Syafii Maarif atau yang biasa disapa Buya Maarif berharap ulama memperbaiki
pandangannya terhadap pluralisme. Dia mengatakan, saat ini banyak pemuka agama Islam
yang berpandangan miring terhadap konsep pluralisme. Pluralisme adalah kemajemukan,
intelektualisme sama dengan pluralisme,. Pandangan miring para ulama tersebut, ujarnya,
terlihat dalam penyikapan terhadap gerakan pluralisme di Indonesia. Banyak ulama yang
tidak paham (pluralisme), tapi langsung menghukum, Dia mengatakan, Islam adalah agama
yang bersumber dari Tuhan. Kalau manusia tidak mampu menjaga Islam, Allah yang
menjaga, ucap pendiri Maarif Institute tersebut. Sementara itu, mengenai hasil judicial
review oleh Mahkamah Konstitusi terhadap UU Penodaan Agama, dia berharap masyarakat
dapat menerimanya. Terima sajalah dulu, nanti kalau mengenai pasal-pasal yang dianggap
memberatkan dapat diperbaiki,
3. TANGGAPAN ADHIAN HUSAINI TERHADAP PEMIKIRAN A. SYAFII MAARIF
Pemikiran yang menganggap semua agama itu sama telah lama masuk ke Indonesia dan
beberapa negara Islam lainnya. Tapi akhir-akhir ini pikiran itu menjelma menjadi sebuah
paham dan gerakan yang kehadirannya serasa begitu mendadak, tiba-tiba dan mengejutkan.
Ummat Islam seperti mendapat kerja rumah baru dari luar rumahnya sendiri. Padahal ummat
Islam dari sejak dulu hingga kini telah biasa hidup ditengah kebhinekaan atau pluralitas
agama dan menerimanya sebagai realitas sosial. Piagam Madinah dengan jelas sekali
mengakomodir pluralitas agama saat itu dan para ulama telah pula menjelaskan hukumhukum terkait. Apa sebenarnya di balik gerakan ini? Parahnya, pluralisme agama malah
dianggap realitas dan sunnatullah
Sebenarnya fahaman inipun bukan baru. Akar-akarnya seumur dengan akar modernisme di
Barat dan gagasannya timbul dari perspektif dan pengalaman manusia Barat. Namun
kalangan ummat Islam pendukung paham ini mencari-cari akarnya dari kondisi masyarakat
Islam dan juga ajaran Islam. Kesalahan yang terjadi, akhirnya adalah menganggap realitas
kemajmukan (pluralitas) agama-agama dan paham pluralisme agama sebagai sama saja.
Parahnya, pluralisme agama malah dianggap realitas dan sunnatullah. Padahal keduanya
sangat berbeda. Yang pertama (pluralitas agama) adalah kondisi dimana berbagai macam
agama wujud secara bersamaan dalam suatu masyarakat atau Negara. Sedangkan yang kedua
(pluralisme agama) adalah suatu paham yang menjadi tema penting dalam disiplin sosiologi,
teologi dan filsafat agama yang berkembang di Barat dan juga agenda penting globalisasi.
Solusi Islam terhadap adanya pluralitas agama adalah dengan mengakui perbedaan dan
identitas agama masing-masing (lakum nukum wa liya din). Tapi solusi paham pluralisme
geografis cultural, ideologis, teologis, kepercayaan dan lain-lain. Artinya identitas kultural,
kepercayaan dan agama harus dilebur atau disesuaikan dengan zaman modern. Kelompok ini
yakin bahwa agama-agama itu berevolusi dan nanti akan saling mendekat yang pada akhirnya
tidak akan ada lagi perbedaan antara satu agama dengan lainnya. Agama-agama itu kemudian
akan melebur menjadi satu. Berdasarkan asumsi itu maka John Hick, salah satu tokoh
terpentingnya, segera memperkenalkan konsep pluralisme agama dengan gagasannya yang ia
sebut global theology. Selain Hick diantara tokohnya yang terkenal adalah Wilfred Cantwell
Smith, pendiri McGill Islamic Studies. Tokoh-tokoh lain dapat dilihat dari karya Hick
berjudul Problems of Religious Pluralism. Pada halaman dedikasi buku ini John Hick menulis
yang terjemahannya begini: Kepada kawan-kawan yang merupakan nabi-nabi pluralisme
agama dalam berbagai tradisi mereka: Masau Abe dalam agama Buddha, Hasan Askari dalam
Islam, Ramchandra Gandhi dalam agama Hindu, Kushdeva Singh dalam agama Sikh, Wilfred
Cantwell Smith dalam agama Kristen dan Leo Trepp dalam agama Yahudi.
