Anda di halaman 1dari 18

1

Hukum Agraria - Heru Kuswanto,SH,M.Hum


Fakultas Hukum Univ. Narotama Surabaya

PEMBEBASAN, PENCABUTAN, KONFISKASI TANAH


PENPRES NO 36/2005/ & PENPRES NO 65/2006
Pembebasan hak Tanah adalah suatu tindakan/perbuatan hukum
untuk
memutus hubungan subyek hak atas tanah dengan obyek hak atas
tanah.
Pembebasan hak atas tanah ada 3 kepentingan yaitu :
1. Untuk kepentingan umum.
2. Untuk kepentingan swasta.
3. Untuk pemerintah pembebasan oleh pihak swasta.
Pembebasan hak atas tanah ialah penyerahan secara sukarela hak
atas
tanah berdasar atas musyawarah kepada pihak pemohon dengan
menyertakan
ganti rugi (RG) yang telah disepakati, apabila masalah ganti rugi
tidak disepakati
maka tidak ada konsensus dampaknya pembebasan hak atas tanah
tidak akan
tercapai, lain lagi halnya apabila pembebasan hak atas tanah tersebut
untuk
kepentingan umum apabila pemohon sulit sekali untuk mendapatkan
tanah dan
jalan musyawarah tidak tercapai, maka pemohon dapat mengajukan
proses
pencabutan hak atas tanah ke Presiden.

Langkah-langkah yang harus ditempuh untuk pembebasan hak atas


tanah
adalah sebagai berikut :
1. Pemohon menanyakan ke Pemda mengenai status tanah tersebut
(Pemukiman
atau yang lain)
2. Mengadakan aprouch/pendekatan kepada pemilik tanah.
3. Minta rekomendasi Gubernur tentang konsep BRPMD.
2
Hukum Agraria - Heru Kuswanto,SH,M.Hum
Fakultas Hukum Univ. Narotama Surabaya

4. Setelah ijin keluar mengajukan rekomendasi untuk pembebasan


tanah ke
agraria.
Dalam hal pembebasan hak atas tanah obyek tanah yang diberi ganti
rugi
adalah sebagai berikut :
1. Tanah.
2. Bangunan.
3. Tanaman yang ada diatasnya (Pasal 5 ayat 1 UU 20/1961).
Dan hal-hal yang diperlukan dalam ganti rugi adalah sebagai berikut
:
1. Harus dilaksanakan secara tunai.
2. Harus dibayarkan kepada yang berhak yaitu subyek hak atas
tanah.
Pembebasan Hak Atas Tanah
Dalam melaksanakan pembangunan sebagaimana telah digariskan
dalam
GBHN, Tap MPR No IV/MPRS 1973 dipandang perlu adanya
bantuan fasilitas
dari pemerintah yang berbentuk
jasa dalam pembebasan tanah bagi swasta

akan tetapi pemberian jasa tersebut bertujuan untuk kepentingan


umum dan
fasilitas sosial.
Didalam kebijakan pengadaan tanah harus memperhatikan segi
ekonomi
yuridis, psikologis guna arah tujuan tersebut tercapai.
Dalam hal pembebasan tanah ada perbedaan yang menyolok dengan
pencabutan hak atas tanah (UU No 20 / 61).
3
Hukum Agraria - Heru Kuswanto,SH,M.Hum
Fakultas Hukum Univ. Narotama Surabaya

Pembebasan tanah itu berarti melepas hubungan hukum yang semua


terdapat diantara pemegang hak atau penguasaan tanah dengan cara
memberi
ganti rugi.
Pembebasan tanah itu ada tiga macam :
1. Pembebasan tanah untuk keperluan pemerintah.
2. Pembebasan tanah untuk kepentingan swasta.
2. pembebasan tanah oleh swasta tetapi untuk kepentingan umum
dan sosial.
Masalah pembebasan hak atas tanah, pencabutan hak atas tanah,
penyediaan untuk keperluan perusahaan !
Ad.
Dasar prinsipnya pembebasan tanah itu harus ada musyawarah dan
persetujuan calon pembeli, pemilik, panitia pengurus
tanah/pemerintah.
Tata cara pembebasan tanah pada zaman Hindia Belanda diatur
staablaad
11372 dan 12746. Pemerintah materi dalam negeri No 15/1975.
Pemerintah menteri dalam negeri No 2/1976. pembebasan tanah
oleh
swasta tapi kepentingan pemerintah.
Tugas pokok panitia pembebasan tanah UU No 15/1975 ialah :

