Anda di halaman 1dari 10

KERUSAKAN EKOSISTEM

TUGAS MATA PELAJARAN IPA

SALSABILA ISNANI
KELAS VI SHUHAIB

SDIT FITRAH INSANI


2014

KERUSAKAN EKOSISTEM

| Membawa Dampak Negatif Bagi Lingkungan


Ekosistem hutan mengalami ancaman berupa penebangan hutan
(deforestasi), fragmentasi dan konversi menjadi bentuk pemanfaatan
lain. Berdasarkan data Bank Dunia 2001 diperkirakan bahwa kerusakan
hutan di Indonesia mencapai 1,6 juta ha per tahun atau tiga ha per menit
hingga dua juta ha per tahun. Jika penggundulan hutan terjadi secara
terus menerus, maka akan mengancam spesies flora dan fauna dan
merusak sumber penghidupan masyarakat. Pembukaan jalan dalam
kawasan yang dilindungi lebih banyak membawa dampak negatif bagi
lingkungan.

Indonesia mempunyai lahan basah (termasuk hutan rawa gambut)


terluas di Asia, yaitu 38 juta ha yang tersebar mulai dari bagian timur
Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, Maluku sampai Papua. Tetapi
luas lahan basah tersebut telah menyusut menjadi kurang lebih 25,8 juta
ha (Suryadiputra, 1994).

Penyusutan lahan basah dikarenakan berubahnya fungsi rawa sebesar


37,2 persen dan mangrove 32,4 persen. Luas hutan mangrove berkurang
dari 5,2 juta ha tahun 1982 menjadi 3,2 juta ha tahun 1987 dan menciut
lagi menjadi 2,4 juta ha tahun 1993 akibat maraknya konversi mangrove
menjadi kawasan budi daya (Suryadiputra, 1994, Dahuri et al, 2001).

Luas terumbu karang Indonesia diduga berkisar antara 50.020 Km2


(Moosa dkk, 1996 dalam KLH,2002) hingga 85.000 Km2 (Dahuri
2002). Hanya sekitar 6 persen terumbu karang dalam kondisi sangat
baik, diperkirakan sebagian terumbu karang Indonesia akan hilang
dalam 10-20 tahun dan sebagian lainnya akan hilang dalam 20-40 tahun.

Rusaknya terumbu karang mempunyai dampak pada masyarakat pesisir,


misalnya berkurangnya mata pencaharian nelayan kecil.

Kepunahan Spesies
Satu spesies diperkirakan punah setiap harinya (KMNLH, 1997).
Inventarisasi yang dilakukan oleh badan-badan internasional, seperti
International Union for Conservation of Nature and Natural Resources
(IUCN) dapat dijadikan indikasi tentang keterancaman spesies. Pada
1988 sebanyak 126 spesies burung, 63 spesies binatang lainnya
dinyatakan berada di ambang kepunahan (BAPPENAS, 1993).

Pada 2002, Red data List IUCN menunjukan 772 jenis flora dan fauna
terancam punah, yaitu terdiri dari 147 spesies mamalia,114 burung, 28
reptilia, 68 ikan, 3 moluska, dan 28 spesies lainnya serta 384 spesies
tumbuhan. Salah satu spesies tumbuhan yang baru-baru ini juga
dianggap telah punah adalah ramin (Gonystylus bancanus). Spesies
tersebut sudah dimasukkan ke dalam Appendix III Convention of
International Trade of Endengered Species of Flora and Fauna
(CITES).Sekitar 240 spesies tanaman dinyatakan mulai langka,

diantaranya banyak yang merupakan kerabat dekat tanaman budidaya.


Paling tidak 52 spesies keluarga anggrek (Orchidaceae) dinyatakan
langka.

Kepunahan jenis di Indonesia terutama disebabkan oleh degradasi


habitat (deforestasi, perubahan peruntukan lahan), bencana (kebakaran),
eksploitasi secara tidak bijaksana (perburuan/pemanenan liar) dan
masuknya spesies asing invasif serta perdagangan satwa liar.

Perdagangan satwa liar menjadi ancaman serius bagi kelestarian satwa


liar Indonesia. Lebih dari 90 persen satwa yang dijual di pasar adalah
hasil tangkapan dari alam, bukan hasil penangkaran. Lebih dari 20
persen satwa yang dijual di pasar mati akibat pengangkutan yang tidak
layak. Berbagai jenis satwa dilindungi dan terancam punah masih
diperdagangkan secara bebas diIndonesia, seperti orangutn, penyu,
beberapa jenis burung, harimau Sumatera dan beruang.

Semakin langka satwa tersebut semakin mahal pula harganya. Pada


tahun 2002 sekitar 1.000 ekor orangutan diburu dari hutan Kalimantan
untuk diperdagangkandan juga diselundupkan ke luar negeri. Menurut
Yayasan Gibbon, jumlah orangutan di Indonesia saat ini sekitar 14.000
ekor. Di beberapa daerah, telah terjadi kepunahan lokal beberapa
spesies, seperti lutung Jawa di beberapa daerah di Banyuwangi.

