Anda di halaman 1dari 17

Asan Usen, Sapha, Molot, Adoe Molot, Molot Keuneulheueh, Khanduri Boh Kayee,

Khanduri Apam, Khanduri Bu, Puasa, Uroe Raya, Meuapet dan Haji.

Keuneunong atau keunong merupakan penanggalan Aceh yang sudah terlupakan. Sama dengan
kalender masehi, Keunong dibagi dalam 12 bulan, tapi semuanya ganjil.
Rangkaian keunong yang ganjil dimaksud untuk membedakan dengan almanak di luar Islam.
Menurut Snouck Hurgronje dalam bukunya The Atjeher terjemahan NG Singarimbun
(Eds),keunong diawali dengan keunng dua ploh lhee (23 Jumadil Akhir, menurut tahun
Hijriah). Pada keunong ini, biasanya padi-padi di sawah mulai menguning, banyak yang rebah
dan menjadi puso karena angin timur yang sangat kencang.
Bahkan mengenai hal ini dalam sebuah idiom pun orang Aceh sering menyebutkan musem timu
jak tark pukat, musem barat jak meuniaga.Yang artinya musim timur (angin timur) lebih baik
pergi melaut, musim barat (angin barat) lebih baik untuk berdagang, karena pada musim timur
ombak tidak ganas. Sementara pada musim barat ombaknya ganas dan sering datangnya badai.
Keunong selanjutnya adalah keunong dua ploh sa (21 Rajab). Pada musim ini biasanya padi di
sawah mulai panen, atau khanduri blang (kenduri turun ke sawah) untuk memulai penyemaian
benih. Dekade ini sering juga disebut sebagai musem luah blang dalam artian sawah-sawah
sudah selesai panen.
Kemudian keunong sikureung blah, biasanya keadaan iklimnya hampir sama dengan keunng
dua ploh sa. Para petani mulai turun ke sawah. Selanjutnya keunong tujoh blah, pada dekade ini
awal bertiupnya angin barat. Mengawali musim ini, para nelayan biasanya mengadakan khanduri
lat (kenduri turun ke laut) karena pada musim barat ombak tidak besar.
Lalu keunong limong blah. Pada musim ini sawah-sawah sudah siap digarap dan siap tanam dan
di laut mulai ada badai. Pada pertengahan bulan Zulkaidah akan beralih ke keunong lhee blah.
kemudian berlanjut ke keunong siblah dan terus ke keunong sikureung.
Suatu hal yang sangat ganjil, mungkin juga fenomena alam, keunong sikureung ini menurut
masyarakat pedesan, ditandai dengan banyaknya keureungkng (ketam darat) yang keluar dari
lubangnya (keureungkong woe), entah sejauh mana korelasi antara keunong sikureung ini
dengan keureungkong woe, tapi yang jelas pada dekade ini, suhu sangat panas.
Sementara pada keunng tujoh ditandai dengan banyaknya anjing yang menggonggong di
malam hari. Karena biasanya jatuh pada bulan Safar, pada keunong tujoh biasanya tidak
diadakan acara-acara pesta pernikahan, khitanan dan lain sebagainya, karena dianggap bulan
yang naas. Pada akhir bulan ini biasanya masyarakat akan berbondong-bondong pergi untuk
mandi ke laut, manoe rabu abeh.

Berlanjut ke keunong limong, ditandai dengan mulai bertiupnya angin timur dan para nelayan
mulai melaut kembali. Terus beralih ke keunong lhee. Terakhir keunong sa, pada musim ini,
hujan sangat lebat dan cangguk poe (katak) akan bersuara di setiap kubangan.
Para petani dan nelayan tradisional Aceh pun sampai kini memakai penanggalan tersebut sebagai
dasar perkiraan melaut dan bertani. Hal ini seperti terungkap dalam hadih maja Keunong siblah
tabu jareung, keunong sikureung rata-rata, keunong tujoh pih jeut mantong, keunong limong ulat
seuba.
Selain keunong ada juga penanggalan Aceh yang berdasarkan tahun Hijriah. Penanggalan ini
merupakan penanggalan Arab yang di-Aceh-kan, yaitu; Bulan Muharram, menurut penanggalan
Arab dalam penaggalan Aceh disebut Asan-Usen, hal ini diambil dari nama cucu nabi Hasan dan
Husen.
Bulan Safar menurut tahun Hijriah di Aceh disebut Safa. Bulan Rabiul Awal dalam penanggalan
Aceh disebut buleun Molot, diambil dari kata maulud yakni memperingati hari lahirnya nabi
Muhammad. SAW.
Rabiul Akhir, dalam bahasa Aceh disebut adoe molot atau rabioy akhe. Jumadil Awal dalam
penanggalan Aceh disebut molot seuneulheuh. Dulunya para pemelihara barang antik di Aceh,
juga menamakan bulan ini dengan madika pho.
Kemudian Jumadil Akhir dalam penanggalan Hijriah, dalam bahasa Aceh disebut buleun
khanduri boh kayee yaitu kenduri atau persembahan buah-buahan secara keagamaan. Bulan
Rajab tahun Hijriah, dalam penanggalan Aceh disebut buleun khanduri apam, yaitu bulan
kenduri kue apam. Bulan Syakban disebut buleun khanduri bu (kenduri nasi).
Bulan Ramadhan, dalam bahasa Aceh disebut langsung buleun puasa, karena pada bulan inilah
puasa diperintahkan. Bulan Syawal, disebut uroe raya, karena pada awal bulan inilah perayaan
hari raya idul fitri dilaksanakan. Selanjutnya bulan Zulkaidah, dalam bahasa Aceh disebut
sebagai buleun meuapet.
Terakhir. bulan Zulhijjah. Disebut buleun haji, karena pada bulan inilah umat Islam melakukan
ibadah haji. Meski penanggalan tersebut tidak dibuat langsung dalam bentuk kalender, tapi
sampai kini masih digunakan oleh masyarakat Aceh, sebagai sebuah ciri ke-Aceh-an yang patut
dipertahankan.

