Anda di halaman 1dari 34

LEPTOSPIROSIS

Leptospirosis adalah penyakit infeksi yang dapat menyerang manusia dan binatang. Penyakit
menular ini adalah penyakit hewan yang dapat menjangkiti manusia. Termasuk penyakit
zoonosis yang paling sering terjadi di dunia. Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang
disebabkan oleh mikroorganisme berbentuk spiral dan bergerak aktif yang dinamakan
Leptospira. (WHO, 2003). Leptospirosis atau penyakit kuning adalah penyakit penting pada
manusia, tikus, anjing, babi dan sapi. Penyakit ini disebabkan oleh spirochaeta leptospira
icterohaemorrhagiae yang hidup pada ginjal dan urine tikus.1
Etiologi
Penyakit yang terdapat di semua negara dan terbanyak ditemukan di negara beriklim tropis ini,
disebabkan oleh Leptospira interrogans dengan berbagai subgrup yang masing-masing terbagi
lagi atas serotipe bisa terdapat pada ginjal atau air kemih binatang piaraan seperti anjing, lembu,
babi, kerbau dan lain-lain, maupun binatang liar seperti tikus, musang, tupai dan sebagainya.
Manusia bisa terinfeksi jika terjadi kontak pada kulit atau selaput lendir yang luka atau erosi
dengan air, tanah, lumpur dan sebagainya yang telah terjemar oleh air kemih binatang yang
terinfeksi leptospira.2 Menurut beberapa peneliti yang tersering menginfeksi manusia adalah
L.icterohaemorrhagiae, dengan reservoir tikus, L.canicola, dengan reservoirnya anjing dan L.
pomona dengan reservoirnya sapi dan babi. 3

Epidemiologi Leptospirosis
Leptospirosis adalah penyaki infeksi akut yang dapat menyerang manusia maupun hewan dan
digolongkan

sebagai

zoonosis.

Leptospirosis

adalah

zoonosis

bakterial

berdasarkan

penyebabnya, berdasarkan cara penularan merupakan direct zoonosis karena tidak memerlukan
vektor, dan dapat juga digolongkan sebagai amfiksenose karena jalur penularan dapa dari hewan
ke manusia dan sebaliknya. Penularan leptospirosis pada manusia ditularkan oleh hewan yang
terinfeksi kuman leptospira. Hewan pejamu kuman leptospira adalah hewan peliharaan seperti
babi, lembu, kambing, kucing, anjing sedangkan kelompok unggas serta beberapa hewan liar
seperti tikus, bajing, ular, dan lain-lain. Pejamu resevoar utama adalah roden. Kuman leptospira

hidup didalam ginjal pejamu reservoar dan dikeluarkan melalui urin saat berkemih. Manusia
merupakan hospes insidentil seperti pada gambar berikut :

Gambar 2.2 siklus penularan leptospirosis


Menurut Saroso (2003) penularan leptospirosis dapat secara langsung dan tidak langsung yaitu :1
a. Penularan secara langsung dapat terjadi :
1) Melalui darah, urin atau cairan tubuh lain yang mengandung kuman leptospira
masuk kedalam tubuh pejamu.
2) Dari hewan ke manusia merupakan peyakit akibat pekerjaan, terjadi pada orang
yang merawat hewan atau menangani organ tubuh hewan misalnya pekerja
potong hewan, atau seseorang yang tertular dari hewan peliharaan.
3) Dari manusia ke manusia meskipun jarang, dapat terjadi melalui hubungan
seksual pada masa konvalesen atau dari ibu penderita leptospirosis ke janin
melalui sawar plasenta dan air susu ibu.
b. Penularan tidak langsung dapat terjadi melalui :
1) Genangan air.
2) Sungai atau badan air.
3) Danau.
4) Selokan saluran air dan lumpur yang tercemar urin hewan.
5) Jarak rumah dengan tempat pengumpulan sampah.
c. Faktor resiko
Faktor-faktor resiko terinfeksi kuman leptospira, bila kontak langsung atau terpajan air
atau rawa yang terkontaminasi yaitu :
2

1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)

Kontak dengan air yang terkonaminasi kuman leptospira atau urin tikus saat banjir.
Pekerjaan tukang perahu, rakit bambu, pemulung.
Mencuci atau mandi disungai atau danau.
Tukang kebun atau pekerjaan di perkebunan.
Petani tanpa alas kaki di sawah.
Pembersih selokan.
Pekerja potong hewan, ukang daging yang terpajan saat memotong hewan.
Peternak, pemeliharaan hewan dan dorter hewan yang terpajan karena menangani
ternak atau hewan, terutama saat memerah susu, menyentuh hewan mati, menolong
hewan melahirkan, atau kontak dengan bahan lain seperti plasenta, cairan amnion dan

bila kontak dengan percikan infeksius saat hewan berkemih.


9) Pekerja tambang.
10) Pemancing ikan, pekerja tambak udang atau ikan tawar.
Infeksi leptospirosis di Indonesia umumnya dengan perantara tikus jenis Rattus norvegicus (tikus
selokan), Rattus diardii (tikus ladang), dan Rattus exulans Suncu murinus (cecurt).
Pencegahan
Menurut Saroso (2003) pencegahan penularan kuman leptospirosis dapat dilakukan melalui tiga
jalur yang meliputi :1
a. Jalur sumber infeksi
1) Melakukan tindakan isolasi atau membunuh hewan yang terinfeksi.
2) Memberikan antibiotik pada hewan yang terinfeksi, seperti penisilin, ampisilin, atau
dihydrostreptomycin, agar tidak menjadi karier kuman leptospira. Dosis dan cara
pemberian berbeda-beda, tergantung jenis hewan yang terinfeksi.
3) Mengurangi populasi tikus dengan beberapa cara seperti penggunaan racun tikus,
pemasangan jebakan, penggunaan rondentisida dan predator ronden.
4) Meniadakan akses tikus ke lingkungan pemukiman, makanan dan air minum dengan
membangun gudang penyimpanan makanan atau hasil pertanian, sumber
penampungan air, dan perkarangan yang kedap tikus, dan dengan membuang sisa
makanan serta sampah jauh dari jangkauan tikus.
5) Mencengah tikus dan hewan liar lain tinggal di habitat manusia dengan memelihara
lingkungan bersih, membuang sampah, memangkas rumput dan semak berlukar,
menjaga sanitasi,
b. Jalur penularan
Penularan dapat dicegah dengan :
1) Memakai pelindung kerja (sepatu, sarung tangan, pelindung mata, apron, masker).
2) Mencuci luka dengan cairan antiseptik, dan ditutup dengan plester kedap air.
3

3) Mencuci atau mandi dengan sabun antiseptik setelah terpajan percikan urin, tanah,
dan air yang terkontaminasi.
4) Menumbuhkan kesadara terhadap potensi resiko dan metode untuk mencegah atau
mengurangi pajanan misalnya dengan mewaspadai percikan atau aerosol, tidak
menyentuh bangkai hewan, janin, plasenta, organ (ginjal, kandung kemih) dengan
tangan telanjang, dan jangn menolong persalinan hewan tanpa sarung tangan.
5) Mengenakan sarung tangan saat melakukan tindakan higienik saat kontak dengan
urin hewan, cuci tangan setelah selesai dan waspada terhadap kemungkinan
terinfeksi saat merawat hewan yang sakit.
6) Menurunkan PH air sawah menjadi asam dengan pemakaian pupuk aau bahan-bahan
kimia sehingga jumlah dan virulensi kuman leptospira berkurang.
c. Jalur pejamu manusia
1) Menumbuhkan sikap waspada
Diperlukan pendekatan penting pada masyarakat umum dan kelompok resiko tinggi
terinfeksi kuman leptospira. Masyarakat perlu mengetahui aspek penyakit leptospira,
cara-cara menghindari pajanan dan segera ke sarana kesehatan bila di duga terinfeksi
kuman leptospira.
2) Melakukan upaya edukasi
Dalam upaya promotif, untuk menghindari leptospirosis dilakukan dengan cara-cara
edukasi yang meliputi :
a) Memberikan selembaran kepada klinik kesehatan, departemen pertanian,
institusi militer, dan lain-lain. Di dalamnya diuraikan mengenai penyakit
leptospirosis, kriteria menengakkan diagnosis, terapi dan cara mencengah
pajanan. Dicatumkan pula nomor televon yang dapat dihubungi untuk informasi
lebih lanjut.
b) Melakukan penyebaran informasi.
Penatalaksanaan
Terapi pilihan (DOC) untuk leptospirosis sedang dan berat adalah Penicillin G, dosis dewasa 4 x
1,5 juta unit /i.m, biasanya diberikan 2 x 2,4 unit/i.m, selama 7 hari.
Tujuan Pemberian Obat
1.

