Anda di halaman 1dari 12

Membangun Pola Pikir Ilmiah Melalui KIR

Indra Yusuf
Guru Pembina KIR SMA Negeri 7 Cirebon
Masa remaja secara psikologis merupakan masa peralihan dari anak-anak menjadi
dewasa. Pada masa remaja terjadi kematangan kognitif, yaitu interaksi dari struktur otak
yang telah sempurna dan lingkungan sosial yang semakin luas yang memungkinkan
remaja untuk berpikir abstrak.
Pada usia remaja inilah berkembang sifat, sikap, dan perilaku yang selalu ingin tahu,
ingin merasakan, dan ingin mencoba. Tentu apabila tidak segera difasilitasi atau
diarahkan bukan tidak mungkin akan salah arah dan berdampak negatif.
Sekarang ini, kita banyak sekali menemui para remaja yang merokok, bahkan terjerat
narkoba. Ini semua berawal dari rasa ingin tahu atau coba-coba. Beberapa contoh lain
tidak terpenuhinya kebutuhan psikologis pada remaja diwujudkan dengan perilaku
menyimpang. Sebut saja kasus geng motor yang baru-baru ini marak terjadi di berbagai
daerah.
Sebenarnya, rasa keingintahuan dan perilaku coba-coba pada para remaja (baca: siswa)
merupakan potensi sekaligus sebagai modal dasar dalam mengembangkan kebiasaan
berpikir ilmiah, kritis, dan sistematis. Lantas bagaimana upaya kita menyalurkan rasa
keingintahuan para siswa ini? Salah satu media untuk menyalurkan dan
menumbuhkembangkan rasa keingintahuan siswa adalah melalui kegiatan Karya Ilmiah
Remaja (KIR). KIR atau Youth Science Club pada awalnya dibentuk oleh United Nations
Educational, Scientific and Cultural Organization (Unesco) pada tahun 1963 untuk
remaja yang berusia 12-18 tahun.
Selanjutnya, atas prakarsa Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Youth Science
Club disesuaikan namanya menjadi Kelompok Imiah Remaja. Saat ini KIR merupakan
salah satu kegiatan ekstrakurikuler di sekolah yang pada umumnya masih belum begitu
banyak diminati siswa. Kadang KIR itu ada di sekolah namun tidak nampak kegiatannya
atau sering mengalami kevakuman alias mati suri.
Lain halnya dengan ekskul lainnya yang pada umumnya lebih banyak digemari remaja
seperti paskibra, PMR, pramuka, marching band, beladiri, basket, dan ekskul olahraga
lainnya.
Keberadaan KIR di setiap sekolah pun dirasakan masih sangat jarang, apalagi bagi
sekolah-sekolah yang terdapat di luar kota. Kegiatan KIR di sekolah pada umumnya
dilaksanakan menjelang kegiataan lomba atau momen tertentu yang akan diikuti sekolah.
Seolah-olah kegiatan KIR adalah hanya mengikuti lomba-lomba saja sehingga kegiatan
hanya berupa pemantapan atau pengayaan materi pelajaran saja. Tentu saja KIR sebagai

