Anda di halaman 1dari 10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Minyak atsiri


Minyak atsiri adalah zat berbau yang terkandung dalam tanaman. Minyak
ini disebut juga minyak menguap, minyak eteris, minyak esensial karena pada
suhu kamar mudah menguap. Istilah esensial dipakai karena minyak atsiri
mewakili bau dari tanaman asalnya. Dalam keadaan segar dan murni, minyak
atsiri umumnya tidak berwarna. Namun, pada penyimpanan lama minyak atsiri
dapat teroksidasi. Untuk mencegahnya, minyak atsiri harus disimpan dalam
bejana gelas yang berwarna gelap, diisi penuh, ditutup rapat, serta disimpan di
tempat yang kering dan sejuk (Gunawan & Mulyani, 2004).
2.1.1 Lokalisasi minyak atsiri
Minyak atsiri terkandung dalam berbagai organ, seperti didalam rambut
kelenjar (pada famili Labiatae), di dalam sel-sel parenkim (misalnya famili
Piperaceae), di dalam rongga-rongga skizogen dan lisigen (pada famili Pinaceae
dan Rutaceae).
Minyak atsiri dapat terbentuk secara langsung oleh protoplasma akibat
adanya peruraian lapisan resin dari dinding sel atau oleh hidrolisis dari glikosida
tertentu (Gunawan & Mulyani, 2004).
2.1.2 Penggunaan dan Aktivitas Biologi Minyak Atsiri
Pada tanaman, minyak atsiri mempunyai tiga fungsi yaitu: membantu
proses penyerbukan dan menarik beberapa jenis serangga atau hewan, mencegah

Universitas Sumatera Utara

kerusakan tanaman oleh serangga atau hewan, dan sebagai cadangan makanan
bagi tanaman (Sudaryani & Sugiharti, 1998).
Minyak atsiri digunakan sebagai bahan baku dalam berbagai industri,
misalnya industri parfum, kosmetika, farmasi, bahan penyedap (flavoring agent)
dalam industri makanan dan minuman (Ketaren, 1985).
2.1.3 Komposisi kimia minyak atsiri
Pada umumnya perbedaan komposisi minyak atsiri disebabkan perbedaan
jenis tanaman penghasil, kondisi iklim, tanah tempat tumbuh, umur panenan,
metode ekstraksi yang digunakan dan cara penyimpanan minyak.
Minyak atsiri biasanya terdiri dari berbagai campuran persenyawaan kimia
yang terbentuk dari unsur Karbon (C), Hidrogen (H), dan oksigen (O). Pada
umumnya komponen kimia minyak atsiri dibagi menjadi dua golongan yaitu: 1)
Hidrokarbon, yang terutama terdiri dari persenyawaan terpen dan 2) Hidrokarbon
teroksigenasi.
a. Golongan hidrokarbon
Persenyawaan yang termasuk golongan ini terbentuk dari unsur Karbon
(C) dan Hidrogen (H). Jenis hidrokarbon yang terdapat dalam minyak atsiri
sebagian besar terdiri dari monoterpen (2 unit isopren), sesquiterpen (3 unit
isopren), diterpen (4 unit isopren) dan politerpen.
b. Golongan hidrokarbon teroksigenasi
Komponen kimia dari golongan persenyawaan ini terbentuk dari unsure
Karbon (C), Hidrogen (H) dan Oksigen (O). Persenyawaan yang termasuk dalam
golongan ini adalah persenyawaan alcohol, aldehid, keton, ester, eter, dan fenol.
Ikatan karbon yang terdapat dalam molekulnya dapat terdiri dari ikatan tunggal,