Regimen

Treatment
a. Leptospirosis ringan

Doksisiklin 2 x 100 mg/oral atau


4

Ampisillin 4 x 500-750 mg/oral atau


Amoxicillin 4 x 500 mg/oral

b.Leptospirosis sedang/ berat

Penicillin G 1,5 juta unit/6jam i.m atau


Ampicillin 1 g/6jam i.v atau
Amoxicillin 1 g/6jam i.v atau
Eritromycin 4 x 500 mg i.v

2.

Kemoprofilaksis

Doksisiklin 200 mg/oral/minggu

Terapi untuk leptospirosis ringan


Pada bentuk yang sangat ringan bahkan oleh penderita seperti sakit flu biasa. Pada
golongan ini tidak perlu dirawat. Demam merupakan gejala dan tanda yang menyebabkan
penderita mencari pengobatan. Ikterus kalaupun ada masih belum tampak nyata. Sehingga
penatalaksanaan cukup secara konservatif.4
Penatalaksanaan konservatif

Pemberian antipiretik, terutama apabila demamnya melebihi 38C

Pemberian cairan dan nutrisi yang adekuat.


Kalori diberikan dengan mempertimbangkan keseimbangan nitrogen, dianjurkan
sekitar 2000-3000 kalori tergantung berat badan penderita. Karbohidrat dalam jumlah
cukup untuk mencegah terjadinya ketosis. Protein diberikan 0,2 0,5 gram/kgBB/hari
yang cukup mengandung asam amino essensial.

Pemberian antibiotik-antikuman leptospira.


paling tepat diberikan pada fase leptospiremia yaitu diperkirakan pada minggu pertama
setelah infeksi. Pemberian penicilin setelah hari ke tujuh atau setelah terjadi ikterus
5

tidak efektif. Penicillin diberikan dalam dosis 2-8 juta unit, bahkan pada kasus yang
berat atau sesudah hari ke-4 dapat diberikan sampai 12 juta unit (sheena A Waitkins,
1997). Lama pemberian penisilin bervariasi, bahkan ada yang memberikan selama 10
hari.

Terapi suportif supaya tidak jatuh ke kondisi yang lebih berat. Pengawasan terhadap
fungsi ginjal sangat perlu.

Terapi untuk leptospirosis berat.

Antipiretik

Nutrisi dan cairan.


Pemberian nutrisi perlu diperhatikan karena nafsu makan penderita biasanya menurun
maka intake menjadi kurang. Harus diberikan nutrisi yang seimbang dengan kebutuhan
kalori dan keadaan fungsi hati dan ginjal yang berkurang. Diberikan protein essensial
dalam jumlah cukup. Karena kemungkinan sudah terjadi hiperkalemia maka masukan
kalium dibatasi sampai hanya 40mEq/hari. Kadar Na tidak boleh terlalu tinggi. Pada
fase oligurik maksimal 0,5gram/hari. Pada fase ologurik pemberian cairan harus
dibatasi. Hindari pemberian cairan yang terlalu banyak atau cairan yang justru
membebani kerja hati maupun ginjal. Infus ringer laktat misalnya, justru akan
membebani kerja hati yang sudah terganggu. Pemberian cairan yang berlebihan akan
menambah beban ginjal. Untuk dapat memberikan cairan dalam jumlah yang cukup
atau tidak berlebihan secara sederhana dapat dikerjakan monitoring / balance cairan
secara cermat. Pada penderita yang muntah hebat atau tidak mau makan diberikan
makan secara parenteral. Sekarang tersedia cairan infus yang praktis dan cukup
kandungan nutrisinya. 5

Pemberian antibiotik

Pada kasus yang berat atau sesudah hari ke-4 dapat diberikan sampai 12 juta unit
(sheena A Waitkins, 1997). Lama pemberian penisilin bervariasi, bahkan ada yang
memberikan selama 10 hari. Penelitian terakhir : AB gol. fluoroquinolone dan
beta laktam (sefalosporin, ceftriaxone) > baik dibanding antibiotik konvensional
tersebut di atas, meskipun masih perlu dibuktikan keunggulannya secara in vivo.
6

Penanganan kegagalan ginjal.


Gagak ginjal mendadak adalah salah sati komplikasi berat dari leptospirosis. Kelainan
ada ginjal berupa akut tubular nekrosis (ATN). Terjadinya ATN dapat diketahui dengan
melihat ratio osmolaritas urine dan plasma (normal bila ratio <1). Juga dengan melihat
perbandingankreatinin urine dan plasma, renal failire index dll.

Pengobatan terhadap infeksi sekunder.


Penderita

leptospirosis

sangat

rentan

terhadap

terjadinya

beberapa

infeksi

sekunderakibat dari penyakitnya sendiri atau akibat tindakan medik, antara lain:
bronkopneumonia, infeksi saluran kencing, peritonitis (komplikasi dialisis peritoneal),
dan sepsis. Dilaporkan kelainan paru pada leptospirosis terdapat pada 20-70% kasus
(Kevins O Neal, 1991). Pengelolaan sangat tergantung dari jenis komplikasi yang
terjadi. Pada penderita leptospirosis, sepsis / syok septik mempunyai angka kematian
yang tinggi.

Penanganan khusus
1. Hiperkalemia diberikan kalsium glukonas 1 gram atau glukosa insulin (10-20
U regular insulin dalam infus dextrose 40%)
Merupakan keadaan yang harus segera ditangani karena menyebabkan cardiac
arrest.
2. Asidosis metabolik diberikan natrium bikarbonas dengan dosis (0,3 x KgBB
x defisit HCO3 plasma dalam mEq/L)
3. Hipertensi diberikan antihipertensi
4. Gagal jantung pembatasan cairan, digitalis dan diuretik
5. Kejang
Dapat terjadi karena hiponatremia, hipokalsemia, hipertensi ensefalopati dan
uremia.

Penting

untuk

menangani

kausa

ptimernya,

mempertahankan

oksigenasi/sirkulasi darah ke otak, dan pemberian obat anti konvulsi.


6. Perdarahan transfusi
Merupakan komplikasi penting pada leptospirosis, dan sering mnakutkan.
Manifestasi perdarahan dapat dari ringan sampai berat. Perdarahan kadang07

kadang

terjadi

pada

waktu

mengerjakan

dialisis

peritoneal.

Untuk

menyampingkan enyebab lain perlu dilakukan pemeriksaan faal koagulasi


secara lengkap. Perdarahan terjadi akibat timbunan bahan-bahan toksik dan
akibat trpmbositopati.
7. Gagal ginjal akut hidrasi cairan dan elektrolit, dopamin, diuretik, dialisis.6

Definisi Kejadian Luar Biasa (KLB)


Menurut

Peraturan

Menteri

Kesehatan

Republik

Indonesia

No.

1501/MENKES/PER/X/2010, Kejadian Luar Biasa adalah timbulnya atau meningkatnya


kejadian kesakitan dan/atau kematian yang bermakna secara epidemiologi pada suatu daerah
dalam kurun waktu tertentu dan merupakan keadaan yang dapat menjurus pada terjadinya
wabah.7
Selain itu, Mentri Kesehatan RI (2010) membatasi pengertian wabah sebagai berikut:
Kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat yang jumlah penderitanya
meningkat secara nyata melebihi daripada keadaan yang lazim pada waktu dan daerah tertentu
serta dapat menimbulkan malapetaka.
Istilah wabah dan KLB memiliki persamaan, yaitu peningkatan kasus yang melebihi
situasi yang lazim atau normal, namun wabah memiliki konotasi keadaan yang sudah kritis,
gawat atau berbahaya, melibatkan populasi yang banyak pada wilayah yang lebih luas. 7
Kriteria KLB
Menurut

Peraturan

Menteri

Kesehatan

Republik

Indonesia

No.

1501/MENKES/PER/X/2010, suatu derah dapat ditetapkan dalam keadaan KLB apabila


memenuhi salah satu kriteria sebagai berikut: 7
1.

Timbulnya suatu penyakit menular tertentu yang sebelumnya tidak ada atau tidak

2.

dikenal pada suatu daerah.


Peningkatan kejadian kesakitan terus-menerus selama 3 (tiga) kurun waktu dalam
jam, hari atau minggu berturut-turut menurut jenis penyakitnya.

3.

