Anda di halaman 1dari 25

BAB II

A. Anatomi Vertebra
Tulang vertebrae merupakan struktur kompleks yang secara garis besar terbagi atas
2 bagian. Bagian anterior tersusun atas korpus vertebra, diskus intervertebralis
(sebagai artikulasi), dan ditopang oleh ligamnetum longitudinale anterior dan
posterior. Sedangkan bagian posterior tersusun atas pedikel, lamina, kanalis
vertebralis, serta prosesus tranversus dan spinosus yang menjadi tempat otot
penyokong dan pelindung kolumna vertebrale. Bagian posterior vertebra antara satu
dan lain dihubungkan dengan sendi apofisial.
Menurut Haldeman et al (2002), Diskus intervertebralis baik anulus fibrosus
maupun nukleus pulposusnya adalah bangunan yang tidak peka nyeri,dan yang
merupakan bagian peka nyeri adalah:
Lig. Longitudinale anterior

Lig. Longitudinale posterior

Corpus vertebra dan periosteumnya

Articulatio zygoapophyseal

Lig. Supraspinosum.

Stabilitas vertebrae tergantung pada integritas korpus vertebra dan diskus


intervertebralis serta dua jenis jaringan penyokong yaitu ligamentum (pasif) dan otot
(aktif). Untuk menahan beban yang besar terhadap kolumna vertebrale ini stabilitas
daerah pinggang sangat bergantung pada gerak kontraksi volunter dan reflek otot-otot
sakrospinalis, abdominal, gluteus maksimus, dan hamstring.
Pengetahuan yang baik tentang anatomi kolumna vertebralis merupakan salah satu
faktor keberhasilan tindakan anestesi spinal. Di samping itu, pengetahuan tentang
penyebaran analgesia lokal dalam cairan serebrospinal dan level analgesia diperlukan
untuk menjaga keamanan tindakan anestesi spinal.
Vertebra lumbalis merupakan vertebra yang paling penting dalam spinal anestesi,
karena sebagian besar penusukan pada spinal anestesi dilakukan pada daerah ini.
Kolumna vertebralis terdiri dari 33 korpus vertebralis yang dibagi menjadi 5 bagian
yaitu 7 servikal, 12 thorakal, 5 lumbal, 5 sakral dan 4 koksigeus. Kolumna vertebralis
mempunyai empat lengkungan yaitu daerah servikal dan lumbal melengkung ke
depan, daerah thorakal dan sakral melengkung ke belakang sehingga pada waktu
berbaring daerah tertinggi adalah L3, sedang daerah terendah adalah L5.
Segmen medulla spinalis terdiri dari 31 segmen : 8 segmen servikal, 12 thorakal, 5
lumbal, 5 sakral dan 1 koksigeus yang dihubungkan dengan melekatnya kelompokkelompok saraf. Panjang setiap segmen berbeda-beda, seperti segmen tengah thorakal
lebih kurang 2 kali panjang segmen servikal atau lumbal atas. Terdapat dua pelebaran
yang berhubungan dengan saraf servikal atas dan bawah. Pelebaran servikal
merupakan asal serabut-serabut saraf dalam pleksus brakhialis. Pelebaran lumbal
sesuai dengan asal serabut saraf dalam pleksus lumbosakralis. Hubungan antara
segmen-segmen medulla spinalis dan korpus vertebralis serta tulang belakang penting
artinya dalam klinik untuk menentukan tinggi lesi pada medulla spinalis dan juga
untuk mencapainya pada pembedahan.
Lapisan yang harus ditembus untuk mencapai ruang subarakhnoid dari luar yaitu
kulit, subkutis, ligamentum supraspinosum, ligamentum flavum dan duramater.
Arakhnoid terletak antara duramater dan piamater serta mengikuti otak sampai
medulla spinalis dan melekat pada duramater. Antara arakhnoid dan piamater terdapat
ruang yang disebut ruang sub arakhnoid.

Duramater dan arakhnoid berakhir sebagai tabung pada vertebra sakral 2, sehingga
dibawah batas tersebut tidak terdapat cairan serebrospinal. Ruang sub arakhnoid merupakan
sebuah rongga yang terletak sepanjang tulang belakang berisi cairan otak, jaringan lemak,
pembuluh darah dan serabut saraf spinal yang berasal dari medulla spinalis. Pada orang
dewasa medulla spinalis berakhir pada sisi bawah vertebra lumbal.

Cairan serebrospinal yang berada di ruang subarakhnoid merupakan salah satu proteksi
untuk melindungi jaringan otak dan medula spinalis terhadap trauma atau gangguan dari luar.
Pada orang dewasa volume intrakranial kurang lebih 1700 ml, volume otak sekitar 1400 ml,
volume cairan serebrospinal 52-162 ml (rata-rata 104 ml) dan darah sekitar 150 ml. 80% dari
jaringan otak terdiri dari cairan, baik ekstra sel maupun intra sel.
Rata-rata cairan serebrospinal dibentuk sebanyak 0,35 ml/menit atau 500 ml/hari,
sedangkan total volume cairan serebrospinal berkisar 75-150 ml dalam sewaktu. Ini
merupakan suatu kegiatan dinamis, berupa pembentukan, sirkulasi dan absorpsi. Untuk
mempertahankan jumlah cairan serebrospinal tetap dalam sewaktu, maka cairan serebrospinal
diganti 4-5 kali dalam sehari.
Perubahan dalam cairan serebrospinal dapat merupakan proses dasar patologi suatu
kelainan klinik. Pemeriksaan cairan serebrospinal sangat membantu dalam mendiagnosa
penyakit-penyakit neurologi. Selain itu juga untuk evaluasi pengobatan dan perjalanan
penyakit, serta menentukan prognosa penyakit. Pemeriksaan cairan serebrospinal adalah
suatu tindakan yang aman, tidak mahal dan cepat untuk menetapkan diagnosa,
mengidentifikasi organisme penyebab serta dapat untuk melakukan test sensitivitas
antibiotika.
Pembentukan CSS melalui 2 tahap, yang pertama terbentuknya ultrafiltrat plasma di luar
kapiler oleh karena tekanan hidrostatik dan kemudian ultrafiltrasi diubah menjadi sekresi
pada epitel khoroid melalui proses metabolik aktif. Mekanisme sekresi CSS oleh pleksus
khoroideus adalah sebagai berikut: Natrium dipompa/disekresikan secara aktif oleh epitel
kuboid pleksus khoroideus sehingga menimbulkan muatan positif di dalam CSS. Hal ini akan
menarik ion-ion bermuatan negatif, terutama clorida ke dalam CSS. Akibatnya terjadi
kelebihan ion di dalam cairan neuron sehingga meningkatkan tekanan somotik cairan
ventrikel sekitar 160 mmHg lebih tinggi dari pada dalam plasma. Kekuatan osmotik ini
menyebabkan sejumlah air dan zat terlarut lain bergerak melalui membran khoroideus ke
dalam CSS. Bikarbonat terbentuk oleh karbonik abhidrase dan ion hidrogen yang dihasilkan
akan mengembalikan pompa Na dengan ion penggantinya yaitu Kalium. Proses ini disebut
Na-K Pump yang terjadi dgnbantuan Na-K-ATP ase, yang berlangsung dalam keseimbangan.
Obat yang menghambat proses ini dapat menghambat produksi CSS. Penetrasi obat-obat dan
metabolit lain tergantung kelarutannya dalam lemak. Ion campuran seperti glukosa, asam
amino, amin danhormon tyroid relatif tidak larut dalam lemak, memasuki CSS secara lambat
dengan bantuan sistim transport membran. Juga insulin dan transferin memerlukan reseptor
transport media. Fasilitas ini (carrier) bersifat stereospesifik, hanya membawa larutan yang
mempunyai susunan spesifik untuk melewati membran kemudian melepaskannya di CSS.
Natrium memasuki CSS dengan dua cara, transport aktif dan difusi pasif. Kalium disekresi
ke CSS dgnmekanisme transport aktif, demikian juga keluarnya dari CSS ke jaringan otak.
Perpindahan Cairan, Mg dan Phosfor ke CSS dan jaringan otak juga terjadi terutama dengan
mekanisme transport aktif, dan konsentrasinya dalam CSS tidak tergantung pada