Solusi yang ditawarkan oleh aliran kedua adalah pendekatan religious filosofis dan membela
eksistensi agama-agama. Bagi kelompok ini agama tidak bisa di rubah begitu saja dengan
mengikuti zaman globalisasi, zaman modern ataupun post-modern yang telah meminggirkan
agama itu. Agama tidak bisa dilihat hanya dari perspektif sosilogis ataupun histories dan tidak
pula dihilangkan identitasnya. Kelompok ini lalu memperkenalkan pendekatan tradisional
dan mengangkat konsep-konsep yang diambil secara parallel dari tradisi agama-agama. Salah
satu konsep utama kelompok ini adalah konsep sophia perrenis atau dalam bahasa Hindu
disebut Sanata Dharma atau dalam Islam disebut al-ikmah al-khlidah. Konsep ini
mengandung pandangan bahwa di dalam setiap agama terdapat tradisi-tradisi sakral yang
perlu dihidupkan dan dipelihara secara adil, tanpa menganggap salah satunya lebih superior
dari pada yang lain. Agama bagi aliran ini adalah bagaikan jalan-jalan yang
mengantarkan ke puncak yang sama (all paths lead to the same summit).
Alasan SyafiI Maarif bahwa Pluralisme itu harus dijaga dan dipelihara, dikarenakan
Pluralisme menunjukkan kemajuan suatu bangsa, kita tanyakan pada pak Syafii Maarif,
dimana letak kemajuan untuk bangsa? Terus apa kaitannya dengan Pluralisme? Pernyataan
pak SyafiI bahwa intelektualisme itu sama dengan pluralisme. Kita tanya dari segi mana
letak kesamaannya? Kenapa pak Syafii mengambil kesimpulan demikian? Anehnya
pernyataanya malah menanyakan KENAPA DIHARAMKAN, ini terbukti SyafiI Maarif
tidak memahami agama Islam, dan belum membaca al-Quran secara kesuluruhan, kalau toh
sudah membaca berarti ia tidak memahaminya dengan baik, ia malah keburu buru
menyamakannya dengan agama yang lain. Jelas jelas Allah SWT berfirman yang bunyinya:
Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima
(agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (QS. Ali Imran:
85)
Masalah kemajmukan kita tanyakan pada pak SyafiI kemajmukan yang bagaimana menurut
Pak Syafii? mana buktinya mereka yang berfaham pluralisme bisa hidup majmuk?
Pernyataan Pak SyafiI NANTI KATANYA AKAN PINDAH AGAMA, ITU PAHAM
SIAPA? Ya jelas otomatis dan itu paham islam, masa kita menyamakan antara yang beriman
kepada Allah dengan yang Kufur, yang taat sama yang melanggar, yang merusak sama yang
memperbaiki. Kalau itu kita samakan justru tidak adil. Makanya Allah menempatkan orang
kafir itu nanti di neraka sebagaimana firman Allah:
Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik (akan
masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk
makhluk. (QS. Al-Bayyinah: 6)
Jika Pak SyafiI mengaku orang yang cerdas gara-gara mengadopsi paham ini, kita tanyakan
pada pak syafiI, adakah diantara agama-agama yang meneriman paham ini? Agama apa
kitab sucinya apa tokohnya siapa? Kemudian kita tanyakan lagi, sudahkan Pak SyafiI maarif
mempelajari agama-agama yang ada? Kok bisa langsung membenarkan Pluralisme, sejauh
mana ia pelajari. Hal ini sudah tidak akan mungkin ia lakukan, yang jelas kalau penulis
menanggapi pernyataan beliau ini sudah jelas nyelenih bahkan ASMA (asal mangap). Lebih
baiknya SyafiI Maarif mengatakan Pluralisme harus diberantas dan dihanguskan karena
bertentangan dengan agama ISLAM. (Pada Selasa, 21 November 2006), Syafii Maarif
menulis kolom Resonansi di Republika yang berjudul Hamka Tentang Ayat 62 Al Baqarah
dan Ayat 69 Al Maidah. Setelah saya cek ke Tafsir Al Azhar yang dirujuk Syafii, memang
ada sejumlah hal yang perlu diperjelas dari tulisan Syafii, agar tidak menimbulkan persepsi
yang keliru terhadap sosok Hamka. Ayat Alquran yang dibahas Syafii Maarif memang saat ini
sedang gencar-gencarnya disosialisasikan oleh pendukung paham pluralisme agama untuk
menjustifikasi paham yang meyakini bahwa semua agama adalah jalan yang sama-sama sah
menuju Tuhan yang satu itu. Dalam pandangan pluralisme agama versi transendentalisme
ini, tidak ada agama yang salah, dan tidak boleh satu pemeluk agama yang mengklaim hanya
agamanya sendiri sebagai jalan satu-satunya menuju Tuhan. Kalangan pluralis kemudian
mencari-cari dalil dalam kitab suci masing-masing untuk mendukung paham ini. Yang dari
kalangan Islam biasanya menjadikan QS 2:62 dan 5:69 untuk menjustifikasi pandangannya.
