This entry was posted on February 27, 2011, in About Zainurrahman and tagged konsep
wajah dalam pragmatik, pragmatik, teori kesantunan berbahasa, teori kesopanan berbahasa.
Bookmark the permalink. 5 Comments
KESANTUNAN DALAM BERBAHASA
(Telaah Pragmatik atas Konsep Wajah dalam Kesantunan Berbahasa)
Zainurrahman, S.S., M.Pd
Latar Belakang
Kesantunan dalam berbahasa mungkin merupakan horison baru dalam berbahasa, dan
sampai saat ini belum dikaji dalam konstelasi linguistik; terkecuali dalam telaah pragmatik.
Kesantunan dalam berbahasa, meskipun disebut sebagai horison baru, namun sudah
mendapatkan perhatian oleh banyak linguis dan pragmatisis. Misalnya Aziz (2000) yang
meneliti bagaimana cara masyarakat Indonesia melakukan penolakan dengan melalui ucapan,
yang menurutnya mengandung nilai-nilai kesantunan tersendiri. Hal ini sekaligus
menunjukkan bahwa terdapat bidang baru dalam kajian kebahasaan, bukan hanya dari aspek
tata bahasa, bukan pula dari aspek psikososial, namun juga dari aspek etika.
Sebagai bidang baru dalam kajian kebahasaan, khususnya bahasa dalam penggunaan
(language in use), kesantunan (politeness) dalam berbahasa seyogiyanya mendapatkan
perhatian, baik oleh pakar atau linguis, maupun para pembelajar bahasa. Selain itu, penting
juga bagi setiap orang untuk memahami kesantunan berbahasa ini, karena manusia yang
kodratnya adalah makhluk berbahasa senantiasa melakukan komunikasi verbal yang sudah
sepatutnya beretika.
Meskipun dalam ilmu pragmatik kesantunan berbahasa baru mulai mendapatkan perhatian,
konsep etika berbahasa ini sudah bisa dibilang lama bersemayam dalam komunikasi verbal
masyarakat manapun. Kesantunan berbahasa, secara tradisional, diatur oleh norma-norma dan
moralitas masyarakat, yang diinternalisasikan dalam konteks budaya dan kearifan lokal. Tata
krama berbahasa antara yang muda dan yang tua, sudah lama hidup dalam komunikasi
verbal, yang justru mulai sirna mengikuti arus negatif westernisasi, yang membawa ideologi
liberal.
Konsep kesantunan dalam berbahasa tradisional itu sudah saatnya dibaca kembali secara
teoretis, agar terjadi penyegaran ideologi mengenai bagaimana seharusnya bahasa itu
digunakan, agar santun. Tulisan ini akan memberikan pandangan teoretis mengenai ihwal
kesantunan berbahasa, yang mana dapat dijadikan acuan untuk kembali melakukan refleksi
atas penggunaan bahasa sehari-hari. Refleksi untuk melihat nilai kesantunan dalam
penggunaan bahasa sehari-hari terbilang penting, dimana bahasa bukan hanya sebagai
instrumen komunikasi, melainkan juga ajang realisasi diri yang santun dan beretika.
Bersikap atau berbahasa santun dan beretika juga bersifat relatif, tergantung pada jarak sosial
penutur dan mitra tutur. Selain itu, makna kesantunan dan kesopanan juga dipahami sama
secara umum; sementara itu, kedua hal tersebut sebenarnya berbeda. Istilah sopan merujuk
pada susunan gramatikal tuturan berbasis kesadaran bahwa setiap orang berhak untuk
dilayani dengan hormat, sementara santun itu berarti kesadaran mengenai jarak sosial
(Thomas, 1995).
Jika norma-norma dalam tradisi lokal menanamkan kesantunan dalam berbahasa, mungkin
belum terjadi pemilahan antara kesopanan (deference) dan kesantunan (politeness). Sebuah
teori yang akan disuguhkan berikut ini adalah teori kesantunan berbahasa yang diadopsi dari
tradisi moral Cina yang dikembangkan oleh Konfusius dan diteorisasikan oleh Goffman,
Brown, dan Levinson. Teori yang diulas singkat ini, serta contoh-contoh dari data empiris
diharapkan membuka cakrawala berfikir kita mengenai kesantunan berbahasa.
Teori Kesantunan Bebahasa
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa tulisan ini mengandung pandangan
teoretis mengenai kesantunan berbahasa Konfusius, maka berikut ini akan diulas secara
singkat mengenai teori tersebut.
Teori Wajah oleh Goffman, Brown, dan Levinson
Menurut Brown dan Levinson (1987), yang mana terinspirasi oleh Goffman (1967),
bahwasanya bersikap santun itu adalah bersikap peduli pada wajah atau muka, baik milik
penutur, maupun milik mitra tutur. Wajah, dalam hal, ini bukan dalam arti rupa fisik,
namun wajah dalam artian public image, atau mungkin padanan kata yang tepat adalah
harga diri dalam pandangan masyarakat.
Konsep wajah ini berakar dari konsep tradisional di Cina, yang dikembangkan oleh
Konfusius terkait dengan nilai-nilai kemanusiaan (Aziz, 2008). Pada wajah, dalam tradisi
Cina, melekat atribut sosial yang merupakan harga diri, sebuah penghargaan yang diberikan
oleh masyarakat, atau dimiliki secara individu. Wajah, merupakan pinjaman masyarakat,
sebagaimana sebuah gelar akademik yang diberikan oleh sebuah perguruan tinggi, yang
kapan saja bisa ditarik oleh yang memberi. Oleh karena itu, si pemilik wajah itu haruslah
berhati-hati dalam berprilaku, termasuk dalam berbahasa.
Jika Goffman (1967) menyebutkan bahwa wajah adalah atribut sosial, maka Brown dan
Levinson (1987) menyebutkan bahwa wajah merupakan atribut pribadi yang dimiliki oleh
setiap insan dan bersifat universal. Dalam teori ini, wajah kemudian dipilah menjadi dua
jenis: wajah dengan keinginan positif (positive face), dan wajah dengan keinginan negatif
(negative face). Wajah positif terkait dengan nilai solidaritas, ketakformalan, pengakuan, dan
kesekoncoan. Sementara itu, wajah negatif bermuara pada keinginan seseorang untuk tetap
mandiri, bebas dari gangguan pihak luar, dan adanya penghormatan pihak luar terhadap
kemandiriannya itu (Aziz, 2008:2). Melihat bahwa wajah memiliki nilai seperti yang telah
disebutkan, maka nilai-nilai itu patut untuk dijaga, dan salah satu caranya adalah melalui pola
berbahasa yang santun, yang tidak merusak nilai-nilai wajah itu.
Kesantunan itu sendiri memiliki makna yang berbeda dengan kesopanan. Kata sopan
memiliki arti menunjukkan rasa hormat pada mitra tutur, sedangkan kata santun memiliki arti
berbahasa (atau berprilaku) dengan berdasarkan pada jarak sosial antara penutur dan mitra
tutur. Konsep wajah di atas benar-benar berkaitan dengan persoalan kesantunan dan bukan
kesopanan. Rasa hormat yang ditunjukkan melalui berbahasa mungkin berakibat santun,
artinya, sopan berbahasa akan memelihara wajah jika penutur dan mitra tutur memiliki jarak
sosial yang jauh (misalnya antara dosen dan mahasiswa, atau anak dan ayah). Meskipun
demikian, bersikap santun dalam berbahasa seringkali tidak berakibat sopan, terlebih lagi jika
penutur dan mitra tutur tidak memiliki jarak sosial yang jauh (teman sekerja, konco, pacar,
dan sebagainya). Untuk lebih memahami konsep wajah ini, berikut akan saya suguhkan
contoh-contoh, baik wajah positif maupun negatif, dalam konsep kesantunan berbahasa.
Wajah Positif (Positive Face)
Sebagaimana telah disebutkan bahwa wajah positif berkaitan dengan nilai-nilai keakraban
antara penutur dan mitra tutur. Perhatikan contoh percakapan dua orang sopir angkot berikut
ini (mohon maaf jika contoh ini mengandung kata-kata kasar):
Sopir A: Mus, ngana so dapa kabar mengenai ngana pe STNK yang polisi tahan tuh? (Mus,
apakah kamu sudah mendapatkan kabar mengenai STNK kamu yang ditahan polisi itu?)
Sopir B: E pamabo, sejak kapan ngana faduli kita pe hal? Bolong ini, tara tau dong so
bakar ka apa itu (eh.. pemabuk, sejak kapan kamu peduli persoalanku? Belum nih, tidak
tahu mungkin mereka sudah bakar)
Sopir A: Ce me itu lucur kasana doi barang 150 la dorang urus sudah (Ah kasih saja
uang 150 biar mereka urus secepatnya)
Sopir B: Ya astaga ngana kira polisi itu ngana pe papa mantu? Kita so coba tapi dorang
tara mau. (Astaga, kamu pikir polisi itu mertua kamu? Sudah aku coba, tapi mereka tidak
mau).
Sejenak jika dilihat, percakapan singkat antara dua sopir angkot ini terkesan kasar, tidak
sopan. Mungkin sebagian berpendapat bahwa wajar mereka berkomunikasi seperti ini,
dengan alasan bahwa mereka adalah teman dekat, dan mungkin berpendidikan rendah. Tidak
ada yang salah dengan pendapat-pendapat ini. Dari aspek kesopanan, cara mereka
berkomunikasi memang ganjil; tetapi dari aspek kesantunan, melalui konsep wajah positif,
cara berkomunikasi ini adalah untuk memelihara wajah masing-masing.
Tuturan sopir B memiliki muatan positif agar jarak keakraban antara mereka (sopir A dan
sopir B) terjaga. Tuturan sopir B, dengan mengatakan pemabuk adalah untuk menunjukan
kedekatan jarak sosial, rasa kekoncoan (camaraderie), sehingga secara psikologis tidak ada
jarak pula. Kedekatan jarak sosial yang direfleksi oleh penggunaan bahasa semacam di atas
memiliki nilai wajah positif. Seandainya sopir B merespon pertanyaan sopir A dengan irama
sopan semacam belum ada kabar pak maka tentu saja jarak sosial antara mereka menjadi
renggang, dan wajah mereka terancam.