Ritual Masyarakat Aceh Dalam Menyambut Kelahiran Anak (suatu tinjauan


kekinian)
Oleh: Cut Zahrina, S.Ag.

Pendahuluan
Penting untuk kita ingat dan kita catat bahwa strukturalisme adalah suatu paradigma dalam
antropologi seperti yang telah dikemukakan oleh Levi-Strauss. Ada beberapa pemikiran teori
yang juga dapat membangun pemahaman struktural menurut fokus perhatian dan arah yang
berbeda. Tentu dalam hal ini kita harus kembali menyinggung konstribusi besar dari Emile
Durkheim, Marcell Mauss, Ferdinand de Saussure dan ahli linguistik Swiss yang
mengembangkan pendekatan struktural dalam bahasa.
Pusat perhatian lain yang penting dalam strukturalisme adalah ritual. Fungsionalis seperti
Malinowski dan Radcliffe-Brown mengadopsi pernyataan Durkheim bahwa agama
merefleksikan struktur dari sistem sosialnya dan fungsi untuk memelihara sistem tersebut dari
masa ke masa.
Variasi mite-mite sebagaimana yang dituturkan oleh orang-orang di sekitar dipandang dapat
mencerminkan perbedaan-perbedaan sistem-sistem sosial mereka. Sistem politik yang terpusat
diasosiasikan dengan keyakinan pada Tuhan Yang Maha Tinggi, yang kurang memiliki makhlukmahkluk yang lebih rendah sebagai perantara dirinya dengan manusia biasa. Sistem tersebut
tidak tersentralisasi namun akan diasosiasikan dengan agama-agama di mana terdapat sejumlah
dewa dengan status yang setara. Secara khusus, masyarakat yang berasaskan garis keturunan
(lineage-based) seperti masyarakat Nuer dan Tallensi dapat dikaitkan dengan pemujaan nenek
moyang.
Di Eropa, para antropolog yang lebih dekat hubungannya dengan Durkheim mengikuti proposisi
bahwa suatu sistem kepercayaan dalam kebudayaan memiliki logika internal yang memberikan
makna bagi tindakan ritual. Seperti halnya aliran Inggris, mereka bereaksi terhadap penulispenulis sebelumnya yang menafsirkan adat sebagai survival dari yang dianggap tahap-tahap
sebelumnya dalam evolusi sosial manusia.
Antropolog Inggris berpendapat bahwa kehadiran setiap adat seharusnya dijelaskan dalam
konteks efek kontemporernya terhadap sistem sosial. Para penulis seperti Hertz (1960 dan van
Gennep 1960 berpendapat bahwa makna setiap adat harus diangkat dideduksi dari tempatnya
dalam struktur kognitif. Dalam tulisannya, The Preeminence of the right hand. Hertz,
mendokumentasikan suatu kecenderungan umum di antara banyak kebudayaan untuk
mengasosiasikan tangan kanan dengan kekuatan dan keteraturan, sementara tangan kiri dengan
kekacauan dan kelemahan. Ia menyimpulkan bahwa oposisi struktural antara kanan dan kiri
bermakna bagi oposisi yang lebih umum antara benar dan salah. Ia menganggap hal ini sebagai
satu kasus kecenderungan umum bagi kebudayaan primitif untuk berpikir dalam oposisi
dualistik. Dalam konteks biologi suatu kecenderungan statistik bagi banyak orang yang
menggunakan tangan kanan dominan akan lebih benar daripada yang menggunakan tangan kiri
ditransformasikan oleh kebudayaan ke dalam oposisi mutlak yang terisi oleh makna dalam suatu
upacara. Upacara yang berkembang dalam masyarakat telah menjadi kebutuhan dan dijadikan
sebagai kegiatan ritual dalam kehidupan bermasyarakat.
Dalam wacana ini penulis ingin mengemukakan upacara yang dilaksanakan oleh masyarakat
Aceh dalam menyambut kelahiran anak pertama. Kelahiran manusia dapat dijelaskan dengan
pengertian akan kelahiran subtansi-subtansi infrahuman yang dianggap materil bagi

kelangsungan kehidupan bermasyarakat.


Perspektif Antropologi Terhadap Upacara
Upacara merupakan rangkaian kegiatan ritual masyarakat, dalam buku the Rites of Passage (van
Gennep) berpendapat bahwa kejadian dalam kehidupan manusia terbagi atas tiga bagian. Ia
yakin terdapatnya kecenderungan pada manusia untuk mengonsepsikan perubahan status sebagai
suatu model perjalanan dari satu kota atau negeri kekota atau kenegeri yang lain, sebagaimana
dikatakannya suatu teritorial passage.
Perjalanan teritorial meliputi tiga aspek yaitu pemisahan dari tempat asal, peralihan dan
penggabungan ke dalam tujuan. Seperti halnya oposisi antara tangan kanan dan tangan kiri bisa
berlaku lebih umum, oposisi moral. Dengan demikian perjalanan teritorial dapat berlaku bagi
setiap perubahan status dalam masyarakat. Ritual kelahiran, memasuki masa dewasa, kematian,
semuanya memiliki struktur yang sama. Sebagaimana ditekankan van Gennep ia ingin
mengangkat ekstraksi berbagai ritus dari seperangkat upacara seremoni dan menanggapi ritusritus tersebut terisolasi dan mengangkatnya dari konteks yang memberi makna kepadanya dan
menunjukkan posisinya dalam keseluruhan dinamika.
.
Upacara-upacara tersebut masih dipertahankan karena dibutuhkan oleh masyarakat, untuk
memenuhi tuntutan adat. Menurut masyarakat Aceh, adat harus dijalankan dan dipenuhi, selain
itu kita harus mematuhinya juga. Seperti pepatah Aceh menyebutkan bahwa : Matee aneuk
meupat jeurat, matee adat pat tamita.
Adat Aceh Apabila Istri Dalam Keadaan Hamil
Analisis Perubahan dan Pergeseran dalam konteks Kekinian
Untuk saat sekarang ini upacara menyambut kelahiran anak pertama, telah terjadi perubahan.
Perubahan adat yang terjadi hanya sedikit saja namun tidak pernah bergeser dari makna yang
telah tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Aceh. Di sini penulis dapat mengutarakan
bahwa inti rangkaian upacara ini adalah symbol dari suka cita. Ini dilatarbelakangi oleh rasa
bahagia yang ada pada pasangan suami isteri yang baru berumah tangga, begitu juga bagi kedua
orang tua mereka yang sudah menanti-nanti kehadiran cucunya. Salah satu pergeseran budaya
dari upacara ini, misalnya sekarang ini bawa nasi ada sebahagian masyarakat mengantikan
dengan bawaan mentah yaitu uang.
Hal yang demikian sudah sering kita dengar dari masyarakat Aceh, ini disebabkan oleh beberapa
hal di antaranya karena mertuanya jauh, tidak ada yang masak. Ini mereka anggap menyulitkan
dan juga merepotkan., jadi mereka mengambil jalan yang praktisnya yaitu mengasihkan uang
senilai hantaran nasi yang mau dibawa. Terlebih dahulu ini telah menjadi kesepakatan antara
orang tua kedua belah pihak, baik pihak isteri maupun suami, sehingga tidak menimbulkan
permasalahan. Namun peraturan ini tidak berlaku bagi sama-sama besan yang berdekatan, bagi
mereka diharuskan untuk menjalankan adat tersebut. Waktu pelaksanaan bawa nasipun, sekarang
telah banyak berubah, masyarakat Aceh zaman dahulu melakukan sampai dua kali, namun
sekarang ini telah dipraktiskan dengan sekali hantaran saja. Perubahan ini, masyarakat