Universitas Sumatera Utara

ikatan rangkap dua, dan ikatan rangkap tiga. Terpen mengandung ikatan tunggal
dan ikatan rangkap dua.
Senyawa terpen memiliki aroma kurang wangi, sukar larut dalam alkohol
encer dan jika disimpan dalam waktu lama akan membentuk resin. Golongan
hidrokarbon teroksigenasi merupakan senyawa yang penting dalam minyak atsiri
karena umumnya aroma yang lebih wangi. Fraksi terpen perlu dipisahkan untuk
tujuan tertentu, misalnya untuk pembuatan parfum, sehingga didapatkan minyak
atsiri yang bebas terpen (Ketaren, 1985).
2.2 Cara isolasi minyak atsiri
Isolasi minyak atsiri dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu: 1)
penyulingan (distillation), 2) pengepresan (pressing), 3) ekstraksi dengan pelarut
menguap (solvent extraction), 4) ekstraksi dengan lemak.
2.2.1 Metode penyulingan
a. Penyulingan dengan air
Pada metode ini, bahan tanaman yang akan disuling mengalami kontak
langsung dengan air mendidih. Bahan dapat mengapung di atas air atau
terendam secara sempurna, tergantung pada berat jenis dan jumlah bahan
yang disuling. Ciri khas model ini yaitu adanya kontak langsung antara
bahan dan air mendidih. Oleh karena itu, sering disebut penyulingan
langsung.
Penyulingan dengan cara langsung ini dapat menyebabkan banyaknya
rendemen minyak yang hilang (tidak tersuling) dan terjadi pula penurunan
mutu minyak yang diperoleh.

Universitas Sumatera Utara

b. Penyulingan dengan uap


Model ini disebut juga penyulingan uap atau penyulingan tak langsung.
Pada prinsipnya, model ini sama dengan penyulingan langsung. Hanya
saja, air penghasil uap tidak diisikan bersama-sama dalam ketel
penyulingan. Uap yang digunakan berupa uap jenuh atau uap kelewat
panas dengan tekanan lebih dari 1 atmosfer.
c. Penyulingan dengan air dan uap
Pada model penyulingan ini, bahan tanaman yang akan disuling diletakkan
di atas rak-rak atau saringan berlubang. Kemudian ketel penyulingan diisi
dengan air sampai permukaannya tidak jauh dari bagian bawah saringan.
Ciri khas model ini yaitu uap selalu dalam keadaan basah, jenuh, dan tidak
terlalu panas. Bahan tanaman yang akan disuling hanya berhubungan
dengan uap dan tidak dengan air panas (Lutony & Rahmayati, 1994).
2.2.2 Metode pengepresan
Ekstraksi minyak atsiri dengan cara pengepresan umumnya dilakukan
terhadap bahan berupa biji, buah, atau kulit buah yang memiliki kandungan
minyak atsiri yang cukup tinggi. Akibat tekanan pengepresan, maka sel-sel yang
mengandung minyak atsiri akan pecah dan minyak atsiri akan mengalir ke
permukaan bahan. Contohnya minyak atsiri dari kulit jeruk dapat diperoleh
dengan cara ini (Ketaren, 1985).
2.2.3 Ekstraksi dengan pelarut menguap
Prinsipnya adalah melarutkan minyak atsiri dalam pelarut organik yang
mudah menguap. Ekstraksi dengan pelarut organik pada umumnya digunakan
mengekstraksi minyak atsiri yang mudah rusak oleh pemanasan uap dan air,

Universitas Sumatera Utara

terutama untuk mengekstraksi minyak atsiri yang berasal dari bunga misalnya
bunga cempaka, melati, mawar, dan kenanga.
Pelarut yang umum digunakan adalah petroleum eter, karbon tetra klorida
dan sebagainya (Ketaren, 1985).
2.2.4 Ekstraksi dengan lemak padat
Proses ini umumnya digunakan untuk mengekstraksi bunga-bungaan,
untuk mendapatkan mutu dan rendeman minyak atsiri yang tinggi. Metode
ekstraksi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu enfleurasi dan maserasi.
2.3 Kunyit (Curcuma domestica Val.)
Kunyit dikenal dengan nama ilmiah Curcuma domestica. Di berbagai
daerah, kunyit mempunyai nama yang berbeda-beda, seperti runyit untuk daerah
Aceh, kunyir di daerah Palembang, koneng temcu di daerah Jawa Barat, kunyit
atau kunir di daerah Jawa Timur, konyek di Madura, janar di Kalimantan Selatan,
lawahu di Gorontalo, uni di daerah Toraja, nikwai di daerah Irian Jaya, kunidi di
Sulawesi Utara, kumino di daerah Ambon, dan rame di daerah Riau.
Urutan sistematika tumbuhan kunyit adalah sebagai berikut.
Kingdom

: Plantae

Divisio

: Spermatophyta

Kelas

: Monocotyledon

Subkelas

: Zingiberidae

Ordo

: Zingiberales

Famili

: Zingiberaceae

Genus

: Curcuma

Species

: Curcuma domestica

(Hayati, 2003)

