Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN KASUS PSIKIATRI

Nama

: Ny. N

Umur

: 53 tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

Alamat

: Jalan Sungai Manonda

Pekerjaan

: IRT

Agama

: Kristen

Status Perkawinan

: Sudah Menikah

Pendidikan

: SMP

Tanggal Pemeriksaan : 8 Agustus 2016


Tempat Pemeriksaan : Poliklinik RS undata Palu
LAPORAN PSIKIATRIK
I.

RIWAYAT PENYAKIT
A. Keluhan utama
Pasien merasa sedih dan tertekan yang mendominasi dalam
kesehariannya
B. Riwayat Gangguan Sekarang
Heteroanamnesa : Seorang perempuan 53 tahun masuk rumah sakit
dengan keadaan sikap murung ditemani oleh anaknya. Pasien seketika
menangis dan merasa sedih saat di tanya mengenai keluaga. Pasien
mengaku merasa sedih sejak 3 tahun yang lalu sejak semua anaknya
menikah. Pasien sendirian di rumah dan merasa sepi. Pasien biasa
menangis dan marah-marah secara tiba-tiba tanpa pemicu yang jelas.
Pasien merasa sedih ketika mengingat anak dan cucu-cucunya. Pasien
merasa di tinggalakan oleh keluarganya. Keluarga pasien jarang
menjenguk pasien di rumah, keseharian pasien baik namun terbatas
oleh karena penyakit distonia yang di alaminya sejak 1 tahun yang lalu

akibat dari kebiasaan tidur yang salah. Pasien mengaku tidak ada
gangguan tidur. Selera makan menurun namun mau jika di suap oleh
keluarga.
Alloanamnesa (Anak pasien) : Anak pasien berkata bahwa pasien
sering menangis dan marah marah sendiri tanpa alasan yang jelas.
Hendaya/Disfungsi
Hendaya Sosial
Hendaya Pekerjaan
Hendaya Penggunaan Waktu Senggang

(-)
(-)
(-)

Faktor Stressor Psikososial :


Masalah keluarga (kurang mendapatkan perhatian dari anak-anak
dan cucunya)
Hubungan gangguan sekarang dengan riwayat penyakit fisik dan
psikis sebelumnya :
Pasien memiliki riwayat penyakit distonia sejak 1 tahun yang lalu,
yang menyebabkan keterbatas dalam bergerak
C. Riwayat Gangguan Sebelumnya.
Pasien belum pernah merasakan keluhan seperti ini sebelumnya
Tidak ada riwayat kejang, infeksi berat dan trauma
Terdapat distonia sehingga pasien mengalami keterbatsan dalam
bergerak
Tidak ada riwayat penggunaan NAPZA ataupun alkohol.

D. Riwayat Kehidupan Peribadi


Riwayat Prenatal dan Perinatal
Pasien tidak mengingat proses kelahirannya seniri. Pasien
merupakan anak pertama dari tiga bersaudara (P,P,L).
Riwayat Masa Kanak Awal (1-3 tahun)
Pertumbuhan dan perkembangan pasien sesuai dengan anak
seusianya. Pasien mendapatkan kasih sayang dari kedua orang
tuanya.
2

Riwayat Masa Pertengahan (4-11 tahun)


Pasien diasuh oleh kedua orang tuanya. Pertumbuhan dan
perkembangannya baik sesuai dengan anak seusianya. Pasien
masuk sekolah dasar pada umur 6 tahun. Pasien aktif bermain di
rumah dan di sekolah bersama teman-temannya. Pasien merupakan
anak yang ceria
Riwayat Masa Kanak Akhir dan Remaja. ( 12-18 tahun)
Pasien melanjutkan pendidikan di SMP selama 3 tahun sampai
dinyatakan lulus. Tidak ada masalah selama proses pendidikan.
Pasien tidak melanjutkan pendidikan ketingkat SMA karena
terkendala

masalah

ekonomi

keluarga.

Pertumbuhan

dan

perkembangannya baik sesuai dengan anak seusianya. Hubungan


dengan keluarga baik. Hubungan dengan teman baik.
Riwayat Pekerjaan
Pasien seorang ibu rumah tangga yang mengurus 3 orang anaknya.

