Anda di halaman 1dari 4

KEBUDAYAAN

Dalam deskripsi tebal, kebudayaan adalah seluruh cara hidup dari sebuah
masyarakat: nilai, praktik, simbol, lembaga, dan hubungan antarmanusia
(Clifford Geertz)

Dalam deskripsi tipis, kebudayaan berarti nilai-nilai, sikap, kepercayaan,


orientasi dan praduga mendasar yang lazim di antara orang-orang dalam
suatu masyarakat
(Samuel Huntington, 2000)

Wilayah budaya
Budaya merupakan jalan kepercayaan. Fakta bahwa sebuah masyarakat yang
secara historis Protestan, Ortodoks, Islam, Konghucu, memunculkan
wilayah-wilayah budaya dengan sistem nilai yang sangat berbeda yang
relatif terus bertahan.
Pembangunan berkaitan dengan perubahan yang dapat diramalkan yang
menjauh dari norma-norma sosial yang mutlak, dan menuju nilai-nilai yang
semakin rasional, toleran, bisa dipercaya, dan pascamodern
Masyarakat bervariasi dalam tingkat penekanannya pada nilai-nilai
peninggalan dan nilai-nilai ekspresi diri . Masyarakat yang menekankan
pada nilai yang terakhir cenderung akan lebih demokratis daripada
masyarakat yang menekankan pada nilai-nilai peninggalan
(Ronald Inglehart, 2000)

Culture concept
Our model of culture is a pluralized or distributional one. It assumes that
culture is not the undivided property of the whole society, but is instead
subject to contestation and divergent interpretation. As a result, rather tan
being homogenous, patterns of culture meaning tend to vary across society
in interesting ways
(Bourdieu 1977)

Our concept of culture is intended to be interactively constitutional one.


Such an approach assumes that rather than being a sphere apart from
economics, politics, and society, culture is a meaning-making medium that
interacts with other forces to influence all spheres, including politics and
economics
(Giddens, 1984)
Human subjectivity is now seen as constituted by the interaction of cultural
symbolism, individual biography, biological dispositions, embodied social
habits, and deliberative thought. In this view, culture is not a finished social
fact internalized by passive cultural subjects
(Hefner, 1998)

Neolib; Demokratisasi merangsang kebijakan pro-neoliberalisme.


Kebijakan neolib sangat kuat mewarnai Indonesia sejak krisis moneter,
seperti tercermin dalam agenda IMF untuk Indonesia. Inti kebijakannya,
menempatkan pemerintah semata-mata sebagai regulator dan bukan sebagai
aktor dalam dunia usaha. Pemerintah juga dipaksa untuk mengikuti
kecenderungan global, khususnya membuka pasar domestik bagi kegiatan
usaha asing (globalisasi).
Kebijakan pro-pasar itu tercermin dalam serangkaian
kebijakan
liberalisasi perdagangan, privatisasi BUMN, deregulasi serta debirokratisasi.
Kendati kebijakan ini sudah ada sejak dekade 1980-an namun terasa sekali
pemaksaannya sejak masa krisis melalaui LoI Indonesia dengan IMF.
Tercermin dari kebijakan yang sangat pro-neo liberal, seperti UU Migas,
UU Sumber Daya Air dan UU Listrik, UU Penanaman Modal yang baru saja
disahkan.
Implikasinya. konsumen merasa dirugikan karena harus menghadapi
fluktuasi harga internasional (dampak liberalisasi perdagangan). Hal ini
menjadi problematis karena menyangkut produk-produk sembako. Harga
gula, beras, dan minyak goreng bisa melambung tinggi. Situasi ini juga
tidak menguntungkan pengusaha domestik, karena mereka juga tertekan
oleh produk impor.

Gejala deindustrialisasi makin memburuk. Hal ini karena industri nasional


tidak mendapat insentif apa-apa dari pembukaan pasar dalam negeri yang
berlebihan. Industri yang mengalami tekanan berat adalah tekstil, rotan,
kayu, pupuk, baja, dan sebagainya.

Populisme
Mengurangi dampak liberalisasi, kebijakan pro-rakyat kembali ditegakkan.
Pertama, memperkenalkan kembali kebijakan tata niaga. Ekspor dan impor
produk tertentu dibatasi, misalnya untuk beras, gula, rotan, produk alas
kaki dan lainnya. Kedua, membenahi regulasi. Misalnya dengan UU
Tenaga Kerja yang sangat pro-buruh
Akan tetapi, kebijakan pro-rakyat ini masih setengah hati. Hal ini karena
desain kebijakannya memang
berjangka pendek, yaitu bagaimana
menenangkan rakyat dari gejolak harga. Repotnya, kebijakan inipun justru
menguntungkan kekuatan oligopoli pengusaha lama (contoh, tata niaga
gula & beras) serta mempertahankan ketimpangan antar daerah yang sangat
mencolok

Ambiguitas
Pendeknya, politik ekonomi pemerintah masih penuh ambigu. Di satu sisi,
berusaha pro-rakyat (populis) namun disisi lain mengakomodasi kebijakan
pro-neolib. Kesimpangsiuran inilah yang menyebabkan dunia usaha kita
masih carut marut.

Wajah dunia usaha


Survei BI menyebutkan bahwa kegiatan usaha pada triwulan pertama 2007
mengalami kontraksi minus 0,24 persen. Pola yang sama terjadi dalam
empat tahun terakhir. Kontraksi terutama terjadi pada sektor industri
pengolahan (minus 1,40 persen) dan sektor perdagangan, hotel, dan restoran
(minus 1,33 persen).

Minat investasi di Indonesia masih belum meningkat secara berarti sampai


saat 2008. Sebagian investor masih bersikap wait and see menunggu langkah
lanjutan pemerintah dalam mengatasi berbagai kendala investasi.
Angka persetujuan penanaman modal dalam negeri (PMDN) meningkat
namun investasi PMA mengalami penurunan hingga hampir 44 persen.
Masih rendahnya kenaikan impor bahan baku yang mengidentifikasikan
rendahnya investasi fisik.
Persetujuan investasi tahun-tahun sebelumnya tidak menunjukkan pola yang
pasti bahwa persetujuan investasi yang tinggi akan terrealisasi pada tahun
berikutnya.

R. Siti Zuhro
Mikom Universitas Muhammadiyah Jakarta

Anda mungkin juga menyukai