menganggap biasa dan lebih praktis baik dari segi waktu dan kerja.
Namun diharapkan upacara ini janganlah sampai hilang, karena upacara ini telah menjadi
bahagian dari adat Aceh yang harus kita lestarikan. Dari upacara ini terwakili beberapa nilai
ketauladanan, di antaranya nilai penghormatan dan nilai kebersamaan dalam menyambut
kebahagian. Kebahagian yang ada tidak hanya dinikmati terbatas pada keluarga itu saja, akan
tetapi dirasakan juga oleh tetangga maupun saudara sekampung yang menghadiri undangan
dalam acara makan tersebut.
Ketika bayi sudah lahir kebiasaan-kebiasaan masyarakat pada zaman dulu banyak yang sudah
ditinggalkan. Mereka telah mengikuti anjuran-anjuran dari bidan rumah sakit tempat mereka
melakukan persalinan, misalnya bayi yang baru lahir tidak boleh diberikan makanan. Kebiasaan
dulu bayi yang baru lahir langsung diberikan pisang, kalau di Aceh biasanya pisang wak (pisang
monyet) kebiasaan-kebiasaan ini telah berubah.
Perubahan yang terjadi dipengaruhi oleh kesadaran masyarakat untuk melahirkan pada bidan
rumah sakit, tidak lagi pada bidan kampung. Pergeseran budaya ini telah ada, namun bidan-bidan
kampung tetap difungsikan untuk mengurus bayi dan ibunya. Walaupun bidan kampung,
sebahagian di antara mereka telah mendapatkan pelatihan dari bidan rumah sakit, sehingga dia
dalam mengurus bayi dan ibunya tidak menyimpang dari anjuran rumah sakit.
Upacara turun tanah, disimbolkan pada kesucian ibu bayi yang baru saja melewati masa
persalinan. Dalam prosesi upacara ini juga melibatkan bayi yang baru lahir, di mana pada saat
upacara berlangsung bayi dibawa ke luar rumah. Ibu yang baru melahirkan dianggap tidak suci
lalu tidak dibolehkan untuk ke luar rumah, disebabkan karena dia dalam keadaan masa nifas,
haids dan wiladah.
Pada saat turun tanah di sinilah puncaknya bahwa dia telah suci terbebas dari darah kotor
sehingga dia telah boleh ke luar rumah. Begitu juga dengan bayinya, sebetulnya bayi yang belum
berumur satu bulan masih dianggap rentan dengan penyakit sehingga bayi tidak dibolehkan
untuk ke luar rumah kecuali dalam keadaan terpaksa apa dia sakit dan sebab lainnya yang sangat
mendesak.
Namun, pada saat upacara turun tanah pertama sekali bayi mengenal dunia luar. Di sinilah bayi
diajarkan dengan dunia luar, di mana kita itu harus giat bekerja dan jangan malas-malasan,
karena kalau sifatnya malas akan berakibat buruk bagi kehidupannya kelak. Rangkaian dari
upacara ini adalah proses pembelajaran sehingga dapat kita ambil iktibar dalam kehidupan kita
sehari-hari, adat istiadat yang terdapat dalam suatu upacara harusnya tetap dilestarikan karena
adat merupakan salah satu cerminan dari budaya bangsa.
Penutup
Adat menyambut kelahiran anak adalah kebiasaan masyarakat Aceh dengan mengadakan upacara
yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada dalam ajaran Islam. Ketentuan tersebut telah
menjadi kepercayaan dan tradisi orang-orang tua yang dilakukan pada masa dahulu.
Serangkaian upacara tersebut seperti ba bu (bawa nasi ), cuko oek (cukur rambut), peucicap

(memberi rasa makanan), akikah dan turun tanah dinilai penting dan bermakna dalam kehidupan,
sehingga perlu untuk dijalankan sesuai dengan ketentuan adat yang telah ditetapkan. Di zaman
serba modern sekalipun, kegiatan ritual ini akan menjadi aset wisata budaya. Zaman boleh saja
modern, namun adat dan budaya jangan sampai hilang, jadi kita berusaha bagaimana adat dan
budaya tersebut tetap tampil disesuaikan dengan perkembangan zaman.
Penulis:
Cut Zahrina, S.Ag. adalah Tenaga Honorer pada Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional
Banda Aceh

