Anda di halaman 1dari 14

1

REFERAT
ABSES PERITONSILAR

PEMBIMBING:
dr. M. Roikhan Harowi, Sp.THT-KL, M.Kes.

Disusun Oleh:
Dylan Darient Jayanegara 030.12.088

KEPANITERAAN KLINIK ILMU THT


RUMAH SAKIT ANGKATAN UDARA
DR. ESNAWAN ANTARIKSA
PERIODE 1 AGUSTUS 4 SEPTEMBER 2016
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

BAB I
PENDAHULUAN
A. Landasan Teori
Abses peritonsiler dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun
paling sering terjadi pada umur 20-40 tahun. Pada anak-anak jarang terjadi
kecuali pada mereka yang menurun sistem immunnya, tapi infeksi bisa
menyebabkan obstruksi jalan napas yang signifikan pada anak-anak.
Infeksi ini memiliki proporsi yangsama antara laki-laki dan perempuan.
Bukti menunjukkan bahwa tonsilitis kronik atau percobaan multipel
penggunaan antibiotik oral untuk tonsilitis akut merupakan predisposisi
pada orang untuk berkembangnya abses peritonsiler. Di Amerika insiden
tersebut kadang-kadang berkisar 30 kasus per 100.000 orang per tahun,
dipertimbangkan hampir 45.000 kasus setiap tahun.4
Abses peritonsiler adalah penyakit infeksi yang paling sering
terjadi pada bagian kepala dan leher. Gabungan dari bakteri aerobic dan
anaerobic di daerah peritonsilar. Tempat yang bisa berpotensi terjadinya
abses adalah adalah didaerah pillar tonsil anteroposterior, fossa piriform
inferior, dan palatum superior.3
Abses peritonsil terbentuk oleh karena penyebaran organisme
bakteri penginfeksi tenggorokan kesalahsatu ruangan aereolar yang
longgar disekitar faring menyebabkan pembentukan abses, dimana infeksi
telah menembus kapsul tonsil tetapi tetap dalam batas otot konstriktor
faring.5
B. Tujuan penulisan
Untuk mengetahui lebih lanjut tentang Abses peritonsiler terutama dalam
penatalaksanaannya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Peritonsillar abscess (PTA) merupakan kumpulan / timbunan
(accumulation) nanah (pus) yang terlokalisir / terbatas (localized) pada
jaringan peritonsillar yang terbentuk sebagai hasil dari suppurative
tonsillitis.4

Gambar 1. Anatomi Tonsil Palatina dan jaringan sekitarnya

Gambar 2. Abses peritonsiler


B. Etiologi
Abses peritonsil terjadi sebagai akibat komplikasi tonsilitis akut
atau infeksi yang bersumber dari kelenjar mucus Weber di kutub atas
tonsil. Biasanya kuman penyebabnya sama dengan kuman penyebab

tonsilitis. Biasanya unilateral dan lebih sering pada anak-anak yang lebih
tua dan dewasa muda.2
Abses peritonsiler disebabkan oleh organisme yang bersifat aerob
maupunyang bersifat anaerob. Organisme aerob yang paling sering
menyebabkan abses peritonsiler adalah Streptococcus pyogenes (Group A
Beta-hemolitik streptoccus), Staphylococcus aureus, dan Haemophilus
influenzae.

Sedangkan

Fusobacterium.

organism

Prevotella,

anaerob

Porphyromonas,

yang

berperan

Fusobacterium,

adalah
dan

Peptostreptococcus spp. Untuk kebanyakan abses peritonsiler diduga


disebabkan karena kombinasi antara organisme aerobik dan anaerobik.3
C. Patogenesis
Patofisiologi PTA belum diketahui sepenuhnya. Namun, teori yang
paling banyak diterima adalah kemajuan (progression) episode tonsillitis
eksudatif

pertama

menjadi

peritonsillitis

dan

kemudian

terjadi

pembentukan abses yang sebenarnya (frank abscess formation). Pada


tahap

awal,

infeksi

terus-menerus

pada

tonsillitis

menyebabkan

penyebaran infeksi ke daerah peritonsil yang merupakan kapsul jaringan


ikat dan dapat juga menginfeksi kelenjar weber di daerah peritonsil
tesebut. Selanjutnya sistem imun tubuh akan bereaksi terhadap infeksi ini
dan

