Anda di halaman 1dari 36

KEPERAWATAN POSTOPERATIF

Filed under: 1 ROBBY BEE @ 8:52 AM


______________________________________________________________________
A. PENDAHULUAN
Keperawatan post operatif adalah periode akhir dari keperawatan perioperatif. Selama
periode ini proses keperawatan diarahkan pada menstabilkan kondisi pasien pada keadaan
equlibrium fisiologis pasien, menghilangkan nyeri dan pencegahan komplikasi.
Pengkajian yang cermat dan intervensi segera membantu pasien kembali pada fungsi
optimalnya dengan cepat, aman dan nyaman.
Upaya yang dapat dilakukan diarahkan untuk mengantisipasi dan mencegah masalah
yang kemungkinan mucul pada tahap ini. Pengkajian dan penanganan yang cepat dan
akurat sangat dibutuhkan untuk mencegah komplikasi yang memperlama perawatan di
rumah sakit atau membayakan diri pasien. Memperhatikan hal ini, asuhan keperawatan
post operatif sama pentingnya dengan prosedur pembedahan itu sendiri.
B. TAHAPAN KEPERAWATAN POST OPERATIF
Perawatan post operatif meliputi beberapa tahapan, diantaranya adalah :
1. Pemindahan pasien dari kamar operasi ke unit perawatan pasca anastesi (recovery
room),
2. Perawatan post anastesi di ruang pemulihan (recovery room),
3. Transportasi pasien ke ruang rawat,
4. Perawatan di ruang rawat.
1. PEMINDAHAN PASIEN DARI KAMAR OPERASI KE RUANG PEMULIHAN
Pemindahan pasien dari kamar operasi ke ruang pemulihan atau unit perawatan pasca
anastesi (PACU: post anasthesia care unit) memerlukan pertimbangan-pertimbangan
khusus. Pertimbangan itu diantaranya adalah letak incisi bedah, perubahan vaskuler dan
pemajanan. Letak incisi bedah harus selalu dipertimbangkan setiap kali pasien pasca
operatif dipidahkan. Banyak luka ditutup dengan tegangan yang cukup tinggi, dan setiap
upaya dilakukan untuk mencegah regangan sutura lebih lanjut. Selain itu pasien
diposisikan sehingga ia tidak berbaring pada posisi yang menyumbat drain dan selang
drainase.
Hipotensi arteri yang serius dapat terjadi ketika pasien digerakkan dari satu posisi ke
posisi lainnya. Seperti posisi litotomi ke posisi horizontal atau dari posisi lateral ke posisi
terlentang. Bahkan memindahkan pasien yang telah dianastesi ke brankard dapat
menimbulkan masalah gangguan vaskuler juga. Untuk itu pasien harus dipindahkan
secara perlahan dan cermat. Segera setelah pasien dipindahkan ke barankard atau tempat
tidur, gaun pasin yang basah (karena darah atau cairan lainnnya) harus segera diganti
dengan gaun yang kering untuk menghindari kontaminasi. Selama perjalanan transportasi
tersebut pasien diselimuti dan diberikan pengikatan diatas lutut dan siku serta side rail
harus dipasang untuk mencegah terjadi resiko injury.
Selain hal tersebut diatas untuk mempertahankan keamanan dan kenyamanan pasien.
Selang dan peralatan drainase harus ditangani dengan cermat agar dapat berfungsi dengan
optimal.
Proses transportasi ini merupakan tanggung jawab perawat sirkuler dan perawat anastesi

dengan koordinasi dari dokter anastesi yang bertanggung jawab.


2. PERAWATAN POST ANASTESI DI RUANG PEMULIHAN (RECOVERY ROOM)
Setelah selesai tindakan pembedahan, paseien harus dirawat sementara di ruang pulih
sadar (recovery room : RR) sampai kondisi pasien stabil, tidak mengalami komplikasi
operasi dan memenuhi syarat untuk dipindahkan ke ruang perawatan (bangsal
perawatan).
PACU atau RR biasanya terletak berdekatan dengan ruang operasi. Hal ini disebabkan
untuk mempermudah akses bagi pasien untuk (1) perawat yang disiapkan dalam merawat
pasca operatif (perawat anastesi) (2) ahli anastesi dan ahli bedah (3) alat monitoring dan
peralatan khusus penunjang lainnya.
Alat monitoring yang terdapat di ruang ini digunakan untuk memberikan penilaian
terhadap kondisi pasien. Jenis peralatan yang ada diantaranya adalah alat bantu
pernafasan : oksigen, laringoskop, set trakheostomi, peralatan bronkhial, kateter nasal,
ventilator mekanik dan peralatan suction. Selain itu di ruang ini juga harus terdapat alat
yang digunakan untuk memantau status hemodinamika dan alat-alat untuk mengatasi
permasalahan hemodinamika, seperti : apparatus tekanan darah, peralatan parenteral,
plasma ekspander, set intravena, set pembuka jahitan, defibrilator, kateter vena, torniquet.
Bahan-bahan balutan bedah, narkotika dan medikasi kegawatdaruratan, set kateterisasi
dan peralatan drainase.
Selain alat-alat tersebut diatas, pasien post operasi juga harus ditempatkan pada tempat
tidur khusus yang nyaman dan aman serta memudahkan akses bagi pasien, seperti :
pemindahan darurat. Dan dilengkapi dengan kelengkapan yang digunakan untuk
mempermudah perawatan. Seperti tiang infus, side rail, tempat tidur beroda, dan rak
penyimpanan catatan medis dan perawatan. Pasien tetap berada dalam PACU sampai
pulih sepenuhnya dari pegaruh anastesi, yaitu tekanan darah stabil, fungsi pernafasan
adekuat, saturasi oksigen minimal 95% dan tingkat kesadaran yang baik. Kriteria
penilaian yang digunakan untuk menentukan kesiapan pasien untuk dikeluarkan dari
PACU adalah :
Fungsi pulmonal yang tidak terganggu
Hasil oksimetri nadi menunjukkan saturasi oksigen yang adekuat
Tanda-tanda vital stabil, termasuk tekanan darah
Orientasi pasien terhadap tempat, waktu dan orang
Haluaran urine tidak kurang dari 30 ml/jam
Mual dan muntah dalam kontrol
Nyeri minimal
Berikut di bawah adalah form pengkajian post anasteshia
RUANG PEMULIHAN POST ANASTESI
PENILAIAN
Nama : Nilai Akhir :
Ruangan : Ahli bedah/Anasteshia :
Tanggal : Perawat R.R :
Area pengkajian Score Saat penerimaan Setelah
1 jam 2 jam 3 jam
Respirasi : 2

Kemampuan nafas dalam dan batuk 1


Upaya bernafas terbatas (dispneu)
Tidak ada upaya nafas spontan 0
Sirkulasi (tekanan sistolik) 2
80 % dari pre anastesi 1
50 % dari pre anastesi 0
< 50 % dari pre anastesi
Tingkat Kesadaran : 2
Orientasi baik dan respon verbal positif 1
Terbangun ketika dipanggil namanya 0
Tidak ada respon
Warna kulit : 2
Warna dan penampilan kulit normal 1
Pucat, agak kehitaman, keputihan. Ikterik 0
Sianosis
Aktivitas : 2
Mampu menggerakkan semua ekstrimitas 1
Mampu menggerakkan hanya 2 ekstrimitas 0
Tak mampu mengontrol ektrimitas
Total
Keterangan :
Pasien bisa dipindahkan ke ruang perawatan dari ruang PACU/RR jika nilai pengkajian
post anastesi > 7-8.
Tujuan Perawatan Pasien Di Pacu adalah :
1. Mempertahankan jalan nafas
Dengan mengatur posisi, memasang suction dan pemasangan mayo/gudel.
2. Mempertahankan ventilasi/oksigenasi
Ventilasi dan oksigenasi dapat dipertahankan dengan pemberian bantuan nafas melalui
ventilaot mekanik atau nasal kanul.
3. Mempertahakan sirkulasi darah
Mempertahankan sirkulasi darah dapat dilakukan dengan pemberian cairan plasma
ekspander.
4. Observasi keadaan umum, observasi vomitus dan drainase
Keadaan umum dari pasien harus diobservasi untuk mengetahui keadaan pasien, seperti
kesadaran dan sebagainya. Vomitus atau muntahan mungkin saja terjadi akibat penagaruh
anastesi sehingga perlu dipantau kondisi vomitusnya. Selain itu drainase sangat penting
untuk dilakukan obeservasi terkait dengan kondisi perdarahan yang dialami pasien.
5. Balance cairan
Harus diperhatikan untuk mengetahui input dan output caiaran klien. Cairan harus
balance untuk mencegah komplikasi lanjutan, seperti dehidrasi akibat perdarahan atau
justru kelebihan cairan yang justru menjadi beban bagi jantung dan juga mungkin terkait
dengan fungsi eleminasi pasien.
6. Mempertahanakn kenyamanan dan mencegah resiko injuri
Pasien post anastesi biasanya akan mengalami kecemasan, disorientasi dan beresiko besar

untuk jatuh. Tempatkan pasien pada tempat tidur yang nyaman dan pasang side railnya.
Nyeri biasanya sangat dirasakan pasien, diperlukan intervensi keperawatan yang tepat
juga kolaborasi dengan medis terkait dengan agen pemblok nyerinya.
Hal-hal yang harus diketahui oleh perawat anastesi di ruang PACU adalah :
1. Jenis pembedahan
Jenis pembedahan yang berbeda tentunya akan berakibat pada jenis perawatan post
anastesi yang berbeda pula. Hal ini sangat terkait dengan jenis posisi yang akan diberikan
pada pasien.
2. Jenis anastesi
Perlu diperhatikan tentang jenis anastesi yang diberikan, karena hal ini penting untuk
pemberian posisi kepada pasien post operasi. Pada pasien dengan anastesi spinal maka
posisi kepala harus agak ditinggikan untuk mencegah depresi otot-otot pernafasan oleh
obat-obatan anastesi, sedangkan untuk pasien dengan anastesi umum, maka pasien
diposisika supine dengan posisi kepala sejajar dengan tubuh.
3. Kondisi patologis klien
Kondisi patologis klien sebelum operasi harus diperhatikan dengan baik untuk
memberikan informasi awal terkait dengan perawatan post anastesi. Misalnya: pasien
mempunyai riwayat hipertensi, maka jika pasca operasi tekanan darahnya tinggi, tidak
masalah jika pasien dipindahkan ke ruang perawatan asalkan kondisinya stabil. Tidak
perlu menunggu terlalu lama.
4. Jumlah perdarahan intra operatif
Penting bagi perawata RR untuk mengetahui apa yang terjadi selama operasi (dengan
melihat laporan operasi) terutama jumlah perdarahan yang terjadi. Karena dengan
mengetahui jumlah perdarahan akan menentukan transfusi yang diberikan.
5. Pemberian tranfusi selama operasi
Apakah selama operasi pasien telah diberikan transfusi atau belum, jumlahnya berapa dan
sebagainya. Hal ini diperlukan untuk menentukan apakah pasien masih layak untuk
diberikan transfusi ulangan atau tidak.
6. Jumlah dan jenis terapi cairan selama operasi
Jumlah dan jenis cairan operasi harus diperhatikan dan dihitung dibandingkan dengan
keluarannya. Keluaran urine yang terbatas < 30 ml/jam kemungkinan menunjukkan
gangguan pada fungsi ginjalnya.
7. Komplikasi selama pembedahan
Komplikasi yang paling sering muncul adalah hipotensi, hipotermi dan hipertermi
malignan. Apakah ada faktor penyulit dan sebagainya.
3. TRANSPORTASI PASIEN KE RUANG RAWAT
Transportasi pasien bertujuan untuk mentransfer pasien menuju ruang rawat dengan
mempertahankan kondisi tetap stabil. Jika anda dapat tugas mentransfer pasien, pastikan
score post anastesi 7 atau 8 yang menunjukkan kondisi pasien sudah cukup stabil.
Waspadai hal-hal berikut : henti nafas, vomitus, aspirasi selama transportasi.
Faktor-faktor yang harus diperhatikan pada saat transportasi klien :
a. Perencanaan
Pemindahan klien merupakan prosedur yang dipersiapkan semuanya dari sumber daya
manusia sampai dengan peralatannya.

