Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Dalam rangka pelayanan pasien yang berobat di Instalasi Gawat Darurat (IGD)
Rumah Sakit, tidak dapat dihindari bahwa akan ada banyak kasus yang merupakan kasus
perlukaan. Data yang ada di beberapa Rumah Sakit menunjukkan bahwa jumlah kasus
perlukaan keracunan merupakan sebagian besar dari kasus yang ditangani di IGD RS.
Sebagian dari kasus ini ternyata merupakan kasus forensik klinik karena pada saat pasien
datang berobat atau beberapa hari setelahnya penyidik ternyata mengirim surat Permintaan
Visum et Repertum (VER) kepada RS.
Dalam konteks hukum pidana di Indonesia, pada kasus-kasus semacam ini, setiap
dokter yang kebetulan menangani kasus tersebut, dibebani KEWAJIBAN HUKUM untuk
memeriksa pasien (atau korban, jika dilihat dari konteks hukum) dan membuat Visum et
Repertum. Hal ini diatur dalam pasal 133 (1) KUHAP yang menyatakan bahwa, Penyidik
dalam menangani kasus LUKA, KERACUNAN, atau MATI, yang diduga karena tindak
pidana, dapat meminta bantuan DOKTER AHLI KEHAKIMAN, DOKTER atau ahli
lainnya. Kewajiban dokter untuk membantu penyidik sebagaimana dinyatakan pasal ini
merupakan suatu kewajiban hukum, karena pelanggaran terhadap kewajiban ini dapat
dikenakan sanksi pidana penjara selama-lamanya 9 bulan, menurut pasal 224 KUHP.
Dalam konteks kasus perlukaan yang ditangani di RS, kewajiban memeriksa korban
dan membuat VER merupakan kewajiban dari setiap dokter yang menangani pasien
tersebut, termasuk dokter jaga IGD, dokter jaga poliklinik, dan dokter spesialis yang
menangani perawatan pasien tersebut. Dalam hal pasien hanya menjalani rawat jalan,
kewajiban ini ada pada dokter poliklinik atau dokter IGD yang menangani korban
tersebut. Pada kasus pasien yang dirawat inap di RS, kewajiban tersebut merupakan
kewajiban bersama dokter IGD dan dokter spesialis yang merawat pasien tersebut.
Pada kasus pidana semacam ini, setiap dokter yang menangani kasusnya, harus
berperan ganda. Pertama, ia harus berperan sebagai dokter klinik (attending physician)
yang berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, lalu
menegakkan diagnosis dan mengobati pasiennya. Kedua, ia harus juga, atas dasar hukum,
berperan sebagai dokter forensik (assessing doctor), yang melakukan anamnesis,
pemeriksaan forensik klinik (pencarian bukti tindak pidana) dan pemeriksaan penunjang,
dan menyimpulkannya dalam bentuk VER.
Di RS, para dokter pada umumnya memfokuskan pelayanannya pada aspek klinik,
untuk mengobati pasien dalam rangka penyembuhan, pengurangan rasa sakit dan

kecacatan serta pencegahan kematian. Aspek pencarian bukti tindak pidana, walaupun
diminta secara tegas dalam surat permintaan VER dari penyidik, pada umumnya dianggap
sebagai hal sekunder. Hal ini terjadi bukan saja karena para dokter sudah banyak lupa
akan ilmu kedokteran forensik (yang dipelajarinya ketika pendidikan S1 kedokteran),
tetapi juga karena penyelamatan pasien merupakan tujuan utama setiap pelyanan di RS.
Hal ini berdampak pada pemeriksaan forensik klinik yang kurang akurat, pencatatan
rekam medis yang tidak lengkap dan kurang sesuai dengan kepentingan pembuatan VER.
Hal ini diperparah lagi dengan kenyataan bahwa di beberapa RS, pembuatan VER (yang
merupakan kewajiban dokter) diserahkan kepada petugas Rekam Medis RS. Dalam
kondisi yang semacam itu, tidak dapat dipungkiri bahwa VER yang dihasilkan oleh RS
pada umumnya bermutu rendah dan bahkan bermasalah, yang dapat berujung pada
dipanggilnya dokter ke pengadilan untuk menerangkan lebih jauh mengenai isi VER yang
ditandatanganinya tersebut.
Dengan semakin tingginya kesadaran hukum masyarakat, maka tidak dapat
dipungkiri bahwa kasus-kasus perlukaan dan keracunan yang ditangani dokter akan
semakin meningkat juga. Dengan demikian setiap dokter klinik harus membekali dirinya
dengan kemampuan dasar-dasar ilmu kedokteran forensik klinik, yang mungkin belum
pernah diajarkan pada saat ia menjalani pendidikan kedokteran. Hal yang harus dipelajari
diantaranya adalah anamnesis, pemeriksaan fisik luka, pencatatan dalam rekam medis,
penentuan derajat perlukaan dan tehnis pembuatan VER. Makalah ini akan membahas
berbagai aspek medikolegal pemeriksaan forensik klinik pada kasus tindak pidana berupa
perlukaan sehingga dapat dihasilkan VER korban hidup yang bermutu dan tidak memberi
masalah pada dokter yang membuatnya. Berdasarkan pembahasan ini, RS dapat
menjadikannya dasar untuk penyempurnaan Standard Operation Procedure (SOP)
tatalaksana Visum et Repertum korban hidup di RS, yang merupakan salah satu komponen
dari hospital by laws, yang juga merupakan salah satu point penilaian dalam akreditasi
RS.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.1. DEFINISI
Pelayanan Medikolegal adalah bagian dari aspek Ilmu kedokteran forensik
(interdisipliner) yang mempelajari area praktek medis yang mengintegrasikan antara
peranan medis dalam bidang hukum.
1.2. PERAN FORENSIK DALAM BIDANG HUKUM
1.2.1.UU KESEHATAN
UU Kesehatan No. 23 tahun 1992
Pasal 70
(1) Dalam melaksanakan penelitian dan pengembangan dapat dilakukan bedah mayat untuk
penyelidikan sebab penyakit dan atau sebab kematian serta pendidikan tenaga
kesehatan.
(2) Bedah mayat hanya dapat dilakukan koleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian
dan kewenangan untuk itu dan dengan memperhatikan norma yang berlaku dalam
masyarakat.
(3) Ketentuan mengenai bedah mayat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah
UU Kesehatan No. 36 tahun 2009
Pasal 28
(1) Untuk kepentingan hukum, tenaga kesehatan wajib melakukan pemeriksaan kesehatan
atas permintaan penegak hukum dengan biaya ditanggung oleh negara.
(2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada kompetensi dan
kewenangan sesuai dengan bidang keilmuan yang dimiliki.
Pasal 121
(1) Bedah mayat klinis dan bedah mayat anatomis hanya dapat dilakukan oleh dokter
sesuai dengan keahlian dan kewenangannya.
(2) Dalam hal pada saat melakukan bedah mayat klinis dan bedah mayat anatomis
ditemukan adanya dugaan tindak pidana, tenaga kesehatan wajib melaporkan kepada
penyidik sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 122

