Anda di halaman 1dari 27

PRESENTASI KASUS

GAGAL JANTUNG KONGESTIF

Disusun oleh :

Katharina Listyaningrum P

G4A015007

Rosellina Alphamaharini S

G4A015008

Rhininta Adistyarani

G4A014090

Pembimbing :
dr. Rachmad Aji Saksana Sp.PD

SMF ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2015

LEMBAR PENGESAHAN

Telah dipresentasikan dan disetujui presentasi kasus dengan judul :


GAGAL JANTUNG KONGESTIF

Pada tanggal,

Desember 2015

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti


program profesi dokter di Bagian Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto

Disusun oleh :
Katharina Listyaningrum P

G4A015007

Rosellina Alphamaharini S

G4A015008

Rhininta Adistyarani

G4A014090

Mengetahui,
Pembimbing

dr. Rachmad Aji Saksana, Sp.PD

BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit kardiovaskular akan menjadi penyebab kematian pertama di
negara-negara berkembang, menggantikan kematian akibat penyakit infeksi. Di
Indonesia penyakit kardiovaskuler dikelompokkan menjadi penyakit sistem
sirkulasi sejak 1992 dan secara konsisten menjadi peringakat pertama penyebab
kematian. Saat ini salah satu penyakit kardiovaskular yang menyebabkan
kematian adalah gagal jantung kongestif.
Congestive Heart Failure (CHF) atau gagal jantung kongestif adalah
ketidakmampuan jantung untuk memompa darah dalam jumlah yang cukup untuk
memenuhi jaringan terhadap oksigen dan nutrisi dikarenakan adanya kelainan
fungsi jantung yang berakibat jantung gagal memompa darah untuk memenuhi
kebutuhan metabolisme jaringan.
Kejadian agal jantung kongestif di Amerika sangat cepat pertumbuhannya
dengan prevalensi sekitar 2 % dari seluruh populasi. Hampir 1 juta kasus rawat
inap setiap tahunnya disebabkan oleh penyakit ini.Sedangkan kejadian gagal
jantung kongestif di Indonesia belum ada data, namun menurut Riset Kesehatan
Dasar tahun 2007 menyebutkan jika penyakit jantung masih merupakan penyebab
utama dari kematian terbanyak pasien di rumah sakit di Indonesia. Penyakit gagal
jantung meningkat dari tahun ke tahun oleh karena itu perlu dipelajari mengenai
pengertian, penyebab, dan tatalaksana tentang gagal jantung kongestif untuk bisa
mencegah bertambahnya kasus kematian akibat penyakit ini.

BAB II
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PENDERITA (Andi)
Nama
Umur
Jenis Kelamin
Alamat
Pekerjaan
Agama
Tgl. Masuk RS

:
:
:
:
:
:
:

Ny. S
33 tahun
Perempuan
Banjaranyar 2/2 Pekuncen
Ibu rumah tangga
Islam
13 Desember 2015

Tgl Periksa

16 Desember 2015

B. ANAMNESIS
Keluhan Utama : perut membesar
Keluhan Tambahan
Dada berdebar, mual, sesak nafas
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD Rumah Sakit Margono Soekarjo Purwokerto
pada tanggal 13 Desember 2015 dengan keluhan perut membesar. Keluhan
tersebut sudah dirasakan sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit. Perut
semakin membesar setiap harinya hingga terasa sangat kencang dan tidak
nyaman namun tidak nyeri. Perut tidak pernah dirasakan mengecil hingga
pasien datang ke IGD RSMS.
Pasien juga mengeluhkan dada berdebar, mual dan sesak nafas yang
menyertai perutnya yang membesar. Dada berdebar semakin terasa apabila
terlalu lelah dalam beraktivitas. Pasien juga kerap terbangun saat malam
karena sesak nafas. Sesak nafas terutama dirasakan bila tidur pada bidang
yang datar sehingga pasien lebih sering tidur dengan posisi setengah duduk.
Pasien mengaku sesak nafas dan dada berdebar terjadi apabila terlalu lelah
sehingga penyakitnya membatasi aktivitas pasien. Selain itu pasien juga kerap
kali batuk bila malam hari. Sejak sebelum masuk rumah sakit, pasien merasa
pipisnya sedikit. Pasien sudah 1 tahun menderita penyakit jantung dan rutin
mengkonsumsi obat digoxin, furosemid, dan spironolakton.

Riwayat Penyakit Dahulu


1.
2.
3.
4.
5.
6.

Riwayat hipertensi disangkal


Riwayat Diabetes Melitus disangkal
Riwayat penyakit ginjal disangkal
Riwayat stroke disangkal
Riwayat penyakit jantung sejak 1 tahun yang lalu.
Riwayat penyakit hati

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak terdapat riwayat penyakit jantung pada keluarga.
C. PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan di bangsal Mawar kamar 10 RSMS pada tanggal 16 Desember
2015.
1. Keadaan umum
: tampak sakit sedang
2. Kesadaran
: Compos Mentis
3. Vital sign
Tekanan Darah
: 90/70 mmHg
Nadi
: 96 x/menit
Respiration Rate
: 24 x/menit
Suhu
: 36,2 0C
4. Status generalis
a. Pemeriksaan kepala
Kepala

: mesosefal

Rambut

: warna hitam, tidak mudah dicabut

Mata

: konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik +/+

Telinga

: Discharge (-), deformitas (-)

Hidung

: Discharge (-), deformitas (-) dan napas cuping


hidung (-)