Kalangan Hindu pluralis, misalnya, biasanya suka mengutip Bagawad Gita IV:11: Jalan
mana pun yang ditempuh manusia ke arah-ku, semuanya aku terima.
Tentu saja, legitimasi paham pluralisme agama dengan ayat-ayat tertentu dalam kitab suci
masing-masing agama mendapatkan perlawanan keras dari tiap agama. Tahun 2000, Vatikan
telah menolak paham pluralisme dengan mengeluarkan dekrit Dominus Jesus. Tahun 2004,
seorang pendeta Kristen di Malang menulis buku serius tentang paham pluralisme agama
berjudul Theologia Abu-Abu: Tantangan dan Ancaman Racun Pluralisme dalam Teologi
Kristen Masa Kini. Tahun 2005, MUI juga mengeluarkan fatwa yang menolak paham
pluralisme agama. Dan tahun 2006, Media Hindu juga menerbitkan satu buku berjudul
Semua Agama Tidak Sama. Buku ini juga membantah penggunaan ayat dalam Bhagawat
Gita IV:11 untuk mendukung paham penyamaan agama yang disebut juga dalam buku ini
sebagai paham universalisme radikal.
Penyalahgunaan
Di kalangan kaum pluralis yang beragama Islam, QS 2:62 dan 5:69 biasanya dijadikan
legitimasi untuk menyatakan, bahwa umat beragama apa pun, asal beriman kepada Tuhan dan
Hari Akhir, serta berbuat baik, maka dia akan mendapat pahala dari Allah dan masuk sorga.
Karena itu, untuk mendapatkan keselamatan di akhirat, kaum Yahudi dan Kristen, misalnya,
tidak perlu beriman kepada Nabi Muhammad SAW. Untuk mencari legitimasi, yang sering
dijadikan rujukan adalah Tafsir Al Manar yang ditulis Rasyid Ridha.
Prof Abdul Aziz Sachedina, misalnya, dalam satu artikelnya berjudul Is Islamic Revelation an
Abrogation of Judaeo-Christian Revelation? Islamic Self-identification, menyatakan: Rasyid
Ridha tidak mensyaratkan iman kepada kenabian Muhammad bagi kaum Yahudi dan Kristen
yang berkeinginan untuk diselamatkan, dan karena itu, ini secara implisit menetapkan
validitas kitab yahudi dan Kristen.
Sachedina dan sejumlah Pluralis lainnya tidak cermat dan tidak lengkap dalam mengutip
Tafsir Al Manar, sehingga berkesimpulan seperti itu. Padahal, dalam Tafsir Al Manar Jilid IV
yang membahas tentang keselamatan Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani), disebutkan, bahwa
QS 2:62 dan 5:69 adalah membicarakan keselamatan Ahlul Kitab yang kepada mereka
dakwah Nabi Muhammad saw tidak sampai.
Sedangkan bagi Ahli Kitab yang dakwah Islam sampai kepada mereka (sesuai rincian QS
3:199), Rasyid Ridha menetapkan lima syarat keselamatan, di antaranya: (1) beriman kepada
Allah dengan iman yang benar, (2) beriman kepada Alquran yang diwahyukan kepada Nabi
Muhammad SAW. Al Manar juga menyebutkan, bahwa kaum Yahudi dan Nasrani, tidak bisa
disebut ahl al fathrah, yang berhak memperoleh keselamatan dan tidak ada alasan untuk
membebaskan mereka dari hukuman, karena mereka masih dapat mengenali ajaran kenabian
yang benar.
