Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN
Kanker merupakan masalah paling utama dalam bidang kedokteran dan merupakan salah satu
dari 10 penyebab kematian utama di dunia serta merupakan penyakit keganasan yang bisa
mengakibatkan kematian pada penderitanya karena sel kanker merusak sel lain. Sel kanker
adalah sel normal yang mengalami mutasi/perubahan genetik dan tumbuh tanpa terkoordinasi
dengan sel-sel tubuh lain. Proses pembentukan kanker (karsinogenesis) merupakan kejadian
somatik dan sejak lama diduga disebabkan karena akumulasi perubahan genetik dan
epigenetik yang menyebabkan perubahan pengaturan normal kontrol molekuler perkembang
biakan sel. Perubahan genetik tersebut dapat berupa aktivasi proto-onkogen dan atau
inaktivasi gen penekan tumor yang dapat memicu tumorigenesis dan memperbesar
progresinya (Syaifudin, 2007).
Kanker paru adalah salah satu jenis penyakit paru yang memerlukan penanganan dan
tindakan yang cepat dan terarah. Penegakan diagnosis penyakit ini membutuhkan ketrampilan
dan sarana yang tidak sederhana dan memerlukan pendekatan multidisiplin kedokteran.
Penyakit ini membutuhkan kerja sama yang erat dan terpadu antara ahli paru dengan ahli
radiologi diagnostik, ahli patologi anatomi, ahli radiologi terapi dan ahli bedah toraks, ahli
rehabilitasi medik dan ahli-ahli lainnya (PDPI, 2003).
Menurut data jenis kanker yang menjadi penyebab kematian terbanyak adalah kanker paru,
mencapai 1,3 juta kematian pertahun. Disusul kanker lambung (mencapai lebih dari 1 juta
kematian pertahun), kanker hati (sekitar 662.000 kematian pertahun), kanke usus besar
(655.000 kematian pertahun), dan yang terakhir yaitu kanker payudara (502.000 kematian
pertahun) (WHO 2005 dalam Lutfia, 2008).
Di Amerika Serikat kematian karena kanker paru mencapai 36% dari seluruh kematian
kanker pada laki-laki, merupakan urutan pertama penyebab kematian pada laki-laki
(Mangunnegoro, 1990). Mayo Lung mendapatkan kematian akibat kanker paru terhadap
penderita kanker paru didapatkan angka 3,1 per 1000 orang tiap tahun (Alsagaf, 1995).
Pengobatan atau penatalaksaan penyakit ini sangat bergantung pada kecekatan ahli paru
untuk mendapatkan diagnosis pasti. Penemuan kanker paru pada stadium dini akan sangat
membantu penderita, dan penemuan diagnosis dalam waktu yang lebih cepat memungkinkan
penderita memperoleh kualitas hidup yang lebih baik dalam perjalanan penyakitnya
meskipun tidak dapat menyembuhkannya. Pilihan terapi harus dapat segera dilakukan,
mengingat buruknya respons kanker paru terhadap berbagai jenis pengobatan. Bahkan dalam
beberapa kasus penderita kanker paru membutuhkan penangan sesegera mungkin meski
diagnosis pasti belum dapat ditegakkan. Kanker paru dalam arti luas adalah semua penyakit
keganasan di paru, mencakup keganasan yang berasal dari paru sendiri maupun keganasan
dari luar paru (metastasis tumor di paru). Dalam pedoman penatalaksanaan ini yang
dimaksud dengan kanker paru ialah kanker paru primer, yakni tumor ganas yang berasal dari
epitel bronkus atau karsinoma bronkus (bronchogenic carcinoma). Menurut konsep masa kini
kanker adalah penyakit gen. Sebuah sel normal dapat menjadi sel kanker apabila oleh
berbagai sebab terjadi ketidak seimbangan antara fungsi onkogen dengan gen tumor
suppresor dalam proses tumbuh dan kembangnya sebuah sel.Perubahan atau mutasi gen yang
menyebabkan terjadinya hiperekspresi onkogen dan/atau kurang/hilangnya fungsi gen tumor

suppresor menyebabkan sel tumbuh dan berkembang tak terkendali. Perubahan ini berjalan
dalam beberapa tahap atau yang dikenal dengan proses multistep carcinogenesis. Perubahan
pada kromosom, misalnya hilangnya heterogeniti kromosom atau LOH juga diduga sebagai
mekanisme ketidak normalan pertumbuhan sel pada sel kanker. Dari berbagai penelitian telah
dapat dikenal beberapa onkogen yang berperan dalam proses karsinogenesis kanker paru,
antara lain gen myc, gen k-ras sedangkan kelompok gen tumor suppresor antaralain, gen p53,
gen rb. Sedangkan perubahan kromosom pada lokasi 1p, 3p dan 9p sering ditemukan pada sel
kanker paru (PDPI, 2003).

BAB II
PERMASALAHAN
Di Indonesia terdapat lima jenis kanker yang banyak diderita penduduk yakni kanker rahim,
kanker payudara, kanker kelenjar getah bening, kanker kulit, dan kanker rektum. Kasus
penyakit kanker yang ditemukan di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2008 sebanyak 27.125
kasus, terdiri dari Ca. servik 8.568 kasus (31,59%), Ca. mamae 14.019 kasus (51,68%), Ca.
hepar 3.260 (12,02%), dan Ca. paru 1.278 kasus (4,71%). Prevalensi kanker paru di Jawa
Tengah tahun 2006 sebesar 0,01%. Pada tahun 2007 mengalami penurunan menjadi 0,004%,
dan pada tahun 2008 menjadi 0,005%. Prevalensi tertinggi adalah di Kabupaten Kudus
sebesar 0,026% (Dinprov Jateng, 2008).
Atmanto (1992) menyatakan kanker paru merupakan penyakit dengan keganasan tertinggi
diantara jenis kanker lainnya di Jawa Timur dengan angka Case Fatality Rate (CFR) sebesar
24,1%. Pada Tahun 1998 di RS Kanker Dharmais, kanker paru menem-pati urutan kedua
terbanyak setelah kanker payudara, yaitu sebanyak 75 kasus (Nasar, 2000)
Tingginya angka merokok pada masyarakat akan menjadikan kanker paru sebagai salah satu
masalah kesehatan di Indonesia, seperti masalah keganasan lainnya. Peningkatan angka
kesakitan penyakit keganasan, seperti penyakit kanker dapat dilihat dari hasil Survai
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) yang pada 1972 memperlihatkan angka kematian karena
kanker masih sekitar 1,01 % menjadi 4,5 % pada 1990. Data yang dibuat WHO menunjukan
bahwa kanker paru adalah jenis penyakit keganasan yang menjadi penyebab kematian utama
pada kelompok kematian akibat keganasan, bukan hanya pada laki laki tetapi juga pada
perempuan. Buruknya prognosis penyakit ini mungkin berkaitan erat dengan jarangnya
penderita datang ke dokter ketika penyakitnya masih berada dalam stadium awal penyakit.
Hasil penelitian pada penderita kanker paru pasca bedah menunjukkan bahwa, rata-rata angka
tahan hidup 5 tahunan stage I sangat jauh berbeda dengan mereka yang dibedah setelah stage
II, apalagi jika dibandingkan dengan staging lanjut yang diobati adalah 9 bulan (PDPI, 2003).
Pada tahun 1998 Cancer Statistics melaporkan bahwa di Amerika ditemukan 45.000 kasus
baru KPKSK. Respons terhadap kemoterapi KPKSK pada semua stage cukup tinggi ( 65 % 85 %), MTTH pada limited stage (LD-SCLC) yang diobati 10 15 bulan, hanya 3 bulan jika
tidak diobati, dan akan meningkat menjadi 12 20 bulan jika ditambah dengan radiasi toraks.
Angka tahan hidup pada extensive disease (ED_SCLC) jauh lebih rendah yaitu 7 11 bulan
jika diterapi dan hanya 1,5 bulan jika tidak diobati (Landis et al, 1998).