Universitas Sumatera Utara

2.4 Analisa Komponen Minyak Atsiri dengan GC-MS


Analisa komponen minyak atsiri merupakan masalah yang cukup rumit
karena minyak atsiri mengandung campuran senyawa dan sifatnya yang mudah
menguap pada suhu kamar. Setelah ditemukannya kromatografi gas (GC), kendala
dalam analisis komponen minyak atsiri mulai dapat diatasi. Pada penggunaan GC,
efek penguapan dapat dihindari bahkan dihilangkan sama sekali. Perkembangan
teknologi instrumentasi yang pesat akhirnya dapat menghasilkan suatu alat yang
merupakan gabungan dua system dengan prinsip dasar yang berbeda satu sama
lain tetapi saling melengkapi, yaitu gabungan antara kromatografi gas dan
spectrometer massa. Kromatografi gas berfungsi sebagai alat pemisah berbagai
campuran komponen dalam sampel sedangkan spectrometer massa berfungsi
untuk mendeteksi masing-masing komponen yang telah dipisahkan pada
kromatografi gas (Agusta, 2000).
2.4.1 Kromatografi gas
Kromatografi gas digunakan untuk memisahkan komponen campuran
kimia dalam suatu bahan, berdasarkan perbedaan polaritas campuran. Fase gerak
akan membawa campuran sampel menuju kolom. Campuran dalam fase gerak
akan berinteraksi dengan fase diam. Setiap komponen yang terdapat dalam
campuran berinteraksi dengan kecepatan yang berbeda dimana interaksi
komponen dengan fase diam dengan waktu yang paling cepat akan keluar pertama
dari kolom dan yang paling lambat akan keluar paling akhir (Eaton, 1998).
Waktu yang menunjukkan berapa lama suatu senyawa tertahan di kolom
disebut waktu tambat (waktu retensi) yang diukur mulai saat penyuntikan sampai
saat elusi terjadi (Gritter, dkk., 1991).

Universitas Sumatera Utara

Menurut Eaton (1989), hal yang mempengaruhi waktu retensi yaitu:


1. Sifat senyawa, semakin sama kepolaran dengan kolom dan makin kurang
keatsiriannya maka akan tertahan lebih lama di kolom dan sebaliknya.
2. Sifat adsorben, semakin sama kepolaran maka senyawa akan semakin
lama tertahan dan sebaliknya.
3. Konsentrasi adsorben, semakin banyak adsorben maka senyawa semakin
lama tertahan dan sebaliknya.
4. Temperatur kolom, semakin rendah temperatur maka senyawa semakin
lama tertahan dan sebaliknya.
5. Aliran gas pembawa, semakin kecil aliran gas maka senyawa semakin
lama tertahan dan sebaliknya.
6. Panjang kolom, semakin panjang kolom akan menahan senyawa lebih
lama dan sebaliknya.
Bagian utama dari kromatografi gas adalah gas pembawa, sistem injeksi,
kolom, fase diam, suhu dan detektor.
2.4.1.1 Gas Pembawa
Gas pembawa harus memenuhi persyaratan antara lain harus inert, murni,
dan mudah diperoleh. Pemilihan gas pembawa tergantung pada detektor yang
dipakai. Keuntungannya adalah karena semua gas ini harus tidak reaktif, dapat
dibeli dalam keadaan murni dan kering yang dapat dikemas dalam tangki
bertekanan tinggi. Gas pembawa yang sering dipakai adalah helium (He), argon
(Ar), nitrogen (N 2 ), hidrogen (H 2 ), dan karbon dioksida (CO 2 ) (Agusta, 2000).