Maksud dari mengancam wajah (face threatening) adalah mengancam jatidiri sebagai sahabat
dekat, konco, dan sebagainya. Isu sentral dari mengancam wajah adalah kerenggangan jarak
sosial yang diakibatkan oleh penggunaan bahasa yang relatif tidak santun, atau tidak
memenuhi kaidah-kaidah konsep wajah positif. Mengenai pengancaman wajah (face
threatening act) ini akan diulas kemudian.
Wajah Negatif (Negative Face)
Berbeda dengan wajah positif, yang mana penutur dan mitra tutur mengharapkan terjaganya
nilai-nilai keakraban, ketakformalan, kesekoncoan, maka wajah negatif ini dimana penutur
dan mitra tutur mengharapkan adanya jarak sosial. Perhatikan contoh percakapan antara dua
orang penumpang angkot yang tidak saling kenal antara satu sama lain di bawah ini:
Penumpang A: Maaf e, tanya sadiki, Sasa tu masih jao ka? (maaf yah, numpang tanya,
apakah Sasa masih jauh dari sini?)
Penumpang B: Wadoh mas, ini skarang so sampe di Kastela. Memangnya mas mo turun
dimana kong? (Wah mas, ini sekarang sudah sampai di Kastela. Memangnya mas mau turun
dimana?)
Penumpang A: Saya tadi bilang di sopir turun di Sasa, maaf nih, jadi Sasa masih jao ka?
(Saya tadi bilang ke sopir kalau saya mau turun di Sasa, maaf, jadi apakah Sasa masih jauh?)
Penumpang B: Bukannya masih jao mas, tapi so lewat jao. Mangkali lebe bae mas turun
disini saja, nanti baru nae oto dari bawa saja, nanti bilang turun di Sasa. (Bukannya masih
jauh mas, tapi sudah kelewat jauh. Mungkin lebih baik mas turun disini saja, nanti naik
angkot lagi dari selatan, nanti bilang turun di Sasa).
Penumpang A: Wah, tarima kasih e? (waduh, terima kasih yah?)
Penumpang B: Sama-sama mas (terima kasih kembali mas).
Sangat terlihat jelas bahwa kedua partisipan (penutur dan mitra tutur) dalam percakapan ini
menunjukkan ketidakakraban, atau keformalan. Ini bisa dilihat dari penggunaan kata maaf
yang diulang sebanyak dua kali oleh penumpang A. Penggunaan dan pengulangan
penggunaan kata maaf oleh penumpang A ini untuk menjaga wajah negatif penumpang B.
Artinya, penumpang A tidak ingin terkesan akrab dan sesuka hati, dan tidak ingin
mengganggu wilayah individu penumpang B.
Demikian pula dengan penggunaan kata mas yang berulang-ulang oleh penumpang B, yang
merupakan sapaan sopan untuk penumpang A yang dicurigai sebagai pendatang, bukan
masyarakat asli. Dengan menggunakan dan mengulang kata mas, penumpang B berusaha
untuk menunjukkan bahwa dia menghargai jatidiri penumpang A sebagai individu yang
dihargai atribut individualnya, termasuk sebagai pendatang dan bukan masyarakat asli.
Melalui dua contoh yang menjelaskan dua konsep wajah di atas, jelaslah bahwa dalam
berbahasa, kita harus senantiasa mempertimbangkan jarak sosial antara kita dan mitra tutur.
Kesantunan berbahasa bukan terletak pada diksi, melainkan terletak pada tingkat keakraban
atau jarak sosial, termasuk usia, gender, strata sosial, dan strata akademik.
Pengancaman Wajah (Face Threatening Act)
Sebagaimana telah dijelaskan dengan berbagai contoh, kesantunan (dan kesopanan)
berbahasa dapat diartikan sebagai sebuah penunjukan mengenai kesadaran terhadap wajah
orang lain (Yule, 2006:104). Wajah seseorang akan mengalami ancaman ketika seorang
penutur menyatakan sesuatu yang mengandung ancaman terhadap harapan-harapan individu
yang berkenaan dengan nama baiknya sendiri (hal.106).
Pengancaman wajah melalui tindak tutur (speech act) akan terjadi jikalau penutur dan mitra
tutur sama-sama tidak berbahasa sesuai dengan jarak sosial. Perhatikan contoh berikut ini,
dimana terjadi interaksi antara tetangga yang berusia sudah tua dan yang masih muda:
Tua: He so malam deng apa kong baribut sampe, tarada rumah ka? (Heh ini kan sudah
malam, kok ribut banget? Tidak ada rumah ya?)
Muda: Saya, om. Maaf lagi (Saya, om. Kami minta maaf).
Dalam konteks interaksi seperti di atas, penutur tua melakukan pengancaman wajah dengan
mengatakan tidak ada rumah ya? ini disebut pengancaman wajah karena jarak sosial (usia
dan mungkin juga jarak keakraban) antara mereka jauh. Bahkan, hal ini bukan hanya
mengancam wajah mitra tutur muda, bahkan wajah penutur tua itu sendiri. Hal ini disebabkan
oleh jatuhnya harga diri sosial dengan menggunakan pernyataan yang kasar.
Respon dari mitra tutur muda merupakan tindak penyelamatan wajah (face saving act); yaitu
dengan cara melakukan kesantunan negatif dengan mengeluarkan pernyataan yang
menunjukkan kesadaran atas jarak sosial dan wajah negatif penutur tua. Artinya, mitra tutur
muda menyadari keinginan wajah penutur tua untuk merdeka dan memiliki hak untuk tidak
terganggu.
Pengancaman terhadap wajah ini juga bersifat positif dan juga negatif. Jika penutur dan
mitra tutur memiliki jarak sosial dekat, maka pengancaman wajah bersifat negatif. Sementara
itu, jika penutur dan mitra tutur memiliki jarak sosial yang jauh, maka pengancaman wajah
bersifat positif.
Intinya, wajah positif adalah keinginan partisipan untuk diterima oleh mitra tutur
sebagaimana kedekatan sosial antara mereka; wajah negatif adalah keinginan untuk bebas
dari interfensi, tekanan, atau gangguan dari pihak lain, termasuk mitra tutur. Jika keinginan
wajah positif tidak tercapai dalam bertutur, maka ancamannya pada wajah positif. Dan jika
keinginan wajah negatif tidak tercapai, maka ancamannya pada wajah negatif. Konsekuensi
logis dari ancaman wajah ini adalah kehilangan wajah (loosing face), atau dengan istilah
sederhana adalah malu atau hilang harga diri.
Kesimpulan
Melalui pembahasan dalam tulisan di atas, dapat kita simpulkan bahwa berbahasa santun itu
sendiri merupakan kesadaran timbal-balik, bahwa kita senantiasa ingin mitra tutur kita
berekspresi sebagaimana cara kita sebagai penutur berekspresi. Di lain sisi, teori kesantunan
berbahasa juga menekankan agar kita senantiasa berekspresi sebagaimana kita ingin mitra
tutur kita berekspresi terhadap diri kita.
Kesantunan berbahasa bersentral pada jarak sosial, yang mana sekaligus mengatur tata krama
berbahasa kita. Santun berarti tidak mengancam wajah, tidak menyatakan hal-hal yang
bermuatan ancaman terhadap harga diri seseorang, atau tidak mencoreng wajah seseorang
atau wajah diri sendiri.
Daftar Pustaka
The major cause of passengers fatality is head injuries, which account for more than half of
all car-related fatalities. This Usually occurs when occupants are thrown out of the vehicle or
when they hit the car seta or dashboard.
An accident is not just a collison between two vehicles; there is a chain reaction that happens
inside the vehicle. Bear in mind that you are traveling as fast as the cra and when the collison
occurs the car stops, but you continue to travel at the same speed. In such an emergency, your
seat belt is your only speed breaker.
During a collison between two vehicles, if seat belts are not used, the back passenger will be
thrown against the front seat, while the front passengers will crash into the windshield. Due
to the speed at which the passenger is traveling, the internal organs will collide against the
skeletal frame, causing various internal injuries.
Umbrellas, heavy tools, bags and even loose change in the car can be hazardous during an
accident, as these may fly and hit the passengers.
By retaining the body in the original position during a crash, front seat passengers can reduce
the risk of fatal injury by 45%, and the risk of moderate to critical injury by 50%. The seat
belt also help the drivers to control the car in the event of a crash, as it holds him in place.
Dipetik daripada The Star 12 September 2007
Dicatat oleh Mohd Rashid Darham di 7:51 PTG Tiada ulasan:
Proses transformasi ayat dasar inilah yang melahirkan ayat-ayat yang bermula dengan
kategori frasa lain, termasuk FS. Proses transformasi yang dapat menjana ayat-ayat sebegini
ialah penyongsangan, iaitu pendepanan konstituen predikat atau sebahagian daripada
unsurnya ke pangkal ayat.
Tatabahasa Dewan Edisi Baharu (TDEB) ada menjelaskan proses pendepanan atau
penjudulan predikat untuk membentukkan ayat songsang ini. Dalam ayat berpredikat FS,
seluruh FS (berhuruf condong) berkenaan dapat dipindahkan ke pangkal ayat. Antara contoh
yang diberikan oleh TDEB adalah seperti (1-3) yang berikut:
(1) a. Barang-barang itu untuk ibu.
b. Untuk ibu barang-barang itu.
(2) a. Surat itu daripada Ali.
b. Daripada Ali surat itu.
(3) a. Arahan itu kepada pekerjanya.
b. Kepada pekerjanya arahan itu.
Dalam ayat yang predikatnya mempunyai keterangan yang bermula dengan FS pula, FS
(berhuruf condong) ini boleh dibawa ke pangkal ayat. Dalam hal ini, antara contoh yang
diberikan oleh TDEB adalah seperti (4-6) yang berikut:
(4) a. Kaum Muslimin wajib bertawakal kepada Allah.
b. Kepada Allah kaum Muslimin wajib bertawakal.