(1) Untuk kepentingan penegakan hukum dapat dilakukan bedah mayat forensik sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Bedah mayat forensik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh dokter ahli
forensik, atau oleh dokter lain apabila tidak ada dokter ahli forensik dan perujukan ke
tempat yang ada dokter ahli forensiknya tidak dimungkinkan.
(3) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab atas tersedianya pelayanan
bedah mayat forensik di wilayahnya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan bedah mayat forensik diatur dengan
Peraturan Menteri.
Pasal 124
(1) Tindakan bedah mayat oleh tenaga kesehatan harus dilakukan sesuai dengan norma
agama, norma kesusilaan, dan etika profesi.
Pasal 150
(1) Pemeriksaan kesehatan jiwa untuk kepentingan penegakan hukum (visum et repertum
psikiatricum) hanya dapat dilakukan oleh dokter spesialis kedokteran jiwa pada fasilitas
pelayanan kesehatan.
(2) Penetapan status kecakapan hukum seseorang yang diduga mengalami gangguan
kesehatan jiwa dilakukan oleh tim dokter yang mempunyai keahlian dan kompetensi
sesuai dengan standar profesi.

1.2.2.UU RUMAH SAKIT


UU No. 44 Tahun 2009
Pasal 37
(1) Setiap tindakan kedokteran yang dilakukan di Rumah Sakit harus mendapat persetujuan
pasien atau keluarganya.
(2) Ketentuan mengenai persetujuan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 38
(1) Setiap Rumah Sakit harus menyimpan rahasia kedokteran.
(2) Rahasia kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dibuka untuk
kepentingan kesehatan pasien, untuk pemenuhan permintaan aparat penegak hukum
dalam rangka penegakan hukum, atas persetujuan pasien sendiri, atau berdasarkan
ketentuan peraturan perundangundangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai rahasia kedokteran diatur dengan Peraturan Menteri.
1.2.3.UU PRAKTEK KEDOKTERAN
UU No. 29 Tahun 2009
Pasal 46

(1) Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran wajib membuat
rekam medis.
(2) Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus segera dilengkapi setelah
pasien selesai meneriman pelayanan kesehatan.
(3) Setiap catatan rekam medis harus dibubuhi nama, waktu, dan tanda tangan petugas
yang memberikan pelayanan atau tindakan.
Pasal 47
(1) Dokumen rekam medis sebagai mana dimaksud dalam Pasal 46 merupakan milik
dokter, dokter gigi, atau sarana pelayanan kesehatan, sedangkan isi rekam medis
merupakan milik pasien.
(2) Rekam medis sebagaimana simaksudkan pada ayat (1) harus disimpan dan dijaga
kerahasiaannya oleh dokter atau dokter gigi dan pimpinan sarana pelayanan kesehatan.
(3) Ketentuan mengenai rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan Peraturan Menteri.
Menurut PERMENKES No: 269/ MENKES/ PER/ III/ 2008 data-data yang harus
dimasukkan dalam Medical Record dibedakan untuk pasien yang diperiksa di unit rawat
jalan dan rawat inap dan gawat darurat. Setiap pelayanan baik di rawat jalan, rawat inap dan
gawat darurat dapat membuat rekam medis dengan data-data sebagai berikut:
(1) Pasien Rawat Jalan
Data pasien rawat jalan yang dimasukkan dalam medical record sekurangkurangnya antara lain:
a. Identitas pasien.
b. Tanggal dan waktu.
c. Anamnesis (sekurang-kurangnya keluhan, riwayat penyakit).
d. Hasil pemeriksaan fisik dan penunjang medis.
e. Diagnosis.
f. Rencana penatalaksanaan.
g. Pengobatan dan atau tindakan.
h. Pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien.
i. Untuk kasus gigi dan dilengkapi dengan odontogram klinik.
j. Persetujuan tindakan bila perlu.
(2) Pasien Rawat Inap
Data pasien rawat inap yang dimasukkan dalam medical record sekurangkurangnya antara lain:
a. Identitas pasien
b. Tanggal dan waktu.
c. Anamnesis (sekurang-kurangnya keluhan, riwayat penyakit.
d. Hasil pemeriksaan fisik dan penunjang medis.
e. Diagnosis.
f. Rencana penatalaksanaan.
g. Pengobatan dan atau tindakan.
h. Persetujuan tindakan bila perlu.
i. Catatan obsservasi klinis dan hasil pengobatan.

j. Ringkasan pulang (discharge summary).


k. Nama dan tanda tangan dokter, dokter gigi atau tenaga kesehatan tertentu yang
memberikan pelayanan ksehatan.
l. Pelayanan lain yang telah diberikan oleh tenaga kesehatan tertentu.
m. Untuk kasus gigi dan dilengkapi dengan odontogram klinik
(3) Ruang Gawat Darurat
Data pasien rawat inap yang harus dimasukkan dalam medical record sekurangkurangnya antara lain:
a. Identitas pasien.
b. Kondisi saat pasien tiba di sarana pelayanan kesehatan.
c. Identitas pengantar pasien.
d. Tanggal dan waktu.
e. Hasil anamnesis (sekurang-kurangnya keluhan, riwayat penyakit).
f.

Hasil pemeriksaan fisik dan penunjang medis.

g. Diagnosis.
h. Pengobatan dan/atau tindakan.
i.

Ringkasan kondisi pasien sebelum meninggalkan pelayanan unit gawat darurat


dan rencana tindak lanjut.

j.

