Anda di halaman 1dari 2

Pemeriksaan pajak merupakan bagian tak terpisahkan (built-in) dengan sistem self assessment yang

dianut dalam sistem perpajakan kita. Pemeriksaan pajak dilakukan dalam rangka pengawasan
(control) kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan. Tanpa pengawasan, Wajib Pajak dalam
melaksanakan kewajiban perpajakannya cenderung menurunkan omset atau laba bersih.
Berikut tantangan dan kendala dalam melakukan pemeriksaan pajak secara menyeluruh (baik WP atau
Fiskus) di Indonesia :

WP yang tidak mau menghadapi birokrasi di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang dianggap
banyak menyita waktu dan pikiran sehingga banyak yang menerima dengan pasrah pajak
yang di tetapkan DJP dibanding melakukan upaya keberatan. Pemeriksaan sampai saat ini
masih dipandang sebagai momok yang menakutkan dan terkesan angker bagi WP, harus
dipahami sebagai hal yang wajar, karena selama ini masih sangat banyak WP yang tidak
memahami apa sesungguhnya hakekat pemeriksaan itu sendiri, atau karena pengalaman
empiris WP terhadap pemeriksaan memang menunjukkan fakta yang demikian
Penyimpangan Tujuan Pemeriksaan. Disini fiskus yang melakukan pemeriksaan di lapangan
tidak terkendali, sehingga dapat bertindak melampaui batas dalam melakukan pemeriksaan,
seringkali ditemui Fiskus menggunakan kekuasaannya menafsirkan UU atau ketentuan
lainnya yang dapat menjerat WP untuk dikenakan sanksi (diterbitkan SKPKB atau SKPKBT),
dengan harapan terjadi penambahan penerimaan.
Database yang masih jauh dari standar Internasional. kendala dan tantangan lain yang
dihadapi aparatur pajak (fiskus) dalam melakukan pemeriksaan adalah database yang masih
jauh dari standar internasional. Padahal database sangat menentukan untuk menguji
kebenaran pembayaran pajak dengan sistem self-assessment.
Pembuktian dalam Pemeriksaan Pajak. membedakan dalam menggunakan Bukti berbasis
akuntansi atau bukti non akuntansi yang berbasis hukum pidana/perdata untuk menjadi bukti
kompeten yang valid dan relevan dalam pemeriksaan pajak.
Fiskus yang memiliki kepentingan pribadi dalam melakukan suatu pemeriksaan pajak.
Masih adanya proses jual beli atau negosiasi bercondong negatif oleh WP dan Fiskus
sehingga proses pemeriksaan yang salah satu tujuannya peningkatan pendapatan negara
menjadi meleset atau tidak tepat sasaran.
Peluang dalam pemeriksaan pajak
Pajak merupakan sumber utama penerimaan negara. Dari tahun ke tahun, penerimaan pajak
terus meningkat. Akan tetapi selama kurun waktu lima tahun terakhir, Direktorat Jenderal
Pajak tidak
pernah mencapai target penerimaannya. Kinerja penerimaan pajak dapat dilihat dari
perbandingan
antara realisasi dan target penerimaan. Tidak tercapainya target penerimaan pajak
mengindikasikan
kinerja penerimaan pajak yang masih belum optimal. Masalah yang dihadapi dalam
penerimaan pajak
yang optimal berakar pada kepatuhan pajak. Untuk mendukung peningkatan kepatuhan pajak
diperlukan birorasi yang baik, aparat yang profesional dan berintegritas, serta kesadaran dari
pembayar
pajak.
1 Masih banyak Wajib Pajak yang tidak melaporkan atau melaporkan penghasilan di bawah
penghasilan yang sebenarnya. Akibatnya, jumlah pajak yang dilaporkan lebih kecil dari pajak
yang
sebenarnya terutang. Indikator untuk menilai tingkat kepatuhan Wajib Pajak dapat dilihat dari

banyaknya kasus penggelapan pajak (tax evasion). Penelitian-penelitian sebelumnya telah


membahas
mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan Wajib Pajak. Menurut
pendapat saya,
dari berbagai penelitian tersebut, ada dua faktor penting yang dapat mempengaruhi perilaku
Wajib
Pajak dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya, yaitu probabilitas pemeriksaan dan tarif
denda.
Probabilitas pemeriksaan oleh aparat pajak dapat mempengaruhi perilaku Wajib Pajak dalam
melaporkan penghasilan mereka yang dijadikan dasar pengenaan pajak. Karena sebagian
besar Wajib
Pajak cenderung risk averse, semakin besar peluang Wajib Pajak untuk diperiksa, penghasilan
yang
dilaporkan Wajib Pajak semakin mendekati penghasilan yang sebenarnya. Sebaliknya,
semakin kecil
peluang Wajib Pajak untuk diperiksa, perilaku Wajib Pajak cenderung menutup-nutupi
penghasilan yang
sebenarnya dan melaporkan penghasilan yang lebih kecil dari penghasilan yang sebenarnya.
Berawal
dari sinilah kasus penggelapan pajak dapat terjadi. Penggelapan pajak terjadi karena adanya
gap atas
penghasilan yang dilaporkan dengan penghasilan yang sebenarnya. Michael G. Allingham
dan Agnar
Sandmo di tahun 1972 mengusung teori rational expectation yang menyatakan bahwa
pembayar pajak
(taxpayers) mempertimbangkan probabilitas mereka diperiksa dan didenda dalam kasus
penggelapan
pajak. Menurut teori tersebut, pembayar pajak hanya akan taat tehadap aturan pajak jika
terdapat
kemungkinan besar mereka akan diperiksa dan jika denda pajaknya tinggi.
Dari penelitian yang dilakukan Allingham dan Sandmo (1972), veriabel penalti denda dapat
berpengaruh terhadap kepatuhan Wajib Pajak apabila didukung dengan variabel probabilitas
pemeriksaan yakni semakin tinggi tingkat probabilitas pemeriksaan pajak dan denda/penalti,
maka
tingkat kepatuhan Wajib Pajak akan semakin tinggi pula. Wajib Pajak yang melaporkan
penghasilan di
bawah penghasilan yang sebenarnya, dan ternyata menjadi objek pemeriksaan aparat pajak,
maka akan
menanggung risiko beban pajak yang lebih besar berupa selisih pajak terutang yang belum
dibayar
ditambah dengan denda dengan tarif yang tinggi. Namun Chang dan Hyun (2003),
memberikan opini
yang sedikit berbeda. Menurut Chang dan Hyun (2003), audit pajak dan tarif penalti penting
untuk
menghalangi penggelapan pajak meskipun tarif penalti lebih efektif.
Mekanisme pemeriksaan dan denda pajak merupakan mekanisme yang sangat penting untuk
meningkatkan kesadaran dan kepatuhan Wajib Pajak, sekaligus untuk meningkatkan
penerimaan pajak.

Anda mungkin juga menyukai