(5) a. Encik Ali akan menghadiri kursus itu pada hujung minggu ini.
b. Pada hujung minggu ini Encik Ali akan menghadiri kursus itu.
(6) a. Pejuang-pejuang itu merempuh ke dalam kota.
b. Ke dalam kota pejuang-pejuang itu merempuh.
Begitu juga ayat yang predikatnya terdiri daripada frasa kerja (FK) tak transitif berpelengkap
yang pelengkapnya terdiri daripada FS, seluruh FS (berhuruf condong) ini boleh dibawa ke
pangkal ayat. Contohnya adalah seperti (7-9) yang berikut:
(7) a. Siti pergi ke sekolah.
b. Ke sekolah Siti pergi.
(8) a. Bapa berada di pejabat.
b. Di pejabat bapa berada.
(9) a. Saya berasal dari kampung.
b. Dari kampung saya berasal.
Kegramatisan (1b-3b), (4b-6b) dan (7b-9b) membukti bahawa ayat boleh dimulai dengan FS,
dan hal ini bukanlah sesuatu yang luar biasa sehingga dapat menimbulkan keraguan dan
kekeliruan pula.
Kefahaman kedua pula cetek kerana ia melihat FN pada strukturnya sahaja, tidak pada
fungsinya. Sebenarnya kategori frasa lain, termasuk FK dan FS sendiri, dapat berfungsi
sebagai FN. Sebagai FN, frasa-frasa ini dapat mengisi konstituen subjek ayat. Contoh (10-12)
yang berikut, yang dikutip daripada TDEB, menunjukkan bahawa FK (berhuruf condong)
dapat berfungsi sebagai FN dan mengisi konsituen subjek pada pangkal ayat.
(14) c. Mewujudkan budaya membaca dalam kalangan rakyat ialah tujuan kempen itu.
(15) b. Memahami pendiriannya adalah susah.
Alasannya ialah frasa membantu rakyat termiskin asalnya ialah tanggungjawab membantu
rakyat termiskin, frasa mewujudkan budaya membaca pula asalnya ialah matlamat
mewujudkan budaya membaca sementara frasa memahami pendiriannya asalnya ialah
usaha memahami pendiriannya.
Alasan ini memang ada asasnya tetapi frasa tanggungjawab membantu rakyat termiskin
boleh juga dibentukkan dengan memasukkan KS untuk menjadi tanggungjawab untuk
membantu rakyat termiskin. Begitu juga frasa matlamat mewujudkan budaya membaca
dan usaha memahami pendiriannya, yang boleh dibentukkan dengan menyisipkan KS
untuk menjadi matlamat untuk mewujudkan budaya membaca dan usaha untuk
memahami pendiriannya. Hal ini tidak melanggar mana-mana rumus tatabahasa dalam
pembentukan FN. Dalam TDEB misalnya, ada dijelaskan bahawa salah satu cara
pembentukkan FN adalah dengan menderetkan FS sebagai sebahagian anggota FN tersebut.
Sebagai contoh, FN (16a-18a) boleh juga dibentukkan menjadi (16b-18b).
(16) a. Baju ibu.
b. Baju untuk ibu.
(17) a. Sumbangan hartawan itu.
b. Sumbangan daripada hartawan itu.
(18) a. Radio kereta.
b. Radio pada kereta.
Dengan penjelasan ini, kedua-dua bentuk iaitu (13-15) dan (13c, 14c dan 15b) harus diterima
sebagai gramatis. Penerimaan dalam hal-hal seperti ini perlu supaya tatabahasa BM,
khususnya tatabahasa baku, tidak dianggap terlalu ketat sehingga meningkatkan
kemungkinan pengguna melakukan kesalahan.
Walau bagaimanapun perlu juga diingatkan bahawa memang ada kebiasaan ayat dimulai
dengan FS yang menyebabkan ayat berkenaan tidak gramatis. Sebagai contoh perhatikan ayat
(19) yang berikut:
(19) *Dengan kehadiran tuan-tuan akan menyerikan lagi majlis ini.
Frasa dengan kehadiran tuan-tuan tidak dapat berfungsi sebagai FN kerana ia bukan
sebahagian FN yang intinya digugurkan. Begitu juga ia bukan ayat songsang kerana ayat
asalnya tidak ada. Untuk mengubah FS dengan kehadiran tuan-tuan menjadi FN, kata sendi
dengan perlu digugurkan. Oleh itu ayat (19) seharusnya ditulis sebagai (19a).
(19) a. Kehadiran tuan-tuan akan menyerikan lagi majlis ini.
Kehadiran tuan-tuan ialah FN. Oleh itu ia boleh mengisi konstituen subjek pada pangkal
ayat. Sekiranya FS dengan kehadiran tuan-tuan hendak digunakan, struktur yang gramatis
ialah (19b) yang berikut:
(19) b. Dengan kehadiran tuan-tuan majlis ini akan berseri lagi.
(19b) ialah ayat songsang, iaitu seluruh FS keterangan dengan kehadiran tuan-tuan dibawa
diberi perhatian. Pertama, kata bilangan se (satu) mesti disertai oleh penjodoh bilangan (3ac) tetapi tidak demikian halnya dengan kata bilangan lain (4a-c).
(3) a. Seorang pelajar.
a. *Satu pelajar.
b. Seekor kucing.
b. *Satu kucing.
c. Sebuah rumah.
c. *Satu rumah.
(4) a. Dua orang pelajar.
a. Dua pelajar.
b. Tiga ekor kucing.
b. Tiga kucing.
c. Sepuluh buah rumah.
c. Sepuluh rumah.
Kejanggalan (3a-c) menunjukkan bahawa penjodoh bilangan mesti hadir bersama kata
bilangan se (satu) dalam pembentukan FN. Sebaliknya kejituan (4a-c) menunjukkan
bahawa kehadiran penjodoh bilangan hanya bersifat opsyenal bagi kata bilangan selain se
(satu)..
Kedua, FN yang telah sedia menerima kehadiran kata bilangan se (satu) dan penjodoh
bilangan tidak boleh lagi menerima kehadiran kata tunjuk (5a-c) tetapi tidak demikian halnya
dengan FN yang menerima kata bilangan lain (6a-c).
(5) a. *Seorang pelajar itu.
b. *Seekor kucing ini.
c. *Sebuah rumah itu.
(6) a. Dua orang pelajar itu.
b. Tiga ekor kucing ini.
c. Sepuluh buah rumah itu.
Kejanggalan (5a-c) menunjukkan bahawa kata tunjuk tidak boleh hadir pada FN yang telah
sedia menerima kehadiran kata bilangan se (satu) dan penjodoh bilangan. Sebaliknya
kejituan (6a-c) menunjukkan bahawa kata tunjuk boleh hadir pada FN yang telah sedia
menerima kehadiran kata bilangan selain se (satu) dan penjodoh bilangan.
Ketiga, FN yang dihitung dalam bentuk kumpulan (7a), timbangan (7b), ukuran (7c) dan
sukatan (7d) tidak boleh menerima kehadiran penjodoh bilangan.
(7) a. Sekumpulan pelajar.
a. *Sekumpulan orang pelajar.
b. Sekilo daging lembu.
b. *Sekilo ketul daging lembu.
c. Sepuluh meter kain.
c. *Sepuluh meter helai kain.
d. Segantang beras.
d. *Segantang biji beras.
1.4 Fungsi dalam Ayat
FN mempunyai pelbagai fungsi dalam binaan ayat. Tiga fungsi utamanya adalah sebagai
subjek, predikat dan objek kata kerja transitif. Fungsinya yang lain adalah sebagai pelengkap
kata kerja tak transitif dan unsur keterangan.
1.4.1 Sebagai Subjek
(8) Siti pergi ke sekolah.
Siti dalam (8) ialah FN yang berfungsi sebagai subjek ayat. (9a-e) ialah contoh lain FN
(berhuruf tebal) yang berfungsi sebagai subjek ayat.
(9) a. Abangnya juruterbang.
b. Osman penyanyi terkenal.
c. Pukulannya sungguh kuat.
d. Kami pelajar tingkatan enam.
e. Ini kawasan bangunan Parlimen.
Nota: Subjek ayat MESTI terdiri daripada FN.
1.4.2 Sebagai Predikat.
(10) Siti pelajar USM.
Pelajar USM dalam (10) ialah FN yang berfungsi sebagai predikat ayat. (11a-c) ialah
contoh lain FN (berhuruf tebal) yang berfungsi sebagai predikat ayat.
(11) a. Beliau Pengarah Pendidikan Negeri.
b. Ahmad guru.
c. Budak itu murid saya.
1.4.3 Sebagai Objek Kata Kerja Transitif
(12) Siti memandu kereta.
Kereta dalam (12) ialah objek kata kerja transitif memandu.
Nota: Objek kata kerja tak transitif MESTI terdiri daripada FN atau klausa. (13) ialah contoh
objek kata kerja transitif (berhuruf tebal) yang terdiri daripada klausa.
(13) Dia menegaskan bahawa masalah ini mesti diselesaikan dengan segera.
1.4.4 Sebagai Pelengkap Kata Kerja Tak Transitif
(14) Siti menjadi pensyarah USM sejak 10 tahun lalu.
Pensyarah USM dalam (14) ialah pelengkap kata kerja tak transitif menjadi. (15) ialah
contoh lain FN (berhuruf tebal) yang berfungsi sebagai pelengkap kata kerja tak transitif.
(15) Hang tuah bersenjatakan keris Taming Sari.
Nota: Hanya sebilangan kecil pelengkap kata kerja tak transitif yang terdiri daripada FN.
Pelengkap berbeza daripada objek kata kerja transitif kerana ia tidak boleh melalui
proses pemasifan.
1.4.4 Sebagai Unsur Keterangan
(16) Mereka bermain bola di padang.