konsentrasinya dalam serum. Perbedaan difusi menentukan masuknya protein serum ke


dalam CSS dan juga pengeluaran CO2. Air dan Na berdifusi secara mudah dari darah ke CSS
dan juga pengeluaran CO2. Air dan Na berdifusi secara mudah dari darah ke CSS dan ruang
interseluler, demikian juga sebaliknya. Hal ini dapat menjelaskan efek cepat penyuntikan
intervena cairan hipotonik dan hipertonik.
Ada 2 kelompok pleksus yang utama menghasilkan CSS: yang pertama dan terbanyak
terletak di dasar tiap ventrikel lateral, yang kedua (lebih sedikit) terdapat di atap ventrikel III
dan IV. Diperkirakan CSS yang dihasilkan oleh ventrikel lateral sekitar 95%. Rata-rata
pembentukan CSS 20 ml/jam. CSS bukan hanya ultrafiltrat dari serum saja tapi
pembentukannya dikontrol oleh proses enzimatik.
CSS dari ventrikel lateral melalui foramen interventrikular monroe masuk ke dalam
ventrikel III, selanjutnya melalui aquaductus sylvii masuk ke dlam ventrikel IV. Tiga buah
lubang dalam ventrikel IV yang terdiri dari 2 foramen ventrikel lateral (foramen luschka)
yang berlokasi pada atap resesus lateral ventrikel IV dan foramen ventrikuler medial
(foramen magendi) yang berada di bagian tengah atap ventrikel III memungkinkan CSS
keluar dari sistem ventrikel masuk ke dalam rongga subarakhnoid. CSS mengisi rongga
subarakhnoid sekeliling medula spinalis sampai batas sekitar S2, juga mengisi keliling
jaringan otak. Dari daerah medula spinalis dan dasar otak, CSS mengalir perlahan menuju
sisterna basalis, sisterna ambiens, melalui apertura tentorial dan berakhir dipermukaan atas
dan samping serebri dimana sebagian besar CSS akan diabsorpsi melalui villi arakhnoid
(granula Pacchioni) pada dinding sinus sagitalis superior. Yang mempengaruhi alirannya
adalah: metabolisme otak, kekuatan hidrodinamik aliran darah dan perubahan dalam tekanan
osmotik darah.
CSS akan melewati villi masuk ke dalam aliran adrah vena dalam sinus. Villi arakhnoid
berfungsi sebagai katup yang dapat dilalui CSS dari satu arah, dimana semua unsur pokok
dari cairan CSS akan tetap berada di dalam CSS, suatu proses yang dikenal sebagai bulk
flow. CSS juga diserap di rongga subrakhnoid yang mengelilingi batang otak dan medula
spinalis oleh pembuluh darah yang terdapat pada sarung/selaput saraf kranial dan spinal.
Vena-vena dan kapiler pada piameter mampu memindahkan CSS dengan cara difusi melalui
dindingnya. Perluasan rongga subarakhnoid ke dalam jaringan sistem saraf melalui
perluasaan sekeliling pembuluh darah membawa juga selaput piametr disamping selaput
arakhnoid. Sejumlah kecil cairan berdifusi secara bebas antara cairan ekstraselluler dan css
dalam rongga perivaskuler dan juga sepanjang permukaan ependim dari ventrikel sehingga
metabolit dapat berpindah dari jaringan otak ke dalam rongga subrakhnoid. Pada kedalaman
sistem saraf pusat, lapisan pia dan arakhnoid bergabung sehingga rongga perivaskuler tidak
melanjutkan diri pada tingkatan kapiler.
Komposisi dan fungsi cairan serebrospinal (CSS)
Cairan serebrospinal dibentuk dari kombinasi filtrasi kapiler dan sekresi aktif dari epitel. CSS
hampir meyerupai ultrafiltrat dari plasma darah tapi berisi konsentrasi Na, K, bikarbonat,

Cairan, glukosa yang lebih kecil dankonsentrasi Mg dan klorida yang lebih tinggi. Ph CSS
lebihrendah dari darah
Fungsi cairan CSS
1. CSSmenyediakankeseimbangandalamsistemsaraf.Unsur-unsur pokok pada CSS
berada dalam keseimbangan dengan cairan otak ekstraseluler, jadi mempertahankan
lingkungan luar yang konstan terhadap sel-sel dalam sistem saraf.
2. CSSmengakibatkannotakdikelilingicairan,mengurangiberatotak dalam tengkorak dan
menyediakan bantalan mekanik, melindungi otak dari keadaan/trauma yang mengenai
tulang tengkorak
3. CSSmengalirkanbahan-bahanyangtidakdiperlukandariotak,seperti CO2,laktat, dan ion
Hidrogen. Hal ini penting karena otak hanya mempunyai sedikit sistem limfatik. Dan
untuk memindahkan produk seperti darah, bakteri, materi purulen dan nekrotik
lainnya yang akan diirigasi dan dikeluarkan melalui villi arakhnoid.
4. Bertindaksebagaisaluranuntuktransportintraserebral.Hormon- hormon dari lobus
posterior hipofise, hipothalamus, melatonin dari fineal dapat dikeluarkan ke CSS dan
transportasi ke sisi lain melalui intraserebral.
5. Mempertahankantekananintrakranial.DengancarapenguranganCSS
dengan
mengalirkannya ke luar rongga tengkorak, baik dengan mempercepat pengalirannya
melalui berbagai foramina, hingga mencapai sinus venosus, atau masuk ke dalam
rongga subarakhnoid lumbal yang mempunyai kemampuan mengembang sekitar
30%.

