Disusun oleh :
Hendra Limanto
Arief Rachman Setiawan
Indra Chuandy
Stephanus A.P. Kaligis
Andi Rizki Caprianus
PPDS I Anestesiologi dan Terapi Intensif
Pembimbing :
dr. Sugeng Budi Santosa, Sp. An., KMN
BAGIAN SMF ILMU ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
FK UNS/ RSUD DR.MOEWARDI
SURAKARTA
2016
DAFTAR ISI
Halaman
Daftar Isi............................................................................................................................ i
Daftar Gambar................................................................................................................... ii
Daftar Tabel....................................................................................................................... ii
BAB I.
Pendahuluan...................................................................................................... 1
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Kurva normal disosiasi oksihemoglobin.....................................................
Gambar 2. Prediksi mortalitas berdasar kadar Hb preoperatif ....................................
Gambar 3. Panduan terapi reversal antikoagulan..........................................................
Gambar 4. Kaskade koagulasi.......................................................................................
8
9
14
31
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1.
Tabel 2.
Tabel 3.
Tabel 4.
Tabel 5.
12
19
20
31
33
BAB I
PENDAHULUAN
Darah adalah cairan yang terdapat pada semua makhluk hidup (kecuali tumbuhan)
tingkat tinggi yang berfungsi mengirimkan zat-zat dan oksigen yang dibutuhkan oleh jaringan
tubuh, mengangkut bahan-bahan kimia hasil metabolisme dan juga sebagai pertahanan tubuh
terhadap virus atau bakteri (Sherwood, 2011).
Fungsi darah adalah sebagai berikut: (1) membawa nutrisi dari saluran cerna ke
jaringan tubuh (2) Mengantarkan oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh (3) Mengangkut
hasil ekskresi berbagai jaringan menuju ginjal untuk di ekskresikan (4) Mengangkut hasil
sekresi kelenjar endokrin (hormon) dan enzim dari organ ke organ (5) ikut berperan dalam
mempertahankan keseimbangan air, sistem buffer seperti bicarbonat di dalam darah
membantu mempertahankan pH yang konstan pada jaringan dan cairan tubuh (6) berperan
penting dalam pengendalian suhu tubuh dengan cara mengangkut panas dari struktur yang
lebih dalam menuju ke permukaan tubuh (7) Mengatur konsentrasi ion hidrogen dalam tubuh
(keseimbangan asam dan basa) (8) Membantu pertahanan tubuh terhadap penyakit (9)
pembekuan darah pada luka mencegah terjadinya kehilangan darah yang berlebihan pada
waktu luka serta mengandung faktor-faktor penting untuk pertahanan tubuh terhadap
penyakit (Sherwood, 2011).
Darah adalah jaringan cair yang terdiri atas dua bagian yaitu plasma darah dan sel
darah. Volume darah secara keseluruhan adalah satu per dua belas berat badan. Sekitar 55%
adalah plasma darah, sedangkan 45% sisanya terdiri dari sel darah. Sel darah terdiri atas tiga
jenis yaitu eritrosit yang tampak merah karena kandungan hemoglobinnya, sel darah putih
atau leukosit dan trombosit (keping - keping darah) yang merupakan keping-kepingan halus
sitoplasma (Sherwood, 2011).
Tiap-tiap komponen darah tersebut dapat mengalami gangguan, gangguan pada
struktur darah maupun sistem homeostasis dan trombosis dapat mempengaruhi tindakan
anestesi yang dilakukan (Orphananesthesia, 2014).
Secara garis besar gangguan yang dapat terjadi yaitu gangguan dari eritrosit (anemia,
kelainan struktur, kelainan metabolisme, kelainan molekul hemoglobin, gangguan
eritropoesis, dan lain-lain), gangguan hemostasis dan gangguan koagulopati (Stoelting, 2015)
Dengan terjadinya gangguan tersebut dapat mengakibatkan kapasitas angkut oksigen
dan hantaran oksigen ke jaringan menurun, gangguan hemostasis dan koagulasi arterial juga
1
dapat
menyebabkan
peningkatan
resiko
terjadinya
perdarahan
intraoperatif
(Orphananesthesia, 2014).
Pada pasien dengan gangguan hematologi hal pertama yang penting dilakukan adalah
evaluasi preoperatif yang baik dari tim anestesi, bedah dan ahli hematologi untuk mencegah
komplikasi yang dapat terjadi pada saat intraoperatif. Pemeriksaan penunjang dilakukan
sesuai dengan kebutuhan dan jenis operasi (Orphananesthesia, 2014).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. GANGGUAN MOLEKUL HEMOGLOBIN
Setiap kelompok hemoglobin dapat mengikat molekul oksigen. Pada setiap aktivitas
respirasi (pengikatan dan pelepasan oksigen) melibatkan perubahan spesifik pada
struktur molekul hemoglobin. Ikatan oksigen pada salah satu grup hemoglobin dapat
meningkatkan afinitas grup hemoglobin lainnya terhadap oksigen. Kelainan bawaan pada
struktur hemoglobin dapat mengganggu aktivitas respirasi. Beberapa kelainan
menyebabkan keterbatasan pada molekul hemoglobin baik pada keadaan afinitas tinggi
maupun rendah; dan hal yang lain baik perubahan zat besi pada hemoglobin dari ferrous
menjadi ferric atau perubahan solubilitas dari molekul hemoglobin. Hemoglobin S
(sickle cell disease) menyebabkan penurunan solubilitas dan presipitasi dari hemoglobin
yang abnormal (Stoelting 2015).
1. Sickle S Hemoglobin
Pada fase deoksigenasi, hemoglobin S mengalami perubahan struktur terutama
pada regio hidrofobik dari molekul hemoglobin. Regio tersebut mengalami agregasi,
distorsi dan merusak membran eritrosit yang berakibat terjadi deformasi dan
pemendekan waktu aktifnya. Sickle cell anemia bermanifestasi pada awal yaitu terjadi
anemia
hemolitik
hebat
dan
menyebabkan
oklusi
pembuluh
darah
yang
mempengaruhi sumsum tulang belakang, lien, ginjal, dan sistem saraf pusat.
Manifestasi klinis lainnya adalah nyeri yang sangat hebat (nyeri tulang dan sendi),
infark pada lien, infark pada ginjal dan acute chest syndrome (gangguan pada paruparu yang memiliki gejala : nyeri dada, demam > 38,5 oC, takipneu, wheezing, dan
batuk) dan komplikasi neurologis seperti stroke(Stoelting 2015).
2. Sickle C Hemoglobin
Kejadiannya lebih sedikit dibandingkan hemoglobin S, sickle C hemoglobin
menyebabkan eritrosit kehilangan cairan melalui aktivitas sistem transpor kaliumklorida dan berhubungan dengan anemia hemolitik ringan hingga sedang. Kehadiran
hemoglobin S dan hemoglobin C akan meningkatkan tendensi terjadinya sickling dari
eritrosit dan ini berhubungan dengan komplikasi yang terjadi mendekati komplikasi
3
kardiomegali,
dan
perubahan
struktur
tulang
sekunder
dikarenakan ekspansi sumsum tulang. Pasien ini memiliki baik bentuk ringan dari
cairan yang berlebihan. Tujuan dari pemberian cairan adalah mencegah terjadinya
dehidrasi pada awal mula masa operasi (Orphananesthesia, 2014).
Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah hematologi
rutin, hemoglobin elektroforesis, pemeriksaan koagulasi, pemeriksaan metabolik
lengkap (fungsi hati, fungsi ginjal), pemeriksaan tergantung dari komorbid pasien,
rontgen dada, spirometri (bila diperlukan pada operasi dengan durasi panjang atau
posisi
prone),
elektrokardiografi/echocardiografi,
transcranial
dopler
(Orphananesthesia, 2014).
Pada saat ini tindakan tranfusi preoperatif masih kontroversial. Merujuk dari
tindakan tranfusi yang dilakukan pada awal tahun 1990, dokter anestesi dan
hematologi melakukan tranfusi darah yang agresif dengan target hemoglobin 10 g/dl
dan hemoglobin S dengan konsentrasi 30% atau kurang, pada pasien dengan tranfusi
agresif angka mortalitas dan morbiditas masih cukup tinggi. Pada saat ini berbagai
pendapat mengenai tranfusi pada saat preoperatif bermunculan, salah satu pendapat
bahwa jika pasien menjalani tindakan operatif dengan resiko ringan hingga sedang
disarankan dilakukan tranfusi secara sederhana dengan target hemoglobin 10g/dl.
Tranfusi darah dapat meningkatkan kapasitas pengangkutan oksigen dan mendilusi
hingga menurunkan presentase dari sickle cell oleh sel darah merah yang mengandung
hemoglobin A. Pada pasien dengan resiko tinggi masih disarankan untuk dilakukan
transfusi yang lebih agresif. Tetapi perlu diperhatikan dengan pemberian tranfusi yang
agresif maka resiko komplikasi akibat tranfusi akan meningkat (Orphananesthesia,
2014). Beberapa resiko transfusi yang dapat terjadi acute lung injury, alloimunization,
kelebihan dari zat besi, reaksi alergi karena antigen lekosit dan transmisi patogen
viral. Untuk kadar hemoglobin tidak diijinkan melebihi 11g/dl karena akan
meningkatkan viskositas darah, waktu transit memanjang , memicu sickling dan dapat
memicu stroke(Stoelting 2015).
Manajemen Intraoperatif
Tidak ada obat anestesi dan teknik yang sudah terbukti lebih menguntungkan
pada pasien dengan kelainan molekul hemoglobin. Beberapa argumen diajukan
beberapa pakar bahwa penggunaan anestesi regional pada pasien dengan sickle cell
tidak disarankan. Pada The Cooperative Study of Sickle Cell Disease pada pasien
dengan sickle cell dibandingkan dengan penyakit non-sickle cell kejadian komplikasi
demam dan infeksi tinggi pada pasien dengan sickle cell. Kemudian ada beberapa
teori yang berkembang bahwa pada penderita sickle cell yang dilakukan regional akan
6
B. ANEMIA
Anemia adalah suatu kondisi dimana jumlah sel darah merah (dan kapasitas transpor
oksigen) dalah keadaan yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan fisologis (WHO,
2011). Meskipun berkurangnya hematokrit merupakan indikator yang sering digunakan,
anemia didefinisikan sebagai berkurangnya satu atau lebih pengukur sel darah merah
utama yaitu konsentrasi hemoglobin (Hb), hematokrit, dan jumlah sel darah merah. Pada
dewasa, anemiadidefinisikan sebagai konsentrasi Hb kurang dari 11,5 g/dL (hematokrit <
36%) untuk wanita dan kurang dari 12,5 g/dL (hematokrit <40%) untuk pria (Oprea
2012).
Pada perdarahan akut, hematokrit mungkin masih sama pada awalnya. Pada wanita
hamil, penurunan hematokrit menggambarkan peningkatan volume plasma terhadap
jumlah sel darah merah (anemia fisiologis). Berkurangnya hematokrit lebih dari 1%
setiap 24 jam dapat terjadi pada perdarahan akut atau hemolisis intravaskular.
Hal yang paling penting dari efek anemia adalah berkurangnya transpor oksigen ke
jaringan yang diakibatkan berkurangnya konsentrasi oksigen arteri (CaO2). Sebagai
contoh, penurunan konsentrasi Hb dari 15 g/dL menjadi 10g/dL menyebabkan penurunan
CaO2 33%. Kompensasi awal dari penurunan CaO2 adalah bergesernya ke kanan kurva
disosiasi oksihemoglobin, yang memfasilitasi pelepasan oksigen dari Hb ke jaringan. Hal
7
ini diikuti oleh redistribusi darah meuju miokardium, otak, dan otot dari kulit
(menyebabkan pucat) dan ginjal (merangsang prekursor eritroid pada sumsum tulang
untuk memproduksi sel darah merah tambahan). Mekanisme kompensasi lainnya berupa
peningkatan cardiac output sebagai indikasi dari berkurangnya kekentalan darah.
Kelelahan dan berkurangnya toleransi beban latihan menggambarkan ketidakmampuan
cardiac output untuk meningkatkan dan menjaga oksigenasi jaringan. Ortopnea dan
dispnea saat aktifitas diikuti kardiomegali, kongesti pulmonal, ascites dan edema sebagai
konsekuensi dari gagal jantung tinggi output pada kronik dan anemia berat.
Terdapat berbagai penyebab anemia. Penyebab anemia kronis yang sering dijumpai
adalah defisiensi zat besi, penyakit kronis, thalassemia dan perdarahan akut.
kritis dan pasien trauma, transfusi dikaitkan dengan semakin lamanya masa rawat, angka
mortalitas lebih tinggi, tingginya angka kejadian pneumonia terkait ventilator (VAP) dan
peningkatan mortalitas.
Untuk pembedahan, perdarahan kurang dari 15% total volume darah tidak diperlukan
transfusi darah. Perdarahan lebih dari 30% dapat digantikan hanya dengan
cairankristaloid. Kehilangan darah lebih dari 30-40% pada umumnya memerlukan
transfusi sel darah merah untuk mengembalikan kapasitas transpor oksigen. Transfusi
diberikan selama kristaloid dan koloid dapat menjaga volume intravaskular dan menjaga
perfusi jaringan. Pada kasus transfusi masif(>50% volume darah digantikan dalam 24
jam), transfusi sel darah merah sebaiknya juga diberikan fresh frozen plasma (FFP) dan
trombosit dengan perbandingan 1:1:1. (Oprea, 2012).
Pasien dengan penyakit arteri koroner (CAD) dilakukan pertimbangan khusus. Pada
penelitian in vivo didapakan angka kejadian iskemi miokard terjadi pada kadar Hb 7 g/dL
pada pasien stenosis arteri koroner 75% atau lebih. Beberapa literatur menyarankan
transfusi dimulai pada pasien dengan CAD dengan hematokrit 28-30%, terutama pada
sindrom koroner tidak stabil.
Manajemen Anestesi Pada Anemia
Bila operasi elektif dilakukan pada pasien dengan anemia kronis, sangat bijak untuk
meminimalkan perubahan yang dapat mempengaruhi transpor oksigen ke jaringan.