wadah pengembangan kreativitas siswa tidak akan bisa terlaksana apalagi sebagai
pengenalan secara dini kepada para siswa.
Kenapa para siswa perlu dikenalkan secara dini pada kegiatan ilmiah atau penelitian?
Karena, kegiatan itu bisa merangsang cara berpikir kritis, melatih pola berpikir teratur
(sistematis), serta meningkatkan kepekaan atau kepedulian terhadap lingkungan sekitar.
Penelitian ilmiah dan penulisan karya ilmiah dapat menjadi pilihan kegiatan yang
menarik bagi remaja. Tak jarang, dari rasa keingintahuan lahirlah sebuah karya besar
yang bermanfaat bagi masyarakat.
Berpikir cerdas, kritis, objektif dan sistematis, serta peka terhadap lingkungan sekitar
merupakan syarat yang sangat dibutuhkan bagi seorang calon peneliti. Oleh karena itu,
KIR membawa misi untuk membentuk remaja yang memiliki kompetensi sebagai
seorang peneliti.
Sebelum kita mengenalkan KIR kepada siswa kita harus meluruskan beberapa kesan dan
pandangan yang keliru terhadap KIR, seperti: melulu IPA, hanya untuk siswa pintar, tidak
menyenangkan, menambah beban, tidak bermanfaat, selalu memerlukan biaya yang
tinggi. Semua pandangan itu tentu sama sekali keliru.
Kegiatan KIR yang sebenarnya adalah bukan hanya monopoli kegiatan siswa IPA.
Karena, semua hal yang disekitar kita dapat dijadikan objek penelitian, misalnya,
mengapa kebiasaan menyontek siswa sulit di hilangkan. Bagaimana hubungan nilai UN
ketika SMP dengan prestasi yang dicapai ketika SMA, dan masih banyak lagi persolan
lainnya.
KIR juga tidak hanya ditujukan bagi siswa pandai atau mendapat ranking dikelasnya saja.
KIR juga tidak terfokus pada salah satu mata pelajaran, sehingga pembina KIR dapat
berlatarbelakang mata pelajaran apa saja. KIR dapat diikuti oleh semua siswa. Yang
terpenting adalah kemauan dan keuletan. KIR juga bukanlah kegiatan yang selalu super
serius hingga siswa lekas mengalami kejenuhan. Tetapi, kegiatan KIR penuh dengan
inovasi dan kreativitas yang dapat menciptakan suasana yang menyenangkan bagi siswa.
Redaksi Akademia menerima tulisan dari para guru di seluruh Indonesia untuk rubrik
Guru Menulis. Tulisan disertai foto, belum pernah dimuat, dan ditujukan ke alamat email:
akademia.republika@yahoo.com atau lewat surat ke Redaksi Akademia Republika, Jl
Buncit Raya 37, Jakarta, 12510 (fax: (021) 7983623).
()

Koran Akademia
Rabu, 19 Maret 2008 13:49:00
Deklarasi Penuntasan Wajib Belajar 9 Tahun
Tahun 2008 merupakan tahun terakhir pencapaian target penuntasan wajib belajar
pendidikan dasar 9 tahun. Sampai dengan akhir 2007, angka partisipasi murni (APM)
SD/MI/sederajat sudah mencapai angka 94,90 persen, dan angka partisipasi partisipasi
kasar (APK) SMP/MTs/Sederajat sudah mencapai 92,52 persen.
Dengan demikian, untuk mencapai target penuntasan masih diperlukan kenaikan APM
SD/MI/Sederajat sebesar 0,10 persen dan APK SMP/MTs/sederajat sebesar 2,48 persen.
Demi mengejar target tersebut, Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo bersama
Menteri Agama Maftuh Basyuni, para bupati, walikota, kepala dinas pendidikan provinsi,
dan kepala dinas pendidikan kabupaten dan kota, pada Selasa (18/3) mendeklarasikan
penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun.
Menurut Kepala Pusat Informasi dan Humas Departemen Pendidikan Nasional, Muhadjir,
pendidikan dasar di Indonesia dilaksanakan melalui dua jalur, yakni jalur pendidikan
formal dan jalur pendidikan non-formal. Pendidikan dasar jalur formal dilaksanakan
selama 9 tahun, kata Muhadjir, yaitu program pendidikan enam tahun di SD/MI, dan
bentuk lain yang sederajat, dan tiga tahun di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
(SMP)/Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan bentuk pendidikan lain yang sederajat.
''Pendidikan dasar jalur luar sekolah dilaksanakan melalui program paket A setara SD,
program paket B setara SMP, dan pondok pesantren Salafiyah Ula dan Wustha,'' ujarnya,
Senin (17/3).
Sesuai dengan amanat Inpres No 5/2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan
Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta
Aksara, kata Muhadjir, berbagai upaya telah dilakukan untuk mencapai target tersebut.
''Tercapainya target bukan hanya akan meningkatkan Human Development Index, tetapi
diharapkan juga akan meningkatkan daya saing bangsa Indonesia di era globalisasi,''
jelasnya.
Namun demikian, kata Muhadjir, dalam rangka mencapai target pada 2008, masih
dijumpai berbagai kendala. Masalah dan tantangan yang ditemui di SD/MI/SDLB/Ponpes
Salafiyah Ula adalah masih ada sebagian anak usia tujuh hingga 12 tahun yang belum
memperoleh layanan pendidikan, tingkat drop-out kelas I dan II masih cukup tinggi,
sebagian kualitas lulusan SD masih rendah, sarana prasarana dan fasilitas belajar masih
belum memadai. ''Juga, kualitas pembelajaran dan tenaga pendidik yang masih perlu
ditingkatkan,'' tegasnya. eye
()

