Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Persediaan merupakan salah satu aktiva yang paling aktif dalam operasi kegiatan
perusahaaan dagang. Sebagaian besar sumber daya perusahaan yang diinvestasikan dalam
bentuk barang-barang yang dibeli atau diproduksi. Biaya barang barang ini harus dicatat,
dikelompokan, dan diikhtisarkan selama periode akuntansi. Pada akhir periode, biaya
dialokasikan diantara aktivitas periode berjalan dan aktivitas periode mendatang yaitu diantara
barang barang yang berada dalam persediaan untuk dijual periode mendatang.
Persediaan juga merupakan aktiva lancar terbesar dari perusahaan manufaktur maupun
dagang. Pengaruh persediaan terhadap laba lebih mudah terlihat ketika kegiatan bisnis
berfluktuasi. Selama iklim usaha baik, penjualan menjadi tinggi dan persediaan bergerak lebih
cepat dari pembelian ke penjualan. Namun ketika kondisi ekonomi menurun, tingkat penjualan
juga menjadi menurun, persediaan bertumpuk dan perlu dilakukan penjualan meskipun
mengalami kerugian.
Pengertian persediaan menurut Skousen, Stice dan Stice (2004:653) adalah sebagai
berikut : Kata persediaan ditujukan untuk barang- barang yang tersedia untuk dijual dalam
kegiatan bisnis normal, dan dalam kasus perusahaan manufaktur, maka kata ini ditujukan untuk
proses produksi atau yang ditempatkan dalam kegiatan produksi.
IAS 2 merupakan standard akuntansi keuangan international yang mengatur mengenai
persediaan. Tujuan dari IAS 2 adalah untuk menentukan perlakuan akuntansi untuk persediaan.
IAS 2 memberikan panduan untuk menentukan biaya persediaan dan untuk selanjutnya
mengakui beban, termasuk setiap penurunan-down menjadi nilai realisasi bersih. Hal ini juga
memberikan panduan rumus biaya yang digunakan untuk menentukan biaya persediaan. IAS 2
menyatakan dasar penentuan dan akuntansi untuk persediaan sebagai suatu aset, hingga
pendapatan yang terkait diakui. Standar juga memberikan pedoman mengenai penilaian
persediaan dan konsekuensi penghapusannya sebagai suatu beban (expense), dan perlakuan
yang harus di adopsi atas pendapatan terkait yang di akui.
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai persediaan berdasarkan IAS 2, yaitu ruang lingkup,
dasar penilaian, pengukuran biaya perolehan, dan pengungkapan.
1.2
Perumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan sebagaimana dijelaskan pada latar belakang diatas, penulis akan
2.
3.
4.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Penilaian Persediaan.
Menurut IAS 2 dalam buku IFRS Interpretation and Application of International
Financial Reporting Standards, Inventories are defined ad items that are held for sale in the
ordinary course of business; int the process of production for such sale; or in the form of
materials or supplies to be consumed in the production process or in the rendering of
services, yang bila diartikan, Persediaan didefinisikan sebagai barang-barang yang dimiliki
untuk dijual dalam kegiatan usaha sehari, dalam proses produksi untuk penjualan tersebut, atau
dalam bentuk bahan atau perlengkapan untuk dikonsumsi dalam proses produksi atau
pemberian jasa.
IAS 2 mendiskripsikan bahwa basis utama akuntansi persediaan adalah kas, dan kas
didefinisikan sebagai jumlah kas pembelian atau kas konversi, termasuk kas lain untuk
membuat persediaan ada di lokasi perusahaan dan dalam kondisi seperti pada saat pelaporan
persediaan. Dikatakan bahwa kas atas pembelian persediaan mencakup harga beli, biaya
angkut, asuransi, dan biaya penanganan persediaan (handling costs). Potongan tunai, rabat, dan
jenis-jenis potongan pembelian lain jika ada harus dikurangkan ke biaya persediaan. Dapat
disimpulkan bahwa sampai dengan titik ini, tidak ada perbedaan kententuan pengukuran kas
persediaan antara IFRS dengan US GAAP, keduanya membuat aturan yang boleh dikatakan
sama persis, karena memang untuk kasus kas perolehan persediaan tidak ada ruang untuk
penerapan konsep principles-based, sehingga mau tidak mau harus menggunakan konsep rulesbased.