Mulut

: Bibir sianosis (-), lidah sianosis (-)

b. Pemeriksaan leher
Deviasi trakea (+),

pembesaran

kelenjar

hepatojugular (-)
Palpasi : JVP 5+4 cm
c. Pemeriksaan thoraks
Paru
Inspeksi

: simetris, retraksi (-)

tiroid

(-),

refluks

Palpasi
Perkusi
Auskultasi

Jantung
Inspeksi
Palpasi
Perkusi

Auskultasi

: Vokal fremitus lobus superior kanan = kiri


Vokal fremitus lobus inferior kanan = kiri
: Sonor pada apek redup pada basal
Batas paru-hepar SIC V LMCD
: Suara dasar vesikuler +/+
Ronki basah halus +/+
Ronki basah kasar -/Wheezing +/+
: Ictus Cordis tampak di SIC VIII 2 jari lateral LMCS
Pul epigastrium (+), pul parasternal (+).
: Ictus Cordis teraba pada SIC VIII 2 jari lateral
LMCS dan kuat angkat (+)
: Batas atas kanan
: SIC II LPSD
Batas atas kiri
: SIC III LPSS
Batas bawah kanan : SIC VIII LMCD
Batas bawah kiri
: SIC VIII 2 jari lateral
LMCS
: S1>S2, reguler; Gallop (+) di katup aorta, Murmur

(+) pada katup aorta dan mitral


d. Pemeriksaan abdomen
Inspeksi

: cembung

Auskultasi

: bising usus (+) normal

Palpasi

: supel, nyeri tekan (+) regio hipokondriaka kanan

dan epigastrik, undulasi +


Perkusi
Hepar

: redup, pekak alih +, pekak sisi +,


: teraba keras, tepi tumpul, dan ukuran membesar 4

jari BACD
Lien
: Tidak teraba
e. Pemeriksaan ekstremitas
Ekstremitas
Pemeriksaan

superior
Dextra Sinistra
Edema
Sianosis
Akral dingin
Reflek fisiologis
+
+
Reflek patologis
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Ekstremitas inferior
Dextra
+
-

Sinistra
+
-

a. Laboratorium darah tanggal 13 Desember 2015 Darah lengkap :


Hemoglobin

: 11,9 g/dl

Leukosit

: 14090 /Ul

Hematokrit

: 41%

Eritrosit

: 35,4 x 10e6/uL

Trombosit

: 326.000 /Ul

SGOT

: 26

SGPT

: 22

Ureum

: 26,2 mg/dl

Kreatinin

: 0,72 mg/dl

Natrium

: 130 mmol/L

Kalium

: 4,1 mmol/L

Klorida

: 91 mmol/L

Kalsium

: 8,2 mg/dL

GDS

: 60 mg/dL

b. EKG
Sinus takikardi, biatrial enlargement, right axis deviation, inkomplete
RBBB, dan pembesaran ventrikel kanan
c. Foto polos Thorax tanggal 13 Desember 2015
CTR = 76%, batas kanan kiri jantung melebar
Corakan bronkovaskuler menigkat, tampak bercak diseluruh lapangan paru
d. USG abdomen 15 desember 2015
Hepar
: tampak membesar (CC MCI sekitar 14,1 cm), liver tip
tumpul, parenkim kasar, tak tampak nodul, sebagian tepi parenkim
irreguler, ekogenitas parenkim normal, vena hepatika melebar (diameter
sekitar 2,08 cm), vena porta tak melebar
Duktus biliaris : intra dan ekstra hepatal tak melebar
Vesika felea: ukuran normal, dinding tak menebal, tak tampak batu
maupun sludge, tampak 2 buah lesi hiperekoik menempel pada dinding
(ukuran 0,5 cm)
Pankreas
: ukuran normal, parenkim homogen, tak tampak massa
maupun kalsifikasi
Ginjal kanan : bentuk

dan

ukuran

normal,

paenkim

homogen,

ekogenisitas normal, PCS tidak melebar, batas kortikomedular jelas, tak


tampak massa, tak tampak batu, ureter proksimal tak melebar
Ginjal kiri
: bentuk dan ukuran normal, paenkim

homogen,

ekogenisitas normal, PCS tidak melebar, batas kortikomedular jelas, tak


tampak massa, tak tampak batu, ureter proksimal tak melebar

Lien

: ukuran normal, parenkim homogen, tak nampak nodul

ataupun massa
Aorta
: tak melebar, tak nampak nodul paraaorta
Vesika Urinaria
: dinding tak menebal, tak nampak batu, tak nampak
massa
Uterus

: ukuran tak membesar, tak nampak nodul, tak nampak

massa
Tak nampak cairan pada supradiafragma kiri kanan
Tampak cairan bebas intraabdomen pada perihepatica, morrisons pouch,
perilienalis, perivesica, disertai floating bowel
E. RESUME
1. Anamnesis
a. Perut membesar
b. Dispneu deffort
c. Mual
d. Dada berdebar
e. Dispneu nokturnal paroksisimal
f. Batuk malam hari
2. Pemeriksaan fisik
a. KU/Kes
b. Kepala
c. Mata
d. Leher
e. Paru
f. Jantung
g. Abdomen