Sampaikan kepada rekan

Cetak berita ini

Rabu, 19 Maret 2008


Saatnya Siswa SD Diuji Seperti 'Kakak-kakaknya'
Tidak ada angka batas kelulusan pada UASBN, sehingga tidak akan menimbulkan
kepanikan publik.
Pelajar Sekolah Dasar (SD) terhitung pada tahun ajaran 2007/2008 ini harus mengikuti
jejak 'kakak-kakaknya' di SMP dan SMA, mengikuti ujian nasional (UN) yang berlabel
Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN). Siap tidak siap, UASBN yang telah
disepakati DPR dan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) untuk ujian nasional
harus dihadapi setiap pelajar tahun terakhir SD jika ingin melangkah ke jenjang
pendidikan yang lebih tinggi.
UASBN merupakan ujian nasional yang dilaksanakan secara terintegrasi dengan
pelaksanaan ujian sekolah/madrasah untuk SD/madrasah untuk SD/madrasah
ibtidaiyah/SD Luar Biasa (SDLB). Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah
(Dikdasmen) Depdiknas Suyanto menyatakan, UASBN bertujuan untuk mencapai
standar kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan yang ditetapkan secara nasional pada
mata pelajaran bahasa Indonesia, matematika, dan ilmu pengetahuan alam (IPA). ''Ini
juga untuk mendorong tercapainya target wajib belajar pendidikan dasar yang bermutu,''
ujarnya, Senin (17/3).
Suyanto menambahkan, sudah waktunya Indonesia mencontoh pendidikan di Amerika
Serikat atau Australia yang menerapkan setiap tiga tahun diadakan evaluasi. Targetnya,
untuk mengetahui kemampuan membaca, menulis, dan berhitung. ''Jadi, pada akhir enam
tahun pertama sekolah atau setara lulus SD di Indonesia sudah bisa baca, tulis, dan
berhitung,'' jelasnya. Lebih jauh Suyanto menyatakan, materi soal UASBN berasal dari
Standar Kompetensi Lulusan (SKL) irisan kurikulum 1994, kurikulum 2004, dan standar
isi. ''Paket soal 25 persen ditetapkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP)
dan 75 persen ditetapkan oleh penyelenggara UASBN tingkat provinsi,'' tegasnya.
Adapun kriteria kelulusan, kata Suyanto, ditetapkan oleh setiap sekolah atau madrasah
yang peserta didiknya mengikuti UASBN. ''Peserta UASBN diberi Surat Keterangan
Hasil UASBN yang diterbitkan oleh sekolah atau madrasahnya,'' cetusnya. Suyanto
mengharapkan, agar masyarakat, khususnya orang tua murid, jangan terlalu cemas
mengenai adanya UASBN bagi murid SD. Sebab, UN hanya untuk mengukur prestasi
murid sesuai dengan standar yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. ''UASBN hanya alat
untuk mengukur sebuah standar kompetensi nasional. Ini hanya salah satu instrumen
dalam mewujudkan pendidikan bermutu dan untuk meningkatkan lulusan yang bermutu,''
jelasnya.