Sebagai contoh, obat-obatan yang menurunkan curah jantung atau mengeser kurva
disosiasi oksihemoglobin ke kiri karena alkalosis respiratorik karena hiperventilasi
iatrogenik yang akan mempengaruhi transpor oksigen jaringan. Penurunan temperatur
tubuh juga akan mengubah kurva disosiasi oksihemoglobin ke kiri. Berkurangnya
kebutuhan oksigen jaringan dapat mengikuti efek depresan dari obat-obatan anestesi dan
hipotermia. Tanda dan gejala kurangnya oksigenasi jaringan karena anemia sulit dinilai
selama anestesi. Upaya untuk menyeimbangkan efek perdarahan pada pembedahan
dengan mempertahankan normovolemik hemodilusi dan mengurangi kehilangan darah
dapat dipertimbangkan pada beberapa pasien. Efek dari anestesi terhadap saraf simpatis
dan respon kardiovaskular dapat menumpulkan respon peningkatan curah jantung terkait
normovolemia anemia akut.
Agen inhalasi bisa berkurang kelarutannya dalam plasma pada pasien anemia, yang
diakibatkan penurunan konsentrasi sel darah merah yang kaya lemak. Sebagai akibatnya,
penyerapan kadar agen inhalasi dalam plasma pada pasien anemia dapat meningkat.
10
Meskipun demikian, efek penurunan kelarutan agen inhalasi karena anemia dapat
diimbangi dengan adanya peningkatan curah jantung. Oleh karena itu, nampaknya tidak
mungkin mendeteksi perubahan klinis pada saat induksi anestesi atau rentan terhadap
overdosis zat anestesi dapat terjadi pada pasien anemia dibandingkan dengan pasien yang
tidak anemia.
Anemia Hemolitik
Anemia hemolitik digambarkan dengan peningkatan penghancuran (hemolisis) dari
eritrosit yang sering disebabkan hemoglobinopati dan gangguan imun. Pada anemia
hemolitik baik sel darah merah dikeluarkan dari sirkulasi oleh sistem retikuloendotelial
(hemolisis
ekstravaskular)
maupun
sel-sel
lisis
didalam
sirkulasi
(hemolisis
intravaskular). Oleh karena itu, masa hidup sel darah merah lebih pendek dari yang
normalnya 120 hari, dan menyebabkan hipoksia jaringan yang mengakibatkan produksi
sel darah merah berlebihan pada sumsum tulang.
Anemia hemolitik ditandai dari retikulositosis (>100.000 sel/mm3) dan peningkatan
volume ukuran korpuskular, yang dicerminkan adanya eritrosit imatur, bilirubin tidak
terkonjugasi, meningkatnya kadar lactat dehydrogenase (LDH), penurunan kadarserum
haptoglobin. Konfirmasi dari anemia hemolitik harus diikuti dengan melakukan Coombs
test untuk menyingkirkan penyebab imunologis, pemeriksaan apusan darah tepi dan Hb
elektroforesis.
C. KELAINAN PRODUKSI SEL DARAH
1. Hipoproliferasi
Anemia karena Kerusakan Sumsum Tulang Akibat Obat dan Radiasi
Anemia karena kerusakan sumsum tulang merupakan efek samping kemoterapi
yang dapat diprediksi dan biasanya ringan kecuali bila menggunakan dosis tinggi,
multi obat, yang dapat menimbulkan pansitopenia. Selama obat tersebut tidak
merusak secara permanen, pemulihan biasanya lengkap. Radiasi energi tinggi juga
dapat menimbulkan anemia karena kerusakan sumsum tulang tergantung dari jenis
radiasi, dosis, dan lamanya eksposur. Radiasi eksternal tingkat rendah namun jangka
panjang maupun radioisotop yang ditelan dapat menimbulkan anemia aplastik.
Beberapa obat lain juga berhubungan dengan anemia aplastik seperti
kloramfenikol dapat menyebabkan anemia aplastik berat dan irreversible hanya
dengan dosis sedikit saja. Namun kebanyakan obat lain bersifat lebih ringan.
11
2 dari berikut ini : hiperselularitas sumsum tulang, kadar eritropoietin subnormal, dan
pembentukan koloni eritroid endogen. Polisitemia dapat muncul pada setiap umur
namun paling sering terjadi pada dekade keenam atau ketujuh. Insiden polisitemia
lebih sering terjadi pada laki-laki dengan prevalensi 4-16/sejuta (Im et al, 2015).
Sindrom Budd-Chiari adalah gejala yang sering terjadi yaitu pruritus generalisata dan
eritromyalgia (suatu kondisi dengan episode nyeri, kemerahan dan bengkak pada
berbagai bagian tubuh terutama tangan dan kaki). Trombosis koroner atau serebral
sering menyertai. Hipertensi pulmonal sering terjadi pada populasi ini. Pasien secara
umum membutuhkan flebotomi reguler dan membutuhkan terapi myelosupresif
dengan hidroksi urea, interferon alpha, atau fosfor radioaktif untuk mengendalikan
hematokrit. Pada kondisi emergensi viskositas darah dapat dikurangi dengan infus
kristaloid intravena (Ruggeri et al., 2008). Sekitar 30% pasien meninggal karena
komplikasi trombosis dan 30% lainnya menderita kanker, yang tersering
myelofibrosis dan leukemia akut.
Penderita PV yang akan menjalani operasi beresiko mengalami trombosis perioperatif
dan juga perdarahan. Peningkatan resiko trombosis disebabkan kombinasi
hiperkoagulabilitas basal dan kondisi protrombosis saat pembedahan. Perdarahan
disebabkan penyakit von Willebrand yang didapat, karena jumlah multimer faktor von
Willebrand (vWF) ultralarge yang rendah secara abnormal. Faktor ini penting untuk
adhesi platelet yang normal. Hiperviskositas yang berkaitan dengan hematokrit yang
tinggi mendukung perubahan konfirmasional vWF yang membuatnya rentan terhadap
pembelahan enzimatik. Oleh karena itu, multimer besar yang paling efektif secara
hemostatik menjadi berkurang, menimbulkan resiko perdarahan. Flebotomi dan
pencegahan dehidrasi menurunkan resiko trombosis dan perdarahan selama periode
perioperatif.
Penelitian oleh Waserman dan Gilbert yang menilai dua kelompok pasien yang
menjalani operasi besar dan mengalami polisitemia vera. Dari 28 pasien dengan
polisitemia tidak terkontrol 79% mengalami komplikasi dan 36% meninggal. Dari 53
pasien dengan kondisi terkontrol 28% mengalami komplikasi dan 5% meninggal.
Pada kedua kelompok, komplikasi berhubungan terutama karena trombosis dan
perdarahan. Oleh karena itu adalah penting untuk memiliki pengetahuan dan
premedikasi polisitemia sehingga menggurangi morbiditas dan mortalitas preoperatif
(Ruggeri et al., 2008).
14
Manajemen Anestesi
Pasien PV beresiko mengalami hiperkoagulabilitas dan perdarahan perioperatif.
Penurunan hematokrit menjad kurang dari 45% dengan flebotomi sebelum operasi
dapat menurunkan resiko komplikasi trombohemoragik. Trombositosis harus
diturunkan dibawah 400.000 platelet/mm3. Terapi aspirin harus ditunda 7 hari sebelum
operasi. Desmopresin dan kriopresipitat bermanfaat dalam meningkatkan kadar vWF
dan menurunkan perdarahan. Beberapa pre-treatment preoperatif yang dpat
dipertimbangkan untuk mencegah komplikasi tromboemboli adalah penggunaan
heparin dosis rendah, satu serial flebotomi untuk mneurunkan hematokrit dibawah
45% atau acute normovolemic hemodilutionintraoperatif yaitu mengambil darah
sekaligus digantikan dengan koloid sampai Hb menurun menjadi 14,5 g/dl dengan
hematokrit 45% (Im et al, 2015).