b. Sumber daya manusia (ketenagaan)


Bukan sembarang orang yang bisa melakukan prosedur ini. Orang yang boleh melakukan
proses transfer pasien adalah orang yang bisa menangani keadaan kegawatdaruratan yang
mungkin terjadi sselama transportasi. Perhatikan juga perbandingan ukuran tubuh pasien
dan perawat. Harus seimbang.
c. Equipment (peralatan)
Peralatan yang dipersiapkan untuk keadaan darurat, misal : tabung oksigen, sampai
selimut tambahan untuk mencegah hipotermi harus dipersiapkan dengan lengkap dan
dalam kondisi siap pakai.
d. Prosedur
Untuk beberapa pasien setelah operasi harus ke bagian radiologi dulu dan sebagainya.
Sehingga hendaknya sekali jalan saja. Prosedur-prosedur pemindahan pasien dan
posisioning pasien harus benar-benar diperhatikan demi keamanan dan kenyamanan
pasien.
e. Passage (jalur lintasan)
Hendaknya memilih jalan yang aman, nyaman dan yang paling singkat. Ekstra waspada
terhadap kejadian lift yang macet dan sebagainya.
4. PERAWATAN DI RUANG RAWAT
Ketika pasien sudah mencapai bangsal, maka hal yang harus kita lakukan, yaitu :
a. Monitor tanda-tanda vital dan keadaan umum pasien, drainage, tube/selang, dan
komplikasi. Begitu pasien tiba di bangsal langsung monitor kondisinya. Pemerikasaan ini
merupakan pemeriksaan pertama yang dilakukan di bangsal setelah post operasi.
b. Manajemen Luka
Amati kondisi luka operasi dan jahitannya, pastikan luka tidak mengalami perdarahan
abnormal. Observasi discharge untuk mencegah komplikasi lebih lanjut. Manajemen luka
meliputi perawatan luka sampai dengan pengangkatan jahitan.
c. Mobilisasi dini
Mobilisasi dini yang dapat dilakukan meliputi ROM, nafas dalam dan juga batuk efektif
yang penting untuk mengaktifkan kembali fungsi neuromuskuler dan mengeluarkan
sekret dan lendir.
d. Rehabilitasi
Rehabilitasi diperlukan oleh pasien untuk memulihkan kondisi pasien kembali.
Rehabilitasi dapat berupa berbagai macam latihan spesifik yang diperlukan untuk
memaksimalkan kondisi pasien seperti sedia kala.
e. Discharge Planning
Merencanakan kepulangan pasien dan memberikan informasi kepada klien dan
keluarganya tentang hal-hal yang perlu dihindari dan dilakukan sehubungan dengan
kondis/penyakitnya post operasi.
Ada 2 macam discharge planning :
a. Untuk perawat : berisi point-point discahrge planing yang diberikan kepada klien
(sebagai dokumentasi)
b. Untuk pasien : dengan bahasa yang bisa dimengerti pasien dan lebih detail.
Contoh nota discharge planning pada pasien post tracheostomy :
1. Untuk perawat : pecegahan infeksi pada area stoma

2. Untuk klien : tutup lubang operasi di leher dengan kassa steril (sudah disiapkan)
Dalam merencanakan kepulangan pasien, kita harus mempertimbangkan 4 hal berikut:
1. Home care preparation
Memodifikasi lingkungan rumah sehingga tidak mengganggu kondisi klien. Contoh :
klien harus diatas kursi roda/pakai alat bantu jalan, buat agar lantai rumah tidak licin.
Kita harus juga memastikan ada yang merawat klien di rumah.
2. Client/family education
Berikan edukasi tentang kondisi klien. Cara merawat luka dan hal-hal yang harus
dilakukan atau dihindari kepada keluarga klien, terutama orang yang merawat klien.
3. Psychososial preparation
Tujuan dari persiapan ini adalah untuk memastikan hubungan interpersonal sosial dan
aspek psikososial klien tetap terjaga.
4. Health care resources
Pastikan bahwa klien atau keluarga mengetahui adanya pusat layanan kesehatan yang
terdekat dari rumah klien, seperti rumah sakit, puskesmas dan lain-lain. Jadi jika dalam
keadaan darurat bisa segera ada pertolongan.
C. KOMPLIKASI POST OPERASI
1. Syok
Syok yang terjadi pada pasien bedah biasanya berupa syok hipovolemik, syok nerogenik
jarang terjadi. Tanda-tanda syok secara klasik adalah sebagai berikut :
Pucat
Kulit dingin, basah
Pernafasan cepat
Sianosis pada bibir, gusi dan lidah
Nadi cepat, lemah dan bergetar
Penurunan tekanan darah
Urine pekat
Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan adalah kolaborasi dengan dokter terkait
dengan pengobatan yang dilakukan seperti terapi obat, penggantian cairan per IV dan
juga terapi pernafasan. Terapi obat yang diberikan meliputi obat-obatan kardiotonik
(natrium sitroprusid), diuretik, vasodilator dan steroid. Cairan yang digunakan adalah
cairan kristaloid sperti ringer laktat dan koloid seperti terapi komponen darah, albumin,
plasma. Terapi pernafasan dilakukan dengan memantau gas darah arteri, fungsi pulmonal
dan juga pemberian oksigen melalui intubasi atau nasal kanul.
Intervensi mandiri keperawatan meliputi :
Dukungan psikologis,
Pembatasan penggunaan energi,
Pemantauan reaksi pasien terhadap pengobatan
Peningkatan periode istirahat.
Pencegahan hipotermi dengan menjaga tubuh pasien agar tetap hangat karena hipotermi
mengurangi oksigenasi jaringan
Melakukan perubahan posisi pasien tiap 2 jam dan mendorong pasien untuk melakukan
nafas dalam untuk meningkatkan fungsi optimal paru
Pencegahan komplikasi dengan memonitor pasien secara ketat selama 24 jam. Seperti
edema perifer dan edema pulmonal.

2. Perdarahan
Penatalaksanaan perdarahan seperti halnya pada pasien syok. Pasien diberikan posisi
terlentang dengan posisi tungkai kaki membentuk sudut 20 derajat dari tempat tidur
sementara lutut harus dijag tetap lurus.
Penyebab perdarahan harus dikaji dan diatasi. Luka bedah harus selalu diinspeksi
terhadap perdarahan. Jika perdarahan terjadi, kassa steril dan balutan yang kuat
dipasangkan dan tempat perdarahan ditinggikan pada posisi ketinggian jantung.
Pergantian cairan koloid disesuaikan dengan kondisi pasien.
3. Trombosis vena profunda
Trombosis vena profunda adalah trombosis yang terjadi pada pembuluh darah vena
bagian dalam. Komplikasi serius yang bisa ditimbulkan adalah embolisme pulmonari dan
sindrom pasca flebitis.
4. Retensi urin
Retensi urine paling sering terjadi pada kasus-kasus pembedahan rektum, anus dan
vagina. Atau juga setelah herniofari dan pembedahan pada daerah abdomen bawah.
Penyebabnya adalah adanya spasme spinkter kandung kemih.
Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan adalah pemasangan kateter untuk membatu
mengeluarkan urine dari kandung kemih.
5. Infeksi luka operasi (dehisiensi, evicerasi, fistula, nekrose, abses)
Infeksi luka psot operasi seperti dehiseinsi dan sebaginya dapat terjadi karena adanya
kontaminasi luka operasi pada saat operasi maupun pada saat perawatan di ruang
perawatan. Pencegahan infeksi penting dilakukan dengan pemberian antibiotik sesuai
indikasi dan juga perawatan luka dengan prinsip steril.
6. Sepsis
Sepsis merupakan komplikasi serius akibat infeksi dimana kuman berkembang biak.
Sepsis dapat menyebabkan kematian bagi pasien karena dapat menyebabkan kegagalan
multi organ.
7. Embolisme Pulmonal
Embolsime dapat terjadi karena benda asing (bekuan darah, udara dan lemak) yang
terlepas dari tempat asalnya terbawa di sepanjang aliran darah. Embolus ini bisa
menyumbat arteri pulmonal yang akan mengakibatkan pasien merasa nyeri seperti
ditusuk-tusuk dan sesak nafas, cemas dan sianosis. Intervensi keperawatan seperti
ambulatori pasca operatif dini dapat mengurangi resiko embolus pulmonal.
8. Komplikasi Gastrointestinal
Komplikasi pada gastrointestinal paling sering terjadi pada pasien yang mengalami
pembedahan abdomen dan pelvis. Komplikasinya meliputi obstruksi intestinal, nyeri dan
juga distensi abdomen.
DAFTAR PUSTAKA
Effendy, Christantie, 2002, Handout Kuliah Keperawatan Medikal Bedah : Preoperatif
Nursing, Tidak dipublikasikan, Yogyakarta.
Effendy, Christantie dan Ag. Sri Oktri Hastuti, 2005, Kiat Sukses menghadapi Operasi,
Sahabat Setia, Yogyakarta.
Shodiq, Abror, 2004, Operating Room, Instalasi Bedah Sentral RS dr. Sardjito
Yogyakarta, Tidak dipublikasikan, Yogyakarta.
Sjamsulhidayat, R. dan Wim de Jong, 1998, Buku Ajar Imu Bedah, Edisi revisi, EGC,
Jakarta

