Leptospirosis Fix
Leptospirosis Fix
Leptospirosis adalah penyakit infeksi yang dapat menyerang manusia dan binatang. Penyakit
menular ini adalah penyakit hewan yang dapat menjangkiti manusia. Termasuk penyakit
zoonosis yang paling sering terjadi di dunia. Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang
disebabkan oleh mikroorganisme berbentuk spiral dan bergerak aktif yang dinamakan
Leptospira. (WHO, 2003). Leptospirosis atau penyakit kuning adalah penyakit penting pada
manusia, tikus, anjing, babi dan sapi. Penyakit ini disebabkan oleh spirochaeta leptospira
icterohaemorrhagiae yang hidup pada ginjal dan urine tikus.1
Etiologi
Penyakit yang terdapat di semua negara dan terbanyak ditemukan di negara beriklim tropis ini,
disebabkan oleh Leptospira interrogans dengan berbagai subgrup yang masing-masing terbagi
lagi atas serotipe bisa terdapat pada ginjal atau air kemih binatang piaraan seperti anjing, lembu,
babi, kerbau dan lain-lain, maupun binatang liar seperti tikus, musang, tupai dan sebagainya.
Manusia bisa terinfeksi jika terjadi kontak pada kulit atau selaput lendir yang luka atau erosi
dengan air, tanah, lumpur dan sebagainya yang telah terjemar oleh air kemih binatang yang
terinfeksi leptospira.2 Menurut beberapa peneliti yang tersering menginfeksi manusia adalah
L.icterohaemorrhagiae, dengan reservoir tikus, L.canicola, dengan reservoirnya anjing dan L.
pomona dengan reservoirnya sapi dan babi. 3
Epidemiologi Leptospirosis
Leptospirosis adalah penyaki infeksi akut yang dapat menyerang manusia maupun hewan dan
digolongkan
sebagai
zoonosis.
Leptospirosis
adalah
zoonosis
bakterial
berdasarkan
penyebabnya, berdasarkan cara penularan merupakan direct zoonosis karena tidak memerlukan
vektor, dan dapat juga digolongkan sebagai amfiksenose karena jalur penularan dapa dari hewan
ke manusia dan sebaliknya. Penularan leptospirosis pada manusia ditularkan oleh hewan yang
terinfeksi kuman leptospira. Hewan pejamu kuman leptospira adalah hewan peliharaan seperti
babi, lembu, kambing, kucing, anjing sedangkan kelompok unggas serta beberapa hewan liar
seperti tikus, bajing, ular, dan lain-lain. Pejamu resevoar utama adalah roden. Kuman leptospira
hidup didalam ginjal pejamu reservoar dan dikeluarkan melalui urin saat berkemih. Manusia
merupakan hospes insidentil seperti pada gambar berikut :
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)
Kontak dengan air yang terkonaminasi kuman leptospira atau urin tikus saat banjir.
Pekerjaan tukang perahu, rakit bambu, pemulung.
Mencuci atau mandi disungai atau danau.
Tukang kebun atau pekerjaan di perkebunan.
Petani tanpa alas kaki di sawah.
Pembersih selokan.
Pekerja potong hewan, ukang daging yang terpajan saat memotong hewan.
Peternak, pemeliharaan hewan dan dorter hewan yang terpajan karena menangani
ternak atau hewan, terutama saat memerah susu, menyentuh hewan mati, menolong
hewan melahirkan, atau kontak dengan bahan lain seperti plasenta, cairan amnion dan
3) Mencuci atau mandi dengan sabun antiseptik setelah terpajan percikan urin, tanah,
dan air yang terkontaminasi.
4) Menumbuhkan kesadara terhadap potensi resiko dan metode untuk mencegah atau
mengurangi pajanan misalnya dengan mewaspadai percikan atau aerosol, tidak
menyentuh bangkai hewan, janin, plasenta, organ (ginjal, kandung kemih) dengan
tangan telanjang, dan jangn menolong persalinan hewan tanpa sarung tangan.
5) Mengenakan sarung tangan saat melakukan tindakan higienik saat kontak dengan
urin hewan, cuci tangan setelah selesai dan waspada terhadap kemungkinan
terinfeksi saat merawat hewan yang sakit.
6) Menurunkan PH air sawah menjadi asam dengan pemakaian pupuk aau bahan-bahan
kimia sehingga jumlah dan virulensi kuman leptospira berkurang.
c. Jalur pejamu manusia
1) Menumbuhkan sikap waspada
Diperlukan pendekatan penting pada masyarakat umum dan kelompok resiko tinggi
terinfeksi kuman leptospira. Masyarakat perlu mengetahui aspek penyakit leptospira,
cara-cara menghindari pajanan dan segera ke sarana kesehatan bila di duga terinfeksi
kuman leptospira.