B. ANESTESI SPINAL
Anestesi spinal termasuk ke dalam teknik neuroaksial blok, yang terdiri dari
blokade spinal, kaudal, dan epidural. Blokade spinal, kaudal, dan epidural pertama
kali digunakan untuk prosedur pembedahan pada abad ke 20 Blok sentral tersebut
secara luas digunakan sebelum tahun 1940 sampai meningkatnya laporan tentang
terjadinya gangguan neurologis permanen. Akan tetapi, suatu penelitian epidemiologis
yang besar tahun 1950 menunjukkan bahwa sesungguhnya komplikasi jarang terjadi
bila blok dilakukan dengan teknik yang benar dan penggunaan obat anestesi lokal
yang lebih aman
Anestesi atau analgesi spinal pertama diberikan pada tahun 1885 oleh James
Leonard Corning (1855-1923), yang merupakan seorang ahli saraf di New York. Ia
bereksperimen dengan kokain pada saraf tulang belakang anjing, tetapi ketika itu dia
secara tidak sengaja menembus duramater. Anestesi spinal pertama direncanakan

untuk operasi pada manusia dilakukan oleh Agustus Bier (1861- 1949) tanggal 16
Agustus 1898, di Kiel, ketika ia menyuntikkan 3 ml larutan kokain 0,5% pada pasien
34 tahunSetelah menggunakannya pada 6 pasien, dia dan asistennya masing-masing
menyuntikkan kokain ke dalam tulang belakang pasien yang lain. Karena
efektifivitasnya (anestesi spinal), maka mereka merekomendasikan anestesi spinal
untuk operasi kaki, tetapi mereka akhirnya tidak menggunakan lagi anestesi spinal
karena toksisitas kokain. Sampai saat ini Agustus Bier dikenal sebagai Bapak anestesi
spinal.
Indikasi dan Kontraindikasi Anestesi Spinal
Anestesi spinal umumnya digunakan untuk prosedur bedah melibatkan daerah
abdomen bagian bawah, perineum, dan ekstremitas bawah. Meskipun teknik ini juga
bisa digunakan untuk operasi abdomen bagian atas, sebagian menganggap lebih baik
untuk menggunakan anestesi umum untuk memastikan kenyamanan pasien. Selain
itu, blok ekstensif diperlukan untuk operasi abdomen bagian atas dan cara ini
mungkin memiliki dampak negatif pada ventilasi dan oksigenasi.
Bila dipertimbangkan untuk melakukan neuroaksial anestesi, resiko dan keuntungan
harus didiskusikan dengan pasien, dan informed consent harus dilakukan.
Mempersiapkan mental pasien adalah hal yang penting karena pilihan teknik anestesi
bergantung pada tipe pembedahan. Pasien harus mengerti bahwa mereka akan merasa
lumpuh sampai efek blokade hilang
Ada kontraindikasi absolut dan relatif terhadap anestesi spinal. Satu- satunya
kontraindikasi absolut adalah penolakan pasien, infeksi pada tempat suntikan,
hipovolemia, penyakit neurologis tertentu, koagulopati darah, dan peningkatan
tekanan intrakranial Kontraindikasi relatif meliputi sepsis yang berbeda dari tempat
tusukan (misalnya, korioamnionitis atau infeksi ekstremitas bawah) dan lama operasi
yang waktunya belum bisa diperkirakan. Dari kasus yang pertama, jika pasien diobati
dengan antibiotik dan tanda-tanda vital stabil, anestesi spinal dapat dipertimbangkan
Indikasi
1. Bedah ekstremitas bawah
2. Bedah panggul
3. Tindakan sekitar rektum perineum
4. Bedah obstetrik-ginekologi
5. Bedah urologi
6. Bedah abdomen bawah

7. Pada bedah abdomen atas dan bawah pediatrik biasanya dikombinasikan


dengan anesthesia umum ringan
Kontra indikasi absolut:
1. Pasien menolak
2. Infeksi pada tempat suntikan
3. Hipovolemia berat, syok
4. Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan
5. Tekanan intrakranial meningkat
6. Fasilitas resusitasi minim
7. Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi.

3.
4.
5.
6.
7.
8.

Kontra indikasi relatif:


1. Infeksi sistemik
2. Infeksi sekitar tempat suntikan
Kelainan neurologis
Kelainan psikis
Bedah lama
Penyakit jantung
Hipovolemia ringan
Nyeri punggung kronik

Persiapan analgesia spinal :


Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan pada anastesia umum.
Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan menimbulkan kesulitan, misalnya ada
kelainan anatomis tulang punggung atau pasien gemuk sekali sehingga tak teraba tonjolan
prosesus spinosus. Selain itu perlu diperhatikan hal-hal di bawah ini
1. Informed consent
: tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui anesthesia
spinal
2. Pemeriksaan fisik
: tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang
punggung
3. Pemeriksaan laboratorium anjuran
: yang perlu di periksa adalah Hb, ht,pt,ptt
Peralatan analgesia spinal :
1. Peralatan monitor: tekanan darah, pulse oximetri, ekg
2. Peralatan resusitasi
3. Jarum spinal

Jarum spinal dengan ujung tajam(ujung bamboo runcing, quinckebacock) atau jarum spinal
dengan ujung pensil (pencil point whitecare).
Teknik analgesia spinal :
Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis tengah ialah
posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja operasi tanpa dipindah
lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam
30 menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat.
1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral dekubitus. Beri
bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang belakang stabil. Buat
pasien membungkuk maximal agar processus spinosus mudah teraba. Posisi lain
adalah duduk.
2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis Krista iliaka, misal
L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau diatasnya berisiko trauma
terhadap medulla spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.
4. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan (Bupivacain 20 mg)
5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G, 23G, 25G
dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G atau 29G dianjurkan
menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik biasa semprit 10cc. Tusukkan
introduser sedalam kira-kira 2cm agak sedikit kearah sefal, kemudian masukkan
jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Jika menggunakan
jarum tajam (Quincke-Babcock) irisan jarum (bevel) harus sejajar dengan serat
duramater, yaitu pada posisi tidur miring bevel mengarah keatas atau kebawah,
untuk menghindari kebocoran likuor yang dapat berakibat timbulnya nyeri kepala
pasca spinal. Setelah resensi menghilang, mandarin jarum spinal dicabut dan
keluar likuor, pasang semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan
(0,5ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap
baik. Kalau anda yakin ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak
keluar, putar arah jarum 90 biasanya likuor keluar. Untuk analgesia spinal
kontinyu dapat dimasukan kateter.
6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah hemoroid
dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum dewasa 6cm. Posisi:
Posisi Duduk
Pasien duduk di atas meja operasi
Dagu di dada
Tangan istirahat di lutut

OBAT YANG DI GUNAKAN DALAM ANESTESI SPINAL


Anestesi spinal adalah injeksi obat anestesi lokal ke dalam ruang intratekal yang
menghasilkan analgesia. Pemberian obat lokal anestesi ke dalam ruang intratekal atau ruang