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

1. Keluhan dan Gejala Penyakit Kanker Paru


Gambaran klinik penyakit kanker paru tidak banyak berbeda dari penyakit paru lainnya,
terdiri dari keluhan subyektif dan gejala obyektif. Dari anamnesis akan didapat keluhan
utama dan perjalanan penyakit, serta faktorfaktor lain yang sering sangat membantu
tegaknya diagnosis. Keluhan utama dapat berupa :batuk-batuk dengan / tanpa dahak (dahak
putih, dapat juga purulen), batuk darah, sesak napas, suara serak, sakit dada, sulit / sakit
menelan, benjolan di pangkal leher, sembab muka dan leher, kadang-kadang disertai sembab
lengan dengan rasa nyeri yang hebat (PDPI, 2003).
Tidak jarang yang pertama terlihat adalah gejala atau keluhan akibat metastasis di luar paru,
seperti kelainan yang timbul karena kompresi hebat di otak, pembesaran hepar atau patah
tulang kaki. Gejala dan keluhan yang tidak khas seperti :berat badan berkurang, nafsu makan
hilang, demam hilang timbul, sindrom paraneoplastik, seperti "hypertrophic pulmonary
osteoartheopathy", trombosis vena perifer dan neuropatia (PDPI, 2003).

1. Patofisiologi
Awalnya menyerang percabangan segmen/ sub bronkus menyebabkan cilia hilang dan
deskuamasi sehingga terjadi pengendapan karsinogen. Dengan adanya pengendapan
karsinogen maka menyebabkan metaplasia, hyperplasia dan displasia. Bila lesi perifer yang
disebabkan oleh metaplasia, hyperplasia dan displasia menembus ruang pleura, biasa timbul
efusi pleura, dan bisa diikuti invasi langsung pada kosta dan korpus vertebra. Lesi yang
letaknya sentral berasal dari salah satu cabang bronkus yang terbesar. Lesi ini menyebabkan
obstuksi dan ulserasi bronkus dengan diikuti dengan supurasi di bagian distal. Gejala-gejala
yang timbul dapat berupa batuk, hemoptysis, dispneu, demam, dan dingin. Wheezing
unilateral dapat terdengan pada auskultasi. Pada stadium lanjut, penurunan berat badan
biasanya menunjukkan adanya metastase, khususnya pada hati. Kanker paru dapat
bermetastase ke struktur struktur terdekat seperti kelenjar limfe, dinding esofagus,
pericardium, otak, tulang rangka (Arisandi, 2008).

1. Jenis histologis
Untuk menentukan jenis histologis, secara lebih rinci dipakai klasifikasi histologis menurut
WHO tahun 1999, tetapi untuk kebutuhan klinis cukup jika hanya dapat diketahui :
1. Karsinoma skuamosa (karsinoma epidermoid)
2. Karsinoma sel kecil (small cell carcinoma)

3. Adenokarsinoma (adenocarcinoma)
4. Karsinoma sel besar (large Cell carcinoma)
Secara garis besar kanker paru dibagi menjadi 2 bagian yaitu Small Cel Lung Cancer (SCLC)
dan Non Small Cel Lung Cancer (NCLC) (Wasripin, 2007).
1. Small Cell Lung Cancer (SCLC)
Kejadian kanker paru jenis SCLC ini hanya sekitar 20 % dari total kejadian kanker paru.
Namun jenis ini berkembang sangat cepat dan agresif. Apabila tidak segera mendapat
perlakuan maka hanya dapat bertahan 2 sampai 4 bulan.
2. Non Small Cell Lung Cancer
80 % dari total kejadian kanker paru adalah jenis NSCLC. Secara garis besar dibagi menjadi
3 yaitu:
a. Adenocarsinoma, jenis ini adalah yang paling banyak ditemukan (40%).
b. Karsinoma Sel Sekuamosa, banyaknya kasus sekitar 20 30 %.
c. Karsinoma Sel Besar, banyaknya kasus sekitar 10 15 %.
Sebagian besar pasien yang didiagnosa dengan NSCLC (70 80 %) sudah dalam stadium
lanjut III IV.
Berbagai keterbatasan sering menyebabkan dokter specialis Patologi Anatomi mengalami
kesulitan menetapkan jenis sitologi/histologis yang tepat. Karena itu, untuk kepentingan
pemilihan jenis terapi, minimal harus ditetapkan, apakah termasuk kanker paru karsinoma sel
kecil (KPKSK atau small cell lung cancer, SCLC) atau kanker paru jenis karsinoma bukan
sel kecil (KPKBSK, nonsmall cell lung cancer, NSCLC) (WHO 1999 dalam PDPI, 2003).
1. Penderajatan (Staging) Kanker Paru
Penderajatan untuk KPKBSK ditentukan menurut International System For Lung Cancer
1997, berdasarkan sistem TNM. Pengertian T adalah tumor yang dikatagorikan atas Tx, To
s/d T4, N untuk keterlibatan kelenjar getah bening (KGB) yang dikategorikan atas Nx, No s/d
N3, sedangkan M adalah menunjukkan ada atau tidaknya metastasis jauh (WHO 1999 dalam
PDPI, 2003).

Penderajatan Internasional Kanker Paru Berdasarkan Sistem TNM


Stage TNM
occult carcinoma : Tx N0 M0
0 : Tis N0 M0
IA : T1 N0 M0
IB : T2 N0 M0

IIA : T1 N1 M0
IIB : T2 N1 M0
IIIA : T3 N0 M0
T3 N2 M0
IIIB : seberang T N3 M0
T4 sebarang N M0
IV : sebarangT sebarangN sebarangT
KETERANGAN

T
To

Tumor Primer
Tidak ada bukti
primer

sulit

terbukti

dari

sekret

Tx

Tis

ada

dinilai,
penemuan

tumor

primer.

Tumor

atau

tumor

primer

sel

tumor

bronkopulmoner

ganas

tetapi

tidak

tampak secara radilogis atau bronkoskopik.


Tumor primer sulit dinilai, atau tumor
terbukti

dari

penemuan

sekret

bronkopulmoner

sel

tumor

tetapi

Tengah

terbesar

tidak

oleh

jaringan

dikelilingi
viseral

dan

secara

lebih

dengan

melebihi
paru

3
atau

bronkoskopik

lobus

(belum

sampai

supervisial

(belum

sampai

ke

bronkus

sebarang

ukuran

terbatas

pada

dinding

meluas ke proksimal bronkus utama

primer
pada
tampak

invasi

proksimal

bronkus

invasif

ganas

tidak

secara radilogis atau bronkoskopik.


Karsinoma in situ T1 Tumor

pada

garis
cm,
pleura
tidak
dari

ke

bronkuslobus

utama).