Keumaweuh, Tradisi Tujuh Bulanan di Aceh


Posted on September 5, 2014 by Liza Fathia
Memasuki bulan ke 7 atau minggu ke 28 kehamilan, saya dikejutkan oleh telepon dari mertua
yang ingin memastikan kapan mereka bisa datang ke Tangse untuk jak mee bu (membawa nasi)
atau keumaweuh. Sungguh tidak terasa kalau janin di rahim saya sudah tujuh bulan usianya.
Sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Aceh khususnya keluarga suami untuk mengantarkan nasi
dan buah-buahan bagi istri yang sedang hamil anak pertama. Tradisi inilah yang disebut dengan
keumaweuh atau tujuh bulanan.
Makanan yang dihidangkan saat acara keumaweuh
Sebenarnya, saya merasa sedikit berat hati menjalani tradisi ini. Bukan karena saya anti dengan
adat keumaweuh, bukan sama sekali. Saya malah senang sekali ketika keluarga suami datang ke
rumah dan membawa aneka makanan dan buah-buahan. Bisa makan besar tentunya. Namun,
yang membuat diri ini sedih adalah suami tercinta belum bisa kembali dari perantauan pada hari
yang sakral itu. Ketika mertua perempuan melakukan peusijuk, langsung saja air mata ini keluar.
Padahal entah apa yang ditangisi toh sebentar lagi si dia juga pulang.
Meskipun sama-sama orang Aceh, tetapi saya dan suami berasal dari kebupaten yang berbeda.
Saya dari Pidie dan suami dari Aceh Besar. Beda tempat tinggal, beda pula adat istiadatnya. Jika
di Pidie, sangat banyak adat istiadat yang dilakukan untuk menyambut anak pertama. Mulai dari
tiga bulan kehamilan sampai tujuh bulan, tergantung dari kesanggupan sang empunya hajatan.
Dan saat menyambut tujuh bulan kehamilan, seluruh makanan dibawa oleh pihak suami ke
rumah istri lalu disantap bersama-sama. Lain halnya dengan sebagian penduduk Aceh Besar.
Ketika keumaweuh tiba, maka pihak suami akan menyerahkan sejumlah uang ke orang tua istri
untuk memasak apa saja yang disukai oleh sang ibu hamil. Lalu ketika tiba hari H, keluarga
suami hanya membawa makanan lain seperti ketan, keukarah, bhoi, wajeek, rujak, dan buahbuahan. Jika membawa nasi dan lauk-pauk yang telah dimasak, ditakutkan akan basi apalagi
perjalanan yang ditempuh lumayan jauh.
Oleh karena itu, maka sehari sebelum menyambut datangnya mertua untuk mee bu gateng, istilah
lain untuk keumaweuh, mamak dan para tetangga mulai sibuk menyiapkan aneka masakan. Ada

yang membuat timphan dan kue-kue basah lainnya, ada yang menggiling bumbu untuk memasak
lauk, ada yang membersihkan ayam dan bebek, dan lain-lain. Pokoknya semuanya sibuk,
termasuk saya yang sibuk mencicipi setiap masakan tersebut.
Nyak Wa Marlaini sedang menyiapkan daun untuk membuat timphan. Pisang yang tergantung
juga akan digunakan untuk membuat kue tradisional khas Aceh ini Ada juga yang bertugas
menggiling bumbu untuk memasak daging dengan batu giling. Para tetangga di kampung lebih
suka menggiling dengan batu dibandingkan dengan menggunakan blender, rasanya lebih enak,
begitu alasan mereka. Walaupun sedikit melelahkan asalkan masakan yang mereka masak enak
di lidah, itu sudah cukup membuat mereka bahagia Kak Mi dan Cek Ni mendapat tugas
membersihkan ayam dan bebek. Bulu-bulu ayam dan bebek yang baru dipotong mereka
bersihkan dengan menggunakan air panas. Sangat telaten
Pagi hari sebelum rombongan datang, para tetangga yang sebelumnya telah banyak membantu
juga kembali hadir. Diantara mereka ada yang membungkus nasi dengan daun pisang,
menyiapkan aneka hidangan, dan juga menyambut beberapa tamu undangan yang datang.
Rombongan mertua baru datang pukul setengah satu siang.
Pagi hari sebelum tamu datang, Po Chen dan Kak Yan membungkus nasi dengan daun pisang tua
yang telah dipanaskan di atas api. Nasi dibungkus berbentuk piramid. Rasa nasi yang dibungkus
dengan daun pisang lebih enak dan harum
Saya dan jabang bayi pun dipeusijuk oleh Mak Di, sepupu mertua perempuan dan juga orang
yang dituakan dalam rombongan tersebut. Lalu seluruh keluarga yang hadir baik itu dari pihak
suami maupun kerabat saya sendiri menyalami saya satu persatu. Eits, salamnya bukan dengan
tangan kosong melainkan salam tempel. Sempat terbesit dipikiran, seandainya setiap bulan ada

tradisi seperti ini. Bisa makan enak dan dapat salam tempel pula
Bumilnya sedang di peusijuk oleh Mak Di, salah satu orang yang dituakan dalam keluarga
suami.
Setelah prosesi peusijuk selesai, para rombongan menikmati aneka masakan. Saya pun ikut serta
dengan mereka. Hanya saja, makanan yang saya makan tidaklah sama. Ada bakul khusus yang
disiapkan mertua untuk saya cicipi.
Hidangan yang siap disantap oleh tamu. Banyak variasinya dan bikin lapar :)
Begitulah tradisi keumaweuh yang telah menjadi adat turun temurun pada masyarakat Aceh.
Selain untuk menyenangkan sang ibu hamil, tradisi ini juga berfungsi untuk meningkatkan
silaturahmi antara keluarga istri dan suami. Eits tak hanya itu, wanita yang sedang hamil kan
memerlukan nutrisi yang tinggi untuk dirinya dan jabang bayi, jadi dengan adanya acara
keumaweuh ini diharapkan gizi sang ibu dan bayi tercukupi sehingga keduanya selalu sehat
sampai perslainan tiba.