: tampak sakit sedang/CM


: Mesosefal
: ca -/- si +/+
: JVP 5+4 meningkat, refluks hepatojugular : SD ves +/+, RBH +/+, wheezing +/+
: s1>s2, reguler, murmur +, gallop +, cardiomegali
: cembung, nyeri tekan (+) regio hipokondriaka

kanan dan epigastrik, pekak alih +, pekak sisi +, undulasi +, Hepar


teraba keras, tepi tumpul, dan ukuran membesar 4 jari BACD
h. Ekstremitas inferior: edema -/3. Pemeriksaan penunjang
a. Leukositosis (Leukosis 14090)
b. Penurunan enzim hepar (SGPT 22)
c. Hiponatremi (Na: 130)
d. Hipokalemi (K: 91)
e. Hipokalsemi (Ca: 8,2)
f. Rontgen Thorax: cardiomegali semua chamber (dd efusi pericard),
bronkopneumonia

g. USG: hepatomegali dengan gambaran penyakit hepar kronis disertai


congestive liver, asites, dua polip vesica felea
F. DIAGNOSIS KERJA
CHF dan Bronkopneumonia
G. TERAPI
a. Farmakologis:
a) IVFD D5% 10 tpm
b) Inj Furosemid 1 amp/24jam
c) Inj Ceftazidin 2x1 g
d) PO Letonal 1x100mg
e) PO Digoxin 1x1
f) PO Curcuma 3x1
g) PO Tramadol 2x1
h) Drip Dobutamin 3mg/kgBB/ml
i) PO Azytromycin 1x500 mg
b. Non farmakologis:
Tirah baring
H. PROGNOSIS
Ad vitam

: dubia ad bonam

Ad sanationam

: dubia ad bonam

Ad functionam

: dubia ad bonam

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Gagal jantung adalah suatu keadaan patofisiologis berupa kelainan
fungsi jantung sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk
memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan dan / atau kemampuannya hanya
ada kalau disertau peninggian volume diastolik secara abnormal (Sudoyo,
2006).
Gagal jantung kongestif merupakan sindrom klinis yang disebabkan
oleh kelainan struktur atau fungsi jantung sehingga jantung mengalami
gangguan dalam memompa darah yang mengakibatkan kongesti pada
pembuluh darah pulmoner dan menurunya kardiak output (Sudoyo, 2006).
Faktor predisposisi gagal jantung adalah penyakit yang menimbukan
penurunan fungsi ventrikel (seperti penyakit arteri koroner, hipertensi,
kardiomiopati, penyakit pembuluh darah atau penyakit jantung kongenital)
dan keadaan yang membatasi pengisian ventrikel (stenosis mitral,
kardiomiopati, atau penyakit perikardial). Faktor pencetus termasuk
mieningkatnya asupan garam, ketidakpatuhan menjalani pengobatan anti
gagal jantung, infark miokard akut (mungkin yang tersembunyi), serangan
hipertensi, aritmia akut, infeksi atau demam, emboli paru, anemia,
tirotoksikosis, kehamilan, dan endokarditis infektif (Sudoyo, 2006).
B. Etiologi
Faktor predisposisi gagal jantung adalah penyakit yang menimbukan
penurunan fungsi ventrikel seperti :
a.
b.
c.
d.
e.
f.

Coronary artery disease


Hipertensi
Penyakitkatubjantung
Penyakitpadaototjantung (kardiomiopati)
Congenital heart disease
Penyakitparukronik

g. Infark miokard akut


h. Aritmia akut
i. Tirotoksikosis
j. Kehamilan

C. Manifestasi Klinis
Berdasarkan bagian jantung yang mengalami kegagalan pemompaan,
gagal jantung terbagi atas gagal jantung kiri, gagal jantung kanan, dan gagal
jantung kongestif. Gejala dan tanda yang timbul pun berbeda, sesuai dengan
pembagian tersebut (Santosa, 2007).
Pada gagal jantung kiri terjadi dyspnea deffort , fatig, ortopnea,
dispnea nokturnal paroksismal, batuk, pembesaran jantung, irama derap,
ventricular heaving, bunyi derap S3 dan S4, pernafasan Cheyne Stokes,
takikarsi, pulsus alternans, ronki dan kongesti vena pulmonalis. Pada gagal
jantung kanan timbul fatig, edema, liver engorgement, anoreksia, dan
kembung. Pada pemeriksaan fisik bisa didapatkan hipertrofi jantung kanan,
heaving ventrikel kanan, irama derap atrium kanan, murmur, tanda tanda
penyakit paru kronik, tekanan vena jugularis meningkat, bunyi P2 mengeras,
asites, hidrotoraks, peningkatan tekanan vena, hepatomegali, dan edema
pitting. Sedang pada gagal jantung kongestif terjadi manifestasi gabungan
gagal jantung kiri dan kanan (Santosa, 2007).
New York Heart Association (NYHA) membuat klasifikasi fungsional
dalam 4 kelas :
Kelas 1

: Bila pasien dapat melakukan aktivitas berat tanpa keluhan

Kelas 2

: Bila pasien tidak dapat melakukan aktivitas lebih berat dari


aktivitas sehari hari tanpa keluhan.

Kelas 3

: Bila pasien tidak dapat melakukan aktivitas sehari hari tanpa


keluhan

Kelas 4

: Bila pasien sama sekali tidak dapat melakukan aktivitas


apapun dan harus tirah baring

D. Diagnosis Gagal Jantung Kongestif (Kriteria Framingham)


Kriteria mayor
1.

Dispnea nokturnal paroksismal atau ortopnea

2.

Peningkatan tekanan vena jugularis

3.

Ronki basah tidak nyaring

4.

Kardiomegali

5.

Edema paru akut

6.

Irama derap S3

7.

peningkatan tekanan vena >16 cm H2O

8.

Refluks hepatojugular

Kriteria Minor
1. edema pergelangan kaki
2. Batuk malam hari
3. Dyspnea deffort
4. Hepatomegali
5. Efusi pleura
6. Kapasitas vital berkurang menjadi 1/3 maksimum
7. Takikardi (>120x/menit)
Kriteria mayor atau minor
Penurunan berat badan >4,5 kg dalam 5 hari setelah terapi
Diagnosis ditegakkan dari 2 kriteria mayor; atau 1 kriteria mayor dan 2
kriteria minor harus ada pada saat yang bersamaan. Pada pasien ini terdapat 5
kriteria mayor (dispneu nokturnal paroksisimal, peningkatan JVP, ronkhi
basah +/+, kardiomegali, dan irama derap S3) dan 3 kriteria minor (batuk
pada malam hari, dypneu effort dan hepatomegali). Oleh sebab itu, pasien ini
didiagnosa CHF. Pasien ini termasuk dalam NYHA kelas 3 yaitu pasien tidak
dapat melakukan aktivitas sehari hari tanpa keluhan.
Pada hari kedua perawatan, pasien mengeluhkan batuk berdahak. Melalui
pemeriksaan fisik ditemukan suara paru ronkhi basah halus di bagian apek
dan basal paru disertai sedikit peningkatan suhu tubuh. Pemeriksaan darah
rutin menunjukkan peningkatan leukosit dalam darah yang mengindikasikan
adanya infeksi. Selain itu pemeriksaan rontgen paru didapatkan corakan
bronkovaskuler meningkat yang memberi kesan bronkopneumonia. Sehingga,
pasien didiagnosis bronkopneumonia.
E.

Pemeriksaan Penunjang

1. Foto rontgen dada: pembesaran jantung, distensi vena pulmonaris dan


redistribusinya ke apeks paru(opasifikasi hilus paru bisa sampai ke
apeks),peningkatan

tekanan

vascular

pulmonari,

kadang-kadang

ditemukan efusipleura.
2. Elektrokardiografi: membantu menunjukkan etiologi gagal jantung
(infark,iskemia, hipertrofi dll) dapat ditemukan low voltage, T inverse, QS,
depresi ST.
3. Laboratorium
Kimia darah (termasuk ureum, kreatinin, glukosa, elektrolit), hemoglobin,
tes fungsi tiroid, tes fungsi hati, dan lipid darah.
Urinalisa untuk mendeteksi proteinuria atau glukosuria
4.
Ekokardiografi
Dapat menilai dengan cepat dengan informasi yang rinci tentang funsi
danstruktur jantung, katup dan perikard.
F. Patofisiologi
Gagal jantung merupakan suatu keadaan klinis yang merupakan
sindroma klinik akibat kelainan jantung sehingga jantung tidak mampu
memompa memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh. Gagal jantung ditandai
dengan satu respon hemodinamik, ginjal, syaraf dan hormonal serta suatu
keadaan patologik berupa penurunan fungsi jantung. Berikut gambaran
patofisiologi dari gagal jantung.

G.
H.
I.
J.
K.

L.
M.
N.
O.
P.
Q.
R.
S. Gambar 1. Patofisilogi Gagal Jantung (Smeltzer 2002)
T. Salah satu respon hemodinamik yang tidak normal adalah peningkatan
tekanan pengisian (filling pressure) dari jantung atau preload. Respon
terhadap jantung menimbulkan beberapa mekanisme kompensasi yang
bertujuan untuk meningkatkan volume darah, volume ruang jantung,
tahanan pembuluh darah perifer dan hipertropi otot jantung. Kondisi
ini juga menyebabkan aktivasi dari mekanisme kompensasi tubuh yang
akut berupa penimbunan air dan garam oleh ginjal dan aktivasi sistem
saraf adrenergik (Mann, 2008).
Gambar 1. Patofisilogi Gagal Jantung (Smeltzer 2002)
Salah satu respon hemodinamik yang tidak normal adalah peningkatan
tekanan pengisian (filling pressure) dari jantung atau preload. Respon
terhadap jantung menimbulkan beberapa mekanisme kompensasi yang
bertujuan untuk meningkatkan volume darah, volume ruang jantung, tahanan
pembuluh darah perifer dan hipertropi otot jantung. Kondisi ini juga
menyebabkan aktivasi dari mekanisme kompensasi tubuh yang akut berupa
penimbunan air dan garam oleh ginjal dan aktivasi sistem saraf adrenergik
(Mann, 2008).
Pada beberapa keadaan ditemukan beban berlebihan sehingga timbul
gagal jantung sebagai pompa tanpa terdapat depresi pada otot jantung
intrinsik. Sebaliknya dapat pula terjadi depresi otot jantung intrinsik tetapi
secara klinis tidak tampak tanda-tanda gagal jantung karena beban jantung
yang ringan. Pada awal gagal jantung akibat CO yang rendah, di dalam tubuh
terjadi peningkatan aktivitas saraf simpatis dan sistem renin angiotensin
aldosteron, serta pelepasan arginin vasopressin yang merupakan mekanisme
kompensasi untuk mempertahankan tekanan darah yang adekuat. Penurunan
kontraktilitas ventrikel akan diikuti penurunan curah jantung yang selanjutnya
terjadi penurunan tekanan darah dan penurunan volume darah arteri yang

efektif. Hal ini akan merangsang mekanisme kompensasi neurohumoral


(Mann, 2008).
Melalui mekanisme kompensasi neurohormonal, gagal jantung
merupakan hasil ekspresi berlebihan suatu molekul yang secara aktif biologis
yang mampu memberikan efek kerusakan jantung dan sirkulasi. Pengaturan
mekanisme ini bersifat adaptif dan non adaptif. Bersifat adaptif apabila
selama mekanisme ini berlangsung system dapat memelihara tekanan perfusi
arteri selama terjadi penurunan curah jantung. Bersifat non adaptif apabila
menimbulkan peningkatan hemodinamik melebihi batas ambang normal,
meningkatkan kebutuhan oksigen, dan memicu cedera sel miokard (Hess,
2007)
Vasokonstriksi dan retensi air untuk sementara waktu akan
meningkatkan