Tumor

dengankomponen
bronkus

yang

T2

Setiap tumor dengan ukuran atau perluasan sebagai


berikut :

Garis tengah terbesar lebih dari 3 cm

Mengenai bronkus utama sejauh 2 cm atau lebih


distal dari karina mengenai pleura

Viseral

Berhubungan dengan atelektasis atau

pneumonitis
daerah

T3

obstruktif
hilus,tetapi

seluruh paru.
Tumor
sebarang
langsung

pada

sulkus

utamayang

dengan

T4

N
Nx
No
N1

N2
N3

ukuran,
dinding

atau
jaraknya

karina

atau

atelektasis

meluas

belum

perluasan

(termasuk

diafragma,
tumor
kurang
tumor
atau

yang

pneumonitis

tumor
pleura

dalam
dari

ke

mengenai

dengan

dada

superior),

mediastinum

distal

yang

bronkus
cm

sebelah

berhubungan
obstruktif

seluruh paru.
Tumor sebarang ukuran yang mengenai mediastinum atau
jantung, pembuluh besar, trakea, esofagus, korpus
vertebra, karina, tumor yang disertai dengan efusi pleura
ganas atau satelit tumor nodul ipsilateral pada lobus yang
sama dengan tumor primer.
Kelenjar getah bening regional (KGB)
Kelenjar getah bening tak dapat dinilai
Tak terbukti keterlibatan kelenjar getah bening
Metastasis pada kelenjar getah bening peribronkial
dan/atau hilus ipsilateral, termasuk perluasan tumor secara
langsung
Metastasis pada kelenjar getah bening mediatinum
ipsilateral dan/atau KGB subkarina
Metastasis pada hilus atau mediastinum kontralateral atau
KGB skalenus / supraklavila ipsilateral / kontralateral

M
Mx
Mo
M1

Metastasis (anak sebar) jauh.


Metastasis tak dapat dinilai
Tak ditemukan metastasis jauh
Ditemukan metastasis jauh. Metastastic tumor nodule(s)
ipsilateral di luar lobus tumor primerm dianggap sebagai
M1

(WHO 1999 dalam PDPI, 2003).

1. Pemeriksaan Penunjang Diagnostik


1. Pemeriksaan jasmani
Pemeriksaan jasmani harus dilakukan secara menyeluruh dan teliti. Hasil yang didapat sangat
bergantung pada kelainan saat pemeriksaan dilakukan. Tumor paru ukuran kecil dan terletak
di perifer dapat memberikan gambaran normal pada pemeriksaan. Tumor dengan ukuran
besar, terlebih bila disertai atelektasis sebagai akibat kompresi bronkus, efusi pleura atau
penekanan vena kava akan memberikan hasil yang lebih informatif. Pemeriksaan ini juga
dapat memberikan data untuk penentuan stage penyakit, seperti pembesaran KGB atau tumor
diluar paru. Metastasis ke organ lain juga dapat dideteksi dengan perabaan hepar,
pemeriksaan funduskopi untuk mendeteksi peninggian tekanan intrakranial dan terjadinya
fraktur sebagai akibat metastasis ke tulang (PDPI, 2003).
2. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan radiologis adalah salah satu pemeriksaan penunjang yang mutlak dibutuhkan
untuk menentukan lokasi tumor primer dan metastasis, serta penentuan stadium penyakit
berdasarkan sistem TNM. Jenis pemeriksaan Radiologis yaitu (PDPI, 2003) :
a. Foto toraks :
Pada pemeriksaan foto toraks PA/lateral akan dapat dilihat bila masa tumor dengan ukuran
tumor lebih dari 1 cm. Tanda yang mendukung keganasan adalah tepi yang ireguler, disertai
identasi pleura, tumor satelit tumor, dll. Pada foto tumor juga dapat ditemukan telah invasi ke
dinding dada, efusi pleura, efusi perikar dan metastasis intrapulmoner. Sedangkan
keterlibatan KGB untuk menentukan N agak sulit ditentukan dengan foto toraks saja.
Kewaspadaan dokter terhadap kemungkinan kanker paru pada seorang penderita penyakit
paru dengan gambaran yang tidak khas untuk keganasan penting diingatkan. Seorang
penderita yang tergolong dalam golongan resiko tinggi (GRT) dengan diagnosis penyakit
paru, harus disertai difollowup yang teliti. Pemberian OAT yang tidak menunjukan perbaikan
atau bahkan memburuk setelah 1 bulan harus menyingkirkan kemungkinan kanker paru,
tetapi lain masalahnya pengobatan pneumonia yang tidak berhasil setelah pemberian
antibiotik selama 1 minggu juga harus menimbulkan dugaan kemungkinan tumor dibalik
pneumonia tersebut Bila foto toraks menunjukkan gambaran efusi pleura yang luas harus
diikuti dengan pengosongan isi pleura dengan punksi berulang atau pemasangan WSD dan
ulangan foto toraks agar bila ada tumor primer dapat diperlihatkan. Keganasan harus
difikirkan bila cairan bersifat produktif, dan/atau cairan serohemoragik.

b. CT-Scan toraks :
Tehnik pencitraan ini dapat menentukan kelainan di paru secara lebih baik daripada foto
toraks. CT-scan dapat mendeteksi tumor dengan ukuran lebih kecil dari 1 cm secara lebih
tepat. Demikian juga tanda-tanda proses keganasan juga tergambar secara lebih baik, bahkan
bila terdapat penekanan terhadap bronkus, tumor intra bronkial, atelektasis, efusi pleura yang
tidak masif dan telah terjadi invasi ke mediastinum dan dinding dada meski tanpa gejala.
Lebih jauh lagi dengan CT-scan, keterlibatan KGB yang sangat berperan untuk menentukan
stage juga lebih baik karena pembesaran KGB (N1 s/d N3) dapat dideteksi. Demikian juga
ketelitiannya mendeteksi kemungkinan metastasis intrapulmoner.
c. Pemeriksaan radiologik lain :
Kekurangan dari foto toraks dan CT-scan toraks adalah tidak mampu mendeteksi telah
terjadinya metastasis jauh. Untuk itu dibutuhkan pemeriksaan radiologik lain, misalnya
Brain-CT untuk mendeteksi metastasis di tulang kepala / jaringan otak, bone scan dan/atau
bone survey dapat mendeteksi metastasis diseluruh jaringan tulang tubuh. USG abdomen
dapat melihat ada tidaknya metastasis di hati, kelenjar adrenal dan organ lain dalam rongga
perut.
3. Pemeriksaan khusus
a. Bronkoskopi
Bronkoskopi adalah pemeriksan dengan tujuan diagnostik sekaligus dapat dihandalkan untuk
dapat mengambil jaringan atau bahan agar dapat dipastikan ada tidaknya sel ganas.
Pemeriksaan ada tidaknya masa intrabronkus atau perubahan mukosa saluran napas, seperti
terlihat kelainan mukosa tumor misalnya, berbenjol-benjol, hiperemis, atau stinosis infiltratif,
mudah berdarah. Tampakan yang abnormal sebaiknya di ikuti dengan tindakan biopsi
tumor/dinding bronkus, bilasan, sikatan atau kerokan bronkus.
b. Biopsi aspirasi jarum
Apabila biopsi tumor intrabronkial tidak dapat dilakukan, misalnya karena amat mudah
berdarah, atau apabila mukosa licin berbenjol, maka sebaiknya dilakukan biopsi aspirasi
jarum, karena bilasan dan biopsi bronkus saja sering memberikan hasil negatif.
c. Transbronchial Needle Aspiration (TBNA)
TBNA di karina, atau trakea 1/1 bawah (2 cincin di atas karina) pada posisi jam 1 bila tumor
ada dikanan, akan memberikan informasi ganda, yakni didapat bahan untuk sitologi dan
informasi metastasis KGB subkarina atau paratrakeal.
d. Transbronchial Lung Biopsy (TBLB)
Jika lesi kecil dan lokasi agak di perifer serta ada sarana untuk fluoroskopik maka biopsi paru
lewat bronkus (TBLB) harus dilakukan.
e. Biopsi Transtorakal (Transthoraxic Biopsy, TTB)