Peningkatan kejadian kesakitan dua kali atau lebih dibandingkan dengan periode

4.

sebelumnya dalam kurun waktu jam, hari, atau minggu menurut jenis penyakitnya.
Jumlah penderita baru dalam periode waktu 1 (satu) bulan menunjukkan kenaikan
dua kali atau lebih dibandingkan dengan angka rata-rata jumlah per bulan dalam

5.

tahun sebelumnya.
Rata-rata jumlah kejadian kesakitan per bulan selama 1 (satu) tahun menunjukkan
kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan rata-rata jumlah kejadian

6.

kesakitan perbulan pada tahun sebelumnya.


Angka kematian kasus suatu penyakit (Case Fatality Rate) dalam 1 (satu) kurun
waktu tertentu menunjukkan kenaikan 50% (lima puluh persen) atau lebih
dibandingkan dengan angka kematian kasus suatu penyakit periode sebelumnya

7.

dalam kurun waktu yang sama.


Angka proporsi penyakit (Proportional Rate) penderita baru pada satu periode
menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibanding satu periode sebelumnya
dalam kurun waktu yang sama.

Penyakit-Penyakit Yang Berpotensi Menjadi KLB


Berdasarkan

Peraturan

Menteri

Kesehatan

Republik

Indonesia

No.

1501/MENKES/PER/X/2010, penyakit menular tertentu yang menimbulkan wabah adalah: 7


1. Kholera
2. Pes
3. Demam berdarah
4. Campak
5. Polio
6. Difteri
7. Pertusis
8. Rabies
9. Malaria
10. Avian Influenza H5N1
11. Antraks
12. Leptospirosis
13. Hepatitis
14. Influenza H1N1
15. Meningitis
16. Yellow Fever
17. Chikungunya
Penyakit-penyakit berpotensi Wabah/KLB: 7
1)
2)
3)
4)

Penyakit karantina/penyakit wabah penting: kholera, pes, yellow fever.


Penyakit-penyakit berpotensi Wabah/KLB:
Penyakit karantina/penyakit wabah penting: kholera, pes, yellow fever.
Penyakit potensi wabah/KLB yang menjalar dalam waktu cepat/ mempunyai
memerlukan tindakan segera: DHF, campak, rabies, tetanus neonatorum, diare,

pertusis, poliomyelitis.
5) Penyakit potensial wabah/KLB lainnya dan beberapa penyakit penting: malaria,
frambosia, influenza, anthrax, hepatitis, typhus abdominalis, meningitis, keracunan,
encephalitis, tetanus.
6) Penyakit-penyakit menular yang tidak berpotensi wabah dan atau KLB, tetapi masuk
program: kecacingan, kusta, tuberkulosa, syphilis, gonorrhoe, filariasis, dan lain-lain.

Langkah-Langkah Penyelidikan KLB

10

Penyelidikan

KLB

mempunyai

tujuan

utama

yaitu

mencegah

meluasnya

(penanggulangan) dan terulangnya KLB di masa yang akan datang (pengendalian). Langkahlangkah yang harus dilalui pada penyelidikan KLB, sebagai berikut: 7
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.

Mempersiapkan penelitian lapangan


Menetapkan apakah kejadian tersebut suatu KLB
Memastikan diagnosa etiologis
Mengidentifikasikan dan menghitung kasus atau paparan
Mendeskripsikan kasus berdasarkan orang, waktu, dan tempat
Membuat cara penanggulangan sementara dengan segera (jika diperlukan)
Mengidentifikasi sumber penularan dan keadaan penyebab KLB
Merencanakan penelitian lain yang sistematis
Menetapkan saran cara pengendalian dan penanggulangan
Melaporkan hasil penyelidikan kepada instansi kesehatan setempat dan kepada sistim
pelayanan kesehatan yang lebih tinggi

Persiapan Penelitian Lapangan


Persiapan lapangan sebaiknya dikerjakan secepat mungkin, dalam 24 jam pertama
sesudah adanya informasi. Persiapan penelitian lapangan meliputi: 7
a. Pemantapan (konfirmasi) informasi.
b. Pembuatan rencana kerja
c. Pertemuan dengan pejabat setempat.

Pemastian Diagnosis Penyakit


Cara diagnosis penyakit pada KLB dapat dilakukan dengan mencocokan gejala/tanda
penyakit yang terjadi pada individu, kemudian disusun distribusi frekuensi gejala klinisnya.
Penetapan KLB7
Penetapan KLB dilakukan dengan membandingkan insidensi penyakit yang tengah
berjalan dengan insidensi penyakit dalam keadaan biasa (endemik) pada populasi yang dianggap
berisiko, pada tempat dan waktu tertentu. Adanya KLB juga ditetapkan apabila memenuhi salah
satu dari kriteria KLB. Pada penyakit yang endemis, maka cara menentukan KLB bisa menyusun
dengan grafik pola maksimum-minimum 5 tahunan atau 3 tahunan.
11

Identifikasi kasus atau paparan


Identifikasi kasus penting dilakukan untuk membuat perhitungan kasus dengan teliti.
Hasil perhitungan kasus ini digunakan selanjutnya untuk mendeskripsikan KLB. Dasar yang
dipakai pada identifikasi kasus adalah hasil pemastian diagnosis penyakit. 7
Identifikasi paparan perlu dilakukan sebagai arahan untuk indentifikasi sumber
penularan. Pada tahap ini cara penentuan paparan dapat dilakukan dengan mempelajari teori cara
penularan penyakit tersebut. Ini penting dilakukan terutama pada penyakit yang cara
penularannya tidak jelas (bervariasi). Pada KLB keracunan makanan identifikasi paparan ini
secara awal perlu dilakukan untuk penanggulangan sementara dengan segera. 7
Deskripsi KLB
a. Deskripsi Kasus Berdasarkan Waktu.
Penggambaran kasus berdasarkan waktu pada periode wabah (lamanya KLB
berlangsung) digambarkan dalam suatu kurva epidemik. Kurva epidemik adalah suatu
grafik yang menggambarkan frekuensi kasus berdasarkan saat mulai sakit (onset of
illness) selama periode wabah. Penggunaan kurva epidemik untuk menentukan cara
penularan penyakit. Salah satu cara untuk menentukan cara penularan penyakit pada
suatu KLB yaitu dengan melihat tipe kurva epidemik, sebagai berikut:
a. Kurva epidemik dengan tipe point common source (penularan berasal dari satu
sumber). Tipe kurva ini terjadi pada KLB dengan kasus-kasus yang terpapar
dalam waktu yang sama dan singkat. Biasanya ditemui pada penyakit-penyakit
yang ditularkan melalui air dan makanan (misalnya: kolera, typoid).
b. Kurva epidemik dengan tipe propagated. Tipe kurva ini terjadi pada KLB dengan
cara penularan kontak dari orang ke orang. Terlihat adanya beberapa puncak.
Jarak antara puncak sistematis, kurang lebih sebesar masa inkubasi rata rata
penyakit tersebut.
c. Tipe kurva epidemik campuran antara common source danpropagated. Tipe kurva
ini terjadi pda KLB yang pada awalnya kasus-kasus memperoleh paparan suatu
sumber secara bersama, kemudian terjadi karena penyebaran dari orang ke orang
(kasus sekunder).
12

b. Deskripsi kasus berdasarkan tempat


Tujuan menyusun distribusi kasus berdasarkan tempat adalah untuk mendapatkan
petunjuk populasi yang rentan kaitannya dengan tempat (tempat tinggal, tempat
pekerjaan). Hasil analisis ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi sumber penularan.
Agar tujuan tercapai, maka kasus dapat dikelompokan menurut daerah variabel geografi
(tempat tinggal, blok sensus), tempat pekerjaan, tempat (lingkungan) pembuangan
limbah, tempat rekreasi, sekolah, kesamaan hubungan (kesamaan distribusi air,
makanan), kemungkinan kontak dari orang ke orang atau melalui vektor (CDC, 1979;
Friedman, 1980 dalam Maulani, 2010). 7
c. Deskripsi kasus berdasarkan orang
Teknik ini digunakan untuk membantu merumuskan hipotesis sumber penularan atau
etiologi penyakit. Orang dideskripsikan menurut variabel umur, jenis kelamin, ras, status
kekebalan, status perkawinan, tingkah laku, atau kebudayaan setempat. Pada tahap dini
kadang hubungan kasus dengan variabel orang ini tampak jelas. Keadaan ini
memungkinkan memusatkan perhatian pada satu atau beberapa variabel di atas. Analisis
kasus berdasarkan umur harus selalu dikerjakan, karena dari age spscific rate dengan
frekuensi dan beratnya penyakit. Analisis ini akan berguna untuk membantu pengujian
hipotesis mengenai penyebab penyakit atau sebagai kunci yang digunakan untuk
menentukan sumber penyakit (MacMahon and Pugh, 1970; Mausner and Kramer, 1985;
Kelsey et al., 1986 dalam Maulani, 2010).
Penanggulangan sementara
Kadang-kadang cara penanggulangan sementara sudah dapat dilakukan atau diperlukan,
sebelum semua tahap penyelidikan dilampaui. Cara penanggulangan ini dapat lebih spesifik atau
berubah sesudah semua langkah penyelidikan KLB dilaksanakan. 7
Menurut Goodman et al. (1990) dalam Maulani (2010), kecepatan keputusan cara
penanggulangan sangat tergantung dari diketahuinya etiologi penyakit, sumber dan cara
penularannya, sebagai berikut:
a. Jika etiologi telah diketahui, sumber dan cara penularannya dapat dipastikan maka
penanggulangan dapat dilakukan tanpa penyelidikan yang luas.
13