mengeluarkan

mediator-mediator

pro

inflamasi

yang

akan

menyebabkan inflamasi lokal. Mediator-mediator pro inflamasi ini akan


menyebabkan terjadinya vasodilatasi dan menurunnya permeabilitas
pembuluh darah peritonsil yang akan menyebabkan hiperemis dan edema
akibat ekstravasasi cairan dari pembuluh darah. Fase ini adalah stadium
infiltrat dimana pus belum terbentuk dan pasien mulai merasakan nyeri
menelan yang hebat pada sisi yang terkena disertai dengan demam.
Pada fase selanjutnya infeksi terus berlanjut dan berinteraksi
dengan sel-sel makrofag yang akan membentuk pus akibat proses
fagositosis. Pus yang terbentuk akan terus menumpuk pada jaringan ikat
longgar peritonsil yang berhubungan dengan jaringan sekitarnya seperti
palatum mole, dinding faring, bagian basal lidah, dan jaringan sekitar
lainnya sehingga pus dapat menempati ruang-ruang tersebut. Daerah

superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh
karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering
menempati daerah ini, sehingga tampak palatum mole membengkak.
Abses peritonsil juga dapat terbentuk di bagian inferior, namun jarang.
Pada stadium permulaan, (stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak
juga permukaan yang hiperemis.
Bila proses berlanjut, daerah tersebut lebih lunak dan berwarna
kekuning-kuningan. Tonsil terdorong ke tengah, depan, dan bawah, uvula
bengkak dan terdorong ke sisi kontra lateral. Bila proses terus berlanjut,
peradangan jaringan di sekitarnya akan menyebabkan iritasi pada
m.pterigoid interna, sehingga timbul trismus. Trismus menyebabkan
pasien sulit berbicara dan menimbulkan fenomena hot potato voice. Fosa
tonsilaris yang kaya akan jaringan pembuluh limfa yang terhubung dengan
parafaring dan servikal akan menyebabkan limfadenopati ipsilateral di
daerah tersebut yang menyebabkan nyeri pada daerah leher dan
menghambat pergerakan leher.
Abses dapat pecah spontan, sehingga dapat terjadi aspirasi ke paru.
Abses juga dapat terus menyebar sampai ke bagian cervical dan bahkan
sampai ke mediastinum dan menyebabkan mediastinitis. Selain itu, PTA
terbukti dapat timbul de novo tanpa ada riwayat tonsillitis kronis atau
berulang (recurrent) sebelumnya. Hal ini mungkin dapat dijelaskan dengan
hipotesis infeksi dan nekrosis dari kelenjar weber yang menjadi fokal
infeksi pada PTA. PTA dapat juga merupakan suatu gambaran
(presentation) dari infeksi virus Epstein-Barr.4
D. Gejala klinis
Gejala klasik dimulai 3-5 hari waktu dari onset gejala sampai
terjadinya abses sekitar 2-8 hari. Penderita biasanya mengalami keluhan
odinofagia (nyeri menelan) yang hebat sehingga sulit dilakukan
pemeriksaan karena sulit membuka mulut dan juga bias terjadi dehidrasi,
muntah (regurgitasi), mulut berbau (foeter ex ore), hot potato voice
banyak ludah (hipersalivasi), suara sengau (rinolalia) dan sukar membuka
mulut (trismus), sakit kepala, rasa lemah, demam, serta pembengkakan