Jika lesi terletak di perifer dan ukuran lebih dari 2 cm, TTB dengan bantuan flouroscopic
angiography. Namun jika lesi lebih kecil dari 2 cm dan terletak di sentral dapat dilakukan
TTB dengan tuntunan CTscan.
f. Biopsi lain
Biopsi jarum halus dapat dilakukan bila terdapat pembesaran KGB atau teraba masa yang
dapat terlihat superfisial. Biopsi KBG harus dilakukan bila teraba pembesaran KGB
supraklavikula, leher atau aksila, apalagi bila diagnosis sitologi/histologi tumor primer di
paru belum diketahui. Biopsi Daniels dianjurkan bila tidak jelas terlihat pembesaran KGB
suparaklavikula dan cara lain tidak menghasilkan informasi tentang jenis sel kanker. Punksi
dan biopsi pleura harus dilakukan jika ada efusi pleura.
g. Torakoskopi medik
Dengan tindakan ini massa tumor di bagaian perifer paru, pleura viseralis, pleura parietal dan
mediastinum dapat dilihat dan dibiopsi.
h. Sitologi sputum
Sitologi sputum adalah tindakan diagnostik yang paling mudah dan murah. Kekurangan
pemeriksaan ini terjadi bila tumor ada di perifer, penderita batuk kering dan tehnik
pengumpulan dan pengambilan sputum yang tidak memenuhi syarat. Dengan bantuan
inhalasi NaCl 3% untuk merangsang pengeluaran sputum dapat ditingkatkan. Semua bahan
yang diambil dengan pemeriksaan tersebut di atas harus dikirim ke laboratorium Patologi
Anatomik untuk pemeriksaan sitologi/histologi. Bahan berupa cairan harus dikirim segera
tanpa fiksasi, atau dibuat sediaan apus, lalu difiksasi dengan alkohol absolut atau minimal
alkohol 90%. Semua bahan jaringan harus difiksasi dalamformalin 4% (PDPI, 2003).
4. Pemeriksaan invasif lain
Pada kasus kasus yang rumit terkadang tindakan invasif seperti Torakoskopi dan tindakan
bedah mediastinoskopi, torakoskopi, torakotomi eksplorasi dan biopsi paru terbuka
dibutuhkan agar diagnosis dapat ditegakkan. Tindakan ini merupakan pilihan terakhir bila
dari semua cara pemeriksaan yang telah dilakukan, diagnosis histologis / patologis tidak
dapat ditegakkan.
Semua tindakan diagnosis untuk kanker paru diarahkan agar dapat ditentukan :
a. Jenis histologis.
b. Derajat (staging).
c. Tampilan (tingkat tampil, "performance status").
Sehingga jenis pengobatan dapat dipilih sesuai dengan kondisi penderita.
5. Pemeriksaan lain
a. Petanda Tumor

Petanda tumor yang telah, seperti CEA, Cyfra21-1, NSE dan lainya tidak dapat digunakan
untuk mendiagnosis tetapi masih digunakan evaluasi hasil pengobatan.
b. Pemeriksaan biologi molekuler
Pemeriksaan biologi molekuler telah semakin berkembang, cara paling sederhana dapat
menilai ekspresi beberapa gen atau produk gen yang terkait dengan kanker paru,seperti
protein p53, bcl2, dan lainya. Manfaat utama dari pemeriksaan biologi molekuler adalah
menentukan prognosis penyakit.

1. Etiologi
1. Merokok
Merokok diestimasikan 90% menyebabkan kanker paru-paru pada pria, dan sekitar 70% pada
wanita. Di negara-negara industri, sekitar 56% - 80% merokok menyebabkan penyakit
pernafasan kronis dan sekitar 22% penyakit kardiovaskular. Indonesia menduduki peringkat
ke-4 jumlah perokok terbanyak di dunia dengan jumlah sekitar 141 juta orang. Diperkirakan,
konsumsi rokok Indonesia setiap tahun mencapai 199 miliar batang rokok. Akibatnya adalah
kematian sebanyak 5 juta orang pertahunnya (Gondidoputra, 2007).
Kasus kanker paru baik di Amerika ataupun negara-negara industri lainnya sekitar 90%
berhubungan dengan merokok. Data RSUP Persahabatan Jakarta menunjukkan bahwa 24,5%
perempuan dan 83,6% pria pasien kanker paru adalah perokok (Murray, 2010).
a. Asap rokok mengandung lebih dari 4.000 bahan kimia, banyak yang telah diidentifikasi
sebagai penyebab kanker.
b. Orang yang merokok lebih dari satu pak rokok per hari memiliki 20-25 kali lebih besar
risiko terkena kanker paru-paru daripada orang yang tidak pernah merokok.
c. Setelah seseorang berhenti merokok, risiko nya untuk kanker paru-paru berkurang secara
bertahap. Sekitar 15 tahun setelah berhenti, risiko untuk kanker paru-paru menurun dengan
tingkat seseorang yang tidak pernah merokok.
d. Cigar dan merokok pipa meningkatkan risiko kanker paru-paru, tetapi tidak sebanyak
merokok. Sekitar 90% kanker paru-paru timbul akibat penggunaan tembakau. Risiko kanker
paru-paru berkembang adalah berkaitan dengan faktor-faktor berikut: Jumlah rokok yang
diisap, Usia di mana seseorang mulai merokok, Berapa lama seseorang merokok (atau pernah
merokok sebelum keluar).
Penyebab lain kanker paru termasuk sebagai berikut:
1) Merokok pasif, atau asap bekas, menyajikan lain risiko untuk kanker paru-paru. Sebuah
kematian diperkirakan 3.000 kanker paru-paru terjadi setiap tahun di Amerika Serikat yang
dapat diatribusikan pada perokok pasif.

2) Sebagian besar karsinogen dalam asap tembakau (rokok) ditemukan pada fase tar seperti
PAH dan fenol aromatik Tar adalah sejenis cairan kental berwarna coklat tua atau hitam yang
merupakan substansi hidrokarbon yang bersifat lengket dan menempel pada paru paru.
Kadar tar dalam tembakau antara 0.5-35 mg/ batang. Tar merupakan suatu zat karsinogen
yang dapat menimbulkan kanker pada jalan nafas dan paru-paru (Gondodiputro, 2007).
2. Polusi udara
Polusi dari kendaraan bermotor, pabrik, dan sumber lain mungkin meningkatkan risiko
kanker paru-paru. Gas yang paling berbahaya bagi paru-paru adalah SO2 dan NO2. Kalau
unsur ini diisap, maka berbagai keluhan di paru-paru akan timbul dengan nama CNSRD
(chronic non spesific respiratory disease) seperti asma dan bronkhitis (Aditama, 1992).
Kenaikan konsentrasi gas SO2 dan NO2 dikaitkan dengan adanya gangguan fungsi paru
a. Pengaruh pencemaran akibat oksida sulfur adalah meningkatnya tingkat morbiditas,
insidensi penyakit pernapasan, seperti bronchitis, emphysema dan penurunan kesehatan
umum. Konsentrasi SO2 0,04 ppm dengan partikulat 169 g/m3 menimbulkan peningkatan
yang tinggi dalam kematian akibat bronchitis dan kanker paru-paru (Soedomo, 1999).
b. Pengaruhnya terhadap kesehatan yaitu terganggunya sistem pernapasan dan dapat menjadi
emfisema, bila kondisinya kronis dapat berpotensi menjadi bronkhitis serta akan terjadi
penimbunan NO2 dan dapat merupakan sumber karsinogenik (Sunu, 2001).
3. Akibat Kerja
a. Pemaparan asbes meningkatkan resiko kanker paru-paru sembilan kali. Kombinasi dari
paparan asbes dan merokok meningkatkan resiko untuk sebanyak 50 kali. Kanker lain dikenal
sebagai mesothelioma (suatu jenis kanker pada lapisan rongga dada yang disebut pleura atau
lapisan rongga perut disebut peritoneum) juga sangat terkait dengan paparan asbes.
b. Pekerjaan tertentu dimana paparan arsenik,, kromium nikel, hidrokarbon aromatik, dan eter
terjadi dapat meningkatkan risiko kanker paru-paru.
c. Penyakit Paru Kerja Akibat Pajanan Cat Semprot. Cat semprot mengubah substansi
menjadi aerosol, yaitu kumpulan partikel halus berupa cair atau padat, sehingga karena
ukurannya yang kecil akan mudah terhisap, selanjutnya merupakan pajanan potensial
khususnya terhadap kesehatan paru. Pigmen dalam cat berguna untuk mewarnai dan
meningkatkan ketahanan cat. Banyak jenis pigmen merupakan bahan berbahaya yaitu
Chromium dan Cadmium Memberikan warna hijau, kuning, dan oranye dapat menyebabkan
kanker paru dan iritasi kulit, hidung, dan saluran nafas atas (Wahyuningsih, 2003).
4. Penyakit Paru,
Penyakit paru seperti tuberkulosis (TBC) dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), juga
membuat risiko untuk kanker paru-paru. Seseorang dengan PPOK memiliki risiko empat
sampai enam kali lebih besar terkena kanker paru-paru bahkan ketika pengaruh merokok
dikecualikan.
5. Iradiasi