Misalnya, kata Suyanto, sejauh mana daya serap murid-murid SD terhadap isi kurikulum
yang dipelajarinya selama enam tahun itu. Sebagaimana alat ukur lainnya, seperti juga
standar isi pendidikan, standar sarana dan prasarana, dan standar-standar lainnya diukur
dengan ujian nasional. Terkait dengan penolakan sejumlah kalangan yang menyebutkan
UN SD bertentangan dengan program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun,
Suyanto membantahnya. Ia menegaskan, yang namanya program wajib belajar, di mana
pun negaranya, tetap meminta kualitas. ''Bagaimana kita bisa mengukur kualitas kalau
tidak diujikan. Lagi pula, adalah wajar bila seorang anak yang sekolah diminta untuk
ujian. Kalau anak itu belajar sungguh-sungguh, masak tidak lulus. Kalau malas, masak
harus diluluskan,'' tegasnya.
Suyanto kembali menegaskan, wajib belajar itu juga harus disertai dengan kewajiban
untuk meningkatkan mutu pendidikan dasar sembilan tahun tersebut. Gagal atau tidaknya
wajib belajar juga terkait dengan mutunya, bukan hanya sekadar jumlahnya. ''Tapi,
UASBN tidak ada angka batas kelulusan, sehingga tidak menimbulkan kepanikan publik.
Serta, tidak akan menimbulkan keresahan di tengah masyarakat,'' ujar Suyanto.
Senada dengan Suyanto, Direktur Pembinaan TK dan SD Depdiknas, Mudjito,
mengatakan, UASBN yang digelar Mei nanti penetapan kelulusan diserahkan ke sekolah
masing-masing. Selain itu, setiap pemerintah daerah berperan dalam penentuan sebagian
besar soal tersebut. Ia memastikan, UASBN digunakan untuk mengetahui atau
memetakan kemampuan siswa, bukan untuk memvonis nilai akhir siswa. ''Penilaian siswa
ini bukan di saat akhir tahun pelajaran, tapi di awal dan di tengah proses pembelajaran
juga dilakukan penilaian,'' ujarnya.
Sebelumnya, rencana pemerintah menyelenggakan UASBN 2008 sempat mendapat
penolakan dari kalangan DPR karena khawatir mengakibatkan siswa depresi. Apalagi,
bila UN itu diselenggarakan secara nasional dengan standar kelulusan yang sama.
Adapula alasan anggaran sekitar Rp 452 miliar untuk membiayai UASBN SD terlalu
boros dan menghamburkan APBN. ''Lebih baik aggaran sebesar Rp 452 miliar itu
digunakan untuk membiayai perbaikan gedung SD yang banyak rusak, daripada untuk
membiayai ujian nasional SD yang berpotensi menimbulkan depresi bagi murid SD,'' ujar
Wakil Ketua Komsi X (bidang pendidikan) DPR, akhir 2007 lalu.
Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) pada awal 2008 juga pernah meminta
pemerintah membatalkan rencana pelaksanaan UASBN karena bertentangan UU Sistem
Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dan sebagai pemborosan anggaran negara. Menurut
Ketua Harian ISPI Prof Dr Sutjipto, sesuai UU No 20/2003 tentang Sisdiknas, SD dan
SMP merupakan satu jenjang pendidikan dasar sembilan tahun sehingga tidak perlu ada
ujian nasional untuk SD. ''Tapi, cukup evaluasi kenaikan dari kelas 6 ke kelas 7 atau
SMP,'' ujarnya kala itu.
Menurut Sutjipto, jika pemerintah berpendapat bahwa UASBN untuk meningkatkan mutu
pendidikan dan pemahaman kurikulum SD, maka dapat digunakan sistem sampling.
''Yaitu uji coba ujian nasional di sejumlah SD, sehingga dapat diketahui mutu pendidikan
dan tingkat pemahaman kurikulum SD,'' tegasnya.