Jauh-jauh hari saya sudah diingatkan untuk tidak pergi kemana-mana. Pasalnya pekan depan,
keluarga saya akan mengadakan kenduri besar. Sebagai satu-satunya anak laki-laki belum
menikah sekaligus masih tinggal di rumah, maka wajar saja tenaga saya sangat dibutuhkan pada
hajatan keluarga itu.
Hajatan yang dimaksud adalah Intat Gateng, sebuah tradisi menyambut kelahiran atau kenduri
tujuh bulanan. Nah, kenduri ini untuk kakak ipar saya yang sedang mengandung tujuh bulan.

seorang bapak sedang memeras santan


Di Aceh, tradisi menyambut kelahiran ini bisa memiliki nama yang berbeda di setiap kabupaten.
Tidak hanya penyebutan namanya saja yang berbeda, akan tetapi tata cara pelaksanaannya pun
tidak benar-benar sama. Setiap kabupaten punya keunikkannya tersendiri. Namun yang jelas
sama adalah, keriuhan mengurus persiapan hajatan Ibu mengandung ini. Meriahnya bukan main
hahaha

Semua bermula saat pihak keluarga menghitung bulan, yaitu saat usia kandungan telah
memasuki tujuh bulanan. Nah saat itu, mertua perempuan dari keluarga istri akan melakukan
peusijuk atau tepung tawar pada menantu laki-laki.
Setelah melakukan peusijuk, sang menantu akan diberi hadiah sebuah sarung baru. Nah, segera
setelahnya, menantu laki-laki akan memberi kabar pada keluarganya bahwa dirinya sudah dipeusijuk. Itu artinya, keluarga menantu laki-laki sudah bisa bersiap-siap untuk Intat Gateng.
Nantinya keluarga menantu perempuan akan kembali diberikan kabar kapan Intat Gateng akan
dilakukan, sehingga mereka juga bisa bersiap-siap.

Ibu ibu sedang mempersiapkan acara


Kabar inilah yang membuat saya harus mengosongkan agenda pada hari yang telah ditentukan
itu. Sebab, pada hari Intat Ganteng itu pihak keluarga laki-laki harus menyiapkan dan membawa
rupa-rupa makanan. Seperti kue-kue kering dan basah, serta buah-buahan.
Bukan itu saja, kami juga harus membawa makanan terdiri dari nasi, ayam, ikan-kan, telur ayam,
telur bebek, dan sebagainya. Tergantung kemudahan. Makanan tersebut dimasukkan ke dalam
beberapa talam dan diberi tudung saji khusus, kemudian dibungkus dengan kain khusus
berwarna kuning. Di beberapa kampung menggunakan kain batik untuk membungkus.

Khusus untuk kue kering, dibawakan untuk menyambut persalinan. Karena kue tersebut bisa
disimpan untuk dua bulan ke depan, tepatnya saat si bayi mungil itu telah keluar dari rahim
ibunya. Jadi, kue tersebut bisa digunakan untuk menyambut tamu yang datang menjenguk.
Sehingga pihak keluarga tidak perlu repot-repot lagi menyiapkan makanan.
Selain kue dan makanan berat tersebut. Pihak keluarga lelaki juga membawa buah-buahan yang
digunakan untuk membuat rujak. Bukan itu saja, pada tradisi Intat Gateng terkadang keluarga
menantu laki-laki juga membawa tempat tidur bayi dan beberapa perlengkapan bayi lainnya.
Kedatangan hantaran pihak laki-laki ke pihak perempuan ini bak mengulang tradisi pernikahan.
Sebab pada saat yang sama, pihak perempuan juga tidak kalah hebohnya demi menyambut
kedatangan menantu laki-laki. Mereka juga mengundang kaum kerabatnya untuk menyiapkan
hidangan. Karena hidangan dimasak bersama-sama dengan melibatkan beberapa tetangga yang
berdekatan. Setelah itu akan disajikan dalam banyak piring seperti hidangan acara nikahan
Jamuan makan langsung dilakukan segera setelah keluarga menantu laki-laki tiba. Setelah acara
menyantap selesai dan piring-piring telah dipindahkan, maka akan dilakukan peusijuk pada
menantu perempuan dan menantu laki-laki. Yang melakukan peusijuk adalah mertua perempuan
dari menantu laki-laki. Setelahnya, inilah bagian paling menyenangkan yang saya saksikan yaitu
adanya salam tempel haha
Sebenarnya, tradisi Intat Gateng ini tidak hanya dilakukan ketika menyambut kelahiran anak
pertama. Beberapa keluarga juga melakukannya pada penyambutan anak kedua, ketiga dan
seterusnya, namun tidak semewah anak pertama. Hal yang paling sederhana adalah dengan
membawa hidangan dalam rantang.
Di balik segala kehebohannya itu, tradisi Intat Gateng memberi pesan moral yang dalam. Karena
sebenarnya, tradisi ini menggambarkan bahwa masyarakat Aceh memiliki perhatian yang besar
dalam menanti hadirnya anggota keluarga baru. Bayi mungil yang siap melanjutkan tradisi ini
(hehe) Dan jika melihat semua itu, rasanya segala keletihan untuk menyiapkan tradisi ini
terbayar lunas.
mesjid sampai bayi itu dibawa pulang kembali dengan mengucapkan salam setibanyadi
rumah.ada masyarakat <ayo sebelum bayi diturunkan melalui tangga, terlebih dulu!mam
beserta peserta upacara membaca doa untuk keselamatan agar bayi panjang umur,
mudah reeki,

beriman, dan beragama. emudian bayi dipangku oleh seorangralik (kerabat


perempuan dari pihak ibu bayi) sambil melekatkan pulut kuning ditelinga bayi,
mengoles manisan lebah di bibir bayi dengan mengucapkan mudahlah reekimu,