tekanan

darah

sedangkan

peningkatan

preload

akan

meningkatkan kontraktilitas jantung melalui hukum Starling. Apabila keadaan


ini tidak segera teratasi, peninggian afterload, peninggian preload dan
hipertrofi dilatasi jantung akan lebih menambah beban jantung sehingga
terjadi gagal jantung yang

tidak terkompensasi. Dilatasi ventrikel

menyebabkan disfungsi sistolik (penurunan fraksi ejeksi) dan retensi cairan


meningkatkan volume ventrikel (dilatasi). Jantung yang berdilatasi tidak
efisien secara mekanis. Jika persediaan energi terbatas selanjutnya bisa
menyebabkan gangguan kontraktilitas. Selain itu kekakuan ventrikel akan
menyebabkan terjadinya disfungsi ventrikel. Pada gagal jantung kongestif
terjadi stagnasi aliran darah, embolisasi sistemik dari trombus mural, dan
disritmia ventrikel refrakter. Keadaan penyakit jantung koroner sebagai salah
satu etiologi CHF akan menurunkan aliran darah ke miokard yang akan
menyebabkan iskemik miokard dengan komplikasi gangguan irama dan
sistem konduksi kelistrikan jantung. Beberapa data menyebutkan bradiaritmia
dan penurunan aktivitas listrik menunjukan peningkatan presentase kematian
jantung mendadak, karena frekuensi takikardi ventrikel dan fibrilasi ventrikel
menurun (Mann, 2008).
Mekanisme yang mendasari gagal jantung meliputi gangguan
kemampuan kontraktilitas jantung, yang menyebabkan curah jantung lebih
rendah dari curah jantung normal. Konsep curah jantung paling baik

dijelaskan dengan persamaan CO= HR X SV dimana curah jantung adalah


fungsi frekuensi jantung X volume sekuncup. Curah jantung yang berkurang
mengakibatkan sistem saraf simpatis akan mempercepat frekuensi jantung
untuk mempertahankan curah jantung, bila mekanisme kompensasi untuk
mempertahankan perfusi jaringan yang memadai, maka volume sekuncup
jantunglah yang harus menyesuaikan diri untuk mempertahankan curah
jantung. Tapi pada gagal jantung dengan masalah utama kerusakan dan
kekakuan serabut otot jantung, volume sekuncup berkurang dan curah jantung
normal masih dapat dipertahankan (Mann, 2008).

G. Penatalaksanaan
Gagal jantung memiliki terapi yang cukup kompleks, bergantung dari
seberapa parah kondisi penderitanya. Berikut merupakan terapi farmakologis
pada gagal jantung menurut PERKI, 2015.

Gambar 1. Algoritma Terapi Gagal Jantung (Mann, 2008)


ANGIOTENSIN-CONVERTING
ACEI

harus

ENZYME

diberikan

pada

INHIBITORS
semua

(ACEI)

pasien

gagal

jantung simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 %.ACEI memperbaiki


fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit karena
perburukan gagal jantung, dan meningkatkan angka kelangsungan hidup (kelas
rekomendasi I, tingkatan bukti A). ACEI kadang-kadang menyebabkan
perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia, hipotensi simtomatik, batuk dan
angioedema (jarang), oleh sebab itu ACEI hanya diberikan pada pasien dengan
fungsi

ginjal

adekuat

dan

kadar

kalium

normal.

Indikasi pemberian ACEI :


a. Fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 %, dengan atau tanpa gejala
Kontraindikasi pemberian ACEI :
a. Riwayat angioedema
b. Stenosis renal bilateral
c. Kadar kalium serum > 5,0 mmol/L
d. Serum kreatinin > 2,5 mg/dL
e. Stenosis aorta berat
Cara pemberian ACEI pada gagal jantung:
a. Inisiasi pemberian ACEI
b. Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit
c. Periksa kembali fungsi ginjal dan serum elektrolit 1 - 2 minggu
setelah terapi ACEI
d. Naikan dosis secara titrasi
e. Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2 - 4 minggu.
f. Jangan naikan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal

atau

hiperkalemia. Dosis titrasi dapat dinaikan lebih cepat saat dirawat


di rumah sakit
g. Jika tidak ada

masalah

diatas,

dosis

dititrasi

naik

sampai

dosis

target atau dosis maksimal yang dapat di toleransi (Tabel 11)


h. Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit 3 dan 6 bulan setelah
mencapai dosis target atau yang dapat ditoleransi dan selanjutnya
tiap 6 bulan sekali.
- BLOCKER

blocker harus diberikan pada semua pasien gagal jantung simtomatik dan
fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 %. blocker memperbaiki fungsi ventrikel dan
kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal
jantung, dan meningkatkan kelangsungan hidup
Indikasi pemberian blocker:
a. Fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 %
b. Gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II - IV NYHA)
c. ACEI / ARB (dan antagonis aldosteron jika indikasi)
diberikan
d. Pasien stabil
tidak

ada

secara

kebutuhan

klinis

(tidak

inotropik

ada

perubahan

i.v. dan

tidak

ada

dosis

sudah
diuretik,

tanda

retensi

cairan berat )
Kontraindikasi pemberian blocker:
a. Asma
b. Blok AV (atrioventrikular) derajat 2 dan 3, sindroma sinus sakit
(tanpa

pacu

jantung

permanen),

sinus

bradikardia

(nadi

<

50

x/menit)
Cara pemberian blocker pada gagal jantung:
a. Inisiasi pemberian blocker
b. blocker dapat dimulai

sebelum

pulang

dari

rumah

pada pasien dekompensasi secara hati-hati. Naikan dosis secara titrasi


c. Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2
minggu.