Universitas Sumatera Utara

2.4.1.2 Sistem Injeksi


Cuplikan dimasukkan kedalam ruang suntik melalui gerbang suntik,
biasanya berupa lubang yang ditutupi dengan septum atau pemisah karet. Ruang
suntik harus dipanaskan tersendiri, terpisah dari kolom, dan biasanya pada suhu
10-15oC lebih tinggi dari suhu maksimum. Jadi seluruh cuplikan diuapkan segera
setelah disuntikkan dan dibawa ke kolom (Gritter, dkk., 1991).
2.4.1.3 Kolom
Ada dua macam kolom, yaitu kolom kemas dan kolom kapiler (Agusta,
2000; McNair and Bonelli, 1988).
Kolom kemas adalah pipa yang terbuat dari logam, kaca atau plastic yang
berisi penyangga padat yang inert. Fase diam, baik berwujud padat maupun cair
diserap atau terikat secara kimia pada permukaan penyangga padat tersebut.
Kolom kapiler banyak digunakan untuk menganalisis komponen minyak
atsiri. Hal ini disebabkan oleh kelebihan kolom tersebut yang memberikan hasil
analisis dengan daya pisah tinggi dan sekaligus memiliki sensitivitas yang tinggi.
Bahan kolom biasanya dari gelas baja tahan karat atau silica. Fase cair berupa
lapisan film dilapiskan pada dinding kolom bagian dalam. Secara umum
keuntungan penggunaan kolom kapiler adalah jumlah sampel yang dibutuhkan
sedikit dan pemisahan lebih sempurna (Agusta, 2000).
2.4.1.4 Fase diam
Fase diam dibedakan berdasarkan kepolarannya, yaitu non polar, sedikit
polar, polar, semi polar dan sangat polar. Berdasarkan sifat minyak atsiri yang
nonpolar sampai sedikit polar maka untuk keperluan analisis sebaiknya digunakan

Universitas Sumatera Utara

kolom dengan fase diam yang bersifat sedikit polar, misalnya SE-52 dan SE-54
(Agusta, 2000).
2.4.1.5 Suhu
Tekanan uap sangat bergantung pada suhu, maka suhu merupakan factor
utama dalam GC. Pada GC-MS terdapat tiga pengendali suhu yang berbeda, yaitu:
suhu injektor, suhu kolom, suhu detektor.
Suhu injector
Suhu injector harus cukup panas untuk menguapkan cuplikan dengan cepat
sehingga tidak menghilangkan keefisienan cara penyuntikan. Tetapi sebaliknya,
suhu harus cukup rendah untuk mencegah peruraian atau penataan ulang akibat
panas (McNair and Bonelli, 1988).
Suhu kolom
Suhu kolom harus cukup tinggi sehingga analisis dapat diselesaikan dalam
waktu yang sesuai, dan harus cukup rendah sehingga terjadi pemisahan.
Umumnya semakin rendah suhu kolom, semakin tinggi koefisien partisi dalam
fase diam sehingga hasil pemisahan semakin baik. Pada beberapa hal tidak dapat
digunakan suhu kolom yang rendah, terutama bila cuplikan terdiri atas senyawa
dengan rentangan titik didih yang lebar, untuk itu suhu perlu diprogram.
Suhu detektor
Detektor harus cukup panas sehingga cuplikan dan air atau hasil samping
yang terbentuk pada proses pengionan tidak mengembun (McNair and
Bonelli,1988).

Universitas Sumatera Utara

2.4.1.6 Detektor
Menurut McNair dan Bonelli (1988) ada dua detektor yang popular yaitu
detektor hantar-thermal (DHB) dan detektor pengion nyala (DPN).
2.4.2 Spektrometri massa
Spektrometri massa adalah suatu teknik analisis yang didasarkan pada
pemisahan berkas-berkas ion yang sesuai dengan perbandingan massa dengan
muatan dan pengukuran intensitas dari berkas-berkas ion tersebut. Molekul
senyawa organik pada spectrometer massa ditembak dengan berkas elektron dan
menghasilkan ion bermuatan positif yang mempunyai energi yang tinggi karena
lepasnya elektron dari molekul yang dapat pecah menjadi ion yang lebih kecil.
Spectrum massa merupakan gambar antara limpahan relatif lawan perbandingan
massa/muatan (Sastrohamidjojo, 1985).
Spektrometer massa terdiri dari sistem pemasukan cuplikan, ruang
pengion dan percepatan, tabung analisis, pengumpul ion dan penguat, dan
pencatat.
Keuntungan utama spektrometri massa sebagai metode analisis yaitu
metode ini lebih sensitif dan spesifik untuk identifikasi senyawa yang tidak
diketahui atau untuk menetapkan keberadaan senyawa tertentu. Hal ini disebabkan
adanya pola fragmentasi yang khas sehingga dapat memberikan informasi
mengenai bobot molekul dan rumus molekul. Puncak ion molekul penting
dikenali karena memberikan bobot molekul senyawa yang diperiksa. Puncak
paling kuat pada spektrum, disebut puncak dasar (base peak), dinyatakan dengan
nilai 100% dan kekuatan puncak lain, termasuk puncak ion molekulnya
dinyatakan sebagai persentase puncak dasar tersebut (Silverstein, 1985).

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai