Anda di halaman 1dari 34

1) Denah lokasi apotek

2) Persyaratan mematuhi syarat dari laboratorium kesehatan daerah


supaya air memenuhi syarat
3) Surat keterangan status bangunan atau tanah milik sendiri atau orang
lain, dalam bentuk akte hak milik, sewa, atau kontrak. Jika milik orang
lain harus dibuat perjanjian sewa di hadapan notaris
4) Daftar perlengkapan apotek
5) Surat permohonan izin untuk pembelian obat ke PBF dari Depkes
(pembayaran harus cash, sebab SIA belum keluar dan untuk narkotika
dibeli setelah SIA keluar)
6) Jika menggunakan sarana milik orang lain
a)

Harus ada surat pernyataan dari PSA yang menyatakan tidak


pernah terlibat dalam pelanggaran peraturan perundang-undangan
di bidang kesehatan khususnya bidang farmasi (distribusi obat).

b) KTP PSA
c) NPWA PSA
d) Surat perjanjian kerjasama APA-PSA di hadapan notaris
a.

Kefarmasian
1) Persyaratan Apoteker (memiliki ijazah, foto, KTP, SIK, NPWP,
anggota IAI atau mendapat rekomendasi dari IAI)
2) SP (Surat Penugasan) Apoteker
3) Lolos butuh (bagi Apoteker yang pindah dari wilayah lain)
4) Surat pernyataan APA bahwa tidak sedang bekerja di perusahaan
farmasi lain dan/atau tidak menjadi APA di apotek lain
5) Asli dan salinan surat izin atasan bagi PNS, ABRI atau pegawai
instansi pemerintah lain
6) Akte perjanjian kerja sama APA dan PSA (Pemilik Sarana Apotek)
7) Surat pernyataan tidak terlibat pelanggaran peraturan perundangundangan di bidang obat
8) Persyaratan kesanggupan hadir tiap hari bagi APA

Selain mengacu Kepmenkes RI No.1332 tahun 2002, permohonan ijin


mendirikan apotek juga harus memperhatikan peraturan daerah yang berlaku.
Peraturan Daerah Pemerintah Yogyakarta No. 2 tahun 2008 mengenai Izin
Penyelenggaraan Sarana Kesehatan dan Izin Tenaga Kesehatan, menyatakan
bahwa apotek merupakan sarana penunjang medik dan permohonan izin
penyelenggaraan harus memenuhi persyaratan administrasi sebagai berikut:
i.

Fotocopy Kartu Tanda Penduduk yang masih berlaku bagi pemohon


perorangan;

ii. Fotocopy akta pendirian bagi pemohon yang berbadan hukum atau
berbadan usaha;
iii. Fotocopy Surat Izin Kerja (SIK) dan atau Surat Izin Praktek (SIP) tenaga
kesehatan;
iv. Melampirkan denah lokasi bangunan;
v.

Fotocopy izin gangguan;

vi. Proposal studi kelayakan dalam pengelolaan sarana kesehatan;


vii. Surat pernyataan untuk memeriksakan kualitas air setiap 6 (enam) bulan,
bermaterai cukup.
Adapun alur perijinan pendirian apotek sebagai berikut :

Gambar 1. Alur Perijinan Pendirian Apotek

3.1. Studi Kelayakan


Studi kelayakan (feasibility study) adalah suatu metode penjajakan
gagasan atau ide suatu proyek dalam hal ini adalah pendirian usaha apotek,
mengenai kemungkinan usaha tersebut layak atau tidak untuk dilaksanakan.
Fungsi dari studi kelayakan sebagai pedoman pelaksanaan pekerjaan karena
dibuat berdasarkan data-data dari berbagai sumber yang dianalisis dari banyak
aspek. Keberhasilan studi kelayakan dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu
kemampuan sumber daya internal (kemampuan manajemen, kualitas pelayanan
dan produk) dan lingkungan eksternal (pertumbuhan pasar, pesaing dan
perubahan peraturan) (Umar, 2011).
Menurut Anief (2005), dalam membuat studi kelayakan, hal-hal yang
perlu diperhatikan yaitu:
a.
b.
c.

Jumlah penduduk di sekitar lokasi pendirian apotek.


Jumlah apotek yang ada di sekitar lokasi pendirian apotek.
Fasilitas kesehatan umum, seperti Rumah Sakit, Puskesmas, praktek

d.
e.
f.
g.
h.
i.

dokter dan klinik.


Tingkat pendapatan masyarakat di sekitar lokasi pendirian apotek.
Analisa SWOT apotek.
Pola penyakit.
Pola pengobatan.
Pola peresepan.
Jumlah pasien yang telah terlayani.
Dalam membuat studi kelayakan pada umumnya terdiri atas beberapa

aspek, yaitu:
a. Aspek Lokasi
Merupakan aspek yang sangat menentukan keberhasilan suatu apotek
dan erat hubungannya dengan aspek pasar. Hal-hal yang harus diperhatikan
dalam aspek lokasi antara lain: kepadatan penduduk, tingkat sosial ekonomi,
pelayanan kesehatan lain, jumlah apotek pesaing (kompetitor), dekat dengan
pusat keramaian, aman dan mudah dijangkau. Status lokasi tempat apotek
bisa milik sendiri, kontrak/sewa, atau milik negara (BUMN).
b. Aspek Pasar
Aspek pasar meliputi market potential (pasar potensial), market share
(pangsa pasar), faktor-faktor yang mempengaruhi (regulasi, kondisi
ekonomi, nilai tukar, dan lain sebagainya), tingkat persaingan antar apotek.

c. Aspek Permodalan dan Keuangan


Aspek permodalan dan keuangan meliputi apa saja yang harus
diperhatikan dalam hal permodalan, berapa jumlah modal yang diperlukan
untuk mendirikan apotek, darimana mendapatkan dana dan bagaimana
mengalokasikan modal, serta bagaimana proses perputaran uang. Termasuk
didalamnya perhitungan Break Even Point (BEP), Pay Back Period ({PBP),
benefit dan Return of Investment (ROI).
b. Aspek Manajerial
Aspek manajerial meliputi Manajemen Sumber Daya Manusia (SDM),
Manajemen Keuangan, Manajemen Marketing, Manajemen Operasi.
c. Aspek Teknis
Aspek teknis meliputi perizinan pendirian apotek, target mulai
operasional.
Hasil studi kelayakan ini kemudian dituangkan dalam bentuk
proposal.

Bila

proposal

memenuhi

syarat,

maka

Dinas

Kesehatan

Kabupaten/Kota setempat akan mengirimkan surat balasan yang berlaku


selama 3 bulan. Artinya dalam jangka waktu 3 bulan, pemohon harus
melengkapi persyaratan tahap kedua untuk mendapatkan SIA (Anief, 2005).
4. Struktur organisasi apotek
Menurut PerMenKes RI No. 35 Tahun 2014 tentang standar pelayanan
kefarmasian di apotek, apotek harus diselenggarakan oleh Apoteker dapat dibantu
oleh Apoteker pendamping dan atau tenaga teknis kefarmasian yang memiliki
surat tanda registrasi, surat izin praktik atau surat izin kerja.
Struktur organisasi diapotek didasarkan pada kegiatan pelayanan
Kefarmasian di Apotek yang meliputi:
a. Kegiatan yang bersifat manajerial berupa pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai dan pelayanan farmasi klinik
yaitu: fungsi perencanaan, pengadaan, penerimaan, dan penyimpanan.
b. Pelayanan farmasi klinik.
c. Administrasi/tata usaha.
A. Aspek Bisnis
1. Permodalan

Modal memegang peranan yang penting dan merupakan salah satu hal
yang paling dibutuhkan dalam menjalankan suatu kegiatan usaha. Sumber
permodalan dapat diperoleh secara ekuitas dan hutang. Modal ekuitas dapat
diperoleh antara lain dari tabungan pribadi, teman-teman atau saudara dan
penjualan saham umum (go public), sedangkan untuk modal hutang dapat
diperoleh antara lain dari investor perorangan, bank komersial dan program yang
didukung pemerintah.
Modal dapat dibagi menjadi dua macam ditinjau dari penggunaannya
antara lain:
a.

Kerja yaitu modal yang tertanam dalam barang-barang yang lancar


berputar dari bentuk yang satu menjadi bentuk yang lain secara terusmenerus di dalam jangka waktu operasional. Contoh modal lancar: kas,
surat berharga, piutang usaha.

b.