E. Riwayat Kehidupan Keluarga


Pasien anak pertama dari tiga bersaudara (P,P,L). Hubungan pasien dan
anak-anaknya terkesan tidak harmonis dikarenakan pasien sering maramarah tanpa penyebab yang jelas. Tidak ada riwayat menderita
penyakit yang sama dalam keluarga.
F. Situasi Sekarang
Pasien tinggal sendiri dan terkadang ditemani anak perempuannya.
G. Persepsi pasien tentang diri dan kehidupan
Pasien merasa bahwa dirinya sakit dan butuh pengobatan. Pasien ingin
selalu dekat dengan keluarga serta cucu-cucunya.

II.

STATUS MENTAL
A. Deskripsi Umum
Penampilan:
Tampak seorang perempuan paruh baya memakai kaos
warna biru tua, celana kain warna hitam. Pasien memiliki rambut
pendek yang terurus dan tampakan wajah sesuai dengan umurnya.
Perawakan agak kurus. Perawatan diri cukup baik. Pasien tampak
bersih, namun tampakan postur tubuh terganggu akibat distonia
pada leher sebelah kiri.

Kesadaran: Komposmentis
Perilaku dan aktivitas psikomotor : sesuai
Pembicaraan : Spontan, namun volume suara kecil
Sikap terhadap pemeriksa : Koperatif

B.

Keadaan afektif
Mood
: labil
Afek
: sesuai
Keserasian
: Serasi (appropriate)
Empati
: Dapat dirabarasakan

C. Fungsi Intelektual (Kognitif)


Taraf pendidikan, pengetahuan umum dan kecerdasan
Pengetahuan dan kecerdasan sesuai taraf pendidikannya.
Daya konsentrasi : Baik
Orientasi (waktu, tempat, orang) : Baik
Daya ingat
Jangka Pendek
: Baik
Jangka Sedang
: Baik
Jangka Panjang
: Baik
Pikiran abstrak : Baik
Bakat kreatif : Tidak ada
Kemampuan menolong diri sendiri : Baik
D.

Gangguan persepsi
Halusinasi
: Tidak ada
Ilusi
: Tidak ada
Depersonalisasi
: Tidak ada

Derealisasi

: Tidak ada

E. Proses berpikir
Arus pikiran :
A.Produktivitas
B. Kontinuitas
C. Hendaya berbahasa
Isi Pikiran
A. preokupasi
B. Gangguan isi pikiran
F. Pengendalian impuls
Baik
G.

Daya nilai
Norma sosial
Uji daya nilai
Penilaian Realitas

: Miskin bicara (Bicara seperlunya)


: Relevan
: Tidak ada
: Tidak ada
: Tidak ada

: Baik
: Baik
: Baik

H. Tilikan (insight)
Derajat IV: Pasien menyadari dirinya sakit dan butuh bantuan
namun tidak memahami penyebab sakitnya.
I. Taraf dapat dipercaya
Dapat dipercaya
III.

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK LEBIH LANJUT


Pemeriksaan fisik :
TTV : TD: 120/70 mmHg, N: 80 x/menit, S: 36,7 C, P: 18 x/menit.
GCS : E4M6V5, reflex cahaya (+)/(+), konjungtiva tidak anemis, sklera
tidak ikterus, fungsi motorik dan sensorik ke empat ekstremitas dalam
batas normal.

IV. IKHTISAR PENEMUAN BERMAKNA


keadaan sikap murung.
Pasien seketika menangis dan merasa sedih saat di tanya mengenai

keluaga.
Pasien merasa sepi dan ditinggalkan oleh keluarga

Pasien biasa menangis dan marah-marah secara tiba-tiba tanpa

pemicu yang jelas


Keluarga pasien jarang menjenguk pasien di rumah
keseharian pasien baik namun terbatas oleh karena penyakit
distonia yang di alaminya sejak 1 tahun yang lalu akibat dari

V.

kebiasaan tidur yang salah.