Untuk kasus persediaan yang memerlukan proses produksi cukup lama, IAS 23
mengatur bahwa bagian dari biaya pendanaan (borrowing costs) harus diperlakukan sebagai
bagian dari biaya persediaan. Dalam kasus ini dapat disimpulkan bahwa IFRS justru sangat
mengatur tentang bagaimana biaya pendanaan harus diperlakukan, atau justru menggunakan
rules-based
menggunakan principles-based, financing costs untuk keperluan proses produksi yang panjang
semacam ini tetap diperlakukan sebagai period costs dan bukannya diperlakukan sebagai
production costs, karena jika manajemen memutuskan untuk tidak menggunakan dana luar
dalam proses produksinya, maka financing costs tidak akan pernah terjadi.
IAS 2 menyebutkan bahwa biaya konversi untuk proses produksi persediaan mencakup
seluruh biaya yang berhubungan langsung dengan proses produksi persediaan, seperti biaya
tenaga kerja langsung dan biaya overhead. Alokasi biaya overhead harus dilakukan secara
sistematis dan rasional, dan dalam kasus biaya overhead tetap, yaitu yang jumlahnya tidak
berubah-ubah menyesuaikan dengan volume produksi, alokasi harus dilakukan berdasarkan
tingkat produksi normal. Dalam periode tingkat produksi turun secara tidak normal, sebagian
dari biaya overhead tetap harus dibebankan langsung ke periode terjadinya biaya, atau dengan
kata lain harus diperlakukan sebagai biaya periode (period costs), dan tidak diperhitungkan
sebagai bagian dari biaya persediaan. Dalam kasus standard pengukuran biaya produksi ini,
sekali lagi dapat dirasakan bahwa IFRS membuat aturan dengan cukup jelas tetang bagaimana
pengukuran biaya produksi harus dilakukan, sama sekali tidak berbeda dengan standard
pengukuran biaya produksi versi US GAAP, sehingga dapat disimpulkan baik IFRS maupun
US
GAAP
tetap
menggunakan
bukannya
menggunakan
konsep principles-based. Berdasarkan paparan dalam paragraf ini, sama sekali tidak ada alasan
persediaan, yaitu metode FIFO dan rata-rata tertimbang yang oleh IAS 2 disebut sebagai
benchmark treatments, serta satu lagi metode yang oleh IAS 2 disebut sebagai allowed
alternative treatments yaitu metode LIFO. Namun efektif mulai 1 Januari 2005 IFRS tidak
membolehkan penggunaan metode LIFO, sehingga metode pengukuran kas yang berlaku
tinggal metode FIFO dan metode Rata-rata Tertimbang. Pembatasan penggunakan metode
akuntansi semacam ini merupakan indikasi bahwa IFRS pada dasarnya tidak sepenuhnya
menggunakan principles-based, bahkan dalam kasus akuntansi persediaan menjadi lebih rulesbased dibanding US GAAP.
Tujuan Pernyataan ini adalah mengatur perlakuan akuntansi untuk persediaan.
Permasalahan pokok dalam akuntansi persediaan adalah penentuan jumlah biaya yang diakui
sebagai aset dan perlakuan akuntansi selanjutnya atas aset tersebut sampai pendapatan terkait
diakui. Pernyataan ini menyediakan panduan dalam menentuan biaya dan pengakuan
selanjutnya sebagai beban, termasuk setiap penurunan menjadi nilai realisasi neto. Pernyataan
ini juga memberikan panduan rumus biaya yang digunakan untuk menentukan biaya
persediaan.