Nama dan tanda tangan dokter, dokter gigi atau tenaga kesehatan tertentu yang
memberikan pelayanan kesehatan.

k. Sarana transportasi yang digunakan bagi pasien yang akan dipindahkan ke sarana
pelayanan kesehatan lain.
l.

Pelayanan lain yang telah diberikan oleh tenaga kesehatan tertentu.


Data-data rekam medis diatas dapat ditambahkan dan dilengkapi sesuai kebutuhan

yang ada dalam palayanan kesehatan.

1.3. REKAM MEDIS


Dalam penjelasan undang undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004
tentang praktek kedokteran pasal 46 ayat (1), yang dimaksud dengan rekam medis adalah
berkas yang berisi catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan,
tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien.
Berdasarkan PERMENKES RI No. 749A/ Menkes/ Per/ XII/ 1989 tentang rekam
medis dijelaskan bahwa rekam medis adalah berkas yang berisi catatan dan dokumen
tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain kepada
pasien pada pelayanan kesehatan.
Berdasarkan Permenkes RI No.269/Menkes/Per/III/2008 tentang rekam medis,
rekam medis adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien,

pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien.
Rekam medis harus dibuat secara tertulis, lengkap dan jelas atau secara elektronik.
Menurut pernyataan IDI tentang rekam medis, rekam medis/ kesehatan adalah
rekaman dalam bentuk tulisan atau gambar aktivitas pelayanan yang diberikan oleh
pemberi pelayanan medis/kesehatan kepada seorang pasien yang meliputi identitas lengkap
pasien, catatan tentang penyakit ( diagnosis, terapi dan pengamatan perjalanan penyakit),
catatan dari pihak ketiga, hasil pemeriksaan laboratorium, foto roentgen, pemeriksaan USG
dan lainnya serta resume.
1.3.1.DASAR HUKUM REKAM MEDIS
Undang undang Republik Indonesia No. 29 tahun 2004 tentang praktek
kedokteran pasal 46 menyebutkan bahwa:
(1) Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktek kedokteran wajib
membuat rekam medis.
(2) Rekam medis sebagaimana yang dimaksud pada ayat 1 harus segera dilengkapi
setelah pasien selesai menerima pelayanan kesehatan.
Tidak jauh berbeda dengan undang undang praktek kedokteran, Permenkes
No.269 tahun 2008 juga mengatur tentang penyelenggaraan rekam medis. Dalam
Pasal 5 dinyatakan bahwa:
(1) Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran wajib
membuat rekam medis.
(2) Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus segera dilengkapi
setelah pasien menerima pelayanan kesehatan.
Pembuatan rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan
melalui pencatatan dan pendokumentasian hasil pemeriksaan, pengobatan, tindakan
dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien.
SK PB IDI No. 315/PB/A.4/88 dalam butir 3 menyebutkan bahwa Rekam
Medis / kesehatan harus dibuat segera dan dilengkapi seluruhnya paling lambat 48
jam setelah pasien pulang atau meninggal. Rekam medis / kesehatan harus ada untuk
mempertahankan kualitas pelayanan profesional yang tinggi, untuk melengkapi
kebutuhan informasi locum tennens, untuk kepentingan dokter pengganti yang
meneruskan perawatan pasien, untuk referensi masa datang, serta diperlukan karena
adanya hak untuk melihat dari pasien. Untuk itu, rekam medis /kesehatan wajib ada di
RS, Puskesmas atau balai kesehatan dan praktik dokter pribadi atau praktik
berkelompok.
Apabila terjadi kesalahan dalam melakukan pencatatan pada rekam medis, berkas
dan catatan tidka boleh dihilangkan atau dihapus dengan cara apapun. Perubahan
catatan atau kesalahan dalam rekam medis hanya dapat dilakukan dengan pencoretan
dan dibubuhi paraf petugas yang bersangkutan. Hal ini sesuai dengan penjelasan UU

Praktik kedokteran Pasal 46 ayat (2) dan PERMENKES No. 69 Tahun 2008 Pasal 5
ayat (5) dan (6).
1.3.2.KEGUNAAN REKAM MEDIS
Kegunaan/fungsi rekam medis menurut Permenkes No. 269 Tahun 2008 adalah
sebagai berikut :
a. Sebagai dasar evaluasi pemeliharaan kesehatan dan pengobatan pasien selama
dalam perawatan.
b. Sebagai bahan pembuktian dalam proses penegakan hukum, disiplin kedokteran
dan kedokteran gigi dan penegakan etika kedokteran dan etika kedokteran gigi.
c. Bahan untuk kepentingan penelitian dan pendidikan.
d. Sebagai dasar pembayaran biaya pelayanan kesehatan.
e. Sebagai bahan untuk menyiapkan statistik kesehatan.
Pemanfaatan rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c yang
menyebutkan identitas pasien harus mendapat persetujuan secara tertulis dari pasien
atau ahli warisnya dan harus dijaga kerahasiaannya.

1.4. VISUM ET REPERTUM


Visum adalah laporan tertulis yang dibuat oleh dokter berdasarkan sumpah
jabatannya terhadap apa yang dilihat dan diperiksa berdasarkan keilmuannya.
1.4.1. MAKSUD DAN TUJUAN PEMBUATAN VISUM ET REPERTUM
Maksud pembuatan Visum et Repertum adalah sebagai salah satu barang
bukti (corpus delicti) yang sah di pengadilan karena barang buktinya sendiri telah
berubah pada saat persidangan berlangsung. Jadi Visum et Repertum merupakan
barang bukti yang sah karena termasuk surat sah sesuai dengan KUHP pasal 184.
Ada 5 barang bukti yang sah menurut KUHP pasal 184, yaitu:
1. Keterangan saksi.
2. Keterangan ahli.
3. Keterangan terdakwa.
4. Surat-surat.
5. Petunjuk.
1.4.2.SUSUNAN VISUM ET REPERTUM
Ada 5 bagian dalam penyusunan Visum et Repertum, yaitu:
1. Pembukaan
Ditulis PRO JUSTITIA yang berarti demi keadilan dan ditulis di kiri
sebagai pengganti materai
2. Pendahuluan
Bagian pendahuluan berisi

a. Identitas Pembuatan Visum berdasarkan surat permohonan mengenai


jam, tanggal dan tempat dilakukannya pemeriksaan
b. Identitas peminta visum
c. Pernyataan dokter dan identitas dokter
d. Wilayah
e. Identitas korban
f. Identitas tempat perkara
3. Pemberitaan
Bagian pemberitaan memuat hasil pemeriksaan sebagai, berupa:
a. Apa yang dilihat, yang ditemukan sepanjang pemeriksaan sesuai
dengan pengetahuan dokter.
b. Hasil konsultasi dengan teman sejawat yang lain
c. Untuk ahli bedah yang mengoperasi diminta keterangan mengenai apa
yang diperoleh; jika diopname, tulis opname; jika pualng ditulis
pulang.
d. Tidak dibenarkan menulis dengan kata-kata latin
e. Tidak dibenarkan menulis dengan angka, harus disertai huruf untuk
f.