Modal tetap yaitu modal yang diinvestasikan ke dalam barang-barang tetap


seperti kendaraan, gedung, perlengkapan, peralatan. Barang-barang tetap
ini walaupun bentuknya tetap tetapi nilainya dapat berkurang seiring
berjalannya waktu.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 51 tahun

2009 tentang pekerjaan kefarmasian pasal 25 disebutkan bahwa, Apoteker dapat


mendirikan apotek dengan modal sendiri dan/atau modal dari pemilik modal baik
perorangan maupun perusahaan, dalam hal ini Apoteker yang mendirikan apotek
bekerja sama dengan pemilik modal maka pekerjaan kefarmasian harus tetap
dilakukan sepenuhnya oleh Apoteker yang bersangkutan.
Menurut Anief (2005), bisnis apotek berdasarkan permodalan adalah:
a.
b.

Apotek perseorangan, menggunakan dana perseorangan.


CV (Commanditaire Vennotschap)/ PT (Perseroan Terbatas), yaitu modal
berasal dari beberapa orang, dan laba (dividen) dibagi sesuai dengan

c.

perjanjian.
Pemerintah, di mana modal berasal dari pemerintah (lembaga, instansi atau
BUMN yang ditunjuk oleh pemerintah).
Tabel 1. Perbedaan antara Perseorangan, CV, dan PT
Perseorangan
Perseroan
Perseroan Terbatas (Pt)

Kommanditer (Cv)
Tidak ada batas
penanaman modal

Tidak ada batas minimal


penanaman modal

Didirikan secara
pribadi dimana
pemilik sekaligus
APA atau pemilik
modal bukan
merupakan APA dan
menggaji Apoteker.

CV didirikan minimal 2
orang, selaku persero
aktif yang mengurusi,
dan sekaligus menjadi
Direktur, dan persero
pasif atau disebut Persero
Komanditer. Lebih
bersifat kekeluargaan.
Legalitas hingga notaris

Tidak berbadan
hukum
Tidak terbatas, hingga
ke harta pribadi. Bila
ada kerugian maka
semua di tanggung
pribadi.

Ada ketentuan modal


minimum dan ada jaminan
modal.
PT didirikan minimal 2
orang, tergantung
banyaknya saham yang
dimiliki dan berdasar
RUPS (Rapat Umum
Pemegang Saham).

Legalitas hingga tingkat


pengadilan
CV kekayaan
Harta kekayaan terpisah
pendiriannya tidak
dari pemiliknya karena
terpisahkan dari
modal yang disetor sebatas
kekayaan CV. Hal ini
saham yang dimiliki.
sangat penting karena
Apabila utang perusahaan
bila nanti terjadi gulung
melebihi kekayaan
tikar, maka seluruh asset
perusahaan, maka
akan ditahan.
kelebihan utang tersebut
tidak menjadi tanggung
jawab para pemegang
saham.

2. Perhitungan BEP, PP, dan ROI


Untuk mengevaluasi bisnis apotek yang sudah dijalankan, diperlukan
perhitungan terhadap: Break Even Point (BEP), Payback Period (PP), Return on
Investment (ROI).
a. Break Even Point (BEP)
Break Even Point (BEP) merupakan titik dimana total hasil penjualan
sama dengan total biaya (biaya tetap dan biaya variabel). Apotek dikatakan
mencapai BEP apabila di dalam laporan perhitungan laba/rugi-nya pada
periode tertentu, apotek tersebut tidak memperoleh laba dan juga tidak
menderita kerugian. Analisa BEP perlu dilakukan untuk mengetahui pada
volume (jumlah) penjualan berapakah apotek dapat menutup jumlah biayabiaya yang dikeluarkan. Jika apotek tidak mau mengalami kerugian, maka

hasil penjualan harus dapat menutup semua biaya, baik variabel maupun
biaya tetap (Anief, 2005).
Fungsi analisis BEP antara lain untuk perencanaan laba, alat
pertimbangan dalam menentukan harga jual, sebagai dasar untuk
mengendalikan kegiatan operasional yang sedang berjalan (controlling) dan
alat pertimbangan dalam mengambil keputusan.
Rumus BEP :

Keterangan
FC : Fixed Cost
VC : Variabel Cost
TR : Total Revenue
Biaya tetap adalah biaya yang besarnya selalu sama tanpa
memperhatikan volume penjualan, contohnya: biaya penyusutan, biaya
operasional (listrik, air, gaji karyawan, dan lainnya). Biaya variabel adalah
biaya yang besarnya berbanding proporsional dengan volume penjualan.
Biaya variabel terbesar dalam apotek adalah harga pokok barang dijual
(HPP). Bila penjualan meningkat maka HPP meningkat secara sebanding.
Contoh biaya variabel adalah biaya etiket, embalase, tuslah, dan lain-lain
(Anief, 2005).
b. Payback Period (PP)
Payback Period

merupakan

analisis

yang

digunakan

untuk

menghitung jangka waktu pengembalian modal. Semakin cepat periode


pembayaran kembalinya, maka semakin baik usaha tersebut. Suatu apotek
dapat dikatakan layak dijalankan apabila PP yang diperoleh lebih pendek
dari penetapan PP maksimum. Apabila PP yang diperoleh lebih panjang dari
penetapan PP maksimum, apotek dikatakan tidak layak dijalankan. Cara
perhitungan PP yaitu:
Payback Period =
(Ross, Westerfield, and Jordan, 2013).
c. Return On Investment (ROI)

Return on Investment (ROI) merupakan metode untuk mengukur


efektivitas keseluruhan suatu usaha dalam menghasilkan laba dengan
memanfaatkan aktiva ataupun total investasi yang dimiliki oleh usaha
tersebut. Rasio ROI akan memberikan indikasi profitabilitas suatu investasi.
Cara perhitungan ROI yaitu:

(Suryana, 2001).
3. Strategi pengembangan apotek
Upaya untuk memenangkan persaingan antar perusahaan dilakukan
dengan menilai keunggulan kompetitif (competitive advantage). Keunggulan
kompetitif ini diperoleh dari posisi usaha tersebut yang lebih baik dibandingkan
dengan pesaing-pesaingnya di pasar dan ini tergantung dari strategi yang
diterapkan. Suatu bidang usaha dikatakan mempunyai keunggulan kompetitif jika
mempunyai kelebihan dari pesaing-pesaingnya untuk menarik pelanggan dan
dapat mempertahankan diri dari tekanan-tekanan kompetitif
Pengembangan apotek saat ini tidak hanya mempertimbangkan aspek
bisnis semata tetapi juga harus mempertimbangkan aspek pelayanan kefarmasian
yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Pengembangan suatu
apotek dipengaruhi oleh faktor dari luar (lingkungan) serta faktor dari dalam.
Faktor dari luar yang berpengaruh adalah adanya persaingan, kebijakan
pemerintah, sosial budaya, politik, ekonomi, dan lainnya. Faktor dari dalam yang
berpengaruh adalah sumber daya manusia, sarana dan prasarana, modal, sistem
manajemen apotek dan lainnya. Beberapa hal yang menentukan keberhasilan
apotek, yaitu:
a.

Persediaan barang yang lengkap dan berkualitas baik.

b.

Lokasi yang nyaman dan strategis.

c.

Pharmaceutical care, contohnya pelayanan yang ramah dan profesional,


termasuk konseling mengenai obat.

d.

Harga yang bersaing atau tidak terlalu mahal.

e.

One stop service.

f.

One stop shopping.

