Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Puasa satu hari Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah), aku berharap kepada Allah, itu akan
menghapuskan (dosa) satu tahun sebelumnya dan satu tahun setelahnya. (HR Muslim
dari Abu Qatadah )
Ditulis: Abu Jafar Al-Harits Al-Andalasy -SaddadahullohDarul Hadits Dammaj, Yaman -Harosahulloh-
Di dalam bulan Dzulhijjah terdapat hari-hari penting yang terkait dengan syariat Islam. Selain
tiga ibadah yang agung yaitu haji, sholat ied dan penyembelihan kurban, masih ada
permasalahan-permasalahan fiqh lain yang terkait dengannya. Beberapa diantaranya dengan
memohon pertolongan Alloh- akan kita singgung dalam tulisan ini.
Tidak ada amalan pada hari-hari (dalam setahun) yang lebih baik dari pada amalan pada harihari ini
Para shohabat berkata: Tidak juga jihad wahai Rosululloh?. Beliau menjawab:
Tidak juga jihad. Kecuali seorang lelaki yang keluar mempertaruhkan jiwa dan hartanya lalu
tidak kembali dengan apa-apa (HR Bukhory dari Ibnu Abbas Rodhiyallohu Anhu)
Tidak juga jihad, kecuali orang yang kudanya dilukai dan darahnya ditumpahkan (HR Abu
Awanah)
Rosululloh Shollallohu Alaihi wa Sallam ketika ditanya tentang jihad yang paling ulama, beliau
menjawab:
Orang yang kudanya dilukai dan darahnya ditumpahkan (HR Ahmad dari Jabir Rodhiyallohu
Anhu)[1]
Kembali ke hadits Ibnu Abbas di atas, yang dimaksud dengan hari-hari ini adalah sepuluh hari
pertama bulan Dzulhijjah. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam riwayat Abu Daud, At-Tirmidzi
dan Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah dll:
Tidak ada hari-hari yang amalan sholeh padanya lebih Alloh cintai daripada (amalan sholeh)
pada hari-hari yang sepuluh ini
Keutamaan pada hari-hari tersebut berlaku bagi setiap amalan baik amalan hati, perkataan
maupun perbuatan. Perkara-perkara mustahab (sunat dalam istilah fiqh pent) pada hari-hari ini
lebih baik daripada perkara-perkara mustahab pada hari-hari yang lain. Perkara-perkara wajib
pada hari-hari ini lebih baik daripada perkara-perkara wajib pada hari-hari yang lain. Namun
perkara-perkara wajib pada hari-hari yang lain tetap lebih baik daripada perkara-perkara
mustahab pada hari-hari ini. [Lihat Fathul Bary karya Ibnu Rojab 9/15-16] Karena amalanamalan wajib lebih Alloh cintai daripada amalan-amalan yang mustahab. Alloh Taala berkata
sebagaimana disampaikan Rosululloh Shollallohu Alaihi wa Sallam dalam sebuah hadits Qudsy:
Tidaklah hamba-Ku mendekatkan dirinya kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai
kecuali dengan apa-apa yang telah Kuwajibkan baginya (HR Bukhory dari Abu Huroiroh
Rodhiyallohu Anhu)
Puasa Arofah adalah puasa sunat yang paling utama. Hal itu dikarenakan besarnya keutamaan
yang dijanjikan. Rosululloh Shollallohu Alaihi wa Sallam ditanya tentang puasa di hari Arofah,
maka beliau menjawab:
Menghapuskan kesalahan tahun sebelumnya dan tahun setelahnya (HR Muslim dari Abu
Qotadah Rodhiyallohu Anhu)
Yang dimaksud dengan menghapuskan kesalahan tahun setelahnya: Orang tersebut diberi taufik
untuk tidak melakukan perbuatan dosa, atau jika dia terjatuh ke dalam perbuatan dosa maka dia
diberi taufik untuk melakukan perbuatan yang bisa menghapuskannya. [Subulus Salaam karya
Imam Ash-Shonany 1/581]
Abu Burdah bin Dinar Rodhiyallohu Anhu berkata: Wahai Rosululloh, sesungguhnya aku telah
menyembelih kambingku sebelum sholat (ied pent). Aku mengetahui bahwa hari ini adalah hari
makan dan minum. Aku menyukai kalau kambingku adalah kurban pertama yang disembelih di
rumahku, maka aku menyembelih kambingku dan aku sarapan sebelum aku mendatangi sholat.