Bola dalam (12) ialah keterangan bagi kata kerja bermain. Sebagai unsur keterangan,
Kehadiran FN adalah tidak wajib. Dengan kata lain, tanpa kehadiran bola, ayat (16) tetap
gramatis.
(16) Mereka bermain di padang.
(17a-c) ialah contoh lain FN (berhuruf tebal) yang berfungsi sebagai keterangan ayat.
(17) a. Kanak-kanak itu berbaju Melayu.
b. Kegemarannya bermain bola.
c. Mereka belajar bahasa Jepun.
1.5 Perkara-perkara Penting mengenai FN
FN yang berfungsi sebagai predikat ayat tidak boleh menerima kehadiran kata bilangan dan
penjodoh bilangan.
(18) a. *Beliau seorang Pengarah Pendidikan Negeri.
b. *Ahmad seorang guru.
c. *Budak itu seorang murid saya.
Sebaliknya FN yang berfungsi sebagai predikat ayat mempunyai ciri FK, iaitu ia boleh
menerima kehadiran kala. Contohnya ialah (19a-c) yang berikut:
(19) a. Kamu akan dewasa suatu hari nanti.
b. Siti sudah remaja.
c. Mereka masih suami isteri.
Satu lagi perkara penting yang perlu diketahui mengenai FN yang berfungsi sebagai predikat
ayat adalah berkenaan penggunaan kata pemeri ialah. Dalam ayat yang predikatnya ialah
FN (berhuruf tebal), ialah boleh disisipkan antara subjek dengan predikat. Contohnya ialah
(20a-c) yang berikut:
(20) a. Beliau ialah pelajar universiti.
b. Kucing ialah haiwan kesayangan.
bantu aspek dan kata bantu ragam. Rumus menyatakan bahawa frasa nama pelaku dengan
kata kerja tidak boleh dipisahkan oleh sebarang unsur, termasuk kata bantu aspek dan kata
bantu ragam. Ayat dikira tidak gramatis jika terdapat kata bantu yang mengisi posisi antara
frasa nama pelaku dengan kata kerja. Oleh itu, (3a-c) adalah gramatis manakala (4a-c) adalah
sebaliknya.
(3) a. Hendak saya baca buku itu.
b. Akan kamu lihat kebaikannya.
c. Belum kita bincangkan cadangan itu.
(4) a. *saya hendak baca buku itu.
b. *Kamu akan lihat kebaikannya.
c. *Kita belum bincangkan cadangan itu.
4.3.3.1 Mesti Menceritakan Kebaikannya, Jangan Mendedahkan tentang Keburukannya
Struktur ayat yang mengandungi kata kerja transitif ialah SKO (Subjek + Kata Kerja +
Objek). Objek ayat mesti terdiri daripada frasa nama. Dengan kata lain, kata kerja transitif
mesti diikuti terus oleh frasa nama. (5a-c) ialah contoh ayat yang berstruktur sebegini.
(5) a. Kita mesti menceritakan kebaikan kawan kita.
b. Ahli-ahli parlimen membahaskan usul tersebut.
c. Para penyelidik itu membentangkan hasil kajian mereka.
Dalam (5a-c), kata kerja transitif menceritakan, membahaskan dan membentangkan
masing-masing diikuti terus oleh objek, iaitu frasa nama kebaikan kawan kita, usul
tersebut dan hasil kajian mereka. Oleh itu, (5a-c) adalah gramatis.
Jika struktur ini tidak dipatuhi, ayat (6a-c) yang dijana tidak gramatis.
(6) a. *Kita mesti menceritakan tentang kebaikan kawan kita.
b. *Ahli-ahli parlimen membahaskan tentang usul tersebut.
c. *Para penyelidik itu membentangkan tentang hasil kajian mereka.
Kehadiran kata praposisi tentang telah mengubah struktur ayat (6a-c) daripada SKO
menjadi SKP. Keadaan ini menyebabkan ayat-ayat tersebut tidak gramatis.
4.3.4.1 Mesti Pergi ke Sekolah, Jangan Pergi Sekolah
Bagi sebahagian besar ayat yang mengandungi kata kerja tak transitif berpelengkap,
strukturnya ialah SKP (Subjek + Kata Kerja + Praposisi). Dengan kata lain, kata kerja tak
transitif tersebut mesti diikuti terus oleh kata praposisi. (7) ialah contoh ayat yang berstruktur
sebegini.
(7) Sarah pergi ke sekolah.
Jika struktur ini tidak dipatuhi, ayat (7) yang dijana tidak gramatis.
(7) *Sarah pergi sekolah.
Ketidakhadiran kata praposisi ke telah mengubah struktur ayat (7) daripada SKP menjadi
SKO. Keadaan ini menyebabkan ayat (7) tidak gramatis.
Dicatat oleh Mohd Rashid Darham di 7:55 PTG Tiada ulasan: Pautan pada catatan ini
Kalangan dalam (3a) sama erti dengan golongan atau kumpulan. Oleh itu, kata sendi
yang boleh hadir di hadapannya ialah dalam. Hari (3b), zaman (3c) dan era (3d)
ialah frasa nama masa. Oleh itu, kata sendi yang boleh hadir di hadapannya ialah pada.
(3) a. dalam kalangan
b. pada hari
c. pada zaman
d. pada era
Contoh penggunaan dalam ayat adalah seperti (4a-d) yang berikut:
(4) a. Dia yang terpintar dalam kalangan pelajar kelas ini.
b. Kelas bahasa Malaysia diadakan pada hari Rabu.
c. Pada zaman batu, manusia dipercayai hidup di dalam gua.
d. Kehidupan manusia pada era teknologi maklumat dan komunikasi ini sepatutnya
lebih mudah.
1.2.2 Di dalam dan Dalam
Frasa di dalam ialah kombinasa kata sendi nama di dan kata nama arah dalam. Frasa
ini mengisi posisi hadapan frasa nama konkrit (5a-c). Secara bersendirian, dalam boleh
berfungsi sebagai kata sendi nama. Dalam fungsi ini, ia mengisi posisi hadapan frasa nama
abstrak (6a-c).
(5) a. di dalam kotak
b. di dalam kereta
c. di dalam rumah
(6) a. dalam hal ini
b. dalam masalah ini
c. dalam situasi ini
Dalam (5a-c), kotak, kereta dan rumah ialah frasa nama konkrit. Oleh itu, penggunaan
kata sendi nama di dan arah dalam adalah gramatis. Dalam situasi ini, kata sendi dalam
tidak boleh digunakan secara bersendirian.
(5) a. *dalam kotak
b. *dalam kereta
c. *dalam rumah
Dalam (6a-c) pula, hal ini, masalah ini dan situasi ini ialah frasa nama abstrak. Oleh
itu, penggunaan kata sendi nama dalam adalah gramatis. Dalam situasi ini, penggunaan
kata sendi di adalah tidak gramatis.
(6) a. *di dalam hal ini
b. *di dalam masalah ini
c. *di dalam situasi ini
1.2.5 Hingga ke
Frasa hingga ke ialah gabungan dua kata sendi iaitu hingga dan ke. Kombinasi
sebegini, seperti yang ditunjukkan dalam ayat (10a-b), tidak dibenarkan kerana ia bersifat
lewah.
(10) a. *Ibnu Batutta mengembara hingga ke Asia Tenggara.
b. *Sarah mengulang kaji pelajaran hingga ke subuh.
Cara yang gramatis ialah menggunakan hingga sahaja. Dengan kata lain, kata sendi ke
perlu digugurkan daripada ayat (10a-b).
(10) a. Ibnu Batutta mengembara hingga Asia Tenggara.
b. Sarah mengulang kaji pelajaran hingga subuh.
1.2.6 Dari dan Daripada
Kata sendi dari mengisi posisi hadapan frasa nama tempat sementara kata sendi daripada
mengisi posisi hadapan frasa nama manusia dan institusi. Masalahnya ialah sesetengah frasa
nama tempat juga merupakan frasa nama institusi. Contohnya ialah sekolah, Universiti
Sains Malaysia dan pejabat kerajaan. Dalam hal ini, rujukan frasa nama berkenaan dalam
konteks ujaran perlu diperhatikan.
(11) a. Ali baru balik dari sekolah.
b. Saya datang dari Universiti Sains Malaysia.
c. Larian itu bermula dari pejabat kerajaan persekutuan.
(12) a. Permohonan ini datang daripada sekolah itu.
b. Tawaran ini dikirim daripada Universiti Sains Malaysia.
c. Notis itu diterima daripada pejabat kerajaan.
Dalam (11a-c), frasa nama sekolah, Universiti Sains Malaysia dan pejabat kerajaan
persekutuan merujuk tempat. Oleh itu, penggunaan kata sendi nama yang gramatis ialah
dari. Dalam (12a-c) pula, frasa nama sekolah, Universiti Sains Malaysia dan pejabat
kerajaan merujuk institusi. Oleh itu, penggunaan kata sendi nama yang gramatis ialah
daripada.
1.3 Kata Ganti Nama
Kata ganti nama digunakan untuk merujuk perkataan yang telah disebut/ditulis sebelum itu.
Ia digunakan untuk merujuk benda hidup dan benda tidak hidup, baik yang konkrit atau
abstrak, baik yang tunggal atau jamak. Dalam BM, penggunaan kata ganti nama, khususnya
untuk diri pertama dan diri kedua, mempunyai konteks sosial yang amat kuat. Kesalahan
yang biasa dilakukan dalam penggunaan kategori perkataan jenis ini ialah tidak mempunyai
rujukan, salah rujukan dan salah konteks sosial.
1.3.1 Ianya
Ianya ialah bentuk ganti nama yang tidak gramatis kerana ia menggabungkan dua kata
ganti nama, iaitu ia dan nya. Dalam BM, tidak wujud rumus yang membenarkan
pembentukan perkataan seperti ini.
(13) *Ianya mempunyai implikasi yang besar terhadap pembangunan negara ini.
Ayat (13) tidak gramatis kerana penggunaan perkataan ianya. Untuk membetulkan ayat ini,
gunakan ganti nama ia sahaja.