4. Perpajakan
Pengertian pajak, wajib pajak, pengusaha kena pajak, dan Nomor Pokok
Wajib Pajak (NPWP) dijelaskan di dalam Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan tahun 2007. Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang
terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan
Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan
digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Wajib Pajak (WP) adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak,
pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban
perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
(Departemen Keuangan, 2007).
Pengusaha kena pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak
berdasarkan UU Pajak Pertambahan Nilai 1983 dan perubahannya. Nomor Pokok
Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana
dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri
atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya
(Departemen Keuangan, 2007).
Apotek sebagai Wajib Pajak, wajib mendaftarkan diri pada Direktorat
Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat
kedudukan Wajib Pajak. Sistem pemungutan pajak di Indonesia berdasarkan
prinsip self assessment. Prinsip self assessment dalam pemenuhan kewajiban
perpajakan

adalah

bahwa

Wajib

Pajak

diwajibkan

untuk

menghitung,

memperhitungkan, membayar, dan melaporkan pajak yang terutang sendiri sesuai


ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, sehingga penentuan
besarnya pajak yang terutang dipercayakan pada Wajib Pajak sendiri melalui Surat
Pemberitahuan (SPT) yang disampaikannya. Berdasarkan prinsip self assessment
setiap Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai
dengan

ketentuan

peraturan

perundangan-undangan

perpajakan

wajib

mendaftarkan diri untuk memiliki NPWP. Setiap wajib pajak hanya diberikan satu
NPWP. Orang pribadi yang wajib memiliki NPWP antara lain orang pribadi yang
menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dan orang pribadi yang tidak
menjalankan usaha atau pekerjaan bebas, yang memperoleh penghasilan diatas
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) (Departemen Keuangan, 2007).
Menurut Hartini dan Sulasmono (2007), berdasarkan kelompok, pajak
dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
a.

Pajak langsung, merupakan pajak yang harus ditanggung sendiri oleh


wajib pajak yang bersangkutan, contohnya adalah pajak penghasilan
(PPh).

b.

Pajak tak langsung, merupakan pajak yang pada akhirnya dilimpahkan


pada pihak lain, contohnya adalah PPN dan materai.
Pembayaran pajak di apotek ditangani oleh bagian keuangan. Pajak yang

dikenakan kepada apotek dan pegawainya meliputi:


a. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Pajak ini merupakan pajak atas tanah dan bangunan apotek yang
dibayarkan tiap tahunnya tergantung pada luas tanah dan bangunan apotek.
c. Pajak Penghasilan Pribadi (PPh 21)
Pajak ini merupakan pajak penghasilan sehubungan dengan pekerjaan,
jasa, gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain yang berkaitan
dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang
pribadi dalam negeri. PPh 21 dihitung berdasarkan penghasilan bruto dikurangi
dengan biaya jabatan, biaya jamsostek, biaya pensiun.
Pajak PPh 21 ini dikenakan bagi karyawan yang penghasilannya
melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan RI Nomor 122/ PMK .010/2015 tentang Penyesuaian
Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak, Penghasilan Tidak Kena Pajak
(PTKP) telah berubah sejak 29 Juni 2015, seperti yang tertera berikut ini.
Jenis
PTKP
Untuk diri

Tabel 2. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)


PMK 122/PMK.010/2015
PMK No.162/PMK.011/2012
UU RI No.36 Tahun 2008
Sebulan
Setahun
Sebulan
Setahun
Sebulan
Setahun
Rp.
Rp.36.000.000 Rp.2.025.000 Rp.24.300.000 Rp.1.320.000 Rp.15.840.000

wajib pajak
orang pribadi
Tambahan
untuk wajib
pajak yang
kawin
Tambahan
untuk
seorang istri
yang
penghasilann
ya digabung
dengan
penghasilan
suami
Tambahan
untuk setiap
tanggungan

3.000.000
Rp.
250.000

Rp. 3.000.000

Rp. 168.750

Rp. 2.025.000

Rp. 110.000

Rp. 1.320.000

Rp.
3.000.000

Rp.36.000.000

Rp.2.025.000

Rp.24.300.000

Rp.1.320.000

Rp.15.840.000

Rp.
250.000

Rp. 3.000.000

Rp. 168.750

Rp. 2.025.000

Rp. 110.000

Rp. 1.320.000

d. Pajak Penghasilan (PPh) pasal 23


Pajak ini merupakan pajak bagi apotek yang berbentuk badan usaha.
PPh pasal 23 adalah pemotongan pajak oleh pihak lain atas penghasilan berupa
deviden, bunga royalti, sewa, hadiah, penghargaan, dan imbalan jasa tertentu.
Besarnya PPh 23 untuk deviden adalah sebesar 15% dari keuntungan yang
dibagikan, sedangkan konsultan hukum, konsultan pajak dan jasa lainnya
dikenakan pajak sebesar 2% dari jumlah bruto atas imbalan sehubungan
dengan jasa yang diberikan. Penyetoran pajak PPh pasal 21 dan pasal 23
menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) ke kantor pos atau bank yang ditunjuk
selambat-lambatnya 10 bulan berikutnya dan dilaporkan ke kantor pelayanan
pajak atau penyuluhan pajak selambatnya tanggal 20 bulan berikutnya.
e. Pajak Penghasilan (PPh) pasal 25
Pajak penghasilan pasal 25 mengatur pajak bagi pribadi maupun
badan usaha. PPh 25 merupakan pembayaran pajak yang berupa cicilan tiap
bulan sebesar

dari pajak keuntungan bersih tahun sebelumnya, angsuran

pajak yang dilakukan oleh wajib pajak sendiri dari pajak keuntungan bersih
tahun sebelumnya (dihitung berdasarkan neraca rugi-laba sehingga dapat

diketahui sisa hasil bisnis/SHU atau keuntungan). Tarif PPh orang pribadi atau
badan berdasarkan UU RI. Nomor 17 tahun 2000 yang kemudian diperbaharui
dalam UU RI Nomor 36 tahun 2008 tentang pajak penghasilan adalah sebagai
berikut :
i. Pajak Penghasilan (PPh) Pribadi
Perhitungan PPh pribadi ada 2 cara, yaitu dengan pembukuan
membuat neraca laba-rugi dan menggunakan norma jika omset kurang dari
Rp 4.800.000.000,00/tahun. Tabel berikut menunjukkan tarif pajak PPh
pribadi (menurut UU RI Nomor 36 tahun 2008, pasal 17).
Tabel 3. Tarif Penghasilan Kena Pajak Pribadi
Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Sampai dengan Rp. 50.000.000,00
> Rp. 50.000.000,00 sampai dengan Rp. 250.000.000,00
> Rp. 250.000.000,00 sampai dengan Rp. 500.000.000,00
> Rp. 500.000.000,00

Tarif Pajak
5%
15%
25%
30%

Berdasarkan Keputusan Dirjen Pajak No. 536 tahun 2000 dengan kode
62430, dasar perhitungan pajak berdasarkan norma dapat dibagi menjadi
dua, yaitu:
1) Menurut Wilayah
a) Sepuluh ibukota provinsi tertentu (Medan, Palembang,

Jakarta,

Bandung, Semarang, Surabaya, Denpasar, Makassar, dan Pontianak)


terkena pajak sebesar 30%.
b) Ibukota provinsi lain terkena pajak sebesar 25%.
c) Kabupaten lainnya terkena pajak sebesar 20%.
2) Menurut Jenis Usaha
Berdasarkan Dirjen Pajak, apotek termasuk dalam golongan
pedagang eceran barang-barang industri kimia, bahan bakar minyak dan
pelumas, farmasi dan kosmetika.
ii. Pajak Penghasilan (PPh) Badan
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun
2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan pasal 31 yang berbunyi Wajib Pajak badan
dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp.50.000.000.000,00
(lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif

sebesar 50% dari tarif sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 ayat (1) huruf
b dan ayat (2a) yang dikenakan atas Penghasilkan Kena Pajak dari bagian
peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan
ratus juta rupiah).
Tabel 4. Tarif Pajak Badan
Menurut UU RI No.17 Tahun
2000
Lapisan Penghasilan
Tarif
Kena Pajak
Pajak
Sampai dengan
10%
Rp. 50.000.000,00
Di atas
Rp. 50.000.000,00 s/d
15%
Rp. 100.000.000,00
Di atas
30%
Rp. 100.000.000,00

Menurut UU RI No.36 Tahun 2008


Pasal 17 ayat (1)
huruf b
Wajib Pajak badan
dalam negeri dan
bentuk usaha tetap
adalah sebesar 28%
(dua puluh delapan
persen).