Smeltzer, Suzanne C. and Brenda G. Bare, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah: Brunner Suddarth, Vol. 1, EGC, Jakarta
Wibowo, Soetamto, dkk, 2001, Pedoman Teknik Operasi OPTEK, Airlangga University
Press, Surabaya.
PERAWATAN PASCA OPERASI
.2 Tujuan Perawatan Post Operasi
Tujuan perawatan pasca operasi adalah pemulihan kesehatan fisiologi dan psikologi
wanita kembali normal. Periode postoperatif meliputi waktu dari akhir prosedur pada
ruang operasi sampai pasien melanjutkan rutinitas normal dan gaya hidupnya. Secara
klasik, kelanjutan ini dibagi dalam tiga fase yang tumpang tindih pada status fungsional
pasien. Aturan dan perhatian para ginekolog secara gradual berkembang sejalan dengan
pergerakan pasien dari satu fase ke fase lainnya. Fase pertama, stabilisasi perioperatif,
menggambarkan perhatian para ahli bedah terhadap permulaan fungsi fisiologi normal,
utamanya sistem respirasi, kardiovaskuler, dan saraf. Pada pasien yang berumur lanjut,
akan memiliki komplikasi yang lebih banyak, dan prosedur pembedahan yang lebih
kompleks, serta periode waktu pemulihan yang lebih panjang. Periode ini meliputi
pemulihan dari anesthesia dan stabilisasi homeostasis, dengan permulaan intake oral.
Biasanya periode pemulihan 24-28 jam.
Fase kedua, pemulihan postoperatif, biasanya berakhir 1-4 hari. fase ini dapat terjadi di
rumah sakit dan di rumah. Selama masa ini, pasien akan mendapatkan diet teratur,
ambulasi, dan perpindahan pengobatan nyeri dari parenteral ke oral. Sebagian besar
komplikasi tradisional postoperasi bersifat sementara pada masa ini. Fase terakhir dikenal
dengan istilah kembali ke normal, yang berlangsung pada 1-6 minggu terakhir.
Perawatan selama masa ini muncul secara primer dalam keadaan rawat jalan. Selama fase
ini, pasien secara gradual meningkatkan kekuatan dan beralih dari masa sakit ke aktivitas
normal.
2.3 Pedoman Perawatan Post Operasi
Setelah operasi selesai, penderita tidak boleh ditinggalkan sampai ia sadar. Harus dijaga
supaya jalan napas tetap bebas. Periode postoperatif meliputi waktu dari akhir prosedur
pada ruang operasi sampai pasien melanjutkan rutinitas normal dan gaya hidupnya.
Penderita yang menjalani operasi kecuali operasi kecil, keluar dari kamar operasi dengan
infus intravena yang terdiri atas larutan NaCl 0,9% atau glukosa 5% yang diberikan
berganti-ganti menurut rencana tertentu. Di kamar operasi (atau sesudah keluar dari situ)
ia, jika perlu, diberi pula transfusi darah.
Pada waktu operasi penderita kehilangan sejumlah cairan, sehingga ia meninggalkan
kamar operasi dengan defisit cairan. Oleh karena itu, biasanya pascaoperasi minum air
dibatasi, sehingga perlu pengawasan keseimbangan antara cairan yang masuk dengan
infus, dan cairan yang keluar. Perlu dijaga jangan sampai terjadi dehidrasi, tetapi
sebaliknya juga jangan terjadi kelebihan dengan akibat edema paru-paru. Untuk
diketahui, air yang dikeluarkan dari badan dihitung dalam 24 jam berupa air kencing dan
cairan yang keluar dengan muntah harus ditambah dengan evaporasi dari kulit dan
pernapasan. Dapat diperkirakan bahwa dalam 24 jam sedikitnya 3 liter cairan harus
dimasukkan untuk mengganti cairan yang keluar.
Sebagai akibat anestesi, penderita pascaoperasi biasanya enek, kadang sampai muntah. Ia

tidak boleh minum, sampai rasa enek hilang sama sekali; kemudian, ia boleh minum
sedikit-sedikit, untuk lambat laun ditingkatkan. Dalam 24 sampai 48 jam pascaoperasi,
hendaknya diberi makanan cair; sesudah itu, apalagi jika sudah keluar flatus, dapat diberi
makanan lunak bergizi untuk lambat-laun menjadi makanan biasa.
Pada pascaoperasi peristalik usus mengurang dan baru lambat laun pulih kembali. Pada
hari kedua pascaoperasi biasanya usus bergerak lagi; dengan gejala mules, kadangkadang disertai dengan perut kembung sedikit. Pengeluaran flatus dapat dibantu dengan
pemberian dosis kecil prostigmin, dengan teropong angin dimasukkan ke dalam rektum,
dan kadang-kadang perlu diberikan klisma kecil terdiri atas 150 cc. campuran minyak
dan gliserin.
Pemberian antibiotik pada pascaoperasi tergantung dari jenis operasi yang dilakukan.
Misalnya, setelah kista ovarium kecil diangkat, tidak perlu diberi antibiotik; akan tetapi
sesudah histerektomi total dengan pembukaan vagina, sebaiknya obat tersebut diberikan.
Pasien dengan masalah kesehatan membutuhkan perawatan postoperatif dalam ICU
untuk mendapatkan ventilasi jangka panjang dan monitoring sentral. Ketika pasien
diserahterimakan kepada perawat harus disertai dengan laporan verbal mengenai kondisi
pasien tersebut berupa kesimpulan operasi dan intruksi pasca operatif. Intruksi pasca
operatif harus sesuai dengan elemen berikut:
2.3.1 Tanda Tanda Vital
Evaluasi tekanan darah, nadi, dan laju pernapasan dilakukan setiap 15-30 menit sampai
pasien stabil kemudian setiap jam setelah itu paling tidak untuk 4-6 jam. Beberapa
perubahan signifikan harus dilaporkan sesegera mungkin. Pengukuran ini, termasuk
temperatur oral, yang harus direkam 4 kali sehari untuk rangkaian sisa pasca operatif.
Anjurkan pernapasan dalam setiap jam pada 12 jam pertama dan setiap 2-3 jam pada 12
jam berikutnya. Pemeriksaan spirometri dan pemeriksaan respirasi oleh terapis menjadi
pilihan terbaik, utamanya pada pasien yang berumur tua, obesitas, atau sebaliknya pada
pasien lainnya yang bersedia atau yang tidak bisa berjalan.
2. 3.2 Perawatan Luka
Fokus penanganan luka adalah mempercepat penyembuhan luka dan meminimalkan
komplikasi dan biaya perawatan. Fokus utama dalam penanganan luka adalah dengan
evakuasi semua hematoma dan seroma dan mengobati infeksi yang menjadi
penyebabnya. Perhatikan perdarahan yang terlalu banyak (inspeksi lapisan dinding
abdomen atau perineal). Lakukan pemeriksaan hematokrit sehari setelah pembedahan
mayor dan, jika perdarahan berlanjut, diindikasikan untuk pemeriksaan ulang. Luka
abdomen harus diinspeksi setiap hari. Umumnya luka jahitan pada kulit dilepaskan 3-5
hari postoperasi dan digantikan dengan Steri-Strips.Idealnya, balutan luka diganti setiap
hari dan diganti menggunakan bahan hidrasi yang baik. Pada luka yang nekrosis,
digunakan balutan tipis untuk mengeringkan dan mengikat jaringan sekitarnya ke balutan
dalam setiap penggantian balutan. Pembersihan yang sering harus dihindari karena hal
tersebut menyebabkan jaringan vital terganggu dan memperlambat penyembuhan luka.
2.3.3 Penanganan Nyeri
Pengontrolan nyeri dilakukan dengan menggunakan analgetik secara intravena atau
intratrakea utamanya untuk pembedahan abdomen terbuka. Kombinasi anestesi spinalepidural dapat memanfaatkan anestesi spinal. Dengan anestesi spinal continu, pasien
yang menjalani pembedahan mayor dibawah level umbilikus akan mendapatkan analgetik

postoperatif jangka panjang dan efektif. Kelanjutan dari pembedahan mayor, pemberian
analgetik narkotik (contohnya: meperidin, 75-100 mg secara intramuscular setiap 4 jam,
atau morfin, 10 mg intramuskuler setiap 4 jam) untuk mengontrol nyeri juga dibutuhkan.
Ketika pasien mentoleransikan intake oral dengan baik, regimen obatnya harus diganti
menjadi analgetik oral dan harus didukung oleh ambulasi. Dua kelas besar untuk terapi
non-opioid adalah acetaminophen dan obat-obat anti inflamasi (NSAIDs). Secara umum,
obat-obat ini ditoleransi secara baik dan mempunyai resiko rendah terhadap efek samping
yang serius. Meskipun demikian, acetaminophen bersifat toksik untuk hati jika digunakan
dalam dosis yang besar. Dosis acetaminophen yang lebih dari 4.000 mg/hari harus
dihindari, khususnya jika kombinasi terapi obat opioid dan non-opioid oral digunakan.
Jika diberikan secara preoperatif, NSAIDs menurunkan nyeri pasca operasi dan
mengurangi jumlah kebutuhan opiate (Adachi, 2007; Akarsu, 2004; Chan, 1996; Mixter,
1998).
Meskipun efek samping dari opiat berupa depresi saluran pernapasan, mual serta muntah.
Akan tetapi terapi opiat merupakan pilihan utama untuk mengelola nyeri sedang sampai
berat. Ketiga obat opiat yang biasanya diresepkan setelah pembedahan adalah morfin,
fentanil, dan hydromorphin.
2.3.4. Posisi Tempat Tidur
Pasien biasanya ditempatkan pada posisi miring untuk mengurangi inhalasi muntah atau
mukus. Posisi lainnya yang diinginkan oleh ahli bedah harus dinyatakan dengan jelas,
contohnya, posisi datar dengan kaki tempat tidur yang elevasi.
2.3.5. Selang Drainase
Hubungkan bladder dengan kateter untuk sistem drainase berdasarkan gravitasi.
Penulisan intruksi untuk drainase postoperatif lainnya, penggunaan kateter suksion,
pemintaan tekanan negatif dan interval pengukuran volume drainase harus spesifik dan
jelas.
2.3.6. Penggantian Cairan
Pemberian cairan secara oral atau intravena dibutuhkan. Untuk penentuan cara pemberian
cairan pasien dibutuhkan, selalu ambil berdasarkan faktor-faktor jumlah seperti
kehilangan cairan intraoperatif dan output urin, waktu pembedahan, penggantian cairan
intraoperatif, dan jumlah cairan yang diterima pada waktu pemulihan. Meskipun setiap
pasien dan jenis operasi berbeda, rata-rata pada pasien muda yang sehat mendapatkan
penggantian cairan intraoperatif sebanyak 2400 mL sampai 3 liter cairan kristaloid dan
glukosa, seperti Dekstrose 5% dalam setengah larutan garam normal selama 24 jam
pertama. Laju hidrasi intravena harus dilakukan secara individu, seperti banyak pasien
lainnya yang memerlukan volume yang kurang dan menyebabkan cairan overload pada
laju cairan yang lebih cepat. Pada pasien dengan fungsi ginjal normal, penggantian cairan
adekuat dapat dinilai pada output urin paling tidak sebesar 30 mL/jam.
2.3.7. Diet
Tujuan utama pemberian makan setelah operasi adalah untuk meningkatkan fungsi imun
dan mempercepat penyembuhan luka yang meminimalisir ketidakseimbangan metabolik.
Dari penelitian random didapatkan bahwa pemberian makan harus sesuai dan bermanfaat.