b. Sebagai contoh adanya kasus Hepatitis A di rumah sakit, segera dapat dilakukan
penanggulangannya yaitu memberikan imunisasi pada penderita yang diduga kontak,
sehingga penyelidikan hanya dilakukan untuk mencari orang yang kontak dengan
penderita (MMWR, 1985 dalam Maulani, 2010).
c. Jika etiologi diketahui tetapi sumber dan cara penularan belum dapat dipastikan, maka
belum dapat dilakukan penanggulangan. Masih diperlukan penyelidikan yang lebih luas
untuk mencari sumber dan cara penularannya.
d. Sebagai contoh: KLB Salmonella Muenchen tahun 1971. Pada penyelidikan telah
diketahui etiologinya (Salmonella). Walaupun demikian cara penanggulangan tidap
segera ditetapkan sebelum hasil penyelidikan mengenai sumber dan cara penularan
ditemukan. Cara penanggulangan baru dapat ditetapkan sesudah diketahui sumber
penularan dengan suatu penelitian kasus pembanding (Taylor et al., 1982 dalam Maulani,
2010).
e. Jika etiologi belum diketahui tetapi sumber dan cara penularan sudah diketahui maka
penanggulangan segera dapat dilakukan, walaupun masih memerlukan penyelidikan yang
luas tentang etiologinya.
f. Sebagai contoh: suatu KLB Organophosphate pada tahun 1986. Diketahui bahwa sumber
penularan adalah roti, sehingga cara penanggulangan segera dapat dilakukan dengan
mengamankan roti tersebut. Penyelidikan KLB masih diperlukan untuk mengetahui
etiologinya yaitu dengan pemeriksaan laboratorium, yang ditemukan parathion sebagai
penyebabnya (Etzel et al., 1987 dalam Maulani, 2010).
g. Jika etiologi dan sumber atau cara penularan belum diketahui, maka penanggulangan
tidak dapat dilakukan. Dalam keadaan ini cara penanggulangan baru dapat dilakukan
sesudah penyelidikan.
h. Sebagai contoh: Pada KLB Legionare pada tahun 1976, cara penanggulangan baru dapat
dikerjakan sesudah suatu penyelidikan yang luas mengenai etiologi dan cara penularan
penyakit tersebut (Frase et al., 1977 dalam Maulani, 2010). 7

Identifikasi sumber penularan dan keadaan penyebab KLB

Identifikasi sumber penularan


Untuk mengetahui sumber dan cara penularan dilakukan dengan membuktikan adanya
agent pada sumber penularan.
Identifikasi keadaan penyebab KLB
14

Secara umum keadaan penyebab KLB adalah adanya perubahan keseimbangan dari
agent, penjamu, dan lingkungan.

Perencanaan penelitian lain yang sistematis


Goodman et al (1990) dalam Maulani, 2010 mengatakan bahwa KLB merupakan
kejadian yang alami (natural), oleh karenanya selain untuk mencapai tujuan utamanya
penyelidikan

epidemiologi

KLB

merupakan

kesempatan

baik

untuk

melakukan

penelitian.Mengingat hal ini sebaiknya pada penyelidikan epidemiologi KLB selalu dilakukan:
1) Pengkajian terhadap sistem surveilans yang ada, untuk mengetahui kemampuannya yang
ada sebagai alat deteksi dini adanya KLB, kecepatan informasi dan pemenuhan
kewajiban pelaksanaan sistem surveilans.
2) Penelitian faktor risiko kejadian penyakit KLB yang sedang berlangsung.
3) Evaluasi terhadap program kesehatan. 7
Penyusunan Rekomendasi
1) Program Pengendalian
Program pengendalian dilakukan oleh institusi kesehatan dalam upaya menurunkan
angka kesakitan, kematian dan kecacatan akibat penyakit menular dan penyakit tidak
menular.Tahapan tahapan program, yaitu: 7
1) Perencanaan
Dalam tahap perencanaan dilakukan analisis situasi masalah, penetapan masalah
prioritas, inventarisasi alternatif pemecahan masalah, penyusunan dokumen
perencanaan. Dokumen perencaan harus detail terhadap target/tujuan yang ingin
dicapai, uraian kegiatan dimana, kapan, satuan setiap kegiatan, volume, rincian
kebutuhan biaya, adanya petugas penanggungjawab setiap kegiatan, metode
pengukuran keberhasilan.
2) Pelaksanaan
Dalam tahap pelaksanaan

dilakukan

implemantasi

dokumen

perencanaan,

menggerakan dan mengkoordinasikn seluruh komponen dan semua pihak yang


terkait.
3) Pengendalian (Monitoring/Supervisi)
15

Supervisi dilakukan untuk memastikan seluruh kegiatan benar-benar dilaksanakan


sesuai dengan dokumen perencanaan.
2) Penanggulangan KLB
Penanggulanagn dilakukan melalui kegiatan yang secara terpadu oleh pemerintah,
pemerintah daerah dan masyarakat, meliputi:
a. Penyelidikan epidemilogis
Penyelidikan epidemiologi pada Kejadian Luar Biasa adalah untuk mengetahui
keadaan

penyebab

KLB

dengan

mengidentifikasi

faktor-faktor

yang

berkontribusi terhadap kejadian tersebut, termasuk aspek sosial dan perilaku


sehingga dapat diketahui cara penanggulangan dan pengendaian yang efektif
dan efisien (Anonim, 2004 dalam Wuryanto, 2009).
b. Pemeriksaan, pengobatan, perawatan, dan isolasi penderita termasuk
tindakan karantina. Tujuannya adalah memberikan pertolongan medis
kepada penderita agar sembuh dan mencegah agar mereka tidak menjadi
sumber penularan dan menemukan dan mengobati orang yang tampaknya
sehat, tetapi mengandung penyebab penyakit sehingga secara potensial
dapat menularkan penyakit (carrier).
c. Pencegahan dan pengendalian
Merupakan tindakan yang dilakukan untuk memberi perlindungan kepada
orang-orang yang belum sakit, tetapi mempunyai resiko terkena penyakit agar
jangan sampai terjangkit penyakit.
d. Pemusnahan penyebab penyakit
Pemusnahan

penyebab

penyakit

terutama

pemusnahan

terhadap

bibit

penyakit/kuman dan hewan tumbuh-tumbuhan atau benda yang mengandung


bibit penyakit.
e. Penanganan jenazah akibat wabah
Terhadap jenazah akibat penyebab wabah perlu penanganan secara khusus
menurut jenis penyakitnya untuk menghindarkan penularan penyakit pada orang
lain.