Pasal 17 ayat (2)


huruf a
Tarif sebagaimana
dimaksud pada ayat
(1) huruf b menjadi
25% (dua puluh lima
persen) yang mulai
berlaku sejak tahun
pajak 2010.

f. Pajak Penghasilan (PPh) pasal 28 dan Pajak Penghasilan (PPh) pasal 29


Pajak Penghasilan (PPh) pasal 25 diiringi oleh PPh 28 dan PPh 29 yaitu
apabila pada saat perhitungan laba perusahaan atau omzet selama 1 tahun
terjadi kenaikan dibanding tahun sebelumnya, maka dikenakan PPh pasal 29,
sedangkan jika laba atau omset perusahaan turun dari tahun sebelumnya, maka
akan dikenakan PPh pasal 28 dan dapat diakumulasikan untuk pembayaran
pajak tahun berikutnya.
g. Pajak Reklame
Pajak ini dikenakan terhadap pemasangan nama apotek, baik di luar
ataupun di dalam gedung. Pajak ini dibayarkan satu tahun sekali. Besarnya
pajak tergantung dari jenis papan reklame, ukuran, jumlah iklan dan tempat
pemasangan reklame.
h. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dibayar dari 10%
penjualan dikurangi pajak masukan. PPN merupakan pajak tidak langsung atas
penyerahan barang dan jasa. Pajak ini dibebankan dalam setiap transaksi

pembelian obat oleh konsumen. Bagi apotek yang merupakan Pengusaha Kena
Pajak (PKP), PPN diperhitungkan.
i. Pajak Inventaris
Pajak ini merupakan pajak yang dibebankan terhadap inventaris yang
dimiliki. Berikut adalah tabel perbandingan pajak sesuai bentuk usaha.
Tabel 5. Perbandingan Pajak Berdasarkan Bentuk Usaha
PERORANGAN
CV
PT
PPh 21
PPh 21
PPh 21
PPh 25
PPh 23
PPh 25
PPh 29
PPh 25
PPh 29
Pajak reklame
PPh 29
Pajak reklame
PBB
PBB
PBB
PPN
PPN
PPN
Pajak Inventaris
5. Kewirausahaan
Kata entrepreneurship yang dahulunya sering diterjemahkan dengan kata
kewiraswastaan akhir-akhir ini diterjemahkan dengan kata kewirausahaan. Dari
asal kata tersebut, wiraswasta pada mulanya ditujukan pada orang-orang yang
dapat berdiri sendiri. Di Indonesia kata wiraswasta sering diartikan sebagai orangorang yang tidak bekerja pada sektor pemerintah yaitu; para pedagang, pengusaha,
dan orang-orang yang bekerja di perusahaan swasta, sedangkan wirausahawan
adalah orang-orang yang mempunyai usaha sendiri. Wirausahawan adalah orang
yang berani membuka kegiatan produktif yang mandiri (Kementerian Pendidikan
Nasional, 2010).
Kewirausahaan dapat didefinisikan sebagai berikut: Wirausaha usaha
merupakan pengambilan risiko untuk menjalankan usaha sendiri dengan
memanfaatkan peluang-peluang untuk menciptakan usaha baru atau dengan
pendekatan yang inovatif sehingga usaha yang dikelola berkembang menjadi
besar dan mandiri dalam menghadapi tantangan persaingan.
Kata kunci dari kewirausahaan adalah (Kementerian Pendidikan
Nasional, 2010) :
a.

Pengambilan resiko.

b.

Menjalankan usaha sendiri.

c.

Memanfaatkan peluang-peluang.

d.

Menciptakan usaha baru.

e.

Pendekatan yang inovatif.

f.

Mandiri (misalnya, tidak bergantung pada bantuan pemerintah)


B. Aspek Pengelolaan Sumber Daya

1. Sumber daya manusia


Pelayanan kefarmasian di Apotek diselenggarakan oleh Apoteker, dapat
dibantu oleh Apoteker pendamping dan/atau Tenaga Teknis Kefarmasian yang
memiliki Surat Tanda Registrasi, Surat Izin Praktek atau Surat Izin Kerja. Dalam
melakukan pelayanan Kefarmasian Apoteker harus memenuhi kriteria:
a. Persyaratan Administrasi
1)

Memiliki ijazah dari institusi pendidikan farmasi yang terakreditasi

2)

Memliki Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA)

3)

Memiliki sertifikat kompetensi yang masik berlaku

4)

Memiliki Surat Izin Praktik Apoteker (SIPA)

b. Menggunakan atribut praktik antara lain baju praktik, tanda pengenal


c. Wajib

mengikuti

Development

pendidikan

(CPD)

dan

berkelanjutan/
mampu

Continuing

memberikan

Professional

pelatihan

yang

berkesinambungan
d. Apoteker harus mampu mengidentifikasi kebutuhan akan pengembangan diri,
baik melalui pelatihan, seminar, workshop, pendidikan berkelanjutan atau
mandiri
e. Harus memahami dan melaksanakan serta patuh terhadap peraturan perundangundangan, sumpah Apoteker, standar profesi (Standar pendidikan, standar
pelayanan, standar kompetensi dan kode etik) yang berlaku
Dalam melakukan Pelayanan Kefarmasian seorang apoteker harus
menjalankan peran yaitu :
a. Pemberi pelayanan

Apoteker sebagai pemberi pelayanan harus berinteraksi dengan pasien.


Apoteker harus mengintegrasikan pelayanannya pada sistem pelaynan
kesehatan secara berkesinambungan
b. Pengambil Keputusan
Apoteker harus mempunyai kemampuan dalam mengambil keputusan
dengan menggunakan seluruh sumber daya yang ada secara efektif dan efisien.
c. Komunikator
Apoteker harus mampu berkomunikasi dengan pasien maupun profesi
kesehatan lainnya sehubungan dengan terapi pasien. Oleh karena itu harus
mempunya kemampuan komunikasi yang baik.
d. Pemimpin
Apoteker diharapkan memiliki kemampuan untuk menjadi pemimpin.
Kepemimpinan yang diharapkan meliputi keberanian mengambil keputusan
yang empati dan efektif, serta kemampuan mengkomunikasikan dan mengelola
hasil keputusan.
e. Pengelola
Apoteker harus mampu mengelola sumber daya manusia, fisik, anggaran
dan informasi secara efektif. Apoteker harus mengikuti kemajuan teknologi
informasi dan bersedia berbagi informasi tentang Obat dan hal-hal lain yang
berhubungan denga obat.

f. Pembelajar Seumur Hidup


Apoteker

harus

terus

meningkatkan

pengetahuan,

sikap

dan

keterampilan profesi melalui pendidikan berkelanjutan


g. Peneliti
Apoteker harus selalu menerapkan prinsip ilmiah dalam mengumpulkan
informasi sediaan farmasi dan pelayanan kefarmasian dan memanfaatkannya
dalam praktik pelayanan kefarmasian.
2. Sarana dan prasarana

Apoteker berperan dalam mengelola sarana dan prasarana di apotek.


Selain itu, seorang apoteker juga harus menjamin bahwa apotek berlokasi di
daerah yang dengan mudah dikenali oleh masyarakat, di halaman apotek terdapat
papan petunjuk yang dengan jelas tertulis kata apotek, apotek harus dapat
dengan mudah diakses oleh anggota masyarakat, pelayanan produk kefarmasian
diberikan pada tempat yang terpisah dari aktivitas pelayanan dan penjualan
produk lainnya. Hal ini berguna untuk menunjukkan integritas dan kualitas
produk, serta mengurangi risiko kesalahan penyerahan obat.Seorang apoteker
harus menjamin masyarakat menerima akses langsung dari apoteker untuk
memperoleh informasi dan konseling, lingkungan apotek pun harus selalu dalam
keadaan bersih.Apotek harus bebas dari hewan pengerat dan serangga.Memiliki
suplai listrik yang konstan, terutama untuk lemari pendingin.
Sarana dan prasaran yang diperlukan untuk menunjang Pelayanan
kefarmasian di Apotek meliputi sarana yang memiliki fungsi:
1. Ruang Penerimaan Resep
Ruang penerimaan resep sekurang-kurangnya terdiri dari tempat
penerimaan resep, satu set meja dan kursi serta satu set computer. Ruang
penerimaan resep ditempatkan pada bagian paling depan dan mudah terlihat
oleh pasien
2. Ruang Pelayanan Resep dan Peracikan
Ruang pelayanan resep dan peracikan atau produksi sediaan secara
terbatas meliputi rak obat sesuai kebutuhan dan meja peracikan.Di ruang
peracikan sekurang-kurangnya disediakan peralatan peracikan timbangan obat,
air minum untuk pengencer, sendok obat, bahan pengemas obat, lemari
pendingin, thermometer ruangan, blanko salinan resep, etiket dan labet
obat.ruang ini diatur agar mendapatkan cahaya dan sirkulasi udara yang cukup
dapat dilengkapi dengan pendingin ruangan.
3. Ruang Penyerahan Obat
Ruang penyerahan obat berupa konter penyerahan obat yang dapat
digabungkan dengan ruang penerimaan resep.
4. Ruang Konseling