mencegah pemalsuan
Tidak dibenarkan menulis diagnosis, melainkan hanya menulis ciri-

ciri, sifat dan keadaan luka


4. Kesimpulan
Bagian kesimpulan memuat pendapat pribadi dokter tentang hubungan
sebab akibat antara apa yang dilihat dan ditemukan dokter dengan
penyebabnya. Misalnya jenis luka, kualifikasi luka atau bila korban
meninggal maka dokter menuliskan dugaan penyebab kematiannya. Serta
menentukan apakah korban masih dapat menjalankan aktifitasnya sesuai
dengan pekerjaan korban.
5. Penutup
Bagian penutup memuat sumpah atau janji, tanda tangan dan nama terang
dokter yang membuat visum. Sumpah atau janji dokter dibuat sesuai dengan
sumpah jabatan atau pekerjaan dokter.
1.4.3.KUALIFIKASI LUKA
Salah satu yang harus diungkapkan dalam kesimpulan sebuah visum et
repertum adalah derajat luka atau kualifikasi luka. Dari aspek hukum, VeR dikatakan
baik apabila substansi yang terdapat dalam VeR tersebut dapat memenuhi delik
rumusan dalam KUHP.
(1) Penentuan derajat luka sangat tergantung pada latar belakang individual
dokter seperti pengalaman, keterampilan, keikutsertaan, dalam pendidikan
kedokteran berkelanjutan dan sebagainya.
(2) Suatu perlukaan dapat menimbulkan dampak pada korban dari segi fisik,
psikis, social, dan pekerjaan, yang dpaat timbul segera, dalam jangka pendek,
ataupun jangka panjang. Dampak perlukaan tersebut memegang peranan

penting bagi hakim dalam menentukan beratnya sanksi pidana yang harus
dijatuhkan sesuai dengan rasa keadilan
(3) Hukum pidana Indonesia mengenal delik penganiayaan yang terdiri dari tiga
tingkatan dengan hukuman yang berbeda yaitu penganiayaan ringan (pidana
maksimum 3 bulan penjara), penganiayaan (pidana maksimum 2 tahun 8
bulan), dan penganiayaan yang menimbulkan luka berat (pidana maksimum 5
tahun). Ketiga tingkatan penganiayaan tersebut diatur dalam pasal 352 (1)
KUHP untuk penganiayaan ringan, pasal 351 (1) KUHP untuk penganiayaan,
dan pasal 352 (2) KUHP untuk penganiayaan yang menimbulkan luka berat
Setiap kecederaan harus dikaitkan dengan ketiga pasal tersebut. Untuk hal
tersebut seorang dokter yang memeriksa cedera harus menyimpulkan dengan
menggunakan bahasa awam, termasuk pasal mana kecederaan korban yang
bersangkutan.Rumusan hukum tentang penganiayaan ringan sebagaimana diatur
dalam pasal 352 (1) KUHP menyatakan bahwa penganiayaan yang tidak
menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau
pencarian, diancam, sebagai penganiayaan ringan.
Jadi bila luka pada seorang korban diharapkan dapat sembuh sempurna dan
tidak menimbulkan penyakit atau komplikasinya, maka luka tersebut dimasukkan ke
dalam kategori tersebut. Selanjutnya rumusan hukum tentang penganiayaan (sedang)
sebagaimana diatur dalam pasal 351 (1) KUHP tidak menyatakan apapun tentang
penyakit. Sehingga bila kita memeriksa seorang korban dan didapati penyakit akibat
kekerasan tersebut, maka korban dimasukkan ke dalam kategori tersebut.
Akhirnya, rumusan hukum tentang penganiayaan yang menimbulkan luka
berat diatur dalam pasal 351 (2) KUHP yang menyatakan bahwa Jika perbuatan
mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara
paling lama lima tahun. Luka berat itu sendiri telah diatur dalam pasal 90 KUHP
secara limitatif. Sehingga bila kita memeriksa seorang korban dan didapati salah satu
luka sebagaimana dicantumkan dalam pasal 90 KUHP, maka korban tersebut
dimasukkan dalam kategori tersebut.
Luka berat menurut pasal 90 KUHP adalah :
(1) Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh
sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut.
(2) Tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

pencarian.
Kehilangan salah satu panca indera.
Mendapat cacat berat.
Menderita sakit lumpuh.
Terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih.
Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.