kelenjar submandibula dengan nyeri tekan. Pasien juga mungkin


mengalami nyeri pada saat menggerakkan lehernya akibat limfadenopati
regional pada daerah servikal.
Pada kasus yang agak berat biasanya terdapat disfagia yang nyata,
nyeri telinga (otalgia) pada daerah yang terkena, salivasi yang meningkat
dan khususnya trismus. Palatum molle membengkak dan menonjol ke
depan dan dapat teraba fluktuasi. Uvula membengkak dan terdorong kesisi
kontra lateral, dan dijumpai tonsil membengkak dan hiperemis. Umumnya
pergerakan kepala ke lateral menimbulkan nyeri akibat adanya infiltrasi ke
jaringan leher dan region tonsil. Nyeri biasanya bertambah sesuai dengan
perluasan timbunan pus. Sekret kental menumpuk ditenggorokan dan
pasien sulit untuk membuangnya. Oleh karena lidah dilapisi selaput tebal
maka dapat terjadi nafas yang berbau. Pernafasan terganggu biasanya
akibat pembengkakan mukosa dan submukosa faring. Sesak akibat
perluasan edema ke jaringan laring jarang terjadi. Bila kedua tonsil
terinfeksi maka gejala sesak nafas lebih berat dan lebih menakutkan.1
E. Diagnosis
Informasi dari pasien (Anamnesis) sangat diperlukan untuk
menegakkan diagnosis abses peritonsiler. Adanya riwayat pasien
mengalami nyeri pada kerongkongan adalah salah satu yang mendukung
terjadinya abses peritonsilar. Riwayat adanya faringitis akut yang disertai
tonsilitis dan rasa kurang nyaman pada pharingeal unilateral.5
Pada pemeriksaan fisis kadang-kadang sukar memeriksa seluruh
faring, karena trismus. Palatum molle tampak membengkak dan menonjol
kedepan, dapat teraba fluktuasi. Uvula bengkak dan terdorong kesisi
kontralateral. Tonsil bengkak, hiperemis, mungkin banyak detritus dan
terdorong ke arah tengah, depan dan bawah.7
Diagnosis jarang diragukan jika pemeriksa melihat pembengkakan
peritonsilaris yang luas, mendorong uvula melewati garis tengah, dengan
edema dari palatum molle dan penonjolan dari jaringan ini dari garis
tengah. Palpasi jika mungkin dapat membedakan abses dari selulitis.
Prosedur diagnosis gold standard adalah dengan melakukan
Aspirasi jarum (needle aspiration). Tempat aspirasi dibius / dianestesi

menggunakan lidocain dengan epinephrine dan jarum besar (berukuran


1618) yang biasa menempel pada syringe berukuran10cc. Aspirasi
material yang bernanah (purulent) merupakan tanda khas, dan material
dapat dikirim untuk dibiakkan.

Gambar 3. tonsillitis akut (sebelah kiri) dan abses peritonsil (sebelah


kanan).

Gambar 4. Needle aspiration of peritonsillar abscess.


Pemeriksaan penunjang lainnya yang dapat dilakukan adalah sebagai
berikut7:
1.Hitung darah lengkap (complete blood count), pengukuran kadar
elektrolit (electrolyte level measurement), dan kultur darah (blood
cultures).
2.Tes Monospot (antibodi heterophile) perlu dilakukan pada pasien dengan
tonsillitis dan bilateral cervical lymphadenopathy. Jika hasilnya positif,

penderita memerlukan evaluasi / penilaian hepatosplenomegali. Liver


function tests perlu dilakukan pada penderita dengan hepatomegali.
3.Throat culture atau throat swab and culture: diperlukan untuk
identifikasi organisme yang infeksius. Hasilnya dapat digunakan untuk
pemilihan antibiotik yang tepat dan efektif, untuk mencegah timbulnya
resistensi antibiotik.
4.Plain radiographs: pandangan jaringan lunak lateral (Lateral soft tissue
views) dari nasopharynx dan oropharynx dapat membantu dokter dalam
menyingkirkan diagnosis abses retropharyngeal.
5.Computerized tomography (CT scan): biasanya tampak kumpulan cairan
hypodense di apex tonsil yang terinfeksi (the affected tonsil), dengan
peripheral rim enhancement.
6.Ultrasound, contohnya: intraoral ultrasonografi.
F. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi ialah2. :
1. Abses pecah spontan, mengakibatkan perdarahan aspirasi paru, atau
piema.
2. Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses
parafaring.