Ruang konseling sekurang-kurangnya memiliki satu set meja dan kursi


konseling, lemari buku, buku-buku referensi, leaflet, poster, alat bantu
konseling, buku catatan konseling dan formulir catatan pengobatan pasien
5. Ruang Penyimpanan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai
Ruang penyimpanan harus memperhatikan kondisi sanitasi, temperature,
kelembaban, ventilasi, pemisahan untuk menjami mutu produk dan keamanan
petugas. Ruang penyimpanan harus dilengkap dengan rak/lemari obat, pallet,
pendingin ruangan, lemari pendingin, lemari penyimpanan khusus narkotika
dan psikotropika, lemari penyimpanan obat khusus, pengukur suhu dan kartu
suhu
6. Ruang Arsip
Ruang arsip dibutuhkan untuk menyimpan dokumen yang berkaitan
dengan pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis
pakai serta pelayanan kefarmasian dalam jangka waktu tertentu
3. Pengelolaan Sediaan Farmasi dan Perbekalan Kesehatan Lainnya
Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan medis Habis
Pakai dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
meliputi perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pemusnahan,
pengendalian, pencatatan dan pelaporan.

a. Perencanaan
Dalam membuat perencanaan pengadaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai perlu diperhatikan pola penyakit,
pola konsumsi, budaya dan kemampuan masyarakat.
b. Pengadaan
Untuk menjami kualitas Pelayanan Kefarmasian maka pengadaan
Sediaan Farmasi harus melalui jalur resmi sesuai ketentuan perundangundangan.

c. Penerimaan
Penerimaan merupakan ekgiatan untuk menjamin kesesuaian jenis
spesifikasi, jumlah, mutu, waktu peneyrahan, dan harga yang tertera dalam
surat pesanan dengan kondisi fisik yang diterima.
d. Penyimpanan
i.

Obat/bahan obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik. Dalam hal
pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan pada wadah lain, maka
harus dicegah terjadinya kontaminasi dan harus ditulis informasi yang
jelas pada wadah baru. Wadah sekurang-kurangnya memuat nama obat,
nomor batch dan tanggal kadaluwarsa.

ii.

Semua obat/bahan obat harus disimpan pada kondisi yang sesuai sehingga
terjamin keamanan dan stabilitiasnya.

iii.

Sistem penyimpanan dilakukan dengan memperhatikan bentuk sediaan dan


kelas terapi obat serta disusun secara alfabetis

iv.

Pengeluaran obat memakai sistem FEFO (Frist Expired First Out) dan
FIFO (First In First Out)

e. Pemusnahan
i.

Obat kadulwarsa atau rusak harus dimusnahkan sesuai dengan jenis dan
bentuk sediaan. Pemusnahan obat yang mengandung narkotika atau
psikotropika dilakukan oleh Apoteker dan disaksikan oleh Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota.

ii.

Resep yang telah disimpan melebihi jangka waktu 5 (lima) tahun dapat
dimusnahkan. Pemusnahan resep dilakukan oleh Apoteker disaksikan oleh
sekurang-kurangnya petugas lain di Apotek dengan cara dibakar atau cara
pemusnahan lain yang dibuktikan dengan Berita Acara Pemusnahan
Resep.

f. Pengendalian
Pengendalian dilakukan untuk mempertahankan jenis dan jumlah
persediaan sesuai kebutuhan pelayanan, melalui pengaturan sistem pesanan
atau pengadaan, penyimpanan dan pengeluaran.Hal ini bertujuan untuk
menghidari

terjadinya

kelebihan, kekurangan, kekosongan, kerusakan,

kadaluwarsa, kehilangan serta pengembalian pesanan. Pengendalian persediaan


dilakukan menggunakan kartu stock baik dengan cara manual atau elektronik.
Kartu stock sekurang-kurangnya memuat nama obat, tanggal kadaluwarsa,
jumlah pemasukan, jumlah pengeluaran dan sisa persediaan.
g. Pencatatan dan Pelaporan
Pencatatan dilakukan pada setiap proses pengelolaan Sediaan Farmasi,
Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai meliputi pengadaan (faktur dan
surat pesanan), penyimpanan (kartu stock), penyerahan (nota penjualan) dan
pencatatan lainnya disesuaikan dengan kebutuhan. Pelaporan terdiri dari
pelaporan internal dan eksternal.Pelaporan internal merupakan pelaporan yang
digunakan untuk kebutuhan manajemen Apotek, meliputi keuangan, barang
dan laporan lainnya.Sedangkan pelaporan eksternal adalah pelaporan mengenai
psikotropika dan narkotika.
4. Administrasi
Peran apoteker dalam menjalankan pelayanan kefarmasian di apotek,
perlu dilaksanakan kegiatan administrasi yang meliputi:
1. Administrasi umum
Dimana administrasi umum meliputi pencatatan, pengarsipan, pelaporan
narkotika, psikotropika dan dokumentasi sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
2. Administrasi khusus
Dimana administrasi khusus berupa pengarsipan resep, pengarsipan
catatan pengobatan pasien, pengarsipan hasil monitoring penggunaan obat.
B. Aspek Asuhan Kefarmasian (Pharmaceutical Care)
1. Konseling promosi dan edukasi
Konseling

merupakan

proses interaktif

antara apoteker

dengan

pasien/keluarga untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman, kesadaran dan


kepatuhan sehingga terjadi perubahan perilaku dalam penggunaan obat dan
menyelesaikan maslaah yang dihadapi pasien (Depkes RI, 2014). Dalam
mengawali konseling, Apoteker menggunakan three primequestions. Apabila
tingkat kepatuhan pasien dinilai rendah, perlu dilanjutkan dengan metode Health

Belief Model. Apoteker harus melakukan verifikasi bahwa pasien atau keluarga
pasien sudah memahami obat yang digunakan. Informasi yang disampaikan secara
benar, jelas, akurat, mudah dipahami, tidak bias, etis dan up to date. Informasi
yang diberikan kepada pasien setidaknya meliputi cara pemakaian obat, cara
penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas serta makanan atau
minuman yang perlu dihindari selama terapi (Bogadenta, 2012).
Berdasarkan

Petunjuk

Teknis

Pelaksanaan

Standar

Pelayanan

Kefarmasian di Apotek Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik tahun


2008, promosi adalah kegiatan pemberdayaan masyarakat dengan memberikan
inspirasi kepada masyarakat sehingga termotivasi untuk meningkatkan derajat
kesehatannya secara mandiri. Edukasi adalah kegiatan pemberdayaan masyarakat
dengan memberikan pengetahuan tentang obat dan pengobatan serta mengambil
keputusan bersama dengan pasien setelah mendapatkan informasi, untuk
tercapainya hasil pengobatan yang optimal.
2. Pengobatan sendiri (self medication)
Swamedikasi atau pengobatan sendiri merupakan upaya masyarakat
untuk mengobati dirinya sendiri tanpa resep Dokter yang biasanya digunakan
sebagai alternative yang diambil masyarakat untuk meningkatkan keterjangkauan
pengobatan dan untuk mengatasi sakit atau keluhan kesehatan yang ringan dan
akut. Penyakit atau keluhan yang dimaksud antara lain demam, batuk, pilek, nyeri
kepala, diare, sakit gigi, pegel linu dan sesak nafas (Shanker, et al., 2002).
3. Pelayanan residensal (home care)
Berdasarkan PerMenKes No. 35 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Apotek, Apoteker sebagai pemberi layanan diharapkan dapat
melakukan pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya
untuk pasien lansia dan pasien dengan penyakit kronis. Jenis pelayanan
kefarmasian di rumah yang dapat dilakukan oleh Apoteker, meliputi:
1) Penilaian/pencarian (assessment) masalah yang berhubungan dengan
pengobatan.
2) Identifikasi kepatuhan pasien.
3) Pendampingan pengelolaan obat dan/atau alat kesehatan di rumah,

misalnya cara pemakaian obat asma, penyimpanan insulin.


