2014DAFTAR ISI
BAB 1 : PENDAHULUAN ..................................................................................1
1.1 latar belakang.........................................................................................1
BAB II : RUMUSAN MASALAH....................................................................... 3
2.1 Rumusan Masalah...................................................................................3
BAB III : PEMBAHASAN................................................................................... 4
3.1 Pengertian Pendidikan Berbasis Karakter...................................4
3.2 Dibangunnya karakter...............................................................7
3.3 Perlunya Pendidikan Berbasis Karakter di Era Globalisasi.........7
3.4 Tujuan Dan Peran Pendidikan....................................................10
3.5 Peranan guru dalam pendidikan karakter di era globalisasi.......10
3.6 Penerapan Pendidikan Berbasis Karater di Era Globbalisa.......11.
3.7 Manfaat Pendidikan Berbasis Karakter di Era Globalisasi.........13.
BAB IV : PENUTUP ...........................................................................................14
4.1 Kesimpulan............................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................15
BAB I
1.
Pendahuluan
Akhmed (2011:03) memaparkan dewasa ini telah terjadi pergeseran nilai etika dan
budaya di berbagai kalangan, khususnya para remaja. Pergeseran itu antara lain , maraknya
pergaulan bebas , narkoba, ancaman pornografi, kekerasan, dan kerusuhan yang berujung
pada tindak anarkis, hingga adanya hegemoni suatu kelompok. Pergeseran nilai etika dan
budaya itulah yang menjadikan generasi sekarang kehilangan jati dirinya. Berulang kali kita
menyaksikan di beerbagai media massa baik surat kabar maupun televisi tentang siswa
gagal UNAS kemudian bunuh diri atau pengrusakan terhadap sekolah karena sekolahnya
gagal meluluskan siswanya. Selain itu, masih banyak lagi bentuk-bentuk tindakan anarkis,
mulai dari tawuran antar pelajar, mahasiswa bahkan kisruh-kisruh di elit DPR saat sidang
paripurna.
Permasalahan diatas adalah sebagian kecil dari berbagia masalah yang disebabkan
oleh menurunnya nilai etika, moral dan budaya dalam bangsa Indonesia di era globalisasi ini
yaitu pornografi, kasus narkoba, plagiarisme dalam ujian, dan sejenisnya. Era globalisasi
telah membentuk manusia serba instan dan berpikir praktis untuk mencapai tujuan.
Ketidakmampuan mengikuti jaman akan menjadi manusia mudah frustasi dan melakukan
tindakan yang menghalalkan segala cara agar tujuannya tercapai termasuk dalam
pendidikan. (Kamilun, 2010:18).
Disinilah tantangan pendidikan semakin besar di era globalisasi ini. Pendidikan
diharapkan mampu membendung berbagai kemungkinan-kemungkinan negatif yang secara
perlahan akan menghilangkan budaya bangsa ini. Salah satunya penguatan pendidikan
karakter yang menekankan pada dimensi etis spiritual dalam proses pembentukan pribadi.
Hasan (2011:03) mengungkapkan, untuk membentengi generasi muda agar terhindar dari
pergeseran nilai etika dan budaya, butuh pembangunan karakter.
Akhir-akhir ini pendidikan karakter begitu gencar menjadi sorotan berbagai kalangan
negeri ini. Bahkan Mohammad Noh, selaku Mendikans secara tegas mengatakan, pendidikan
karakter sangat penting untuk bangsa. Pendidikan karakter adalah pemberian pandangan
mengenai berbagai jenis nilai hidup, seperti kejujuran, kecerdasan, kepedulian, tanggung
jawab, kebenaran, keindahan, kebaikan, dan keimanan. Sehingga dengan demikian,
pendidikan berbasis karakter bisa kita jadikan langkah preventif untuk mencegah berbagai
kemungkinan-kemungkinan negatif di era globalisasi.
BAB II
2.1.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas makalah ini memiliki rumusan masalah sebagai
berikut.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
BAB III
3.
Pembahasan
3.1
menjadi prestasi melalui pemberian fokus stimulasi untuk memiliki kompetensi dan reputasi.