Maka Rosululloh bersabda:
Kambingmu adalah kambing (tak lebih dari ) sekedar daging (untuk makanan tidak sah sebagai
kurban pen) . (HR Bukhory)
Demikian juga dengan tiga hari setelahnya tanggal 11-13 Dzulhijjah yang disebut dengan Harihari Tasyrik[2] dan disebut juga dengan Hari-hari Mina karena para jemaah haji tinggal di sana
untuk melontar jumroh. Rosululloh Shollallohu Alaihi Sallam:
Hari-hari tasyrik adalah hari-hari makan dan minum (HR Muslim dari Nubaisyah Al-Hudzaly)
Hari-hari tasyrik adalah hari-hari makan dan minum (HR Muslim dari Kaab bin Malik)
Menampakkan kesenangan dan kegembiraan pada hari-hari ini adalah perkara yang diyariatkan
karena hari-hari ied termasuk syiar Islam yang mulia dan syiar adalah sesuatu yang mesti
ditampakkan. Syiar ini juga menunjukkan bahwa dalam agama ini terdapat kelonggaran.
Ketika sekelompok orang dari Habasyah (Ethiopia) bermain dengan alat perang mereka di hari
ied, Rosululloh Shollallohu Alaihi Sallam berkata:
Agar orang Yahudi mengetahui bahwa di dalam agama kita terdapat kelonggaran.
Sesungguhnya aku diutus dengan sesuatu yang lurus lagi mudah. (HR Ahmad dari Aisyah
Rodhiyallohu Anha)[3]
Anas bin Malik Rodhiyallohu Anhu mengatakan: Dahulu orang-orang jahiliyyah di Madinah
memiliki dua hari dalam satu tahun yang mereka melakukan permainan di hari itu. Ketika
Rosululloh Shollallohu Alaihi wa Sallam mendatangi Madinah, beliau berkata:
Dahulu kalian memiliki dua hari yang kalian melakukan permainan padanya. Sungguh Alloh
telah menggantikan keduanya bagi kalian dengan sesuatu yang lebih baik yaitu Iedul Adha dan
Iedul fithri (HR An-Nasaiy dan lainnya)[4]
Al-Maghriby Rahimahulloh mengatakan: Pada hadits tersebut terdapat dalil bahwa rasa senang,
menampakkan kegembiraan dan suka-ria di kedua hari Ied adalah perkara yang dicintai. [AlBadrut Tamam 4/44]
Tentunya kegembiraan tersebut diisi dengan perkara-perkara yang mubah dan tidak memberatberatkan diri.
Agar mereka menyaksikan berbagai manfaat untuk mereka dan agar mereka menyebut nama
Alloh pada hari-hari yang telah dimaklumi atas rezki yang telah Dia berikan kepada mereka
berupa hewan ternak (QS Al-Hajj 28)
Berdzikirlah kepada Alloh pada hari-hari yang telah ditentukan jumlahnya (QS Al-Baqoroh
203)
Ibnu Abbas Rodhiyallohu Anhu menafsirkan bahwa: hari-hari yang telah dimaklumi adalah
sepuluh hari pertama (Dzulhijjah), sementara hari-hari yang telah ditentukan jumlahnya adalah
hari-hari Tasyrik. (Diriwayatkan Al-Baihaqy di Syuabul Iman)[5]
Dalam riwayat lain pada hadits Nubaisyah Al-Hudzali Rodhiyallohu Anhu terdahulu, terdapat
tambahan:
Jadi mulai dari tanggal satu sampai tiga belas Dzulhijjah adalah hari-hari mulia dimana kaum
muslimin dianjurkan untuk banyak berdzikir, terlebih pada sepuluh hari pertama karena itu
adalah hari-hari yang paling mulia di sisi Alloh.
Diantara hikmah-Nya yang agung, Dia Subhanahu wa Taala tidak menciptakan hamba-Nya
untuk bermain-main saja. Kegembiraan yang terjadi pada hari-hari Ied bukanlah kegembiraan
yang kosong dari penghayatan akan keagungan agama ini. Karena perayaan adalah bagian dari
agama, Alloh memiliki hikmah dalam menetapkan perkara tersebut diantaranya yang
disebutkan dalam hadits Aisyah di atas-. Tidak mesti ada pertentangan antara kegembiraan di
hari-hari tersebut dengan penghambaan kita kepada Alloh, hal itu ditunjukkan dengan
disyariatkannya memperbanyak dzikrulloh pada hari-hari itu.