BAB III
PEMERIKSAAN FORENSIK KLINIK PADA KASUS PERLUKAAN

3.1. PELAPORAN KE POLISI


Korban dengan tindak pidana berupa perlukaan yang datang ke RS, khususnya yang
lukanya ringan, seringkali telah melapor ke polisi sebelum datang ke dokter. Pada kasus ini
korban datang ke RS dengan membawa Surat Permintaan Visum et Repertum (SPV) dari
penyidik dan seringkali juga dengan diantar oleh penyidik. Pada kasus semacam ini,
bagian Admisi RS biasanya langsung menerima SPV, membuat keterangan dengan
Medical Record, dan membuat catatan dalam Rekam Medik bahwa kasus membutuhkan
Pemeriksaan Visum. Adanya tanda ini merupakan isyarat bagi dokter Instalasi Gawat
Darurat agar ia memeriksa pasien ini secara yang lebih teliti dan berhati-hati, karena
pencatatannya nanti akan dijadikan dasar untuk pembuatan VER. Pada beberapa RS yang
sistemnya baik, khusus untuk kasus semacam ini telah disediakan suplemen gambargambat skematis berbagai bagian tubuh, yang dapat ditambahkan untuk kemudahan
pencatatan luka. Gambar skematis ini penting karena akan memudahkan pencatatan lokasi
luka dan membuat pencatatan luka menjadi lebih cepat dan mudah.
Pada banyak kasus lainnya pasien dengan perlukaan atau keracunan, datang ke RS
untuk meminta pertolongan medis. Setelah dokter IGD selesai melakukan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan melakukan pengobatan gawat darurat, ia biasanya telah dapat
memperkirakan apakah kasusnya merupakan kasus tindak pidana atau bukan. Jika dokter
menduga kasus tersebut terjadi akibat suatu tindak pidana, maka dokter sebaiknya
menganjurkan kepada pasien agar melaporkan kasusnya ke polisi untuk ditangani lebih
lanjut secara hukum.
Akan tetapi sebagai seseorang yang secara kebetulan mengetahui bahwa ada tindak
pidana yang telah terjadi, dokter punya kewajiban untuk melaksanakan pasal 108 yang
mengatur mengenai pengaduan dan pelaporan tindak pidana, yang bunyinya sebagai
berikut:
(1) Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban
peristiwa yang merupakan tindak pidana BERHAK untuk mengajukan laporan atau
pengaduan kepada penyelidik dan atau penyidik baik lisan maupun tulisan
(2) Setiap orang yang mengetahui permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana
terhadap ketentraman dan keamanan umum, WAJIB seketika itu juga melaporkan
hal tersebut kepada penyelidik atau penyidik
(3) Setiap pegawai negeri dalam rangka melaksanakan tugasnya mengetahui tentang
terjadinya peristiwa yang merupakan tindak pidana WAJIB melaporkan hal tersebut
kepada penyelidik atau penyidik

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka dokter yang juga adalah pegawai negeri,
WAJIB melapor kepada penyelidik atau penyidik jika ia mendapati pasiennya mengalami
perlukaan akibat suatu tindak pidana. Dalam konteks RS, aturan ini seharusnya diangkat
menjadi kewajiban RS dalam Standard Operational Procedure (SOP) Tatalaksana
Pelayanan Medik di IGD. Dalam SOP ini prosedur pelaporan biasanya didelegasikan ke
petugas security RS dengan prosedur sbb: Dokter IGD melaporkan kasus tersebut ke
Security, lalu petugas Security atas nama RS menghubungi Polsek terdekat atau Polsek
yang mencakup TKP dan melaporkan kasus tersebut. Atas dasar laporan tersebut, petugas
Kepolisian tersebut biasanya akan mengirim seorang petugas untuk menerima laporan
langsung dari korban atau keluarganya dan membuatkan SPVnya untuk selanjutnya
diserahkan ke dokter IGD atau petugas Tata Usaha/Admisi RS. Pada kasus dimana korban
hanya berobat jalan, maka korbannya sendiri yang dianjurkan untuk melaporkan kasusnya
ke polisi setelah ia selesai menjalani pemeriksaan dan pengobatan oleh dokter. Jika korban
karena suatu alasan tidak mungkin mengadukan tindak pidana tersebut ke kepolisian, maka
keluarga atau kerabatnya yang ikut melihat atau menyaksikan tindak pidana dapat
melaporkan tindak pidana tersebut ke polisi.
Pencatatan Rekam Medis pada kasus yang SPVnya belum ada, harus dilakukan
sama seperti kasus yang datang dengan ke IGD dengan membawa SPV. Hal ini penting
diperhatikan untuk mencegah terjadinya kesulitan dalam pembuatan VER jika kemudian
SPV baru diterima RS beberapa hari kemudian.
3.2. PEMERIKSAAN FORENSIK KLINIK
Pemeriksaan terhadap pasien yang merupakan korban tindak pidana menyebabkan
dokter harus berperan ganda sebagai dokter klinik dan juga sebagai forensic doctor.
Sebagai dokter klinik (attending physcian), dokter mengikat perjanjian perdata dengan
pasien (kontrak terapetik) dalam rangka pengobatan terhadap penyakit pasien. Dalam
hubungan ini dokter melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang,
lalu menegakkan diagnosis, memberikan pengobatan dan meramalkan prognisis penyakit
pasien. Hubungan dokter pasien ini mensyaratkan dijaganya rahasia kedokteran secara
ketat. Dengan adanya SPV maka dokter yang menangani pasien yang merupakan korban
tindak pidana harus berperan sebagai dokter forensik. Sebagai dokter forensik, dokter
melakukan

anamnesis,

pemeriksaan

fisik,

dan

pemeriksaan

penunjang,

serta

mengumpulkan berbagai bukti tindak pidana dan melaporkan hasilnya dalam bentuk VER
ke penyidik.
Bagi kebanyakan dokter klinik, peran sebagai dokter forensik merupakan beban
karena:
(1) Memeriksa dan mengobati pasien merupakan tugas utama seorang dokter.
sehingga adanya tugas tambahan sebagai dokter forensik membuat dokter