(13) Ia mempunyai implikasi yang besar terhadap pembangunan negara ini.
Nota: Ganti nama ia boleh digunakan untuk merujuk benda, haiwan dan perkara
abstrak, baik dalam bilangan tunggal atau banyak. Ia tidak boleh digunakan untuk
merujuk manusia.
1.3.2 Dia
Kata ganti nama dia digunakan untuk merujuk orang ketiga. Terdapat dua jenis kesalahan
dalam penggunaan kata ganti nama ini. Pertama, dia digunakan sebagai ganti nama pemilik
(14a), dan kedua, sebagai ganti nama objek kata kerja transitif (14b).
(14) a. *Kita mesti memahami fungsi dia.
b. *Kita mesti berusaha untuk memahami dia.
Ayat (14a) tidak gramatis kerana dia digunakan sebagai ganti nama pemilik. Ayat (14b)
pula tidak gramatis kerana dia digunakan sebagai objek kata kerja transitif memahami.
Untuk ganti nama pemilik dan objek kata kerja transitif, ganti nama yang gramatis ialah
nya.
(14) a. Kita mesti memahami fungsinya.
b. Kita mesti berusaha untuk memahaminya.
1.3.3 Beliau
Beliau ialah kata ganti nama orang ketiga. Kesalahan yang sering dilakukan dalam
penggunaan kata ganti nama ini berpunca daripada kurang kefahaman mengenai
penggunaaanya dalam konteks sosial. Kata ganti nama ini digunakan untuk orang yang
mempunyai status sosial yang tinggi. Oleh itu, ia tidak boleh digunakan untuk orang yang
mempunyai status sosial yang rendah, misalnya penagih dadah, perompak, atau kanak-kanak.
(15) a. *Beliau menjadi penagih dadah kerana terpedaya dengan pujukan rakan-rakannya.
b. *Beliau mendapat tempat pertama dalam pertandingan bayi sihat itu.
Ayat (15a-b) tidak gramatis kerana kata ganti nama beliau digunakan untuk orang yang
mempunyai status sosial yang rendah, iaitu penagih dadah (15a), dan kanak-kanak, iaitu
bayi (14b). Dalam konteks ini, kata ganti nama yang gramatis ialah dia.
(15) a. Dia menjadi penagih dadah kerana terpedaya dengan pujukan rakan-rakannya.
b. Dia mendapat tempat pertama dalam pertandingan bayi sihat itu.
1.3.4 Kami dan Kita
Kami dan kita ialah kata ganti nama diri pertama. Walau bagaimanapun, terdapat sedikit
perbezaan makna antara kedua-duanya. Kami merujuk penutur jamak tetapi tidak termasuk
pendengar manakala kita merujuk penutur (tunggal atau jamak) dan termasuk juga
pendengar. Oleh itu, untuk mengajak pendengar melakukan kebaikan, kata ganti nama yang
digunakan ialah kita.
(16) Kita mestilah memertabatkan bahasa Melayu kerana ia jiwa bangsa kita.
Sekiranya kata ganti nama kami digunakan, bermakna pendengar tidak diajak sama dalam
seruan tersebut.
1.3.4 Kamu dan Awak
Kamu, awak, engkau dan kau ialah kata ganti nama orang kedua. Penggunaannya
mempunyai konteks sosial yang amat kuat. Oleh itu, penutur boleh menggunakannya untuk
pihak/orang tertentu sahaja, iaitu kawan rapat dan orang yang lebih muda daripada penutur. Ia
tidak boleh digunakan kepada orang/pihak yang lebih tua atau mempunyai status sosial yang
tinggi.
(17) Boleh kamu jelaskan kepada saya teori itu?
Penggunaan kata ganti nama kamu dalam (17) dibenarkan jika penutur dan pendengar
mempunyai taraf sosial dan umur yang setaraf, misalnya sama-sama pelajar universiti. Walau
bagaimanapun, jika penutur dan pendengar tidak setaraf, misalnya penutur pelajar universiti
manakala pendengar pula pensyarah, penggunaan kata ganti nama itu tidak dibenarkan.
1.3.5 Mereka-mereka, Para-para Pelajar dan Para Pelajar-pelajar
Kata ganti nama mereka tidak boleh digandakan kerana ia telah sedia mengandungi
maksud jamak. Begitu juga, kata para tidak boleh digandakan kerana ia juga telah sedia
mengandungi maksud jamak.
(18) *Mereka-mereka yang berminat boleh menyertai pertandingan ini.
(19) *Para-para pelajar yang cemerlang sahaja diterima masuk ke sekolah berasrama
penuh.
Ayat (18) dan (19) tidak gramatis kerana perkataan mereka dan para digandakan. Untuk
menjana ayat yang gramatis, perkataan tersebut tidak boleh digandakan.
(18) Mereka yang berminat boleh menyertai pertandingan ini.
(19) Para pelajar yang cemerlang sahaja diterima masuk ke sekolah berasrama penuh.
Satu lagi jenis kesalahan ialah menggunakan mereka sebagai kata nama am. Dengan kata
lain, mereka digunakan tanpa rujukan terhadap kata nama yang telah disebut/ditulis terlebih
dahulu. Contoh kesalahan jenis ini adalah seperti (20) yang berikut:
(20) Persatuan ini akan mengadakan lawatan sambil belajar ke Putra Jaya. *Mereka yang
berminat boleh mendaftarkan nama.
Ayat kedua dalam (20) tidak gramatis kerana kata ganti nama mereka digunakan sebagai
kata nama am. Sebagai kata ganti nama, mereka perlu mempunyai rujukan terhadap kata
nama yang ditulis/disebut sebelum itu. Dengan menggantikan mereka dengan kata nama
am, misalnya sesiapa, para pelajar atau ahli-ahli, ayat (20) yang dijana adalah
gramatis.
(20) Persatuan ini akan mengadakan lawatan sambil belajar ke Putra Jaya. Sesiapa yang
berminat boleh mendaftarkan nama.
Penggunaan kata bilangan semua sebagai kata nama am juga menyebabkan ayat (21) yang
dijana tidak gramatis.
(21) Persatuan ini akan mengadakan lawatan sambil belajar ke Putra Jaya. *Semua yang
berminat boleh mendaftarkan nama.
Ayat kedua dalam (21) tidak gramatis kerana penggunaan kata bilangan semua sebagai kata
nama am. Sebagai kata bilangan, semua perlu diikuti oleh frasa nama.
(21) Persatuan ini akan mengadakan lawatan sambil belajar ke Putra Jaya. Semua ahli
yang berminat boleh mendaftarkan nama.
Ayat kedua dalam (21) gramatis kerana kata bilangan semua diikuti oleh frasa nama am
ahli untuk membentukkan frasa nama semua ahli.
Satu lagi jenis kesalahan dalam penggunaan perkataan para ialah menggandakan frasa
nama yang mengikuti perkataan para tersebut.
(22) *Para pelajar-pelajar yang cemerlang sahaja diterima masuk ke sekolah berasrama
penuh.
Ayat (22) tidak gramatis kerana penggandaan perkataan pelajar. Frasa para pelajar telah
sedia mengandungi maksud jamak. Oleh itu, menggandakan perkataan pelajar (atau para)
akan menyebabkan pembaziran perkataan (lewah). Atas alasan yang sama, kata nama yang
hadir selepas kata antara juga tidak boleh digandakan.
(23) *Antara pelajar-pelajar yang cemerlang adalah Siti dan sarah.
Ayat (23) tidak gramatis kerana frasa nama pelajar digandakan. Ayat yang gramatis ialah
(23) yang berikut:
(23) Antara pelajar yang cemerlang adalah Siti dan sarah.
Panduan: Kata pemeri bagi ayat yang bermula dengan kata sendi antara ialah adalah.
1.4 Kata Perintah Mulai
Mulai ialah kata perintah. Oleh itu, ia tidak boleh digunakan dalam ayat penyata.
(24) *Kita akan belajar bersungguh-sungguh mulai sekarang,.
Ayat (24) tidak gramatis kerana penggunaan kata perintah mulai sedangkan (24) ialah ayat
penyata. Dalam ayat penyata, penggunaan kata kerja biasa, iaitu bermula daripada, adalah
gramatis.
(24) Kita akan belajar bersungguh-sungguh bermula daripada sekarang.
Penggunaan kata mulai dalam ayat perintah adalah seperti (25) yang berikut:
(25) Mulai menjawab soalan sekarang.
1.5 Kata Soal
Kata soal digunakan untuk menyoal (26), dan dalam keadaan ketidakpastian (27).
(26) Di mana saudara tinggal?
(27) Di mana bumi dipijak.
Ia tidak boleh digunakan dalam ayat penyata (28) dan (29).
(28) *... ialah penghasilan kimpalan titik atau unjuran di mana daya dikenakan secara
manual pada elektrod dan benda kerja.
(29) * ialah proses yang mana pelakuran dihasilkan secara pemanasan.
Ayat (28) dan (29) seharusnya ditulis seperti (28) dan (29) yang berikut:
(28) ... ialah penghasilan kimpalan titik atau unjuran, iaitu daya dikenakan secara manual
pada elektrod dan benda kerja.
(29) ialah proses penghasilan pelakuran secara pemanasan.
1.6 Kata Tunjuk
Kata tunjuk, iaitu itu, ini, tersebut dan berkenaan, hadir di hadapan frasa nama. Ia
berfungsi untuk merujuk frasa nama yang sama yang telah disebut/ditulis sebelum itu atau
frasa nama yang diketahui oleh pendengar/pembaca. Dalam hal ini, pengguguran kata tunjuk
(30) tidak dibenarkan.
Kesalahan Imbuhan
2.1 Pengenalan
Penggunaan imbuhan ialah salah satu aspek yang dapat mengelirukan pengguna BM.