Jangan

naikan

dosis

jika

terjadi

perburukan

sakit
-

gagal

jantung, hipotensi simtomatik atau bradikardi (nadi < 50 x/menit)


d. Jika tidak ada masalah diatas, gandakan dosis blocker sampai
dosis target atau dosis maksimal yang dapat di toleransi
Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian blocker:
a. Hipotensi simtomatik
b. Perburukan gagal jantung
c. Bradikardia
ANTAGONIS ALDOSTERON
Penambahan obat antagonis aldosteron dosis kecil harus dipertimbangkan
pada semua pasien dengan fraksi ejeksi 35 % dan gagal jantung simtomatik
berat (kelas fungsional III - IV NYHA) tanpa hiperkalemia dan gangguan fungsi

ginjal berat. Antagonis aldosteron mengurangi perawatan rumah sakit karena


perburukan gagal jantung dan meningkatkan kelangsungan hidup.
Indikasi pemberian antagonis aldosterone:
a. Fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 %
b. Gejala sedang sampai berat (kelas fungsional III- IV NYHA)
c. Dosis optimal penyekat dan ACEI atau ARB (tetapi tidak ACEI dan ARB)
Kontraindikasi pemberian antagonis aldosterone:
a.
b.
c.
d.

Konsentrasi serum kalium > 5,0 mmol/L


Serum kreatinin> 2,5 mg/dL
Bersamaan dengan diuretik hemat kalium atau suplemen kalium
Kombinasi ACEI dan ARB

Cara pemberian spironolakton (atau eplerenon) pada gagal jantung:


a.
b.
c.
d.

Inisiasi pemberian spironolakton


Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit.
Naikan dosis secara titrasi
Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 4-8 minggu. Jangan

e.

naikkan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau hiperkalemia.


Periksa kembali fungsi ginjal dan serum elektrolit 1 dan 4 minggu

f.

setelah menaikan dosis


Jika tidak ada masalah diatas, dosis dititrasi naik sampai dosis
target atau dosis maksimal yang dapat di toleransi

Efek

tidak

mengutungkan

yang

dapat

timbul

akibat

pemberian

spironolakton:
a. Hiperkalemia
b. Perburukan fungsi ginjal
c. Nyeri dan/atau pembesaran payudara

ANGIOTENSIN RECEPTOR BLOCKERS (ARB)


ARB direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi
ventrikel kiri 40 % yang tetap simtomatik walaupun sudah diberikan ACEI dan
penyekat dosis optimal, kecuali juga mendapat antagonis aldosteron. Terapi
dengan ARB memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi angka
perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung ARB direkomedasikan
sebagai alternative pada pasien intoleran ACEI. Pada pasien ini, ARB mengurangi

angka
kematian karena penyebab kardiovaskular.
Indikasi pemberian ARB:
a. Fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 %
b. Sebagai pilihan alternatif pada pasien dengan gejala ringan sampai berat (kelas
fungsional II - IV NYHA) yang intoleran ACEI
c. ARB dapat menyebabkan perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia, dan
hipotensi simtomatik sama sepert ACEI, tetapi ARB tidak menyebabkan
batuk
Kontraindikasi pemberian ARB:
a. Sama seperti ACEI, kecuali angioedema
b. Pasien yang diterapi ACEI dan antagonis aldosteron bersamaan
c. Monitor fungsi ginjal dan serum elektrolit serial ketika ARB digunakan
bersama ACEI
Cara pemberian ARB pada gagal jantung:
a.
b.
c.
d.
e.

Inisiasi pemberian ARB


Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit.
Dosis awal pemberian
Naikan dosis secara titrasi
Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2 4 minggu. Jangan

naikan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau hiperkalemia


f. Jika tidak ada masalah diatas, dosis dititrasi naik sampai

dosis

target atau dosis maksimal yang dapat ditoleransi


g. Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit 3 dan 6 bulan setelah
mencapai dosis target atau yang dapat ditoleransi dan selanjutnya tiap 6 bulan/
sekali
Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian ARB:
a. Sama seperti ACEI, kecuali ARB tidak menyebabkan batuk
HYDRALAZINE

DAN

ISOSORBIDE

DINITRATE

(H-ISDN)

Pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 %,


kombinasi

H-ISDN

digunakan

sebagai

alternatif

jika

pasien

terhadap ACEI dan ARB (kelas rekomendasi IIa, tingkatan bukti B).
Indikasi pemberian kombinasi H-ISDN
a. Pengganti ACEI dan ARB dimana keduanya tidak dapat ditoleransi

intoleran

b. Sebagai terapi tambahan ACEI jika ARB atau antagonis aldosteron tidak dapat
ditoleransi Jika gejala pasien menetap walaupun sudah diterapi dengan ACEI,
penyekat dan ARB atau antagonis aldosterone.
Kontraindikasi pemberian kombinasi H-ISDN
a. Hipotensi simtomatik
b. Sindroma lupus
c. Gagal ginjal berat
Cara pemberian kombinasi H-ISDN pada gagal jantung
a.
b.
c.
d.

Inisiasi pemberian kombinasi H-ISDN


Dosis awal: hydralazine 12,5 mg dan ISDN 10 mg, 2 - 3 x/hari
Naikan dosis secara titrasi
Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah

minggu.
e. Jangan naikan dosis jika terjadi hipotensi simtomatik
f. Jika toleransi baik, dosis dititrasi naik sampai

dosis

target

(hydralazine 50 mg dan ISDN 20 mg, 3-4 x/hari).


Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian kombinasi
H-ISDN:
a. Hipotensi simtomatik
b. Nyeri sendi atau nyeri otot
DIGOKSIN
Pada pasien gagal jantung dengan fibrilasi atrial, digoksin dapat digunakan
untuk memperlambat laju ventrikel yang cepat, walaupun obat lain (seperti
penyekat beta) lebih diutamakan. Pada pasien gagal jantung simtomatik,
fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 % dengan irama sinus, digoksin dapat
mengurangi

gejala,

menurunkan

perburukan

gagal

jantung,tetapi

angka
tidak

perawatan

rumah

mempunyai

sakit

efek

karena
terhadap

angka kelangsungan hidup (kelas rekomendasi IIa, tingkatan bukti B)


Indikasi pemberian digoksin:
a. Fibrilasi atrial dengan irama ventrikular saat istrahat > 80 x/menit atau saat
aktifitas> 110 - 120 x/menit Irama sinus
b. Fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 %
c. Gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II-IV NYHA)
d. Dosis optimalACEI dan/atau ARB, penyekat dan antagonis aldosteron jika
ada indikasi. 24 | Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung
Kontraindikasi:

a. Blok AV derajat 2 dan 3 (tanpa pacu jantung tetap); hat-hat jika pasien diduga
sindroma sinus sakit
b. Sindroma pre-eksitasi
c. Riwayat intoleransi digoksin
Cara pemberian digoksin pada gagal jantung:
a. Inisiasi pemberian digoksin
b. Dosis awal: 0,25 mg, 1 x/hari pada pasien dengan fungsi ginjal normal. Pada
pasien usia lanjut dan gangguan fungsi ginjal dosis diturunkan menjadi 0,125
atau 0,0625 mg, 1 x/hari
c. Periksa kadar digoksin dalam plasma segera saat terapi kronik.
d. Kadar terapi digoksin harus antara 0,6 - 1,2 ng/mL
e. Beberapa obat dapat menaikan kadar digoksin dalam

darah

(amiodaron, diltiazem, verapamil, kuinidin).


Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian digoksin:
a. Blok sinoatrial dan blok AV
b. Aritmia atrial dan ventrikular, terutama pada pasien hipokalemia
c. Tanda keracunan digoksin: mual, muntah, anoreksia dan gangguan melihat
warna
DIURETIK
Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda klinis
atau gejala kongesti (kelas rekomendasi I, tingkatan bukit B).Tujuan dari
pemberian diuretik adalah untuk mencapai status euvolemia (kering dan hangat)
dengan dosis yang serendah mungkin, yaitu harus diatur sesuai kebutuhan pasien,
untuk menghindari dehidrasi atau reistensi.
Cara pemberian diuretik pada gagal jantung:
a. Pada saat inisiasi pemberian diuretik periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit
b. Dianjurkan untuk memberikan diuretik pada saat perut kosong
c. Sebagain besar pasien mendapat terapi diuretik loop dibandingkan tiazid
karena efisiensi diuresis dan natriuresis lebih tinggi pada diuretik loop.
Kombinasi keduanya dapat diberikan untuk mengatasi keadaan edema yang
resisten
d. Mulai dengan dosis kecil dan tingkatkan sampai perbaikan gejala dan tanda
kongesti
e. Dosis harus disesuaikan, terutama setelah tercapai berat badan kering (tanpa
retensi cairan),untuk mencegah risiko gangguan ginjal dan dehidrasi. Tujuan

terapi adalah mempertahankan berat badan kering dengan dosis diuretik


minimal
f. Pada pasien rawat jalan, edukasi diberikan agar pasien dapat mengatur dosis
diuretik sesuai kebutuhan berdasarkan pengukuran berat badan harian dan
tanda-tanda klinis dari retensi cairan
Pemberian terapi yang tidak direkomendasikan (dengan manfaat yang tidak
terbukti)
STATIN
Walaupun telah banyak penelitian-penelitian besar mengenai statin dengan
data yang membuktikan manfaat statin, namun sebagian banyak penelitian
tersebut tidak memasukan pasien gagal jantung dedalam subyeknya. Ada beberapa
penelitian mengenai statin pada gagal jantung kronis, namun hasilnya tidak
menyatakan manfaat yang jelas statin, walaupun tidak juga menyatakan bahaya
dari pemberian obat ini
RENIN INHIBITORS ANTIKOAGULAN ORAL
Sampai saat ini belum terdapat data yang menyatakan bahwa
antikoagulan
dan

oral

morbiditas

terbukti
pada

lebih

gagal

baik

dalam

penurunan

bila

dibandingkan

jantung

mortalitas
dengan

plasebo atau aspirin.


Selain terapi obat-obatan yang dapat diberikan pada pasien, dapat juga
diberikan terapi non bedah, yaitu ICD (Implantable cardioverter-defibrillator) dan
CRT

(Cardiac

resynchronization

therapy)

yang

merupakan

alat

yang

direkomendasikan pada gagal jantung lanjut (advanced heart failure) simtomatik,


yang sudah mendapatkan terapi farmakologis gagal jantung secara optimal.
1.

ICD (Implantable cardioverter-defibrillator)


a. Sebagai prevensi sekunder yang direkomendasikan pada pasien dengan
aritmia ventrikuler yang menyebabkan hemodinamik menjadi tidak stabil,
yang diharapkan untuk dapat hidup dalam status fungsional yang baik
selama > 1 tahun lagi, untuk menurunkan risiko kematian mendadak
b. Sebagai prevensi primer : direkomendasikan pada pasien dengan

gagal

jantung simtomatik (NYHA II III) dan EF < 35% walaupun sudah


mendapat terapi optimal lebih adri 3 bulan, yang diharapkan untuk dapat

hidup dalam status fungsional yang baik selama > 1 tahun lagi, untuk
menurunkan risiko kematian mendadak.
2.