16

f. Penyuluhan kepada masyarakat


Penyuluhan kepada masyarakat, yaitu kegiatan komunikasi yang bersifat
persuasif edukatif tentang penyakit yang dapat menimbulkan wabah agar
mereka mengerti sifat-sifat penyakit, sehingga dapat melindungi diri dari
penyakit tersebut dan apabila terkena, tidak menularkannya kepada orang lain.
Penyuluhan juga dilakukan agar masyarakat dapat berperan serta aktif dalam
menanggulangi wabah.
g. Upaya penanggulangan lainnya
Upaya penanggulangan lainya adalah tindakan-tindakan khusus masing-masing
penyakit yang dilakukan dalam rangka penanggulangan wabah.
Penyusunan laporan KLB
Hasil penyelidikan epidemiologi hendaknya dilaporkan kepada pihak yang berwenang
baik secara lisan maupun secara tertulis. Laporan secara lisan kepada instansi kesehatan setempat
berguna agar tindakan penanggulangan dan pengendalian KLB yang disarankan dapat
dilaksanakan. Laporan tertulis diperlukan agar pengalaman dan hasil penyelidikan epidemiologi
dapat dipergunakan untuk merancang dan menerapkan teknik-teknik sistim surveilans yang lebih
baik atau dipergunakan untuk memperbaiki program kesehatan serta dapat dipergunakan untuk
penanggulangan atau pengendalian KLB. 7
Penyelidikan Epidemiologi
Penyelidikan epidemiologi dilakukan terhadap setiap laporan kasus dari rumah sakit atau laporan
puskesmas. Penyelidikan kasus Leptospirosis lain di sekitar tempat tinggal penderita, tempat
kerja, tempat jajan atau daerah banjir. Penyelidikan Epidemiologi dilakukan terhadap:8
a. Terhadap manusianya :
Penemuan penderita dengan melaksanakan pengamatan aktif. Di desa/ kelurahan
yang ada kasus Leptospirosis pencarian penderita baru berdasarkan gejala/tanda klinis
setiap hari dari rumah ke rumah.Bila ditemukan suspek dapat dilakukan pengambilan
darah sebanyak 3-5 ml, kemudian darah tersebut diproses untuk mendapatkan
serumnya guna pemeriksaan serologis di laboratorium. Serum dibawa dari lapangan
17

dengan menggunakan termos berisi es, setelah sampai di sarana kesehatan disimpan
di freezer 4 C sebelum dikirim ke Bagian Laboratorium Mikrobiologi RSU Dr.
Kariadi Fakultas Kedokteran Undip Semarang untuk dilakukan pemeriksaan uji MAT
(Microscopic Agglutination Test) untuk mengetahui jenis strainya.
b. Rodent dan hewan lainnya :
Di desa/kelurahan yang ada kasus, secara bersamaan waktunya dengan pencarian
penderita baru dilakukan penangkapan tikus hidup (trapping). Spesimen serum tikus
yang terkumpul di kirim ke BBvet Bogor untuk diperiksa secara serologis.
Pemasangan perangkap dilakukan di dalam rumah maupun di luar rumah selama
minimal 5 hari berturut-turut. Setiap perangkap (metal live traps) harus diberi
label/nomor. Pemasangan perangkap dengan umpan dipasang pada sore hari dan
pengumpulan perangkap tikus keesokan harinya pagi-pagi sekali. Tikus dibawa ke
laboratorium lapangan dan pengambilan darah/ serum dan organ dengan member
label dan nomer untuk diidentifikasi kemudian dikirim ke Balai Besar Veteriner
(BBvet) di Bogor untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Laporan penyelidikan epidemiologi sebaiknya dapat menjelaskan : 8
a. Diagnosis KLB leptospirosis:
Penyebaran kasus menurut waktu (minggu), wilayah geografi (RT/RW, desa dan
Kecamatan), umur dan faktor lainnya yang diperlukan, misalnya sekolah, tempat kerja,
dan sebagainya.
b. Peta wilayah berdasarkan faktor risiko antara lain, daerah banjir, pasar, sanitasi
lingkungan, dan sebagainya.
c. Status KLB pada saat penyelidikan epidemiologi dilaksanakan serta perkiraan
peningkatan dan penyebaran KLB. Serta rencana upaya penanggulangannya
Penegakan diagnosis kasus dapati dilakukan dengan Rapid Test Diagnostic Test (RDT) dengan
mengambil serum darah penderita untuk pemeriksaan serologi, jenis RDT diantaranya : 8
a. Lepto Dipstick Assay
RDT ini dapat mendeteksi Imunoglobulin M spesifik kuman Leptospira dalam serum.
Hasil evaluasi multi sentrum pemeriksaan Leptodipstick di 22 negara termasuk Indonesia,
18

menunjukkan sensitifitas Dipstick mencapai 92,1%. Metode relatif praktis dan cepat karena
hanya memerlukan waktu 2,5 3 jam.
b. Leptotek Dridot
Berdasarkan aglutinasi partikel lateks, lebih cepat karena hasilnya bisa dilihat dalam
waktu 30 detik. Test ini untuk mendeteksi antibodi aglutinasi seperti pada MAT. Pemeriksaan
dilakukan dengan meneteskan 10 mL serum (dengan pipet semiotomatik) pada kartu
aglutinasi dan dicampur dengan reagen. Hasil dibaca setelah 30 detik dan dinyatakan positif
bila ada aglutinasi. Metode ini mempunyai sensitifitas 72,3% dan spesifitas 93,9% pada
serum yang dikumpulkan dalam waktu 10 hari pertama mulai sakit.
c. Leptotek Lateral Flow
Pemeriksaan dilakukan dengan dengan memasukan 5 mL serum atau10 mL darah, dan
130 mL larutan dapar, hasil dibaca setelah 10 menit. Leptotek Lateral Flow cukup cepat,
mendeteksi IgM yang menandakan infeksi baru, relatif mudah, tidak memerlukan almari
pendingin untuk menyimpan reagen, namun memerlukan pipet semiotomatik, dan pemusing
bila memakai serum. Alat ini mempunyai sensitifitas 85,8% dan spesifitas 93,6%.
KLB Leptospirosis ditetapkan apabila memenuhi salah satu kriteria sebagai berikut : 8
a. Peningkatan kejadian kesakitan terus menerus selama 3 (tiga) kurun waktu dalam jam,
hari atau minggu berturut-turut menurut di suatu wilayah desa.
b. Peningkatan kejadian kesakitan dua kali atau lebih dibandingkan dengan periode
sebelumnya dalam kurun waktu jam, hari atau minggu di wilayah desa
c. Jumlah penderita baru dalam periode waktu 1 (satu) bulan menunjukkan kenaikan dua
kali atau lebih dibandingkan dengan angka rata-rata per bulan dalam tahun sebelumnya di
suatu wilayah desa. Munculnya kesakitan leptospirosis di suatu wilayah kecamatan yang
selama 1 tahun terakhir tidak ada kasus.

HubunganEpidemiologik9
Penyakitsecaraepidemiologikdipengaruhioleh3faktorpokokyaitufaktoragentpenyakityang
berkaitandenganpenyebabtermasukjumlah,virulensi,patogenitasbakterileptospira,faktorkeduayang
19

berkaitandenganfaktor host (pejamu/tuanrumah/penderita)termasukdidalamnyakeadaankebersihan


perorangan, keadaan gizi, usia, taraf pendidikan, faktor ketiga yaitulingkungan, yang termasuk
lingkungan fisik, biologik, sosioekonomi, budaya. Pada kejadian leptospirosis ini faktor lingkungan
sangatberpengaruhsepertiadanyagenanganairdansanitasilingkunganyangburuk.
Perubahan komponen lingkungan yang memiliki potensi bahayakesehatan masyarakat pada
kejadianleptospirosisinimeliputi:lingkunganfisiksepertikondisiselokan,karakteristikgenanganair,
keberadaansampah,curahhujan,kondisijalansekitarrumahsaatmusimpenghujan,jarakrumahdengan
selokan,kondisitempatpengumpulansampah,topografi;lingkunganbiologiksepertipopulasitikusdi
dalamdansekitarrumah,keberadaanhewanpiaraansebagaihospesperantara;lingkungankimiaseperti
pHtanah;lingkungansosialsepertiriwayatperansertadalamkegiatansosialyangberisikoleptospirosis
dan penggunaan alat pelindung diri; lingkungan ekonomiseperti jumlah pendapatan dan pekerjaan;
lingkunganbudayasepertitidak
memakaialaskakidirumahdanmencuci/mandidisungai.
LingkunganFisik
Karakteristikgenanganair
Biasanya yang mudah terjangkit penyakit leptospirosis adalah usiaproduktif dengan
karakteristiktempattinggal:merupakandaerahyang
padat penduduknya, banyak pejamu reservoar, lingkungan yang seringtergenang air
maupunlingkungankumum. Tikusbiasanyakencingdigenanganair.Lewatgenangan

airinilahbakterileptospiraakanmasuketubuhmanusia.
Sampah
Adanyakumpulansampahdirumahdansekitarnyaakanmenjaditempatyangdisenangi
tikus.Kondisisanitasiyangjeleksepertiadanyakumpulansampahdankehadirantikus
merupakanvariabeldeterminankasusleptospirosis.Adanyakumpulansampahdijadikan

indikatordarikehadirantikus.
Curahhujan
Leptospirosismenjadimasalahkesehatanmasyarakat,terutamadidaerahberiklimtropis
dansubtropis,dengancurahhujandankelembapantinggi.Leptospirosisberhubungan
denganmusimhujan,denganmeningkatnyakasusdimulaipadabulanagustusdanturun

padabulannovember,puncaknyakasusterjadipadabulanoktober.
Jarakrumahdengantempatpengumpulansampah
Tikussenangberkeliaranditempatsampahuntukmencarimakanan.Jarakrumahyang
dekatdengantempatpengumpulansampahmengakibatkantikusdapatmasukkerumah
dankencingdi sembarangtempat. Jarakrumah yangkurang dari 500 m dari tempat
20