2) Melakukan upaya edukasi
Dalam upaya promotif, untuk menghindari leptospirosis dilakukan dengan cara-cara
edukasi yang meliputi :
a) Memberikan selembaran kepada klinik kesehatan, departemen pertanian,
institusi militer, dan lain-lain. Di dalamnya diuraikan mengenai penyakit
leptospirosis, kriteria menengakkan diagnosis, terapi dan cara mencengah
pajanan. Dicatumkan pula nomor televon yang dapat dihubungi untuk informasi
lebih lanjut.
b) Melakukan penyebaran informasi.
Penatalaksanaan
Terapi pilihan (DOC) untuk leptospirosis sedang dan berat adalah Penicillin G, dosis dewasa 4 x
1,5 juta unit /i.m, biasanya diberikan 2 x 2,4 unit/i.m, selama 7 hari.
Tujuan Pemberian Obat
1.
Regimen
Treatment
a. Leptospirosis ringan
2.
Kemoprofilaksis
tidak efektif. Penicillin diberikan dalam dosis 2-8 juta unit, bahkan pada kasus yang
berat atau sesudah hari ke-4 dapat diberikan sampai 12 juta unit (sheena A Waitkins,
1997). Lama pemberian penisilin bervariasi, bahkan ada yang memberikan selama 10
hari.
Terapi suportif supaya tidak jatuh ke kondisi yang lebih berat. Pengawasan terhadap
fungsi ginjal sangat perlu.
Antipiretik
Pemberian antibiotik
Pada kasus yang berat atau sesudah hari ke-4 dapat diberikan sampai 12 juta unit
(sheena A Waitkins, 1997). Lama pemberian penisilin bervariasi, bahkan ada yang
memberikan selama 10 hari. Penelitian terakhir : AB gol. fluoroquinolone dan
beta laktam (sefalosporin, ceftriaxone) > baik dibanding antibiotik konvensional
tersebut di atas, meskipun masih perlu dibuktikan keunggulannya secara in vivo.
6
leptospirosis
sangat
rentan
terhadap
terjadinya
beberapa
infeksi
sekunderakibat dari penyakitnya sendiri atau akibat tindakan medik, antara lain:
bronkopneumonia, infeksi saluran kencing, peritonitis (komplikasi dialisis peritoneal),
dan sepsis. Dilaporkan kelainan paru pada leptospirosis terdapat pada 20-70% kasus
(Kevins O Neal, 1991). Pengelolaan sangat tergantung dari jenis komplikasi yang
terjadi. Pada penderita leptospirosis, sepsis / syok septik mempunyai angka kematian
yang tinggi.
Penanganan khusus
1. Hiperkalemia diberikan kalsium glukonas 1 gram atau glukosa insulin (10-20
U regular insulin dalam infus dextrose 40%)
Merupakan keadaan yang harus segera ditangani karena menyebabkan cardiac
arrest.
2. Asidosis metabolik diberikan natrium bikarbonas dengan dosis (0,3 x KgBB
x defisit HCO3 plasma dalam mEq/L)
3. Hipertensi diberikan antihipertensi
4. Gagal jantung pembatasan cairan, digitalis dan diuretik
5. Kejang
Dapat terjadi karena hiponatremia, hipokalsemia, hipertensi ensefalopati dan
uremia.
Penting
untuk
menangani
kausa
ptimernya,
mempertahankan
kadang
terjadi
pada
waktu
mengerjakan
dialisis
peritoneal.
Untuk
Peraturan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
No.
Peraturan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
No.
Timbulnya suatu penyakit menular tertentu yang sebelumnya tidak ada atau tidak
2.
3.
Peningkatan kejadian kesakitan dua kali atau lebih dibandingkan dengan periode
4.
sebelumnya dalam kurun waktu jam, hari, atau minggu menurut jenis penyakitnya.
Jumlah penderita baru dalam periode waktu 1 (satu) bulan menunjukkan kenaikan
dua kali atau lebih dibandingkan dengan angka rata-rata jumlah per bulan dalam
5.
tahun sebelumnya.
Rata-rata jumlah kejadian kesakitan per bulan selama 1 (satu) tahun menunjukkan
kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan rata-rata jumlah kejadian
6.
7.
Peraturan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
No.
pertusis, poliomyelitis.
5) Penyakit potensial wabah/KLB lainnya dan beberapa penyakit penting: malaria,
frambosia, influenza, anthrax, hepatitis, typhus abdominalis, meningitis, keracunan,
encephalitis, tetanus.
6) Penyakit-penyakit menular yang tidak berpotensi wabah dan atau KLB, tetapi masuk
program: kecacingan, kusta, tuberkulosa, syphilis, gonorrhoe, filariasis, dan lain-lain.