Dengan logika sederhana sebenarnya kita bisa memahami, bahwa untuk dapat beriman
kepada Allah dan Hari Akhirat dengan benar dan beramal saleh dengan benar, seseorang
pasti harus beriman kepada Nabi Muhammad SAW sebagai rasul Allah. Sebab, dalam konsep
keimanan Islam, hanya melalui rasul-Nya, kita dapat mengenal Allah dengan benar;
mengenal nama dan sifat-sifat-Nya. Juga, hanya melalui Nabi Muhammad SAW, kita dapat
mengetahui, bagaimana cara beribadah kepada Allah dengan benar.
PENDAPAT HAMKA
Pendapat Hamka tentang keselamatan kaum non-Muslim dalam pandangan Islam sebenarnya
juga tidak berbeda dengan para mufassir (ahli tafsir) terkemuka yang lain, termasuk ketika
menafsirkan QS 2:62 dan 5:69. Karena itu, Hamka memandang, ayat itu tidak bertentangan
dengan QS 3:85 yang menyatakan: Dan barang siapa yang mencari selain dari Islam
menjadi agama, sekali-kali tidaklah akan diterima daripadanya. Dan di Hari Akhirat akan
termasuk orang-orang yang rugi. Jadi, QS 3:85 tidak menasakh QS 2:62 dan 5:69 karena
memang maknanya sejalan.
Alasan Hamka bahwa ayat ini tidak menghapuskan ayat 62 sebagaimana juga dikutip Syafii
Maarif bahwa Ayat ini bukanlah menghapuskan (nasikh) ayat yang sedang kita tafsirkan ini
melainkan memperkuatnya. Sebab hakikat Islam ialah percaya kepada Allah dan Hari
Akhirat. Percaya kepada Allah, artinya percaya kepada segala firman-Nya, segala rasul-Nya
dengan tidak terkecuali dan hendaklah iman itu diikuti oleh amal yang saleh.
Jadi, Hamka tetap menekankan siapa pun, pemeluk agama apa pun, akan bisa mendapatkan
pahala dan keselamatan, dengan syarat dia beriman kepada segala firman Allah, termasuk
Alquran, dan beriman kepada semua nabi dan rasul-Nya, termasuk Nabi Muhammad SAW.
Jika seseorang beriman kepada Alquran dan Nabi Muhammad SAW, maka itu sama artinya
dia telah memeluk agama Islam. Itulah makna QS 3:85 yang sejalan dengan makna QS 2:62
dan 5:69.
Soal keimanan kepada Nabi Muhammad SAW dan Alquran itulah yang sejak awal ditolak
keras oleh kaum Yahudi dan Nasrani. Orang Yahudi menolak mengimani Nabi Isa AS dan
Nabi Muhammad SAW. Dan kaum Nasrani menolak untuk beriman kepada Nabi Muhammad
SAW. Sedangkan kaum Muslim mengimani Nabi Musa, Nabi Isa, dan juga Nabi Muhammad
SAW, sebagai penutup para Nabi.
Hamka adalah sosok ulama yang gigih dalam membela aqidah Islam. Tahun 1981, dia
memilih mundur dari Ketua Majlis Ulama Indonesia, daripada harus menarik kembali fatwa
haramnya merayakan Natal bersama bagi umat Islam. Beberapa hari kemudian, beliau
meninggal dunia. Sosok Hamka sangat jauh berbeda dengan para pengusung paham
pluralisme agama. Mudah-mudahan tulisan ini memperjelas sikap Hamka dalam masalah
keimanan Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Maarif, Ahmad SyafiI; Dinamika Islam, Shalahuddin Press, 1984
Maarif, Ahmad SyafiI; Islam, Mengapa Tidak?, Shalahuddin Press, 1984
Maarif, Ahmad SyafiI; Islam dan Masalah Kenegaraan, LP3ES, 1985
http://kompas.com: Sabtu, 1 Januari 2011, 14:31 WIB
http://rebuplika co.id pada:. Sabtu, 1 Januari 2011, 14:31 WIB