Singkatnya, hari-hari tersebut bukan untuk makan dan minum saja akan tetapi dibarengi dengan
banyak berdzikir kepada Alloh. Kondisi ini jika kita terapkan maka akan mengokohkan
keimanan pada hati-hati kita. Kenapa? Karena dengannya kita menyadari bahwa apa-apa yang
dikaruniakan bagi kita semuanya adalah karena rahmat-Nya. Dengannya kita sadar bahkan kita
hidup bukan untuk bermain-main dan berpesta pora, sehingga kita terjaga dari kelengahan dan
kelalaian terhadap perkara akhirat. Karena makanan, minuman, pakaian, dan hiburan merupakan
perkara-perkara yang disukai jiwa dan bisa menghanyutkan pemiliknya kepada jalan yang tidak
diridhoi-Nya.
Hari Arofah, hari An-Nahr (idul Adha pen) dan hari hari Tasyrik adalah hari raya kita
penganut agama Islam, dan itu adalah hari-hari makan dan minum, (HR Ahmad, Abu Daud dan
selain mereka dari Uqbah bin Amir Rodhiyallohu Anhu).[6]
Masalah keharaman puasa pada hari Iedul Fithri maupun Iedul Adha dalilnya jelas. Abu
Hurairoh Rodhiyallohu Anhu mengatakan:
Sesungguhnya Rosululloh Shollallohu Alaihi wa Sallam melarang berpuasa pada dua hari, hari
(Iedul) Adha dan (Iedul) Fithri (HR Bukhory-Muslim dari Abu Hurairoh, Umar dan Abu
Said Al-Khudry Rodhiyallohu Anhum)
Sementara untuk hari-hari sisanya (Hari Arofah dan hari-hari Tasyrik) terjadi perbedaan
pendapat di kalangan ulama. Sebagian ulama berdalil dengan hadits Uqbah bin Amir tersebut
sebagai lantasan atas larangan puasa pada hari tasyrik karena merupakan hari ied, namun
sebagiannya membantah dengan adanya penyebutan hari Arofah pada hadits tersebut, sementara
puasa pada hari Arofah disyariatkan, maka tidak mesti puasa pada hari Tasyrik juga dilarang.
Untuk meringkas pembahasan dan mempermudah alur pemahaman, kita simak dulu perkataan
Imam Ibnu Rojab Rahimahulloh Taala dalam masalah ini, karena perincian yang beliau
nukilkan dari jumhur (mayoritas) ulama adalah pendapat terkuat dalam masalah ini wallohu
alam.[7]
Beliau Rahimahulloh Taala mengatakan: Terjadi polemik dalam pengarahan hadits ini oleh
kebanyakan ulama karena hadits tersebut menunjukkan bahwa hari Arofah adalah hari ied yang
tidak boleh puasa sebagaimana diriwayatkan dari sebagian ulama terdahulu. Sebagian ulama
membawa larangan (puasa) bagi jemaah haji yang ketika itu sedang wukuf (di pada Arofah) dan
ini adalah pendapat yang shohih. Karena pada hari itu merupakan tempat bertemu dan berkumpul
yang terbesar bagi mereka (para jemaah haji) berbeda dengan orang yang tinggal di daerahdaerah (yakni yang tidak melakukan haji pen) sebab perkumpulan mereka adalah pada hari AnNahr (Idul Adha). Sementara hari-hari tasyrik maka berlaku hukumnya untuk orang-orang yang
di daerah-daerah dan para jemaah haji karena itu adalah hari-hari penyembelihan dan makanmakan hewan kurban mereka. Ini adalah pendapat mayoritas ulama. [Fathul Bary karya Ibnu
Rojab 1/173]
Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan: Yang dimaksud dengan Ied pada hari Arofah
adalah ied bagi jemaah haji, jadi pembahasan larangan puasa pada hari Arofah khusus bagi
mereka.
Adapun hari ied pada hari-hari tasyrik berlaku umum bagi jemaah haji maupun yang tidak,
maka larangan puasa pun berlaku umum (kecuali jika ada dalil yang mengkhususkan sehingga
keluar dari larangan tersebut -pent).
