Anda di halaman 1dari 9

MENDUDUKAN PLURALISME AGAMA (PEMIKIRAN AHMAD SYAFII MAARIF)

15 FEBRUARI 2011 ZAENAL ARIFIN 3 KOMENTAR


oleh. Zaenal Arifin
1.LATAR BELAKANG AHMAD SYAFII MAARIF
Ahmad Syafii Maarif (lahir di Sumpurkudus, Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat, 31 Mei
1935; umur 75 tahun) adalah mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah, yang
juga dikenal sebagai seorang tokoh dan ilmuwan yang mempunyai komitmen kebangsaan
yang kuat. Sikapnya yang plural, kritis, dan bersahaja telah memposisikannya sebagai Bapak
Bangsa. Ia tidak segan-segan mengkritik sebuah kekeliruan, meskipun yang dikritik itu
adalah temannya sendiri.
Sejak kecil ia hidup dalam lingkungan keislaman yang kental. Lulus dari Ibtidaiyah
Sumpurkudus, ia melanjutkan ke Madrasah Muallim Lintau, yang kemudian pindah ke
Yogyakarta di sekolah yang sama. Ia memang mengambil seluruh pendidikan menengahnya
di Mualimin Muhammadiyah. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya ke Fakultas Hukum
Universitas Cokroaminoto, Solo, hingga memperoleh gelar sarjana muda. Setamat dari
Fakultas Hukum, ia melanjutkan pendidikannya ke IKIP Yogyakarta, dan memperoleh gelar
sarjana sejarah.
Selanjutnya bekas aktivis Himpunan Mahasiswa Islam ini, terus meneruskan menekuni ilmu
sejarah dengan mengikuti Program Master di Departemen Sejarah Universitas Ohio, AS.
Sementara gelar doktornya diperoleh dari Program Studi Bahasa dan Peradaban Timur Dekat,
Universitas Chicago, AS, dengan disertasi Islam as the Basis of State: A Study of the Islamic
Political Ideas as Reflected in the Constituent Assembly Debates in Indonesia.
Selama di Chicago inilah, anak bungsu di antara empat bersaudara ini, terlibat secara intensif
melakukan pengkajian terhadap Al-Quran, dengan bimbingan dari seorang tokoh pembaharu
pemikiran Islam, Fazlur Rahman. Di sana pula, ia kerap terlibat diskusi intensif dengan
Nurcholish Madjid dan Amien Rais yang sedang mengikuti pendidikan doktornya.
2.PEMIKIRAN AHMAD SYAFII MAARIF
PLURALISME
Syafii Maarif mempunyai prinsip bahwa pluralisme harus terus dijaga dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara di Indonesia. Pluralisme menunjukkan kemajuan suatu bangsa. Oleh
karena itu, Syafii heran bila banyak pihak menilai pluralisme sebagai prinsip yang haram.