1. Mengadakan inventarisasi serta penelitian terhadap tanah,


bangunan dan
tanaman.
2. Perundingan dengan pemegang hak atas tanah.
3. Menaksir ganti rugi.
4. Membuat berita acara pembebasan tanah.
5. Melaksanakan ganti rugi (Saksi)

Makalah Bani
Kamis, 07 Mei 2009
Pencabutan Hak (Pertanahan)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pemilikan tanah diawali dengan munduduki suatu wilayah yang oleh masyarakat Adat
disebut sebagai tanah komunal (milik bersama). Khususnya di wilayah pedesan di luar Jawa,
tanah ini diakui oleh hukum Adat tak tertulis baik berdasarkan hubungan keturunan maupun
wilayah. Seiring dengan perubahan pola sosial ekonomi dalam setiap masyarakat, tanah milik
bersama masyarakat Adat ini secara bertahap dikuasai oleh anggota masyarakat melalui
penggarapan yang bergiliran. Sistem pemilikan individual kemudian mulai dikenal di dalam
sistem pemilikan komunal.
Tanah merupakan sarana yang sangat vital dalam menyelenggarakan pembangunan untuk
kepentingan umum. Karena itu, pemerintah telah menetapkan kebijakan pengadaan tanah bagi
pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. Kebijakan pengadaan tanah tersebut
mengutamakan melalui tata cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah. Apabila tata cara ini
tidak membawa hasil, sedangkan proyek pembangunan harus dilakukan pada tanah yang
bersangkutan, maka pemerintah dalam keadaan memaksa mengambil langkah kebijakan melalui
tata cara pencabutan hak atas tanah.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan rumusan masalah di atas muncul masalah-masalah sebagai berikut:
a. Apa yang di maksud dengan pencabutan hak ?
b. Apa dasar hukum pencabutan hak ?
c. Siapa instansi yang berwenang untuk melakukan pencabutan hak ?
d. Bagaimana ganti rugi pencabutan hak ?
C. Tujuan Penulisan

Makalah ini di tulis dengan tujuan untuk mengetahui tentang pencabutan hak:
a. Pengertian pencabutan hak
b. Dasar hukum pencabutan hak
c. Instansi yang berwenang untuk pencabutan hak
d. Ganti rugi pencabutan hak

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pencabutan Hak
Pencabutan hak atas tanah ini adalah sebagai tindak lanjut dalam hal usaha pemerintah
untuk memperoleh tanah dari rakyat melalui pembebasan tanah (musyawarah) tidak berhasil.
Pencabutan hak adalah suatu perbuatan hukum yang bersifat sebelah pihak, dilakukan oleh
pemerintah dalam lapangan agrarian, ditujukan kepada pemegang hak berdasarkan kekuasaan
yang khusus. Dalam hal ini yakni penguasa yang berwenang (presiden).
Pencabutan hak menurut UUPA adalah pengambilan tanah kepunyaan sesuatu pihak oleh
Negara secara paksa, yang mengakibatkan hak atas tanah itu menjadi hapus, tanpa yang
bersangkutan melakukan sesuatu pelanggaran atau lalai dalam memenuhi sesuatu kewajiban
hukum.
Kebijakan pemerintah tersebut dimaksudkan untuk menghormati hak-hak atas tanah dan
memberikan perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah yang bersangkutan.
Syarat-syarat pencabutan hak:
1.

Dilakukan untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta
kepentingan bersama dari rakyat, dan kepentingan pembangunan.