Selera makan pasien menurun namun

EVALUASI MULTIAKSIAL
Aksis I :
Berdasarkan alloanamnesa dan autoanamnesa didapatkan adanya
gejala klinis yang bermakna berupa perasaan sedih dan
murung serta perasaan berubah sewaktu-waktu . Keadaan
ini akan menimbulkan distress dan disabilitas yaitu pasien
merasa sendiri dan kehilangan semangat untuk beraktifitas
sehingga dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami Gangguan
Jiwa.
Pada pasien tidak ditemukan adanya hendaya berat dalam menilai
realita ataupun gejala psikotik positif, seperti halusinasi auditorik
dan visual pada pasien sehingga didiagnosa sebagai Gangguan
Jiwa Non Psikotik.
Berdasarkan deskripsi kasus diatas, dapat disimpulkan bahwa
pasien mengalami gangguan non psikotik karena memenuhi
kriteria diagnosa untuk gangguan depresif sedang yaitu sekurang
kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama, yang ditemukan pada
pasien yaitu perasaan sedih ( kehilangan minat dan kegembiraan)
dan kurang semangat dalam melakukan beraktifitas. Ditambah
sekurang kurangnya 3 (sebaiknya 4) dari gejala lainnya, yang
ditemukan pada pasien yaitu , nafsu makan berkurang. Lamanya
seluruh episode berlangsung minimal sekitar 1 tahun. Tampak
kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial dan urusan

rumah tangga. Berdasarkan PPDGJ III, pasien dapat digolongkan


dalam Gangguan Depresif Sedang (F32.1).

Aksis II
Tidak ditemukan diagnosis karena tidak ada ditemukan gangguan
kepribadian.
Aksis III
penyakit distonia
Aksis IV
Stressor psikososial yaitu masalah dengan primary support group
(Keluarga).
Aksis V
GAF scale 90-81 (Gejala minimal, berfungsi baik, cukup puas,
tidak lebih dari masalah harian biasa).
VI.

DAFTAR MASALAH

Organobiologik
Terdapat ketidakseimbangan neurotransmitter sehingga pasien
memerlukan psikofarmaka.

Psikologik
Ditemukan adanya masalah / stressor psikososial sehingga pasien
memerlukan psikoterapi.

VII.

PROGNOSIS
Ad Bonam
Faktor yang mempengaruhi :
a . Keinginan pasien untuk sembuh
b .Tidak ada gangguan mental organik

c . Dukungan dari keluarga yang baik


d . Edukasi

VIII. RENCANA TERAPI


Farmakoterapi :

Antidepresan derivate trisiklik : Amytriptiline


Antiansietas golongan benzodiazepine : Alprazolam
Terapi distonia :
Antikolinergik merupakan terapi ADR (Reaksi Distonia Akut)
bentuk primer dan praterapi dengan salah satu obat-obat ini
biasanya mencegah terjadinya penyakit. Paduan obat yang umum
meliputi benztropin (Congentin) 0,5-2 mg dua kali sehari (BID)
sampai tiga kali sehari (TID) atau triheksiphenidil (Artane) 2-5 mg
TID.

Psikoterapi
Memberikan kesempatan kepada pasien untuk mengungkapkan isi
hati dan keinginannya sehingga pasien merasa lega.
Memberikan penjelasan kepada keluarga dan orang-orang
sekitarnya sehingga tercipta dukungan sosial dengan lingkungan yang
kondusif untuk membantu proses penyembuhan pasien serta
melakukan kunjungan berkala.

IX.

FOLLOW UP
Pasien merupakan pasien poliklinik RS Undata Palu

X.

PEMBAHASAN
Gangguan depresi, dalam buku Synopsis of Psikiatri termasuk dalam
kelompok gangguan mood.[1] Gangguan mood meliputi sekelompok besar
gangguan, dengan mood patologis serta gangguan yang terkait mood yang