Karena resiko gangguan fungsi platelet dan perdarahan, teknik anestesi neuraksial
harus dipertimbangkan hanya jika profil koagulasi dan fungsi platelet terbukti normal.
Profil
koagulasi
standar
seperti
protrombin
time
(PT),
activated
partial
thromboplastin time (aPTT) dan jumlah platelet harus normal. Fungsi platelet dapat
dinilai dengan menginduksi agregasi platelet dengan kolagen, ristocetin dan adenosin
diphosphat. Penyakin von Willebrand dieksklusi dengan menilai aktivitas faktor VIII,
antigen vWF dan aktivitas kofaktor ristocetin. Jika ada keraguan mengenai gangguan
perdarahan, maka tehnik anestesi umum menjadi pilihannya (Ruggeri et al., 2008).
Polisitemia Sekunder Akibat Hipoksia
Peningkatan masa eritrosit tanpa terbukti adanya perubahan pada jalur sel
hematopoetik lain adalah respon fisiologi normal terhadap hipoksia apapun
penyebabnya. Individu yang tinggal diketinggian sekitar 7000 kaki mengalami
kompensasi polisitemia fisiologis yang sesuai dan tidak berhubungan dengan kelainan
klinis. Pada daerah yang tinggi manusia beresiko mengalami mountain sickenss akut
dan kronik, yang timbul sebagai nyeri kepala hebat, mual, muntah, dan disorientasi
akibat edema serebral.
Penyakit kardio pulmoner yang berat juga dapat menyebabkan hipoksi jaringan dan
menginduksi polisitemia. Penyakit jantung kongenital dengan right-to-left shunt yang
signifikan dan sianosis adalah contohnya. Cardiac output yang sangat rendah, baik
kongenital maupun didapat, dapat menstimulasi pelepasan eritropoietin dan
menyebabkan peningkatan hematokrit. Penyakit paru dapat menyebabkan polisitemia
15
kompensasi.
Seseorang
dengan
kelainan
yang
menyebabkan
nyata. Kemudian kegagalan sumsum tulang menyebabkan infeksi yang fatal atau
perdarahan akibat trombositopenia. Sel leukemia juga menginfiltrasi hati, limpa,
nodus limfatikus, dan menings, menyebabkan tanda-tanda disfungsi pada organ
tersebut. Penggunaan nutrisi yang berlebihan oleh sel kanker yang berproliferasi cepat
menghabiskan cadangan asam amino sehingga terjadi kelemahan pasien dan kematian
metabolik dari jaringan yang normal.
Leukemia adalah salah satu kanker yang paling sering didiagnosa terutama pada anakanak. Kanker merupakan penyebab kematian tersering karena penyakit pada anakanak usia 1 sampai 14 tahun, namun perbaikan yang signifikan terhadap terapi
penyakit ini telah meningkatkan angka survival secara dramatis. Angka survival saat
ini 78% dibandingkan 28% pada tahun 1960-an. Ahli anestesi menjadi bagian penting
tim multidisiplin yang menangani anak-anak dengan keganasan. Anestesi diperlukan
pada semua tingkat pelayanan termasuk diagnosis, terapi, dan manajemen nyeri.
Pengetahuan mengenai efek fisiologi dari keganasan dan terapinya adalah penting
bagi ahli anestesi yang melayani pasien tersebut. (Oduro-Dominah and Brennan,
2013)
Leukimia terjadi pada sekitar 1/3 dari diagnosis kanker pada anak-anak. Insiden
puncak pada usia 2-3 tahun. Anak-anak dengan trisomi 21 (sindrom down) memiliki
peningkatan 10-20 kali lipat. Hampir 80% dari leukemia pada anak-anak adalah acute
lymphoblastic leukemia (ALL). Angka kesembuhan dari ALL yang baru terdiagnosa
mencapai 85%. (Scrace and Mcgregor, 2013)
Peran anestesia termasuk untuk prosedur singkat, untuk insersi akses vena sentral,
fasilitasi radioterapi dan pembedahan mayor. Ahli anestesi harus waspada terhadap
faktor yang potensial menimbulkan komplikasi.
Anestesi pada prosedur singkat sering dilakukan pada tempat yang jauh seperti ruang
radiologi dan unit onkologi rawat jalan. Ahli anestesi yang berpengalaman, staf ruang
pemulihan dan perlengkapan resusitasi yang lengkap harus tersedia setiap saat.
Adalah penting bagi ahli anestesi untuk mengetahui interaksi antara obat yang sering
diberikan dengan proses penyakit dan terapinya. Deksametason sering digunakan
sebagai antiemetik namun juga digunakan sebagai kemoterapi dan sebaiknya tidak
diberikan intraoperatif tanpa berdiskusi dengan tim onkologi karena dapat
mencetuskan lisis tumor. (Scrace and Mcgregor, 2013)
Anestesi Untuk Prosedur Singkat
17
Kemoterapi modern terdiri dari penggunaan obat sitotoksik intratekal dengan aspirasi
sumsum tulang secara reguler dan trephines untuk meniilai respon terapi. Prosedur ini
sering dilakukan dan membutuhkan anestesia untuk memberikan analgesi dan
amnesia sambil membatasi efek samping dan gangguan aktivitas anak. Banyak
institusi mnganjurkan penggunaan anestesi intravena dengan propofol dan
remifentanyl (atau alfentanyl/fentanyl) karena profil efek samping yang lebih disukai.
Keuntungan lain dibanding anestesi inhalasi: onset dan pemulihan yang cepat
hilangnya gerakan terhadap stimulus dan tidak memerlukan scavenging gas anestesi.
(Oduro-Dominah and Brennan, 2013)
Anestesi Untuk Radioterapi
Menjaga pasien tetap diam membantu terapi radiasi terbatas pada area yang sakit.
Anak-anak diatas usia 5 tahun dapat mentoleransi radioterapi tanpa anestesi jika telah
dipersiapkan dengan baik namun pada anak yang lebih muda anestesi sering kali
diperlukan. Anestesi intravena dengan infus propofol merupakan pilihan yang baik.
Opioid tidak diperlukan karena radioterapi tidak nyeri. Pertimbangan lain adalah
tempat radioterapi yang biasanya terisolasi, oleh karena itu ketersediaan alat resusitasi
dengan monitor lengkap menjadi penting. (Scrace and Mcgregor, 2013)
Toksistas Terapi
Adalah penting untuk mengenali pasien kanker dapat mengalami disfungsi organ
setiap saat karena berbagai alasan. Riwayat anestesi sebelumnya yang tidak
bermasalah tidak selalu menjadi prediktor keamanan. Perhatian harus difokuskan pada
efek fisiologi dan anatomi dari penyakit kanker itu sendiri maupun terapinya.
Efek Kemoterapi
Terapi kombinasi menyebabkan toksisitas yang potensial pada hampir semua sistem
organ. Yang sangat penting adalah efek merugikan dari kemoterapi dan radioterapi
pada jalan nafas dan sistem kardiopulmoner. Efek ini dapat secara langsung
berdampak pada pemberian dan respon terhadap anestesi. Penilaian seksama dari
semua sistem harus dilakukan sebelum memberikan anestesi.
Efek kardiotoksik dari agen kemoterapi antara lain : depresi, miokard dan
iskemia, hipotensi, hipertensi, miokarditis, fibrosis endomiokardial dan gangguan
konduksi seperti takikardi supraventrikel dan blok. Kardiotoksisitas diperkirakan
18
yang
menerima
kemoterapi
kardiotoksik
harus
dinilai
secara
echocardiography selama dan setelah terapi. Informasi ini penting untuk penilaian
preoperatif.