10
Penyelidikan
KLB
mempunyai
tujuan
utama
yaitu
mencegah
meluasnya
(penanggulangan) dan terulangnya KLB di masa yang akan datang (pengendalian). Langkahlangkah yang harus dilalui pada penyelidikan KLB, sebagai berikut: 7
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
b. Sebagai contoh adanya kasus Hepatitis A di rumah sakit, segera dapat dilakukan
penanggulangannya yaitu memberikan imunisasi pada penderita yang diduga kontak,
sehingga penyelidikan hanya dilakukan untuk mencari orang yang kontak dengan
penderita (MMWR, 1985 dalam Maulani, 2010).
c. Jika etiologi diketahui tetapi sumber dan cara penularan belum dapat dipastikan, maka
belum dapat dilakukan penanggulangan. Masih diperlukan penyelidikan yang lebih luas
untuk mencari sumber dan cara penularannya.
d. Sebagai contoh: KLB Salmonella Muenchen tahun 1971. Pada penyelidikan telah
diketahui etiologinya (Salmonella). Walaupun demikian cara penanggulangan tidap
segera ditetapkan sebelum hasil penyelidikan mengenai sumber dan cara penularan
ditemukan. Cara penanggulangan baru dapat ditetapkan sesudah diketahui sumber
penularan dengan suatu penelitian kasus pembanding (Taylor et al., 1982 dalam Maulani,
2010).
e. Jika etiologi belum diketahui tetapi sumber dan cara penularan sudah diketahui maka
penanggulangan segera dapat dilakukan, walaupun masih memerlukan penyelidikan yang
luas tentang etiologinya.
f. Sebagai contoh: suatu KLB Organophosphate pada tahun 1986. Diketahui bahwa sumber
penularan adalah roti, sehingga cara penanggulangan segera dapat dilakukan dengan
mengamankan roti tersebut. Penyelidikan KLB masih diperlukan untuk mengetahui
etiologinya yaitu dengan pemeriksaan laboratorium, yang ditemukan parathion sebagai
penyebabnya (Etzel et al., 1987 dalam Maulani, 2010).
g. Jika etiologi dan sumber atau cara penularan belum diketahui, maka penanggulangan
tidak dapat dilakukan. Dalam keadaan ini cara penanggulangan baru dapat dilakukan
sesudah penyelidikan.
h. Sebagai contoh: Pada KLB Legionare pada tahun 1976, cara penanggulangan baru dapat
dikerjakan sesudah suatu penyelidikan yang luas mengenai etiologi dan cara penularan
penyakit tersebut (Frase et al., 1977 dalam Maulani, 2010). 7
Secara umum keadaan penyebab KLB adalah adanya perubahan keseimbangan dari
agent, penjamu, dan lingkungan.
epidemiologi
KLB
merupakan
kesempatan
baik
untuk
melakukan
penelitian.Mengingat hal ini sebaiknya pada penyelidikan epidemiologi KLB selalu dilakukan:
1) Pengkajian terhadap sistem surveilans yang ada, untuk mengetahui kemampuannya yang
ada sebagai alat deteksi dini adanya KLB, kecepatan informasi dan pemenuhan
kewajiban pelaksanaan sistem surveilans.
2) Penelitian faktor risiko kejadian penyakit KLB yang sedang berlangsung.
3) Evaluasi terhadap program kesehatan. 7
Penyusunan Rekomendasi
1) Program Pengendalian
Program pengendalian dilakukan oleh institusi kesehatan dalam upaya menurunkan
angka kesakitan, kematian dan kecacatan akibat penyakit menular dan penyakit tidak
menular.Tahapan tahapan program, yaitu: 7
1) Perencanaan
Dalam tahap perencanaan dilakukan analisis situasi masalah, penetapan masalah
prioritas, inventarisasi alternatif pemecahan masalah, penyusunan dokumen
perencanaan. Dokumen perencaan harus detail terhadap target/tujuan yang ingin
dicapai, uraian kegiatan dimana, kapan, satuan setiap kegiatan, volume, rincian
kebutuhan biaya, adanya petugas penanggungjawab setiap kegiatan, metode
pengukuran keberhasilan.
2) Pelaksanaan
Dalam tahap pelaksanaan
dilakukan
implemantasi
dokumen
perencanaan,
penyebab
KLB
dengan
mengidentifikasi
faktor-faktor
yang
penyebab
penyakit
terutama
pemusnahan
terhadap
bibit
16
dengan menggunakan termos berisi es, setelah sampai di sarana kesehatan disimpan
di freezer 4 C sebelum dikirim ke Bagian Laboratorium Mikrobiologi RSU Dr.
Kariadi Fakultas Kedokteran Undip Semarang untuk dilakukan pemeriksaan uji MAT
(Microscopic Agglutination Test) untuk mengetahui jenis strainya.
b. Rodent dan hewan lainnya :
Di desa/kelurahan yang ada kasus, secara bersamaan waktunya dengan pencarian
penderita baru dilakukan penangkapan tikus hidup (trapping). Spesimen serum tikus
yang terkumpul di kirim ke BBvet Bogor untuk diperiksa secara serologis.