a. Radon pose eksposur risiko lain merupakan produk sampingan dari radium alami, yang
merupakan produk uranium.
b. Radon hadir di udara indoor dan outdoor.
c. Risiko kanker paru meningkat dengan paparan jangka panjang yang signifikan untuk
radon, meskipun tidak ada yang tahu risiko yang tepat. Sebuah% 12 diperkirakan kematian
akibat kanker paru-paru timbul gas radon, atau sekitar 21.000 kematian paru-paru terkait
kanker setiap tahun di US Radon gas adalah penyebab utama kedua kanker paru-paru di
Amerika Serikat setelah merokok. Seperti dengan paparan asbes, merokok sangat
meningkatkan resiko kanker paru-paru dengan paparan radon.
d. Seseorang yang telah menderita kanker paru-paru lebih mungkin mengembangkan kanker
paru-paru detik dibanding rata-rata orang adalah untuk mengembangkan kanker paru-paru
terlebih dahulu.
( www.emedicinehealth.com )
6. Genetik.
Terdapat perubahan/ mutasi beberapa gen yang berperan dalam kanker paru, yakni :
a. Proton oncogen
b. Tumor suppressor gene
c. Gene encoding enzyme (Adisani, 2008).
7. Diet
Dilaporkan bahwa rendahnya konsumsi betakaroten, seleniumdan vitamin A menyebabkan
tingginya resiko terkena kanker paru (Suyono, 2001).

1. Cara Pencegahan
Prinsip upaya penceggahan lebih baik dari sebatas pengoobatan. Terdapat 4 Tingkatan
pencegahan dalam epideemiologi penyakit kanker paru, yaitu :
1. Pencegahan Primordial
Berupa upaya untuk memberikan kondisi pada masyarakat yang memungkinkan penyakit
kanker paru tidak dapat berkembang karena tidak adanya peluang dan dukungan dari
kebiasaan, gaya hidup maupun kondisi lain yang merupakan faktor resiko untuk munculnya
penyakit kanker paru. Misalnya : menciptakan prakondisi dimana masyarakat merasa bahwa
merokok itu merupakan statu kebiasaan yang tidak baik dan masyarakat mampu bersikap
positif untuk tidak merokok.

Penelitian tentang rokok mengatakan bahwa lebih dari 63 jenis bahan yang dikandung asap
rokok itu bersifat karsinogenesis. Secara epidemiologik juga terlihat kaitan kuat antara
kebiasaan merokok dengan insidens kanker paru, maka tidak dapat disangkal lagi
menghindarkan asap rokok adalah kunci keberhasilan pencegahan yang dapat dilakukan.
Keterkaitan rokok dengan kasus kanker paru diperkuat dengan data bahwa risiko seorang
perempuan perokok pasif akan terkena kanker paru lebih tinggi daripada mereka yang tidak
terpajan kepada asap rokok. Dengan dasar penemuan di atas adalah wajar bahwa pencegahan
utama kanker paru berupa upaya memberantas kebiasaan merokok. Menghentikan seorang
perokok aktif adalah sekaligus menyelamatkan lebih dari seorang perokok pasif (PDPI,
2003).
2. Pencegahan Tingkat Pertama
Pencegahan tingkat pertama yang dapat dilakukan antara lain:
a) Promosi Kesehatan Masyarakat

Kampanye kesadaran masyarakat

Promosi kesehatan

Pendidikan Kesehatan Masyarakat

b) Pencegahan Khusus :

Pencegahan keterpaparan

Pemberian kemopreventif

3. Pencegahan Tingkat Kedua


a) Diagnosis Dini : misalnya dengan Screening.
b) Pengobatan : misalnya dengan Kemotherapi atau Pembedahan.
4. Pencegahan Tingkat Ketiga
Pencegahan tingkat ketiga dapat dilakukan dengan cara rehabilitasi.

1. Cara Pengobatan
Pengobatan kanker paru adalah combined modality therapy (multi-modaliti terapi).
Kenyataanya pada saat pemilihan terapi, sering bukan hanya diharapkan pada jenis histologis,

derajat dan tampilan penderita saja tetapi juga kondisi non-medisseperti fasiliti yang
dimilikirumah sakit dan ekonomi penderita juga merupakan faktor yang amat menentukan.
Menurut Persatuan Ahli Bedah Onkologi Indonesia (2005), penatalaksanaan/pengobatan
utama penyakit kanker meliputi empat macam yaitu pembedahan, radioterapi, kemoterapi dan
hormoterapi. Pembedaha dilakukan untuk mengambil massa kanker dan memperbaiki
komplikas yang mungkin terjadi. Sementara tindakan radioterapi dilakukan dengan sina
ionisasi untuk menghancurkan kanker. Kemoterapi dilakukan untu membunuh sel kanker
dengan obat anti-kanker (sitostatika). Sedangkan hormonterapi dilakukan untuk mengubah
lingkungan hidup kanker sehingga pertumbuhan sel-selnya terganggu dan akhirnya mati
sendiri (Sukardja 1996 dalam Lutfia, 2008).
a. Pembedahan
Indikasi pembedahan pada kanker paru adalah untuk KPKBSK stadium I dan II. Pembedahan
juga merupakan bagian dari combine modality therapy, misalnya kemoterapi neoadjuvan
untuk KPBKSK stadium IIIA. Indikasi lain adalah bila ada kegawatan yang memerlukan
intervensi bedah, seperti kanker paru dengan sindroma vena kava superiror berat. Prinsip
pembedahan adalah sedapat mungkin tumor direseksi lengkap berikut jaringan KGB
intrapulmoner, dengan lobektomi maupun pneumonektomi. Segmentektomi atau reseksi baji
hanya dikerjakan jika faal paru tidak cukup untuk lobektomi. Tepi sayatan diperiksa dengan
potong beku untuk memastikan bahwa batas sayatan bronkus bebas tumor. KGB mediastinum
diambil dengan diseksi sistematis, serta diperiksa secara patologi anatomis (PDPI, 2003).
b. Kemoterapi
Kemoterapi merupakan pilihan utama untuk kanker paru karsinoma sel kecil (KPKSK) dan
beberapa tahun sebelumnya diberikan sebagai terapi paliatif untuk kanker paru karsinoma
bukan sel kecil (KPKBSK) stage lanjut. Tujuan pemberian kemoterapi paliatif adalah
mengurangi atau menghilangkan gejala yang diakibatkan oleh perkembangan sel kanker
tersebut sehingga diharapkan akan dapat meningkatkan kualiti hidup penderita. Tetapi akhirakhir ini berbagai penelitian telah memperlihatkan manfaat kemoterapi untuk KPKBSK
sebagai upaya memperbaiki prognosis, baik 3 sebagai modaliti tunggal maupun bersama
modaliti lain, yaitu radioterapi dan/atau pembedahan. Indikasi pemberian kemoterapi pada
kanker paru ialah:
1. Penderita kanker paru jenis karsinoma sel kecil (KPKSK) tanpa atau dengan gejala.
2. Penderita kanker paru jenis karsinoma bukan sel kecil (KPKBSK) yang inoperabel (stage
IIIB & IV), jika memenuhi syarat dapat dikombinasi dengan radioterapi, secara konkuren,
sekuensial atau alternating kemoradioterapi.
3. Kemoterapi adjuvan yaitu kemoterapi pada penderita kanker paru jenis karsinoma bukan
sel kecil (KPKBSK) stage I, II dan III yang telah dibedah.
4. Kemoterapi neoadjuvan yaitu kemoterapi pada penderita stage IIIA dan beberapa kasus
stage IIIB yang akan menjalani pembedahan. Dalam hal ini kemoterapi merupakan bagian
terapi multimodaliti.