Sementara, Suyanto menyatakan UASBN memiliki banyak dasar hukum. Yakni UU No


20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Peraturan Pemerintah No 19/2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan, Peraturan Mendiknas No 22/2006 tentang Standar Isi untuk
Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, Peraturan Mendiknas No 23/2006 tentang
Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Dasar dan Menengah. Belum lagi Peraturan
Mendiknas No 20/2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan. ''Yang terakhir Peraturan
Mendiknas No 39/2007 tentang UASBN untuk SD/MI/SDLB tahun 2007/2008,''
jelasnya.
Perdebatan tentang UASBN sah-sah saja terjadi di negara yang demokratis ini. Tapi bagi
pelajar SD, tak perlu memusingkannya. Yang penting saat ini adalah persiapan
semaksimal mungkin menghadapi semua mata pelajaran yang diujikan. Karena, ujian
memang sudah menghadang di depan mata Mei nanti. n eye
()

Sampaikan kepada rekan

Cetak berita ini

Rabu, 19 Maret 2008


Mengembalikan Pendidikan Sebagai Prioritas Peradaban Bangsa

Oleh: Ervan Nugroho Rahmadi


SMP Smart Ekselensia Indonesia
Lembaga Pengembangan Insani Dompet Dhuafa, Bogor
Pendidikan merupakan parameter yang mutlak untuk melihat kemajuan suatu bangsa
dan peradaban. Kita telah mengenal peradaban-peradaban bangsa dari peradaban zaman
purba, peradaban Timur Tengah dan peradaban dunia modern.
Pendidikan sebagai binnaul ummah generasi muda kita, telah mencapai taraf baru.
Indikatornya dengan bermunculannya sekolah berstandar internasional, sekolah
unggulan, dan sekolah terpadu. Sekolah dan civitas akademika yang hidup didalamnya,
akan saling berinteraksi di kehidupan ilmiah.
Siswa dengan seragam yang dikenakannya, merupakan simbol perjuangan dalam
meraih predikat manusia berilmu, manusia berakhlak dan bermartabat. Guru dengan
seragam dinasnya, merupakan simbol 'ulama' yang mengkaji ilmu dan
menyebarluaskan untuk generasi baru. Pemerintah dengan tanggung jawab dan program
kerjanya berjuang untuk memberikan kemudahan, pengayoman, dan melindungi
martabat serta kemajuan pendidikan bangsa.
Setiap tahun, masyarakat baik siswa, guru, pemerintah, berhak untuk berevaluasi atas