Pemasangan perangkap dilakukan di dalam rumah maupun di luar rumah selama
minimal 5 hari berturut-turut. Setiap perangkap (metal live traps) harus diberi
label/nomor. Pemasangan perangkap dengan umpan dipasang pada sore hari dan
pengumpulan perangkap tikus keesokan harinya pagi-pagi sekali. Tikus dibawa ke
laboratorium lapangan dan pengambilan darah/ serum dan organ dengan member
label dan nomer untuk diidentifikasi kemudian dikirim ke Balai Besar Veteriner
(BBvet) di Bogor untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Laporan penyelidikan epidemiologi sebaiknya dapat menjelaskan : 8
a. Diagnosis KLB leptospirosis:
Penyebaran kasus menurut waktu (minggu), wilayah geografi (RT/RW, desa dan
Kecamatan), umur dan faktor lainnya yang diperlukan, misalnya sekolah, tempat kerja,
dan sebagainya.
b. Peta wilayah berdasarkan faktor risiko antara lain, daerah banjir, pasar, sanitasi
lingkungan, dan sebagainya.
c. Status KLB pada saat penyelidikan epidemiologi dilaksanakan serta perkiraan
peningkatan dan penyebaran KLB. Serta rencana upaya penanggulangannya
Penegakan diagnosis kasus dapati dilakukan dengan Rapid Test Diagnostic Test (RDT) dengan
mengambil serum darah penderita untuk pemeriksaan serologi, jenis RDT diantaranya : 8
a. Lepto Dipstick Assay
RDT ini dapat mendeteksi Imunoglobulin M spesifik kuman Leptospira dalam serum.
Hasil evaluasi multi sentrum pemeriksaan Leptodipstick di 22 negara termasuk Indonesia,
18
menunjukkan sensitifitas Dipstick mencapai 92,1%. Metode relatif praktis dan cepat karena
hanya memerlukan waktu 2,5 3 jam.
b. Leptotek Dridot
Berdasarkan aglutinasi partikel lateks, lebih cepat karena hasilnya bisa dilihat dalam
waktu 30 detik. Test ini untuk mendeteksi antibodi aglutinasi seperti pada MAT. Pemeriksaan
dilakukan dengan meneteskan 10 mL serum (dengan pipet semiotomatik) pada kartu
aglutinasi dan dicampur dengan reagen. Hasil dibaca setelah 30 detik dan dinyatakan positif
bila ada aglutinasi. Metode ini mempunyai sensitifitas 72,3% dan spesifitas 93,9% pada
serum yang dikumpulkan dalam waktu 10 hari pertama mulai sakit.
c. Leptotek Lateral Flow
Pemeriksaan dilakukan dengan dengan memasukan 5 mL serum atau10 mL darah, dan
130 mL larutan dapar, hasil dibaca setelah 10 menit. Leptotek Lateral Flow cukup cepat,
mendeteksi IgM yang menandakan infeksi baru, relatif mudah, tidak memerlukan almari
pendingin untuk menyimpan reagen, namun memerlukan pipet semiotomatik, dan pemusing
bila memakai serum. Alat ini mempunyai sensitifitas 85,8% dan spesifitas 93,6%.
KLB Leptospirosis ditetapkan apabila memenuhi salah satu kriteria sebagai berikut : 8
a. Peningkatan kejadian kesakitan terus menerus selama 3 (tiga) kurun waktu dalam jam,
hari atau minggu berturut-turut menurut di suatu wilayah desa.
b. Peningkatan kejadian kesakitan dua kali atau lebih dibandingkan dengan periode
sebelumnya dalam kurun waktu jam, hari atau minggu di wilayah desa
c. Jumlah penderita baru dalam periode waktu 1 (satu) bulan menunjukkan kenaikan dua
kali atau lebih dibandingkan dengan angka rata-rata per bulan dalam tahun sebelumnya di
suatu wilayah desa. Munculnya kesakitan leptospirosis di suatu wilayah kecamatan yang
selama 1 tahun terakhir tidak ada kasus.
HubunganEpidemiologik9
Penyakitsecaraepidemiologikdipengaruhioleh3faktorpokokyaitufaktoragentpenyakityang
berkaitandenganpenyebabtermasukjumlah,virulensi,patogenitasbakterileptospira,faktorkeduayang
19
airinilahbakterileptospiraakanmasuketubuhmanusia.
Sampah
Adanyakumpulansampahdirumahdansekitarnyaakanmenjaditempatyangdisenangi
tikus.Kondisisanitasiyangjeleksepertiadanyakumpulansampahdankehadirantikus
merupakanvariabeldeterminankasusleptospirosis.Adanyakumpulansampahdijadikan
indikatordarikehadirantikus.