Persediaan adalah salah satu aset lancar signifikan bagi perusahaan pada umumnya,
terutama perusahaan dagang, manufaktur, pertanian, kehutanan, pertambangan, kontraktor
bangunan, dan penjual jasa tertentu. Hal ini menyebabkan akuntansi untuk persediaan menjadi
suatu masalah penting bagi perusahaan-perusahaan tersebut.
Menurut IAS No.2 inventory atau persediaan adalah :
a. Tersedia untuk dijual dalam kegiatan usaha normal
b. Dalam proses produksi untuk penjualan tersebut, atau
c. Dalam bentuk bahan atau perlengkapan (supplies) untuk digunakan dalam proses produksi
atau pemberian jasa
kontrak
konstruksi
(IAS
11
Nilai realisasi neto mengacu kepada jumlah neto yang entitas berharap untuk direalisasi dari
penjualan persediaan dalam kegiatan usaha biasa. Nilai wajar mencerminkan suatu jumlah di
mana persediaan yang sama dapat dipertukarkan antara pembeli dan penjual yang
berpengetahuan dan berkeinginan di pasar. Nilai realisasi neto adalah nilai khusus entitas
sedangkan nilai wajar tidak tergantung pada nilai khusus entitas. Nilai realisasi neto untuk
persediaan bisa tidak sama dengan nilai wajar dikurangi biaya untuk menjual.
IAS 2 menyatakan bahwa estimasi net realizable value harus diterapan untuk setiap
jenis persediaan atau item demi item, kecuali terdapat sekelompok persediaan yang sejenis dan
dapat dinilai secara tepat per kelompok jenis persediaan. Sebagai pedoman umum, penilaian
harus dilakukan untuk setiap jenis persediaan untuk mencegah kemungikan terjadinya
kompensasi unrealized gain dengan unrealized loss kelompok persediaan lain, sehingga
menurunkan jumlah rugi yang harus diakui, hal ini penting untuk diperhatikan mengingat IFRS
melarang pengakuan unrealized gain pada laporan rugi-laba. Dikatakan bahwa evaluasi
penurunan nilai persediaan yang dilakukan atas sekelompok persediaan, tidak atas item per
item
persediaan,
adalah
merupakan
mekanisme
tidak
langsung
atau ?backdoor
mechanism? untuk mengakuiunrealized gain yang seharusnya tidak diakui, sehingga perlu
ditegaskan bahwa tuntutan dasar evaluasi penurunan nilai persediaan adalah diterapkan atas
item demi item persediaan. Paparan dalam dua paragraf di atas menegaskan bahwa IAS 2
sangat mengatur penerapan net realizable value, yaitu harus diterapkan item demi item demi
untuk mencegah potensi pengakuan unrealized gain secara tidak langsung, di sisi lain US
GAAP tidak mengatur hingga sedetil ini, sehingga dapat disimpulkan bahwa IFRS ternyata
justru lebih condong ke rules-based dan bukannya berbasis pada konsep principles-based.
Nilai khusus entitas adalah nilai kini dari arus kas yang diharapkan oleh suatu entitas
yang timbul dari penggunaan aset berkelanjutan dan dari pelepasannya pada akhir umur
manfaat atau yang diharapkan terjadi ketika penyelesaian kewajiban.
2.4
memilih untuk menggunakan metode FIFO karena dengan nilai laba perusahaan yang besar
akan menunjukkan bahwa kinerja manajemen perusahaan tersebut bagus dan manajemen akan
mendapatkan kompensasi berupa bonus yang cukup besar dari perusahaan. Perusahaan yang
menggunakan metode FIFO pada saat terjadi inflasi akan menghasilkan laba yang besar
sedangkan pada saat terjadi deflasi, perusahaan yang menggunakan metode FIFO akan
menghasilkan laba yang kecil.
b.
rata biaya per unitnya sama. Menurut Weygandt, Kieso, dan Kimmel (2005:238) perhitungan
unit cost berdasarkan formula rata-rata tertimbang adalah sebagai berikut : Under this
method, the cost of goods available for sale is allocated on the basis of the weighted-average
unit cost. Berikut adalah formula perhitungan unit cost berdasarkan metode rata-rata
tertimbang (weighted-average method) :
Setelah dilakukannya perhitungan unit cost, selanjutnya menurut Weygandt, Kieso, dan
Kimmel (2005:238) untuk mengetahui nilai biaya dari persediaan akhir adalah sebagai berikut
: The weighted-average unit cost is then applied to the units on hand. This computation
determines the cost of the ending inventory.