pendidikan di Negara kita, sudahkah mencapai taraf memajukan negara di ranah positif
ataukah masih jalan di tempat. Kita boleh melihat pengalaman negara Amerika Serikat
yang meninjau kembali seluruh kurikulum sekolah dari sekolah dasar hingga sekolah
perguruan tinggi, meninjau kualitas guru, meninjau mata pelajaran, meninjau proses
seleksi siswa, meninjau sistem evaluasi pembelajaran. Semua dilakukan oleh AS ketika
Unisoviet berhasil meluncurkan satelit Spotnic, 4 oktober 1957.
Sebuah tamparan yang sangat keras bagi AS di saat perang dingin terjadi. Amerika
berani mengambil revolusi dengan risiko yang sangat tinggi. Namun, usaha yang
berisiko ini membuakan hasil yang luar biasa, Amerika Serikat berhasil meluncurkan
manusia pertama yang menginjak bulan dengan satelitnya pada 14 juli 1969. Tidak jauh
beda dengan negara Jepang pascaledakan bom atom di dua kota di tahun 1945. Negara
yang kalah perang ini mengambil risiko dengan membangun kembali pendidikan dan
ekonominya. Alhasil, Jepang menjadi negara dengan pendidikan yang maju dan
ekonomi yang dapat mempengaruhi ekonomi dunia saat ini.
Kita bisa lihat dua negara yang berpikir positif. Pemerintah, siswa, dan guru yang
bekerja bersama untuk kemajuan bangsa akhirnya dapat tercapai. Bagaimana dengan
negara kita yang merdeka di tahun 1945? Namun, hingga detik ini tingkat kemiskinan,
pengangguran, dan buta aksara masih ada. Menjadi perhatian besar, apakah kita berani
mengambil risiko seperti dua negara tadi untuk memprioritaskan pendidikan dan
ekonomi negara Indonesia. Civitas akademika perlu untuk kembali menggelorakan
semangat diri dalam pendidikan kita. Pemerintah memerlukan keberanian dalam
menyikapi pendidikan saat ini/ Program internet masuk sekolah dan desa-desa bukan
hal yang seluruhnya positif, itu belum merupakan parameter keberhasilan pendidikan
kita.
Ambigu target pendidikan kita
Pekerjaan rumah yang saat ini perlu untuk disikapi dengan benar adalah
mengembalikan pendidikan sebagai prioritas peradaban bangsa Indonesia. Keberanian
untuk mengevaluasi bagaimana mata pelajaran sekolah dasar, sekolah menengah,
sekolah kejuruan dan perguruan tinggi, apakah perlu pengurangan ataukah target output
sekolah perlu dibenahi. Kita rasa bukan lulus ujian nasional sebagai target kita, namun
kualitas pendidikan, kualitas ilmu sesuai tingkatan sekolah saat ini.
Kita rasa, belum semua 'masyarakat pendidikan' tahu dan paham apa makna sekolah
dan goal setting pemerintah atas pendidikan di negara ini. Jika negara Amerika Serikat
dan Jepang jelas. Mereka memiliki target untuk memajukan negara di bidang ekonomi,
pendidikan, dan teknologi dengan meluncurkan satelit.
Negara besar, adalah negara yang siswanya pun menyadari makna sekolah, guru
menyadari bahwa ia adalah tokoh besar untuk negara. Enam puluh tahun lebih
kemerdekaan kita, selayaknya perlu untuk berani merevolusi pendidikan dan ekonomi
bangsa.

()

Koran Seluler
Rabu, 26 April 2006 11:03:00
Saling Sodok di Entry Level
Perang ponsel murah dibawah Rp 1 juta, makin seru saja. Tahun ini, belasan--bahkan
puluhan--, ponsel dengan harga kurang dari Rp 1 juta bakal membanjiri pasar. Bahkan
ponsel dengan harga sekitar Rp 400 ribu bakal meramaikan bursa ponsel murah.
Pertarungan makin seru, karena vendor yang sebelumnya bertahan dengan ponsel diatas
satu juta, mulai serius menggarap pasar ini. Sebut saja LG Electronics atau Samsung
Electronics. Dua vendor asal Korea Selatan ini, mulai 'turun gunung' dengan
meluncurkan produk berharga kurang dari Rp 1 juta.
Maraknya ponsel kurang dari Rp 1 juta, antara lain dipicu oleh akses seluler yang makin
meluas dan merambah hingga ibukota kecamatan. Operatot seperti Telkomsel dan
Indosat, berlomba-lomba menggarap kawasan 'pinggiran'. Tak kalah agresifnya adalah
operator CDMA yang mengusung ikon telefon nirkabel murah. Layanan nirkabel, tumbuh
dengan cepat. Indikasinya, sejumlah operator mencatat pertumbuhan pelanggan hingga
diatas 50 persen.
Ponsel entry level atau low end adalah ponsel dengan harga ratusan ribu dikenal dengan.
Ia dirancang untuk memenuhi kebutuhan telefoni dasar, yakni menelepon dan SMS.
Dalam perkembangannya kemudian, ponsel dengan harga sekitar Rp 800 ribu atau Rp
900 ribu diperkaya dengan fitur-fitur yang biasa ditemui pada ponsel dengan harga diatas
Rp 1 juta. Fitur dimaksud, antara lain game, ringtone polifonik, Radio FM atau kamera
Pengamat Telematika, Roy Suryo menyebut Indonesia merupakan pasar ponsel entry
level yang potensial. ''Karena sebagian besar masyarakat hanya memanfaatkan layanan
seluler untuk kebutuhan telefoni dasar,'' paparnya.
Karena lebih banyak dimanfaatkan untuk kebutuhan telefoni dasar, harga ponsel tak
urung menjadi faktor yang ikut menentukan. Dosen UGM ini mencatat harga ponsel Rp
1,5 juta merupakan harga psikologis. ''Di atas harga Rp 1,5 juta dianggap mahal.
Masyarakat menginginkan harga dibawah Rp 1 juta,'' ujar Roy.
Masih rendahnya penetrasi telekomunikasi, juga menjadi faktor yang ikut mewarnai
segmentasi. Dari sekitar 240 juta penduduk Indonesia, pengguna layanan nirkabel
diperkirakan baru sekitar 24,1 persen atau sekitar 45 juta. Sementara penetrasi telepon
tetap (termasuk fixed wireless) jauh lebih rendah lagi, sekitar 6,2 persen.
Rendahnya penetrasi telepon tak urung mempengaruhi pasar ponsel itu sendiri. ''Pasar
low end di Indonesia sangat besar, bisa mencapai 60 persen dari total pasar ponsel
seluruhnya. Kalau dilihat dari latar belakanganya, penyebabnya adalah penetrasi telepon
tetap yang masih rendah di Indonesia,'' ungkap Marketing Manager Mobile Devices