Dalam peluncuran buku Muhammadiyah Gerakan Pembaruan di Gedung Joeang, Jumat


(23/4/2010), Syafii menilai bahwa pluralisme menunjukkan tingkat intelektualisme di suatu
bangsa. Menurutnya, intelektualisme itu sama dengan pluralisme.
Pluralisme kenapa diharamkan itu kan tak lain dari tidak mengakui kemajemukan. Nanti
katanya akan pindah agama, itu paham siapa? Cerdas dikitlah ungkap pria yang kerap
disapa buya ini.
Syafii memastikan negara atau masyarakat tanpa pluralisme akan menghasilkan kondisi yang
berantakan. Baginya, setiap insan yang ingin melintasi abad harus berpikir cerdas. Maka, dia
juga menilai pentingnya muncul majelis tarjih dan kemerdekaan berpikir di tengah-tengah PP
Muhammadiyah.
Pada ranah pemikiran Islam kontemporer bagi Indonesia, iklimnya sudah semakin kondusif
untuk bertukar pendapat demi mencari kebenaran, bukan mencari yang lain. Gelombang
kebangkitan kaum intelektual muda Muslim dengan berbagai latar belakang subkultur sedang
semakin membesar. Fenomena ini sungguh sangat membesarkan hati. Peran pesantren plus
IAIN/UIN bagi kelahiran anak-anak muda pemikir ini sangat sentral. Mereka tidak hanya
sibuk dengan kitab kuning, tetapi sekaligus menguasai kitab putih, baik yang ditulis oleh
Muslim maupun non-Muslim. Dr Abd Moqsith Ghazali adalah salah seorang di antara
mereka yang berani berpikir bebas secara bertanggung jawab, baik dilihat dari sisi iman
maupun dari sisi disiplin ilmu.
Adapun, misalnya, temuan mereka ini bercanggah dengan pendapat yang telah dinilai mapan,
jangan cepat-cepat dihukum dengan ekskomunikasi. Jalan terbaik adalah mengikuti sumber
bacaan mereka, baik yang ditulis dalam bahasa Arab maupun bahasa asing lainnya. Dan, akan
lebih bijak lagi jika penafsiran terhadap sumber-sumber itu saling berlawanan. Solusinya
mudah sekali, yaitu diadakan dialog yang serius dan jujur antara para pihak yang
bersangkutan. Sikap menuduh dengan menggunakan kata-kata sesat, agen zionis, atau agen
Barat bukanlah cara kaum yang beradab. Mari, kita sama-sama melepaskan prasangka lebih
dulu. Lalu, kita adu argumen dengan menjadikan Alquran sebagai rujukan utama dan
pertama. Lalu, kita gunakan sumber-sumber lain, baik yang ditulis oleh ulama klasik maupun
yang kontemporer sebagai pelengkap rujukan. Karya-karya klasik umumnya ditulis dalam
bahasa Arab, sedikit dalam bahasa Persi. Sedangkan, bahasa yang digunakan dalam karyakarya modern jauh lebih kaya: Arab, Urdu, Turki, Persi, Indonesia, Inggris, Jerman, Prancis,
Belanda, sedikit Italia, Spanyol, Rusia, dan lain-lain.
MENYAMAKAN INTELEKTUALISME DENGAN PLURALISME

Syafii Maarif atau yang biasa disapa Buya Maarif berharap ulama memperbaiki
pandangannya terhadap pluralisme. Dia mengatakan, saat ini banyak pemuka agama Islam
yang berpandangan miring terhadap konsep pluralisme. Pluralisme adalah kemajemukan,
intelektualisme sama dengan pluralisme,. Pandangan miring para ulama tersebut, ujarnya,
terlihat dalam penyikapan terhadap gerakan pluralisme di Indonesia. Banyak ulama yang
tidak paham (pluralisme), tapi langsung menghukum, Dia mengatakan, Islam adalah agama
yang bersumber dari Tuhan. Kalau manusia tidak mampu menjaga Islam, Allah yang
menjaga, ucap pendiri Maarif Institute tersebut. Sementara itu, mengenai hasil judicial
review oleh Mahkamah Konstitusi terhadap UU Penodaan Agama, dia berharap masyarakat
dapat menerimanya. Terima sajalah dulu, nanti kalau mengenai pasal-pasal yang dianggap
memberatkan dapat diperbaiki,
3. TANGGAPAN ADHIAN HUSAINI TERHADAP PEMIKIRAN A. SYAFII MAARIF
Pemikiran yang menganggap semua agama itu sama telah lama masuk ke Indonesia dan
beberapa negara Islam lainnya. Tapi akhir-akhir ini pikiran itu menjelma menjadi sebuah
paham dan gerakan yang kehadirannya serasa begitu mendadak, tiba-tiba dan mengejutkan.
Ummat Islam seperti mendapat kerja rumah baru dari luar rumahnya sendiri. Padahal ummat
Islam dari sejak dulu hingga kini telah biasa hidup ditengah kebhinekaan atau pluralitas
agama dan menerimanya sebagai realitas sosial. Piagam Madinah dengan jelas sekali
mengakomodir pluralitas agama saat itu dan para ulama telah pula menjelaskan hukumhukum terkait. Apa sebenarnya di balik gerakan ini? Parahnya, pluralisme agama malah
dianggap realitas dan sunnatullah
Sebenarnya fahaman inipun bukan baru. Akar-akarnya seumur dengan akar modernisme di
Barat dan gagasannya timbul dari perspektif dan pengalaman manusia Barat. Namun
kalangan ummat Islam pendukung paham ini mencari-cari akarnya dari kondisi masyarakat
Islam dan juga ajaran Islam. Kesalahan yang terjadi, akhirnya adalah menganggap realitas
kemajmukan (pluralitas) agama-agama dan paham pluralisme agama sebagai sama saja.
Parahnya, pluralisme agama malah dianggap realitas dan sunnatullah. Padahal keduanya
sangat berbeda. Yang pertama (pluralitas agama) adalah kondisi dimana berbagai macam
agama wujud secara bersamaan dalam suatu masyarakat atau Negara. Sedangkan yang kedua
(pluralisme agama) adalah suatu paham yang menjadi tema penting dalam disiplin sosiologi,
teologi dan filsafat agama yang berkembang di Barat dan juga agenda penting globalisasi.
Solusi Islam terhadap adanya pluralitas agama adalah dengan mengakui perbedaan dan
identitas agama masing-masing (lakum nukum wa liya din). Tapi solusi paham pluralisme