Pendidikan menurut Pasal 1 Butir 1 UU 20/2003: Pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Kedua, adalah karakter. Dalam Kamus Poerwadarminta, karakter diartikan sebagai
tabiat; watak; sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang
daripada yang lain. Sedangkan dalam kamus psikologi karakter adalah kepribadian yang di
tinjau dari titik tolak etis atau moral. menurut Imam Ghazali karakter adalah suatu sifat yang
tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa
melakukan pertimbangan fikiran. Karakter adalah sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti
yang menjadi ciri khas seseorang atau sekelompok orang.( Shintawati, 2010).
Karakter merupakan standar-standar batin yang terimplementasi dalam berbagai bentuk
kualitas diri ( Aan, 2010).
Samsuri (2011:2) mengatakan, Terminologi karakter itu sendiri sedikitnya memuat dua hal:
values (nilai-nilai) dan kepribadian. Suatu karakter merupakan cerminan dari nilai apa yang
melekat dalam sebuah entitas. Karakter yang baik pada gilirannya adalah suatu
penampakan dari nilai yang baik pula yang dimiliki oleh orang atau sesuatu, di luar persoalan
apakah baik sebagai sesuatu yang asli ataukah sekadar kamuflase. Sebagai aspek
kepribadian, karakter merupakan cerminan dari kepribadian secara utuh dari seseorang:
mentalitas, sikap dan perilaku.
Dari berbagai definisi tentang pendidikan dan karakter diatas sebenarnya secara
implisit sudah ada muatan tentang apa yang disebut pendidikan karakter.
Pendidikan karakter berkenaan dengan psikis individu, di antaranya segi keinginan/nafsu,
motif, dan dorongan berbuat. Pendidikan karakter adalah pemberian pandangan mengenai
berbagai jenis nilai hidup, seperti kejujuran, kecerdasan, kepedulian, tanggung jawab,
kebenaran, keindahan, kebaikan, dan keimanan. Dengan demikian, pendidikan berbasis
karakter dapat mengintegrasikan informasi yang diperolehnya selama dalam pendidikan
untuk dijadikan pandangan hidup yang berguna bagi upaya penanggulangan persoalan
hidupnya(Heri, 2010).
6
Pendidikan berbasis karakter akan menunjukkan jati dirinya sebagai manusia yang
sadar diri sebagai makhluk, manusia, warga negara, dan pria atau wanita. Kesadaran itu
dijadikan ukuran martabat dirinya sehingga berpikir obyektif, terbuka, dan kritis, serta memiliki
harga diri yang tidak mudah memperjualbelikan. Sosok dirinya tampak memiliki integritas,
kejujuran, kreativitas, dan perbuatannya menunjukkan produktivitas.
Selain itu, tidak hanya menyadari apa tugasnya dan bagaimana mengambil sikap
terhadap berbagai jenis situasi permasalahan, tetapi juga akan menghadapi kehidupan
dengan penuh kesadaran, peka terhadap nilai keramahan sosial, dan dapat bertanggung
jawab atas tindakannya.
3.1.1 Perspektif Pendidikan Berbasis Karakter
Pendidikan karakter sebagai sebuah program kurikuler dapat didekati dari perspektif
programatik maupun teoritis.
a. Perspektif programatik
1. Habit versus Reasoning. Beberapa perspektif menekankan kepada pengembangan penalaran
dan refleksi moral seseorang, perspektif lainnya menekankan kepada mempraktikan perilaku
kebajikan hingga menjadi kebiasaan (habitual). Adapula yang melihat keduanya sebagai hal
penting.
2. Hard versus Soft virtues. Pertanyaan-pertanyaan: apakah disiplin diri, kesetiaan (loyalitas)
sungguh-sungguh penting? atau, apakah kepedulian, pengorbanan, persahabatan sangat
penting? Kecenderungannya untuk menjawab YA untuk kedua pertanyaan tersebut.