South Asia, PT Motorola Indonesia, Yanty Agus.


Fenomena yang terjadi di Indonesia, juga terjadi di negara berkembang lain. Hingga
2010, diperkirakan pelanggan seluler di seluruh dunia mencapai 3 miliar, atau mengalami
kenaikan sekitar satu miliar dibandingkan posisi 2005 yang diperkirakan mencapai 2
miliar. Dari kenaikan sekitar 1 miliar tersebut, sekitar 70 persen merupakan kontribusi
pelanggan kategori entry level. Guna meningkatkan penetrasi seluler, GSM Association
mengembangkan program Connect the Unconnected, suatu proses penyediaan akses
seluler di negara berkembang. Pada program ini GSM Association menyediakan ponsel
dengan harga sekitar 40 dolar Amerika Serikat. Salah satu pemenang tender program ini
adalah Motorola.
Pada dua tahun terakhir ini, Motorola gencar memasarkan ponsel murah di berbagai
belahan dunia, termasuk Indonesia. Motorola C118, misalnya, dijual dengan harga Rp
415 ribu, C139 dijual dengan harga Rp 500 ribu-an bahkan C115, C116 dan C117 dijual
dengan harga kurang dari Rp 400 ribu.
Bak kata iklan sepeda motor, murah tidak berarti murahan. ''Meskipun kami
memproduksi ponsel dengan harga di bawah Rp 1 juta, namun tanpa mengurangi kualitas
yang ada di dalamnya. Seperti layanan purna jual, spare part, serta baterai yang awet dan
tahan lama,'' ungkap Yanty. Yanty menegaskan kualitas produk tetap terjamin. Kualitas
baterai misalnya, sesuai dengan kondisi beberapa daerah yang fasiltas listriknya masih
belum stabil. Dengan baterai yang tahan lama bisa membantu konsumen untuk tidak
terlalu sering mengisi ulang (charge) ponselnya.
Untuk memudahkan konsumen mengakses ponsel low end, Motorola juga melakukan
kerjasama dengan berbagai operator. Program pengadaan ponsel murah ini diwujudkan
dengan melakukan bundling dengan penyedia layanan telepon seluler. Sistem bundling
rupanya masih dianggap cukup efektif untuk memasarkan ponsel-ponsel low end. Untuk
segmen Rp 400 ribu hingga Rp 500 ribu-an, Motorola nyaris melenggang sendirian.
Untuk kategori Rp 500 ribu hingga Rp 900 ribuan, Motorola harus berhadapan dengan
kompetitornya, seperti Nokia, Sony Ericsson, Samsung, LG, Siemens juga Philips.
CDMA Dominan
Tingginya potensi low end juga dibenarkan Andre Tan, Sales and Marketing General
Manager Communication Department, LG Electronic Indonesia (LGEIN). Menurut
Andre, dari jumlah market size total ponsel GSM di Indonesia yang mencapai 8 juta unit
per tahun, 40 persen didominasi oleh ponsel low end. Sedangkan di pasar CDMA, ponsel
low end lebih merajai. Dari market size sekitar 1,5 juta unit ponsel per tahun, jumlah
ponsel low end mencapai 60 persen atau sekitar 900 ribu unit per tahun.
''Kondisi ini menyebabkan timbulnya persepsi di masyarakat kalau ponsel CDMA adalah
ponsel murah. Ini karena persaingan antar operator dalam menawarkan tarif yang lebih
murah. Jadi ada kalau tarifnya murah, handsetnya juga harus murah,'' papar Andre.