Untuk pembedahan minor, pemberian makanan dibutuhkan dan ditoleransi, ketika pasien
sadar secara penuh. Ketidaksetujuan muncul berupa seberapa cepat kemajuan diet pasien
setelah pembedahan major. Hal ini bersifat individual bergantung pada setiap pasien dan
pada beberapa faktor. Satu cara kemungkinan yang dapat dilakukan pada pasien berupa
isapan air pada hari pembedahan. Jangan berikan air es, karena dapat menurunkan
motilitas usus secara signifikan. Berikan cairan encer pada hari pertama pasca operasi
jika telah terdengar bunyi usus sampai udara usus keluar. Kemudian ganti makanan
secara teratur. Waktu yang dibutuhkan untuk pengembangan diet secara lengkap
bergantung pada prosedur pembedahannya, durasi anestesi, dan variasi individu pasien.
Pada dua penelitian random didapatkan bahwa pasien tertentu dapat diberikan makan
sesegera mungkin 1 hari setelah operasi pembedahan ginekologi intra-abdomen.
Kurangnya asupan protein-kalori yang besar pada pasien yang mengalami pembedahan
dapat menyebabkan gangguan pada penyembuhan luka, penurunan fungsi jantung dan
paru, perkembangan bakteri yang berlebih dalam traktus gastrointestinal, dan komplikasi
lainnya yang menambah jumlah hari rawat inap dan morbiditas pasien (Elwyn, 1975;
Kinney, 1986; Seidner, 2006). Jika substansial intake kalori terlambat diberikan dalam 710 hari, maka perlu pemberian makanan tambahan. Berikut ini adalah kebutuhan nutrisi
yang dibutuhkan setelah operasi.
2.4 Kebutuhan Nutrisi Setelah Operasi
Karena tidak adanya kontraindikasi, pemberian nutrisi secara enteral lebih dipilih
dibanding rute parenteral, khususnya jika terdapat komplikasi infeksi (Kudsk, 1992;
Moore, 1992). Keuntungan lain dari nutrisi enteral adalah penurunan biaya penyembuhan
(Nehra, 2002). Setelah operasi telah ditemukan efektif, dimulai sesegera mungkin setelah
operasi. Makan segera setelah operasi telah menunjukkan peningkatan penyembuhan
luka, merangsang motilitas usus, menurunkan stasis usus, meningkatkan aliran darah
usus, dan merangsang refleks sekresi hormon gastrointestinal yang dapat mempermudah
kerja usus setelah operasi (Anderson, 2003; Braga, 2002; Correia, 2004; Lewis, 2001).
Keputusan inisiasi makan sesegera mungkin dengan cairan atau makanan lunak telah
diteliti secara prospektif (Jeffery, 1996). Pada pasien yang diberikan makanan lunak
sebagai makanan pertama setelah operasi.
Sesudah penderita sadar, pada pascaoperasi ia dapat menggerakkan lengan dan kakinya,
dan tidur miring apabila hal itu tidak dihalangi oleh infus yang diberikan kepadanya.
Tidak ada ketentuan yang pasti kapan ia bisa duduk, keluar dari tempat tidur, dan
berjalan. Hal itu, tergantung dari jenis operasi, kondisi badannya, dan komplikasikomplikasi yang mungkin timbul. Di Indonesia keperluan early ambulation tidak
seberapa mendesak karena disini bahaya tromboflebitis pascaoperasi tidak besar. Pada
umumnya pengangkatan jahitan pada laparatomi dilakukan pada hari ke-7 pascaoperasi
untuk sebagian dan diselesaikan pada hari ke-10.
Secara umum, untuk mempercepat proses penyembuhan dan pemulihan kondisi pasien
pasca operasi, perlu kita perhatikan tips di bawah ini:
Makan makanan bergizi, misalnya: nasi, lauk pauk, sayur, susu, buah.
Konsumsi makanan (lauk-pauk) berprotein tinggi, seperti: daging, ayam, ikan, telor dan
sejenisnya.
Minum sedikitnya 8-10 gelas per hari.
Usahakan cukup istirahat.

Mobilisasi bertahap hingga dapat beraktivitas seperti biasa. Makin cepat makin bagus.
Mandi seperti biasa, yakni 2 kali dalam sehari.
Kontrol secara teratur untuk evaluasi luka operasi dan pemeriksaan kondisi tubuh.
Minum obat sesuai anjuran dokter.
2.5 Komplokasi Post Operasi Ginekologi Berdasarkan Sistem
2.5.1. Sistem Urinaria
Retensi urin merupakan masalah yang sering muncul setelah pembedahan ginekologi,
dengan insidensi 7-80% bergantung pada prosedur pembedahan yang dilakukan (Stanton,
1979; Tammela, 1986). Overdistensi dapat menyebabkan kesulitan miksi jangka panjang
dan kerusakan detrusor secara permanen (Mayo, 1973).
Keita dan kawan-kawan (2005) secara prospektif mengevaluasi faktor resiko potensial
dari retensi urin pasca operasi. Tiga faktor utama yang bersifat independen dan
berhubungan dengan peningkatan resiko seperti umur yang lebih dari 50 tahun,
pemakaian cairan intraoperatif yang lebih dari 750 mL, dan volume urin bladder yang
lebih dari 270 mL yang diukur sewaktu memasuki ruang pemulihan. Diantara prosedur
ginekologi, resiko lebih besar setelah laparatomi dilakukan jika dibandingkan dengan
prosedur laparaskopi (Bodker, 2003).
Tanda klinis dari retensi urin berupa nyeri, takikardi, urgensi, dan pembesaran bladder
yang didapatkan dengan palpasi atau perkusi. Tanda klinis ini ditemukan bersamaan
dengan evaluasi volume urin disamping penggunaan sonography bladder (Bodker, 2003).
Saat retensi teridentifikasi, kateterisasi dan drainase bladder harus dilakukan. Lau dan
Lam (2004) memperlihatkan bahwa kateterisasi merupakan cara terbaik dalam
pengelolaan retensi urin pasca operasi. Dibanding dengan dekompressi bladder sepanjang
malam dengan kateter indwelling, episode kateterisasi in dan out sama-sama efektif.
Lebih jauh, morbiditas infeksi antara keduanya tidak berbeda secara signifikan.
2.5.2. Sistem Respirasi
Komplikasi paru yang luas menyebabkan sulitnya memperkirakan insidensinya secara
akurat, tetapi laporan memperkirakan kisaran antara 9-69% (Calligaro, 1993; Hall, 1991;
Qaseem, 2006). Komplikasi paru yang sering ditemui oleh para ginekolog adalah
atelectasis dan pneumonia. Lima faktor resiko signifikan untuk komplikasi paru yang
muncul setelah pembedahan abdomen adalah umur yang lebih dari 60 tahun, IMT lebih
dari 27, riwayat kanker, merokok dalam waktu 8 minggu terakhir, dan insisi pembedahan
yang dilakukan pada abdomen bagian atas (Brooks-Brunn, 1997).
a. Atelektasis
Penyakit ini ditandai dengan penurunan suara pernapasan atau bunyi tumpul pada saat
perkusi pada bagian paru yang terkena. Sebagai tambahan, densitas linear pada lapangan
paru bagian bawah yang ditemukan dalam gambaran radiografi dada (Hall, 1991). Secara
klasik, atelektasis dihubungkan dengan demam derajat rendah. Meskipun demikian,
Engoren dan kawan-kawan (1995) menilai 100 pasien postoperasi dewasa yang
didiagnosis radilogi atelektasis tidak mengalami demam, sehingga kesimpulan penelitian
ini bahwa tidak ada hubungan antara atelektasis dan demam postoperasi. Meskipun,
demam sering terjadi setelah operasi abdominal, kondisi ini biasanya bersifat sementara,
tergantung kondisi pasien, dan jarang memperlambat penyembuhan pasien (Platell,
1997). Pada kasus berat, atelektasis dapat dicegah dengan beberapa hal menggunakan

terapi pengembangan paru (modalitas ekspansi paru).


b. Pneumonia
Penyakit ini merupakan infeksi nosokomial yang paling sering ditemukan di Amerika
Serikat dan mempunyai angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi (tablan, 2004).
Insidensi pada pasien pembedahan beragam dengan kisaran 1-19 % tergantung pada
prosedur pembedahan dan peninjauan rumah sakit (Kozlow, 2003). Untuk infeksi ini,
sebagian besar bakteri patogen secara khas bertanggung jawab adalah bakteri aerob
gram-negatif yang berbentuk basil, seperti spesies Pseudomonas aeruginosa, Escherichia
coli, Klebsiella pneumonia, dan Acinetobacter.
Keluhan pada pneumonia mulai tampak 2-3 hari pascaoperasi. (ilmu kandungan) Secara
klinik, pneumonia didiagnosis jika radiografi dada memperlihatkan sebuah gambaran
infiltrat baru atau progresif dan jika dua atau tiga gejala klinis (seperti leukositosis,
demam yang lebih dari 38C, atau sekresi purulen) ditemukan. Pencegahan dapat
dilakukan dengan menggunakan endotrakeal oral atau orogastrik tube yang ditempatkan
pada selang hidung; elevasi kepala terhadap tempat tidur sebesar 30-45, utamanya
selama makan; aspirasi sekresi subglotis pada kasus ini tidak dapat dihilangkan
(American Thoracic Society, 2005).
2.5.3. Sistem Gatrointestinal
Fungsi gastrointestinal yang normal memerlukan motilitas yang sama di sepanjang
sistem, mukosa untuk transportasi bahan makanan, dan refleks pengosongan (Nuley,
2004). Meskipun demikian, setelah pembedahan abdominal, disfungsi dari aktivitas saraf
usus secara khas mengacaukan tenaga normal. Aktivitas pertama terjadi pada usus yang
tercatat biasanya dalam 24 jam. Aktivitas kontraksi usus halus terhambat dalam 24 jam
setelah pembedahan, tetapi fungsi normalnya terlambat dalam 3-4 hari (Condon, 1986;
Dauchel, 1976). Motilitas kolon yang ritmik dimulai paling akhir, kira-kira 4 hari setelah
pembedahan intra-abdomen (Huge, 2000). Pengeluaran flatus merupakan tanda khas dari
kembalinya fungsi ini, dan tinja biasanya telah dapat dikeluarkan dalam 1-2 hari.
Ileus yang terjadi setelah operasi merupakan kerusakan sementara dari aktivitas
gastrointestinal yang mengakibatkan distensi abdomen, bunyi usus hipoaktif, mual dan
muntah yang menyebabkan akumulasi udara dan air di saluran gastrointestinal, dan
pengeluaran flatus serta terlambat (Livingston, 1990).
Awal mula terjadinya ileus adalah multifaktorial. Pertama, manipulasi usus selama
pembedahan menyebabkan munculnya beberapa faktor yang berkontribusi terhadap
munculnya ileus: (1) faktor neurogenik yang dihubungkan dengan overaktivitas simpatis,
(2) faktor hormonal yang menyebabkan pengeluaran hypothalamic corticotrophinreleasing factor (CRF), yang memainkan peran kunci dalam respon stress, dan (3) faktor
inflamasi (Tache, 2001). Sebagai tambahan, penggunaan opioid perioperatif juga menjadi
salah satu etiologi dari ileus. Kemudian, dalam pemilihan obat ini, dokter harus
menyeimbangkan manfaat analgesik yang dihasilkan oleh ikatan reseptor opioid sentral
melawan disfungsi gastrointestinal yang dihasilkan dari reseptor perifer yang
menghasilkan efek ikatan (Holzer, 2004).
Tidak terdapat penanganan tunggal untuk pengelolaan ileus postoperasi. Pemberian
elektrolit dan cairan intravena untuk memperbaiki kembali keadaan euvolemik yang
merupakan terapi tradisional. Biasanya, dekompresi dengan menggunakan NGT rutin

