REFERAT
ABSES PERITONSILAR
PEMBIMBING:
dr. M. Roikhan Harowi, Sp.THT-KL, M.Kes.
Disusun Oleh:
Dylan Darient Jayanegara 030.12.088
BAB I
PENDAHULUAN
A. Landasan Teori
Abses peritonsiler dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun
paling sering terjadi pada umur 20-40 tahun. Pada anak-anak jarang terjadi
kecuali pada mereka yang menurun sistem immunnya, tapi infeksi bisa
menyebabkan obstruksi jalan napas yang signifikan pada anak-anak.
Infeksi ini memiliki proporsi yangsama antara laki-laki dan perempuan.
Bukti menunjukkan bahwa tonsilitis kronik atau percobaan multipel
penggunaan antibiotik oral untuk tonsilitis akut merupakan predisposisi
pada orang untuk berkembangnya abses peritonsiler. Di Amerika insiden
tersebut kadang-kadang berkisar 30 kasus per 100.000 orang per tahun,
dipertimbangkan hampir 45.000 kasus setiap tahun.4
Abses peritonsiler adalah penyakit infeksi yang paling sering
terjadi pada bagian kepala dan leher. Gabungan dari bakteri aerobic dan
anaerobic di daerah peritonsilar. Tempat yang bisa berpotensi terjadinya
abses adalah adalah didaerah pillar tonsil anteroposterior, fossa piriform
inferior, dan palatum superior.3
Abses peritonsil terbentuk oleh karena penyebaran organisme
bakteri penginfeksi tenggorokan kesalahsatu ruangan aereolar yang
longgar disekitar faring menyebabkan pembentukan abses, dimana infeksi
telah menembus kapsul tonsil tetapi tetap dalam batas otot konstriktor
faring.5
B. Tujuan penulisan
Untuk mengetahui lebih lanjut tentang Abses peritonsiler terutama dalam
penatalaksanaannya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Peritonsillar abscess (PTA) merupakan kumpulan / timbunan
(accumulation) nanah (pus) yang terlokalisir / terbatas (localized) pada
jaringan peritonsillar yang terbentuk sebagai hasil dari suppurative
tonsillitis.4
tonsilitis. Biasanya unilateral dan lebih sering pada anak-anak yang lebih
tua dan dewasa muda.2
Abses peritonsiler disebabkan oleh organisme yang bersifat aerob
maupunyang bersifat anaerob. Organisme aerob yang paling sering
menyebabkan abses peritonsiler adalah Streptococcus pyogenes (Group A
Beta-hemolitik streptoccus), Staphylococcus aureus, dan Haemophilus
influenzae.
Sedangkan
Fusobacterium.
organism
Prevotella,
anaerob
Porphyromonas,
yang
berperan
Fusobacterium,
adalah
dan
pertama
menjadi
peritonsillitis
dan
kemudian
terjadi
awal,
infeksi
terus-menerus
pada
tonsillitis
menyebabkan
mengeluarkan
mediator-mediator
pro
inflamasi
yang
akan
superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh
karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering
menempati daerah ini, sehingga tampak palatum mole membengkak.
Abses peritonsil juga dapat terbentuk di bagian inferior, namun jarang.
Pada stadium permulaan, (stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak
juga permukaan yang hiperemis.
Bila proses berlanjut, daerah tersebut lebih lunak dan berwarna
kekuning-kuningan. Tonsil terdorong ke tengah, depan, dan bawah, uvula
bengkak dan terdorong ke sisi kontra lateral. Bila proses terus berlanjut,
peradangan jaringan di sekitarnya akan menyebabkan iritasi pada
m.pterigoid interna, sehingga timbul trismus. Trismus menyebabkan
pasien sulit berbicara dan menimbulkan fenomena hot potato voice. Fosa
tonsilaris yang kaya akan jaringan pembuluh limfa yang terhubung dengan
parafaring dan servikal akan menyebabkan limfadenopati ipsilateral di
daerah tersebut yang menyebabkan nyeri pada daerah leher dan
menghambat pergerakan leher.
Abses dapat pecah spontan, sehingga dapat terjadi aspirasi ke paru.