pengumpulansampahmenunjukkankasusleptospirosislebihbesardibandingyanglebih
dari500m.
LingkunganBiologik
1. Populasitikusdidalamdansekitarrumah
BakterileptospirakhususnyaspesiesL.ichterrohaemorrhagiebanyakmenyerangtikus
besar.SedangkanL.ballummenyeragtikuskecil.
2. Keberadaanhewanpiaraansebagaihospesperantara
Tikus dan anjing merupakan reservoir penting dalam leptospiross. Di sebagan besar
negaratropistermasuknegaraberkembangkemungkinanpaparanleptospirosiisterbesar
padamanusiakarenaterinfeksidaribinatangternak,binatangrumahmaupunbinatang

liar.
LingkunganKimia
pHtanah
Leptospira dapat hidup berbulanbulan dalam lingkungan yang hangat (22C) dan pH
relatif netral (pH 6,28). Bila di air dan lumpur yang paling cocok untuk bakteri

leptospiraadalahdenganpHantara7,07,4dantemperaturantara28C30C.
LingkunganEkonomi
1. Pekerjaan
Jenispekerjaanmerupakanfaktorrisikopentingdalamkejadianpenyakitleptospirosis.
Jenispekerjaanyangberisikoterjangkitleptospirosisantaralain:petani,dokterhewan,
pekerjapemotonghewan,pekerjapengontroltikus,tukangsampah,pekerjaselokn,buruh
tambang, tentara, pembersih septic tank dan pekerjaan yag selalu kontak dengan

binatang.
LingkunganBudaya
Tidakmemakaialaskakidirumah
Dengantidakmemakaialaskakiakanmengakibatkankemungkinanmasuknyabakteri
leptospirakedalamtubuhakansemakinbesar.Bakterileptospiramasuktubuhmelalui
poripori tubuhterutama kulit kaki dan tangan. Oleh karena itu dianjurkanbagi para
pekerja yang selalu kontak dengan air kotor atau lumpur supaya memakai alas kaki
sepertisepatubot.Banyakinfeksileptospirosisterjadikarenaberjalandiairdankebun
tanpaalaskaki.

Mencuci/mandidisungai
Penularan bakteri leptospira pada manusia adalah kontak langsung dengan bakteri
leptospiramelaluiporiporikulityangmenjadilunakkarenaterkenaair,selaputlendir,
kulit kaki, tangandantubuhyanglecet.Kegiatanmencuci danmandi di sungaiatau

21

danau akan beresiko terpapar bakteri leptospira karena kemungkinan terjadi kontak
denganurinbinatangyangmengandungleptospiraakanlebihbesar.

Pencarian Kasus10
Data-data tentang kasus Leptospirosis selama ini masih sangat menggantungkan pada
laporan RS karena biasanya kasus diketahui berdasarkan informasi dari RS yang merawat
(hospital base surveillance).
Dari data RS tersebut, PE akan menuju tempat kejadian untuk mengetahui faktor risiko
atau mengetahui faktor risiko atau mengetahui riwayat kontak, serta mencari kemungkinan
adanya penderita baru di sekitar kasus.
Laporan kasus dari masyarakat akan dapat ditangkap oleh puskesmas (health centre base
surveillance), yaitu melalui penderita rawat jalan dengan gejala panas, ikterik, mual/muntah,
mata kemerahan, serta nyeri betis/pinggang dijaring melalui rapid test diagnostic untuk segera
dilakukan tindakan.
Sistem pencatatan dapat dilengkapi dengan form lepto 1 meliputi: nama, umur, alamat,
tanggal sakit, hasil pemeriksaan laboratorium, pekerjaan dan keterangan-keterangan lain yang
mendukung riwayat kejadian sakit.
Untuk rekapitulasi bulanan dapat dimasukan dalam form lepto 2 meliputi: rekapitulasi
berdasarkan lokasi kejadian perbulan meliputi puskesmas, kasus, laboratorium positif, serta
kasus meninggal.
Surveilans Epidemiologi (SE) Leptospirosis10
Sistem surveilans yang dilakukan terhadap manusia juga sebagai alat SKD untuk daerah
endemis leptospirosis: daerah banjir, daerah pasang surut, persawahan, rawa, dll yang berupa:

Daerah rawan banjir berupa surveilans aktif maupun pasif


Penampungan pengungsi berupa surveilans aktif maupun pasif
Daerah persawahan/pertambangan berupa surveilans pasif
Daerah rawa/tanah gambut berupa surveilans pasif
Surveilans aktif: dilakukan dengan mencari penderita/tersangka dengan gejala: panas,

ikterik, mual/muntah, mata kemerahan serta nyeri betis/pinggang. Surveilans pasif dilakukan
22

melalui puskesmas, BP, pustu, pusling, dan RS, pada penderita dengan gejala leptospirosis yang
diambil sampel darahnya untuk pemeriksaan serologis.
Isi Penyuluhan11
Pengertian
Leptospirosis adalah penyakit yang disebabkan oleh Leptospira yang pathogen.Gejala
leptospirosis mirip dengan penyakit infeksi lainnya seperti influensa, meningitis,
hepatitis, demam dengue, demam berdarah dengue dan demam virus lainnya.
Penularan Penyakit Leptospirosis
Di Indonesia, penularan paling sering terjadi melalui tikus pada kondisi banjir. Keadaan
banjir menyebabkan adanya perubahanlingkungan seperti banyaknya genangan air,
lingkungan menjadi becek,berlumpur, serta banyak timbunan sampah yang menyebabkan
mudahnya bakteri Leptospira berkembang biak. Air kencing tikus terbawa banjir
kemudian masuk ke tubuh manusia melalui permukaan kulit yang terluka, selaput
lendir mata dan hidung. Sejauh ini tikus merupakan reservoir dan sekaligus penyebar
utama

Leptospirosis

karena

daya reproduksi tinggi.

bertindak

sebagai

Beberapa

inang

alami
hewan

dan

memiliki
lain

sepertisapi, kambing, domba, kuda, babi, anjing dapat terserang Leptospirosis, tetapi
potensi menularkan ke manusia tidak sebesar tikus.Penularan leptospirosis dapat secara
langsung maupun tidak langsung.
1) Penularan langsung
Melalui darah, urin atau cairan tubuh lain yang mengandung kuman leptospira

masuk kedalam tubuh


Dari hewan ke manusia merupakan penyakit akibat pekerjaan. Terjadi pada
orang yang merawat hewan atau menangani organ tubuh hewan misalnya

pekerja pemotong hewan atau seseorang yang tertular dari hewan peliharaan
Dari manusia ke manusia meskipun jarang. Dapat terjadi melalui hubungan
sexual pada masa konvalensi atau dari ibu penderita leptospirosis ke janin
melalui sawar plasenta dan air susu ibu

23

Penularan tidak langsung


Terjadi melalui genangan air, sungai, danau, selokan saluran air, dan lumpur yang
tercemar urin hewan.

Tanda Dan Gejala


a.

Fase Septisemik

Fase Septisemik dikenal sebagai fase awal atau fase leptospiremikkarena bakteri dapat
diisolasi dari darah, cairan serebrospinal dan sebagian besar jaringan tubuh.
Pada stadium ini, penderita akan mengalami gejala mirip flu selama 4-7 hari, ditandai
dengan demam, kedinginan, dan kelemahan otot. Gejala lain adalah sakit tenggorokan,
batuk, nyeri dada, muntah darah, nyeri kepala, takut cahaya, gangguan mental, radang
selaput otak (meningitis), serta pembesaranlimpa dan hati
b.

Fase Imun

Fase Imun sering disebut fase kedua atau leptospirurik karena sirkulasi antibodi dapat
dideteksi dengan isolasi kuman dari urin, dan mungkin tidak dapat didapatkan lagi dari
darah atau cairan serebrospinalis. Fase ini terjadi pada 0-30 hari akibat respon pertahanan
tubuh terhadap infeks. Gejala tergantung organ tubuh yang terganggu seperti selaput otak,
hati, mata atau ginjal.
Jika yang diserang adalah selaput otak, maka akan terjadi depresi, kecemasan, dan sakit
kepala. Pada pemeriksaan fungsi hatididapatkan jaundis, pembesaran hati (hepatomegali),
dan tanda koagulopati. Gangguan paru-paru berupa batuk, batuk darah, dan sulit
bernapas.