Penggunaan imbuhan yang paling banyak mengelirukan ialah akhiran +kan dan +i serta +per
dalam pembentukan kata kerja transitif. Begitu juga penggunaan bentuk imbuhan peN,
khususnya perbezaan antara pe+ dengan per+, dalam pembentukan kata nama. Selain itu,
terdapat juga kekeliruan ejaan bagi sesetengah perkataan yang mengandungi sama ada 1g
atau 2g dan 1k atau 2k.
2.2 Pelaksanaan atau Perlaksanaan?
Salah satu kekeliruan yang sering dihadapi oleh pengguna BM adalah berhubung dengan
penggunaan bentuk imbuhan peN+ dalam penjanaan kata nama. Kekeliruan ini menyebabkan
kesalahan ejaan perkataan berkenaan. Misalnya, pelaksanaan dieja sebagai perlaksanaan,
pemohonan dieja sebagai permohonan dan peletakan dieja sebagai perletakan.
Sebenarnyanya, kekeliruan ini boleh diatasi dengan mudah sekiranya pengguna mengetahui
panduan dan rumus penjanaan kata nama dengan menggunakan imbuhan ini. Panduannya
adalah dengan melihat bentuk imbuhan awalan pada kata kerja yang daripadanya kata nama
itu diterbitkan (Jadual 1).
(1) Bentuk imbuhan peN+ pada kata nama
Bentuk imbuhan pada kata kerja / Bentuk imbuhan pada kata nama
Melaksanakan projek / Pelaksanaan projek
Membasmi kemiskinan / Pembasmian kemsikinan
Mentadbir negara / Pentadbiran negara
Menggalakkan pelaburan / Penggalakan pelaburan
Mengebumikan jenazah / Pengebumian jenazah
Berkembang pesat / Perkembangan pesat
2.3 Penggunaan Imbuhan meN+ dalam Pembentukan Kata Kerja
Dua masalah berkaitan penggunaan bentuk imbuhan meN+ akan dibincangkan dalam
bahagian ini. Masalah pertama terlihat dalam penerbitan kata kerja memperkasakan
(*memerkasakan). Masalah kedua pula terlihat dalam pembentukan kata kerja
mengetengahkan (*mengenengahkan) dan mengetepikan (*mengenepikan).
2.3.1 Memerkasakan atau Memperkasakan?
Salah satu imbuhan yang boleh mengelirukan pengguna bahasa ialah awalan meN+ yang
berfungsi untuk menerbitkan kata kerja. Hal ini kerana imbuhan ini mempunyai bentuk yang
paling pelbagai, iaitu me+, mem+, men+, meng+ dan menge+. Perubahan bentuk awalan
meN+ ini lazimnya bergantung pada huruf pertama kata dasar yang menerima kehadiran
imbuhan tersebut. Misalnya, awalan me+ hadir pada kata dasar yang bermula dengan huruf
l (misalnya lihat menjadi melihat), m (masuk memasuki, memasukkan), n
(nanti menanti), r (rawat merawat), dan w (wakil mewakili,
mewakilkan).
Walau bagaimanapun, perubahan bentuk awalan meN+ tidak hanya ditentukan oleh huruf
pertama kata dasar yang menerima imbuhan tersebut. Kata dasar yang bermula dengan huruf
p ialah contoh ketara untuk menunjukkan bahawa huruf pertama kata dasar bukan faktor
tunggal yang menentukan bentuk awalan meN+. Hal ini dapat diperhatikan daripada senarai
perkataan (2a-l) yang berikut:
(2) a. Memahat
b. Memantau
c. Memeranjatkan
d. Mempesonakan
e. Memelihara
f. Memporak-perandakan
g. Mempelawa
h. Memenjarakan
i. Mempelopori
j. Mempengaruhi
k. Memproses
l. Mengepos
Daripada senarai perkataan (2a-l), dapat dilihat penggunaan tiga bentuk awalan meN+, iaitu
me+ (memahat, memantau, memeranjatkan, memelihara dan memenjarakan),
mem+ (mempesonakan, memporak-perandakan, mempelawa, mempelopori,
mempengaruhi dan memproses) dan menge+ (mengepos), walaupun kesemua kata
dasarnya bermula dengan huruf p. Keadaan ini boleh mengelirukan sekiranya seseorang
pengguna bahasa kurang arif mengenai faktor-faktor lain, selain huruf pertama kata dasar,
yang turut mempengaruhi bentuk awalan meN+.
Selain huruf pertama kata dasar, bentuk awalan meN+ juga dipengaruhi oleh bilangan suku
kata kata dasar. Bagi kata dasar yang bermula dengan huruf p dan mempunyai dua suku
kata, bentuk awalan meN+ yang gramatis ialah me+ dengan huruf pertama pada kata dasar
tersebut bertukar menjadi m. Contoh yang terdapat dalam senarai perkataan (2a-l) ialah
memahat (daripada kata dasar pahat) dan memantau (daripada kata dasar pantau).
Oleh sebab itu, bentuk awalan meN+ yang gramatis bagi kata kerja yang diterbitkan daripada
kata adjektif pasti ialah me+ (memastikan), bukan mem+ (mempastikan).
Bagi kata dasar yang mempunyai tiga atau lebih suku kata pula, sebahagiannya menerima
kehadiran awalan me+ sementara sebahagian yang lain menerima kehadiran awalan mem+.
Dalam hal ini, terdapat dua panduan yang boleh digunakan. Yang pertama, jika suku kata
pertama kata dasar ialah imbuhan per+, bentuk awalan meN+ yang gramatis ialah mem+
dengan huruf p pada kata dasar tersebut dikekalkan. Contohnya ialah memperbesar
(daripada kata dasar perbesar), memperluas (daripada kata dasar perluas) dan
memperelok (daripada kata dasar perelok).
Yang kedua, jika kata dasar tersebut ialah kata adjektif, bentuk meN+ yang gramatis ialah
mem+ dengan huruf p pada kata dasar tersebut dikekalkan. Senarai perkataan (3a-f) yang
dikutip daripada Kamus Milenium (2000:522-531) dapat membukti kenyataan ini.
(3) a. Mempedulikan
b. Mempercayai
c. Mempelbagaikan
d. Mempesonakan
e. Memperlahankan
f. Memperkasakan
g. Memeranjatkan
Daripada senarai perkataan (3f), dapat disimpulkan bahawa bentuk yang gramatis bagi
pengimbuhan meN+ pada kata dasar perkasa ialah mem+ dengan huruf p dikekalkan.
Oleh itu, bentuk kata kerja transtitif aktif yang gramatis ialah memperkasakan, bukannya
memerkasakan. Perlu juga dijelaskan bahawa suku kata per dalam perkataan perkasa
bukan imbuhan dan perkasa ialah kata adjektif. Oleh itu, kehadiran imbuhan akhiran +kan
dalam penjanaan kata kerja transitif memperkasakan adalah diperlukan. Dengan kata lain,
memperkasa (tanpa akhiran +kan) adalah bentuk yang tidak gramatis.
Perkataan memeranjatkan (3g) pula ialah kekecualian kerana kata dasarnya, iaitu
peranjat, adalah berbeza daripada kata dasar yang lain (3a-f). Hal ini kerana kata dasar
peranjat tergolong dalam kata akar, iaitu perkataan yang mesti digunakan bersama
kehadiran imbuhan. Dengan kata lain, perkataan peranjat tidak boleh berdiri sendiri.
Bagi kata dasar yang terdiri daripada KK dan kata nama, sebahagiannya menerima kehadiran
awalan meN+ dalam bentuk me+ sementara sebahagian yang lain dalam bentuk mem+.
Senarai perkataan (4a-g) dan (5a-i) yang dikutip daripada kamus yang sama membukti
kenyataan ini. Senarai perkataan (4a-g) diterbitkan daripada kata kerja sebagai kata dasar
sementara senarai perkataan (5a-i) diterbitkan daripada kata nama sebagai kata dasar.
(4) a. Memelihara
b. Memeriksa
c. Memulihara
d. Mempelawa
e. Memperkosa
f. Memperonyokkan
g. Memperosokkan
(5) a. Memenjarakan
b. Memerangkap
c. Memerihalkan
d. Memeringkatkan
e. Memerintah
f. Memusakai
g. Mempelopori
h. Mempengaruhi
i. Mempelajari
Dalam hal ini, tiada panduan atau rumus tertentu yang boleh digunakan. Oleh itu, kemahiran
berbahasa amat dituntut untuk menentukan bentuk awalan meN+ yang gramatis.
Panduan seterusnya ialah bagi kata dasar yang mengandungi satu suku kata, bentuk meN+
yang gramatis ialah menge+ dengan huruf p pada kata dasar dikekalkan. Senarai perkataan
(6a-c) yang berikut membukti kenyataan ini.
(6) a. Mengepam
b. Mengepin
c. Mengepos
Panduan terakhir ialah bagi kata dasar yang merupakan kata ambilan, khususnya daripada
bahasa Inggeris (BI), bentuk meN+ yang gramatis ialah mem+ dengan huruf p pada kata
dasar dikekalkan. Senarai perkataan (7-h) yang berikut membukti kenyataan ini.
(7) a. Mempraktikkan
b. Memproses
c. Memprotes
d. Memplagiat
e. Mempopularkan
f. Mempolitikkan
g. Mempolemikkan
h. Mempotretkan
i. Mempamerkan
Semua kata dasar dalam (7a-i) ialah kata ambilan daripada bahasa asing. Kata dasar dalam
(7a-h) diambil daripada BI iaitu practice, process, protest, plagiarise, popular, politic, polemic
dan potrait. Kata dasar dalam (7i) pula diambil daripada bahasa Jawa iaitu pamer.
2.3.2 Mesti Mengetengahkan, Jangan Mengenepikan
Ejaan yang gramatis ialah mengetengahkan dan mengetepikan, bukan
mengenengahkan dan mengenepikan. Hal ini kerana kata dasar yang daripadanya dua
kata kerja tersebut diterbitkan ialah ke tengah dan ke tepi. Huruf yang mengalami
perubahan hanyalah huruf pertama, iaitu k menjadi ng. Huruf seterusnya, yang ketiga
dalam kes ini iaitu t tidak boleh mengalami perubahan menjadi n.