2. Memberi ganti rugi yang layak kepada pemegang hak.


3. Dilakukan menurut cara yang di atur oleh undang-undang.
4.

Pemindahan hak menurut cara biasa tidak mungkin lagi dilakukan (misalnya jual-beli atau
pembebasan hak).

5. Tidak mungkin memperoleh tanah di tempat lain untuk keperluan tersebut.


Sesuai dengan ketentuan, bahwa pencabutan hak hanya dilakukan untuk kepentingan
umum dan hanya dalam keadaan yang memaksa sebagai jalan yang terakhir, maka walaupun
acara pencabutan hak sudah dimulai, bahkan sudah ada surat keputusan pencabutan haknya
sekalipun jika kemudian dapat dicapai persetujuan dengan cara jual-beli, tukar-menukar atau
pembebasan hak, cara itulah yang akhirnya harus ditempuh.
Sehubungan dengan itu ditentukan pula, bahwa jika telah dilakukan pencabutan hak tetapi
ternyata, bahwa tanah dan/atau benda-benda yang bersangkutan tidak dipergunakan sesuai

dengan rencana semula yang mengharuskan dilakukannya pencabutan hak itu, maka para bekas
pemiliknya diberi prioritas utama untuk mendapatkannya kembali.
B. Dasar Hukum Pencabutan Hak
1. Pasal 18 UUPA No. 5/1960 tentang pokok-pokok agrarian
Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan
bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang
layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang.
2. Instruksi Presiden No. 9/1973 tentang pedoman-pedoman pelaksanaan pencabutan hak-hak atas
tanah dan benda-benda yang ada diatasnya
Pasal 1
(1) Suatu kegiatan dalam rangka pelaksanaan Pembangunan mempunyai sifat kepentingan umum,
apabila kegiatan tersebut menyangkut :
a. Kepentingan Bangsa dan Negara, dan/atau
b. Kepentingan masyarakat luas, dan/atau
c. Kepentingan rakyat banyak/bersama, dan/atau
d. Kepentingan Pembangunan
(2) Bentuk-bentuk kegiatan Pembangunan yang mempunyai sifat kepentingan umum sebagai
dimaksud dalam ayat (1) pasal ini meliputi bidang bidang :
a. Pertahanan;
b. Pekerjaan Umum;
c. Perlengkapan Umum;
d. Jasa Umum;
e. Keagamaan;
f. Ilmu Pengetahuan dan Seni Budaya;
g. Kesehatan;
h. Olahraga;
i. Keselamatan Umum terhadap bencana alam;
j. Kesejahteraan Sosial;

k. Makam/Kuburan;
l. Pariwisata dan Rekreasi
m. Usaha-usaha ekonomi yang bermanfaat bagi kesejahteraan umum
3. PP No.39/1973 tentang Acara penetapan ganti rugi oleh Pengadilan Tinggi sehubungan dengan
pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya
4.

Keppres No.55/1993 tentang Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk


kepentingan umum

C. Instansi yang Berwenang


Yang berwenang melakukan pencabutan hak adalah presiden, sebagai pejabat eksekutif
yang tertinggi, setelah mendengar menteri dalam negeri, menteri kehakiman dan menteri yang
bersangkutan, yaitu menteri yang bidang tugasnya meliputi usaha yang meminta dilakukannya
pencabutan hak itu.
Menteri dalam negeri memberi pertimbangan dari segi agrarian dan politik, menteri
kehakiman dari segi hukumnya, sedang menteri yang bersangkutan mengenai fungsi daripada
usaha yang meminta dilakukannya pencabutan hak itu dalam masyarakat dan apakah tanah
dan/atau benda yang diminta itu benar-benar diperlukan secara mutlak dan tidak dapat diperoleh
di tempat lain.
Presidenlah satu-satunya instansi yang oleh undang-undang diberi wewenang untuk
mempertimbangkan dan memutuskan apakah benar kepentingan umum mengharuskan
dilakukannya pencabutan hak itu. Mengenai perlunya dilakukan pencabutan hak atas tanah
dan/atau benda-benda tertentu keputusam presiden yang bersangkutan tidak dapat diganggugugat di muka pengadilan.
Inpres No. 9/1973 Pasal 1:
(3) Presiden dapat menentukan bentuk-bentuk kegiatan pembangunan lainnya kecuali sebagai
dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, yang menurut pertimbangannya perlu bagi kepentingan
umum.
D. Ganti Rugi

Mengenai tujuan dari pencabutan hak ini adalah untuk memperoleh tanah dari rakyat
secara paksa, karena melalui musyawarah telah mengalami jalan buntu. Jadi, pencabutan hak ini
dilakukan dalam keadaan yang memaksa, setelah usaha-usaha damai dilakukan tetapi semuanya
mengalami jalan buntu. Dalam melaksanakan pencabutan hak ini adalah sebuah panitia
penaksiran yang berfungsi untuk melakukan penaksiran tentang berapa besarnya ganti kerugian
atas tanah dan atau benda-benda yang haknya akan dicabut itu.
Hal ini senada dengan Inpres No. 9/1973:
Pasal 5
(1) Panitai Penaksir sebagai dimaksud dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 20 tahun 1961
(Lembaran Negara tahun 1961 Nomor 288) dalam menerapkan besarnya ganti rugi atas
tanah/bangunan/tanaman yang berada di atasnya harus menaksir secara obyektif dengan tidak
merugikan kedua belah pihak dan dengan menggunakan norma-norma serta memperhatikan
harga-harga penjualan tanah/bangunan/tanaman di sekitanrnya dalam tahun yang sedang
berjalan.
(2) Dalam menggunakan norma-norma sebagai dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, Panitia Penaksir
harus tetap memperhatikan pedoman-pedoman yang ada dan yang lazim dipergunakan dalam
mengadakan penaksiran harga/ganti rugi atas tanah/bangunan yang berlaku dalam daerah yang
bersangkutan.

Pasal 6
(1) Pembayaran ganti-rugi kepada orang-orang yang hak atas tanahnya dicabut, oleh yang
berkepentingan harus dilakukan secara tunai dan dibayarkan langsung kepada yang berhak.
(2) Rencana penampungan orang-orang yang hak atas tanahnya dicabut sebagai dimaksud dalam
pasal 2 ayat (2) huruf c, Undang-Undang No. 20 tahun 1962 (Lampiran Negara Tahun 19.60 No.
tahub 1962 (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 288), oleh yang berkepentingan harus
diusahakan sedemikian rupa agar mereka yang dipindahkan itu tetap dapat menjalankan kegiatan
usahanya/mencari nafkah kehidupan yang layak seperti semula.