Masalah puasa bagi jemaah haji di Arofah maka menurut pendapat jumhur larangannya tidak
sampai ke derajat haram. Hal ini dikarenakan keutamaan-keutamaan melakukan puasa Arofah
berlaku umum bagi kaum muslimin baik yang sedang haji maupun tidak. Inilah cara
menggabung hadits Uqbah dengan hadits tentang keutamaan puasa Arofah yang telah lewat.
Terdapat tiga pendapat di kalangan ulama, ada yang membolehkan, ada yang mengharamkan
tanpa kecuali dan ada yang mengharamkan dengan pengecualian.
Adapun pendapat yang pertama yang membolehkan- maka ini adalah pendapat yang lemah
dikarenakan terdapatnya dalil yang tegas dalam masalah ini. Sementara adanya sekalangan salaf
yang berpendapat demikian, kemungkinannya dikarenakan dalil-dalil tentang larangan yang
tegas tidak sampai kepada mereka. Diantara dalil-dalil tersebut:
Abu Murroh maula Ummi Hani datang pada hari Tasyrik bersama Abdulloh bin Amr
menemui bapaknya Amr bin Al-Ash Rodhiyallohu Anhum. Maka beliau menyuguhkan
makanan kepada mereka berdua. Abdulloh berkata: Sesungguhnya saya sedang berpuasa.
Maka Amr mengatakan: Makanlah. Hari-hari ini adalah hari-hari yang dahulu Rosululloh
Shollallohu Alaihi wa Sallam memerintahkan kami untuk ifthor (makan minum, tidak berpuasa
pent) dan melarang kami untuk berpuasa padanya. (HR Abu Daud, dishohihkan Syaikh AlAlbany dan Syaikh Muqbil Rodhiyallohu Anhu).
Dengan demikian tersisa dua pendapat dan pendapat ketigalah yang lebih kuat. Hal ini
dikarenakan adanya dalil tentang pengecualian larangan bagi jemaah haji tamattu (berihrom
untuk umroh di bulan-bulan haji, setelah selesai kemudian tinggal di Makkah sampai datangnya
waku pelaksanaan haji dengan ihrom yang baru) yang tidak mendapatkan hadyu (hewan ternak
yang dibawa jemaah haji ke Baitul Haram untuk disembelih).
Aisyah dan Ibnu Umar mengatakan: Tidak ada diberikan keringanan untuk berpuasa di hari
tasyrik kecuali bagi jemaah haji yang tidak mendapatkan hadyu. (HR Bukhory)
Kemudian dalil yang menunjukkan pengecualian ini adalah firman Alloh Taala:
Barangsiapa yang melakukan tamattu dengan umroh sebelum haji maka dia (wajib)
menyembelih hadyu yang mudah didapat. Barangsiapa yang tidak mendapatkannya maka dia
berpuasa tiga hari di hari-hari haji serta tujuh hari setelah kalian kembali (QS Al-Baqoroh 196)
Ibnul Qishor Rahimahulloh mengatakan: Tidak ada perselisihan di kalangan ulama bahwa ayat
ini turun pada hari Tarwiyah, yaitu tanggal delapan Dzulhijjah. Maka diketahui bahwa boleh
bagi mereka untuk puasa pada hari-hari tersebut (hari-hari tasyrik) karena yang tersisa dari
sepuluh hari pertama dzulhijjah hanya tanggal delapan dan sembilan. Sementara tanggal delapan
hari dimana turun ayat- tidak sah puasa ketika itu karena orang yang tidak punya hady (ketika
ayat itu turun pent) harus berniat puasa sejak malamnya. Adapun tanggal sepuluh maka itu
adalah hari An-Nahr (Iedul Adha) tidak boleh puasa padanya menurut ijma. Sehingga diketahui
bahwasanya mereka berpuasa setelah hari itu [Syarh Shohih Al-Bukhory karya Ibnu Bathtol
4/138]
Di tanggal delapan atau sembilan tersebut masih ada kesempatan bagi orang tersebut untuk
mencari hadyu (jika dia memiliki uang untuk itu) karena kewajiban penyembelihan hadyu adalah
pada Iedul Adha. Apabila pada penghujung tanggal sembilan dia tidak bisa mendapatnya maka
hanya tersisa kemungkinan hari tasyrik untuk puasa yang tiga hari tersebut. [Lihat: Syarh Shohih
Al-Bukhory karya Ibnu Bathtol 4/137-138, Fathul Allam karya Syaikh Muhammad Hizam 719720]