untuk mengistirahatkan usus telah ditantang oleh beragam prospektif, berupa percobaan
random. Dalam sebuah penelitian meta-analisis terbaru pada 4200 pasien ditemukan
bahwa dekompresi NGT rutin tidak berhasil dan tidak bermanfaat terhadap penggunaan
selektif pada pasien simptomatis. Secara spesifik, pasien tanpa NGT fungsi ususnya
kembali normal lebih cepat dan menurunkan resiko infeksi luka dan hernia ventral
(Nelson, 2005). Sebagai tambahan, perasaan discomfort, mual, dan lama rawat inap akan
berkurang. Untuk alasan ini, pemasangan NGT direkomendasikan hanya untuk
mengurangi gejala kembung pada abdomen dan muntah yang rekurensi (Nunley, 2004).
2.5.4. Sistem Sirkulasi
Disfungsi sirkulasi menyebabkan penurunan oksigenasi jaringan dan menghasilkan
kegagalan multiorgan jika tidak dikenali dan diterapi dengan segera. Pada kasus
ginekologi, penyebab utama syok adalah perdarahan yang berakhir ke hipovolemia.
Meskipun syok kardiogenik, sepsis dan neurogenik dapat juga dipertimbangkan selama
observasi. Penilaian tehadap perfusi oksigen dan status hemodinamik cukup penting
dalam masa postoperasi awal. Sayangnya, tanda-tanda berupa tekanan darah dan denyut
jantung saat istirahat tidak berdampak sepanjang kompensasi awal. Contohnya, setelah
kehilangan darah yang lebih dari 25-30% dari volume tubuh total, hipotensi biasanya
muncul terlambat dibanding tanda-tanda disfungsi organ lainnya yang berupa oliguri, dan
perubahan status mental.
Penanganan shock hipovolemia oleh karena perdarahan yang tidak berhenti adalah
dengan penggantian volume intravaskuler. Pada awalnya, suplai oksigen disajikan untuk
menghindari desaturasi jaringan (Wilson, 2003). Secara simultan, infus segera dengan
cairan kristaloid isotonik melalui intravena dapat mempercepat penggantian cairan. Jika
terdapat hipotensi berat, pemberian koloid dan tranfusi sel darah merah dibutuhkan. Jika
terdapat hipovolemia, penggunaan vasopressor tidak direkomendasikan untuk digunakan
kecuali untuk bantuan yang bersifat sementara dengan kondisi yang tidak stabil ketika
resusitasi cairan dipertimbangkan. Selama penanganan, resusitasi dimonitoring secara
berkelanjutan sepanjang tekanan vena sentral, output urin, dan status pasien secara
umum. Akhirnya, jika perdarahan terus-menerus terjadi, campur tangan operatif dapat
menurunkan resiko untuk melanjutkan terapi konservatif. Intraoperatif, isolasi dan
pengontrolan perdarahan harus dilakukan secara sistematik. Setelah pasien stabil, penting
dilakukan pemeriksaan abnormalitas elektrolit, ketidakseimbangan koagulasi, dan
iskemia organ.
2.5.5. Demam Sistemik Pasca Operasi
Salah satu masalah yang sering ditemukan setelah operasi adalah demam. Meskipun
demam merupakan sebuah gambaran proses infeksi, sebagian besar merupakan penyakit
self-limited (Garibaldi, 1985). Meskipun demikian, untuk penyakit ini dengan gejala
persisten, pendekatan sistemik dalam mengevaluasi pasien akan menolong membedakan
inflamasi dari etiologi infeksi.
Demam merupakan sebuah respon inflamasi yang dilakukan oleh mediator, dikenal
dengan pyrogen, yang berasal dari dari endogen atau eksogen. Pyrogen bersirkulasi
menyebabkan pengeluaran prostaglandin (utamanya PGE2), yang mengubah set point
pada termoregulator. Reaksi infalamasi ini menghasilkan sejumlah sitokin (Interleukin-1,
interleukin-6, dan TNF) yang ditemukan dalam sirkulasi setelah beragam kejadian seperti

pembedahan, kanker, trauma, dan infeksi (Wortel, 1993). Kemudian, differential


diagnosis terhadap demam yang terjadi setelah operasi termasuk penyebab non-infeksi
dan infeksi.
Demam setelah operasi berkembang lebih dari 2 hari setelah pembedahan yang biasanya
disebabkan oleh infeksi. Penyebab tersering berada dalam kategori besar yakni angin, air,
berjalan, luka, dan obat yang meragukan. Pertama, pneumonia harus dipertimbangkan,
dan wanita berada pada resiko paling besar yang secara mekanik mendapatkan ventilasi
lebih banyak karena periode rawat inap yang lebih panjang, memakai NGT, atau pernah
mendapatkan COPD sebelumnya. Sebagai tambahan, pemakaian kateter juga akan
meningkatkan resiko infeksi pada traktus urinarius. Secara logis, penggunaan lama
kateter berhubungan secara postif dengan resiko infeksi ini. Demam yang berhubungan
dengan infeksi pada area pembedahan biasanya berkembang pada hari ke 5-7 setelah
pembedahan. Infeksi ini menyerang lapisan dinding pelvis dan abdomen. Akhirnya obatobatan yang sering digunakan setelah operasi seperti heparin, antibiotik beta-laktam, dan
sulfonamide dapat menyebabkan kemerahan, eosinofilia, atau demam karena obat.
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan untuk mendeteksi demam adalah
pemeriksaan darah lengkap, urinalisis, kultur darah, dan radiografi dada yang telah
dievaluasi pada beberapa penelitian dan sangat efisien serta efektif (Badillo, 2002; de la
Torre, 2003; Schey, 2005). Kemudian, pemeriksaan utama pada wanita dengan demam
setelah operasi dilakukan sendiri dan dimulai dengan anamnesis dan pemeriksaan fisis.
2.5.6. Dehisensi Luka
Meskipun perkembangan klinis telah maju di bidang anesthesia, antibiotik preoperatif,
teknologi jahitan bedah, dan perawatan postoperatif, insidensi gangguan luka tidak
banyak berubah (Cliby, 2002). Dehisensi menyebabkan pasien harus dirawat inap dalam
jangka waktu yang lama dan membutuhkan perawatan intensif. Kemudian, seorang ahli
bedah memiliki ilmu pengetahuan terhadap faktor resiko dan pilihan penanganan untuk
komplikasi ini.
Luka superficial biasanya muncul pada hari ke 3-5 setelah pembedahan, dengan luka
yang eritema dan drainase onset baru. Satu cara mengidentifikasi adalah dengan isolasi
selulitis luka dengan terapi antibiotik sistemik. Meskipun demikian, keterlambatan dalam
evakuasi cairan eksudat luka yang inflamasi dari lapisan subkutan yang tidak memiliki
ruang dapat melemahkan fascia dan meningkatkan resiko dehisensi fascia.
Umumnya dehisensi terjadi dalam 10 hari setelah operasi. Gangguan superficial pada
lapisan subkutaneus dan kebocoran ekstensif berupa cairan purulen peritoneal
diindikasikan untuk didrainase. Irigasi digunakan untuk menutupi luka dan memindahkan
bakteri tanpa merusak komponen penyembuh luka. Povidone-iodne, balutan iodophor,
cairan hydrogen peroksida, dan cairan Daiken bersifat sitotoksik terhadap sel darah putih
dan tidak boleh digunakan pada perawatan luka (Bennett, 2001; Otoole, 1996).
2.4.7. Tromboflebitis
Komplikasi ini jarang ditemukan pada penderita pascaoperasi di Indonesia. Penyakit ini
terdapat pada vena yang bersangkutan sebagai radang, dan sebagai trombosit tanpa tanda
radang. Pada tromboflebitis dalam minggu kedua pascaoperasi suhu naik, nadi mencepat,
timbul nyeri spontan pada perabaan vena yang bersangkutan, dan tampak edema pada
kaki, terutama jika vena femoralis yang terkena. Trombus disini melekat kuat pada

dinding pembuluh darah, dan tidak banyak bahaya akan emboli paru-paru. Pada
trombosis vena tidak terdapat banyak gejala, mungkin suhu agak naik; thrombus tidak
melekat erat pada dinding pembuluh darah, dan bahaya emboli paru-paru lebih besar.
Walaupun komplikasi ini jarang terjadi di Indonesia, ada juga manfaatnya untuk
menyelenggarakan pencegahan dengan menyuruh penderita selama masih berbaring di
tempat tidur menggerakkan kakinya secara aktif, ditambah dengan gerakan lain yang
diselenggarakan dengan bantuan seorang perawat.
2.6 Perubahan Pasca Operasi
Sesudah operasi, timbul beberapa perubahan pada badan. Ini perlu diketahui. Perubahan
perubahan itu ialah:
1. Kehilangan darah dan air ynag menyebabkan berkurangnya volume cairan dalam
sirkulasi. Karena hemokonsentrasi dan vasokonstriksi tekanan darh dipertahankan, dan
dengan mengalirnya cairan daari ruang ekstraselular, volume kemudian pulih kembali.
Akan tetapi jika misalnya terjadi perdarahan terlalu banyak, tensi menurun dan nadi
menjadi cepat, dan bahaya syok mengancam.
2. Dieuresis pascaoperasi agak berkurang, tetapi beberapa hari kemudian menjadi normal
kembali. Pengukuran air kencing yang dikeluarkan sangat perlu oleh karena oliguri
merupakan tanda syok mengancam.
3. Perlu diketahui bahwa sebagai akibat operasi terjadi penghancuran protein jaringan;
bahwa ekskresi kalsium meningkat, sedang pengeluaran natrium dan klorida berkurang.
2.7 Penanganan Pasca Operasi
Setelah operasi selesai, penderita tidak boleh ditinggalkan sampai ia sadar harus dijaga
supaya jalan pernapasan tetap bebas. Pada umunya, setelah dioperasi, penderita
ditempatkan dalam ruang pulih(recovery room) dengan penjagaan terus-menerus sampai
ia sadar. Selama beberapa hari sampai dianggap tiidak perlu lagi, suhu, nadi, tensi, dan
dieresis harus diawasi terus-menerus. Sesudah penderita sadar, biasanya ia mengeluh
kesakitan. Rasa sakit ini dalam beberapa hari berangsur kurang. Pada hari opersai dan
esok harinya ia biasnya memerlukan obat tahan nyeri, seperti petidin; kemudian, biasanya
dapat diberikan analgetikum yang lebih ringan.
Penderita yang mengalami operasi - kecuali operasi kecil- keluar dari kamar operasi
dengan infuse intravena yang terdiri atas larutan NaCl 0,9%, atau glukosa 5%, yang
diberikan berganti ganti menurut rencana tertentu. Di kamar operasi(atausesudah keluar
dari situ)ia, jika perlu, diberi transfuse darah. Pada waktu operasi penderita kehilangan
sejumlah cairan, sehingga ia meninggalkan kamar operasi dengan defisit cairan. Maka,
khususnya apabila pada pascaoperasi minum air perlu dibatasi, perlulah diawasi benar
keseimbangan antara cairan yang masuk dengan infus, dan cairan yang keluar. Perlu
dijaga jangan sampai terjadi dehidrasi, tetapi sebaliknya juga jangan juga jangan terjadi
kelebihan dengan akibat edema paru paru. Untuk diketahui, air yang dikeluarkan dari
badan dalam 24 jam, air kencing dan cairan yang keluar dengan muntah harus ditambah
dengan evaporasi dari kulit dan pernapasan. Dapat diperkirakan bahwa dalam 24 jam
sedikit-dikitnya 3 liter cairan harus dimasukkan untuk mengganti yang keluar.
Sebagai akibat anestesi, penderita pascaoperasi biasanya enek, kadang sampai muntah. Ia
tidak boleh minum, sampai rasa enek hilang sama sekali, kemudian ia boleh minum
sedikit-sedikit, untuk lambat laun ditingkatkan. Dalam 24 jam sampai 48 jam