Curahhujan
Leptospirosismenjadimasalahkesehatanmasyarakat,terutamadidaerahberiklimtropis
dansubtropis,dengancurahhujandankelembapantinggi.Leptospirosisberhubungan
denganmusimhujan,denganmeningkatnyakasusdimulaipadabulanagustusdanturun
padabulannovember,puncaknyakasusterjadipadabulanoktober.
Jarakrumahdengantempatpengumpulansampah
Tikussenangberkeliaranditempatsampahuntukmencarimakanan.Jarakrumahyang
dekatdengantempatpengumpulansampahmengakibatkantikusdapatmasukkerumah
dankencingdi sembarangtempat. Jarakrumah yangkurang dari 500 m dari tempat
20
pengumpulansampahmenunjukkankasusleptospirosislebihbesardibandingyanglebih
dari500m.
LingkunganBiologik
1. Populasitikusdidalamdansekitarrumah
BakterileptospirakhususnyaspesiesL.ichterrohaemorrhagiebanyakmenyerangtikus
besar.SedangkanL.ballummenyeragtikuskecil.
2. Keberadaanhewanpiaraansebagaihospesperantara
Tikus dan anjing merupakan reservoir penting dalam leptospiross. Di sebagan besar
negaratropistermasuknegaraberkembangkemungkinanpaparanleptospirosiisterbesar
padamanusiakarenaterinfeksidaribinatangternak,binatangrumahmaupunbinatang
liar.
LingkunganKimia
pHtanah
Leptospira dapat hidup berbulanbulan dalam lingkungan yang hangat (22C) dan pH
relatif netral (pH 6,28). Bila di air dan lumpur yang paling cocok untuk bakteri
leptospiraadalahdenganpHantara7,07,4dantemperaturantara28C30C.
LingkunganEkonomi
1. Pekerjaan
Jenispekerjaanmerupakanfaktorrisikopentingdalamkejadianpenyakitleptospirosis.
Jenispekerjaanyangberisikoterjangkitleptospirosisantaralain:petani,dokterhewan,
pekerjapemotonghewan,pekerjapengontroltikus,tukangsampah,pekerjaselokn,buruh
tambang, tentara, pembersih septic tank dan pekerjaan yag selalu kontak dengan
binatang.
LingkunganBudaya
Tidakmemakaialaskakidirumah
Dengantidakmemakaialaskakiakanmengakibatkankemungkinanmasuknyabakteri
leptospirakedalamtubuhakansemakinbesar.Bakterileptospiramasuktubuhmelalui
poripori tubuhterutama kulit kaki dan tangan. Oleh karena itu dianjurkanbagi para
pekerja yang selalu kontak dengan air kotor atau lumpur supaya memakai alas kaki
sepertisepatubot.Banyakinfeksileptospirosisterjadikarenaberjalandiairdankebun
tanpaalaskaki.
Mencuci/mandidisungai
Penularan bakteri leptospira pada manusia adalah kontak langsung dengan bakteri
leptospiramelaluiporiporikulityangmenjadilunakkarenaterkenaair,selaputlendir,
kulit kaki, tangandantubuhyanglecet.Kegiatanmencuci danmandi di sungaiatau
21
danau akan beresiko terpapar bakteri leptospira karena kemungkinan terjadi kontak
denganurinbinatangyangmengandungleptospiraakanlebihbesar.
Pencarian Kasus10
Data-data tentang kasus Leptospirosis selama ini masih sangat menggantungkan pada
laporan RS karena biasanya kasus diketahui berdasarkan informasi dari RS yang merawat
(hospital base surveillance).
Dari data RS tersebut, PE akan menuju tempat kejadian untuk mengetahui faktor risiko
atau mengetahui faktor risiko atau mengetahui riwayat kontak, serta mencari kemungkinan
adanya penderita baru di sekitar kasus.
Laporan kasus dari masyarakat akan dapat ditangkap oleh puskesmas (health centre base
surveillance), yaitu melalui penderita rawat jalan dengan gejala panas, ikterik, mual/muntah,
mata kemerahan, serta nyeri betis/pinggang dijaring melalui rapid test diagnostic untuk segera
dilakukan tindakan.
Sistem pencatatan dapat dilengkapi dengan form lepto 1 meliputi: nama, umur, alamat,
tanggal sakit, hasil pemeriksaan laboratorium, pekerjaan dan keterangan-keterangan lain yang
mendukung riwayat kejadian sakit.
Untuk rekapitulasi bulanan dapat dimasukan dalam form lepto 2 meliputi: rekapitulasi
berdasarkan lokasi kejadian perbulan meliputi puskesmas, kasus, laboratorium positif, serta
kasus meninggal.