Meskipun pasar ponsel low end sangat potensial, namun LG memutuskan untuk lebih
fokus pada ponsel untuk kalangan menengah ke atas. Salah satunya karena vendor ini
masih relatif baru di bisnis ponsel dan ingin mengembangkan brand image terlebih dulu.
Alasan lain, karena kompetitor yang bermain di pasar ini juga cukup banyak.
Namun, bukan berarti LG tidak memiliki ponsel low end. Vendor asal Korea ini
mempunyai B 2070 dan B 2150 dengan harga di bawah Rp 1 juta. LG juga berencana
merilis produk ponsel low end namun tidak sebanyak produk untuk menengah ke atas.
Pendatang baru yang lain di pasar ini, Samsung, baru merilis dua ponsel. ''Kami akan
meluncurkan sejumlah tipe ponsel murah tahun ini, '' kata Agus Sugihardjo, Marketing
Manager Mobile Device, Samsung Electronics Indonesia. Ia mengaku gembira, karena
ponsel murah Samsung mendapat tanggapan positif.
Agus mengingatkan bahwa sekalipun murah, Samsung tetap menjaga kualitas ponselnya.
Antara lain dengan membenamkan layar berwarna dan fitur yang relatif kaya. ''Ponsel
Samsung masuk kategori premium entry level,'' kata Agus.
Entry Level
Upaya mempertahankan kualitas produk juga dilakukan Sony Ericsson.Menurut Meiske
Suryadinata, Senior Manager Corporation Sony Ericsson Indonesia, sekitar 50-6- persen
produk yang dirilis di Indonesia adalah produk entry level. ''Saat ini ada delapan sampai
sepuluh tipe produk entry level,'' kata Meiske.
Meiske mengaku memilih kategori entry level, ketimbang low end. Bagi SE, produk
entry level adalah produk dengan harga di bawah Rp 1,5 juta. Berdasar pengamatan di
pasar, harga ponsel entry level SE berkisar antara Rp 580 ribu hingga Rp 1,5 juta. Market
Size yang besar mendorong SE menggarap sektor ini. ''Kami menggarap serius pasar
entry level. Karena pasarnya cukup besar di Indonesia. Unit yang terjual juga lebih
banyak dari segmen ini, sekitar 50-60 persen dari total unit ponsel SE yang terjual di
pasar,'' kata Meiske.
Fitur, pada gilirannya akan menjadi pembeda apakah ponsel disiapkan untuk pengguna
telefoni dasar atau lebih dari itu. Untuk pengguna telefoni dasar cukup dengan ponsel
yang bisa digunakan telefon dan SMS. Ponsel ini, memang lebih tepat disebut low end,
dengan harga kurang dari Rp 500 ribu.
Bila ponsel tadi juga diperkaya dengan beberapa fitur pendukung, seperti games dan
hiburan, MMS termasuk foto dan layar berwarna, boleh jadi ia lebih tepat disebut dengan
premium entry level atau entry level. Ponsel ini umumnya dijual dengan harga sekitar Rp
600 ribu hingga Rp 1,5 juta. Pada pasar Rp 500 ribu ke bawah, Motorola praktis
melenggang sendirian. Pertempuran sesungguhnya, tampaknya terjadi pada segmen
antara Rp 600 ribu hingga Rp 1 juta.
(mth/tar )

Anda mungkin juga menyukai