4) Konsultasi masalah obat atau kesehatan secara umum.
5) Monitoring pelaksanaan, efektifitas dan keamanan penggunaan obat
berdasarkan catatan pengobatan pasien.
6) Dokumentasi pelaksanaan pelayanan kefarmasian di rumah dengan
menggunakan formulir Home Care.
C. Aspek Pelayanan Kefarmasian
1. Pengelolaan resep
Definisi resep menurut Permenkes No.35 tahun 2014, resep adalah
permintaan tertulis dari Dokter atau Dokter Gigi, kepada Apoteker, baik dalam
bentuk paper maupun electronic untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi
pasien sesuai peraturan yang berlaku. Pengelolaan resep meliputi:
1.1. Skrining resep
Kegiatan Apoteker dalam skrining resep menurut Permenkes No. 35
tahun 2014, meliputi :
1.1.1. Persyaratan administrasi, memuat :
a) Nama pasien, umur, jenis kelamin, dan berat badan;
b) Nama dokter, nomor Surat Izin Praktek (SIP), almat, nomor
telepon dan paraf; dan
c) Tanggal penulisan resep.
1.1.2. Kesesuaian farmasetik, memuat :
a) Bentuk dan kekuatan sediaan;
b) Stabilitas; dan
c) Kompatibilitas (ketercampuran obat).
1.1.3. Pertimbangan klinis, memuat :
a) Ketepatan indikasi dan dosis obat;
b) Aturan, cara dan lama penggunaan obat;
c) Duplikasi dan/atau polifarmasi;
d) Reaksi obat yang tidak diinginkan (alergi, efek samping obat,
manifestasi klinis lain);
e) Kontra indikasi; dan
f)
Interaksi.
Jika ditemukan adanya ketidak sesuaikan dari hasil skrining maka
Apoteker harus menghubungi dokter penulis resep.

1.2. Penyiapan obat (dispensing)


Resep yang telah melalui proses skrining lalu diberi harga dan
meminta persetujuan pasien. Apabila pasien setuju maka dilakukan
penyiapan obat yang meliputi penyiapan, penyerahan dan pemberian
informasi. Setelah melakukan pengkajian resep dilakukan hal sebagai
berikut:
1) Menyiapkan obat sesuai dengan permintaan resep, yaitu menghitung
obat sesuai dengan resep dan mengambil obat yang dibutuhkan pada rak
penyimpanan dengan memperhatikan nama obat, tanggal kadaluarsa
dan fisik obat.
2) Melakukan peracikan obat bila diperlukan.
3) Memberikan etiket sekurang-kurangnya meliputi: warna putih untuk
obat dalam/oral; warna biru untuk obat luar dan suntik; menempelkan
label kocok dahulu pada sediaan bentuk suspensi atau emulsi.
4) Memasukkan obat ke dalam wadah yang tepat dan terpisah untuk obat
yang berbeda untuk menjaga mutu obat dan menghindari penggunaan
yang salah.
5) Sebelum obat diserahkan kepada pasien harus dilakukan pemeriksaan
kembali mengenai penulisan nama pasien pada etiket, cara penggunaan
serta jenis dan jumlah obat (kesesuaian antara penulisan etiket dengan
6)
7)
8)
9)

resep).
Memanggil nama dan nomor alamat pasien.
Memeriksa ulang identitas dan alamat pasien.
Menyerahkan obat yang disertai pemberian informasi obat.
Memberikan informasi cara penggunaan obat dan hal-hal yang terkait
dengan obat antara lain manfaat obat, makanan dan minuman yang
harus dihindari, kemungkianan efek samping, cara penyimpanan obat

dan lain-lain.
10) Penyerahan obat kepada pasien hendaklah dilakukan dengan cara yang
baik, mengingat pasien dalam kondisi tidak sehat mungkin emosinya
tidak stabil.
11) Memastikan bahwa yang menerima obat adalah pasien atau
keluarganya.
12) Membuat salinan resep sesuai dengan resep asli dan diparaf oleh
apoteker (apabila diperlukan).
13) Menyimpan resep pada tempatnya.

14) Apoteker membuat catatan pengobatan pasien.


2. Pengelolaan Obat Wajib Apotek (OWA)
OWA merupakan obat keras yang dapat diberikan oleh Apoteker
Pengelola Apotek (APA) kepada pasien tanpa resep dokter. Ketentuan mengenai
obat yang dikategorikan sebagai Obat Wajib Apotek diatur dalam :
a.

KepMenKes RI No.347/Menkes/SK/VII/1990 tentang Obat Wajib Apotek

b.

PerMenKes RI No. 925/Menkes/Per/X/1993 tentang Daftar Perubahan


Obat No.1. obat yang dikeluarkan dari daftar OWA No.1 berupa beberapa
golongan obat keras yang diubah menjadi obat bebas dan obat bebas
terbatas dengan pertimbangan resiko efek samping obat yang ringan.

c.

PerMenKes RI No. 924/Menkes/Per/X/1993 tentang Daftar Obat Wajib


Apotek No.2

d.

KepMenKes RI No. 1176/Menkes/SK/X/1999 tentang Daftar Obat Wajib


Apotek No.3
Dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1332/Menkes/SK/X/2002 pasal 18 ayat (1) menyebutkan bahwa Apoteker


Pengelola Apotek, Apoteker Pendamping atau Apoteker Pengganti diizinkan
untuk menjual obat keras yang dinyatakan sebagai Daftar Obat Wajib Apotek
tanpa resep.
3. Pengelolaan obat keras, narkotika, dan psikotropika
3.1. Penggolongan obat keras
Definisi obat keras menurut Undang-undang Obat Keras (St. No. 419
tanggal 22 Desember 1949) adalah obat-obatan yang tidak dipergunakan untuk
keperluan

teknik,

yang

mempunyai

khasiat

mengobati,

menguatkan,

membaguskan, mendesinfeksikan dan lain-lain tubuh manusia.


Obat keras digolongkan menjadi dua, yaitu obat-obatan G dan obatobatan W. Obat-obatan G adalah obat-obat keras yang oleh Sec.V.St. didaftar
pada daftar obat-obatan berbahaya (gevaarlijk; daftar G), sedangkan obatobatan W adalah obat-obat keras yang oleh Sec.V.St. didaftar pada daftar
peringatan (warschuwing; daftar W).

Gambar 2. Logo Obat Keras


Pengelolaan obat keras meliputi pengadaan/pembelian, penyimpanan,
distribusi, dan pemusnahan. Pengadaan/pembelian obat keras menggunakan
surat pesanan (SP) yang ditandatangani oleh APJ atau Apoteker Pendamping.
SP yang digunakan adalah SP nonnarkotika/non-psikotropika.
3.2. Pengelolaan narkotika
Undang-Undang RI No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika pada pasal 1
menyebutkan bahwa narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman
atau bukan tanaman, baik sintesis maupun semisintesis, yang dapat
menyebabkan

penurunan

atau

perubahan

kesadaran,

hilangnya

rasa,

mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan


ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana
terlampir dalam Undang-Undang. Kode nomor registrasi narkotika di
Indonesia adalah GNL.
Berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 35 tahun 2009, narkotika
digolongkan ke dalam narkotika golongan I, narkotika golongan II, dan
narkotika golongan III.
1) Narkotika Golongan I : narkotika yang hanya dapat digunakan untuk
tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam
terapi, serta mempunyai

potensi sangat tinggi mengakibatkan

ketergantungan. Contoh : heroin, ganja/marihuana, opium/putaw,


papaver, dan kokain.
2) Narkotika Golongan II : narkotika berkhasiat pengobatan digunakan
sebagai pilihan terkahir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau
tujuan pengembangan ilmu penegetahuan serta mempunyai potensi
tinggi untuk mengakibatkan ketergantungan. Contoh : morfin dan
petidin.
3) Narkotika Golongan III : narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak
digunakan pada terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu
penegetahuan

serta

mempunyai

ketergantungan, contohnya kodein.

potensi

ringan

menyebabkan

Gambar 3. Logo Obat Golongan Narkotika


1) Pengadaan
Apotek

mendapatkan

obat

narkotika

dilakukan

dengan

pembelian/pemesanan dari PBF Kimia Farma. Pemesanan dilakukan dengan


menulis dan mengirimkan Surat Pesanan (SP) narkotika. Pemesanan
narkotika menggunakan SP model N-9 rangkap 4 (5 lembar), setiap satu
surat pesanan hanya berisi satu macam narkotika dimana satu lembar untuk
arsip apotek sedangkan empat lembar lainnya dibawa oleh Kimia Farma
sebagai dokumentasi di PBF Kimia Farma yang nantinya pihak PBF Kimia
Farma akan mengirimkan laporan kepada BPOM melalui email.
2) Penyimpanan
Apotek dan Rumah Sakit harus memiliki tempat khusus untuk
menyimpan narkotika. Tempat khusus tersebut harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a.