Surveilans Epidemiologi (SE) Leptospirosis10
Sistem surveilans yang dilakukan terhadap manusia juga sebagai alat SKD untuk daerah
endemis leptospirosis: daerah banjir, daerah pasang surut, persawahan, rawa, dll yang berupa:
ikterik, mual/muntah, mata kemerahan serta nyeri betis/pinggang. Surveilans pasif dilakukan
22
melalui puskesmas, BP, pustu, pusling, dan RS, pada penderita dengan gejala leptospirosis yang
diambil sampel darahnya untuk pemeriksaan serologis.
Isi Penyuluhan11
Pengertian
Leptospirosis adalah penyakit yang disebabkan oleh Leptospira yang pathogen.Gejala
leptospirosis mirip dengan penyakit infeksi lainnya seperti influensa, meningitis,
hepatitis, demam dengue, demam berdarah dengue dan demam virus lainnya.
Penularan Penyakit Leptospirosis
Di Indonesia, penularan paling sering terjadi melalui tikus pada kondisi banjir. Keadaan
banjir menyebabkan adanya perubahanlingkungan seperti banyaknya genangan air,
lingkungan menjadi becek,berlumpur, serta banyak timbunan sampah yang menyebabkan
mudahnya bakteri Leptospira berkembang biak. Air kencing tikus terbawa banjir
kemudian masuk ke tubuh manusia melalui permukaan kulit yang terluka, selaput
lendir mata dan hidung. Sejauh ini tikus merupakan reservoir dan sekaligus penyebar
utama
Leptospirosis
karena
bertindak
sebagai
Beberapa
inang
alami
hewan
dan
memiliki
lain
sepertisapi, kambing, domba, kuda, babi, anjing dapat terserang Leptospirosis, tetapi
potensi menularkan ke manusia tidak sebesar tikus.Penularan leptospirosis dapat secara
langsung maupun tidak langsung.
1) Penularan langsung
Melalui darah, urin atau cairan tubuh lain yang mengandung kuman leptospira
pekerja pemotong hewan atau seseorang yang tertular dari hewan peliharaan
Dari manusia ke manusia meskipun jarang. Dapat terjadi melalui hubungan
sexual pada masa konvalensi atau dari ibu penderita leptospirosis ke janin
melalui sawar plasenta dan air susu ibu
23
Fase Septisemik
Fase Septisemik dikenal sebagai fase awal atau fase leptospiremikkarena bakteri dapat
diisolasi dari darah, cairan serebrospinal dan sebagian besar jaringan tubuh.
Pada stadium ini, penderita akan mengalami gejala mirip flu selama 4-7 hari, ditandai
dengan demam, kedinginan, dan kelemahan otot. Gejala lain adalah sakit tenggorokan,
batuk, nyeri dada, muntah darah, nyeri kepala, takut cahaya, gangguan mental, radang
selaput otak (meningitis), serta pembesaranlimpa dan hati
b.
Fase Imun
Fase Imun sering disebut fase kedua atau leptospirurik karena sirkulasi antibodi dapat
dideteksi dengan isolasi kuman dari urin, dan mungkin tidak dapat didapatkan lagi dari
darah atau cairan serebrospinalis. Fase ini terjadi pada 0-30 hari akibat respon pertahanan
tubuh terhadap infeks. Gejala tergantung organ tubuh yang terganggu seperti selaput otak,
hati, mata atau ginjal.
Jika yang diserang adalah selaput otak, maka akan terjadi depresi, kecemasan, dan sakit
kepala. Pada pemeriksaan fungsi hatididapatkan jaundis, pembesaran hati (hepatomegali),
dan tanda koagulopati. Gangguan paru-paru berupa batuk, batuk darah, dan sulit
bernapas.
peradarahan
dan
pembesaran
limpa
24
kelopak mata dan gangguan ginjal pada 50 persen pasien, dan gangguan paru-paru pada
20-70 persen pasien.
Gejala juga ditentukan oleh serovar yang menginfeksi. Sebanyak 83 persen penderita
infeksi L. icterohaemorrhagiae mengalami ikterus, dan 30 persen pada L. pomona.
Infeksi L.
grippotyphosa umumnya
menyebabkan
gangguan
sistem
pencernaan.
Sindrom Weil
Sindrom Weil adalah bentuk Leptospirosis berat ditandai jaundis, disfungsi ginjal,
nekrosis hati, disfungsi paru-paru, dan diathesis perdarahan. Kondisi ini terjadi pada akhir
fase awal dan meningkat pada fase kedua, tetapi bisa memburuk setiap waktu. Kriteria
penyakit Weil tidak dapat didefinisikan dengan baik. Manifestasi paru meliputi batuk,
kesulitan bernapas, nyeri dada, batuk darah, dan gagal napas. Disfungsi ginjal dikaitkan
dengan timbulnya jaundis 4-9 hari setelah gejala awal. Penderita dengan jaundis berat
lebih mudah terkena gagal ginjal, perdarahan dan kolap kardiovaskular. Kasus berat
dengan gangguan hati dan ginjal mengakibatkan kematian sebesar 20-40 persen yang
akan meningkat pada lanjut usia.