taat
dan beriman serta berguna bagi agama. Setelah itu, bayi dipangku olehsemua peserta upacara
secara bergantian dengan mengucapkan ucapan yang sama h i n g g a s e l e s a i . = a l u
b a r u l a h b a y i d i b a w a t u r u n t a n a h k e t e m p a t p e m a n d i a n a t a u sungai untuk
dimandikan dengan upacara tertentu. a d a m a s y a r a k a t a m i a n g , t u r u n t a n a h b a y i
d i s e b u t d e n g a n m e n y a n g k e rambut budak disertai dengan acara cukur rambut,
pemberian nama, kenduri, danmarhaban. Bayi diayun dalam ayunan seirama dengan
irama marhaban. emudiananggota marhaban berdiri, bayi diangkat dari ayunan
oleh seorang anggota keluargau n t u k d i b a w a k e l i l i n g a n g g o t a m a r h a b a n

t a d i . @ a m b u t d i g u n t i n g k e m u d i a n dimasukkan ke dalam kelapa muda


terukir yang telah disediakan dalam talam. e n g g u n t i n g a n r a m b u t
d i l a k u k a n o l e h a n g g o t a m a r h a b a n s e c a r a b e r g i l i r a n . engguntingan
rambut diselesaikan oleh bidan dan dilanjutkan dengan acara jejak tanah bayi
2. Peutrn Da!u
Upacara eutr2n #apu (turun dapur) dilakukan pada hari ke empat
p u l u h empat setelah melahirkan. 3ara-caranya sesuai dengan ajaran agama !slam. ada
harit e r s e b u t , s a n a k k e l u a r g a d a n t e t a n g g a b e r k u m p u l u n t u k
t u r u t m e m b a n t u penyelenggaraan kenduri.! b u m e r t u a y a n g d a t a n g b e r s a m a s a m a s a n a k k e l u a r g a n y a u n t u k p e u s i j u k menantunya yang telah mengeluarkan
darah dari tubuhnya membawa bahan-bahanseperti ketan kuning (bu leukat kun9ng),
ayam panggang (manok panggang), beras padi bercampur beras kunyit (breuh pad, breuh
kun9ng), penganan (tumpoe), daunsidingin (2n sisijuek), segenggam rumput padi
(naleung sambo), sejenis dedaunan
(2n manek-manoe), dan tepung tawar (teupong tabeu). Secara adat resam yang laim
menepung
tawari (peusijuk) menantunya dengan bahan-bahan yang dibawa sendirikemudian
diikuti oleh hadirin. Setelah upacara mandi dan menepung tawari selesai,ibu mertua
mempersembahkan kepada menantunya satu setel pakaian dan sesetel pula untuk
besannya sebagai hibah atas segala jerih payah selama ia merawatmenantu dan
cucunya. Setelah melewati berbagai upacara di atas, ada tradisi lain yang mungkin
sudahmulai ditinggalkan oleh masyarakat Aceh yaitu tradisi membuai anak dengan
nina bobok berupa kisah-kisah perjuangan, syair-syair agama, dan sajak-sajak
yangmenggelorakan semangat. Sejak masih dalam buaian anak sudah ditempa
denganlagu-lagu perjuangan dan dipupuk dengan kisah-kisah ajaran agama sehingga
sudahselayaknya bila dewasa ia akan menjadi orang-orang berani dan satria serta memilikirasa
tanggung jawab terhadap agama.
BAB IIIPENUTUP3.1 &es%m!ulan
Masyarakat Aceh banyak mengenal berbagai macam upacara, setiap upacara i d e n t i k
dengan acara makan-makan yang seringkali berlangsung setelah
a c a r a seremonialnya atau dinamakan dengan kanduri. Upacara yang tetap
berlangsunghingga saat ini masih dilakukan dalam masyarakat Aceh di antaranya adalah:
upacaraturun ke sawah, upacara tolak bala, upacara perkawinan, upacara kehamilan
anak pertama, upacara kematian, dan lain-lain.Salah satu upacara yang masih dilakukan adalah
upacara kelahiran bayi, yangmeliputi ba bu, pantangan, meuramin, kelahiran bayi, koh
pusat, a an atau 4amat, t a n o e m a d o e , d a n m a d e u e n g . Ad a p u n u p a c a r a d i m a s a
b a y i m e l i p u t i c u k o o k , peucicap, akikah, peutroen aneuk manyak, dan peutroen dapu.
3.2 aran

Sebagai orang Aceh dan penerus kebudayaan Aceh seharusnya kita bangga dan harus
mampu melestarikan kebudayaan Aceh. Sehingga kebudayaan Aceh masih bisa diingat dan
masih bisa diturunkan kepada penerus
BAB 1PENDAHULUAN1.1Latar Belakang