Kemudian

dapat

terjadi

penjalaran

ke

mediastinum

menimbulkan mediastinitis.
3. Bila terjadi penjalaran ke daerah intracranial, dapat mengakibatkan
thrombus sinus kavernosus, meningitis, dan abses otak. Sejumlah
komplikasi klinis lainnya dapat terjadi jika diagnosis PTA diabaikan.
Beratnya komplikasi tergantung dari kecepatan progression penyakit.
Untuk itulah diperlukan penanganan dan intervensi sejak dini
G. Diagnosis Banding
Infiltrat peritonsil, tumor, abses retrofaring, abses parafaring, aneurisma
arteri karotis interna, infeksi mastoid, mononucleosis, infeksi kelenjar liur,
infeksi gigi, dan adenitis tonsil.2
H. Terapi
Beberapa macam terapi yang selama ini dikenal adalah :

a) Pemberian antibiotika dosis tinggi dan obat simtomatik.


b) Pungsi dan aspirasi disertai antibioik parenteral.

b) Insisi dan mengeluarkan nanah disertai pemberian antibiotika secara


parenteral atau peroral.
c) Segera tonsilektomi disertai pemberian antibiotika parenteral
d) Pemberian steroid
Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi dan obat
simtomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan air hangat dan kompres
dingin pada leher. Antibiotik yang diberikan ialah penisilin 600.0001.200.000 unit atau ampisilin / amoksisilin 3-4 x 250-500 mg atau
sefalosporin 3-4 x 250-500 mg, metronidazol 3-4 x 250-500 mg.2
Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses,
kemudian diinsisi untuk mengeluarkan nanah. Tempat insisi ialah di
daerah yang paling menonjol dan lunak, atau pada pertengahan garis yang
menghubungkan dasar uvula dengan geraham atas terakhir. Intraoral
incision dan drainase dilakukan dengan mengiris mukosa overlying abses,
biasanya diletakkan di lipatan supratonsillar. Drainase atau aspirate yang
sukses menyebabkan perbaikan segera gejala-gejala pasien. Bila terdapat
trismus, maka untuk mengatasi nyeri, diberikan analgesia lokal di ganglion
sfenopalatum. Kemudian pasien dianjurkan untuk operasi tonsilektomi a
chaud. Bila tonsilektomi dilakukan 3-4 hari setelah drainase abses disebut
tonsilektomi atiede, dan bila tonsilektomi 4-6 minggu sesudah drainase
abses disebut tonsilektomi a froid. Pada umumnya tonsilektomi
dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3 minggu sesudah drainase
abses.2
Stringer telah melakukan terapi APT secara pungsi maupun insisi;
pada kedua kelompok perlakuan tersebut gejala objektif sudah berkurang
mendekati minimal pada hari ke-2, sedangkan kesembuhan total dicapai
pada hari ke-10. Herson yang melakukan pungsi pada 41 penderita APT,
mendapatkan hasil 90% sembuh sempurna dengan waktu kesembuhan
rata-rata 2-6 hari. Terhadap 10% penderita yang gagal dengan terapi
pungsi, terapi diganti dengan cara konvensional yaitu insisi dan pelebaran
luka insisi di hari-hari berikutnya, sampai penderita dinyatakan sembuh.

10

Pada penelitian ini dari 19 penderita APT yang menjalani terapi pungsi
tidak ada satupun yang mengalami kegagalan sehingga tidak memerlukan
tindakan insisi.
Tonsilektomi merupakan indikasi absolut pada orang yang
menderita abses peritonsilaris berulang atau abses yang meluas pada ruang
jaringan sekitarnya. Abses peritonsil mempunyai kecenderungan besar
untuk kambuh. Sampai saat ini belum ada kesepakatan kapan tonsilektomi
dilakukan pada abses peritonsil. Sebagian penulis menganjurkan
tonsilektomi 68 minggu kemudian mengingat kemungkinan terjadi
perdarahan atau sepsis, sedangkan sebagian lagi menganjurkan segera
tonsilektomi,.4

Gambar 5. Tonsilektomi
Penggunaan

steroids

masih

kontroversial.

Penelitian

yang

dilakukan Ozbek mengungkapkan bahwa penambahan dosis tunggal


intravenous dexamethasone pada antibiotik parenteral telah terbukti secara

11

signifikan mengurangi waktu opname di rumah sakit ( hours hospitalized


), nyeri tenggorokan (throat pain), demam, dan trismus dibandingkan
dengan kelompok yang hanya diberi antibiotik parenteral.9
Lamkin pada penelitiannya pada 98 pasien abses peritonsiler yang
menjalani rawat jalan melaporkan sukses mengobati 95,9% dan
merekomendasikan pengobatan abses peritonsiler dengan pemberian
steroid yang terdiri dari 3 regimen yaitu: Dexamethasone 20 mg IV dan
Metilprednisolon 80-120 mg IM, Hidrasi dengan Dextrose 5% 1-2 liter,
Antibiotik dengan Cefazolin 2 mg IV saat pasien datang dan Cephlexin
500 mg oral 4 kali sehari untuk 10 hari di rumah.10

I. Prognosis
Abses peritonsiler hampir selalu berulang bila tidak diikuti dengan
tonsilektomi., maka ditunda sampai 6 minggu berikutnya. Pada saat
tersebut peradangan telah mereda, biasanya terdapat jaringan fibrosa dan
granulasi pada saat operasi.

12

BAB III
KESIMPULAN

1. Peritonsillar

abscess

(PTA)

merupakan

kumpulan

timbunan

(accumulation) nanah (pus) yang terlokalisir / terbatas (localized) pada


jaringan peritonsillar yang terbentuk sebagai hasil dari suppurative
tonsillitis.
2. Gejala klinis meliputi odinofagia (nyeri menelan) yang hebat, biasanya
pada sisi yang sama juga dan nyeri telinga (otalgia), muntah (regurgitasi),
mulut berbau (foetor ex ore), banyak ludah (hipersalivasi), suara sengau
(rinolalia), dan kadang-kadang sukar membuka mulut (trismus), serta
pembengkakan kelenjar submandibula dengan nyeri tekan.
3. Beberapa macam terapi yang selama ini dikenal adalah :
a) Pemberian antibiotika dosis tinggi dan obat simtomatik.
b) Pungsi dan aspirasi disertai antibioik parenteral.
c) Insisi dan mengeluarkan nanah disertai pemberian antibiotika secara
parenteral atau peroral.
d) Segera tonsilektomi disertai pemberian antibiotika parenteral
e) Pemberian steroid.
4. Abses peritonsiler hampir selalu berulang bila tidak diikuti dengan
tonsilektomi.

13

DAFTAR PUSTAKA
1. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. 2012. Abses Leher
Dalam. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan, Telinga-Hidung-Tenggorokan,
hal. 204. Balai Penerbit FKUI,Jakarta.
2. Fachruddin, darnila. 2006. Abses Leher Dalam. Dalam: Buku Ajar Ilmu
Kesehatan,

Telinga-Hidung-Tenggorokan,

FKUI,Jakarta.
3. Soepardi,E.A, Iskandar, H.N, Abses

hal.

185.

Balai

Penerbit

Peritonsiler, Buku Ajar

Ilmu

KesehatanTelinga, Hidung dan Tenggorokan, Jakarta: FKUl, 2000; 185-89.


4. Mazur E, Czerwiska E, Korona-Gowniak I, Grochowalska A, KozioMontewka M. Epidemiology, clinical history and microbiology of
peritonsillar abscess. European Journal of Clinical Microbiology &
Infectious Diseases. 2015;34(3):549-554. doi:10.1007/s10096-014-2260-2.
5. Lin Y-Y, Lee J-C. Bilateral peritonsillar abscesses complicating acute
tonsillitis.CMAJ:

Canadian

Medical

Association

Journal.

2011;183(11):1276-1279. doi:10.1503/cmaj.100066.
6. Bailey, Byron J, MD. Tonsillitis, Tonsillectomy, and Adenoidectomy. In :
Headand Neck Surgey-Otolaryngology 2nd Edition. Lippincott_Raven
Publisher.Philadelphia. P :1224, 1233-34.
7. Farmer S, Khatwa M, Zeitoun H. Peritonsillar abscess after tonsillectomy: a
review of the literature. Annals of The Royal College of Surgeons of England.
2011;93(5):353-355. doi:10.1308/003588411X579793.

14

8. Galioto, Nicholas J.,2008., Peritonsillar Abscess, Broadlawns Medical


Center, Des Moines, Iowa
9. Steyer, Terrence E,. 2002., Peritonsillar Abscess:Diagnosis and Treatment.
University of Michigan Medical School, Ann Arbor,Michigan
10. Lamkin, Roland H., 2006., An Outpatient Medical Treatment Protocol for
Peritonsiller Abscess.

Anda mungkin juga menyukai