Pada sistem periodik, metode rata-rata disebut metode rata-rata tertimbang
(weighted average method) dan pada sistem perpetual disebut dengan metode rata-rata
bergerak (moving average method) (Abdullah dan Djalil, 2004) dalam Metallia (2007). Dengan
menggunakan metode rata-rata, perusahaan akan dapat melakukan penghematan pajak (tax
saving) dikarenakan laba yang di dapat perusahaan dengan menggunakan metode tersebut akan
lebih kecil. Tetapi, pada saat menggunakan metode rata-rata akan dapat menghasilkan nilai
akhir persediaan di antara FIFO dan LIFO.
c.
dahulu. Weygandt, Kieso dan Kimmel (2005:237) menyatakan bahwa pengakuan cost of
goods sold dengan menggunakan metode LIFO adalah sebagai berikut : Under the LIFO
method, the costs of the latest goods purchases are the first to be assigned to cost of goods
sold. Sedangkan, untuk mengetahui nilai persediaan akhir (ending inventory) dengan
menggunakan metode LIFO adalah sebagai berikut : Under the LIFO method, the cost of
ending inventory is found by taking the unit cost of the oldest goods and working
forward until all units of inventory are costed.
Dengan menggunakan metode LIFO, perusahaan akan menghasilkan laba yang kecil
sehingga dapat melakukan penghematan pajak. Pada saat inflasi, perhitungan harga beli
terakhir dibebankan ke operasi dalam periode kenaikan harga sehingga mengurangi laba dan
menghasilkan pengurangan pajak.
2.5
persediaan di mana jumlah yang ditentukan hanya berkala oleh perhitungan fisik. Menurut
Weygandt, Kieso dan Kimmel (2007:p2461), dalam sistem persediaan periodik, rincian
catatan persediaan barang yang dimiliki tidak disesuaikan secara terus menerus dalam satu
periode. Harga pokok penjualan barang ditentukan hanya pada akhir periode akuntansi.
Menurut sistem ini setiap pembelian atau pemasukan maupun penjualan
(pengeluaran) persediaan tidak dicatat atau dibukukan kedalam perkiraan persediaan.
Pembelian barang dibukukan keperkiraan-keperkiraan pembelian dan beberapa perkiraan
lain seperti potongan pembelian dan pengembalian pembelian. Penjualan dibukukan ke
perkiraan penjualan.
Dengan sistem ini jumlah persediaan akhir diketahui setelah dilakukan perhitungan
fisik (invertory taking) terhadap barang yang ada digudang. Selanjutnya setelah
perhitungan fisik maka perlu dilakukan closing (penutup) terhadap persediaan awal. Jadi
dalam buku besar persediaan hanya terdapat jumlah persediaan awan dan persediaan
akhir. Bagi perusahaan dagang jika menggunakan metode ini maka sistem pencatatannya
adalah sebagai berikut:
Saat Pembelian:
Purcahase
Rp xxx
Cash/Account Payable
Rp xxx
Jika barang yang telah dibeli dikembalikan karena rusak atau penyebab lainnya:
Cash/Account Payable
Rp xxx
Purchase Return
Rp xxx
Saat penjualan:
Cash/Account Receivable
Rp xxx
Sales
Jika barang yang telah dijual dikembalikan karena sesuatu hal:
Rp xxx
Sales Return
Rp xxx
Cash/Account Receivable
Rp xxx
pengurangan
persediaan
akibat
adanya
dan penjualan sehingga jumlah maupun nilai persediaan dapat diketahui sewaktu-waktu
tanpa melakukan perhitungan fisik. Untuk perusahaan dagang, pencatatan yang dilakukan
menurut metode ini adalah sebagai berikut:
Saat pembelian:
Merchandise Inventory
Rp xxx
Account Payable/Cash
Rp xxx
Jika barang yang telah dibeli dikembalikan karena rusak atau penyebab lainnya:
Account Payable/Cash
Account Payable/Cash
Saat penjualan:
Rp xxx
Rp xxx
Account Receivable/Cash
Rp xxx
Sales
Rp xxx
Rp xxx
Merchandise Inventory
Rp xxx
Rp xxx
Cash/Account Receivable
Rp xxx
Marchandise Inventory
Rp xxx
Rp xxx
Karena sistem perpetual dicatat setiap ada perubahan dalam persediaan, maka saldo
dalam perkiraan yang ada di neraca saldo
adalah saldo
rendah, Biaya persediaan harus meliputi semua biaya pembelian, biaya konversi, dan biaya
lain yang timbul sampai persediaan berada dalam kondisi dan lokasi saat ini.