agama diorientasikan untuk menghilangkan konflik dan sekaligus menghilangkan perbedaan


dan identitas agama-agama yang ada. Jadi menganggap pluralisme agama sebagai
sunnatullah adalah klaim yang berlebihan dan tidak benar. Dalam paham pluralisme agama
yang berkembang di Barat sendiri terdapat sekurang-kurangnya dua aliran yang berbeda:
yaitu paham yang dikenal dengan program teologi global (global theology) dan paham
kesatuan transenden agama-agama (Transcendent Unity of Religions). Kedua aliran ini telah
membangun gagasan, konsep dan prinsip masing-masing yang akhirnya menjadi paham yang
sistemik. Karena itu yang satu menyalahkan yang lain.
Munculnya kedua aliran diatas juga disebabkan oleh dua motif yang berbeda, meskipun
keduanya muncul di Barat dan menjadi tumpuan perhatian masyarakat Barat. Bagi aliran
pertama yang umumnya diwarnai oleh kajian sosiologis motif terpentingnya adalah karena
tuntutan modernisasi dan globalisasi. Karena pentingnya agama di era globalisasi ini maka
hubungan globalisasi dan agama menjadi tema sentral dalam sosiologi agama. Tentang
hubungan antara agama dan globalisasi bisa dibaca dari Religion and Globalization, karya
Peter Bayer, Islam, Globalization and Postmodernity, karya Akbar S Ahmed dan H. Donnan,
The Changing Face of Religion, karya James A Beckford dan Thomas Luckmann atau
Religion and Global Order, oleh Ronald Robertson dan WR. Garet.
Nampaknya agama dianggap sebagai kendala bagi program globalisasi. Tidak aneh jika kini
seminar tentang dialog antar agama, global ethic, religious dialogue yang diadakan oleh
World Council of Religions dan lembaga lain sangat marak diseluruh dunia. Organisasi non
pemerintah (NGO) di dunia ketiga pun mendapat kucuran dana dengan mudah. Bukti bahwa
Barat berkepentingan dengan paham ini dapat dilihat dari tema yang diangkat jurnal rintisan
oleh Zwemmer The Muslim World pada edisi terkininya (volume 94 No.3, tahun 2004).
Jurnal missionaris itu menurunkan tema pluralisme agama dengan fokus dialog Islam Kristen.
Sudah tentu disitu framework Barat sangat dominan.
Berbeda dari motif aliran pertama yang diwarnai pendekatan sosiologis, motif aliran kedua
yang didominasi oleh pendekatan filosofis dan teologis Barat justru kebalikan dari motif
aliran pertama. Kalangan filosof dan teolog justru menolak arus modernisasi dan globalisasi
yang cenderung mengetepikan agama itu dengan berusaha mempertahankan tradisi yang
terdapat dalam agama-agama itu. Yang pertama memakai pendekatan sosiologis, sedangkan
yang kedua memakai pendekatan religious filosofis.
Solusi yang ditawarkan kedua aliran inipun berbeda. Berdasarkan motif sosiologis yang
mengusung program globalisasi, aliran pertama menawarkan konsep dunia yang tanpa batas