3. Focus on the individual versus on the environment or community. Apakah karakter yang
tersimpan pada individu ataukah karakter yang tersimpan dalam norma-norma dan pola-pola
kelompok atau konteks? Jawabnya, memilih kedua-duanya (Schaps & Williams, 1999 dalam
Williams, 2000: 35).
b. Perspektif Teoritis
1. Community of care (Watson)
2. constructivist approach to sociomoral development (DeVries)
3. child development perspectives (Berkowitz)
4. eclectic approach (Lickona)
3.3
Fenomena kekerasan dalam menyelesaikan masalah menjadi hal yang umum. Pemaksaan
kebijakan terjadi hampir pada setiap level institusi. Manipulasi informasi menjadi hal yang
lumrah. Penekanan dan pemaksaan kehendak satu kelompok terhadap kelompok lain
dianggap biasa. Hukum begitu jeli pada kesalahan, tetapi buta pada keadilan. Aan (2010),
mengatakan, Sepertinya karakter masyarakat Indonesia yang santun dalam berperilaku,
musyawarah mufakat dalam menyelesaikan masalah, local wisdom yang kaya dengan
pluralitas, toleransi dan gotong .royong, telah berubah wujud menjadi hegemoni kelompokkelompok baru yang saling mengalahkan.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dewasa ini yang berada di era global,
bangsa Indonesia harus memiliki visi prospektif dan pandangan hidup yang kuat agar tidak
didekte, dan diombang-ambingkan oleh kekuatan asing.
masih terus terjadi. Tindakan kekerasan dan pelanggaran HAM, perilaku amoral dan
runtuhnya budi pekerti luhur, semau gue dan tidak disiplin, anarkhisme dan ketidaksabaran,
korupsi, ketidakjujuran dan budaya nerabas, rentannya kemandirian dan jati diri bangsa, terus
menghiasai kehidupan bangsa kita. (Sardiman AM, 2010: 148).
Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Jalal dalam sebuah diskusi di Maarief Institute
menuturkan bahwa permasalahan yang hadir di masyarakat seperti korupsi, kekerasan,tindak
8
anarkis dan lainlainnya menjadi latar belakang mengapa pendidikan karakter perlu
dilaksanakan. Pada dasarnya, pendidikan karakter selaras dengan tujuan nasional
pendidikan yang tercantum pada Pasal 3 UU Sistem Pendidikan Nasional. Pasal ini
menyebutkan, berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. (Harian Sindo,
2010).
Ada beberapa alasan yang mendasar bahwa pendidikan berbasis karakter diperlukan
seperti yang terjadi di USA pada saat memasuki abad 21, di antaranya:
a.
b.
c.
The schools role as moral educator becomes more vital at a time when millions of children
get little moral teaching from their parents and when value-centered influence such as church
or temple are also absent from their lives.
d.
e.
f.
g.
Moral questions are among the great question facing both the individuals and human race.
h.
saat ini, merupakan alasan yang kuat bagi Indonesia untuk membangkitkan komitmen dan
melakukan gerakan nasional pendidikan karakter.Lebih jauh dari itu adalah Indonesia dengan
masyarakatnya yang ber-Bhinneka tunggal ika dan dengan falsafah negaranya Pancasila
yang sarat dengan nilai dan moral, merupakan alasan filosofik-ideologis, dan sosial-kultural
tentang pentingnya pendidikan karakter untuk dibangun dan dilaksanakan secara nasional
dan berkelanjutan.(Draft:2010).
3.4 Peran dan tujuan pendidikan karakter
Pendidikan memeng harus menganut progrevisme dengan adaptif terhadap
perkembangan zaman dan humanis dengan memberi individu bebas beraktualisasi. Namun ,
progresif tanpa memahami filosofi atas kemajuan dan kebebasan yang tanpa sadar akan
tanggung jawab atas pemilihan sikapnya hanyalah akan mempercepat rusak dan hilangnya
karakter. Dengan demikian ,peran pedidikan karakter adalah memberi pencerahan atas
konsep free will dengan menyeimbangkan konsep determinism dalam praktis pendidikan.
Model pendidikan karakter tidak lagi sekedar mengenalkan berbagai aturan dan definisnya,
namun lebih menekankan pada sikap, attitude, dan tanggung jawab.