Gangguan hematologi berupa

peradarahan

dan

pembesaran

limpa

(splenomegali). Kelainan jantung ditandai gagal jantung atau perikarditis. Meningitis


aseptik merupakan manifestasi klinis paling penting pada fase imun.
Leptospirosis dapat diisolasi dari darah selama 24-48 jam setelah timbul jaundis. Pada 30
persen pasien terjadi diare atau kesulitan buang air besar (konstipasi), muntah, lemah, dan
kadang-kadang penurunan nafsu makan Kadang-kadang terjadi perdarahan di bawah

24

kelopak mata dan gangguan ginjal pada 50 persen pasien, dan gangguan paru-paru pada
20-70 persen pasien.
Gejala juga ditentukan oleh serovar yang menginfeksi. Sebanyak 83 persen penderita
infeksi L. icterohaemorrhagiae mengalami ikterus, dan 30 persen pada L. pomona.
Infeksi L.

grippotyphosa umumnya

menyebabkan

gangguan

sistem

pencernaan.

Sedangkam L. pomonaatau L. canicola sering menyebabkan radang selaput otak


(meningitis).
c.

Sindrom Weil

Sindrom Weil adalah bentuk Leptospirosis berat ditandai jaundis, disfungsi ginjal,
nekrosis hati, disfungsi paru-paru, dan diathesis perdarahan. Kondisi ini terjadi pada akhir
fase awal dan meningkat pada fase kedua, tetapi bisa memburuk setiap waktu. Kriteria
penyakit Weil tidak dapat didefinisikan dengan baik. Manifestasi paru meliputi batuk,
kesulitan bernapas, nyeri dada, batuk darah, dan gagal napas. Disfungsi ginjal dikaitkan
dengan timbulnya jaundis 4-9 hari setelah gejala awal. Penderita dengan jaundis berat
lebih mudah terkena gagal ginjal, perdarahan dan kolap kardiovaskular. Kasus berat
dengan gangguan hati dan ginjal mengakibatkan kematian sebesar 20-40 persen yang
akan meningkat pada lanjut usia.
Pencegahan
Manusia rawan oleh infeksi semua serovar Leptospira sehingga manusia harus
mewaspadai cemaran urin dari semua hewan. Perilaku hidup sehat dan bersih merupakan
cara utama untuk menanggulangi Leptospirosis tanpa biaya. Manusia yang memelihara
hewan kesayangan hendaknya selalu membersihkan diri dengan antiseptik setelah kontak
dengan hewan kesayangan, kandang, maupun lingkungan di mana hewan berada.
Manusia harus mewaspadai tikus sebagai pembawa utama dan alami penyakit
ini.Pemberantasan tikus terkait langsung dengan pemberantasan Leptospirosis. Selain itu,
para peternak babi dihimbau untuk mengandangkan ternaknya jauh dari sumber
air. Feses ternak perlu diarahkan ke suatu sumber khusus sehingga tidak mencemari
lingkungan terutama sumber air.

25

Kader Kesehatan12
Kader kesehatan adalah adalah seseorang yang mau dan mampu melaksanakan upayaupaya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat di bawah pembinaan petugas kesehatan
yang dilakukan atas kesadaran diri sendiri dan tanpa pamrih apapun.Tujuan kader kesehatan
adalah:
1) Tujuan umum
Melalui peran kader kesehatan secara optimal diharapkan dapat meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat di wilayahnya.
2) Tujuan khusus
Terselenggaranya upaya promotif dan preventif terhadap masalah-masalah kesehatan oleh
masyarakat sendiri. Terdeteksinya masalah-masalah kesehatan secara dini yang ada di
wilayah dengan adanya kader yang berilmu pengetahuan dan aktif.Masyarakat mampu
mengambil inisiatif untuk menyelesaikan masalah-masalah kesehatan diwilayahnya
secara mandiri. Memudahkan koordinasi antara petugas kesehatan dengan masyarakat
(kader) untuk melaksanakan upaya-upaya kesehatan masyarakat
Setiap orang baik laki-laki maupun perempuan yang mau dan mampu menyelenggarakan
upaya-upaya kesehatan yang berbasis masyarakat, yang dilakukan secara sukarela, berdasarkan
ilmu pengetahuan yang terus berkembang, dan dibawah pengawasan dan pembinaan petugas
kesehatan setempat.Saat ini pada umumnya kader kesehatan ada beberapa kelompok, misalnya:
1. Kader Posyandu Balita
Kader yang bertugas di pos pelayanan terpadu (posyandu) dengan kegiatan rutin setiap
bulannya melakukan pendaftaran, pencatatan, penimbangan bayi dan balita.
2. Kader Posyandu Lansia
Kader yang bertugas di posyandu lanjut usia (lansia) dengan kegiatan rutin setiap
bulannya membantu petugas kesehatan saat pemeriksaan kesehatan pasien lansia.
3. Kader Gizi
Kader yang bertugas membantu petugas puskesmas melakukan pendataan, penimbangan
bayi dan balita yang mengalami gangguan gizi (malnutrisi).
26

4. Kader Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) Kader KPKIA


Kader yang bertugas membantu bidan puskesmas melakukan pendataan, pemeriksaan
ibu hami dan anak-anak yang mengalami gangguan kesehatan (penyakit).
5. Kader Keluarga Berencana (KB)
Kader yang bertugas membantu petugas KB melakukan pendataan, pelaksanaan
pelayanan KB kepada pasangan usia subur di lingkungan tempat tinggalnya
6. Kader Juru Pengamatan Jentik (Jumantik)
Kader yang bertugas membantu

petugas puskesmas melakukan pendataan dan

pemeriksaan jentik nyamuk di rumah penduduk sekitar wilayah kerja puskesmas


7. Kader Upaya Kesehatan Kerja (UKK)
Kader yang membantu petugas puskesmas melakukan pendataan dan pemeriksaan
kesehatan tenaga kerja di lingkungan pos tempat kerjanya
8. Kader Promosi Kesehatan (Promkes) / Kader PHBS
Kader yang bertugas membantu petugas puskesmas melakukan penyuluhan kesehatan
secara perorangan maupun dalam kelompok masyarakat
9. Kader Upaya Kesehatan Sekolah (UKS)
Kader yang bertugas membantu petugas puskesmas melakukan penjaringan dan
pemeriksaan kesehatan anak-anak usia sekolah pada pos pelayanan UKS.
Peran Petugas Kesehatan terhadap Kader Kesehatan adalah pendamping dan pengarah
dalam pelayanan, penghubung masyarakat pada memberi pelayanan, menjadi contoh dan
motivator dalam kegiatan, menjaga kelangsungan kegiatan, melaksanakan pembinaan dan
pelatihan rutin terhadap kader kesehatan, melaksanakan koordinasi antara kader kesehatan dan
tenaga kesehatan, melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan kader kesehatan,
melaksanakan evaluasi kegiatan bersama kader kesehatan
Karena peran yang sangat krusial ini, para kader kesehatan dapat dikatakan sebagai
pelopor/ pelaku pembangunan masyarakat. Sebagai pelopor atau pelaku pembangunan
masyarakat di desanya, berarti Kader telah ikut serta dalam pembangunan. Namun semua ini bisa
terjadi jikalau kader kesehatan mempunyai sikap yang baik kepada masyarakatnya
27

Pembentukan Kader13
Mekanisme pembentukan kader membutuhkan kerjasama tim. Hal ini disebabkan karena
kader yang akan dibentuk terlebih dahulu harus diberikan pelatihan kader. Pelatihan kader ini
diberikan kepada para calon kader didesa yang telah ditetapkan. Sebelumnya telah dilaksanakan
kegiatan persiapan tingkat desa berupa pertemuan desa, pengamatan dan adanya keputusan
bersama untuk terlaksanakan acara tersebut. Calon kader berdasarkan kemampuan dan kemauan
berjumlah 4-5 orang untuk tiap posyandu. Persiapan dari pelatihan kader ini adalah:
1. Calon kader yang kan dilatih.
2. Waktu pelatihan sesuai kesepakatan bersama.
3. Tempat pelatihan yang bersih, terang, segar dan cukup luas.
4. Adanya perlengkapan yang memadai.
5. Pendanaan yang cukup.
6. Adanya tempat praktik (lahan praktik bagi kader).
Tim pelatihan kader melibatkan dari beberapa sektor. Camat otomatis bertanggung jawab
terhadap pelatihan ini, namun secara teknis oleh kepala puskesmas. Pelaksanaan harian pelatihan
ini adalah staf puskesmas yang mampu melaksanakan. Adapun pelatihannya adalah tanaga
kesehatan, petugas KB (PLKB), pertanian, agama, pkk, dan sector lain.
Waktu pelatihan ini membutuhkan 32 jam atau disesuaikan. Metode yang digunakan
adalah ceramah, diskusi, simulasi, demonstrasi, pemainan peran, penugasan, dan praktik
lapangan. Jenis materi yang disampaikan adalah:
1. Pengantar tentang posyandu.
2. Persiapan posyandu.
3. Kesehatan ibu dan anak.
4. Keluarga berencana.
5. UKK/UKS
6. Penanggulangan penyakit menular
7. Penangulangan diare.
8. Pencatatan dan pelaporan.
9. Persyaratan Menjadi Kader
28