terpaksa harus mengurangi perhatiannya dari tugas utamanya sebagai dokter


klinik.
(2) Perasaan kurang kompeten, karena pembekalan mengenai ilmu kedokteran
forensik klinik umumnya amat minim dan hanya diterima pada saat kuliah S1.
(3) Membuat VER, dan menghadiri sidang pengadilan jika dipanggil untuk
memberikan keterangan ahli, meruipakan hal yang tidak disukai dokter klinik
karena merepotkan dan membuang-buang waktu.
(4) Adanya perasaan tidak nyaman saat berhubungan dengan pengacara, polisi,
jaksa serta hakim dalam rangka penanganan kasus tersebut.
(5) Kewajiban ini bukan merupakan sumber penghasilan.
Pemeriksaan forensik klinik pada dasarnya tidak hanya dilaksanakan di IGD saja,
tetapi juga di ruang perawatan, serta saat pasien kontrol di poliklinik. Pemeriksaan baru
dianggap selesai jika dokter telah dapat mengetahui derajat luka, yaitu pada saat hasil
pengobatan dan prognosis telah dapat ditentukan. Semua dokter yang terlibat dalam
pemeriksaan terhadap pasien ini merupakan orang yang harus menandatangani VER.
Kenyataan yang terjadi di banyak RS saat ini, hanya dokter IGD saja yang dibebani
tanggung jawab sebagai dokter yang menandatangani VER. Hal ini kurang tepat, karena
dokter IGD tidak dapat dimintai tanggungjawabnya atas berbagai hasil pemeriksaan yang
tidak diperiksanya sendiri, yaitu mengenai data data saat pasien menjalani rawat inap
dibawah penanganan dokter lain.. Pada kasus semacam ini seharusnya yang
menandatangani VER adalah dokter IGD dan dokter yang merawat pasien tersebut secara
bersama-sama.
Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa RS mulai memanfaatkan Dokter
Konsultan Forensik Klinik (DKFK) dalam penatalaksanaan pemeriksaan forensik klinik di
RS. Manfaat adanya DKFK dalam pelayanan kesehatan di RS adalah:
(1) Penambahan pelayanan spesialistik di RS: Hal ini penting untuk memberikan
nilai tambah dalam akreditas RS.
(2) DKFK mengambil beban dokter klinik, sehingga dokter klinik dapat
memberikan pelayanan klinik yang lebih baik.
(3) Mutu VER lebih baik, sehingga mengurangi

kemungkinan

adanya

permasalahan hukum yang berkaitan pelayanan forensik klinik.


(4) DKFK dapat membantu perbaikan SOP yang berkaitan dengan prosedur
medikolegal.
(5) Proteksi RS dari permasalahan medikolegal.
(6) Sumber pemasukan RS.
Bentuk keterlibatan seorang DKFK dalam penanganan kasus forensik klinik di RS
ada dalam dua bentuk:
1. Dokter konsultan forensik klinik (DKFK) yang berperan secara penuh:
Pada kasus seperti tersebut diatas, setelah dokter IGD mendapati bahwa
kasus tersebut merupakan kasus tindak pidana, maka konsultan forensik klinik

dipanggil, dan melakukan pemeriksaan terhadap pasien bersama dokter kliniknya.


Selanjutnya DKFK akan memantau perkembangan kasusnya, dengan memeriksa
pasien di ruang perawatan (jika pasien dirawat inap) atau pada saat kontrol di
poliklinik (jika pasien rawat jalan). Pemeriksaan forensik klinik oleh DKFK dalam
masa rawat inap biasanya dilakukan minimal 2 kali, yaitu pada saat masuk ke ruang
perawatan (untuk pencatatan awal perlukaan ) dan pada saat menjelang pasien
dipulangkan. Jika pengobatan telah selesai dan derajat luka telah ditentukan, maka
DKFK membuat VER dan menandatanganinya sendiri. Jika ada panggilan untuk
memberikan keterangan ahli di Pengadilan, DKFK datang sendiri ke Pengadilan
untuk memberikan keterangan ahli. Model semacam ini memindahkan beban
sepenuhnya dari dokter klinik ke DKFK, dan membuat VER menjadi lebih bernilai
secara hukum.
2. Dokter konsultan forensik klinik yang berperan parsial:
Pada model ini DKFK membuat alur dan tata cara tatalaksana pemeriksaan
dan penanganan forensik klinik atas pasien yang merupakan korban tindak pidana.
Pelaksanaan pemeriksaan dan pencatatan medis dilakukan oleh dokter kllinik atas
dasar SOP tersebut. Dalam pelaksanaan pemeriksaan dokter klinik bebas
berkonsultasi dengan dokter konsultan forensik klinik. Setelah pemeriksaan dan
pengobatan selesai dan derajat luka dapat ditentukan, maka semua berkas Rekam
Medik dan SPV diserahkan oleh bagaian Rekam Medik ke DKFK untuk dibuatkan
konsep VERnya. Berdasarkan konsep VER tersebut bagaian Rekam Medik
mengetik VER, meminta tandatangan dari semua dokter yang memeriksa dan
merawat korban, dan juga meminta tandatangan dari DKFK sebagai countersign
(mengetahui) di sudut kiri bawah. Dalam hal ada pemanggilan untuk memberikan
keterangan ahli, dokter pemeriksa harus hadir ke Pengadilan, dengan ditemani oleh
DKFK. Model semacam ini memindahkan sebagian beban dari dokter klinik ke
DKFK, membuat VER yang formatnya lebih baik dan lebih mudah diterima oleh
kalangan hukum.
3.3. PEMERIKSAAN BARANG BUKTI
Pada saat dokter melakukan pemeriksaan terhadap pasien dengan perlukaan ada
kemungkinan diperoleh barang bukti yang membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut, seperti
anak peluru, serpihan misil, senjata yang tertancap pada tulang dsb. Berbagai benda
tersebut dapat diperoleh di IGD pada saat pemeriksaan, tetapi dapat juga diperoleh pada
saat operasi. di ruang OK.
Barang bukti tersebut harus disimpan untuk selanjutnya dilakukan pemeriksaan
secara forensik dan dibuatkan berita acara pemeriksaan barang bukti. Barang bukti ini
sebaiknya baru diserahkan kepada penyidik apabila telah dilakukan pemeriksaan

terhadapnya. Setelah diperiksa, barang bukti tersebut dibungkus, dan dimasukkan ke