mendominasi gambaran klinisnya. Istilah gangguan mood atau suasana


perasaan menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder
(DSM) sebelumnya dikenal sebagai gangguan afektif, saat ini lebih disukai
karena istilah ini mengacu pada keadaan emosi yang menetap, bukan
hanya ekspresi eksternal (afektif) pada keadaan emosional sementara.
Gangguan mood paling baik dianggap sebagai sindrom, yang terdiri atas
sekelompok tanda dan gejala yang bertahan selama berminggu-minggu
hingga berbulan-bulan yang menunjukkan penyimpangan nyata habitual
seseorang serta kecenderungan untuk kambuh, sering dalam bentuk
periodik atau siklik. Mood dapat normal, meningkat atau menurun.[2]
Pasien dengan mood meningkat menunjukkan adanya ekspansivitas,
flight of ideas, tidur berkurang, harga diri meningkat serta gagasan
kebesaran.[2] Pasien dalam keadaan mood terdepresi memperlihatkan
kehilangan energi dan minat, merasa bersalah, sulit berkonsentrasi,
hilangnya nafsu makan, berpikir mati atau bunuh diri. Tanda dan gejala
lain termasuk perubahan dalam tingkat aktivitas, kemampuan kognitif,
bicara dan fungsi vegetatif (termasuk tidur, aktivitas seksual dan ritme
biologik yang lain). Gangguan ini hampir selalu menghasilkan hendaya
interpersonal, sosial dan fungsi pekerjaan.[1]
Depresi berasal dari kata latin depressare atau kata latin klasik
deprimere.

Deprimere

secara

harfiah

berarti

menekan,

de

diterjemahkan sebagai "turun" dan premere diterjemahkan sebagai


untuk menekan. Depresi dapat diartikan sebagai suasana hati atau
emosional yang menurun.[3]
Depresi adalah penyakit medis yang menyebabkan perasaan sedih
yang

berkelanjutan

dan

kehilangan

minat.

Depresi

juga

dapat

menyebabkan gejala fisik. Depresi merupakan penyakit kronis yang


biasanya membutuhkan pengobatan jangka panjang, seperti diabetes
melitus atau hipertensi. Kebanyakan orang dengan depresi merasa lebih
baik dengan obat-obatan.[4]

Distonia yaitu spasme otot yang menetap atau intermiten. Otot-otot


yang sering mengalami spasme yaitu otot-otot badan, leher,dan kepala,
serta menyebabkan gerakan involunter. Keadaan ini merupakan efek
samping yang paling menakutkan. Awitannya biasanya tiba-tiba. Sekitar
10% distonia menjadi jam-jam pertama terapi obat dan 90% terjadi
setelaah 3 hari pertama penggunaan obat. Gejala paling sering muncul
yaitu opistotonus, rigiditas otot-otot belakang, retrokolis, tortikolis leher,
krisis okulogirik, dapat pula spasme pada sebelah atau kedua mata
sehingga mata mendelik keatas,makroglosia, protrusi lidah sehingga bisa
tercekik, daan distonia laring. Distnonia laring dan otot faring dapat
menyebakan krmatian mendadak.
Etiologi gangguan depresif, antara lain :
1. Faktor biologis
Banyak penelitian melaporkan abnormalitas metabolit amin biogenic
seperti asam 5-hidroksiindolasetat (5-HIAA), asam homovanilat (HVA)
dan 3-metoksi-4-hidroksifenilglikol (MHPG) didalam darah, urin dan
cairan serebrospinalis pasien dengan gangguan mood. Norepinefrin dan
serotonin adalah dua neurotransmitter yang paling terkait didalam
patofisiologi gangguan mood.[2]
a) Norepinefrin
Penurunan regulasi reseptor beta adrenergik dan respon klinis
antidepresi merupakan peran langsung sistem noradrenergik pada
depresi. Bukti lain yang juga melibatkan reseptor beta 2 presinaptik
pada depresi yaitu aktifnya reseptor yang mengakibatkan
pengurangan jumlah pelepaan norepinefrin. Reseptor beta 2
presinaptik juga terletak pada neuron serotonergik dan mengatur
jumlah pelepasan serotonin.[1]
b) Serotonin
Aktivitas serotonin berkurang pada depresi. Serotonin bertanggung
jawab untuk kontrol regulasi afek, agresi, tidur dan nafsu makan.
Pada beberapa penelitian ditemukan jumlah serotonin yang