Pencegahan
Manusia rawan oleh infeksi semua serovar Leptospira sehingga manusia harus
mewaspadai cemaran urin dari semua hewan. Perilaku hidup sehat dan bersih merupakan
cara utama untuk menanggulangi Leptospirosis tanpa biaya. Manusia yang memelihara
hewan kesayangan hendaknya selalu membersihkan diri dengan antiseptik setelah kontak
dengan hewan kesayangan, kandang, maupun lingkungan di mana hewan berada.
Manusia harus mewaspadai tikus sebagai pembawa utama dan alami penyakit
ini.Pemberantasan tikus terkait langsung dengan pemberantasan Leptospirosis. Selain itu,
para peternak babi dihimbau untuk mengandangkan ternaknya jauh dari sumber
air. Feses ternak perlu diarahkan ke suatu sumber khusus sehingga tidak mencemari
lingkungan terutama sumber air.
25
Kader Kesehatan12
Kader kesehatan adalah adalah seseorang yang mau dan mampu melaksanakan upayaupaya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat di bawah pembinaan petugas kesehatan
yang dilakukan atas kesadaran diri sendiri dan tanpa pamrih apapun.Tujuan kader kesehatan
adalah:
1) Tujuan umum
Melalui peran kader kesehatan secara optimal diharapkan dapat meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat di wilayahnya.
2) Tujuan khusus
Terselenggaranya upaya promotif dan preventif terhadap masalah-masalah kesehatan oleh
masyarakat sendiri. Terdeteksinya masalah-masalah kesehatan secara dini yang ada di
wilayah dengan adanya kader yang berilmu pengetahuan dan aktif.Masyarakat mampu
mengambil inisiatif untuk menyelesaikan masalah-masalah kesehatan diwilayahnya
secara mandiri. Memudahkan koordinasi antara petugas kesehatan dengan masyarakat
(kader) untuk melaksanakan upaya-upaya kesehatan masyarakat
Setiap orang baik laki-laki maupun perempuan yang mau dan mampu menyelenggarakan
upaya-upaya kesehatan yang berbasis masyarakat, yang dilakukan secara sukarela, berdasarkan
ilmu pengetahuan yang terus berkembang, dan dibawah pengawasan dan pembinaan petugas
kesehatan setempat.Saat ini pada umumnya kader kesehatan ada beberapa kelompok, misalnya:
1. Kader Posyandu Balita
Kader yang bertugas di pos pelayanan terpadu (posyandu) dengan kegiatan rutin setiap
bulannya melakukan pendaftaran, pencatatan, penimbangan bayi dan balita.
2. Kader Posyandu Lansia
Kader yang bertugas di posyandu lanjut usia (lansia) dengan kegiatan rutin setiap
bulannya membantu petugas kesehatan saat pemeriksaan kesehatan pasien lansia.
3. Kader Gizi
Kader yang bertugas membantu petugas puskesmas melakukan pendataan, penimbangan
bayi dan balita yang mengalami gangguan gizi (malnutrisi).
26
Pembentukan Kader13
Mekanisme pembentukan kader membutuhkan kerjasama tim. Hal ini disebabkan karena
kader yang akan dibentuk terlebih dahulu harus diberikan pelatihan kader. Pelatihan kader ini
diberikan kepada para calon kader didesa yang telah ditetapkan. Sebelumnya telah dilaksanakan
kegiatan persiapan tingkat desa berupa pertemuan desa, pengamatan dan adanya keputusan
bersama untuk terlaksanakan acara tersebut. Calon kader berdasarkan kemampuan dan kemauan
berjumlah 4-5 orang untuk tiap posyandu. Persiapan dari pelatihan kader ini adalah:
1. Calon kader yang kan dilatih.
2. Waktu pelatihan sesuai kesepakatan bersama.
3. Tempat pelatihan yang bersih, terang, segar dan cukup luas.
4. Adanya perlengkapan yang memadai.
5. Pendanaan yang cukup.
6. Adanya tempat praktik (lahan praktik bagi kader).
Tim pelatihan kader melibatkan dari beberapa sektor. Camat otomatis bertanggung jawab
terhadap pelatihan ini, namun secara teknis oleh kepala puskesmas. Pelaksanaan harian pelatihan
ini adalah staf puskesmas yang mampu melaksanakan. Adapun pelatihannya adalah tanaga
kesehatan, petugas KB (PLKB), pertanian, agama, pkk, dan sector lain.