Untuk perdagangan penyu, dunia internasional telah memberikan


perhatiannya sejak lima belastahun terakhir. Tahun 1990-an, beberapa
lembaga internasional seperti Greenpeace telah mempublikasikan
terjadinya perdagangan dan pembantaian ribuan penyu per tahun di Bali.
Isu boikot pariwisata terhadap Bali pun mencuat sebagai respon dari
kepedulian masyarakat internasional terhadap nasib malang penyupenyu yang bebas diperdagangkan di Bali.

Kemudian isu boikot pariwisata Bali semakin mereda seiring dengan


berjalannya waktu dan munculnya isu yang mengatakan bahwa
perdagangan penyu di Bali telah menurun. Namun investigasi ProFauna
Indonesia di tahun 1999 membuktikan bahwa perdagangan penyu di Bali
masih berlangsung. ProFauna Indonesia mencatat ada sekitar 9000 ekor
penyu yang diperdagangkan hanya dalam kurun waktu empat bulan,
yaitu Mei hingga Agustus 2001.

Kemudian untuk jenis burung yang diperdagangkan sebanyak 47 persen


burung paruh bengkok yang diperdagangkan adalah termasuk jenis yang
dilindungi, antara lain Cacatua sulphurea, Cacatua gofini, Eclectus
roratus, Lorius lory, dan Cacatua galerita. Jenis burung yang paling
banyak diperdagangkan adalah Lorius lory.

Penyebab Kerusakan Ekosistem

Interaksi yang dinamis namun harmonis antara mahluk hidup dan


lingkungannya akan membentuk suatu tatanan ekosistem yang
seimbang. Kondisi ini akan berujung pada keselarasan hidup semua
organisme di bumi. Komponen abiotik dan juga biotik yang menjadi dua
unsur penting dalam tatanan ekosistem saling terkait satu sama lainnya.

Keterkaitan ini menjadikan interaksi di antara mereka tak bisa


dipisahkan. Namun, keseimbangan tersebut akan bermuara pada
kerusakan ekosistem dimana lingkungan bukan lagi tempat yang
nyaman bagi organisme tersebut untuk tinggal dan hidup. Kerusakan
ekosistem ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor penyebab.

FaktorAlamiah
Faktor alamiah merupakan penyebab kerusakan ekosistem yang terjadi
murni karena musabab alam. Misalnya saja gempa bumi, terjadinya
kebakaran hutan akibat cuaca, bajir, longsor, tsunami dan masih banyak
lagi lainnya. Sederet peristiwa tersebut memicu terjadinya perubahan
ekosistem misalnya saja saat Gunung Merapi di wilahyah Jawa Tengah
meletus, maka kerusakan ekosistem di sekitar Merapi tak bisa
dihindarkan. Mahluk hidup baik itu hewan dan tumbuhan bahkan
manusia bisa mati. Hal tersebut sama saja dengan peristiwa semacam
gempa dan banjir, akan berakibat pada terganggunya kestabilan
ekosistem. Sebagai sebuat kesatuan, maka jika dalam sebuah ekosistem
terdapat 1 organisme yang mati maka akan berpengaruh pada keadaan
organisme lainnya.

Faktor Manusia

Faktor penyebab terjadinya kerusakan ekosistem lainnya disebabkan


oleh berbagai aktifitas manusia. Manusia sebagai salah satu organisme
atau mahluk hidup dalam sebuah ekosistem tentu memerlukan kehadiran
organisme lainnya. Untuk memenuhi kebutuhannya tersebut maka
manusia melakukan sejumlah kegiatan yang justru berperan dalam
kerusakan lingkungan di sekitarnya. Sebut saja penebangan pohon
secara berlebihan, pembakaran hutan dalam rangka pembukaan lahan
untuk bertani, penangkapan ikan dengan menggunakan racun, terapi
kejut juga bom, penggunaan bahan-bahan kimia yang berlebihan dalam
pertanian, kebiasaan membuang sampah yang tak bisa diurai sampai
ribuan tahun, aktifitas tertentu yang menghasilkan limbah kimia yang
berbahaya bagi lingkungan seperti limbah rumah tangga, limbah
pertanian,

limbah

industri

dan

masih

banyak

lagi

lainnya.

Salah satu hal yang marak saat ini disoroti adalah pemburuan liar yang
dilakukan oleh manusia terhadap hewan. Dahulu, perburuan atau
penangkapan dilakukan hanya untuk alasan konsumsi, maka dewasa ini
perburuan juga dilakukan dengan tujuan relaksasi. Misalnya saja
beruang diburu karena ingin diambil bulunya, harimau dibunuh karena
bulunya bisa diambil sebagai bahan garmen, demikian pula dengan
gajah yang ditembaki agar gadingnya bisa diambil. Jika pemburuan liar
ini semakin menjadi-jadi, maka akan terjadi kelangkaan hewan dan
berakibat

pada

ketidakseimbangan

ekosistem.

Kerusakan ekosistem merupakan kabar yang sangat buruk bagi semua


mahluk hidup sebab mereka seperti mata rantai yang saling
membutuhkan satu sama lainnya. Misalnya saja berkurangnya pohon
akan membuat sejumlah hewan kehilangan rumahnya, akan membuat
kualitas udara semakin buruk, akan memicu terjadinya bencana alam
semacam banjir dan juga longsor. Berbeda dengan musabab alamiah,
faktor manusia ini bisa dihindari dengan pola prilaku yang lebih cermat
dan bersahabat dengan alam tentunya.

Anda mungkin juga menyukai