geografis cultural, ideologis, teologis, kepercayaan dan lain-lain. Artinya identitas kultural,
kepercayaan dan agama harus dilebur atau disesuaikan dengan zaman modern. Kelompok ini
yakin bahwa agama-agama itu berevolusi dan nanti akan saling mendekat yang pada akhirnya
tidak akan ada lagi perbedaan antara satu agama dengan lainnya. Agama-agama itu kemudian
akan melebur menjadi satu. Berdasarkan asumsi itu maka John Hick, salah satu tokoh
terpentingnya, segera memperkenalkan konsep pluralisme agama dengan gagasannya yang ia
sebut global theology. Selain Hick diantara tokohnya yang terkenal adalah Wilfred Cantwell
Smith, pendiri McGill Islamic Studies. Tokoh-tokoh lain dapat dilihat dari karya Hick
berjudul Problems of Religious Pluralism. Pada halaman dedikasi buku ini John Hick menulis
yang terjemahannya begini: Kepada kawan-kawan yang merupakan nabi-nabi pluralisme
agama dalam berbagai tradisi mereka: Masau Abe dalam agama Buddha, Hasan Askari dalam
Islam, Ramchandra Gandhi dalam agama Hindu, Kushdeva Singh dalam agama Sikh, Wilfred
Cantwell Smith dalam agama Kristen dan Leo Trepp dalam agama Yahudi.
Solusi yang ditawarkan oleh aliran kedua adalah pendekatan religious filosofis dan membela
eksistensi agama-agama. Bagi kelompok ini agama tidak bisa di rubah begitu saja dengan
mengikuti zaman globalisasi, zaman modern ataupun post-modern yang telah meminggirkan
agama itu. Agama tidak bisa dilihat hanya dari perspektif sosilogis ataupun histories dan tidak
pula dihilangkan identitasnya. Kelompok ini lalu memperkenalkan pendekatan tradisional
dan mengangkat konsep-konsep yang diambil secara parallel dari tradisi agama-agama. Salah
satu konsep utama kelompok ini adalah konsep sophia perrenis atau dalam bahasa Hindu
disebut Sanata Dharma atau dalam Islam disebut al-ikmah al-khlidah. Konsep ini
mengandung pandangan bahwa di dalam setiap agama terdapat tradisi-tradisi sakral yang
perlu dihidupkan dan dipelihara secara adil, tanpa menganggap salah satunya lebih superior
dari pada yang lain. Agama bagi aliran ini adalah bagaikan jalan-jalan yang
mengantarkan ke puncak yang sama (all paths lead to the same summit).
Alasan SyafiI Maarif bahwa Pluralisme itu harus dijaga dan dipelihara, dikarenakan
Pluralisme menunjukkan kemajuan suatu bangsa, kita tanyakan pada pak Syafii Maarif,
dimana letak kemajuan untuk bangsa? Terus apa kaitannya dengan Pluralisme? Pernyataan
pak SyafiI bahwa intelektualisme itu sama dengan pluralisme. Kita tanya dari segi mana
letak kesamaannya? Kenapa pak Syafii mengambil kesimpulan demikian? Anehnya
pernyataanya malah menanyakan KENAPA DIHARAMKAN, ini terbukti SyafiI Maarif
tidak memahami agama Islam, dan belum membaca al-Quran secara kesuluruhan, kalau toh
sudah membaca berarti ia tidak memahaminya dengan baik, ia malah keburu buru
menyamakannya dengan agama yang lain. Jelas jelas Allah SWT berfirman yang bunyinya:



Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima

(agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (QS. Ali Imran:
85)
Masalah kemajmukan kita tanyakan pada pak SyafiI kemajmukan yang bagaimana menurut
Pak Syafii? mana buktinya mereka yang berfaham pluralisme bisa hidup majmuk?
Pernyataan Pak SyafiI NANTI KATANYA AKAN PINDAH AGAMA, ITU PAHAM
SIAPA? Ya jelas otomatis dan itu paham islam, masa kita menyamakan antara yang beriman
kepada Allah dengan yang Kufur, yang taat sama yang melanggar, yang merusak sama yang
memperbaiki. Kalau itu kita samakan justru tidak adil. Makanya Allah menempatkan orang
kafir itu nanti di neraka sebagaimana firman Allah:

Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik (akan
masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk
makhluk. (QS. Al-Bayyinah: 6)
Jika Pak SyafiI mengaku orang yang cerdas gara-gara mengadopsi paham ini, kita tanyakan
pada pak syafiI, adakah diantara agama-agama yang meneriman paham ini? Agama apa
kitab sucinya apa tokohnya siapa? Kemudian kita tanyakan lagi, sudahkan Pak SyafiI maarif
mempelajari agama-agama yang ada? Kok bisa langsung membenarkan Pluralisme, sejauh
mana ia pelajari. Hal ini sudah tidak akan mungkin ia lakukan, yang jelas kalau penulis
menanggapi pernyataan beliau ini sudah jelas nyelenih bahkan ASMA (asal mangap). Lebih
baiknya SyafiI Maarif mengatakan Pluralisme harus diberantas dan dihanguskan karena
bertentangan dengan agama ISLAM. (Pada Selasa, 21 November 2006), Syafii Maarif
menulis kolom Resonansi di Republika yang berjudul Hamka Tentang Ayat 62 Al Baqarah
dan Ayat 69 Al Maidah. Setelah saya cek ke Tafsir Al Azhar yang dirujuk Syafii, memang
ada sejumlah hal yang perlu diperjelas dari tulisan Syafii, agar tidak menimbulkan persepsi
yang keliru terhadap sosok Hamka. Ayat Alquran yang dibahas Syafii Maarif memang saat ini
sedang gencar-gencarnya disosialisasikan oleh pendukung paham pluralisme agama untuk
menjustifikasi paham yang meyakini bahwa semua agama adalah jalan yang sama-sama sah
menuju Tuhan yang satu itu. Dalam pandangan pluralisme agama versi transendentalisme
ini, tidak ada agama yang salah, dan tidak boleh satu pemeluk agama yang mengklaim hanya
agamanya sendiri sebagai jalan satu-satunya menuju Tuhan. Kalangan pluralis kemudian
mencari-cari dalil dalam kitab suci masing-masing untuk mendukung paham ini. Yang dari
kalangan Islam biasanya menjadikan QS 2:62 dan 5:69 untuk menjustifikasi pandangannya.
Kalangan Hindu pluralis, misalnya, biasanya suka mengutip Bagawad Gita IV:11: Jalan
mana pun yang ditempuh manusia ke arah-ku, semuanya aku terima.

Tentu saja, legitimasi paham pluralisme agama dengan ayat-ayat tertentu dalam kitab suci
masing-masing agama mendapatkan perlawanan keras dari tiap agama. Tahun 2000, Vatikan
telah menolak paham pluralisme dengan mengeluarkan dekrit Dominus Jesus. Tahun 2004,
seorang pendeta Kristen di Malang menulis buku serius tentang paham pluralisme agama
berjudul Theologia Abu-Abu: Tantangan dan Ancaman Racun Pluralisme dalam Teologi
Kristen Masa Kini. Tahun 2005, MUI juga mengeluarkan fatwa yang menolak paham
pluralisme agama. Dan tahun 2006, Media Hindu juga menerbitkan satu buku berjudul
Semua Agama Tidak Sama. Buku ini juga membantah penggunaan ayat dalam Bhagawat
Gita IV:11 untuk mendukung paham penyamaan agama yang disebut juga dalam buku ini
sebagai paham universalisme radikal.
Penyalahgunaan
Di kalangan kaum pluralis yang beragama Islam, QS 2:62 dan 5:69 biasanya dijadikan
legitimasi untuk menyatakan, bahwa umat beragama apa pun, asal beriman kepada Tuhan dan
Hari Akhir, serta berbuat baik, maka dia akan mendapat pahala dari Allah dan masuk sorga.
Karena itu, untuk mendapatkan keselamatan di akhirat, kaum Yahudi dan Kristen, misalnya,
tidak perlu beriman kepada Nabi Muhammad SAW. Untuk mencari legitimasi, yang sering
dijadikan rujukan adalah Tafsir Al Manar yang ditulis Rasyid Ridha.
Prof Abdul Aziz Sachedina, misalnya, dalam satu artikelnya berjudul Is Islamic Revelation an
Abrogation of Judaeo-Christian Revelation? Islamic Self-identification, menyatakan: Rasyid
Ridha tidak mensyaratkan iman kepada kenabian Muhammad bagi kaum Yahudi dan Kristen
yang berkeinginan untuk diselamatkan, dan karena itu, ini secara implisit menetapkan
validitas kitab yahudi dan Kristen.
Sachedina dan sejumlah Pluralis lainnya tidak cermat dan tidak lengkap dalam mengutip
Tafsir Al Manar, sehingga berkesimpulan seperti itu. Padahal, dalam Tafsir Al Manar Jilid IV
yang membahas tentang keselamatan Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani), disebutkan, bahwa
QS 2:62 dan 5:69 adalah membicarakan keselamatan Ahlul Kitab yang kepada mereka
dakwah Nabi Muhammad saw tidak sampai.
Sedangkan bagi Ahli Kitab yang dakwah Islam sampai kepada mereka (sesuai rincian QS
3:199), Rasyid Ridha menetapkan lima syarat keselamatan, di antaranya: (1) beriman kepada
Allah dengan iman yang benar, (2) beriman kepada Alquran yang diwahyukan kepada Nabi
Muhammad SAW. Al Manar juga menyebutkan, bahwa kaum Yahudi dan Nasrani, tidak bisa
disebut ahl al fathrah, yang berhak memperoleh keselamatan dan tidak ada alasan untuk