1.2Rumusan Masalah

$.Bagaimana makna upacara tujuh bulanan dalam masyarakat Aceh%&.Bagaimana


makna upacara setelah melahirkan atau
madeueng Bagaimana upacara di masa bayi
1.3Tujuan Untuk mengetahui bagaimana adat ataupun tatacara tujuh bulanan
dalammasyarakat Aceh.&.Untuk mengetahui makna upacara setelah melahirkan
atau
madeueng.Untuk mengetahui apa-apa saja upacara pada masa bayi.
BAB IIPEMBAHAAN2.1U!a"ara Tujuh Bulanan
Upacara tujuh bulanan dalam adat Aceh terdiri dari beberapa tahap yaitu :
1. Ba bu/ Me buMengantar Makanan$
Upacaraba bu atau meunieum berlangsung dua kali. Ba bupertama disertaiboh
kayee(buah-buahan), kira-kira usia kehamilan pada bulan keempat sampai
bulankelima. Acara yang kedua berlangsung dari bulan ketujuh sampai dengan
bulankedelapan. Bahan-bahan persiapan ba bu atau mengantar nasi terdiri dari bu
kulah(nasi bungkus), dan lauk pauk yang terdiri dari ikan, daging ayam panggang,
dan burung yang dipanggang. Ada juga di kalangan masyarakat acara ba
bu hanyadilakukan satu kali saja. Semua itu tergantung kepada kemampuan bagi
yangmelaksanakannya, ada yang mengantar satu idang kecil saja dan adapula
yangmengantar sampai lima atau enam idang besar. "asi yang diantar oleh mertua
inidimakan bersama-sama dalam suasana kekeluargaan. !ni dimaksudkan
bahwa perempuan yang lagi hamil adalah orang sakit, sehingga dibuat jamuan
makan yangistimewa, menurut adat orang Aceh perempuan yang lagi hamil harus
diberikanmakanan yang enak-enak dan berman*aat. Semua yang dihantarkan ke
rumah dara bar oleh mertuanya itu mempunyaimakna tertentu salah satunya dari
daging burung yang dipanggang mempunyaimakna supaya anak yang dikandung
menjadi cerdik dan lincah, secerdik dan selincahyang dimakan. +enis burung yang
biasa dipilih adalah burung merpati. ujuan dariupacara ini agar dara
barmendapat makanan yang enak-enak, sebagai penghormatan dari mertua untuk
menghadapi masa kelahiran bayi.
2. Pantangan antangan yang harus diikuti antara lain ialah duduk di ujung tangga
(uleereunyeun
), berada di luar rumah pada senja dan malam hari,melangkahi kuburan-kuburan,
datang ke tempat-tempat yang suram, membicarakan hal yang senonoh,melihat
benda-benda dan hewan yang ajaib, dan pantangan yang lainnya.
3. Meuram%n 2.3 U!a"ara ,% Masa Ba'%ahapan upacara pada masa bayi adalah
sebagai berikut.
a.Cuk k #-ukur Ram)ut$Upacara cukur rambut dilakukan setelah bayi berumur $
bulan. Upacara ini bertujuan untuk membuang rambut kotor yang dibawa sejak
lahir. Selain dari padaitu bertujuan agar rambut bayi tumbuh lebih subur lagi.
Upacara ini hiasanya disertaidengan kenduri.Peucicap Upacara peucicap adalah

upacara untuk memberi rasa makanan kepada bayi.Acara peucicap dilakukan oleh
orang-orang alim terpandang dan baik budi pekertinya. !ni mempunyai tujuan agar
bayi itu kelak akan alim, terpandang, dan baik budi pekertinya. Peucicap dimulai
dengan bimillahirrahmanirrahim
diteruskan denganucapan beumamh lidah, panyang umu, mudah ra euki, di thee
lam ka!m dan taat keu agamamanislah lidah, panjang umur, mudah re eki,
terpandang dalam keluarga,dan taat dalam agama). Setelah ucapan itu selesai lalu
diolesi madu, air (pati) buah- buahan pada mulut bayi..Acara yang terakhir adalah
memperlihatkan surat 7asin dan rencong pada bayi. Acara ini bertujuan agar kelak
ia menjadi anak yang taat kepada agama,menjadi anak yang berani
mempertahankan kebenaran dan berani melawankejahatan..
Ak%kahMasyarakat Aceh menganggap upacara akikah merupakan adat
yang bertautan dengan agama. Bagi orang-orang yang mampu, upacara ini
dilangsungkandengan menyembelih kerbau.Upacara ini dilangsungkan di rumah
tempat bayi itu lahir. #ahulu persiapan- persiapan dan perlengkapan upacara
dipersiapkan oleh nenek dari pihak ayah. adasaat sekarang semua persiapan
akikah itu dipersiapkan oleh ayah si bayi sendiri. ihak sebelah ayah dan ibu, hanya
dating menyertai pada saat berlangsung upacara.8ewan sembelihan adalah hewan
jantan, tidak boleh hewan betina.
,.Peutrn Aneuk Man'ak Upacara peutr2n aneuk manyak biasanya dilakukan oleh
keluarga dari ibu bayi. Bayi pada usia ' bulan, 1 bulan, atau 0 bulan dibawa ke luar
rumah. ada hari peutr2n itu diadakan kenduri menurut kemampuan dari orang tua
(keluarga) bersangkutan. eungku sago5 diundang menghadiri acara tersebut,
demikian juga orang-orang alim lainnya dan keluarga dekat, untuk turut bersukaria.
Adakalanya pada hariitu diadakan permainan p9h rapa-i atau rapa-i
peutrn aneuk Acara peutr2n ini dilanjutkan dengan acara plah boh u(membelah
kelapa).Maksudnya agar bayi tidak merasa takut apabila mendengar suara-suara
mengejutkanatau mengerikan bila ia dewasa kelak.Setelah bayi ditegakkan di
tanah, eungku sago5 menyebut: $, &, ', /, 1, , 0,dan sambung dengan ucapan
;lage bumo nyo teutap, meunan beuteutap pendirian gata"(seperti kukuhnya
bumi ini, maka demikian pulalah pendirianmu harus tetap.Sesudah kelapa dibelah,
lalu diperebutkan oleh keluarga pihak ayah dan ibu bayi.
e. Peutrn DapuUpacara peutrn dapu (turun dapur) dilakukan pada hari ke //
setelah bersalin. ersiapan upacara diusahakan oleh pihak ibunya, seperti beras,
lauk pauk,dan lain-lain untuk dihidangkan kepada undangan. ihak mertua pada
saat upacara biasanya membawa gelang emas bayi bila cucunya perempuan, dan
cincin emas bila bayinya laki-laki.Selain daripada itu, pihak ibunya mempersiapkan
paying, kelapa, pedang, batang pisang, dan tebu. edua bahan yang terakhir ini
ditanam di halaman rumah.akaian untuk bayi berwarna kuning ataupun berwarna
biasa. #alam upacara ini diundang seluruh keluarga pihak ibunya dan
seluruhkeluarga pihak ayahnya. idak ketinggalan pula diundang <euchik, eungku
Sago5,tetangga, dan pemuda kampung sebagai tenaga pekerja. ada upacara ini
sanak keluarga membawa neume (kado) untuk dipersembahkan pada bayi.ada
saat upacara dilangsungkan bayi digendong oleh seorang laki-laki jika bayi itu laki-