a) Biaya Pembelian
Biaya pembelian persediaan meliputi harga beli, bea impor, pajak lainnya (kecuali yang
kemudian dapat ditagih kembali oleh entitas kepada otoritas pajak), biaya pengangkutan,
biaya penanganan, dan biaya lainnya yang secara langsung dapat diatribusikan pada
perolehan barang jadi, bahan, dan jasa. Diskon dagang, rabat dan hal lain yang serupa
dikurangkan dalam menentukan biaya pembelian
b) Biaya Konversi
Biaya konversi persediaan meliputi biaya yang secara langsung terkait dengan unit yang
diproduksi, misalnya biaya tenaga kerja langsung. Termasuk juga alokasi sistematis
overhead produksi tetap dan variabel yang timbul dalam mengonversi bahan menjadi barang
jadi. Overhead produksi tetap adalah biaya produksi tidak langsung yang relatif konstan,
tanpa memerhatikan volume produksi yang dihasilkan, seperti penyusutan dan pemeliharaan
bangunan dan peralatan pabrik, dan biaya manajemen dan administrasi pabrik. Overhead
produksi variabel adalah biaya produksi tidak langsung yang berubah secara langsung, atau
hampir secara langsung, mengikuti perubahan volume produksi, seperti bahan tidak
langsung dan biaya tenaga kerja tidak langsung.
c) Biaya Standard
Biaya standar memperhitungkan tingkat normal penggunaan bahan dan perlengkapan,
tenaga kerja, efisiensi dan utilisasi kapasitas. Biaya standar di-review secara reguler dan,
jika diperlukan, direvisi sesuai dengan kondisi terakhir
d) Metode eceran
Metode eceran seringkali digunakan dalam industri eceran untuk menilai persediaan dalam
jumlah besar item yang berubah dengan cepat, dan memiliki marjin yang sama saat tidak
praktis untuk menggunakan metode penetapan biaya lainnya
e) Biaya-biaya Lain
Biaya-biaya lain hanya dibebankan sebagai biaya persediaan sepanjang biaya tersebut
timbul agar persediaan berada dalam kondisi dan lokasi saat ini. Misalnya, dalam keadaan
tertentu diperkenankan untuk memasukkan overhead nonproduksi atau biaya perancangan
produk untuk pelanggan tertentu sebagai biaya persediaan.
2.7
Beberapa entitas mengadopsi suatu format laporan laba rugi yang mengakibatkan
jumlah yang diungkapkan adalah selain biaya persediaan yang diakui sebagai beban selama
periode yang bersangkutan. Dalam format ini, entitas menyajikan analisa beban menggunakan
klasifikasi berdasarkan sifat dari beban. Dalam kasus ini, entitas mengungkapkan biaya yang
diakui sebagai beban untuk bahan baku dan bahan habis pakai, biaya tenaga kerja, dan biaya
lainnya bersama-sama dengan jumlah perubahan neto persediaan pada periode tersebut