungsi untuk mengendalikan muka air tanah dengan kedalalaman 40-70 cm.

EMISI KARBON
CO2 flux (mg m -2 h-1)

FOTO-FOTO: ISTIMEWA

LAHAN GAMBUT BISA


DIKELOLA SECARA BERKELANJUTAN

800

Forest
Sagu

600

Palm

400

200

Gambut di Eropa
diolah menjadi
briket sebagai
bahan bakar
alternatif minyak
bumi.

0
Agst Sept Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul
2002
2003

Sumber: Lulie Melling (2005)

Sistem kanal dilengkapi dengan


parit-parit dan pintu-pintu air yang berfungsi untuk membuang kelebihan air
padamusimhujandanmenahanairpada
musim kemarau sehingga tidak terjadi
overdrained. Dengan teknologi ini, pengendalian muka air tanah dapat dilakukan sehingga tidak mudah terjadi kebakaran lahan.
Emisi Carbon, Subsidensi, dan
Kebakaran Lahan: Antara
Rumor dan Fakta
Drainase di lahan gambut mengundangpendapatyangbervariasiterkait
potensi dampak lingkungan yang dihasilkan seperti emisi karbon, subsidensi,
dan potensi kebakaran lahan. Kita akan
membahas dengan gamblang ketiga isu
tersebut.
Pertama, Pelepasan Karbon: Penurunanmukaairtanahmengubahkondisi
anaerob menjadi aerob, sehingga meningkatkan aktivitas mikro organism
untuk pelapukan (dekomposisi) dengan
melepaskan karbon. Hoijeer et al.
(2012), memprediksi bahwa penurunan
muka air tanah secara linier akan diikuti
oleh peningkatan emisi karbon. Tetapi
Melling et al (2005), menunjukkan fakta
yang berbeda bahwa emisi perkebunan
kelapasawitdilahangambutsecaradinamis nyata lebih rendah dibandingkan
hutan primer walaupun dengan muka
air tanah yang lebih rendah. Hasil penelitian inimembuktikan bahwa penurunan muka air tanah tidak selalu berhubungan dengan meningkatnya emisi.
Kedua, Subsidensi: Subsidensi yang
terjadi pada lahan gambut selalu dikaitkan dengan hilangnya karbon dari permukaan tanah. Padahal subsidensi lebih
banyak terjadi karena tanah mengalamipemadatan sebagai akibat dari
volume air yang dikeluarkan melalui sistem drainase untuk kepentingan agronomi, bukan karena karbon yang teremisi secara besar-besaran.
Ketiga, Kebakaran: Sebagian orang
mengira bahwa drainase pada lahan
gambut akan membuat gambut mudah
terbakar. Pada ekosistem alami, sifat
gambut yang sangat porus memiliki resikokehilangan air yang cepat pada musim kemarau panjang, sehingga permukaan tanah menjadi kering karena
gaya kapiler yang rendah dan mudah
terbakar. Kondisi yang berbeda justru
dapat dilihat padatanah gambut yang
dikelola dengan sistem tata air yang
baik. Proses mineralisasi yang terjadi
akibat kegiatan budidaya menyebabkan tanah menjadi lebih padat sehingga
pori-pori tanah lebih kecil, gayakapiler
lebih baik, serta kelembaban permukaan tanah menjadi lebih baik. Kondisi
tersebut menurunkan resiko gambut
untuk terbakar.
sudarsono

Anda mungkin juga menyukai