dalam amplop, disegel, diberi label dan dilak dengan diberi cap. Selanjutnya dibuat berita
acara pembungkusan dan penyegelan serta berita acara serah terima barang bukti. Barang
tersebut diserahkan kepada petugas kepolisian yang meminta VER, dengan meminta tanda
tangan petugas pada berita acara serah terima bartang bukti. Kepada penyidik yang sama
diberikan satu kopi berita acara pemeriksaan, pembungkusan dan penyegelan barang bukti
yang telah dibuat dan ditandatangani oleh dokter. Dalam hal RS tersebut telah mempunyai
DKFK, maka penanganan barang bukti ini menjadi tugas dari konsultan tersebut.
3.4. PEMBUATAN VER
Pada beberapa RS, beban pembuatan konsep VER dilakukan oleh petugas Rekam
Medik. Hal ini merupakan hal yang kurang tepat, karena kewajiban dan kewenangan
membuat VER ada pada dokter yang memeriksa dan merawat pasien. Dokter adalah orang
yang paling mengetahui mengenai perlukaan yang terjadi pada pasien, sehingga paling
mengetahui mengenai mengetahui mengenai derajat luka yang terjadi. Penentuan derajat
luka merupakan tanggung jawab dokter yang paling utama karena atas dasar kesimpulan
itulah berat ringannya tindak pidana yang telah diperbuat tersangka dapat ditentukan.
Pada beberapa RS lainnya, pembuatan VER dibebankan kepada dokter IGD yang
pertama kali menangani korban. Hal ini juga kurang tepat, karena dokter IGD
sesungguhnya hanya mengetahui mengenai jenis luka dan kekerasan pada kasus tersebut,
tetapi dia tidak mengatahui mengenai seberapa parah kelainan yang terjadi pada pasien,
khususnya setelah dilakukan berbagai pengobatan oleh dokter yang merawat pasien lebih
lanjut.
Setelah selesai pengobatan dan derajat luka telah dapat ditentukan, maka dokter
ruang membantu membuatkan resume kasus. Berdasarkan resume tersebut dokter IGD dan
dokter yang merawat pasien merancang konsep VER dan membuat kesimpulan yang
mereka anggap paling tepat. Berkas ini kemudian diserahkan ke bagian TU Visum untuk
dibuatkan VERnya. Setelah VER selesai semua dokter yang memeriksa pasien
membubuhkan tandatangannya. Bersama VER ini, bagian TU Visum juga membuatkan
surat pengantar untuk VER yang ditujukan ke kepolisian peminta VER yang
ditandatangani oleh direktur RS.
3.5. VER SEMENTARA
Ada kemungkinan penyidik datang ke RS dan meminta agar dokter segera membuat
VER, padahal ketika itu pasien masih menjalani pengobatan. Tujuan permintaan VER yang
lebih dini tersebut biasanya untuk bahan laporan ke atasan penyidik dalam rangka
pengembangan kasus, atau untuk dijadikan dasar penangkapan dan penahanan tersangka
atau untuk kepentingan lainnya. Pada keadaan ini, dokter sebaiknya mengabulkan dan
membuat VER sementara. VER sementara adalah VER yabg dibuat pada saat derajat luka

yang pasti belum dapat ditentukan. VER sementara ini bentuknya sama persis dengan VER
pada umumnya, akan tetapi mengandung kata (sementara) dibawah kata VISUM ET
REPERTUM, dan kesimpulannya hanya memuat mengenai jenis luka dan kekerasan
penyebabnya, serta temuan lain yang ditemukan, tanpa menyebutkan derajat luka. Setelah
pasien selesai menjalani pengobatan dan derajat lukanya sudah dapat ditentukan, maka
dibuat VER lanjutan. Pada VER ini dilaporkan semua temuan dari awal sampai akhir, dan
dibuatkan kesimpulan secara keseluruhan termasuk derajat lukanya
Pada kasus tertentu bisa saja terjadi bahwa pembuat VER sementara dan VER
lanjutan adalah dokter dari dua instansi yang berbeda. Sebagai contoh, seorang korban
tindak pidana karena kegawatannya berobat ke klinik A, lalu setelah menjalani pengobatan
gawat daruratnya dia melapor ke polisi. Penyidik lalu membawa korban ke RS B dan
meminta visum dari RS B. Pada kasus ini VER sementara (berisikan data luka dan jenis
kekerasan) merupakan kewajiban dokter di klinik A, sedangkan VER lanjutannya (berisi
derajat luka) merupakan kewajiban dokter dari RS B. Dengan demikian, penyidik harus
membuat satu lagi SPV yang ditujukan ke klinik A berisi permintaan VER sementara.
Pada keadaan lainnya bisa saja terjadi seorang datang berobat ke RS B setelah
mengalami tindak pidana. Penyidik yang menangani kasus ini menyerahkan SPV ke RS B.
Setelah menjalani pengobatan di ruang IGD, pasien minta agar ia dirujuk ke RS C yang
lokasinya lebih dekat ke rumahnya. Pada kasus ini RS B hanya punya kewajiban membuat
VER sementaranya sedangkan VER lanjutannya menjadi beban RS C.
3.6. KAPAN VER HARUS SELESAI
Salah satu hal yang sering ditanyakan adalah kapan suatu VER harus diselesaikan
terhitung dari sejak pengobatan pasien selesai. Pada umumnya VER baru mulai dikonsep
dan diketik kalau penyidiknya meminta atau menagih VER yang permah dimintanya.
Tenggang waktu antara penagihan tersebut sampai selesainya VER biasanya berkisar
antara beberapa hari sampai satu atau dua minggu.
Pada beberapa RS yang sistemnya sudah lebih baik, VER segera dibuat setelah
pengobatan pasien selesai, tanpa menunggu tagihan VER dari penyidik. Setelah selesai
VER segera diserahkan ke penyidik bersama barang bukti lainnya. Cara ini lebih bagus
karena menunjukkan tertib administrasi yang baik dan mencegah penumpukan VER di
dalam RS. Pada prinsipnya kapanpun penyidik menganggap perlu, dia boleh meminta VER
kepada RS. Jika pada saat itu pengobatan sudah selesai atau pengobatan belum selesai
tetapi derajat luka telah dapat ditentukan, maka dokter sebaiknya segera membuatkan
VERnya. Sebaliknya, jika pada saat itu derajat luka belum dapat ditentukan maka dokter
cuklup membuatkan VER sementara saja. VER lanjutannya baru dibuat setelah
pengoabatan selesai dan derajat luka telah dapat ditentukan.
Meskipun demikian, karena dalam KUHAP diatur bahwa penahanan mempunyai
batasan 20 hari, kadang penyidik mendesak dokter untuk menyerahkan VER dalam

tenggang waktu 20 hari sejak penahanan. Dalam hal ini, jika tidak ada halangan dokter
sebaiknya membuatkan VER dalam waktu 20 hari.