Agen kemoterapi dapat memberikan komplikasi paru luas. Dapat terjadi diawal
maupun diakhir danyang tersering berupa fibrosis pulmoner. Manifestasi akhir lebih
sering terjadi.
Tabel 2. Efek samping dari beberapa kemoterapi (Scrace and Mcgregor, 2013).
Tabel 3. Toksisitas paru dari agen kemoterapi (Scrace and Mcgregor, 2013)
19
Toksisitas Hematologi
Myelosupresi merupakan efek kemoterapi yang paling sering dan muncul sebagai
anemia, neutropenia, dan trombositopenia. Myelosupresi sendiri dapat merupakan
efek langsung dari kanker dan muncul pada fase sebelum terapi.
Pertimbangan spesifik bagi ahli anestesi untuk pasien netropenia (Scrace and
Mcgregor, 2013) :
Perdarahan yang signifikan sering terjadi dan merupakan penyebab kematian dini
pada pasien dengan leukemia. Terdapat beberapa variasi protokol lokal mengenai
jumlah platelet yang dapat diterima untuk prosedur invasif. Biasanya jumlah platelet
harus diatas 50.000/mm3 untuk pungsi lumbal dan diatas 20.000/mm3 untuk trephine
sumsum tulang (Scrace and Mcgregor, 2013).
Toksisitas Gastrointestinal
Efek samping ini sering terjadi dan terbatas selama terapi antara lain : nausea dan
vomitus,diare, mukositis, enterocolitis, stomatitis. Hal ini dapat terjadi bersamaan
sehingga terjadi anoreksia, malnutrisi, gangguan elektrolit dan protein serum.
Pertimbangan anestesi khusus adalah pengosongan lambung yang terlambat dan
aspirasi. Dehidrasi dan gagal ginjal akut juga harus dipertimbangkan.
Efek Radioterapi
20
Radioterapi menyebabkan kematian sel maupun jaringan sehat. Jaringan yang sehat
memiliki kapasitas untuk memperbaiki diri setelah terkena radiasi namun
membutuhkan waktu sehingga dosis total radioterapi dibagi dalam serial waktu. Jalan
nafas merupakan organ yang beresiko terkena efek samping terkena radioterapi
didaerah leher dan rongga mulut. Efek radioterapi yang menyebabkan jalan nafas sulit
(Scrace and Mcgregor, 2013): Fibrosis dan kekakuan jaringan lunak sehingga
membatasi buka mulut dan ekstensi leher.
Edem subglotis
Efek radiasi terhadap jantung antara lain : perikarditis, efusi perikard, fibrosis
endokardial, fibrosis valvular, defek konduksi, dan penyakit arteri koroner.Mukositis
ditandai dengan lesi yang ulseratif, eritematous, dan sangat nyeri. Dapat
menyebabkan edema supraglotis dan perdarahan jalan nafas akibat kerapuhan
jaringan sehingga menyebabkan jalan nafas menjadi sulit sering terjadi selama
penggunaan kemoterapi dosis tinggi, transplantasi stem sel hemopoietik, dan terapi
radiasi kepala-leher. Dapat muncul 7-10 hari setelah dimulai kemoterapi dan
berlangsung selama 1-2 minggu. Pada terapi radiasi paling sering muncul 2-4 minggu
setelah terapi.(Scrace and Mcgregor, 2013)
Sindrom Lisis Tumor
Merupakan sindrom yang fatal dan sering terjadi pada pasien dengan jumlah sel tumor
yang besar terutama leukemia akut dan high grade lymphoma. Sindrom ini terjadi
akibat pelepasan mendadak komponen intraseluler kedalam sirkulasi akibat kematian
sejumlah besar sel maligna. Hal ini menyebabkan meningkatnya kalium secara cepat
dan gangguan ginjal progresif karena nefropati urat dan presipitasi fosfat. Peningkatan
produksi fosfat serum dapat disertai kejang hipokalsemik. Komplikasi lanjut termsuk
asidosis metabolik berat, aritmia, kematian mendadak. Tatalaksana emergensi yaitu
mengendalikan hiperkalemia, koreksi hipokalsemia, dan hiperhidrasi untuk mencegah
nefropati urat. Pasien ini harus dirawat diruang intensif karena akan membutuhkan
hemofiltrasi. Pasien dengan resiko tinggi sindrom lisis tumor harus mendapatkan
perawatan preventif sebelum kemoterapi atau intervensi anestesi. Perawatan
tersebutantara lain : hiperhidrasi, pemberian alopurinol dan alkalinasi urin. Enzim urat
21
oksidase rekombinan, rasburicase telah terbukti efektif sebagai profilaksis pada pasien
pediatri resiko tinggi. Tidak kalah penting juga bagi ahli anestesi adalah bahwa steroid
memiliki efek anti kanker yang poten dan telah ditunjukkan mencetuskan sindrom
lisis tumor secara tidak disengaja. Penggunaan steroid terutama dexamethason sebagai
antiemetik harus dihindari selama anestesi. (Oduro-Dominah and Brennan, 2013)
D. GANGGUAN HEMOSTASIS
1. Defisiensi faktor VIII kongenital (Hemofilia A)
Gen faktor VIII merupakan gen yang sangat besar pada kromosom X. Pasien
yang menderita hemofilia berat umumnya kehilangan sebagian besar genome X nya
atau terjadi mutasi yang menyebabkan penurunan aktivitas faktor VIII (yang kurang
dari 1 %). Mutasi lain, meliputi mutasi gen tertentu dan kehilangan gen minor,
umumnya menyebabkan penyakit yang lebih ringan. Pada beberapa pasien, protein
abnormal yang fungsional tetap diproduksi, yang menyebabkan perbedaan antara hasil
uji imunoglobulin antigen faktor VIII dan hasil pada aktivitas koagulasi faktor VIII.
(Oprea 2012).
Beratnya gejala hemofilia A terkait erat dengan tingkat aktivitas faktor VIII.
Pasien yang menderita hemofilia berat memiliki tingkat aktivitas faktor VIII yang
kurang dari 1 % dibandingkan normal dan biasanya terdiagnosis sejak masa kanak
kanak karena sering mengalami perdarahan sendi, otot, dan organ vital. Mereka
memerlukan penanganan dengan pemberian faktor VIII. (Oprea 2012) Normalnya,
aktivitas faktor VIII berkisar antara 50 hingga 150 %. Dikatakan menderita hemofilia
ringan bila aktivitas faktor VIII lebih dari 5 % dan moderat bila aktivitas faktor VIII
berkisar dari 1 hingga 5 %. (Klick 2012)
Penderita hemofilia tipe A biasanya memerlukan intervensi pembedahan untuk
episode perdarahannya (misalnya kraniotomi dekompresi untuk perdarahan
intrakranial maupun fasiotomi untuk meredakan gejala sindrom kompartemen).
Perdarahan intrakranial dan intraserebral merupakan penyebab kematian tersering
bagi penderita hemofilia A. Sebagian kasus perdarahan intrakranial pada hemofilia
terjadi secara spontan. (Klick 2012)
Diagnosis dan penanganan hemofilia tipe A diperoleh dengan pemeriksaan aPTT.
aPTT memanjang secara abnormal pada penderita hemofilia sedangkan pT, TT, waktu
perdarahan, jumlah platelet, dan fungsinya biasanya normal pada penderita hemofilia.