Aspek yang paling penting dalam tata cara pengadaan tanah bagi pelaksanaan
pembangunan untuk kepentingan umum adalah berkaitan dengan kriteria kepentingan umum dan
penetapan ganti rugi. Kriteria kepentingan umum yang ditetapkan berdasarkan peraturan
perundang-undangan tidak konsisten dan tidak selaras, sehingga menimbulkan kerancuan dan
ketidak jelasan pengertian.
Demikian halnya dengan dasar penetapan ganti rugi yang layak. Meskipun telah ada
kemajuan pengertian dan tata cara ganti rugi berdasarkan kebijakan pemerintah terkini, namun
dengan ditentukannya kebijakan penetapan ganti rugi oleh Panitia Pengadaan Tanah dan
dikonsinyasikan ke Pengadilan Negeri karena kegagalan proses musyawarah, terkesan
pemerintah melakukan tindakan sepihak. Padahal masih ada upaya hukum bagi pemegang hak
atas tanah dan juga bagi Pemerintah atau Pemerintah daerah untuk menetapkan ganti rugi dalam
pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum.
Jika ganti rugi tidak sesuai, maka menurut ketentuan Pasal 8, ia dapat meminta banding
kepada Pengadilan Tinggi, yang daerah kekuasaannya meliputi tempat letak/benda yang dicabut
haknya itu. Untuk mengadili permintaan tersebut telah dikeluarkan PP No.39/1973.
Pengadilan Tinggi akan memutus perkara tersebut dalam tingkat pertama dan terakhir.
Sengketa mengenai bentuk dan dasarnya ganti kerugian itu dan sengketa-sengketa lainnya
tidak menunda jalannya pencabutan hak dan penguasaan tanah dan/atau benda-benda yang
bersangkutan.
Asal sudah ada keputusan pencabutan hak dari presiden dang anti kerugiannya sudah pula
disediakan, maka tanah dan/atau benda-benda itu sudah dapat dikuasai tanpa perlu menunggu
diberikannya kepuusan oleh pengadilan yang bersangkutan.
Yang dimaksud dengan sengketa-sengketa lainnya itu misalnya sengketa mengenai siapa
yang sebenarnya berhak atas tanah dan/ata benda-benda yang haknya dicabut itu. Sengketa
mengenai soal itu termasu kompetisi pengadilan negeri.
Setelah ditetapkan surt keputusan pencabutan haknya oleh presiden dan diselesaikan
pembayaran ganti kerugiannya kepada yang berhak, maka hapuslah hak milik atas tanah dan/atau
benda-benda yang bersangkutan. Sejak itu tanahnya menjadi tanah Negara.
Atas permohonan yang meminta pencabutan hak itu, Negara dapat memberikan hak baru
sesuai dengan subjek yang baru dan penggunaan tanah itu. Mungkin hak guna usaha, hak pakai,
atau hak pengelolaan. Kalau subjeknya sesuai boleh diberikan hak milik.

Untuk itu tidak dipungut uang pemasukan, tetapi cukup dibayar uang biaya administrasi
yang tidak seberapa jumlahnya.
Hapusnya hak atas tanah tersebut dicatat oleh kepala KPT dalam buku tanah dan
sertifikatnya menurut ketentuan Pasal 29 PP No. 10/1961.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.

Pencabutan hak adalah suatu perbuatan hukum yang bersifat sebelah pihak, dilakukan oleh
pemerintah dalam lapangan agrarian, ditujukan kepada pemegang hak berdasarkan kekuasaan
yang khusus. Dalam hal ini yakni penguasa yang berwenang (presiden).

2. Dasar hukum
o Pasal 18 UUPA No. 5/1960 tentang pokok-pokok agrarian
o Instruksi Presiden No. 9/1973 tentang pedoman-pedoman pelaksanaan pencabutan hak-hak atas
tanah dan benda-benda yang ada diatasnya
o PP No.39/1973 tentang Acara penetapan ganti rugi oleh Pengadilan Tinggi sehubungan dengan
pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya
o Keppres No.55/1993 tentang Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan
umum
3.

Yang berwenang melakukan pencabutan hak adalah presiden, sebagai pejabat eksekutif yang
tertinggi, setelah mendengar menteri dalam negeri, menteri kehakiman dan menteri yang
bersangkutan, yaitu menteri yang bidang tugasnya meliputi usaha yang meminta dilakukannya
pencabutan hak itu.

4. Dalam melaksanakan pencabutan hak ini adalah sebuah panitia penaksiran yang berfungsi untuk
melakukan penaksiran tentang berapa besarnya ganti kerugian atas tanah dan atau benda-benda
yang haknya akan dicabut itu.

DAFTAR PUSTAKA
INPRES_9_1973
Harsono, Budi. 2003. Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria
Isi dan Pelaksanaannya, Cet-9. Jakarta: Djambatan.
Perangin-angin, Effendi. 1991. Hukum Agraria di Indonesia: Suatu Telaah dari Sudut Pandang Praktisi
hukum, Cet-3. Jakarta: Rajawali.
Mustafa, Bachsan. 1988. Hukum Agraria dalam Perspektif, Cet-3. Bandung: Remadja Karya.
http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0506/11/opini/1806807.htm
http://tanahkoe.tripod.com/bhumiku/id3.html
http://adln.lib.unair.ac.id/go.php?id