Bahwa pembangunan dibidang kesehatan dapat dipengaruhi dari keaktifan masyarakat


dan pemuka-pemukanya termasuk kader, maka pemilihan calon kader yang akan dilatih perlu
mendapat perhatian.Secara disadari bahwa memilih kader yang merupakan pilihan masyarakat
dan memdapat dukungan dari kepala desa setempat kadang-kadang tidak gampang. Namun
bagaimanapun proses pemilihan kader ini hendaknya melalui musyawarah dengan masyarakat,
sudah barang tentu para pamong desa harus juga mendukung.
Evaluasi Program13
Berkaitan dengan penanggulangan penyakit menular, maka Dinas Kesehatan bertugas
mengembangkan segala potensi yang ada untuk menjalin kemitraan dan kerja sama semua pihak
yang terkait serta memfasilitasi Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota dalam pelaksanaan
manajemen program yang meliputi: perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi serta
mengupayakan sumber daya (dana, tenaga, sarana dan prasarana).
Selain itu dalam mengatasi hambatan yang dihadapi dan dengan menyesuaikan tugas
pokok dan fungsi serta uraian kegiatan program P2M, maka strategi operasional yang dilakukan
dalam penanggulangan pemberantasan penyakit menular diantaranya melalui :
1) Pemantapan kelembagaan unit pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta dalam
penanggulangan penyakit menular dengan strategi DOTS;
2) Peningkatan mutu pelayanan di semua unit pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun
swasta;
3) Penggalangan kemitraan dengan organisasi profesi, lintas sektoral, Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM), institusi pendidikan, dan lain-lain;
4) Pemberdayaan masyarakat dalam rangka mendorong kemandiriannya untuk mengatasi
masalah TBC;
5) Penelitian dan pengembangan melalui penelitian lapangan atau kerja sama dengan institusi
pendidikan, LSM, organisasi profesi dan lain-lain dalam upaya penanggulangan penyakit
menular.
Sedangkan kegiatan yang dilakukan program P2M di Dinas Kesehatan Propinsi adalah :
1.
2.
3.
4.

Meningkatkan upaya penemuan penderita di RS;


Meningkatkan peran PKD dalam penemuan tersangka penderita;
Meningkatkan upaya penemuan penderita melalui pesantren;
Meningkatkan penemuan penderita di tempat kerja;
29

5. Meningkatkan peran Lapas dalam penemuan penderita; Meningkatkan peran serta PKK,
Muhammadiyah/ Aisyiah/ Fatayat/ NU dan
6. Meningkatkan petugas PTO dan pengelola Program TBC.

30

AlgoritmaResponKLB14

YA

IKTERUS

TIDAK

DD/ - Leptospirosis Ringan


spirosis Berat
- Viral hemoraghic fever (dengue,
titis
chikungunya, hantaan)
ia (berat)
Faktor Risiko (lingkungan,
pekerjaan,
olahraga/aktivitas lain, riwayat bepe
o (lingkungan, pekerjaan, olahraga/aktivitas
lain, riwayat
bepergian)
Daerah endemis leptospirosis
emis leptospirosis

LAPOR KE DINKES KAB/KOTA dan BERIKAN TATA LAKSANA KASUS DI PUSKESMAS

RUJUK KE RUMAH SAKIT


Ambil Spesimen Darah:
Pemeriksaan Lab Rutin
Pemeriksaan Serologi dengan Leptotek / Dridot

Pemeriksaan Lab Rutin


Pemeriksaan Kimia Klinis
Pemeriksaan Serologi dengan Leptotek / Dridot

KASUS PROBABLE LEPTOSPIROSIS


KIRIM SAMPEL KE BALITVET BOGOR
MAT (PAIR SERA) dan ISOLASI (+) LEPTOSPIRA

KASUS KONFIRMASI LEPTOSPIROSIS


31

PenyebaranPenyakit15
DiIndonesia,penyakitinitersebarluasdiPulauJawa,SumateraSelatan,SumateraBarat,Riau,
SumateraUtara,Bali,NusaTenggaraBarat,SulawesiSelatan,SulawesiUtara,KalimantanTimur,dan
KalimantanBarat.KejadianLuarBiasatercatatterjadidiRiau(1986),Jakarta(2002),Bekasi(2002),dan
Semarang(2003).
DinasKesehatanJawaTengahmencatatjumlahkasusleptospirosissejak2005sampai2009terus
mengalamipeningkatan.Padatahun2009tercatatjumlahkasusleptospirosisdiKotaSemarangsebesar
239kasusdenganangkakematianmencapai9orang.Meskipunterjadipenurunanditahun2010sampai
2012,akantetapikasusleptospirosismasihperluperhatianyangserius.
DalampenelitianM.HusseinGassemdkk.(2009)disebutkanbahwadiSemarang,leptospirosis
merupakan salah satu penyebab utama dari demam akut yang tidak terdiferensiasi sehingga kasus
leptospirosisseringtidakterdiagnosisdenganbenar.DiRSUPDr.KariadiSemarangsendiriditemukan
kuranglebih50pasiendengankasusleptospirosisberattiaptahunnya.

32

Daftar pustaka
1. Saroso, S. (2003). Pedoman Tatalaksana Kasus dan Pemeriksaan Laboratorium
Leptospirosis di Rumah Sakit. Jakarta : Departemen Kesehatan R.I.
2. Mansjoer, A. (2005). Kapita Selekta Kedokteran edisi 3 Bagian I. Media Aesculapius,
FKUI. Jakarta.
3. Arjatmo, T & Utama, H. (2001). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI.
4. Daher EF, Noguera CB. Evaluation of penicillin therapy in patients with leptospirosis
and acute ranal failure. Rev Inst Med trop. S Paulo. 2000.42(6):327-32.
5. Drunl W. Nutritional support in patients ARF. In; Acute Renal Failure; (Brenners &
Rectors) ed WB Saunders. 2001: 465-83
6. Budiriyanto, M. Hussein Gasem, Bambang Pujianto, Henk L Smits : Serovars of
Leptospirosis in patients with severe leptospirosis admitted to the hospitals of Semarang.
Konas PETRI, 2002.
7. Bimantara AP, Yudha EB, Kusuma SA, et al. Kejadian luar biasa dan langkah-langkah
penyelidikan klb. Jurnal kesehatan masyarakat fakultas kedokteran dan ilmu-ilmu
kesehatan Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. 2014.
8. Penyelidikan dan penanggulangan kejadian luar biasa penyakit menular dan keracunan
pangan. Pedoman epidemiologi penyakit. Edisi Revisi 2011.h.105-111.
9. Epidemiologi leptospirosis. Diakses pada tanggal 11 Juni

2016

pada:

http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/133/jtptunimus-gdl-sitinurcha-6633-3-babii.pdf
10. Handout Surveilans Epidemiologi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Univeritas Ahmad
Dahlan.

Diakses

pada

tanggal

11

Juni

2016

pada:

http://fkm.uad.ac.id/unduhan/Surveilans%20Epidemiologi_sem5.pdfpnyuluhan
11. Rosita I. Peran kader kesehatan menuju indonesia sehat 2015. Diunggah pada tanggal 14
Januari

2012.

Diakses

pada

tanggal

12

Juni

2016

pada:

https://iinrosita.wordpress.com/2012/01/14/peran-kader-kesehatan/.
12. Hasanbasri M. Partisipasi masyarakat terhadap praktik kebidanan komunitas, Studi kasus
desa timbulharjo kecamatan sewon bantuk KMPK UGM. Working paper series no.4,
Yogyakarta: Januari 2008.
13. Alfa D. Evaluasi program pemberantasan penyakit menular (p2m). Direktorat Jenderal
Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman Departemen
Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta: 2006.
14. Nasir M. Algoritma diagnosis penyakit dan respons. Subdit Surveilans dan Respon KLB,
Ditjen PP dan PL. Kementrian Kesehatan RI. Jakarta: 2010.
33

15. Kusmiyati, Susan M, Supar. Leptospirosis pada hewan dan manusia di Indonesia. Balai
penelitian veteriner. Bogor: 2004.

34

Anda mungkin juga menyukai