pascaoperasi, henfaknya diberi makanan cairan, sesudah itu apabila jika sudah keluar
flaktus, dapat diberi makanan lunak yang bergizi ubtuk lambat-laun menjadi makanan
biasa.
Pada pascaoperasi peristaltik usus mengurang dan baru lambat laun pulih kembali. Pada
hari kedua pascaoperasi biasanya usus bergerak lagi. Dengan gejala mules, kadang
kadang disertai dengan perut kemubung sedikit. Pengeluaran flatus dapat dibantu dengan
pemberian dosis kecil prostigmin, dengan teropong angin dimasukkan kedalam rectum,
dan kadang kadang perlu diberikan klisma kecil terdiri atas 150cc. campuran minyak
dan gliserin.
Pemberian antibiotika pada pascaoperasi tergantung dari jenis operasi yang dilakukan.
Misalnya, setelah kista ovarium diangkat, tidak perlu diberi antibiotika, akan tetapi,
sesudah histeroktomi total dengan pembukaan vagina, sebaiknya obat tersebut diberikan.
Setelah penderita sadar, pada pascaoperasi ia dapat menggerakkan lengan dan kakinya,
tidur miring apabila hal itu tidak dihalangi oleh infus yang diberikan kepadanya. Tidak
ada ketentuan yang pasti kapan ia bisa duduk, keluar dari tempat tidur, dan berjalan. Hal
itu tergantung dari jenis operasi, kondisi badannya dan komplikasi- komplikasi yang
mungkin timbul. Di Indonesia keperluan early ambulation tidak seberapa mendesak
karena disini bahaya tromboflebitis pascaoperasi tidak besar. Pada umumnya
pengangkatan jahitan pada laparotomi dilakukan pada hari ke 7 pascaoperasi untuk
sebagian dan diselesaikan pada hari ke 10.
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Tujuan perawatan pasca operasi adalah pemulihan kesehatan fisiologi dan psikologi
wanita kembali normal
2. Periode postoperatif meliputi waktu dari akhir prosedur pada ruang operasi sampai
pasien melanjutkan rutinitas normal dan gaya hidupnya
3. Periode postoperatif meliputi waktu dari akhir prosedur pada ruang operasi sampai
pasien melanjutkan rutinitas normal dan gaya hidupnya
4. Pedoman perawatan pasca operatif harus sesuai dengan elemen elemen seperti, tanda
tanda vital,perawatan lukan, penanganan nyeri, posisi tempat tidur, selang drainase,
penggantian cairan, diet
5. Pemberian nutrisi pada pasien post operasi dapat diberikan sesegera setelah
operasi(bila keadaan memungkinkan)
6. Komplikasi pasca operasi ginekologi berdasarkan system meliputi system urinaria,
system respirasi, system sirkulasi,dan system gastrointestinal.
7. Setelah operasi akan terjadi perubahan perubahan seperti : Kehilangan darah dan air,
Dieuresis pascaoperasi agak berkurang. Perlu diketahui bahwa sebagai akibat operasi
terjadi penghancuran protein jaringan; bahwa ekskresi kalsium meningkat, sedang
pengeluaran natrium dan klorida berkurang.
3.2 Saran
Pada pasien post operasi sebaiknya pemberian nutrisi sesegera setelah operasi lebih
diutamakan karena telah dibuktikan memiliki banyak keuntungan untuk mempercepat
proses penyembuhan.
DAFTAR PUSTAKA

1. 2008 ilmu kandungan. Jakarta:yayasan bina pustaka sarwono prawihardjo


2. Uliyah musrifatul. 2008, Ketrampilan Dasar Praktek Klinik untuk kebidanan.Jakarta:
salemba medika
3. G-Mundy, Chrissie. 2005, Pemulihan Pascaoperasi Caesar (Hal: 32), Jakarta : Erlangga
4. C. Rothrock, Jane. 1999, Perencanaan Asuhan Keperawatan Perioperatif (Hal: 543),
Jakarta: EGC
5. Cameron, John L. 1997, Terapi Bedah Mutakhir (Hal: 576), Jakarta: Binarupa Aksara
6. http://cakmoki86.wordpress.com/2007/08/11/makan-bergizi-pasca-operasi/
7. http://www.kebidanan.net/ginekologi/penatalaksanaan-kelainan-sistem-reproduksi/
8. http://minakomoon-minakoflow.blogspot.com/2010/04/perawatan-pasca-operasielektif.html
9. http://yenibeth.wordpress.com/2008/07/01/100/
10. http://www.mer-c.org/penyakit-kulit/246-nyeri-perut-kanan-bawah-pasca-operasiusus-buntu-normalkah.html
11. http://regional.kompas.com/read/2010/10/12/20164562/Pascaoperasi..Firman.Diawasi.Ketat
12. http://www.detiknews.com/read/2010/02/21/121342/1303711/10/pasca-operasikepala-toriq-masih-dipasangi-selang
13. http://belajar-mri.blogspot.com/2010/02/setelah-operasi-hemifacial-spasm.html
14. http://spesialisbedah.com/2008/11/pentingnya-bergerak-pasca-operasi/
komplikasi Gastroentritis,tingkat dehidrasi dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Dehidrasi ringan
Kehilangan cairan 2 5 % dari berat badan dengan gambaran klinik turgor kulit kurang
elastis, suara serak, penderita belum jatuh pada keadaan syok.
Dehidrasi Sedang
Kehilangan cairan 5 8 % dari berat badan dengan gambaran klinik turgor kulit jelek,
suara serak, penderita jatuh pre syok nadi cepat dan dalam.
Dehidrasi Berat
Kehilangan cairan 8 - 10 % dari bedrat badan dengan gambaran klinik seperti tanda-tanda
dehidrasi sedang ditambah dengan kesadaran menurun, apatis sampai koma, otot-otot
kaku sampai sianosis.

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan darah dilakukan untuk mengetahui kadar elektrolit dan jumlah sel darah
putih.
Untuk mengetahui organisme penyebabnya, dilakukan pembiakan terhadap contoh tinja.
Pemeriksaan laboratorium.
Pemeriksaan tinja.
Pemeriksaan gangguan keseimbangan asam basa dalam darah astrup,bila memungkinkan
dengan menentukan PH keseimbangan analisa gas darah atau astrup,bila memungkinkan.
Pemeriksaan kadar ureum dan creatinin untuk mengetahui pungsi ginjal.
pemeriksaan elektrolit intubasi duodenum untuk mengetahui jasad renik atau parasit
secara kuantitatif,terutama dilakukan pada penderita diare kronik.

G. PENATALAKSANAAN
Pada anak yang mengalami diare tanpa dehidrasi (kekurangan cairan).
Tindakan: - Untuk mencegah dehidrasi, beri anak minum lebih banyak dari biasanya ASI (Air Susu Ibu) diteruskan - Makanan diberikan seperti biasanya - Bila keadaan anak
bertambah berat, segera bawa ke Puskesmas terdekat

Pada anak yang mengalami diare dengan dehidrasi ringan/sedang


Tindakan: - Berikan oralit - ASI (Air Susu Ibu) diteruskan - Teruskan pemberian
makanan - Sebaiknya yang lunak, mudah dicerna dan tidak merangsang - Bila tidak ada
perubahan segera bawa kembali ke Puskesmas terdekat.

Pada anak yang mengalami diare dengan dehidrasi berat


Tindakan: - Segera bawa ke Rumah Sakit / Puskesmas dengan fasilitas Perawatan - Oralit
dan ASI diteruskan selama masih bisa minum
Takaran Pemberian Oralit.
Umur
Jumlah Cairan
Di bawah 1 thn
3 jam pertama 1,5 gelas selanjutnya 0.5 gelas setiap kali mencret
Di bawah 5 thn (anak balita)
3 jam pertama 3 gelas, selanjutnya 1 gelas setiap kali mencret
Anak diatas 5 thn
3 jam pertama 6 gelas, selanjutnya 1,5 gelas setiap kali mencret
Anak diatas 12 thn & dewasa
3 jam pertama 12 gelas, selanjutnya 2 gelas setiap kali mencret (1 gelas : 200 cc)

Prinsip Penatalaksanaan
a.Penatalaksanaan diare akut karena infeksi pada orang dewasa terdiri atas:
Rehidrasi sebagai prioritas utama terapi.
Tata kerja terarah untuk mengidentifkasi penyebab infeksi.
Memberikan terapi simtomatik
Memberikan terapi definitif.

Ada 4 hal yang penting diperhatikan agar dapat memberikan rehidrasi yang cepat dan
akurat, yaitu:
1) Jenis cairan yang hendak digunakan.
Pada saat ini cairan Ringer Laktat merupakan cairan pilihan karena tersedia cukup
banyak di pasaran meskipun jumlah kaliumnya rendah bila dibandingkan dengan kadar
kalium tinja. Bila RL tidak tersedia dapat diberiakn NaCl isotonik (0,9%) yang sebaiknya
ditambahkan dengan 1 ampul Nabik 7,5% 50 ml pada setiap satu liter NaCl isotonik.
Pada keadaan diare akut awal yang ringan dapat diberikan cairan oralit untuk mencegah
dehidrasi dengan segala akibatnya.

2) Jumlah cairan yang hendak diberikan.