(Klick 2012; Oprea 2012). Hemofilia diterapi dengan pemberian konsentrat faktor
22
VIII yang bertujuan untuk mempertahankan tingkat aktivitas faktor VIII pada angka 3
% dari nilai normal untuk mencegah perdarahan intrakranial spontan dan
meminimalisir perdarahan intra artikuler. (Klick 2012)
Penanganan anestesi pada pasien hemofilia tipe A perlu mempertimbangkan jenis
pembedahan. Jika pasien akan menjalani pembedahan mayor, maka kadar faktor VIII
harus ditambah sebanyak mungkin hingga mendekati normal (100 %). Hal ini
memerlukan infus konsentrat faktor VIII. Karena waktu paruh faktor VIII sekitar 12
jam pada orang dewasa, maka diperlukan infus berulang setiap 8 hingga 12 jam untuk
menjaga kadar faktor VIII di atas 50 %. Pada anak, waktu paruh faktor VIII mungkin
hanya 6 jam, sehingga memerlukan infus ulangan yang lebih sering dan pemeriksaan
laboratorium untuk memastikan keberhasilan terapi. Terapi mesti diteruskan hingga 2
minggu pasca operatif untuk menghindari perdarahan post operatif yang akan
mengganggu penyembuhan luka. Periode lebih lama diperlukan bagi mereka yang
menjalani operasi tulang atau sendi. Bagi penderita hemofilia ringan, desmopressin
dapat diberikan secara intravena maupun intranasal. Inhibitor fibrinolitik seperti
EACA dan asam traneksamat dapat diberikan sebagai terapi tambahan untuk
mencegah perdarahan mukosa. (Oprea 2012) Selain itu, perlu menghindari
penggunaan NSAID (misalnya ibuprofen atau ketorolac) karena obat ini dapat
memicu gross hematuria spontan pada pasien hemofilia. Pasien yang akan menjalani
anestesi spinal harus diberikan faktor VIII hingga mencapai sekitar 100 %. (Klick
2012)
2. Defisiensi Faktor IX (Hemofilia B)
Defisiensi faktor IX yang juga disebut hemofilia B (penyakit Christmas),
menyebabkan gejala klinis yang menyerupai gejala hemofilia A. Keparahan penyakit
juga bergantung pada aktivitas faktor IX plasma; dimana pasien dengan aktivitas
kurang dari 1 % akan mengalami perdarahan sendi spontan, perdarahan intramuskular
spontan, dan juga gross hematuria. Diagnosis hemofilia B dibuat berdasarkan
pemeriksaan aPTT yang memanjang. Nilai aPTT akan terkoreksi jika plasma pasien
dicampur dengan plasma orang normal dalam jumlah yang sama. (Klick 2012) Nilai
PT biasanya normal (serupa dengan hemofilia A). (Oprea 2012)
Pedoman penanganan anestesi pasien hemofilia B tidak berbeda dengan
penanganan pasien hemofilia A. Konsentrat faktor IX yang murni atau rekombinan
digunakan untuk menangani episode perdarahan ringan atau diberikan sebagai
23
pembedahan. Perdarahan berat dapat diantisipasi pada pasien dengan kadar fibrinogen
plasma kurang dari 50 hingga 100 mg/dL. (Oprea 2012)
Penanganan anestesi dimulai saat preoperatif dimana kadar fibrinogen mesti
dikembalikan ke 50 hingga 100 mg/dL dengan memberikan infus kriopresipitat atau
konsentrat fibrinogen pooled derivat manusia. Lima hingga sepuluh unit kriopresipitat
diperlukan untuk meningkatkan kadar fibrinogen dari 50 hingga 100 mg/dL. Kadar
fibrinogen akan menetap selama 2 hingga 4 hari pasca infus. Setiap satu unit
kriopresipitat mengandung sekitar 250 hingga 300 mg fibrinogen dan diperkirakan
meningkatkan kadar fibrinogen plasma sebanyak 10 mg/dL. Jika kadar fibrinogen
tidak diketahui, dapat diberikan konsentrat fibrinogen sebanyak 70 mg/kgBB. (Klick
2012)
5. Disfibrinogenemia
Produksi fibrinogen yang abnormal merupakan kelainan yang lebih sering
ditemui daripada hipofibrinogenemia. Gejala klinis disfibrinogenemia sangatlah
bervariasi. Pasien yang menderita penurunan jumlah fibrinogen dan fibrinogen yang
disfungsional biasanya mengalami perdarahan masif. Sebagian besar pasien memiliki
pemeriksaan koagulasi yang abnormal tetapi tidak mempunyai kecenderungan
perdarahan. Secara keseluruhan, sekitar 60 % disfibrinogenemia tidak terdeteksi
secara klinis. (Oprea 2012) Uji laboratorium standar terhadap sistem koagulasi
(misalnya PT, aPTT, TT) biasanya memanjang walaupun kadar fibrinogen normal
karena defek fungsional fibrinogen sirkulasi. Waktu reptilasi seringkali memanjang
dan imunoelektroforesis fibrinogen menggunakan gel agarose dapat menemukan pola
migrasi protein yang abnormal. (Klick 2012)
Penanganan anestesi pasien disfibrinogenemia ditujukan untuk meningkatkan
kadar fibrinogen setidaknya 100 mg/dL menurut ukuran rata rata orang dewasa,
dimana 10 12 unit kriopresipitat harus diinfuskan, dilanjutkan 2 hingga 3 unit per
harinya. Penderita disfibrinogenemia dengan kecenderungan trombosis memerlukan
terapi antikoagulan jangka panjang (Oprea 2012) Dosis pemberian kriopresipitat sama
dengan dosis untuk afibrinogenemia. Fresh frozen plasma atau konsentrat fibrinogen
(misalnya Riastap) dapat pula diberikan untuk mengembalikan kadar fungsional
fibrinogen ke normal. (Klick 2012)
E. GANGGUAN KOAGULASI
25
peningkatan kadar enzim hepar (EL), dan rendahnya platelet (LP). Secara fisiologis,
HELLP menyerupai TTP. Akan tetapi dengan pengendalian hipertensi dan
berakhirnya persalinan biasanya cukup untuk menurunkan proses penyakit hingga 50
%. Meski demikian, sejumlah pasien dapat mengalami perburukan menjadi TTP pasca
persalinan dan TTP pasca persalinan ini merupakan penyakit ancaman jiwa dengan
prognosis yang buruk. Pengobatan dengan pertukaran plasma dan imunoglobulin
intravena dapat memberikan hasil yang bervariasi. (Oprea 2012)
Penanganan anestesi yang tepat terhadap kelainan penghancuran platelet bergantung
pada diagnosisnya. Pada pasien yang menderita DIC, transfusi plasma dan platelet
hanya bersifat suportif dan hanya efektif bila penyebab dasar DIC ditangani. Jika
penyebab primernya dikoreksi, kadar faktor koagulasi dan jumlah platelet akan
kembali pulih. Pasien dengan TTP harus diberikan transfusi platelet hanya bila terjadi
perdarahan mengancam jiwa. Karena pemberian transfusi dapat menyebabkan
peningkatan trombosis dan kerusakan organ akhir sekunder akibat aktivasi dan
agregasi platelet. Pembedahan sebaiknya ditunda bila memungkinkan hingga
penyebab dasarnya dapat ditangani. Sindrom HELLP, seperti halnya preeklampsia,
biasanya sembuh dengan persalinan fetus. Meskipun sejumlah kecil wanita akan
mengalami sindrom mirip TTP post partum. Pasien ini sebaiknya diobati dengan
pertukaran plasma. Respon pengobatan secara umum lebih jelek bila sudah terjadi
kerusakan organ akhir. (Oprea 2012)
3. Idiopathic Thrombocytopenic Purpura (ITP)
Trombositopenia yang tidak berkaitan dengan paparan obat, infeksi, atau penyakit
auto-imun secara umum dikelompokkan sebagai ITP. Diagnosa ini dapat dibuat hanya
dengan menyingkirkan semua penyebab lain kerusakan platelet. Sebagian besar orang
dewasa akan berlanjut mengalami ITP kronis dimana produksi platelet sumsum tulang
yang tinggi dibutuhkan untuk mempertahankan jumlah platelet rendah kronik.