Nota: Perkataan yang menerima imbuhan awalan dan akhiran hendaklah dieja secara
bersambung (menjadi satu perkataan) walaupun pada asalnya perkataan tersebut
dieja secara terpisah (dua perkataan).
2.4 Penggunaan Imbuhan +i, +kan/+per dalam Pembentukan Kata Kerja
Penggunaan imbuhan akhiran, iaitu +i, +kan dan juga +per dalam pembentukan kata kerja
transitif ialah satu lagi aspek yang sering mengelirukan pengguna BM. Imbuhan-imbuhan ini
mempunyai fungsi dan makna tertentu yang mempengaruhi struktur ayat, khususnya jenis
objek dan subjek ayat. Oleh itu, pemahaman mengenai fungsi dan makna imbuhan-imbuhan
ini adalah penting untuk membolehkan pembentukan perkataan dan ayat yang gramatis.
2.4.1 Jangan Maafkan Saya, Maafilah Saya
Maaf ialah kata nama. Imbuhan +kan pada kata kerja transitif yang diterbitkan daripada
kata nama mendukung maksud sama ada menjadikan (8) atau memasukkan (9). Imbuhan
kata kerja transitif jenis ini ialah memberitahu (17a) dan memberitahukan (17b) serta
mengajar (18a) dan mengajarkan (18b).
(17) a. Dia memberitahu kami maklumat itu.
b. Dia memberitahukan maklumat itu kepada kami.
(18) a. Encik Ali mengajar pelajar-pelajarnya subjek Matematik.
b. Encik Ali mengajarkan subjek Matematik kepada pelajar-pelajarnya.
2.4.4 Boleh Mempertemukan, Jangan Memperkecilkan
Imbuhan +kan dan +per sama sekali tidak boleh digabungkan dalam pembentukan sesuatu
kata kerja transitif. Hal ini kerana kedua-dua imbuhan mendukung maksud yang sama iaitu
jadikan. Misalnya kecilkan dan perkecil bermaksud jadikan kecil. Oleh itu,
penggunaan kedua-dua imbuhan dalam pembentukan sesuatu kata kerja transitif, misalnya
perkecilkan, tidak dibenarkan kerana ia merupakan satu bentuk pembaziran (lewah).
Kekeliruan yang sering berlaku adalah kerana kata kerja transitif berimbuhan +kan juga boleh
diterbitkan daripada kata kerja tak transitif berimbuhan ber+. Imbuhan ber+ ini seterusnya
melalui transformasi perubahan bunyi menjadi per+ apabila menerima imbuhan meN+.
Dalam keadaan ini, imbuhan +kan tidak boleh digugurkan. Contohnya ialah bertemu
menjadi mempertemukan (*mempertemu), bersila (mempersilakan, *mempersila) dan
berjudi (memperjudikan, *memperjudi).
Selain itu, kata kerja transitif berimbuhan +kan juga boleh diterbitkan daripada kata dasar
yang bermula dengan suku kata (bukan imbuhan) per+. Dalam keadaan ini, imbuhan +kan
juga tidak boleh digugurkan. Contohnya ialah perkasa menjadi memperkasakan
(*memperkasa).
Soalan yang mungkin ditanya ialah mengapa memperkosa (*memperkosakan)?
Jawapannya adalah kerana perkosa ialah kata kerja transitif asal. Oleh itu, ia tidak
memerlukan kehadiran +kan. Hal ini samalah dengan merogol (*merogolkan).
Imbuhan +i juga sama sekali tidak boleh digandingkan dengan imbuhan per+.
Menggandingkan imbuhan +i dengan +per sama seperti menggandingkan imbuhan +i dengan
+kan. Hal ini kerana imbuhan +kan dan +per mempunyai maksud yang sama.
Kekeliruan yang sering berlaku adalah kerana kata kerja transitif berimbuhan +i juga boleh
diterbitkan daripada kata kerja tak transitif berimbuhan ber+. Imbuhan ber+ ini seterusnya
melalui transformasi perubahan bunyi menjadi per+ apabila menerima imbuhan meN+.
Dalam keadaan ini, imbuhan +i tidak boleh digugurkan. Contohnya ialah beristeri menjadi
memperisteri (satu i digugurkan) dan bersuami menjadi mempersuami.
Selain itu, kata kerja transitif berimbuhan +i juga boleh diterbitkan daripada kata dasar yang
bermula dengan suku kata (bukan imbuhan) per+. Dalam keadaan ini, imbuhan +i juga tidak
boleh digugurkan. Contohnya ialah percaya menjadi mempercayai (*mempercaya).
Dicatat oleh Mohd Rashid Darham di 7:49 PTG Tiada ulasan: Pautan pada catatan ini
Klausa bahawa menuntut ilmu adalah wajib berfungsi sebagai subjek ayat (1); klausa
bahawa bahasa Melayu mampu menjadi bahasa ilmu berfungsi sebagai objek tepat ayat (2);
klausa bahawa beliau akan melanjutkan pelajaran berfungsi sebagai objek sipi ayat (3);
klausa bahawa keputusannya itu adalah baik berfungsi sebagai pelengkap FK tak transitif
berpendapat ayat (4), dan klausa bahawa kesejahteraan tidak boleh dicapai melalui
keganasan berfungsi sebagai pelengkap FA sedar ayat (5).
Terdapat dua jenis kesalahan yang lazim dilakukan berhubung penggunaan KH bahawa.
Kesalahan pertama ialah pengguguran KH bahawa, dan kedua ialah penggantian kata
tersebut dengan KH relatif yang dengan anggapan bahawa kedua-duanya adalah sama.
Contoh kesalahan jenis yang pertama terlihat dalam ayat (2a-5a). Walau bagaimanapun
kecacatan ayat (4a-5a) agak kurang jelas lalu ditandai ?.
2a. *Beliau menegaskan / bahasa Melayu mampu menjadi bahasa ilmu.
3a. *Beliau memberitahu saya / beliau akan melanjutkan pelajaran.
4a. ?Saya berpendapat / keputusannya itu adalah baik.
5a. ?Kita perlu sedar / kesejahteraan tidak boleh dicapai melalui keganasan.
Cara yang agak mudah untuk membukti bahawa ayat (2a-5a) tidak gramatis ialah dengan
mengubah bentuknya menjadi ayat pasif, iaitu dengan membawa klausa yang hadir selepas
tanda / ke pangkal ayat dan dijadikan subjek ayat. Oleh sebab ayat (4a) tidak boleh
mengalami proses ini, statusnya (sama ada gramatis atau tidak) boleh ditentukan melalui
penelitian terhadap ayat lain yang sepadan/sejenis dengannya.
2b. *Bahasa Melayu mampu menjadi bahasa ilmu / ditegaskan (oleh beliau).
3b. *Beliau akan melanjutkan pelajaran / diberitahukan kepada saya (oleh beliau).
5b. *Kesejahteraan tidak boleh dicapai melalui keganasan / perlu kita sedari.
Frasa dalam ( ) menunjukkan status kehadirannya bersifat pilihan (boleh digugurkan).
Ayat pasif (2b, 3b dan 5b) dikira tidak gramatis kerana kekaburan maksudnya. Hal ini berlaku
kerana struktur yang hadir sebelum tanda / sebenarnya ialah ayat yang telah lengkap dari
segi struktur dan makna. Lalu timbul persoalan apakah fungsi struktur yang hadir selepas
tanda /.
Kekaburan/kekeliruan ini tidak akan berlaku jika KH bahawa tidak digugurkan.
2c. Bahawa bahasa Melayu mampu menjadi bahasa ilmu / ditegaskan (oleh beliau).
3c. Bahawa beliau akan melanjutkan pelajaran / diberitahukan kepada saya (oleh
beliau).
5c. Bahawa kesejahteraan tidak boleh dicapai melalui keganasan / perlu kita sedari.
Dapat diperhatikan daripada ayat (2c, 3c dan 5c) bahawa struktur yang hadir sebelum tanda
/ belum dapat dikatakan sebagai ayat yang lengkap dari segi struktur dan makna. Hal ini
berlaku kerana kehadiran KH bahawa telah menukar status struktur tersebut menjadi klausa,
iaitu ayat kecil yang mesti dihubungkan dengan ayat induk. Dalam ayat (2c, 3c dan 5c)
klausa ini berfungsi sebagai subjek. Struktur yang hadir selepas tanda / berfungsi sebagai
predikat yang melengkapkan pembentukan ayat (2c, 3c dan 5c).
Atas alasan inilah KH bahawa dalam ayat (1) tidak boleh digugurkan.
1a. *Menuntut ilmu adalah wajib / perlu dihayati oleh umat Islam.
Begitu juga KH bahawa wajib hadir dalam struktur aktifnya (1b).
1b. Umat Islam perlu menyedari bahawa menuntut ilmu adalah wajib.
1c. *Umat Islam perlu menyedari menuntut ilmu adalah wajib.
Ayat (4a) adalah sepadan/sejenis dengan ayat (2a, 3a, dan 5a). Oleh sebab telah terbukti
bahawa KH bahawa tidak boleh digugurkan daripada ayat jenis ini, ayat seperti (4a)
seharusnya tidak boleh terkecuali daripada rumus ini. Pengecualian terhadap sesuatu rumus
seharusnya ditiadakan/diminimumkan untuk mengelakkan kekeliruan. Dengan ini
dicadangkan bahawa status (4a), dicatatkan semula sebagai (4b), adalah tidak gramatis.
4b. *Saya berpendapat keputusannya itu adalah baik.
Walau bagaimanapun Tatabahasa Dewan membenarkan pengguguran KH komplemen
bahawa pada kedudukan objek, dengan mengatakan:
kadang-kadang pengguguran kata komplemen
tersebut dibenarkan, yakni tidak menjejaskan makna.
(Nik Safiah Karim dll, 1995: 489)
Perhatikan bahawa syarat tidak menjejaskan makna yang membolehkan pengguguran KH
bahawa agak longgar dan bersifat subjektif. Jadi adalah lebih selamat untuk tidak
menggugurkan KH tersebut dalam pembinaan ayat majmuk komplemen.