Waktu pelatihan ini membutuhkan 32 jam atau disesuaikan. Metode yang digunakan
adalah ceramah, diskusi, simulasi, demonstrasi, pemainan peran, penugasan, dan praktik
lapangan. Jenis materi yang disampaikan adalah:
1. Pengantar tentang posyandu.
2. Persiapan posyandu.
3. Kesehatan ibu dan anak.
4. Keluarga berencana.
5. UKK/UKS
6. Penanggulangan penyakit menular
7. Penangulangan diare.
8. Pencatatan dan pelaporan.
9. Persyaratan Menjadi Kader
28
5. Meningkatkan peran Lapas dalam penemuan penderita; Meningkatkan peran serta PKK,
Muhammadiyah/ Aisyiah/ Fatayat/ NU dan
6. Meningkatkan petugas PTO dan pengelola Program TBC.
30
AlgoritmaResponKLB14
YA
IKTERUS
TIDAK
PenyebaranPenyakit15
DiIndonesia,penyakitinitersebarluasdiPulauJawa,SumateraSelatan,SumateraBarat,Riau,
SumateraUtara,Bali,NusaTenggaraBarat,SulawesiSelatan,SulawesiUtara,KalimantanTimur,dan
KalimantanBarat.KejadianLuarBiasatercatatterjadidiRiau(1986),Jakarta(2002),Bekasi(2002),dan
Semarang(2003).
DinasKesehatanJawaTengahmencatatjumlahkasusleptospirosissejak2005sampai2009terus
mengalamipeningkatan.Padatahun2009tercatatjumlahkasusleptospirosisdiKotaSemarangsebesar
239kasusdenganangkakematianmencapai9orang.Meskipunterjadipenurunanditahun2010sampai
2012,akantetapikasusleptospirosismasihperluperhatianyangserius.
DalampenelitianM.HusseinGassemdkk.(2009)disebutkanbahwadiSemarang,leptospirosis
merupakan salah satu penyebab utama dari demam akut yang tidak terdiferensiasi sehingga kasus
leptospirosisseringtidakterdiagnosisdenganbenar.DiRSUPDr.KariadiSemarangsendiriditemukan
kuranglebih50pasiendengankasusleptospirosisberattiaptahunnya.
32
Daftar pustaka
1. Saroso, S. (2003). Pedoman Tatalaksana Kasus dan Pemeriksaan Laboratorium
Leptospirosis di Rumah Sakit. Jakarta : Departemen Kesehatan R.I.
2. Mansjoer, A. (2005). Kapita Selekta Kedokteran edisi 3 Bagian I. Media Aesculapius,
FKUI. Jakarta.
3. Arjatmo, T & Utama, H. (2001). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI.
4. Daher EF, Noguera CB. Evaluation of penicillin therapy in patients with leptospirosis
and acute ranal failure. Rev Inst Med trop. S Paulo. 2000.42(6):327-32.
5. Drunl W. Nutritional support in patients ARF. In; Acute Renal Failure; (Brenners &
Rectors) ed WB Saunders. 2001: 465-83
6. Budiriyanto, M. Hussein Gasem, Bambang Pujianto, Henk L Smits : Serovars of
Leptospirosis in patients with severe leptospirosis admitted to the hospitals of Semarang.
Konas PETRI, 2002.
7. Bimantara AP, Yudha EB, Kusuma SA, et al. Kejadian luar biasa dan langkah-langkah
penyelidikan klb. Jurnal kesehatan masyarakat fakultas kedokteran dan ilmu-ilmu
kesehatan Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. 2014.
8. Penyelidikan dan penanggulangan kejadian luar biasa penyakit menular dan keracunan
pangan. Pedoman epidemiologi penyakit. Edisi Revisi 2011.h.105-111.
9. Epidemiologi leptospirosis. Diakses pada tanggal 11 Juni
2016
pada:
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/133/jtptunimus-gdl-sitinurcha-6633-3-babii.pdf
10. Handout Surveilans Epidemiologi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Univeritas Ahmad
Dahlan.
Diakses
pada
tanggal
11
Juni
2016
pada:
http://fkm.uad.ac.id/unduhan/Surveilans%20Epidemiologi_sem5.pdfpnyuluhan
11. Rosita I. Peran kader kesehatan menuju indonesia sehat 2015. Diunggah pada tanggal 14
Januari
2012.
Diakses
pada
tanggal
12
Juni
2016
pada:
https://iinrosita.wordpress.com/2012/01/14/peran-kader-kesehatan/.
12. Hasanbasri M. Partisipasi masyarakat terhadap praktik kebidanan komunitas, Studi kasus
desa timbulharjo kecamatan sewon bantuk KMPK UGM. Working paper series no.4,
Yogyakarta: Januari 2008.
13. Alfa D. Evaluasi program pemberantasan penyakit menular (p2m). Direktorat Jenderal
Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman Departemen
Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta: 2006.
14. Nasir M. Algoritma diagnosis penyakit dan respons. Subdit Surveilans dan Respon KLB,
Ditjen PP dan PL. Kementrian Kesehatan RI. Jakarta: 2010.
33
15. Kusmiyati, Susan M, Supar. Leptospirosis pada hewan dan manusia di Indonesia. Balai
penelitian veteriner. Bogor: 2004.
34