10

berkurang dicelah sinap dikatakan bertanggung jawab untuk


terjadinya depresi.[1]
c) Dopamin
Aktivitas dopamine berkurang pada depresi. Penemuan subtype
baru reseptor dopamin dan meningkatnya pengertian fungsi
regulasi presinaptik dan pascasinaptik dopamin memperbanyak
hubungan antara dopamin dan gangguan mood. Dua teori terbaru
tentang dopamin dan depresi adalah jalur dopamin mesolimbik
mengalami disfungsi pada depresi dan reseptor dopamin D1
mungkin hipoaktif pada depresi.[1]
2. Faktor genetik
a) Studi keluarga
Generasi pertama dapat menjadi 2 hingga 10 kali lebih sering
mengalami depresi berat.[1]
b) Studi adopsi
Dua dari tiga studi menemukan gangguan depresi berat diturunkan
secara genetik. Penelitian juga menunjukkan anak biologis dari
orang tua yang terkena gangguan mood berisiko untuk mengalami
gangguan mood walaupun anak tersebut dibesarkan oleh keluarga
angkat.
c) Studi anak kembar
Pada anak kembar dizigotik gangguan depresi terdapat sekitar 13
28% sedangkan pada anak kembar monozigotik terdapat sekitar 53-

a)

69%.[1]
3. Faktor psikososial
Peristiwa hidup dan stres lingkungan
Peristiwa kehidupan yang membuat seseorang merasa tertekan
(stres) dapat mencetuskan terjadinya depresi. Episode pertama
lebih ringan dibandingkan episode berikutnya. Ada teori yang
mengemukakan

adanya

stress

sebelum

episode

pertama

menyebabkan perubahan biologi otak yang bertahan lama. Hal ini


menyebabkan perubahan berbagai neurotransmiter dan sistem
sinyal intraneuron termasuk hilangnya beberapa neuron dan
penurunan kontak sinaps. Dampaknya seseorang individu berisiko

11

tinggi mengalami episode berlang gangguan mood sekalipun tanpa


b)

stressor dari luar.[2]


Faktor kepribadian
Semua orang dengan kepribadian yang berbeda-beda dapat
mengalami depresi sesuai dengan situasinya. Orang dengan
gangguan kepribadian obsesi-kompulsi dan histrionik berisiko
tinggi untuk mengalami depresi dibandingkan dengan gangguan
kepribadian paranoid atau antisosial. Pasien dengan gangguan
distimik dan siklotimik berisiko mengalami gangguan depresi
berat.[2]

c)

Faktor psikodinamik
Teori psikodinamik depresi oleh Sigmund Freud yang dilanjutkan
oleh Karl Abraham dikenal sebagai pandangan klasik depresi yang
mencakup empat hal utama :
- Gangguan hubungan ibu-anak selama fase oral (10-18 bulan)
menjadi faktor predisposisi untuk rentan terhadap episode
-

depresi berulang
Depresi dapat dihubungkan dengan cinta yang nyata maupun

fantasi kehilangan objek


Mekanisme pertahanan untuk mengatasi penderitaan akibat

kehilangan objek cinta


Kehilangan objek cinta diperlihatkan dalam bentuk campuran
antara benci dan cinta serta perasaan marah yang diarahkan

pada diri sendiri.[2]


4. Formulasi lain depresi
a) Teori kognitif
Beck mengemukakan trias kognitif depresi terdiri atas :
- Pandangan mengenai diri, aturan, diri yang negatif
- Mengenai lingkungan pada kecenderungan mengalami dunia
-

sebagai sesuatu yang memusuhi atau menuntut


Mengenai masa depan tentang penderitaan dan kegagalan dari

harapan.[2]
b) Ketidak berdayaan yang dipelajari
Teori ketidak berdayaan yang dipelajari pada depresi
menghubungkan fenomena depresi dengan pengalaman peristiwa

12

yang

tidak

diformulasikan

dapat

dikendalikan.

kembali

mengenai

Dalam

pandangan

yang

ketidakberdayaan

yang

dipelajari jika diterapkan pada depresi manusia akan menyebabkan


hilangnya harga diri setelah peristiwa eksternal yang tidak
diinginkan.[2]
Gejala klinis gangguan depresif, antara lain :
1. Gejala utama
- Afek Depresif
- Kehilangan minat dan kegembiraan
- Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah
lelah (rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan
menurunnya aktivitas.[6]
2. Gejala lainnya
- Konsentrasi dan perhatian berkurang
- Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
- Gagasan tentang rasa bersalah dan tak berguna
- Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
- Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
- Tidur terganggu
- Nafsu makan berkurang.[6]
Kriteria diagnosis menurut