Harus dibuat seluruhnya dari kayu atau bahan lain yang kuat.

b.

Harus mempunyai kunci yang kuat.

c.

Dibagi dua masing-masing dengan kunci yang berlainan; bagian


pertama dipergunakan untuk menyimpan morfina, petidina, dan garamgaramnya serta persediaan narkotika, bagian kedua digunakan untuk
menyimpan narkotika lainnya yang dipakai sehari-hari.

d.

Apabila tempat khusus tersebut berupa lemari berukuran kurang dari


4080100 cm, maka lemari tersebut harus dibuat pada tembok atau
lantai, dikunci dengan baik dan tidak boleh dipergunakan untuk
menyimpan barang lain selain narkotika.

3) Pelayanan (dispensing)
Penyerahan obat golongan narkotika oleh apotek kepada pasien hanya
dapat dilakukan berdasarkan resep dokter. Menurut Surat Edaran Dirjen
POM No.336/E/SE/77 tahun 1977 tentang Salinan Resep Narkotika untuk
mencegah penyalahgunaan narkotika, menyebutkan bahwa apotek dilarang

melayani salinan resep yang mengandung narkotika, walaupun resep


tersebut baru dilayani sebagian atau belum dilayani sama sekali. Demikian
halnya juga untuk salinan resep dari resep narkotika dengan tulisan iter tidak
boleh dilayani sama sekali.
4) Pelaporan
Apotek wajib membuat dan menyimpan catatan mengenai kegiatan
yang berhubungan dengan psikotropika. Pelaporan dilakukan secara online
mealui SIPNAP selambat-lambatnya tanggal 10 setiap bulannya. Laporan
tersebut ditujukkan kepada kepala Balai Besar POM dan tebusan ke dinas
kesehatan kabupaten atau kota

5) Pemusnahan
Pemusnahan psikotropika dapat dilakukan untuk obat yang sudah
kadaluarsa dan tidak memenuhi syarat untuk pelayanan kesehatan dan/atau
kepentingan ilmu kesehatan. Pihak apotek dapat melakukan pemusnahan
dengan disaksikan oleh penjabat penjabat departemen yang bertanggung
jawab dibidang kesehatan. Setiap pemusnahan wajib dibuatkan berita acara.
3.3. Pengelolaan psikotropika
Psikotropika menurut UU No.5 tahun 1997 adalah zat atau obat baik
alamiah maupun sintetik, bukan narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui
pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan yang
khas pada aktivitas mental dan perilaku. Kode huruf pada nomor registrasi obat
psikotropika di Indonesia adalah DPL atau GPL.
Psikotropika dikelompokkan menjadi IV golongan. Psikotropika
golongan I dan II dinyatakan masuk dalam Narkotika Golongan I, yaitu
narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi
sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Psikotropika Golongan III yaitu
psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi dan
atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang

mengakibatkan sindroma ketergantungan, sedangkan psikotropika golongan IV


yaitu psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan sangat luas digunakan
dalam terapi dan atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi
ringan mengakibatkan sindroma ketergantungan.
1) Pengadaan
Menurut UU No. 5 tahun 1997, pemesanan psikotropika dilakukan
dengan menggunakan surat pesanan kepada PBF atau pabrik obat yang
memiliki ijin untuk mengedarkan psikotropika yang telah ditandatangani
oleh APA. Pengadaan/pembelian obat psikotropika menggunakan SP
psikotropika. Surat Pesanan (SP) dibuat rangkap 2 (ukuran setengah folio),
satu lembar untuk PBF, satu lembar untuk arsip apotek dan satu lembar
sisanya digabungkan dengan faktur penjualan dari PBF dengan tujuan untuk
memudahkan pemeriksaan. Setiap satu SP bisa berisi lebih dari satu item
psikotropika.
2) Penyimpanan
Penyimpanan obat golongan psikotropika secara spesifik belum
(tidak) diatur. Di apotek, psikotropika disimpan pada rak khusus
(dipisahhkan dari obat lainnya) dan disusun secara alfabetis dan disertai
dengan kartu stelling untuk mencatat setiap pengeluaran psikotropika.
Penyimpanan psikotropika dipisahkan dari obat-obat lain agar mudah
dikontrol.
3) Pelayanan (dispensing)
Menurut UU RI No.5 tahun 1997 pasal 14 ayat (1) disebutkan bahwa
penyerahan psikotropika dalam rangka peredaran sebagaimana dimaksud
dalam pasal 8 hanya dapat dilakukan oleh apotek, rumah sakit, puskesmas,
balai pengobatan, dan dokter. Pada pasal 14 ayat (2) disebutkan bahwa
penyerahan psikotropika oleh apotek hanya dapat dilakukan kepada apotek
lainnya, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter dan kepada
pengguna/pasien. Penyerahan psikotropika harus didasarkan pada resep
dokter.
4) Pelaporan

Berdasarkan pada UU RI No. 5 tahun 1997 pasal 33, apotek wajib


membuat dan menyimpan catatan mengenai kegiatan masing-masing yang
berhubungan

dengan

psikotropika.

Dalam

Permenkes

RI

No.

688/MENKES/PER/VII/1997 tentang Peredaran Psikotropika pasal 12,


pencatatan dan pelaporan dilaporkan kepada Badan Pengawas Obat dan
Makanan. Penggunaan psikotropika dilaporkan paling lambat setiap tanggal
10 pada bulan berikutnya dan dikirim kepada Ditjen Binfar Alkes melalui
website Sistem Pelaporan Penggunaan Sediaan Jadi Narkotika dan
Psikotropika Nasional (http://sipnap.binfar.depkes.go.id/login.php).
5) Pemusnahan
Pemusnahan psikotropika belum diatur secara jelas di dalam UU RI
No. 5 tahun 1997. Dalam pelaksanaannya, pemusnahan psikotropika
dilakukan dengan cara seperti pemusnahan obat sesuai Surat Edaran Kepala
Direktorat Pengawasan Narkotika dan Bahan Berbahaya No.010/1981
perihal Pemusnahan/ Penyerahan Narkotika Atau Psikotropika Yang Rusak/
Tidak Terdaftar. Berdasarkan UU RI No. 5 tahun 1997 pasal 53 ayat (3),
setiap pemusnahan psikotropika wajib dibuatkan berita acara.
4. Pengelolaan obat bebas, obat bebas terbatas, obat tradisional, kosmetik,
alat kesehatan dan perbekalan kesehatan lainnya
Pengadaan obat bebas, obat bebas terbatas, obat tradisional, kosmetika,
alat kesehatan dan perbekalan kesehatan lain menggunakan SP yang dibuat tiga
lembar, satu lembar untuk PBF, satu lembar untuk arsip apotek dan satu lembar
sisanya digabungkan dengan faktur penjualan dari PBF. Pengelolaan dilakukan
dengan pencatatan setiap penjualan pada buku penjualan obat bebas. Pengelolaan
dilakukan dengan melakukan pencatatan setiap penjualan pada buku penjualan
obat bebas dan obat bebas terbatas (buku penjualan handverkoop (HV)).
Penyimpanan obat bebas dan obat bebas terbatas di apotek dapat dikelompokkan
berdasarkan efek farmakologi maupun alfabetis. Penyimpanannya pada etalase,
serta terpisah dari obat tradisional, kosmetik, alat kesehatan dan perbekalan
kesehatan lain.
4.1. Obat bebas

Obat bebas atau disebut dengan Over The Counter (OTC) adalah obat
yang dapat diperoleh secara bebas tanpa resep dokter dan dapat dibeli di
apotek, toko obat atau toko biasa (Sutantiningsih, 2004). Pada surat
KepMenKes RI No. 2380/A/SK/VI/83 tentang Tanda Khusus untuk Obat bebas
dan Obat Bebas Terbatas pasal 3 ayat (1) disebutkan bahwa tanda khus untuk
obat bebas adalah lingkarang hijau dengan garis tepi berwarna hijau.