DAFTAR PUSTAKA
1. Amir, Amri. 2007. Rangkaian Ilmu Kedokteran Forensik Edisi 2. Bagian Ilmu Kedokteran
Forensik dan Medikolegal FK USU: Medan
2. Amir, Amri., Hanafiah, M.Jusuf. 2008. Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan Edisi 4. EGC:
Jakarta
3. Herkutanto, Pusponegoro AD, Sudarmo S. 2005. Aplikasi trauma-related injury severity score
(TRISS) untuk penetapan derajat luka dalam konteks mediklegal. J I Bedah Indonesia.
4. Lilik Mulyadi. 2007. Hukum Acara Pidana. Citra Aditya Bakti: Bandung
5. Peraturan Mentri Kesehatan Republik Indonesia NO. 269/ MENKES/ PER/ III/ 2008.
6. Peraturan Mentri Kesehatan Republik Indonesia NO. 749A/ MENKES/ PER/ XII/ 1989
7.
8.
9.
10.
11.

Tentang Rekam Medis.


Peraturan Mentri Kesehatan Republik Indonesia NO.269/ MENKES/ PER/ III/ 2008
Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
Undang-Undang Republik Indonesia No.44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakot.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran

LAMPIRAN

Contoh Rekam medis:


RINGKASAN MASUK DAN KELUAR
PORP :.
MR1 :.
Nama pasien :

No. Dok. Medik :..

Tanggal Lahir :
Pendidikan :

Agama : Islam

Pekerjaan :........

Sex :

Alamat :

Nama lengkap :

Cara masuk dikirim :


1. Dokter

Status Perkawinan :
1. Kawin
2. Belum kawin
3. Duda

4. Janda
5. Di bawah umur

2. Puskesmas
3. Rumah sakit lain
4. Instansi lain
5. Kasus polisi
6. Datang sendiri

Nama Penanggung jawab :

Tanggal masuk :

Pembayaran :

Tanggal :
Bulan :
Tahun :
Jam :

Nama alamat :

Tanggal keluar :
Tanggal :

Keluarga terdekat :

Bulan :
Tahun :

Bag/ spes

Ruangan

Kelas

Diagnosa masuk :

Jam :

Lama dirawat :

Hari :

Diagnosa utama :
Akhir dan kode :

Komplikasi :

Penyebab cedera dan keracunan / morfologi neoplasma :

Nama operasi / tindakan

Gol. darah

Jenis anestesi

Tanggal :
No. kode

:
Infeksi nosokomial :

Imunisasi yang
pernah didapat

Penyebab infeksi :

1. BCG
2. DPT

4. TFI
5. Campak

Pengobatan Radioterapi /
Kedokteran Nuklir

3. Polio

Imunisasi yang diperoleh

1. BCG

4. TFI

Transfusi darah :

cc

selama dirawat

2. DPT

5. Campak

3. Polio

Keadaan keluar :

Cara keluar :

1. Sembuh

1. Diizinkan pulang

2. Membaik

2. Pulang paksa

3. Belum sembuh

3. Lari

4. Mati < 48 jam

4. Pindah rumah sakit

5. Mati > 48 jam

5. Dirujuk ke : ...

Dokter yang merawat

Tanda Tangan

Bag.

Ruangan :

No. Reg :

ANAMNESE
Pasien laki-laki datang diantar oleh polisi ke UGD dengan keluhan nyeri pada paha kanan sejak 2 jam
sebelum masuk RS. Pasien mengaku

PEMERIKSAAN FISIK
a. Keadaan Umum
b. Kepala - Leher
c. Thorax
d. Abdomen
e. Extremitas

DIAGNOSA KERJA

HASIL PEMERIKSAAN

Nama :.
Ruangan :.
Alamat :.

TANGGAL

Umur :..
Nomor :..

PERJALANAN PENYAKIT
INSTRUKSI DOKTER

Nama :

Umur :

Ruang :

Nomor:

DISISI OLEH ASS. DOKTER


TANGGAL / JAM

Contoh VeR

Perjalanan Penyakit

Instruksi Dokter

Tanda Tangan

KOP SURAT
Langsa, 07 Maret 2016
Lampiran

:-

Hal

: Hasil pemeriksaan dari korban hidup

VISUM ET REPERTUM
No. ___________________

PRO JUSTITIA
Permintaan
Tanggal

No.Pol

Perihal

Penyidik

Pangkat

NRP

Instansi
Penjelasan

Pemeriksa
Nama

NIP

Instalasi

Tanggal

Jam

Korban

Pemeriksaan :

Korban
Nama

Jenis kelamin :
Umur

Alamat

Pekerjaan

Agama

ANAMNESA
___________________________________________________________________
_________________________________________________________________________
_________________________________________________________________________
______.

HASIL PEMERIKSAAN
Dari hasil pemeriksaan yang telah saya lakukan, ditemukan fakta-fakta sebagai berikut:
A. Keadaan umum
1. Tingkat kesadaran

______________________________________________||
2. Tekanan darah
: ______________________________________________||
3. Denyut nadi
: ______________________________________________||
4. Pernafasan
:
______________________________________________||
B. Suhu badan
:
______________________________________________||
C. Kelainan-kelainan fisik
1. Kepala
:
______________________________________________||
2. Dahi
:
______________________________________________||
3. Mata
:
______________________________________________||

4. Telinga

______________________________________________||
5. Hidung
:
______________________________________________||
6. Bibir
:
______________________________________________||
7. Leher
:
______________________________________________||
8. Dada
:
______________________________________________||
9. Perut
:
______________________________________________||
10. Punggung
...............................................................................................
:
______________________________________________||
11. Pinggul
...............................................................................................
:
______________________________________________||
12. Anggota gerak atas :
______________________________________________||
13. Anggota
gerak

bawah:

______________________________________________||
14. Kemaluan
:
______________________________________________||
15. Anus
:_
_____________________________________________||

FAKTA SESUDAH PERAWATAN


Terapi

______________________________________________

Ringkasan Pemeriksaan:

______________________________________________
______________________________________________

KESIMPULAN
___________________________________________________________________
_________________________________________________________________________
_________________________________________________________________________
______

PENUTUP
Demikianlah Visum et Repertum ini saya perbuat dengan sejujur-jujurnya dan
menggunakan pengetahuan saya sebaik-baiknya, sesuai dengan sumpah dokter dan
perundang-undangan yang berlaku agar dipergunakan bilamana perlu.
Jakarta, 07 Maret 2016
Dokter Pemeriksa

dr. Fulan,M.Ked(For),Sp.F
NIP. 123456 78 91011 12

Anda mungkin juga menyukai