membebaskan mereka dari hukuman, karena mereka masih dapat mengenali ajaran kenabian
yang benar.
Dengan logika sederhana sebenarnya kita bisa memahami, bahwa untuk dapat beriman
kepada Allah dan Hari Akhirat dengan benar dan beramal saleh dengan benar, seseorang
pasti harus beriman kepada Nabi Muhammad SAW sebagai rasul Allah. Sebab, dalam konsep
keimanan Islam, hanya melalui rasul-Nya, kita dapat mengenal Allah dengan benar;
mengenal nama dan sifat-sifat-Nya. Juga, hanya melalui Nabi Muhammad SAW, kita dapat
mengetahui, bagaimana cara beribadah kepada Allah dengan benar.
PENDAPAT HAMKA
Pendapat Hamka tentang keselamatan kaum non-Muslim dalam pandangan Islam sebenarnya
juga tidak berbeda dengan para mufassir (ahli tafsir) terkemuka yang lain, termasuk ketika
menafsirkan QS 2:62 dan 5:69. Karena itu, Hamka memandang, ayat itu tidak bertentangan
dengan QS 3:85 yang menyatakan: Dan barang siapa yang mencari selain dari Islam
menjadi agama, sekali-kali tidaklah akan diterima daripadanya. Dan di Hari Akhirat akan
termasuk orang-orang yang rugi. Jadi, QS 3:85 tidak menasakh QS 2:62 dan 5:69 karena
memang maknanya sejalan.
Alasan Hamka bahwa ayat ini tidak menghapuskan ayat 62 sebagaimana juga dikutip Syafii
Maarif bahwa Ayat ini bukanlah menghapuskan (nasikh) ayat yang sedang kita tafsirkan ini
melainkan memperkuatnya. Sebab hakikat Islam ialah percaya kepada Allah dan Hari
Akhirat. Percaya kepada Allah, artinya percaya kepada segala firman-Nya, segala rasul-Nya
dengan tidak terkecuali dan hendaklah iman itu diikuti oleh amal yang saleh.
Jadi, Hamka tetap menekankan siapa pun, pemeluk agama apa pun, akan bisa mendapatkan
pahala dan keselamatan, dengan syarat dia beriman kepada segala firman Allah, termasuk
Alquran, dan beriman kepada semua nabi dan rasul-Nya, termasuk Nabi Muhammad SAW.
Jika seseorang beriman kepada Alquran dan Nabi Muhammad SAW, maka itu sama artinya
dia telah memeluk agama Islam. Itulah makna QS 3:85 yang sejalan dengan makna QS 2:62
dan 5:69.
Soal keimanan kepada Nabi Muhammad SAW dan Alquran itulah yang sejak awal ditolak
keras oleh kaum Yahudi dan Nasrani. Orang Yahudi menolak mengimani Nabi Isa AS dan
Nabi Muhammad SAW. Dan kaum Nasrani menolak untuk beriman kepada Nabi Muhammad
SAW. Sedangkan kaum Muslim mengimani Nabi Musa, Nabi Isa, dan juga Nabi Muhammad
SAW, sebagai penutup para Nabi.

Hamka adalah sosok ulama yang gigih dalam membela aqidah Islam. Tahun 1981, dia
memilih mundur dari Ketua Majlis Ulama Indonesia, daripada harus menarik kembali fatwa
haramnya merayakan Natal bersama bagi umat Islam. Beberapa hari kemudian, beliau
meninggal dunia. Sosok Hamka sangat jauh berbeda dengan para pengusung paham
pluralisme agama. Mudah-mudahan tulisan ini memperjelas sikap Hamka dalam masalah
keimanan Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Maarif, Ahmad SyafiI; Dinamika Islam, Shalahuddin Press, 1984
Maarif, Ahmad SyafiI; Islam, Mengapa Tidak?, Shalahuddin Press, 1984
Maarif, Ahmad SyafiI; Islam dan Masalah Kenegaraan, LP3ES, 1985
http://kompas.com: Sabtu, 1 Januari 2011, 14:31 WIB
http://rebuplika co.id pada:. Sabtu, 1 Januari 2011, 14:31 WIB

Anda mungkin juga menyukai