Perdarahan masif tidak terjadi hingga jumlah platelet di bawah 10,000/mm 3. Penderita
ITP kronik dapat memiliki jumlah platelet 20,000 hingga 100,000/mm3. (Oprea 2012)
Penanganan anestesi untuk ITP berat yang berkaitan dengan perdarahan harus
ditangani sebagai kegawatdaruratan medis dengan pemberian kortikosteroid dosis
tinggi selama 3 hari pertama. Jika memerlukan operasi darurat atau adanya bukti
perdarahan intrakranial, pasien juga harus diberikan imunoglobulin intravena dan
transfusi platelet tiap 8 12 jam, berapapun jumlah plateletnya. Beberapa pasien yang
27
tidak berespon terhadap kortikosteroid dapat mengalami ITP kronis. Jika ITP menetap
selama lebih dari 3 4 bulan, maka pasien tersebut kemungkinan tidak bisa sembuh
spontan. Pada kasus ini, splenektomi sebaiknya dipertimbangkan jika jumlah platelet
kurang dari 10,000 20,000/mm3. Sekitar 50 % pasien akan mencapai remisi
permanen pasca splenektomi. Jika pasien ITP kronis akan menjalani splenektomi,
maka penting untuk memberikan imunisasi vaksin pneumococcal, meningococcal,
dan Haemophylus influenza untuk mengurangi resiko sepsis pasca splenektomi.
(Oprea 2012)
Penanganan untuk ITP kronis selama kehamilan memerlukan perhatian khusus.
Kebanyakan wanita penderita ITP kronis dapat ditangani selama kehamilan tanpa
menggunakan obat atau dengan sejumlah prednison, atau penggunaan intermitten
imunoglobulin intravena. Jika trombositopenia memberat, diperlukan dosis steroid
harian dan imunoglobulin intravena yang lebih tinggi, khususnya selama usia
kehamilan 2 3 minggu. Kebanyakan anak yang lahir memiliki jumlah platelet
normal. Jumlah platelet neonatus mungkin menurun selama 7 hari pasca persalinan
sehingga perlu dilakukan pemeriksaan berkala setiap 2 3 hari hingga jumlah platelet
meningkat. (Oprea 2012)
4. Penyakit von Willebrand (vWF)
Merupakan kelainan fungsi platelet yang disebabkan oleh defisiensi faktor von
Willebrand normal (vWF). vWD dapat menyebabkan kondisi hipokoagulabilitas yang
bermanifestasi sebagai episode perdarahan. vWF memiliki 2 peran utama pada proses
hemostasis. Pertama, vWF bekerja sebagai jembatan antara reseptor platelet dan
kolagen pada endotelium yang rusak. vWF memungkinkan platelet untuk membentuk
sumbatan primer pada endotel yang rusak dan mencetuskan proses hemostasis pada
lokasi pembuluh darah yang cedera. vWF juga bekerja sebagai jembatan antara
reseptor platelet, khususnya antara reseptor glikoprotein IIb/IIIa, yang memungkinkan
agregasi platelet. Kedua, vWF yang bersirkulasi dalam plasma menghasilkan ikatan
kompleks dengan faktor VIII dan memberikan proteksi terhadap faktor VIII terhadap
kerusakan proteolitik. (Klick 2012)
Penderita vWF moderat atau berat cenderung mengalami perdarahan abnormal selama
masa kanak kanak. Gejala vWD meliputi mudah memar, epistaksis, dan perdarahan
dari membrana mukosa. Menoragia dan perdarahan saluran cerna yang mengancam
nyawa juga dapat terjadi pada vWD. Prosedur pembedahan juga dapat dikaitkan
28
dengan perdarahan masif pasien vWD. Diagnosis vWD bersifat kompleks dan dibuat
berdasarkan pemeriksaan laboratorium, meliputi antigen vWF, aktivitas vWF,
aktivitas faktor VIII, dan waktu perdarahan. Pemeriksaan ini dilanjutkan dengan
beberapa rangkaian untuk menentukan klasifikasi vWD. (Klick 2012)
Penggunaan NSAID selanjutnya dapat mengganggu fungsi platelet yang telah ada
sebelumnya dan oleh karenanya, dikontraindikasikan pada vWD. Tujuan pengobatan
pada masa perioperatif adalah untuk meningkatkan aktivitas vWF dan faktor VIII
hingga 50 100 % normal. Penggunaan agen hemostatik topikal juga dapat memicu
hemostasis pada pasien vWF. Konsentrat vWF intravena dapat diberikan pada pasien
yang tidak berespon terhadap terapi desmopressin. Meskipun tidak ada rekomendasi
blok neuraksial pada vWF, sebaiknya tetap dipertimbangkan akan kemungkinan
munculnya hematoma spinal atau epidural. (Klick 2012)
F. TERAPI ANTITROMBOTIK
Agen antitrombotik meliputi 5 subkategori obat: unfractionated heparin (UFH), lowmolecular weight heparin (LMWH), inhibitor activated faktor X, direct thrombin
inhibitor, dan kumarin. Agen antitrombotik digunakan untuk mengobati atau mencegah
kejadian trombosis. (Klick 2012).
UFH, bekerja dengan antitrombin. Kompleks heparin antitrombin memungkinkan
peningkatan kemampuan heparin 1000-kali lipat untuk menghambat faktor II
(protombin) dan aktivitas faktor X. hasil kerja UFH adalah supresi kaskade koagulasi,
seperti yang tercermin dari pemanjangan APTT dan ACT (activated clotting time). Waktu
paruh efek antikoagulan UFH diperkirakan mencapai 1,5 jam tanpa tergantung dosis
yang diberikan. Waktu tunggu selama 4 jam pasca penghentian terapi UFH mungkin
diperlukan untuk mencapai nilai APTT kurang dari 35 detik, mengindikasikan
berkurangnya efek antikoagulan UFH, sebelum memulai prosedur pembedahan elektif
atau melakukan blok neuraksial. Secara alternatif, protamin sulfat IV dapat diberikan
untuk menetralisir efek antikoagulan UFH dengan cepat. Pada prakteknya, protamin
diberikan dalam kisaran 0,7 1,3 mg untuk 100 Unit UFH, atau secara alternatif dosis
protamin dapat dititrasi dengan memberikan dosis kecil (25 50 mg) dan pemeriksaan
ACT atau APTT diperlukan untuk mengetahui apakah nilainya sudah normal atau belum.