Gambar 4. Logo Obat Bebas


4.2. Obat bebas terbatas
Obat bebas terbatas adalah obat yang dapat diperoleh tanpa resep
dokter di apotek atau toko obat terdaftar yang memiliki ijin, penyerahannya
harus dengan kemasan asli beserta suatu tanda peringatan khusus. Surat
KepMenKes RI No. 2380/A/SK/VI/83 tentang Tanda Khusus untuk Obat
Bebas dan Obat Bebas Terbatas pasal 3 ayat (2) disebutkan bahwa tanda
khusus obat bebas terbatas adalah lingkaran berwarna biru dengan garis tepi
berwarna hitam. Kode huruf pada nomor registrasi obat bebas terbatas di
Indonesia adalah DTL.

Gambar 5. Logo Obat Bebas Terbatas


Pada etiket wadah dan bungkus luar atau kemasan terkecil obat jadi
yang tergolong obat bebas terbatas harus tercantum secara jelas tanda khusus
sesuai golongan obat yang bersangkutan. Ketentuan yang dimaksud merupakan
pelengkap keharusan mencantumkan tanda peringatan P. No.1; P. No.2; P.
No.3; P. No.4; P. No.5; atau P. No.6 yang ditetapkan dalam Surat Keputusan
Menteri Kesehatan No. 6355/Dir.Jend./SK/69.

Gambar 6. Tanda Peringatan Obat Bebas Terbatas


4.3. Obat tradisional
Menurut UU No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan Bab 1 pasal 1, obat
tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan,
bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari
bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan
dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.

1) Jamu
Jamu merupakan salah satu identitas budaya bangsa Indonesia yang
tetap harus dilestarikan. Jamu harus memenuhi kriteria aman sesuai dengan
persyaratan yang telah ditetapkan; klaim khasiat dibuktikan berdasarkan
data empiris; memenuhi persyaratan mutu yang berlaku (contoh: Laxing,
Keji Beling, ProUric, dan lain-lain). Kode huruf pada nomor registrasi
adalah TR (obat tradisional lokal).

Gambar 7. Logo Jamu


2) Obat Herbal Terstandar
Obat herbal terstandar sekurang-kurangnya telah dilakukan uji
farmakologi dan bahan bakunya sudah terstandarisasi. Obat Herbal
Terstandar harus memenuhi kriteria aman sesuai dengan persyaratan yang

telah ditetapkan; klaim khasiat dibuktikan secara ilmiah/praklinik; telah


dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk
jadi (contoh: Lelap, iapet(kapsul), Kiranti Datang Bulan(sediaan cair),
dan lain-lain). Kode registrasi untuk herbal terstandar sama dengan jamu
TR.

Gambar 8. Logo Obat Herbal Terstandar


3) Fitofarmaka
Fitofarmaka harus memenuhi kriteria aman sesuai dengan persyaratan
yang telah ditetapkan; klaim khasiat dibuktikan berdasarkan uji klinik; telah
dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk
jadi; memenuhi persyaratan mutu yang berlaku (contoh: Cursil70,
Stimuno, Rheumakur, dan lain-lain). Kode huruf pada nomor registrasi
adalah FF.

Gambar 9. Logo Fitofarmaka


4.4. Kosmetik
Definisi kosmetik menurut Keputusan Kepala Badan POM RI
No.HK.00.05.4.1745 tahun 2003, kosmetik adalah bahan atau sediaan yang
dimaksudkan untuk digunakan pada bagian luar tubuh manusia (epidermis,
rambut, kuku, bibir, dan organ genital bagian luar) atau gigi dan mukosa mulut
terutama untuk membersihkan, mewangikan, mengubah penampilan dan atau
memperbaiki bau badan atau melindungi atau memelihara tubuh pada kondisi
baik.

Syarat

kosmetik

No.HK.00.05.4.1745

berdasarkan

tentang

Cara

Keputusan
Pembuatan

Kepala
Kosmetik

Badan

POM

yang

Baik

menyebutkan bahwa kosmetik yang diproduksi atau diedarkan harus memenuhi


persyaratan sebagai berikut:
1) menggunakan bahan yang memenuhi standar dan persyaratan mutu
serta persyaratan lain yang ditetapkan,l
2) diproduksi dengan menggunakan cara pembuatan kosmetik yang baik,

3) terdaftar dan mendapat izin edar dari Badan Pengawas Obat dan
Makanan.
4.5. Alat kesehatan dan perbekalan kesehatan lainnya
Menurut UU No. 36 tahun 2009 pasal 1 ayat (5) alat kesehatan adalah
instrumen, aparatus, mesin dan/atau implan yang tidak mengandung obat yang
digunakan untuk mencegah, mendiagnosis, menyembuhkan dan meringankan
penyakit, merawat orang sakit, memulihkan kesehatan pada manusia, dan/atau
membentuk struktur dan memperbaiki fungsi tubuh. Pada pasal 37 ayat (1)
disebutkan bahwa pengelolaan perbekalan kesehatan dilakukan agar kebutuhan
dasar masyarakat akan perbekalan kesehatan terpenuhi. Pada ayat (2),
disebutkan pula bahwa pengelolaan perbekalan kesehatan yang berupa obat
esensial dan alat kesehatan dasar tertentu dilaksanakan dengan memperhatikan
kemanfaatan, harga, dan faktor yang berkaitan dengan pemerataan.
5. Pengelolaan obat rusak, kadaluarsa, pemusnahan obat dan resep
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 35 tahun 2014 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, obat kadaluwarsa atau rusak harus
dimusnahkan sesuai dengan jenis dan bentuk sediaan. Pemusnahan obat
kadaluwarsa atau rusak yang mengandung narkotika atau psikotropika dilakukan
oleh Apoteker dan disaksikan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
Pemusnahan obat selain narkotika dan psikotropika dilakukan oleh
Apoteker dan disaksikan oleh tenaga kefarmasian lain yang memiliki surat izin
praktik atau surat izin kerja. Pemusnahan dibuktikan dengan berita acara
pemusnahan menggunakan formulir yang telah ditentukan PerMenKes RI No.35
tahun 2014.
Resep yang telah disimpan melebihi jangka waktu 5 (lima) tahun dapat
dimusnahkan. Pemusnahan resep dilakukan oleh Apoteker disaksikan oleh
sekurang-kurangnya petugas lain di Apotek dengan cara dibakar atau cara
pemusnahan lain yang dibuktikan dengan Berita Acara Pemusnahan Resep dan
selanjutnya dilaporkan kepada dinas kesehatan kabupaten/kota.
D. EVALUASI

1. Audit Sediaan Farmasi


Dalam Permenkes No 58 Tahun 2014, cara untuk mengedalikan
persediaan sedian farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai adalah:
a. Melakukan evaluasi persediaan yang jarang digunakan (slow moving)
b. Melakukan evaluasi persediaan yang tidak digunakan dalam watu tiga
bulan berturut-turut (death stock)
c. Stock opname yang dilakukan secara periodik dan berkala
2. Audit SOP Manajemen
Metode evaluasi mutu manajerial menurut UU No 35 Tahun 2014 adalah:
a. Audit, merupakan usaha untuk menyempurkan kualitas pelayanan dengan
pengukuran kinerja bagi yang memberikan pelayanan dengan pengukuran
kinerja bagi yang memberikan pelayanan dengan menentukan kinerja yang
berkaitan dengan standar yang dikehendaki. Oleh karena itu, audit
merupakan alat untuk menilai, mengevaluasi, menyempurnakan pelayanan
kefarmasian secara sistematis. Audit dilakukan oleh apoteker berdasarkan
hasil monitoring terhadap proses dan hasil pengelolaan. Contohnya adalah
b.

audit kesesuai SPO, audit keuangan.


Review, yaitu tinjauan/ kajian terhadap

pelaksanaan

Pelayanan

kefarmasian tanpa dibandingkan dengan standar. Review dilakukan oleh


Apoteker berdasarkan hasil monitoring terhadap pengelolaan sediaan
farmasi dan sumber daya yang digunakan. Misalnya perbandingan harga
c.

obat, pengkajian terhadap obat fast/slow moving.


Observasi. Dilakukan oleh Apoteker berdasarkan hasil monitoring
terhadap seluruh proses pengelolaan farmasi. Misalnya proses transaksi
dengan distributor, ketertiban dokumentasi

Anda mungkin juga menyukai