CRT (Cardiac resynchronization therapy)


Pada pasien dengan irama sinus NYHA III dan IV dan EF yang rendah,
walaupun mendapat terapi gagal jantung yang optimal
a. Morfologi LBBB : direkomendasikan pada pasien irama sinus dengan
durasi QRS 120 ms, morfologi LBBB dan EF < 35 %, yang diharapkan
untuk dapat hidup dalam status fungsional yang baik selama > 1 tahun
lagi, untuk menurunkan angka rehospitalisasi dan risiko kematian
mendadak
b. Morfologi non LBBB : harus dipertimbangkan pada pasien irama sinus
dengan QRS 120 ms, morfologi QRS irespektif dan EF < 35 %, yang
diharapkan untuk dapat hidup dalam status fungsional yang baik selama >
1 tahun lagi, untuk menurunkan risiko kematian mendadak
Pada pasien dengan irama sinus NYHA II dan EF yang rendah, walaupun
mendapat terapi gagal jantung yang optimal
a. Morfologi LBBB : direkomendasikan (terutama yang CRT-D) pada pasien
irama sinus dengan durasi QRS 130 ms, morfologi LBBB dan EF < 30
%, yang diharapkan untuk dapat hidup dalam status fungsional yang baik
selama > 1 tahun lagi, untuk menurunkan angka rehospitalisasi dan risiko
kematian mendadak
b. Morfologi non LBBB : direkomendasikan (terutama yang CRT-D) pada
pasien irama sinus dengan durasi QRS 150 ms, morfologi QRS
irespektif dan EF < 30 %, yang diharapkan untuk dapat hidup dalam status
fungsional yang baik selama > 1 tahun lagi, untuk menurunkan angka
rehospitalisasi dan risiko kematian mendadak.

H. Komplikasi
1. Syok kardiogenik
Syok kardiogenik merupakan stadium akhir disfungsi ventrikel kiri atau
gagal jantung kongestif, terjadi bila ventrikel kiri mengalami gangguan yang
sangat luas. Otot jantung kehilangan kontraktilitasnya, mengakibatkan
penurunan curah jantung dengan perfusi jaringan yang tidak adekuat ke
organ vital (jantung, otak, ginjal). Tanda klasik syok kardiogenik adalah

tekanan darah rendah, nadi cepat dan lemah, hipoksia otak yang
termanifestasi dengan adanya konfusi dan agitasi, penurunan keluaran urine,
serta kulit yang dingin.
2. Gagal Ginjal
Gagal jantung dapat mengurangi aliran darah menuju ginjal yang akan
menyebabkan gangguan fungsi ginjal apabila tidak diatasi dengan baik.
Penderita gagal ginjal yang disebabkan oleh gagal jantung biasanya
memerlukan terapi dialisis.
3. Kelainan Katup
Seiring dengan bertambahnya pembesaran jantung dan tekanan di dalam
jantung maka katup katup jantung akan berisiko tidak berfungsi dengan
baik. Tanda yang dapat ditemukan dalam pemeriksaan yaitu tersengarnya
murmur pada katup-katup jantung.
4. Kerusakan Hati
Gagal jantung dapat menimbulkan bendungan pada organ-organ yang
dilewati oleh darah sebelum kembali ke jantung, salah satunya adalah hati.
Akan terjadi penumpukan cairan dan peregangan kapsula hati yang
menimbulkan nyeri dan penurunan fungsi hati. Kongesti ini akan disertai
oleh pelebaran vena hepatika.
I.

Prognosis
CHF memiliki sifat letal dan menyebabkan risiko kematian yang
tinggi. Prognosis lebih baik ditemukan pada wanita dan orang dengan usia
muda. (Anderson, et al, 1993). Prognosis penyakit ini akan jelek bila dasar
atau penyebabnya tidak dapat diperbaiki. Seperdua dari pasien gagal jantung
memiliki resiko tinggi meninggal dunia dalam empat tahun sejak diagnosis
ditegakkan dan pada gagal jantung berat, lebih dari 50% akan meninggal
dalam waktu satu tahun (Manggioni, 2005).

BAB IV
KESIMPULAN
1.

Diagnosis pada pasien ini yaitu Congestif Heart


Failure/gagal jantung yang merupakan keadaan patofisiologis berupa kelainan
fungsi jantung sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk
memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan.

2.

Berdasarkan

bagian

jantung

yang

mengalami

kegagalan pemompaan, gagal jantung terbagi atas gagal jantung kiri, gagal
jantung kanan, dan gagal jantung kongestif
3.

Penatalaksanaan gagal jantung secara umum yaitu


untuk memperbaiki oksigenasi dengan pemberian oksigen dan menurunkan
konsumsi O2 melalui istirahat / pembatasan aktivitas, memperbaiki
kontraktilitas otot jantung, dan mengurangi beban jantung

4.

Komplikasi gagal jantung dapat terjadi syok


kardiogenik, gagal ginjal, kelainan katup dan kerusakan hati. Prognosis
Prognosis penyakit ini akan jelek apabila dasar atau penyebabnya tidak dapat
diperbaiki.

DAFTAR PUSTAKA

Guyton dan Hal.1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta EGC


Harrison. Principle of Internal Medicine 16th edition. 2003
Little Brown. 1994. The Criteria Committee for the New York Heart Association.
Nomenclature and Criteria for Diagnosis of Diseases of the Heart and
Great Vessels Ninth Edition.Diakses di www.cebp.nl/media/ tanggal 10
juni 2014
Santoso. A. Erwinanto, dkk. 2007. Diagnosis dan Tatalaksana Praktis Gagal
Jantung Akut
Sudoyo. W. Aru. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta.
FKUI

Anda mungkin juga menyukai