Dari Pengadaan Tanah ke Pencabutan Hak Atas Tanah untuk Kepentingan Umum
OPINI | 24 December 2011 | 15:33

Dibaca: 1236

Komentar: 1

Tidak selamanya kepentingan pejabat pengadaan tanah untuk kepentingan umum, akan
terealisasi. Mekanisme pengadaan tanah untuk kepentingan umum bisa saja tidak berjalan lancar
sebagaimana yang diharapkan. Karena pemegang hak atas tanah menolak tawaran ganti rugi dari
Panitia Pengadaan tanah. Jalan musyawarah telah dilakukan berkali-kali, namun pihak pemegang
hak atas tanah belum mencapai kata sepakat.
Sebagai alternatif terakhir, setelah jalan musyawarah oleh Panitia Pengadaan Tanah gagal.
Pemerintah (Gubernur/ Bupati/ Walikota) dapat mengajukan usulan dengan pencabutan hak-hak
atas tanah (vide: Pasal 18 Perpres Nomor 36 Tahun 2005).
Dalam Pasal 10 ayat 2 Perpres Nomor 65 Tahun 2006 panitia pengadaan tanah dapat melakukan
penitipan ganti rugi di Pengadilan Negeri jika Pemegang Hak Atas Tanah tidak sepakat dengan
jumlah ganti rugi yang telah dilaksanakan melalui musyawarah. Sebaiknya, pemberian ganti rugi
melalui penitipan di Pengadilan Negeri tersebut, dihindari.
Keberadaan lembaga penitipan merupakan kesalahan penerapan konsep dan pemaksaan
kehendak secara sepihak. Walaupun dalam Perpres Nomor 65 Tahun 2005 tidak mencantumkan
prinsip-prinsip pengadaan hak atas tanah, tindakan tersebut jelas bertentangan dengan asas
kesepakatan dan asas keadilan.
Penerapan Pasal 1404 BW adalah keliru, untuk kasus ganti rugi dalam rangka pengadaan tanah.
Pengadaan tanah bukan merupakan perbuatan hukum pemerintah untuk memperoleh tanah.
Bukan hubungan keperdataan anatara para pihak. Beda halnya dengan hubungan utang piutang
yang diatur dalam Pasal 1404 BW.
Alasan yang lain. Adalah tidak mungkin setelah jalan musyawarah, dianggap sudah final dan
ganti rugi dapat dititipkan di PN. Karena masih ada kesempatan bagi Pemegang Hak Atas Tanah
untuk mengajukan keberatan melalui Pasal 17 Perpes Nomor 36 Tahun 2005.
Putusan MA Nomor 135/ K/ SIP/ 1989 berkenaan dengan Kasus Proyek PLTA Mrica
(Banjarnegara), sebagai landasan. Dapat melakukan penitipan ganti kerugian di PN. Jelas keliru,
apalagi putusan tersebut masih sarat dengan kepentingan orde baru. Dengan mengacu pada
Permendagri Nomor 15 Tahun 1975. Bukankah dalam suasana pemerintahan Orde Baru lebih
mementingkan pertumbuhan ekonomi ketimbang pencapaian keadilan sosial. Terlebih negara
kita bukan menganut stare decisis, jadi apa salahnya tidak mengikuti putusan yang cenderung
diskriminatif. Mengabaikan prinsip persamaan hak (equity).