subaraknoid di regio lumbal antara vertebra L2-3, L3-4, L4-5 untuk menghasilkan onset
anestesi yang cepat dengan derajat keberhasilan yang tinggi. Walaupun teknik ini sederhana,
dengan adanya pengetahuan anatomi, efek fisiologi dari anestesi spinal dan faktor-faktor
yang mempengaruhi distribusi anestesi lokal diruang intratekal serta komplikasi anestesi
spinal akan mengoptimalkan keberhasilan terjadinya blok anestesi spinal
Obat anestesi lokal adalah suatu senyawa amino organik. Pada pemakaian sehari- hari, obat
ini dapat dibagi menjadi golongan amino ester dan golongan amino amida. Ikatan ester
mempunyai sifat mudah dihidrolisis dalam hepar dan oleh plasma esterase, mula kerja
lambat, lama kerja pendek dan hanya sedikit menembus jaringan. Sedangkan ikatan amida
mudah menjadi tidak aktif oleh hepatic amidase, mula kerja cepat, lama kerja lebih lama dan
lebih banyak menembus jaringan. Kelompok ester antara lain procaine, chloroprocaine dan
tetracaine. Kelompok amida antara lain lidocaine, mepivacaine, bupivacaine dan etidocaine.
Anestesi lokal yang sering dipakai adalah bupivakain. Lidokain5% sudah ditinggalkan
karena mempunyai efek neurotoksisitas, sehingga bupivakain menjadi pilihan utama untuk
anestesi spinal saat ini. Anestesi lokal dapat dibuat isobarik, hiperbarik atau hipobarik
terhadap cairan serebrospinal. Barisitas anestesi lokal mempengaruhi penyebaran obat
tergantung dari posisi pasien. Larutan hiperbarik disebar oleh gravitasi, larutan hipobarik
menyebar berlawanan arah dengan gravitasi dan isobarik menyebar lokal pada tempat injeksi.
Setelah disuntikkan ke dalam ruang intratekal, penyebaran zat anestesi lokal akan
dipengaruhi oleh berbagai faktor terutama yang berhubungan dengan hukum fisika dinamika
dari zat yang disuntikkan, antara lain Barbotase (tindakan menyuntikkan sebagian zat anestesi
lokal ke dalam cairan serebrospinal, kemudian dilakukan aspirasi bersama cairan
serebrospinal dan penyuntikan kembali zat anestesi lokal yang telah bercampur dengan cairan
serebrospinal), volume, berat jenis, dosis, tempat penyuntikan, posisi penderita saat atau
sesudah penyuntikan
Larutan bupivakain hidroklorida hiperbarik bupivakain adalah larutan anestesi lokal
bupivakain yang mempunyai berat jenis lebih besar dari berat jenis cairan serebrospinal
(1,003-1,008). Cara pembuatannya adalah dengan menambahkan larutan glukosa kedalam
larutan isobarik bupivakain. Cara kerja larutan hiperbarik bupivakain adalah melalui
mekanisme hukum gravitasi, yaitu suatu zat/larutan yang mempunyai berat jenis yang lebih
besar dari larutan sekitarnya akan bergerak ke suatu tempat yang lebih rendah. Dengan
demikian larutan bupivakain hiperbarik yang mempunyai barisitas lebih besar akan cepat ke
daerah yang lebih rendah dibandingkan dengan larutan bupivakain yang isobarik, sehingga
mempercepat penyebaran larutan bupivakain hiperbarik tersebut.
Faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran larutan bupivakain hiperbarik pada Anestesi
spinal:
1. Gravitasi: Cairan serebrospinal pada suhu 37C mempunyai BJ 1,003- 1,008. Jika
larutan hiperbarik yang diberikan kedalam cairan serebrospinal akan bergerak oleh
gaya gravitasi ke tempat yang lebih rendah, sedangkan larutan hipobarik akan

bergerak berlawanan arah dengan gravitasi seperti menggantung dan jika larutan
isobarik akan tetap dan sesuai dengan tempat injeksi.
2. Postur tubuh : Makin tinggi tubuh seseorang, makin panjang medula spinalisnya dan
volume dari cairan serebrospinal di bawah L2 makin banyak sehingga penderita yang
lebih tinggi memerlukan dosis yang lebih banyak dari pada yang pendek.
3. Tekanan intra abdomen: Peningkatan tekanan intra abdomen menyebabkan
bendungan saluran pembuluh darah vena abdomen dan juga pelebaran saluran-saluran
vena di ruang epidural bawah, sehingga ruang epidural akan menyempit dan akhirnya
akan menyebabkan penekanan ke ruang subarakhnoid sehingga cepat terjadi
penyebaran obat anestesi lokal ke kranial. Perlu pengurangan dosis pada keadaan
seperti ini.
4. Anatomi kolumna vertebralis :Anatomi kolumna vertebralis akan mempengaruhi
lekukan-lekukan saluran serebrospinal, yang akhirnya akan mempengaruhi tinggi
anestesi spinal pada penggunaan anestesi lokal jenis hiperbarik.
5. Tempat penyuntikan : Makin tinggi tempat penyuntikan, maka analgesia yang
dihasilkan makin tinggi. Penyuntikan pada daerah L2-3 lebih memudahkan
penyebaran obat ke kranial dari pada penyuntikan pada L4- 5.
6. Manuver valsava : Setelah obat disuntikkan penyebaran obat akan lebih besar jika
tekanan dalam cairan serebrospinal meningkat yaitu dengan cara mengedan.
7. Volume obat : Efek volume larutan bupivakain hiperbarik pada suatu percobaan yang
dilakukan oleh Anellson (1984), dikatakan bahwa penyebaran maksimal obat kearah
sefalad dibutuhkan waktu kurang lebih 20 menit pada semua jenis volume obat (1,5
cc, 2 cc, 3 cc dan 4 cc). Mula kerja untuk tercapainya blok motorik akan bertambah
pendek waktunya dengan bertambahnya volume. Makin besar volume obat makin
tinggi level blok sensoriknya.
8. Konsentrasi obat : Dengan volume obat yang sama ternyata bupivakain 0,75%
hiperbarik akan menghasilkan penyebaran obat kearah sefalad lebih tinggi beberapa
segmen dibandingkan dengan bupivakain 0,5% hiperbarik. Lama kerja obat akan
lebih panjang secara bermakna pada penambahan volume obat bupivakain 0,75%.
Demikian pula perubahan kardiovaskuler akan berbeda bermakna pada bupivakain
0,75% hiperbarik.
9. Posisi tubuh : Dalam suatu percobaan oleh J.A.W. Wildsmith dikatakan tidak ada
pengaruh penyebaran obat jenis obat larutan isobarik pada tubuh, sedangkan pada
jenis larutan hiperbarik akan dipengaruhi posisi tubuh. Pada larutan hiperbarik posisi
terlentang bisa mencapai level blok T4 pada posisi duduk hanya mencapai T8.

10. Lateralisasi : Lateralisasi pada larutan dengan posisi berbaring miring (lateral
dekubitus). Pada percobaan oleh J.A.W. Wildsmith disimpulkan bahwa 5 menit
setelah penyuntikan obat, penyebaran obat pada sisi bawah mencapai T6,sedangkan
pada sisi atas mencapai T7.

MEKANISME ANESTESI LOKAL


Mekanisme anestetikum lokal yaitu dengan menghambat hantaran
saraf bila dikenakan secara lokal pada jaringan saraf dengan kadar cukup.
Bahan ini bekerja pada tiap bagian susunan saraf. Anestetikum lokal
mencegah terjadi pembentukan dan konduksi impuls saraf. Tempat
kerjanya terutama di membran sel, efeknya pada aksoplasma hanya
sedikit saja.
Potensial aksi saraf terjadi karena adanya peningkatan
sesaat permeabilitas membrane ringan
pada membran. Proses inilah
yang dihambat oleh anestetikum lokal, hal ini terjadi akibat adanya
perubahan voltase muatan listrik. Dengan semakin bertambahnya efek
anestesi lokal di dalam saraf, maka ambang rangsang membran akan
meningkat secara bertahap, kecepatan peningkatan potensial aksi
menurun, konduksi impuls melambat dan faktor pengaman konduksi saraf
juga berkurang. Faktor-faktor ini akan mengakibatkan penurunan
kemungkinan menjalarnya potensial aksi, dan dengan demikian
mengakibatkan kegagalan konduksi saraf.
EFEK ANESTESI LOKAL
Efek samping obat anestetik local terhadap system tubuh antara lain.
1. System kardiovaskuler
Depresi automatisasi miokard.
Depresi kontraktilitas miokard.
Dilatasi anteriolar.
Dosis besar dapat menyebabkan disritmia/ kolaps sirkulasi.
2. Sistem pernapasan
Relaksi otot polos bronkus. Henti napas akibat paralise saraf frenikus, paralise interkostal
atau depresi langsung pusat pengaturan napas.
3. Sistem saraf pusat
System saraf pusat rentan terhadap toksisitas anestetik local, dengan tanda-tanda awal
parestesia lidah, pusing, kepala terasa ringan, tinnitus, pandangan kabur, agitasi, twitching,
depresi pernapasan, tidak sadar, konvulsi, koma. Tambahan adrenalin berisiko kerusakan
saraf.
4. Imunologi
Golongan ester menyebabkan reaksi alergi lebih sering, karena merupakan derivate paraamino-benzoic acid (PABA) yang dikenal sebagai allergen.

Sisten musculoskeletal
Bersifat miotoksik (bupivakain > lidokain > prokain). Tambahan adrenalin berisiko
kerusakan saraf. Regenerasi dalam waktu 3-4 minggu.
Toksisitas bergantung pada
Jumlah larutan yang disuntikkan.
Konsentrasi obat.
Ada tidaknya adrenalin.
Vaskularisasi tempat suntikan.
Absorbsi obat.
Laju destruksi obat.
Hipersensitivitas.
Usia.
Keadaan umum.
Berat badan.
KOMPLIKASI ANESTESI SPINAL
Komplikasi anastesi spinal dibagi menjadi komplikasi dini dan komplikasi delayed
Komplikasi tindakan :
1. Hipotensi berat: Akibat blok simpatis terjadi venous pooling. Pada dewasa dicegah
dengan memberikan infus cairan elektrolit 1000ml atau koloid 500ml sebelum
tindakan.
2. Bradikardia : Dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia,terjadi akibat blok
sampai T-2
3. Hipoventilasi : Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali nafas
4. Trauma pembuluh saraf
5. Trauma saraf
6. Mual-muntah
7. Gangguan pendengaran
8. Blok spinal tinggi atau spinal total
Komplikasi pasca tindakan:
1. Nyeri tempat suntikan
2. Nyeri punggung
3. Nyeri kepala karena kebocoran likuor
4. Retensio urine
5. Meningitis

Komplikasi intraoperatif:
1. Komplikasi kardiovaskular
Insiden terjadi hipotensi akibat anestesi spinal adalah 10-40%. Hipotensi terjadi karena
vasodilatasi, akibat blok simpatis, yang menyebabkan terjadi penurunan tekanan arteriola
sistemik dan vena, makin tinggi blok makin berat hipotensi. Cardiac output akan berkurang
akibat dari penurunan venous return. Hipotensi yang signifikan harus diobati dengan
pemberian cairan intravena yang sesuai dan penggunaan obat vasoaktif seperti efedrin atau

fenilefedrin.
Cardiac arrest pernah dilaporkan pada pasien yang sehat pada saat dilakukan anestesi spinal.
Henti jantung bisa terjadi tiba-tiba biasanya karena terjadi bradikardia yang berat walaupun
hemodinamik pasien dalam keadaan yang stabil. Pada kasus seperti ini, hipotensi atau
hipoksia bukanlah penyebab utama dari cardiac arrest tersebut tapi ia merupakan dari
mekanisme reflek bradikardi dan asistol yang disebut reflek Bezold-Jarisch.
Pencegahan hipotensi dilakukan dengan memberikan infuse cairan kristaloid (NaCl,Ringer
laktat) secara cepat sebanyak 10-15ml/kgbb dlm 10 menit segera setelah penyuntikan
anesthesia spinal. Bila dengan cairan infuse cepat tersebut masih terjadi hipotensi harus
diobati dengan vasopressor seperti efedrin intravena sebanyak 19mg diulang setiap 3-4menit
sampai mencapai tekanan darah yang dikehendaki. Bradikardia dapat terjadi karena aliran
darah balik berkurang atau karena blok simpatis,dapat diatasi dengan sulfas atropine 1/8-1/4
mg IV.
2. Blok spinal tinggi atau total
Anestesi spinal tinggi atau total terjadi karena akibat dari kesalahan perhitungan dosis yang
diperlukan untuk satu suntikan. Komplikasi yang bisa muncul dari hal ini adalah hipotensi,
henti nafas, penurunan kesadaran, paralisis motor, dan jika tidak diobati bisa menyebabkan
henti jantung. Akibat blok simpatetik yang cepat dan dilatasi arterial dan kapasitas pembuluh
darah vena, hipotensi adalah komplikasi yang paling sering terjadi pada anestesi spinal. Hal
ini menyebabkan terjadi penurunan sirkulasi darah ke organ vital terutama otak dan jantung,
yang cenderung menimbulkan sequel lain. Penurunan sirkulasi ke serebral merupakan faktor
penting yang menyebabkan terjadi henti nafas pada anestesi spinal total. Walau
bagaimanapun, terdapat kemungkinan pengurangan kerja otot nafas terjadi akibat dari blok
pada saraf somatic interkostal. Aktivitas saraf phrenik biasanya dipertahankan. Berkurangnya
aliran darah ke serebral mendorong terjadinya penurunan kesadaran. Jika hipotensi ini tidak
di atasi, sirkulasi jantung akan berkurang seterusnya menyebabkan terjadi iskemik
miokardiak yang mencetuskan aritmia jantung dan akhirnya menyebakan henti jantung.
Pengobatan yang cepat sangat penting dalam mencegah terjadinya keadaan yang lebih serius,
termasuk pemberian cairan, vasopressor, dan pemberian oksigen bertekanan positif. Setelah
tingkat anestesi spinal berkurang, pasien akan kembali ke kedaaan normal seperti sebelum
operasi. Namun, tidak ada sequel yang permanen yang disebabkan oleh komplikasi ini jika
diatasi dengan pengobatan yang cepat dan tepat.
Komplikasi respirasi
1. Analisa gas darah cukup memuaskan pada blok spinal tinggi, bila fungsi paru-paru
normal.
2. Penderita PPOM atau COPD merupakan kontra indikasi untuk blok spinal tinggi.
3. Apnoe dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi atau karena hipotensi
berat dan iskemia medulla.
4. Kesulitan bicara,batuk kering yang persisten,sesak nafas,merupakan tanda-tanda tidak
adekuatnya pernafasan yang perlu segera ditangani dengan pernafasan buatan.
Komplikasi postoperative:

Komplikasi gastrointestinal
1. Nausea
dan
muntah
karena
hipotensi,hipoksia,tonus
parasimpatis
berlebihan,pemakaian obat narkotik,reflek karena traksi pada traktus gastrointestinal
serta komplikasi delayed,pusing kepala pasca pungsi lumbal merupakan nyeri kepala
dengan ciri khas terasa lebih berat pada perubahan posisi dari tidur ke posisi tegak.
Mulai terasa pada 24-48jam pasca pungsi lumbal,dengan kekerapan yang bervariasi.
Pada orang tua lebih jarang dan pada kehamilan meningkat.
2. Nyeri kepala
Komplikasi yang paling sering dikeluhkan oleh pasien adalah nyeri kepala. Nyeri
kepala ini bisa terjadi selepas anestesi spinal atau tusukan pada dural pada anestesi
epidural. Insiden terjadi komplikasi ini tergantung beberapa faktor seperti ukuran
jarum yang digunakan. Semakin besar ukuran jarum semakin besar resiko untuk
terjadi nyeri kepala. Selain itu, insidensi terjadi nyeri kepala juga adalah tinggi pada
wanita muda dan pasien yang dehidrasi. Nyeri kepala post suntikan biasanya muncul
dalam 6 48 jam selepas suntikan anestesi spinal. Nyeri kepala yang berdenyut
biasanya muncul di area oksipital dan menjalar ke retro orbital, dan sering disertai
dengan tanda meningismus, diplopia, mual, dan muntah.
Tanda yang paling signifikan nyeri kepala spinal adalah nyeri makin bertambah
bila pasien dipindahkan atau berubah posisi dari tiduran/supinasi ke posisi duduk, dan
akan berkurang atau hilang total bila pasien tiduran. Terapi konservatif dalam waktu
24 48 jam harus di coba terlebih dahulu seperti tirah baring, rehidrasi (secara cairan
oral atau intravena), analgesic, dan suport yang kencang pada abdomen. Tekanan pada
vena cava akan menyebabkan terjadi perbendungan dari plexus vena pelvik dan
epidural, seterusnya menghentikan kebocoran dari cairan serebrospinal dengan
meningkatkan tekanan extradural. Jika terapi konservatif tidak efektif, terapi yang
aktif seperti suntikan salin kedalam epidural untuk menghentikan kebocoran.
3. Nyeri punggung
Komplikasi yang kedua paling sering adalah nyeri punggung akibat dari tusukan
jarum yang menyebabkan trauma pada periosteal atau ruptur dari struktur ligament
dengan atau tanpa hematoma intraligamentous. Nyeri punggung akibat dari trauma
suntikan jarum dapat di obati secara simptomatik dan akan menghilang dalam
beberapa waktu yang singkat sahaja.
Komplikasi neurologik
Insidensi defisit neurologi berat dari anestesi spinal adalah rendah. Komplikasi neurologik
yang paling benign adalah meningitis aseptik. Sindrom ini muncul dalam waktu 24 jam
setelah anestesi spinal ditandai dengan demam, rigiditas nuchal dan fotofobia. Meningitis
aseptic hanya memerlukan pengobatan simptomatik dan biasanya akan menghilang dalam
beberapa hari.
Sindrom cauda equina muncul setelah regresi dari blok neuraxial. Sindrom ini mungkin
dapat menjadi permanen atau bisa regresi perlahan-lahan setelah beberapa minggu atau bulan.
Ia ditandai dengan defisit sensoris pada area perineal, inkontinensia urin dan fekal, dan
derajat yang bervariasi pada defisit motorik pada ekstremitas bawah.
Komplikasi neurologic yang paling serius adalah arachnoiditis adesif. Reaksi ini biasanya
terjadi beberapa minggu atau bulan setelah anestesi spinal dilakukan. Sindrom ini ditandai

oleh defisit sensoris dan kelemahan motorik pada tungkai yang progresif. Pada penyakit ini
terdapat reaksi proliferatif dari meninges dan vasokonstriksi dari vasculature korda spinal.
Iskemia dan infark korda spinal bisa terjadi akibat dari hipotensi arterial yang lama.
Penggunaan epinefrin didalam obat anestesi bisa mengurangi aliran darah ke korda spinal.
Kerusakan pada korda spinal atau saraf akibat trauma tusukan jarum pada spinal maupun
epidural, kateter epidural atau suntikan solution anestesi lokal intraneural adalah jarang, tapi
tetap berlaku.
Perdarahan subaraknoid yang terjadi akibat anestesi regional sangat jarang berlaku karena
ukuran yang kecil dari struktur vaskular mayor didalam ruang subaraknoid. Hanya pembuluh
darah radikular lateral merupakan pembuluh darah besar di area lumbar yang menyebar ke
ruang subaraknoid dari akar saraf. Sindrom spinal-arteri anterior akibat dari anesthesia
adalah jarang. Tanda utamanya adalah kelemahan motorik pada tungkai bawah karena
iskemia pada 2/3 anterior bawah korda spinal. Kehilangan sensoris biasanya tidak merata dan
adalah sekunder dari nekrosis iskemia pada akar posterior saraf dan bukannya akibat dari
kerusakan didalam korda itu sendiri. Terdapat tiga penyebab terjadinya sindrom spinalarteri : kekurangan bekalan darah ke arteri spinal anterior karena terjadi gangguan bekalan
darah dari arteri-arteri yang diganggu oleh operasi, kekurangan aliran darah dari arteri karena
hipotensi yang berlebihan, dan gangguan aliran darah sama ada dari kongesti vena mahu pun
obstruksi aliran.
Anestesi regional merupakan penyebab yang mungkin yang menyebabkan terjadinya
sindrom spinal-arteri anterior oleh beberapa faktor. Contohnya anestesi spinal menggunakan
obat anestesi lokal yang dicampurkan dengan epinefrin. Jadi kemungkinan epinefrin yang
menyebabkan vasokonstriksi pada arteri spinal anterior atau pembuluh darah yang
memberikan bekalan darah.
Hipotensi yang kadang timbul setelah anestesi regional dapat menyebabkan kekurangan
aliran darah. Infeksi dari spinal adalah sangat jarang kecuali dari penyebaran bacteria secara
hematogen yang berasal dari fokal infeksi ditempat lain. Jika anestesi spinal diberikan kepada
pasien yang mengalami bakteriemia, terdapat kemungkinan terjadi penyebaran ke bakteri ke
spinal. Oleh yang demikian, penggunaan anestesi spinal pada pasien dengan bakteremia
merupakan kontra indikasi relatif. Jika infeksi terjadi di dalam ruang subaraknoid, akan
menyebabkan araknoiditis. Tanda dan symptom yang paling prominen pada komplikasi ini
adalah nyeri punggung yang berat, nyeri lokal, demam, leukositosis, dan rigiditas nuchal.
Oleh itu, adalah tidak benar jika menggunakan anestesi regional pada pasien yang mengalami
infeksi kulit loka pada area lumbar atau yang menderita selulitis. Pengobatan bagi
komplikasi ini adalah dengan pemberian antibiotik dan drenase jika perlu.
Retentio urine / Disfungsi kandung kemih
Disfungsi kandung kemih dapat terjadi selepas anestesi umum maupun regional. Fungsi
kandung kencing merupakan bagian yang fungsinya kembali paling akhir pada analgesia
spinal, umumnya berlangsung selama 24 jam. Kerusakan saraf pemanen merupakan
komplikasi yang sangat jarang terjadi.
PREMEDIKASI ANESTESI SPINAL

Dengan kemajuan teknik anestesi saat ini, tujuan utama pemberian premedikasi tidak hanya
untuk mempermudah induksi ataupun mengurangi jumlah obat-obat yang digunakan namun
yang terpenting adalah mengurangi resiko morbiditas perioperatif sehingga akan
mempercepat proses pemulihan setelah anestesi dan pembedahan. Premedikasi adalah
tindakan awal anestesia dengan memberikan obat-obatan pendahuluan yang terdiri dari obatobat golongan antikholinergik, sedasi/trankuilizer, dan analgetik. Premedikasi dapat
menggunakan satu obat atau kombinasi dari beberapa obat. Pemilihan obat untuk premedikasi
tergantung tujuan dari premedikasi itu sendiri.
Tujuan pemberian premedikasi :
1. Menimbulkan rasa nyaman bagi pasien, yang meliputi bebas dari rasa
takut, cemas, bebas nyeri, dan mencegah mual-muntah. Kunjungan preanestesi dan
pemberian simpati serta sedikit pengertian dalam masalah yang dihadapi pasien
seringkali membantu pasien dalam mengatasi rasa sakit dan khawatir dalam
menghadapi operasi.
2. Memperlancar induksi anestesi; Pemberian obat sedasi dapat menurunkan aktifitas
mental sehingga imajinasi menjadi tumpul dan reaksi terhadap rangsangan berkurang.
Obat sedasi dan ansiolisis dapat membebaskan rasa takut dan kecemasan pasien.
3. Mengurangi sekresi kelenjar saliva dan bronkus ; Sekresi dapat terjadi selama
tindakan pembedahan dan anestesi, dapat dirangsang oleh suctioning atau
pemasangan pipa endotrakthea. Obat golongan antikholinergik seperti atropin dan
scopolamin dapat mengurangi sekresi saluran nafas.
4. Mengurangi kebutuhan/dosis obat anestesi; tujuan premedikasi untuk mengurangi
metabolisme basal sehingga induksi dan pemeliharaan anestesi menjadi lebih mudah
dan diperlukan obat-obatan lebih sedikit sehingga pasien akan sadar lebih cepat.
5. Mengurangi mual dan muntah paska operasi, tindakan pembedahan dan pemberian
obat opioid dapat merangsang terjadinya mual dan muntah, sehingga diperlukan
pemberian obat yang dapat menekan respon mual, muntah seperti golongan
antihistamine, kortikosteroid, agonis dopamine atau alpha-2 agonis.
6. Menimbulkan amnesia; obat golongan benzodiazepin banyak digunakan karena
efeknya di sistem saraf pusat pada sistem limbik dan ARAS sehingga mempunyai
efek sedasi, anti cemas dan menimbulkan amnesia anterograde.
7. Mengurangi isi cairan lambung dan meningkatkan PH asam lambung; puasa dan
kecemasan dapat meningkatkan sekresi asam lambung, hal ini akan sangat berbahaya
apabila terjadi aspirasi dari asam lambung yang dapat menyebabkan terjadinya
pneumonitis aspirasi atau sindrom mendelson, oleh karena itu pemberian obat yang

dapat mengurangi isi cairan lambung serta menurunkan PH lambung dapat


dipertimbangan pada pasien.
8. Mengurangi refleks yang tidak diinginkan; trauma pembedahan dapat menyebabkan
bagian tubuh bergerak, bila anestesi tidak adekuat sehingga pemberian obat analgesia
dapat ditambahkan sebelum pembedahan
PEMANTAUAN PASIEN PASCA ANESTESI SPINAL DIRUANG PEMULIHAN
Setelah selesai tindakan pembedahan, paseien harus dirawat sementara di ruang pulih
sadar (recovery room : RR) sampai kondisi pasien stabil, tidak mengalami komplikasi operasi
dan memenuhi syarat untuk dipindahkan ke ruang perawatan (bangsal perawatan).
PACU atau RR biasanya terletak berdekatan dengan ruang operasi. Hal ini disebabkan untuk
mempermudah akses bagi pasien untuk (1) perawat yang disiapkan dalam merawat pasca
operatif (perawat anastesi) (2) ahli anastesi dan ahli bedah (3) alat monitoring dan peralatan
khusus penunjang lainnya.
Alat monitoring yang terdapat di ruang ini digunakan untuk memberikan penilaian
terhadap kondisi pasien. Jenis peralatan yang ada diantaranya adalah alat bantu pernafasan :
oksigen, laringoskop, set trakheostomi, peralatan bronkhial, kateter nasal, ventilator mekanik
dan peralatan suction. Selain itu di ruang ini juga harus terdapat alat yang digunakan untuk
memantau status hemodinamika dan alat-alat untuk mengatasi permasalahan hemodinamika,
seperti : apparatus tekanan darah, peralatan parenteral, plasma ekspander, set intravena, set
pembuka jahitan, defibrilator, kateter vena, torniquet. Bahan-bahan balutan bedah, narkotika
dan medikasi kegawatdaruratan, set kateterisasi dan peralatan drainase.
Selain alat-alat tersebut diatas, pasien post operasi juga harus ditempatkan pada tempat
tidur khusus yang nyaman dan aman serta memudahkan akses bagi pasien, seperti :
pemindahan darurat. Dan dilengkapi dengan kelengkapan yang digunakan untuk
mempermudah perawatan. Seperti tiang infus, side rail, tempat tidur beroda, dan rak
penyimpanan catatan medis dan perawatan. Pasien tetap berada dalam PACU sampai pulih
sepenuhnya dari pegaruh anastesi, yaitu tekanan darah stabil, fungsi pernafasan adekuat,
saturasi oksigen minimal 95% dan tingkat kesadaran yang baik. Kriteria penilaian yang
digunakan untuk menentukan kesiapan pasien untuk dikeluarkan dari PACU adalah :
Fungsi pulmonal yang tidak terganggu
Hasil oksimetri nadi menunjukkan saturasi oksigen yang adekuat
Tanda-tanda vital stabil, termasuk tekanan darah
Orientasi pasien terhadap tempat, waktu dan orang
Haluaran urine tidak kurang dari 30 ml/jam
Mual dan muntah dalam kontrol
Nyeri minimal
Kamar pulih sadar merupakan perluasan kamar operasi, harus terbuka sepanjang hari dan
pengamatan secara intensif yang dilakukan didalamnya. Hal ini dapat diartikan karena pada
masa transisi tersebut kesadaran penderita belum pulih secara sempurna sehingga
kecenderungan terjadinya sumbatan jalan napas lebih besar dan ditambah lagi reflek

perlindungan seperti reflek batuk, muntah maupun menelan belum kembali normal,
kemungkinan terjadi aspirasi yang sangat di rasakan dimana pengaruh obat anestesi dan
trauma pasca operasi masih belum hilang dan masih mengancam status respirasi dan
kardiovaskuler penderita. Upaya pengamatan yang amat cermat terhadap tanda-tanda vital
penderita merupakan modal dasar yang amat ampuh dalam mencegah penyulit yang tidak
diinginkan.
SKOR BROMAGE
Bromage score merupakan salah satu indikator respon motorik pasca anestesi.
Bernilai 0 jika terdapat gerakan penuh tungkai
Bernilai 1 jika tak mampu ekstensi tungkai
Bernilai 2 jika tak mampu fleksi lutut
Bernilai 3 jika tak mampu fleksi pergelangan kaki
Jika nilai bromage score kurang dari sama dengan 2, pasien boleh pindah ke ruangan

BAB III
LAPORAN ANESTESI
A.PREOPERASI
1. Lembar imformed consent (+) : sebelum melakukan tindakan anestesi keluarga pasien
diberi tahun tentang cara dan resiko dari obat anestesi yang akan di masukkan ke
dalam tulang vertebra, baik keluarga dan pasien telah setuju.
2. Pasien puasa 6 jam sebelum dilakukan operasi

3. Terpasang RL 20 tetes/menit
4. ACC anestesi ASA II SAB
5. Persiapan obat dan alat anestesi

Bupivaciain 0,5%

Fentanyl 1 ampl = 50 mcq/ ml ( sedian 2 ml)

Jarum spinal no.25 G

Spuit 5 cc

Kanus nasal

Inhalasi 02 3 liter/ menit

Cairan masuk : HESS 500 ml


Keadaan umum : baik
Kesadaran : komposmentis
o Tanda vital : 102/56
o Nadi : 88
o Suhu : 36,7
o Respirasi : 22 x/menit
B.PREMEDIKASI
Injeksi ondansetron 8 mg
Injeksi ketorolac 30 mg
C.INRAOPERASI
Tanggal 21-06-2016
Induksi:fentanyl 20 mcq
Recain : 15 mg


Mulai anestesi 8:50
Lama anestesi 5 menit
Lama operasi 1 jam
1

Pasien masuk
Pemasangan manset dan pulse oximeter untuk memantau TD,N dan
SP02

Pasien posisi duduk dan membungkuk namun badan tegak


Menentukan tempat tusukan jarum
Mensterilkan tempat tusukan dengan alcohol dan betadin
Tusuk jika sudah tepat , tunggu sampai cairan LCS keluar dan fentanyl
+ recain di masukkan
Cabut jarum, tutup bekas suntikan dengan plester
Pasien ditidurkan kembali

Pemasangan kanul nasal 3 liter


Operasi SC dimulai
Monitoring TTV

Pukul 9;00 TD 102/51, nadi 88, spo2 100 %

Pukul 9:15 TD 120/70, nadi, 83,spo2 100 %

Pukul 9:30 TD 128/69, nasdi 74,spo2 100%

Pukul 9:45 TD 120/66, nadi 80,sp02 100%

Pukul 10.00 TD 128/80, nadi 87, spo2 100 %

Selama operasi masuk cairan asering 650 ml


Pukul 9:25 bayi lahir apgar skor 7/9 BB: 3990
Matergin 1 ampul dimasukkan IV dan oxytocin 1 amp masuk drip

Operasi selesai selama 1 jam


Kanul nasal dilepas
Manset dan pulse oximeter dilepas
Pasien dipindah keruang pemulihan
TD 128/82 ,nadi 88, spo2 100%

D.POSTOPERASI

Kesadaran : komposmentis

Tanda vital :
TD: 128/88 mmHg
Nadi : 88 x/menit
Spo2 : 100%

Induksi post spinal :

Pasien tidak puasa

Posisi tidur terlentang, dengan 2 bantal selama 24 jam

Pasang oksigen 3 lpm dengan canul

Program terapi: dexketopren 100 mg + granisetron 3 mg dicampur dalam larutan


tutufusin 500 ml

Cairan infus RL

Awasi keadaan umum dan TTV tiap 15 menit sampai stabil

Boleh langsung minum tapi sedikit apabila selama 2 jam tidak terjadi apa-apa boleh
minum biasa

BAB 1V
PEMBAHASAN
Pasien ini didiagnosis DKP, malposisi, G2P1A0 berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik.
Sebelum dilakukan operasi pasien diminta untuk puasa lebih dari 6 jam, dan menambahkan
cairan isotonic menggunakan RL. Untuk obat premedikasi menggunakan ondansetron 8 mg
dan ketorolac 30 mg, bertujuan untuk mencegah efek samping yang mungkin bisa terjadi.
Ondansetron termasuk obat 5-HT3 reseptor antagonis dengan menghambat aktivitas aferen
everen vagal sehingga menekan terjadi reflek muntah. Ketorolac termasuk anti nyeri , untuk
mengurangi rasa sakit derajat sedang .
Induksi menggunakan buvicane , merupaka obat anestesi local jenis amida yang masa
kerjanya panjang . obat ini mmembelokade yang bersifat reversible pada perambatan impuls
sepanjang serabut saraf dengan cara mencegah pergerakan ion-ion batrium melalui membrane
sel kedalam sel. Obat ini digunakan pada operasi perut sekitar 45 60 menit.

Adjuvant menggunakan fentanyl , merupakan obat narkotik (opioid). Dosis yang digunakan
20 mcq , moderate 2-20 mcq/kg, high 20-50 mcq. Dosis rendah untuk menghindari
respiratory depression.

DAFTAR PUSTAKA
1. Aboulesh EA. Pain control in obstetries, JB Lippincott Comp. PhilladelphiaToronto
2. Anaesthesiologist, Amsterdam: 1980;
3. anesthesia. Am J Obstet Gynecol
4. Hodgkinson R, Bhatt M, Kim SS, Grewel G, Marx GH. Neonatal
5. Holmes HI, Jouppila R, Koivesto M, Maata L, Pihlajaniemi R, Puuka M
6. neurobehavioral test following cesarean section under general and spinal
7. administration. Anesth Anal 1979;58 : 360.

8. Bonnardat JP, Mallet M, Calau JC, Millot F, Deligue. Maternal and fetal
concentration of morphine after intrathecal administration during labour. Br J
Anaesth 1982; 54 : 487.
9. Corke BC, Datta S, Ostheimer GW, Weiss JB, Alper MH. Spinal anaesthesia
for caesarion section. Anaesth. 1982; 37 : 658.
10. Datta S, Alper MH, Ostheimer GW, Brown WU, Weiss JB. Effect of maternal
position on epidural anesthesia for cesarion section, acid-base status, and
bupicaine consentrations at delivery. Anesthesiology 1979;50 : 205.
11. Moya F, Smith B. Clinical anesthesia for cesarean section; clinical and
biochemical studies of effect on maternal physiology. JAMA 1962; 179 : 609.
12. Wollmann SB, Marx GF. Acute hydration for preventing of hypotension of
spinal analgesia in parturients. Anesthesiology, 1968; 29 : 374.
13. Mendiola J, Grylock LI, Scanlon JW. Effect of intrapartum maternal glucose
infusion on the normal fetus and new born. Anesth Analg 1982; 61 : 32.
14. Mathru M, Rao TLK, Kartha RK, Shanmaghan M. Jacobs HK. Intravenous
albumin administraion for prevention of spinal hypotension during cesarean
section. Anesth Analg 1980; 59 : 655.
15. Kenepp NB, Shelley WC, Kumar S. Dextrose hydration in cesarean section
patients. Anesthesiology 1980; 53 : S304.
16. Bulky RJ, Downing JW, Brock-Utne JG, Cuerden C. Right versus left lateral
tilt for cesarian section. Br J Anaesth 1977; 49 : 1009.
17. Clark RB, Thomson DS, Thomson CH. Prevention of spinal hypotension
associated with cesarion section. Anesthesiology 1976;45 : 670..

Anda mungkin juga menyukai