Pada prinsipnya jumlah cairan pengganti yang hendak diberikan harus sesuai dengan
jumlah cairan yang keluar dari badan. Jumlah kehilangan cairan dari badan dapat
dihitung dengan cara/rumus:
Mengukur BJ Plasma
Kebutuhan cairan dihitung dengan rumus:
BJ Plasma - 1,025
- x BB x 4 ml
0,001
Metode Pierce
Berdasarkan keadaan klinis, yakni:
diare ringan, kebutuhan cairan = 5% x kg BB
diare sedang, kebutuhan cairan = 8% x kg BB

diare ringan, kebutuhan cairan = 10% x kg BB

Metode Daldiyono
Berdasarkan skoring keadaan klinis sebagai berikut:
Rasa haus/muntah = 1
BP sistolik 60-90 mmHg = 1
BP sistolik <60 mmHg = 2
Frekuensi nadi >120 x/mnt = 1
Kesadaran apatis = 1
Kesadaran somnolen, sopor atau koma = 2
Frekuensi napas >30 x/mnt = 1
Facies cholerica = 2
Vox cholerica = 2
Turgor kulit menurun = 1
Washer womens hand = 1
Ekstremitas dingin = 1
Sianosis = 2
Usia 50-60 tahun = 1
Usia >60 tahun = 2
Kebutuhan cairan =
Skor x 10% x kgBB x 1 ltr

3) Jalan masuk atau cara pemberian cairan

Rute pemberian cairan pada orang dewasa meliputi oral dan intravena. Larutan orali
dengan komposisi berkisar 29 g glukosa, 3,5 g NaCl, 2,5 g NaBik dan 1,5 g KCl stiap
liternya diberikan per oral pada diare ringan sebagai upaya pertama dan juga setelah
rehidrasi inisial untuk mempertahankan hidrasi.

4) Jadual pemberian cairan


Jadual rehidrasi inisial yang dihitung berdasarkan BJ plasma atau sistem skor diberikan
dalam waktu 2 jam dengan tujuan untuk mencapai rehidrasi optimal secepat mungkin.
Jadual pemberian cairan tahap kedua yakni untuk jam ke-3 didasarkan pada kehilangan
cairan selama 2 jam fase inisial sebelumnya. Dengan demikian, rehidrasi diharapkan
lengkap pada akhir jam ke-3.
b.Tata kerja terarah untuk mengidentifkasi penyebab infeksi.
Untuk mengetahui penyebab infeksi biasanya dihubungkan dengan dengan keadaan klinis
diare tetapi penyebab pasti dapat diketahui melalui pemeriksaan biakan tinja disertai
dengan pemeriksaan urine lengkap dan tinja lengkap.Gangguan keseimbangan cairan,
elektrolit dan asam basa diperjelas melalui pemeriksaan darah lengkap, analisa gas darah,
elektrolit, ureum, kreatinin dan BJ plasma.Bila ada demam tinggi dan dicurigai adanya
infeksi sistemik pemeriksaan biakan empedu, Widal, preparat malaria serta serologi
Helicobacter jejuni sangat dianjurkan. Pemeriksaan khusus seperti serologi amuba, jamur
dan Rotavirus biasanya menyusul setelah melihat hasil pemeriksaan penyaring.
Secara klinis diare karena infeksi akut digolongkan sebagai berikut:
1) Koleriform, diare dengan tinja terutama terdiri atas cairan saja.
2) Disentriform, diare dengan tinja bercampur lendir kental dan kadang-kadang darah.

Pemeriksaan penunjang yang telah disinggung di atas dapat diarahkan sesuai manifestasi
klnis diare.

c.Memberikan terapi simtomatik


Terapi simtomatik harus benar-benar dipertimbangkan kerugian dan keuntungannya.
Antimotilitas usus seperti Loperamid akan memperburuk diare yang diakibatkan oleh
bakteri entero-invasif karena memperpanjang waktu kontak bakteri dengan epitel usus
yang seyogyanya cepat dieliminasi.

d.Memberikan terapi definitif.


Terapi kausal dapat diberikan pada infeksi:
1) Kolera-eltor: Tetrasiklin atau Kotrimoksasol atau Kloramfenikol.
2) V. parahaemolyticus,
3) E. coli, tidak memerluka terapi spesifik
4) C. perfringens, spesifik
5) A. aureus : Kloramfenikol
6) Salmonellosis: Ampisilin atau Kotrimoksasol atau golongan Quinolon seperti
Siprofloksasin7) Shigellosis: Ampisilin atau Kloramfenikol
8) Helicobacter: Eritromisin
9) Amebiasis: Metronidazol atau Trinidazol atau Secnidazol
10) Giardiasis: Quinacrine atau Chloroquineitiform atau Metronidazol
11) Balantidiasis: Tetrasiklin
12) Candidiasis: Mycostatin

13) Virus: simtomatik dan suportif


Penyakit Diare dapat ditularkan melalui: - Pemakaian botol susu yang tidak bersih Menggunakan sumber air yang tercemar - Buang air besar disembarang tempat Pencemaran makanan oleh serangga (lalat, kecoa, dll) atau oleh tangan yang kotor.

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN


DIARE
A.PENGKAJIAN.
Pengkajian yang sistematis meliputi pengumpulan data,analisa data dan penentuan
masalah. Pengumpulan data diperoleh dengan cara intervensi,observasi,psikal
assessment. Kaji data menurut Cyndi Smith Greenberg,1992 adalah :
Identitas klien.
Riwayat keperawatan.
Awalan serangan : Awalnya anak cengeng,gelisah,suhu tubuh meningkat,anoreksia
kemudian timbul diare.
Keluhan utama : Faeces semakin cair,muntah,bila kehilangan banyak air dan elektrolit
terjadi gejala dehidrasi,berat badan menurun. Pada bayi ubun-ubun besar cekung,tonus
dan turgor kulit berkurang,selaput lendir mulut dan bibir kering,frekwensi BAB lebih dari
4 kali dengan konsistensi encer.
Riwayat kesehatan masa lalu.
Riwayat penyakit yang diderita,riwayat pemberian imunisasi.
Riwayat psikososial keluarga.
Dirawat akan menjadi stressor bagi anak itu sendiri maupun bagi keluarga,kecemasan

meningkat jika orang tua tidak mengetahui prosedur dan pengobatan anak,setelah
menyadari penyakit anaknya,mereka akan bereaksi dengan marah dan merasa bersalah.
Kebutuhan dasar.
Pola eliminasi : akan mengalami perubahan yaitu BAB lebih dari 4 kali sehari,BAK
sedikit atau jarang.
Pola nutrisi : diawali dengan mual,muntah,anopreksia,menyebabkan penurunan berat
badan pasien.
Pola tidur dan istirahat akan terganggu karena adanya distensi abdomen yang akan
menimbulkan rasa tidak nyaman.
Pola hygiene : kebiasaan mandi setiap harinya.
Aktivitas : akan terganggu karena kondisi tubuh yang lamah dan adanya nyeri akibat
distensi abdomen.
Pemerikasaan fisik.
Pemeriksaan psikologis : keadaan umum tampak lemah,kesadran composmentis sampai
koma,suhu tubuh tinggi,nadi cepat dan lemah,pernapasan agak cepat.
Pemeriksaan sistematik :
Inspeksi : mata cekung,ubun-ubun besar,selaput lendir,mulut dan bibir kering,berat badan
menurun,anus kemerahan.
Perkusi : adanya distensi abdomen.
Palpasi : Turgor kulit kurang elastis
Auskultasi : terdengarnya bising usus.

Pemeriksaan tinglkat tumbuh kembang.

Pada anak diare akan mengalami gangguan karena anak dehidrasi sehingga berat badan
menurun.
Pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan tinja,darah lengkap dan doodenum intubation yaitu untuk mengetahui
penyebab secara kuantitatip dan kualitatif.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Kekurangan volume cairan b.d kehilangan berlebihan melalui feses dan muntah serta
intake terbatas (mual).
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d gangguan absorbsi nutrien dan
peningkatan peristaltik usus.
Nyeri (akut) b.d hiperperistaltik, iritasi fisura perirektal.
Kecemasan keluarga b.d perubahan status kesehatan anaknya
Kurang pengetahuan keluarga tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan terapi b.d
pemaparan informasi terbatas, salah interpretasi informasi dan atau keterbatasan kognitif.
Kecemasan anak b.d perpisahan dengan orang tua, lingkungan yang baru
C. RENCANA KEPERAWATAN
Dx.1 Kekurangan volume cairan b/d kehilangan berlebihan melalui feses dan muntah
serta intake terbatas (mual)
Tujuan : Kebutuhan cairan akan terpenuhi dengan kriteria tidak ada tanda-tanda dehidrasi
Intervensi
Rasional
Berikan cairan oral dan parenteral sesuai dengan program rehidrasiPantau intake dan
output.

Sebagai upaya rehidrasi untuk mengganti cairan yang keluar bersama feses.Memberikan
informasi status keseimbangan cairan untuk menetapkan kebutuhan cairan pengganti.
Kaji tanda vital, tanda/gejala dehidrasi dan hasil pemeriksaan laboratorium
Menilai status hidrasi, elektrolit dan keseimbangan asam basa
Kolaborasi pelaksanaan terapi definitif
Pemberian obat-obatan secara kausal penting setelah penyebab diare diketahui

Dx.2 : Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d gangguan absorbsi nutrien dan
peningkatan peristaltik usus.
Tujuan : Kebutuhan nutrisi terpenuhi dengan kriteria terjadi peningkatan bera badan
Intervensi
Rasional
Pertahankan tirah baring dan pembatasan aktivitas selama fase akut.
Menurunkan kebutuhan metabolik
Pertahankan status puasa selama fase akut (sesuai program terapi) dan segera mulai
pemberian makanan per oral setelah kondisi klien mengizinkan
Pembatasan diet per oral mungkin ditetapkan selama fase akut untuk menurunkan
peristaltik sehingga terjadi kekurangan nutrisi. Pemberian makanan sesegera mungkin
penting setelah keadaan klinis klien memungkinkan.
Bantu pelaksanaan pemberian makanan sesuai dengan program diet
Memenuhi kebutuhan nutrisi klien
Kolaborasi pemberian nutrisi parenteral sesuai indikasi

Mengistirahatkan kerja gastrointestinal dan mengatasi/mencegah kekurangan nutrisi lebih


lanjut

Dx.3 : Nyeri (akut) b/d hiperperistaltik, iritasi fisura perirektal.