Penderita yang akan mendapat kemoterapi terlebih dahulu harus menjalani pemeriksaan dan
penilaian, sehingga terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut (Jusuf et al., 2005):
1. Diagnosis histologis telah dipastikan
Pemilihan obat yang digunakan tergantung pada jenis histologis. Oleh karena itu diagnosis
histologis perlu ditegakkan. Untuk kepentingan itu dianjurkan menggunakan klasifikasi
histologis menurut WHO tahun 1997. Apabila ahli patologi sulit menentukan jenis yang pasti,
maka bagi kepentingan kemoterapi minimal harus dibedakan antara:

Jenis karsinoma sel kecil


o Jenis karsinoma bukan sel kecil, yaitu
adenokarsinoma dan karsinoma sel besar

karsinoma

sel

skuamosa,

2. Tampilan/performance status menurut skala Karnofsky minimal 60 - 70 atau skala WHO


3. Pemeriksaan darah perifer untuk pemberian siklus pertama :

Leukosit > 4.000/mm3

Trombosit > 100.000/mm3

Hemoglobin > 10 g%. Bila perlu, transfusi darah diberikan sebelum pemberian obat.

Sedangkan untuk pemberian siklus berikutnya, jika nilai-nilai di atas itu lebih rendah maka
beberapa jenis obat masih dapat diberikan dengan penyesuaian dosis.
4. Sebaiknya faal hati dalam batas normal
5. Faal ginjal dalam batas normal, terutama bila akan digunakan obat yang nefrotoksik. Untuk
pemberian kemoterapi yang mengandung sisplatin, creatinine clearance harus lebih besar
daripada 70 ml/menit. Apabila nilai ini lebih kecil, sedangkan kreatinin normal dan penderita
tua sebaiknya digunakan karboplatin.
Penelitian di Asia , MTTH penderita limited stage (LD-SCLC) yang mendapat
kemoradioterapi 14,2 bulan (95% CI, 10,96 17,44) dan meningkat menjadi 16,9 bulan (95%
CI, 11,83 21,97) pada yang mendapat tambahan PCI. Angka MTTH lebih rendah yaitu 8,17
bulan (95%CI, 5,44 10,89) pada pasien extensive disease (ED_SCLC) yang mendapat
kemoradioterapi (Toh et al,2007 ).
Penelitian tentang pemberian kombinasi kemoterapi dan radioterapi pada karsinoma sel kecil/
limited stage mendapatkan perbedaan hasil mengenai pengaruh terhadap ketahanan hidup.
Tetapi insidens relaps tumor tersebut berkurang. Di RS Persahabatan, Jakarta kemoterapi
pada KPKSK dilakukan dengan paduan obat siklofosfamid + vinkristin + adriamisin menurut

anjuran UICC atau sisplatin + etoposid. Jumlah penderita jenis ini tidak begitu banyak,
lagipula yang mampu menyediakan obat masih amat terbatas. Karena itu, hasil pengobatan
masih belum dapat dinilai secara cermat. Tetapi terlihat 70% penderita mengalami respons
subjektif yang cukup nyata. Tampilan membaik pada 71,4% dan 14,3% mengalami kenaikan
berat badan. Efek samping berupa gangguan hemopoetik dan gejala gastrointestinal terlihat
pada semua kasus, 57% tidak mengalami kerontokan rambut dan respons objektif terlihat
pada 70% (ED-SCLC). Dua puluh lima persen penderita hidup sampai 15 bulan dan masa
tengah tahan hidup 2-5 bulan (Data Div Onkologi dalam Anwar, Departemen Pulmonologi
dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI).
c. Pengobatan lain
Pengobatan lain yang dapat dilakukan kepada penderita kanker paru adalah Imunoterapi,
Hormonoterapi dan Terapi Gen. Namun untuk ketiga pengobatan ini masih dalam tahap
ujicoba dan belum dipakai secara luas di Indonesia.

1. Rehabilitasi
Penderita kanker yang menjadi cacat karena komplikasi penyakitnya atau karena pengobatan
kanker, perlu direhabilitasi untuk mengembalikan bentuk dan/atau fungsi organ yang cacat itu
supaya penderita dapat hidup dengan layak dan wajar di masyarakat. Ada bermacam-macam
rehabilitasi yang perlu dilakukan seperti rehabilitasi mental, rehabilitasi pekerjaan,
rehabilitasi sosial dan lain-lain (Sukardja, 2000).
1. Rehabilitasi mental
Penderita kanker paru yang mengetahui dirinya mengidap kanker dapat menjadi stres dan
merasa ia cepat mati dalam keadaan yang menyedihkan, ia juga merasa dirinya tidak berguna
lagi untuk hidup yang hanya memberatkan beban keluarganya.
Depresi mental yang dihadapi penderita kanker dan juga keluarganya umumnya disebabkan
kurang pengertiannya terhadap kanker atau karena salah persepsi akan penyakit kanker paru
itu. Untuk mengatasi depresi mental itu, perlu penderita dan atau kelurganya diberi
bimbingan mental dan penyuluhan tentang penyakit kanker itu. Kalau perlu dengan bantuan
seorang psikolog, ahli agama, atau tokoh masyarakat. Penderita perlu diketahui bahwa
sebenarnya penyakit kanker dapat disembuhkan asal saja dapat diobati pada stadium dini.
Bila tidak dapat disembuhkan lagi perlu pula diberitahu bagaimana sebaiknya ia hidup
dengan kanker, dan diajar bagaimana menyesuaikan kehidupan dirinya dengan penyakit
kanker yang dideritanya dan kenyataan yang dihadapinya.
2. Rehabilitasi Sosial
Rehabilitasi penting agar penderita setelah pulang dari rumah sakit dapat hidup keembali
secara normal di masyarakat, dapat hidup mandiri di lingkungan keluarga dan masyarakat
secara wajar. Masyarakat juga perlu dipersiapkan agar dapat menerima penderita.
3. Rehabilitasi Pekerjaan

Setelah penderita pulang dari rumah sakit dan terbebas dari penyakit kanker yang dideritanya,
diharapkan dapat bekerja lagi di masyarakat dengan normal seperti sediakala. Bila tidak
mungkin dapat lagi bekerja seperti sedia kala, penderita diberi bimbingan dan latihan kerja
(vocational training), supaya dapat bekerja dengan pekerjaan lain sesuai dengan keadaan
fisik dan mentalnya (Sukardja, 2000).