Tujuan pendidikan adalah adanya perubahan kualitas tiga aspek pendidikan, yakni
kognitif afektif, dan psikomotorik. Tujuan akhirnya adalah terwujudnya insan yang berilmu dan
berkarakter. Karakter yang diharapkan tidak tercabut dari budaya itu sendiri dan sarat dengan
muatan agama
3.5 Peranan guru dalam pendidikan karakter di era globalisai
Saat ini tugas dan peran guru semakin berat. Era globalisasi telah melahirkan
sejumlah tantangan yang tidak bisa disepelekan dan harus disikapi dengan profesional.
Menurut kunandar (2011), ada lima tantangan globalisasi yang harus disikapi guru dengan
mengedepankan profesionalisme. Kelima tantangan tersebut ialah (1) perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang begitu cepat dan mendasar; (2) krisis moral yang melanda
bangsa dan negara indonesia;(3) krisis sosial terjadi di masyarakat;(4) krisis identitas bangsa
dan negara indonesia;(5) adanya perdagangan bebas ASEAN, asia pasifik, maupun dunia.
Secara langsung dan tidak langsung, kelima tantangan itu membutuhkan penyelesaian
melalui peran guru dalam pendidikan karakter.
10
Dalam konteks pendidikan karakter ( Sudrajat dalam Zubaedi, 2011), seorang guru
seharusnya dapat menjalankan lima peran. Pertama, konservator (pemelihara) sistem nilai
yang merupakan sumber norma kedewasaan. Kedua, inovator (pengembang) sistem nilai
pengetahuan . Ketiga,transmiter (penerus) sistem-sistem nilai ini kepada peserta didik.
Keempat, transformator (penerjemah) sistem-sistem nilai ini melalui penjelmaan dalam
pribadinya dan perilakunya, dalam proses interaksi dengan sasaran didik. Kelima, organisator
(penyelanggara) terciptanya proses edukatif yang dapat dipertanggungjawabkan, baik secara
formal ( kepada pihak yang mengangkat dan menugaskannya) maupun secara moral
( kepada sasaran didik, serta tuhan yang menciptakannya).
3.6 Penerapan Pendidikan Berbasis Karater di Era Globbalisasi
Pendidikan karakter dan penanaman nilai-nilai nasionalisme di sekolah-sekolah atau
di lembaga-lembaga pendidikan lain tidak berjalan efektif karena siswa tidak menemukan
sosok teladan.(Kompas, 3 Mei 2011:01). Akibatnya, siswa berpandangan, pendidikan
karakter di era globalisasi ini hanya sekedar wacana dan tidak perlu di aplikasikan dalam
kehidupan sehari-hari dan mereka merasa di bohongi dengan hanya mendengarkan materi
tentang karakter baik, kejujuran, dan patriotisme, tetapi gagal menemukan sosok teladan
dalam kehidupan nyata. Mereka hanya meyakini paham baru yang disebabkan adanya
globalisasi di segala bidang yang justru bertolak belakang dengan nilai-nilai moral pancasila
di negara Indonesia.
Penerapan pendidikan karakter sebenarnya dapat dilakukan pada berbagai jenjang,
mulai dari SD (bahkan TK) hingga perguruan tinggi. Berbagai macam cara dapat dilakukan.
Sekolah (termasuk perguruan tinggi) harus bisa melakukan upaya-upaya pembentukan
karakter siswa melalui kegiatan pembelajaran formal mereka di lembaga tersebut. Salah satu
cara yang dapat dilakukan adalah mengintegrasikan pembentukan karakter pada
matapelajaran tertentu. Pendidikan karakter bersifat pengajaran nilai, maka tidak perlu ada
penambahan bahan kajian. Dengan demikian, pelaksanaan implementasi pendidikan karakter
tidak perlu menambah alokasi waktu yang tersedia pada tiap-tiap mata pelajaran, tetapi
cukup melakukan pembahasan pada metode pengajaran atau cara penyajian bahan
pengajaran(Novi, 2010:12). Selain itu, juga dicarikan tokoh-tokoh teladan dalam proses
pembelajaran. Misalnya di kelas-kelas sebuah lembaga pendidikan, selain menjelaskan
11
materi-materi tentang pendidikan karakter guru juga mencarikan tokoh-tokoh yang bisa
dijadikan panutan dalam menghadapi kehidupan di era globalisasi.