Jalan yang tepat/ sesuai dengan mekanisme hukum. Mengapa tidak digunakan mekanisme
pencabutan hak atas tanah. Jika mekanisme musyawarah untuk pengadaan tanah. Belum dicapai
kesepakatan oleh pemegang hak atas tanah.
Dimisalkan, pemegang kuasa hak atas tanah menolak ganti rugi Panitia Pengadaan Tanah. Ia
dapat mengajukan keberatan atas ganti rugi kepada Gubernur/ Bupati/ Walikota, berdasarkan
ketentuan Pasal 17 Perpres Nomor 36 Tahun 2005.
Gubernur/ Bupati/ Walikota mengeluarkan keputusan panitia pengadaan tanah mengenai bentuk
dan/ atau besarnya ganti rugi yang akan diberikan. Lalu pemegang kuasa hak atas tanah tetap
menolak bentuk dan jumlah ganti rugi tersebut. Gubernur/ Bupati/ Walikota atau Menteri Dalam
Negeri dapat mengajukan usul penyelesaian dengan cara pencabutan hak atas tanah berdasarkan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda
yang Ada di Atasnya.
Pencabutan hak atas tanah tersebut. Bukanlah perbuatan sewenang-wenang. Karena keberadaan
lembaga pencabutan hak atas tanah didasarkan pada amanat Pasal 18 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria. Merupakan upaya terakhir yang ditempuh
dalam keadaan bersifat memaksa (kepentingan umum, lokasi tidak mungkin dipindahkan
sedangkan upaya untuk mencapai kesepakatan telah gagal). Penggunaan pencabutan hak atas
tanah tetap bersifat selektif dan hanya dapat diputuskan oleh Presiden (vide: Pasal 18 ayat 4
Perpres Nomor 36 Tahun 2005).
Bila sampai dengan terbitnya Kepres tentang persetujuan pencabutan hak atas tanah. Pemegang
Hak Atas Tanah tetap berkeberatan dengan jumlah ganti kerugian sesuai dengan yang ditetapkan
dalam Kepres tersebut. Masih terbuka kesempatan bagi Pemegang Hak Atas Tanah untuk
melakukan banding. Melalui Pengadilan Tinggi, dengan alasan menolak ganti rugi atas
pencabutan hak-haknya. Sebagaiman diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1973
tentang Acara Penetapan Ganti Kerugian oleh Pengadilan Tinggi.
Hemat penulis, apa dikemukakan oleh Maria S.W Sumardjono (2008: 277) dalam bukunya
Tanah dalam Perspektif Hak, Ekonomi, Sosial dan Budaya bahwa tanah sudah bisa dikuasai
oleh pihak yang memerlukan tanah jika telah keluar Kepres atas pencabutan kuasa atas tanah dari
Presiden. Belum terlalu tepat. Bagaimana mungkin pihak yang memerlukan tanah untuk
kepentingan umum sudah dapat menguasai. Padahal masih tersedia bagi pemegang hak atas
tanah. Waktu untuk mengajukan banding ke PT.
Tanah tersebut baru dapat dikuasai. Jika Putusan Pengadilan Tinggi (sebagai pengadilan yang
bersifat final/ tidak bisa kasasi lagi) tersebut telah berakhir/ berkekuatan hukum tetap. Dan
dimenangkan pihak yang berkepentingan atas pengadaan tanah untuk kepentingan umum.

Pendapat Maria S.W Sumardjono ada saja benarnya. Kecuali, pemegang hak atas tanah tidak
mengajukan banding (bersikap pasif), berarti dianggap ia telah menerima Keputusan Presiden
atas pencabutan hak-haknya.
Dalam batas waktu yang ditentukan (masalah ini juga belum diatur dalam Perpres, mengenai
batas waku mengajukan banding ke PT, jika pemegang hak atas tanah menolak ganti rugi melaui
keputuan pencabutan hak tanahnya dari Presiden), jika tidak ada banding ke PT. Misalnya 14
hari. Pihak yang berkepentingan untuk pengadaan tanah. Sudah dapat menguasai dan melakukan
kegiatan fisik pembangunannya.

Diposkan oleh makalah bani di 09.14


Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Tidak ada komentar:
Poskan Komentar
Beranda
Langganan: Poskan Komentar (Atom)

Arsip Blog

2009 (1)
o Mei (1)

Pencabutan Hak (Pertanahan)

Mengenai Saya

makalah bani
Lihat profil lengkapku
Template Picture Window. Diberdayakan oleh Blogger.
ClearThink Ads

Trust Rating
Not Yet Rated
makalahbani.blogspot.com
ClearThink Ads
ClearThink Ads

Anda mungkin juga menyukai