1. Prognosis
Prognosis penyakit buruk bukan hanya karena keterlambatan diagnosis tetapi juga akibat
respons sel kanker yang rendah terhadap berbagai obat sitostatik yang ada.. Angka tahan
hidup 1 tahun 2347 penderita kanker paru yang diteliti oleh National Cancer Institute pada
tahun 1983-1998, dihitung dengan life table method hanya 41,8% dan angka tahan hidup 5
tahun 12,0 %. Berbagai data memperlihatkan bahwa hal itu berkaitan dengan stage penyakit
pada saat ditemukan (Greene, 2002).
Usahausaha preventif seharusnya dapat dilakukan karena kaitan antara bahan karsinogen
yang terkandung dalam asap rokok dan polusi udara telah dapat dibuktikan secara ilmiah
sebagai bagian dari patogenesis kanker paru. Tetapi usaha preventif primer yaitu mencegah
orang merokok sangat sulit untuk dilakukan, demikian juga usaha penemuan penyakit pada
tahap dini juga belum menggembirakan. Akibatnya sangat sedikit penderita yang terdeteksi
pada stage dini, hal ini mengakibatkan terapi tidak dapat lagi diberikan untuk tujuan kuratif.
Di sisi lain tampak bahwa pemberian multi-modality terapi pada penderita dapat memberikan
hasil yang lebih baik dibandingkan mereka yang hanya menerima modaliti tunggal.
Bagaimanapun pembedahan masih merupakan pengobatan kanker paru yang memberikan
hasil yang paling baik, bila dilakukan pada derajat yang operabel, yaitu stage I dan II
(intrapulmoner, intratorakal) serta pada jenis histologis yang cocok untuk tindakan tersebut.
Tetapi kesimpulan dari berbagai data menunjukkan bahwa umur tahan hidup 5 tahun
penderita kanker paru dengan TNM stage T1N0 dan T2N0 serta telah menjalani reseksi
lengkap (complete resection) masih berkisar antara 40-50% (Deslauriers, 2000). Di luar
negeri angka tersebut cukup tinggi, sedangkan data di Indonesia hanya 10-25% penderita
menjalani pembedahan (Busroh, 1988) dengan angka tahan hidup penderita kanker yang
dibedah 1 tahun 56,6%, 2 tahun 16,4% dan 5 tahun 2,4% ( Burhan, 2004).

1. Penatalaksanaan Pada Keadaan Khusus


1. Efusi Pleura Ganas (EPG)
Rongga pleura pada orang sehat berisi sekitar 20 ml cairan. Efusi pleura (Cairan pleura)
normal ini biasanya bersih tidak berwarna, mengandung < 1,5 gr protein/ 100 ml dan 1.500
sel/ microliter. Efusi pleura dapat terjadi pada penyakit tumor ganas intratoraks, organ
ekstratoraks maupun keganasan sistemik. Seperti pada penderita efusi pleura lain, EPG
memberikan gejala sesak napas, napas pendek, batuk, nyeri dada dan isi dada terasa penuh.
Gejala ini sangat bergantung pada jumlah cairan dalam rongga pleura. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan gerakan diafragma berkurang dan deviasi trakea dan/atau jantung kearah
kontralateral, fremitus melemah, perkusi redup dan suara napas melemah pada sisi toraks
yang sakit. Pada kanker paru, infiltrasi pleura oleh sel tumor dapat terjadi sekunder akibat

perluasan langsung (inviltrasi), terutama tumor jenis adenokarsinoma yang letaknya perifer.
Dapat juga terjadi akibat metastasis ke pembuluh darah dan getah bening. Bila efuasi pleura
terjadi akibat metastasis, cairan pleuranya banyak mengandung sel tumor ganas sehingga
pemeriksaan sitologi cairan pleura dapat diharapkan memberi hasil positif.
Efusi pleura ganas mempunyai 2 aspek penting dalam penatalaksaannya yaltu pengobatan
lokal dan pengobatan kausal. Pengobatan kausal disesuaikan dengan stage dan jenis tumor.
Tidak jarang tumor primer sulit diternukan, maka aspek pengobatan lokal menjadi pilihan
dengan tujuan untuk mengurangi sesak napas yang sangat mengganggu, terutama bila
produksi cairan berlebihan dan cepat. Tindakan yang dapat dilakukan antara lain, punksi
pleura, pemasangan WSD dan pleurodesis untuk mengurangi produksi cairan. Zat-zat yang
dapat dipakal, antara lain talk, tetrasikiin, mitomisin-C, adriamisin dan bleomisin. Bila tumor
primer berasal dari paru dan dari cairan pleura diternukan sel ganas maka EPG termasuk T4,
tetapi bila diternukan sel ganas pada biopsi pleura termasuk stage IV. Bila setelah dilakukan
berbagai pemeriksaan tumor primer paru tidak diternukan, dan tumor-tumor di luar paru juga
tidak dapat dibuktikan, maka EPG dianggap berasal dari paru. Apabila tumor primer
diternukan di luar paru, maka EPG ini termasuk gejala sisternik tumor tersebut dan
pengobatan disesuaikan dengan penatalaksanaan untuk pengobatan kanker primernya
(PDPI,2003).
2. Sindrom Vena Kava Superior (SVSC)
Sindrom vena kava superior muncul bila terjadi gangguan aliran oleh berbagai sebab, di
antaranya tumor paru dan tumor mediastinum. Gangguan ini pada penderita kanker paru
muncul akibat penekanan atau invasi massa ke vena cava superior, sehingga menimbulkan
gejala SVKS. Keluhan yang ditimbulkan tergantung berat ringannya gangguan, sakit kepala,
sesak napas, batuk, sinkope, sakit menelan, dan batuk darah. Pada keadaan berat selain gejala
sesak napas yang hebat dapat dilihat pembengkakan leher dan lengan kanan disertai
pelebaran vena-vena subkutan leher dan dada. Keadaan ini kadang-kadang memerlukan
tindakan emergensi untuk mengatasi keluhan (PDPI,2003).
Berdasarkan PDPI (2003) penatalaksanaan kanker paru pada kasus SVSC adalah bila
keadaan umurn penderita baik (PS > 50) maka harus dilakukan prosedur diagnostik untuk
mendapatkan jenis sel kanker. Narnun tindakan radiasi cito harus segera diberikanbila
keluhan sesak napas sangat berat dan setelah gejala berkurang, prosedur diagnostik harus
dilakukan. Tindakan radioterapi selanjutnya tergantung dari kondisi berikut ini:

Bila belum ada hasil pemeriksaan patotogi anatomi : radiasi 2-3 Gy perfraksi, dengan
penilaian klinis setiap hari. Tindakan bedah harus dipikirkan bila respons tidak
mernuaskan.

Bila hasil patologi anatomi sudah ada:

Untuk keadaan gawat darurat penyinaran dapat diberikan dengan dosis 3 Gy/fraksi.
Bila tidak gawat darurat, dosis radiasi berdasarkan staging penyakit.
Untuk stage IV, dosis 3 Gy/fraksi sampai 10 kali atau Dosis 4 Gy/fraksi sampai 5 kali.