Abses juga dapat terus menyebar sampai ke bagian cervical dan bahkan
sampai ke mediastinum dan menyebabkan mediastinitis. Selain itu, PTA
terbukti dapat timbul de novo tanpa ada riwayat tonsillitis kronis atau
berulang (recurrent) sebelumnya. Hal ini mungkin dapat dijelaskan dengan
hipotesis infeksi dan nekrosis dari kelenjar weber yang menjadi fokal
infeksi pada PTA. PTA dapat juga merupakan suatu gambaran
(presentation) dari infeksi virus Epstein-Barr.4
D. Gejala klinis
Gejala klasik dimulai 3-5 hari waktu dari onset gejala sampai
terjadinya abses sekitar 2-8 hari. Penderita biasanya mengalami keluhan
odinofagia (nyeri menelan) yang hebat sehingga sulit dilakukan
pemeriksaan karena sulit membuka mulut dan juga bias terjadi dehidrasi,
muntah (regurgitasi), mulut berbau (foeter ex ore), hot potato voice
banyak ludah (hipersalivasi), suara sengau (rinolalia) dan sukar membuka
mulut (trismus), sakit kepala, rasa lemah, demam, serta pembengkakan
Kemudian
dapat
terjadi
penjalaran
ke
mediastinum
menimbulkan mediastinitis.
3. Bila terjadi penjalaran ke daerah intracranial, dapat mengakibatkan
thrombus sinus kavernosus, meningitis, dan abses otak. Sejumlah
komplikasi klinis lainnya dapat terjadi jika diagnosis PTA diabaikan.
Beratnya komplikasi tergantung dari kecepatan progression penyakit.
Untuk itulah diperlukan penanganan dan intervensi sejak dini
G. Diagnosis Banding
Infiltrat peritonsil, tumor, abses retrofaring, abses parafaring, aneurisma
arteri karotis interna, infeksi mastoid, mononucleosis, infeksi kelenjar liur,
infeksi gigi, dan adenitis tonsil.2
H. Terapi
Beberapa macam terapi yang selama ini dikenal adalah :
10
Pada penelitian ini dari 19 penderita APT yang menjalani terapi pungsi
tidak ada satupun yang mengalami kegagalan sehingga tidak memerlukan
tindakan insisi.
Tonsilektomi merupakan indikasi absolut pada orang yang
menderita abses peritonsilaris berulang atau abses yang meluas pada ruang
jaringan sekitarnya. Abses peritonsil mempunyai kecenderungan besar
untuk kambuh. Sampai saat ini belum ada kesepakatan kapan tonsilektomi
dilakukan pada abses peritonsil. Sebagian penulis menganjurkan
tonsilektomi 68 minggu kemudian mengingat kemungkinan terjadi
perdarahan atau sepsis, sedangkan sebagian lagi menganjurkan segera
tonsilektomi,.4
Gambar 5. Tonsilektomi
Penggunaan
steroids
masih
kontroversial.
Penelitian
yang
11
I. Prognosis
Abses peritonsiler hampir selalu berulang bila tidak diikuti dengan
tonsilektomi., maka ditunda sampai 6 minggu berikutnya. Pada saat
tersebut peradangan telah mereda, biasanya terdapat jaringan fibrosa dan
granulasi pada saat operasi.
12
BAB III
KESIMPULAN
1. Peritonsillar
abscess
(PTA)
merupakan
kumpulan
timbunan
13
DAFTAR PUSTAKA
1. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. 2012. Abses Leher
Dalam. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan, Telinga-Hidung-Tenggorokan,
hal. 204. Balai Penerbit FKUI,Jakarta.
2. Fachruddin, darnila. 2006. Abses Leher Dalam. Dalam: Buku Ajar Ilmu
Kesehatan,
Telinga-Hidung-Tenggorokan,
FKUI,Jakarta.
3. Soepardi,E.A, Iskandar, H.N, Abses
hal.
185.
Balai
Penerbit
Ilmu
Canadian
Medical
Association
Journal.
2011;183(11):1276-1279. doi:10.1503/cmaj.100066.
6. Bailey, Byron J, MD. Tonsillitis, Tonsillectomy, and Adenoidectomy. In :
Headand Neck Surgey-Otolaryngology 2nd Edition. Lippincott_Raven
Publisher.Philadelphia. P :1224, 1233-34.
7. Farmer S, Khatwa M, Zeitoun H. Peritonsillar abscess after tonsillectomy: a
review of the literature. Annals of The Royal College of Surgeons of England.
2011;93(5):353-355. doi:10.1308/003588411X579793.
14