(Klick 2012)
LMWH dikembangkan untuk menciptakan antitrombotik yang tidak memerlukan
pengawasan untuk insufisiensi renal. Diproduksi dari UFH melalui proses pengurangan
29
ukuran rantai polisakarida molekul heparin, yang menghasilkan molekul lebih kecil
dengan aktivitas anti faktor X yang poten. Waktu paruh eliminasi beberapa preparat
LMWH mencapai 3 5 jam sehingga waktu tunggu 24 jam pasca pemberian diperlukan
sebelum prosedur bedah elektif maupun anestesi neuraksial. (Klick 2012)
Inhibitor aktivasi faktor X, fondaripanux (Arixtra) berinteraksi dengan antitrombin
dalam perannya sebagai anti koagulan. Ketika terikat dengan antitrombin, kompleks
fondaripanux antitrombin secara selektif meningkatkan kemampuan antitrombin untuk
menghambat pengaktifan faktor X sekitar 300 kali lipat. Waktu paruh eliminasinya 17
21 jam. Tidak ada rekomendasi definitif terhadap obat ini sebelum melakukan anestesi
neuraksial, meskipun dianjurkan menggunakan tehnik insersi dengan jarum atraumatik
dan menghindari penggunaan kateter. Dianjurkan menunda pembedahan elektif selama 4
hari pasca penghentian obat karena terdapat metabolisme minimal dan rute utama
eliminasinya melalui ginjal. (Klick 2012)
Direct thrombin inhibitor (DTI) meliputi dabigatran (Pradaxa), lepirudin (Refludan),
argatroban, desirudin (Iprivask), dan bivalirudin (Angiomax). Bekerja dengan terikat
pada trombin bebas atau clotnya sehingga menghambat konversi fibrinogen menjadi
fibrin. (Gambar 4). Obat ini diberikan untuk mengobati atau mencegah kejadian
trombotik, meliputi penanganan pasien yang menjalani intervensi koroner perkutaneus.
Waktu paruh masing masing obat juga bervariasi (Tabel 4). Meskipun belum ada
anjuran tentang penghentian dan waktu operasi, penanganan konservatif menganjurkan
waktu tunggu selama 5 kali waktu paruh eliminasi pasca penghentian obat infus kontinyu
sebelum dilakukan tindakan bedah elektif maupun anestesi neuraksial. Tidak ada
antidotum untuk DTI. DTI yang tersedia di Amerika Serikat memiliki waktu paruh
sekitar 17 jam pada pasien dengan fungsi ginjal normal, sehingga penghentian obat ini
sekitar 4 5 hari diperlukan sebelum melakukan prosedur anestesi regional maupun
neuraksial. (Klick 2012)
Waktu paruh
30 51 menit
25 menit
48 120 menit
11 17 jam
30
kateter epidural.
Jika pasien menggunakan stent metal, tunggu 6
Ticlopidin
Clopidrogel
Prasugrel
terakhir obat.
Interval 7 10 hari antara tindakan neuraksial dan
Abciximab
Tirofiban / Eptifibatide
terakhir obat.
Interval 8 10 jam antara tindakan neuraksial dan
Ticagrelor
Cilostazol
terakhir obat.
Interval 5 hari antara tindakan neuraksial dan dosis
Unfractionated Heparin
terakhir obat.
Interval 4 jam antara tindakan neuraksial dan dosis
LMWH
Fondaparinux
Rivaroxaban
Apixaban
33
BAB III
KESIMPULAN
Tiap komponen darah dapat mengalami gangguan, gangguan pada struktur darah maupun
sistem homeostasis dan trombosis dapat mempengaruhi tindakan anestesi yang akan
dilakukan. Sebagian besar pembedahan elektif sebaiknya ditunda hingga kondisi hematologi
pasien sudah terkoreksi kecuali bila dilakukan pembedahan darurat. Evaluasi pre operatif
penting dilakukan oleh tim anestesi, bedah, serta ahli hematologi untuk mencegah komplikasi
yang dapat terjadi pada saat intraoperatif maupun pasca operatif. Pemeriksaan penunjang
dilakukan sesuai dengan kebutuhan dan jenis pembedahan yang akan dilakukan.
Gangguan hematologi yang sering dijumpai sebagian besar merupakan kelainan bawaan /
kongenital, sehingga penderita biasanya sudah menderita gejala jauh sebelum berobat ke RS.
Perdarahan merupakan keluhan tersering penderita ini datang berobat ke RS, apalagi jika
34
hendak menjalani operasi. Perlu dilakukan penanganan yang tepat dan pertimbangan yang
bijak mengenai waktu pembedahan yang optimal bagi penderita dengan melihat manfaat dan
resiko yang akan timbul. Oleh karenanya, seluruh tim multidisiplin dokter diwajibkan bekerja
komprehensif dan terintegrasi dalam penanganan pasien ini.
Untuk pasien yang mengkonsumsi obat anti koagulan, diperlukan penghentian obat
sebelum dilakukan tindakan pembedahan dan anestesi (terutama anestesi regional).
Dikarenakan komplikasi perdarahan yang lebih besar bila obat ini tetap dikonsumsi. Waktu
tunggu dan saat pembedahan yang tepat disesuaikan dengan jenis obat anti koagulan yang
dikonsumsi. Hal ini berkaitan dengan waktu paruh eliminasi obat obat tersebut di atas.
DAFTAR PUSTAKA
Baron DM, Hochrieser MP. 2014. Preoperative anaemia is assosiated with poor clinical
outcome in non-cardiac surgery patients. BJA 113 (3) : 416-23.
Fonseca NB, Alves RR, Pontes JPJ. 2014. SBA Recommendations for Regional Anesthesia
Safety in Patients Taking Anticoagulants. Revisa Brasileria De Anestesiologica 64 (1); pp. 115
Im H., et al. 2015. Anesthetic Management of a Patient with Polycythemia Vera Undergoing
Emergency Repair of a Type-A Aortic Dissection and Concomitant Coronary Artery Bypass
Grafting, a Case Report. Korean J Anesthesiol 2015 December 68(6): 608-612.
http://dx.doi.org/10.4097/kjae.2015.68.6.608
35
Klick JC, Avery EG. 2012. Chapter 16 Anesthetic Considerations for the Patient With
Anemia and Coagulation Disorder. In: Longnecker DE, Brown DL, Newman MF, and Zapol
WM. Anesthesiology 2nd edition. New York: McGraw-Hill; pp. 205-12.
Oduro-Dominah, L. and Brennan, L. 2013. Anaesthetic management of the child
withhaematological malignancy. Contin Educ Anaesth Crit Care Pain, 13(5), pp.158-164.
Oprea AD. 2012. Chapter 20 Hematologic Disorders. In: Hines RL, Marschall KE.
Stoeltings Anesthesia and Co-Existing Disease 6th edition. Philadelphia: Elsevier Saunders;
pp. 421-9.
Orphananesthesia. 2014. Anesthesia recommendations for patients suffering from Sickle Cell
Disease. Erlangen: German Society of Anesthesiology and Intensive Care Medicine.
Ruggeri M, et al. 2011. Postsurgery outcomes in patients with polycythemia vera and
essential thrombocythemia: a retrospective survey. Blood, 111(2), pp.666-671.
Sherwood, L. 2011. Human Physiology: From Cell to System. Belmont: Cengage.
Scrace
and
Mcgregor
K.
2013.
Anaesthetic
Considerations
for
Paediatric
Haemoglobin
36