Pedoman Penggolongan Diagnosis

Gangguan Jiwa - III (PPDGJ-III) untuk gangguan depresi, antara lain :


1. Episode depresif ringan
Pada episode depresif ringan sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3
gejala utama depresi lalu ditambah dengan sekurang-kurangnya 2 dari
gejala lainnya. Tidak boleh ada gejala berat diantaranya dan lama dari
seluruh episode berlangsung kurang dari 2 minggu. Ada sedikit
kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial. Jika tidak terdapat gejala
somatik maka digolongkan dalam episode depresif ringan tanpa gejala
somatik dan begitu pula sebaliknya jika disertai dengan gejala somatik
maka digolongkan dalam episode depresif ringan dengan gejala
somatik.[6]
2. Episode depresif sedang

13

Pada episode depresif sedang sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3


gejala utama depresi lalu ditambah dengan sekurang-kurangnya 3 atau 4
dari gejala lainnya. Lama dari seluruh episode berlangsung minimum 2
minggu. Ada sedikit kesulitan menghadapi urusan rumah tangga, dan
kegiatan sosial. Jika tidak terdapat gejala somatik maka digolongkan
dalam episode depresif sedang tanpa gejala somatik dan begitu pula
sebaliknya jika disertai dengan gejala somatik maka digolongkan dalam
episode depresif sedang dengan gejala somatik.[6]
3. Episode depresif berat tanpa gejala psikotik
Pada episode depresif berat tanpa gejala psikotik semua gejala utama
depresi harus ada dan ditambah dengan sekurang-kurangnya 4 dari
gejala lainnya dan beberapa diantaranya berintensitas berat. Lama dari
seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya 2 minggu. Sangat
tidak mungkin pasien menghadapi urusan rumah tangga, pekerjaan, dan
kegiatan sosial.[6]
4. Episode depresif berat dengan gejala psikotik
Pada episode depresif berat dengan gejala psikotik semua gejala
memenuhi criteria depresi berat disertai waham, halusinasi atau stupor
depresif. Waham biasanya melibatkan ide tentang dosa, kemiskinan
atau malapetaka yang mengancam dan pasien merasa bertanggung
jawab atas hal itu. Halusinasi auditorik atau olfaktorik biasanya berupa
suara yang menghina atau menuduh atau bau kotoran atau daging yang
membusuk. Retardasi psikomotor yang berat dapat menuju pada stupor.
[6]

Penatalaksanaan gangguan depresif, antara lain :


1. Psikoterapi
a) Terapi kognitif
Terapi kognitif memfokuskan pada distorsi kognitif yang ada pada
gangguan depresif berat. Tujuan terapi kognitif adalah meringankan
episode depresif dan mencegah kekambuhan dengan membantu
pasien

mengidentifikasi

dan

menguji

kognisi

negatif,

14

mengembangkan cara berpikir alternative, fleksibel dan positif


serta melatih respon perilaku dan kognisi yang baru.[2]
b) Terapi perilaku
Terapi perilaku didasarkan pada hipotesis bahwa pola perilaku
maladaptif mengakibatkan seseorang menerima sedikit umpan
balik positif dan mungkin sekaligus penolakan dari masyarakat.
Dengan memusatkan perhatian pada perilaku maladaptif didalam
terapi, pasien belajar berfungsi di dalam dunia sedemikian rupa
hingga mereka memperoleh dorongan positif.[2]
c) Terapi berorientasi psikoanalitik
Tujuan terapi berorientasi psikoanalitik adalah memberi pengaruh
pada perubahan struktur atau karakter kepribadian seseorang bukan
hanya

untuk

meredakan

gejala.