3. Obstruksi Bronkus
Obstruksi terjadi karena tumor intrabronkial menyumbat langsung atau tumor diluar bronkus
menekan bronkus sehingga terjadi sumbatan. Sumbatan intrabronkial dapat parsial atau total
dan kadang-kadang diperlukan tindakan untuk meningkatkan kualitas hidup penderita.
Keluhan sesak napas disertai napas berbunyi dapat terjadi pada obstruksi yang hebat.
Keluhan akan bertambah bila disertai mucus plug. Pada pemeriksaan jasmani akan
ditemukan bunyi napas melemah pada sisi paru yang sakit, dan dapat dijumpai pula bunyi
napas patologis, misalnya mengi pada ekspirasi dan inspirasi, suara ekspirasi memanjang atau
stidor bila sumbatan pada jalan napas yang besar (PDPI, 2003).
Berdasarkan PDPI, penatalaksanaannya adalah dengan melakukan bronchial toilet bila
terdapat mucus plug. Bronkoskopi lase diikuti pemasangan stent dapat dilakukan bila tebal
sumbatan intrabronkial nnasih dapat diketahui. Hal Inl diperlukan agar komplikasi tindakan
laser tidak terjadi dan juga dibutuhkan untuk mengetahui ukuran stent yang diperlukan. Bila
sumbatan disebabkan oleh penekanan massa ekstrabronkial, atau sumbatan intrabronkial
tidak dapat diatasi dengan bronkoskopi laser dan pemasangan stent maka tindakan bedah
perlu dipikirkan. Pada keadaan tertentu dapat diberikan radiasi endobronkial (brachytherapy)
pada batas proksimal dan distal 3 cm dari penyempitan, dosis : (5 - 8 Gy) 1 cm dari sumbu
sumber radio aktif. Apabila radiasi endobronkial tidak dapat dikerjakan, maka dapat
diberikan radiasi ekstemal di daerah bronkus yang menyempit dan daerah mukosa dengan
dosis 3-4 Gy/fraksi subjek.
4. Batuk Darah (Hemoptasis)
Hemoptisis pada kanker paru juga terkadang memerlukan segera karena dapat mengancam
nyawa. Pada batuk darah masif harus dilakukan segera tindakan bronkoskopi, selain untuk
membuang bekuan darah ( stool cell), tindakan ini juga perlu untuk mengetahui sumber
perdarahan yang bermanfaat bila diperlukan pembedahan untuk mengatasinya. Radiasi adalah
salah satu noninvasiv untuk batuk darah.Target volume dan dosis seperti pada obstruksi
bronkus (PDPI, 2003).

DAFTAR PUSTAKA
Alsagaf, H. 1995. Kanker Paru dan Terapi Paliatif. Penerbit Airlangga, Surabaya:11-14
Arisandi, Defa. 2008. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Kanker Paru. Sekolah
Tinggi Ilmu Keperawatan Muhammadiyah. Pontianak
Aditama, T.Y. 1992. Polusi Udara Dan Kesehatan. ARCAN
Anwar J, Elisna S, Ahmad H. Kemoterapi Kanker Paru .Departemen Pulmonologi dan Ilmu
Kedokteran Respirasi. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RS Persahabatan, Jakarta

Budiono, I. 2007. Faktor Risiko Gangguan Fungsi Paru Pada Pekerja Pengecatan Mobil
(Studi pada Bengkel Pengecatan Mobil di Kota Semarang). Tesis. Program Studi Magister
Epidemiologi Universitas Diponegoro. Semarang
Burhan E. 2004. Angka tahan hidup penderita kanker paru jenis karsinoma bukan sel kecil
yang layak dibedah. Tesis. Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI,
Jakarta
Busroh, I. 1988. Peranan bedah dalam menanggulangi tumor ganas paru. Dalam:
Pencegahan, diagnosis dini dan pengobatan penyakit kanker, FKUI, Jakarta
Bustan. 2007. Epidimiologi Penyakit Tidak Menular. Rineka Cipta. Jakarta
Data Divisi Onkologi Toraks. Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi
FKUI / RS Persahabatan (belum dipublikasi).
Deslauriers J, Gregoire J. Surgical therapy of early non-small cell lung cancer.
Chest 2000; 117: 104S-9S
Diananda, Rahma. 2007. Mengenal Seluk Beluk Kanker. Kata Hati. Yogyakarta
Fraumeni, J. F, Jr dan Blot, William. J. 1982. Cancer Epidemiology And Prevention: Lung
And Pleura. Press of W. B Saunders Company. United States of America.
Greene FL, Page DL, Fleming ID, Fritz AG, Balch CM, Haller DG, et al. Cancer Survival
Analysis. In : AJJ Cancer Staging handbook. 6th ed, Springer, New York, 2002, p. 15-25
Gondodiputro, Sharon,2007. Bahaya Tembakau dan Bentuk-bentuk Sediaan Tembakau.
Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran. Bandung
Jusuf A, Harryanto A, Syahruddin E, Endardjo S, Mudjiantoro S, Sutantio N. 2005. Kanker
paru jenis karsinoma bukan sel kecil. Pedoman Nasional untuk diagnosis dan
penatalaksanaan di Indonesia 2005. Ed. Jusuf A, Syahruddin E. PDPI dan POI, Jakarta
Landis SH, Murray T, Bolden S, Wingo PA. 1998. Cancer Statistic 1998. CA Cancer J Clin
1998 ; 48 : 6-29.
Lutfia, Umi. 2008. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Kecemasan Pasien Dengan
Tindakan Kemoterapi Di Ruang Cendana RSUD DR. Moewardi Surakarta. Skripsi. S-1
Keperawatan, Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Mangunnegoro, H. 1990. Menyongsong Era Kanker Paru di Indonesia. Dalam: Yunus, F et
al (eds). Simposium Kanker Paru Diagnosis dan Terapi, 10/3, 1990. Bagian Pulmonologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta: 1-8
Murray JF. 2010. The Year of The Lung. Int J tuberc Lung Dis 2010; 14:1-4.
Nasar, I, M. 2000. Situasi Penyakit Kanker di Akhir Abad ke-20

Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. 2003. Kanker Paru. Perhimpunan


Dokter Paru Indonesia.
Soedomo. M, Kumpulan Karya Ilmiah Mengenai Pencemaran Udara. ITB, Bandung, 1999.
Sukardja, IDG. 2000. Onkologi Klinik. Airlangga University Press: Surabaya
Sunu, P. 2001. Melindungi Lingkungan Dengan Menerapkan ISO 14001. Grasindo. Jakarta
Suyono, Slamet. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Edisi 3. Balai Penerbit
FKUI, Jakarta.
Syaifudin, Mukh. 2007. Gen penekan tumor p53, kanker dan radiasi pengion Pusat
Teknologi Keselamatan dan Metrologi Radiasi Batan. Jakarta Buletin Alara, Volume 8 Nomor
3, April 2007,119 128
Toh CK, Hee SW, Lim WT, Leong SS, Fong KW, Yap SP, et al. 2007. Survival of smallcell
lung cancer and its determinants of outcome in Singapore. Ann Acad Med Singapore. 2007
Mar;36(3):181-8.
Wahyuningsih, Faisal Yunus, Mukhtar Ikhsan. Dampak inhalasi catsemprot terhadap
kesehatan paru. Cermin kedokteran (138). 2003 : 12-17.
Wasripin, 2007. Pemeriksaan CT SCAN THORAX Pada Kasus Kanker Paru. Makalah pada
Seminar Persatuan Ahli Radiografi Indonesia, 18-20 Mei 2007. Denpasar Bali
www.emedicinehealth.com

Anda mungkin juga menyukai