Dari contoh-contoh yang telah disebutkan di atas, ada hal penting yang harus
diperhatikan dalam penerapan pendidikan karakter. Hal tersebut yaitu pemberian contoh oleh
guru. Pepatah mengatakan bahwa guru adalah seseorang yang digugu dan ditiru.
Berdasarkan pepatah tersebut, guru haruslah senantiasa memberikan contoh terbaik kepada
siswanya tentang perilaku-perilaku terpuji pembentuk karakter. Guru tidak boleh hanya
memberikan perintah kepada siswanya untuk berperilaku baik, tetapi ia juga harus
memberikan contoh kepada siswanya berupa perilaku yang baik pula. Dengan demikian, ada
kerjasama antara guru dan siswa dalam membentuk karakter siswa.
Pendidikan karakter menjadikan individu yang maju, mandiri, dan kokoh dalam
menggenggam prinsip.
2)
Pendidikan karakter akan menjadi benteng dalam memerangi berbagai perilaku berbahaya
dan gelap.
3)
4)
5)
6)
12
BAB IV
4. Penutup
4.1
1)
Kesimpulan
Pendidikan karakter adalah pemberian pandangan mengenai berbagai jenis nilai hidup,
seperti kejujuran, kecerdasan, kepedulian, tanggung jawab, kebenaran, keindahan, kebaikan,
dan keimanan dan pendidikan berbasis karakter akan menunjukkan jati dirinya sebagai
manusia yang sadar diri sebagai makhluk, manusia, warga negara, dan pria atau wanita.
2)
Pendidikan karakter sangat diperlukan atas dasar argumen; adanya kebutuhan nyata dan
mendesak; proses tranmisi nilai sebagai proses peradaban; peranan sekolah sebagai
pendidik moral yang vital pada saat melemahnya pendidikan nilai dalam masyarakat; tetap
adanya kode etik dalam masyarakat yang sarat konflik nilai; kebutuhan demokrasi akan
pendidikan moral; kenyataan yang sesungguhnya bahwa tidak ada pendidikan yang bebas
13
nilai; persoalan moral sebagai salah satu persoalan dalam kehidupan, dan adanya landasan
yan g kuat dan dukungan luas terhadap pendidikan moral di sekolah.
3)
Penerapan pendidikan karakter di sebuah lembaga pendidikan harus ada integrasi dengan
materi mata pelajaran dan aplikasi terhadap materi-materi pendidikan karakter. Selain itu,
guru juga mencarikan tokoh-tokoh untuk dijadikan teladan di era globalisasi.
4)
Manfaat pendidikan karakter banyak dan sangat besar dalam pembentukan karakter
warga negara yang sesuai dengan nilai-nilai etika dan budaya bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
Mulyono, M. 2010. Pendidikan Karakter Mewujudkan Jati Diri Bangsa. Makalah disajikan dalam
Acara cangkruan Ilmiah, Jurusan PAI Fakultas Tarbiyah UIN Maliki, Malang. 17 Oktober.
Susilowati, N.E. 2010. Implementasi Pendidikan Karakter Pada Bidang Studi Bahasa Indonesia.
Makalah tidak diterbitkan. Malang: PPs UM.
Barnawi, Arifin. 2012. Strategi dan kebijakan pembelajaran pendidikan karakter.Jogjakarta : Ar-ruz
media.
Elfindri dkk.2012. pendidikan karakter.Jakarta : Baduose Media
Kompas. 3 Mei 2010. Penanaman Nasionalisme Tanpa keteladanan, hlm.1.
Media Umat. 18 April 2010. Pendidikan Berbasis Karakter, hlm.11.
Surya Pos. 20 Maret 2011. Penanaman Nilai-nilai Budaya dan Etika di Era Globalisasi, hlm.15.
14
15