Tujuan : Nyeri berkurang dengan kriteria tidak terdapat lecet pada perirektal
Intervensi
Rasional
Atur posisi yang nyaman bagi klien, misalnya dengan lutut fleksi.
Menurunkan tegangan permukaan abdomen dan mengurangi nyeri
Lakukan aktivitas pengalihan untuk memberikan rasa nyaman seperti masase punggung
dan kompres hangat abdomen
Meningkatkan relaksasi, mengalihkan fokus perhatian kliendan meningkatkan
kemampuan koping
Bersihkan area anorektal dengan sabun ringan dan airsetelah defekasi dan berikan
perawatan kulit
Melindungi kulit dari keasaman feses, mencegah iritasi
Kolaborasi pemberian obat analgetika dan atau antikolinergik sesuai indikasi
Analgetik sebagai agen anti nyeri dan antikolinergik untuk menurunkan spasme traktus
GI dapat diberikan sesuai indikasi klinis
Kaji keluhan nyeri dengan Visual Analog Scale (skala 1-5), perubahan karakteristik nyeri,
petunjuk verbal dan non verbal
Mengevaluasi perkembangan nyeri untuk menetapkan intervensi selanjutnya

Dx.4 : Kecemasan keluarga b/d perubahan status kesehatan anaknya.


Tujuan : Keluarga mengungkapkan kecemasan berkurang.
Intervensi
Rasional
Dorong keluarga klien untuk membicarakan kecemasan dan berikan umpan balik tentang
mekanisme koping yang tepat.
Membantu mengidentifikasi penyebab kecemasan dan alternatif pemecahan masalah
Tekankan bahwa kecemasan adalah masalah yang umum terjadi pada orang tua klien
yang anaknya mengalami masalah yang sama
Membantu menurunkan stres dengan mengetahui bahwa klien bukan satu-satunya orang
yang mengalami masalah yang demikian
Ciptakan lingkungan yang tenang, tunjukkan sikap ramah tamah dan tulus dalam
membantu klien.
Mengurangi rangsang eksternal yang dapat memicu peningkatan kecemasan

Dx.5 : Kurang pengetahuan keluarga tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan terapi b/d
pemaparan informasi terbatas, salah interpretasi informasi dan atau keterbatasan kognitif.
Tujuan : Keluarga akan mengerti tentang penyakit dan pengobatan anaknya, serta mampu
mendemonstrasikan perawatan anak di rumah.
Intervensi
Rasional
Kaji kesiapan keluarga klien mengikuti pembelajaran, termasuk pengetahuan tentang
penyakit dan perawatan anaknya.

Efektivitas pembelajaran dipengaruhi oleh kesiapan fisik dan mental serta latar belakang
pengetahuan sebelumnya.
Jelaskan tentang proses penyakit anaknya, penyebab dan akibatnya terhadap gangguan
pemenuhan kebutuhan sehari-hari aktivitas sehari-hari.
Pemahaman tentang masalah ini penting untuk meningkatkan partisipasi keluarga klien
dan keluarga dalam proses perawatan klien
Jelaskan tentang tujuan pemberian obat, dosis, frekuensi dan cara pemberian serta efek
samping yang mungkin timbul
Meningkatkan pemahaman dan partisipasi keluarga klien dalam pengobatan.
Jelaskan dan tunjukkan cara perawatan perineal setelah defekasi
Meningkatkan kemandirian dan kontrol keluarga klien terhadap kebutuhan perawatan diri
anaknya
Dx. 6 : Kecemasan anak b.d Perpisahan dengan orang tua, lingkugan yang baru
Tujuan : Kecemasan anak berkurang dengan kriteria memperlihatkan tanda-tanda
kenyamanan
Intervensi
Rasional
Anjurkan pada keluarga untuk selalu mengunjungi klien dan berpartisipasi dalam
perawatn yang dilakukan
Mencegah stres yang berhubungan dengan perpisahan
Berikan sentuhan dan berbicara pada anak sesering mungkin
Memberikan rasa nyaman dan mengurangi stress
Lakukan stimulasi sensory atau terapi bermain sesuai dengan ingkat perkembangan klien

Meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan secara optimun

D. EVALUASI
Evaluasi merupakan pengukuran keberhasilan sejauhmana tujuan tersebut tercapai. Bila
ada yang belum tercapai maka dilakukan pengkajian ulang, kemudian disusun rencana,
kemudian dilaksanakan dalam implementasi keperawatan lalau dievaluasi, bila dalam
evaluasi belum teratasi maka dilakukan langkah awal lagi dan seterusnya sampai tujuan
tercapai.
Volume cairan dan elektrolit kembali normal sesuai kebutuhan.
Kebutuhan nutrisi terpenuhi sesuai kebutuhantubuh.
Integritas kulit kembali normal.
Rasa nyaman terpenuhi.
Pengetahuan kelurga meningkat.
Cemas pada klien teratasi.

DAFTAR PUSTAKA
Mansjoer, Arif. (2000). Kapita Selekta Kedokteran, Jilid II. Media Aesculapius. Jakarta.
Mansjoer, Arif. (2001). Kapita Selekta Kedokteran, Jilid I. Media Aesculapius. Jakarta.
Mansjoer, Arif. (2002). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta. Media Aesculapius
Nanda. (2007). Diagnose Nanda: Nic dan Noc.
Nursalam. (2001). Proses dan Dokumentasi Keperawatan: Konsep dan Penyakit. Salemba Medika.
Jakarta.

Nursalam. (2005). Asuhan Keperawatan Pada Bayi dan Anak (untuk perawat dan bidan). Salemba
Medika. Jakarta.
Setiadi. (2007). Anatomi dan Fisiologi Manusia. Graha Ilmu. Yogyakarta.
Soegijanto,Soegeng, (2002). Ilmu Penyakit Anak, Diagnosa dan Pelaksanaan. Salemba Medika,
Jakarta.
Diposkan oleh Kadek Wahyu Adi Putra di 15:18
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook

Asuhan Keperawatan Pada Klien Anak Dengan Diare


Pengkajian
1. Identitas
Perlu diperhatikan adalah usia. Episode diare terjadi pada 2 tahun
pertama kehidupan. Insiden paling tinggi adalah golongan umur 611 bulan. Kebanyakan kuman usus merangsang kekebalan terhadap
infeksi, hal ini membantu menjelaskan penurunan insidence
penyakit pada anak yang lebih besar. Pada umur 2 tahun atau lebih
imunitas aktif mulai terbentuk. Kebanyakan kasus karena infeksi
usus asimptomatik dan kuman enteric menyebar terutama klien
tidak menyadari adanya infeksi. Status ekonomi juga berpengaruh
terutama dilihat dari pola makan dan perawatannya.
Keluhan Utama
BAB lebih dari 3 x
Riwayat Penyakit Sekarang
BAB warna kuning kehijauan, bercamour lendir dan darah atau lendir
saja. Konsistensi encer, frekuensi lebih dari 3 kali, waktu pengeluaran : 35 hari (diare akut), lebih dari 7 hari ( diare berkepanjangan), lebih dari 14
hari (diare kronis).

Riwayat Penyakit Dahulu


Pernah mengalami diare sebelumnya, pemakian antibiotik atau
kortikosteroid jangka panjang (perubahan candida albicans dari saprofit
menjadi parasit), alergi makanan, ISPA, ISK, OMA campak.
Riwayat Nutrisi
Pada anak usia toddler makanan yang diberikan seperti pada orang
dewasa, porsi yang diberikan 3 kali setiap hari dengan tambahan buah dan
susu. kekurangan gizi pada anak usia toddler sangat rentan,. Cara
pengelolahan makanan yang baik, menjaga kebersihan dan sanitasi
makanan, kebiasan cuci tangan,
Riwayat Kesehatan Keluarga
Ada salah satu keluarga yang mengalami diare.
Riwayat Kesehatan Lingkungan
Penyimpanan makanan pada suhu kamar, kurang menjaga kebersihan,
lingkungan tempat tinggal.
Riwayat Pertumbuhan dan perkembangan
Pertumbuhan
o Kenaikan BB karena umur 1 3 tahun berkisar antara 1,5-2,5
kg (rata-rata 2 kg), PB 6-10 cm (rata-rata 8 cm) pertahun.
o Kenaikan linkar kepala : 12cm ditahun pertama dan 2 cm
ditahun kedua dan seterusnya.
o Tumbuh gigi 8 buah : tambahan gigi susu; geraham pertama
dan gigi taring, seluruhnya berjumlah 14 16 buah.
o Erupsi gigi : geraham perama menusul gigi taring.
Perkembangan
Tahap perkembangan Psikoseksual menurut Sigmund Freud.
Fase anal :
Pengeluaran tinja menjadi sumber kepuasan libido, meulai
menunjukan keakuannya, cinta diri sendiri/ egoistic, mulai kenal
dengan tubuhnya, tugas utamanyan adalah latihan kebersihan,

perkembangan bicra dan bahasa (meniru dan mengulang kata


sederhana, hubungna interpersonal, bermain).

Tahap perkembangan psikososial menurut Erik Erikson.


Autonomy vs Shame and doundt
Perkembangn ketrampilan motorik dan bahasa dipelajari anak
toddler dari lingkungan dan keuntungan yang ia peroleh Dario
kemam puannya untuk mandiri (tak tergantug). Melalui dorongan
orang tua untuk makan, berpakaian, BAB sendiri, jika orang tua
terlalu over protektif menuntut harapan yanag terlalu tinggi maka
anak akan merasa malu dan ragu-ragu seperti juga halnya perasaan
tidak mampu yang dapat berkembang pada diri anak.

Gerakan kasar dan halus, bacara, bahasa dan kecerdasan,


bergaul dan mandiri : Umur 2-3 tahun :
1. Berdiri dengan satu kaki tanpa berpegangan sedikitpun
2 hitungan (GK).
2. Meniru membuat garis lurus (GH).
3. Menyatakan keinginan sedikitnya dengan dua kata
(BBK).
4. Melepasa pakaian sendiri (BM).

Pemeriksaan Fisik
Pengukuran panjang badan, berat badan menurun, lingkar lengan
mengecil, lingkar kepala, lingkar abdomen membesar.
Keadaan umum : klien lemah, gelisah, rewel, lesu, kesadaran
menurun.
Kepala : ubun-ubun tak teraba cekung karena sudah menutup pada
anak umur 1 tahun lebih.
Mata : cekung, kering, sangat cekung.
Sistem pencernaan : mukosa mulut kering, distensi abdomen, peristaltic
meningkat >35 x/mnt, nafsu makan menurun, mual muntah, minum
normal atau tidak haus, minum lahap dan kelihatan haus, minum sedikit
atau kelihatan bisa minum.
Sistem Pernafasan : dispnea, pernafasan cepat > 40 x/mnt karena
asidosis metabolic (kontraksi otot pernafasan).

Sistem kardiovaskuler : nadi cepat > 120 x/mnt dan lemah, tensi
menurun pada diare sedang .
Sistem integumen : warna kulit pucat, turgor menurun > 2 dt,
suhu meningkat > 375 0 c, akral hangat, akral dingin (waspada
syok), capillary refill time memajang > 2 dt, kemerahan pada
daerah perianal.
Sistem perkemihan : urin produksi oliguria sampai anuria (200-400
ml/ 24 jam ), frekuensi berkurang dari sebelum sakit.
Dampak hospitalisasi : semua anak sakit yang MRS bisa
mengalami stress yang berupa perpisahan, kehilangan waktu
bermain, terhadap tindakan invasive respon yang ditunjukan adalah
protes, putus asa, dan kemudian menerima.

Anda mungkin juga menyukai