Contoh kesalahan jenis kedua pula terlihat dalam ayat (1d-3d, 4c dan 5d).
1d. *Umat Islam perlu menyedari yang menuntut ilmu adalah wajib.
2d. *Beliau menegaskan yang bahasa Melayu mampu menjadi bahasa ilmu.
3d. *Beliau memberitahu saya yang beliau akan melanjutkan pelajaran.
4c. *Saya berpendapat yang keputusannya itu adalah baik.
5d. *Kita perlu sedar yang kesejahteraan tidak boleh dicapai melalui keganasan.
Cara yang agak mudah untuk membukti bahawa ayat (1d-3d, 4c dan 5d) tidak gramatis ialah
dengan menggantikan KH bahawa dalam ayat (2c, 3c dan 5c) dengan KH yang (2e, 3e dan
5e). Jika benar yang mempunyai fungsi yang sama dengan bahawa, ia seharusnya dapat
mengganti bahawa tanpa mengira kedudukan KH komplemen itu dalam ayat.
2. e) *Yang bahasa Melayu mampu menjadi bahasa ilmu ditegaskan (oleh beliau).
3. e) *Yang beliau akan melanjutkan pelajaran diberitahukan kepada saya (oleh beliau).
5. e) *Yang kesejahteraan tidak boleh dicapai melalui keganasan perlu kita sedari.
Sekali lagi ayat (4c) juga dapat dianggap tidak gramatis kerana penelitian terhadap ayat lain
yang sepadan/sejenis dengannya membukti hakikat ini.
Dalam hal ini perlu diketahui bahawa KH bahawa dan yang mempunyai fungsi yang berbeza
walaupun kedua-dua termasuk dalam kategori yang sama (KH). Perbezaan fungsi ini
disebabkan bahawa dan yang tergolong dalam subkategori yang berbeza. Perbezaan ini akan
dapat dilihat dengan jelas dan mudah dengan meneliti struktur yang hadir selepas KH
bahawa seperti yang terlihat dalam ayat (1-5), dicatatkan semula sebagai (6-10), dan KH
yang (11).
6. Bahawa / menuntut ilmu adalah wajib / perlu dihayati oleh umat Islam.
7. Beliau menegaskan bahawa / bahasa Melayu mampu menjadi bahasa ilmu/.
8. Beliau memberitahu saya bahawa / beliau akan melanjutkan pelajaran/.
9. Saya berpendapat bahawa / keputusannya itu adalah baik/.
10. Kita perlu sedar bahawa / kesejahteraan tidak boleh dicapai melalui
keganasan/.
11. Kereta itu menggunakan sel bahan api hidrogen yang / melepaskan sisa
buangan yang dapat anda minum/.
Perhatikan bahawa semua struktur yang hadir selepas KH bahawa (ditandai oleh / / dalam
ayat (6-10) ialah ayat yang telah lengkap dari segi struktur (bersubjek dan berpredikat) dan
makna. Sebagai contoh, klausa /menuntut ilmu adalah wajib/ dalam ayat (6) dapat berdiri
sendiri sebagai ayat yang lengkap, iaitu bersubjek (menuntut ilmu) dan berpredikat (adalah
wajib). Hal ini berlainan dengan struktur yang hadir selepas KH yang dalam ayat (11)
/melepaskan sisa buangan yang dapat anda minum/ yang tidak boleh berdiri sendiri sebagai
ayat yang lengkap.
Sebenarnya kesalahan jenis kedua ini berpunca daripada pengaruh bahasa Inggeris,
khususnya kesilapan menterjemah kata that seperti yang terdapat dalam ayat (11a-12). Perlu
diingat bahawa bahasa Inggeris menggunakan that sebagai KH komplemen (12) dan KH
relatif (11a), dan keadaan ini tidak boleh disamakan dengan bahasa Melayu.
11a. The car is powered by a hydrogen fuel cell that creates emissions you can drink.
12. He belives that computers can think like human.
Ayat (11a) diterjemah menjadi (11), dicatatkan semula sebagai (11b), dan ayat (12)
diterjemah menjadi (12a).
11b. Kereta itu menggunakan sel bahan api hidrogen yang / melepaskan sisa
buangan yang dapat anda minum/.
12a. *Beliau percaya yang komputer boleh berfikir seperti manusia.
Terjemahan yang gramatis bagi ayat (12) ialah (12b).
12b. Beliau percaya bahawa / komputer boleh berfikir seperti manusia/.
Perhatikan bahawa klausa yang hadir selepas KH bahawa, iaitu /komputer boleh berfikir
seperti manusia/ dapat berdiri sendiri sebagai ayat yang lengkap.
Daripada penerangan ini dapatlah dikatakan bahawa KH bahawa wajib hadir dalam ayat
majmuk komplemen. Kehadirannya bukan sahaja dapat menjamin kegramatisan ayat, malah
yang lebih penting ialah ia dapat menjamin bahawa maksud ayat, dan seterusnya maksud
wacana, yang hendak disampaikan tidak kabur dan mengelirukan. Dalam wacana ilmu yang
tinggi sifatnya, yang kejelasan maksud sangat diutamakan, kehadiran KH bahawa
memainkan fungsi yang sangat penting.
Dicatat oleh Mohd Rashid Darham di 1:44 PG Tiada ulasan: Pautan pada catatan ini
Perlu juga dijelaskan bahawa sekiranya sesuatu ayat disongsangkan, penggunaan kata pemeri
tidak berubah walaupun struktur zahir ayat telah berubah. Sebagai contoh, sekiranya ayat (6)
disongsangkan, ayat yang terjana adalah seperti (6) yang berikut:
(6) Antara bangunan utama di Putra Jaya adalah kediaman rasmi Perdana Menteri.
Perhatikan bahawa penyongsangan ayat seperti ini tidak mengubah penggunaan kata pemeri
adalah walaupun struktur zahir ayat (6) ini ialah FSN + FN.
Seterusnya, dalam ayat berstruktur FN + FK yang kata kerja dalam FKnya digugurkan,
penggunaan kata pemeri adalah tetap dianggap melanggar rumus walaupun pada zahirnya
ayat itu berstruktur FN + FSN. Sebagai contoh, ayat (7) yang dijana adalah tidak gramatis.
(7) *Encik Hassan adalah di pejabatnya.
Walaupun ayat (7) pada zahirnya berstruktur FN + FSN (subjek ayat encik Hassan ialah FN
dan predikat ayat di pejabatnya ialah FSN), penggunaan kata pemeri adalah menyebabkan
ia tidak gramatis kerana struktur sebenarnya (sebelum pengguguran kata kerja berada) ialah
FN + FK.
(7) *Encik Hassan adalah berada di pejabatnya.
Ayat (7) berstruktur FN + FK (subjek ayat encik Hassan ialah FN dan predikat ayat
berada di pejabatnya ialah FK).
Begitu juga, dalam ayat berstruktur FN + FN yang predikatnya terdiri daripada FK yang
berfungsi sebagai FN, penggunaan kata pemeri ialah dianggap tidak melanggar rumus.
Sebagai contoh, ayat (8) yang dijana adalah gramatis.
(8) Kegemaran Sarah ialah berjoging.
Walaupun ayat (8) pada zahirnya berstruktur FN + FK (subjek ayat kegemaran Sarah ialah
FN dan predikat ayat berjoging ialah FK), penggunaan kata pemeri ialah tidak
menyebabkan ia tidak gramatis kerana struktur sebenarnya (sebelum pengguguran kata nama
aktiviti) ialah FN + FN.
(8) Kegemaran Sarah ialah aktiviti berjoging.
Ayat (8) berstruktur FN + FN (subjek ayat kegemaran Sarah ialah FN dan predikat ayat
aktiviti berjoging ialah FN).
Bukti bahawa berjoging bukan FK ialah kata bantu aspek, misalnya sedang, tidak boleh
hadir di hadapannya.
(8) *Kegemaran Sarah sedang berjoging.
Rumusannya ialah penggunaan kata pemeri ialah adalah gramatis dalam ayat berstruktur FN
+ FN. Penggunaan kata pemeri adalah pula gramatis dalam ayat berstruktur FN + FA dan FN
+ FSN. Penggunaan mana-mana kata pemeri adalah tidak gramatis dalam ayat berstruktur FN
+ FK.
Dicatat oleh Mohd Rashid Darham di 1:36 PG 3 ulasan: Pautan pada catatan ini
Senarai Rujukan
LKM 003 Bahasa Malaysia Peringkat Maju
A) Buku
1. Tatabahasa Dewan Edisi Ketiga Nik Safiah Karim dll.
Dewan Bahasa dan Pustaka (2008).
2. Asas Kemahiran Berbahasa Malaysia J. Nulawadin Mustafagani
Fajar Bakti (1992)
3. Warna dan Suasana Perancangan Bahasa Melayu di Malaysia
Awang Sariyan DBP (2000)
4. Bahasa Pintas dan Ulasan Karangan Bahasa Malaysia
Marshudi Harun dll.
5. Panduan Menterjemah Ainon Muhammad DBP (1991)
B) Majalah 6. Pelita Bahasa (majalah) DBP
7. Dewan Bahasa (majalah)DBP
C) Laman sesawang
o
Bertugas sebagai guru bahasa Malaysia di Universiti Sains Malaysia, Kampus
Kejuruteraan. Subjek yang diajarkan ialah Bahasa Malaysia Peringkat Maju (untuk
pensyarah), Bahasa Malaysia IV (untuk keperluan pengijazahan pelajar ijazah
pertama) dan Bahasa Malaysia I (untuk keperluan pengijazahan siswazah luar
negara).Pernah berkhidmat sebagai wartawan sebuah syarikat akhbar berbahasa
Melayu di Kuala Lumpur. Berkelulusan Sarjana Muda Sains Kemasyarakatan USM,
Sarjana Pengajian Melayu UM, Diploma Penterjemahan Persatuan Penterjemah
Malaysia.