Perbaikan

kepercayaan

interpersonal, keintiman, mekanisme koping, kapasitas berduka


serta kemampuan mengalami kisaran luas emosi.[2]
d) Terapi keluarga
Terapi keluarga diindikasikan jika gangguan merusak perkawinan
pasien atau fungsi keluarga jika gangguan mood bertambah atau
dipertahankan oleh situasi keluarga. Terapi keluarga memeriksa
peranan anggota keluarga yang mengalami gangguan mood
didalam kesejahteraan psikologis seluruh keluarga.[2]
2. Farmakoterapi
Terapi distnonia
Terapi distonia dapat di hilangkan dengan injeksi dengan
diphenydramine, benztropine IM/IV atau asetil kolin lainnya dengan
beberapa menit obat memasuki aliran darah. Medikasi antikolinergik
merupakan terapi ADR (Reaksi Distonia Akut) bentuk primer dan
praterapi dengan salah satu obat-obat ini biasanya mencegah terjadinya
penyakit. Paduan obat yang umum meliputi benztropin (Congentin) 0,52 mg dua kali sehari (BID) sampai tiga kali sehari (TID) atau
triheksiphenidil (Artane) 2-5 mg TID. Benztropin mungkin lebih efektif
daripada triheksiphenidil pada pengobatan ADR dan pada beberapa
penyalah guna obat triheksiphenidil karena rasa melayang yang

15

mereka dapat daripadanya. Seorang pasien yang ditemukan dengan


ADR berat, akut harus diobati dengan cepat dan secara agresif. Bila
dilakukan jalur intravena (IV) dapat diberikan benztropin 1 mg dengan
dorongan IV. Umumnya lebih praktis untuk memberikan difenhidramin
(Benadryl) 50 mg intramuskuler (IM) atau bila obat ini tidak tersedia
gunakan benztropin 2 mg IM. Remisi ADR dramatis terjadi dalam
waktu 5 menit.
Antidepresan adalah kelompok obat-obat heterogen dengan efek
utama dan terpenting untuk mengendalikan gejala depresi. Disamping
itu juga digunakan untuk beberapa indikasi lain seperti gangguan
cemas. Secara umum diklasifikasikan sebagai berikut :[1]
a) Derivat trisiklik
- Imipramin
- Amitriptilin
b) Derivat tetrasiklik
- Maprotiline (Sandepril)
- Mianserin
c) Derivat MAOI (Mono Amin Oksidase Inhibitor)
- Moclobemide
d) Derivat SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor)
- Sertraline
- Fluoxetine (Kalxetin)
- Fluvoxamine
- Paroxetine
- Escitalopram
e) Derivat SNRI (Serotonin Norepinefrin Reuptake Inhibitor)
- Venlafaxine
- Desvenlafaxine
- Duloxetine[1]

16

DAFTAR PUSTAKA
1. Irawati, I,. Kristiana, S,. Buku Ajar Psikiatri. Ed. 2. Badan Penerbit FKUI :
Jakarta. 2013.
2. Benjamin, JS,. Virginia, AS,. Buku Ajar Psikiatri Klinis. Ed. 2. Penerbit
Buku Kedokteran EGC : Jakarta. 2010.
3. Jonathan, WK,. Andrew, MB,. Cristal, EW,. Sara, JL,. The Nature of
Clinical Depression : Symptoms, Syndromes and Behavior Analysis.
Association for Behavior Analysis International. [Diakses pada tanggal 28
Oktober 2015]. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2395346/.
2015.
4. Mayo Clinic Staff. Depression (Mayor Depressive Disorder). Mayo Clinic
Journal.

[Diakses

pada

tanggal

28

Oktober

2015].

http://www.mayoclinic.org/
diseasesconditions/depression/basics/definition/con-20032977. 2013.
5. Jerry, LH,. David, B,. Mayor Depressive Disorder. Medscape Journal.
[Diakses

pada

tanggal

28

Oktober

2015].

http://emedicine.medscape.com/article/286759-overview#a3. 2015.
6. Rusdi, M,. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkasan dari
PPDGJ-III dan DSM-5. Penerbit Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika
Atmajaya : Jakarta. 2013.
7. Mardjono, M.Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat. 2006
8. Maslim.R,SPKJ. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik
edisi ketiga. Bagian ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.2007
9. Maulany, RF. Buku Saku Psikiatri. EGC.2008

17

Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa


RSD Undata Palu
Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan Universitas Tadulako

LAPORAN KASUS
GANGGUAN AFEKTIF EPISODE DEPRESI SEDANG NON
PSIKOTIK

DISUSUN OLEH:

Irani Nur Ramadhani

18

N 111 15 054

PEMBIMBING:
dr. Dewi Suryani Angjaya, Sp. KJ

DIBUAT DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA
RS UNDATA
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2016

19

Anda mungkin juga menyukai