laki dan oleh seorang perempuan jika bayi tersebut perempuan. Seorangdi antara
peserta memayungkan bayi dalam gendongan. eungku memegang
pedangdisebelah kanan, dengan perlahan menuju tangga.Saat eungku yang
menggendong bayi itu melangkahi anak tangga pertama,seorang lain berdiri di
dekat eungku, lalu membelah kelapa di atas paying tadi.Belahan kelapa itu,
sebagian dilempar ke halaman sebelah kiri, dan sebagian lagidilempar ke halaman
sebelah kanan. eungku terus turun ke halaman rumah dengancepat, lalu ia
mencencang pohon pisang dan pohon tebu yang sudah ditanam tadidengan
pedang. Untuk anak perempuan acara mencencang batang pisang dan tebu,tidak
dilakukan.emudian eungku menurunkan bayi itu di atas tanah sejenak. Setelah
itu iamenggendong lagi dan terus menuju ke meunasah, diikuti oleh rombongan.
Mereka berkeliling meunasah, kemudian membasuhi muka bayi dengan air, dan
seterusnyamereka pulang ke rumah, serta menyerahkan bayi itu kepada
ibunya.#alam upacara ini banyak lambing-lambang atau simbolis yang
mengandungmakna tertentu. #i antaranya ialah, bayi harus diturunkan oleh
seorang eungku agar menjadi orang yang alim, terpandang dan berkedudukan
dalam masyarakatsebagaimana halnya dengan eungku itu. akaian atau paying
kuning melambangkanketurunan orang baik-baik. #ahulu tidak sembarangan orang
dapat memakai warnaitu, tetapi pada saat sekarang keadaannya sudah
berubah.Membelah kelapa di atas kepala mengandung makna supaya anak itu
tidak takut pada suara petir. Mencencang pohon pisang dan pohon tebu
merupakangambaran seorang yang pergi berperang menghadapi musuh. Membawa
anak kemeunasah dan membasuh mukanya, maknanya supaya rajin ke meunasah
danmenunaikan kewajiban agama serta ikut dalam masalah sosial. Setelah semua
ritual selesai, diadakan hiburan seperti rebana (rapa-i) atau gendering,dan lainlainnya, sebagai bukti suka cita keluarga
hari kenduri itu. kalau masih ada sisanya daging itu dibagi-bagikan kepada
sanak keluarga dan tetangga.ada saat akan dilangsungkan upacara, ayah si bayi
menyerahkan hewansembelihan itu dan seluruh bahan keperluan kenduri kepada
eungku Sagoe dan<euchik. Mereka yang akan memanggil pemuda gampong
sebagai tenaga pekerjadalam upacara. emudian hewan disembelih oleh eungku,
lalu dimasak bersama-sama dan makan pula bersama-sama.
2.0 Peutrn Aneuk Man'ak
eutr2n Aneuk Manyak merupakan upacara turun tanah bayi yang pelaksanaannya
berbeda-beda di setiap daerah. urun tanah bayi pada masyarakat<ayo dilakukan
pada hari ketujuh setelah bayi lahir bersamaan dengan upacara cukur rambut,
pemberian nama, dan akikah. =ain halnya pada masyarakat Aneuk +amee,turun
tanah bayi disebut dengan turun ka aie yang dilakukan pada hari keempat
puluhempat bersamaan dengan cukur rambut, pemberian nama, dan kadangkadang puladisertai dengan acara hadiah. #ahulu turun tanah bayi dilakukan
setelah bayi berumur satu sampai dua tahun. erlebih bila anak itu anak pertama
karena upacarauntuk anak pertama pasti lebih besar. ada hari upacara ini bayi
digendong oleh seorang yang terpandang, baik perangai dan budi pekerti. >rang
yang menggendong memakai pakaian yang bagus- bagus. Bayi beserta orang yang
menggendong ditudungi dengan sehelai kain yangdipegang oleh empat orang pada

tiap seginya. =alu di atas kain tersebut dibelahkelapa agar bayi tidak takut
terhadap suara petir. Salah seorang keluarga dengan bergegas menyapu tanah dan
yang lain menampi beras bila anak itu perempuansebagai simbolik agar anak
perempuan tersebut kelak menjadi orang yang rajin. +ikaanak itu laki-laki maka
salah seorang keluarga akan bergegas mencangkul tanah,mencencang batang
pisang atau batang tebu sebagai simbolik kesatriaan. emudiansi anak ditegakkan
di atas tanah, eungku Sagoe menyebut sa, dua, lhee, peut,limong, nam, tuuuujoh.
#isambung dengan ucapan ;lagee bumoe nyoe teutap,meunan beuteutap pendirian
gata? (seperti kukuhnya bumi ini, maka demikianlah pendirianmu harus tetap).
Setelah itu, anak tersebut dibawa berkeliling rumah atau
mesjid sampai bayi itu dibawa pulang kembali dengan mengucapkan salam
setibanyadi rumah.ada masyarakat <ayo sebelum bayi diturunkan melalui
tangga, terlebih dulu!mam beserta peserta upacara membaca doa untuk
keselamatan agar bayi panjangumur, mudah re eki, beriman, dan beragama.
emudian bayi dipangku oleh seorangralik (kerabat perempuan dari pihak ibu bayi)
sambil melekatkan pulut kuning ditelinga bayi, mengoles manisan lebah di bibir
bayi dengan mengucapkan mudahlahre ekimu, taat dan beriman serta berguna
bagi agama. Setelah itu, bayi dipangku olehsemua peserta upacara secara
bergantian dengan mengucapkan ucapan yang samahingga selesai. =alu barulah
bayi dibawa turun tanah ke tempat pemandian atausungai untuk dimandikan
dengan upacara tertentu.ada masyarakat amiang, turun tanah bayi disebut
dengan menyangkerambut budak disertai dengan acara cukur rambut, pemberian
nama, kenduri, danmarhaban. Bayi diayun dalam ayunan seirama dengan irama
marhaban. emudiananggota marhaban berdiri, bayi diangkat dari ayunan oleh
seorang anggota keluargauntuk dibawa keliling anggota marhaban tadi. @ambut
digunting kemudiandimasukkan ke dalam kelapa muda terukir yang telah
disediakan dalam talam.engguntingan rambut dilakukan oleh anggota marhaban
secara bergiliran.engguntingan rambut diselesaikan oleh bidan dan dilanjutkan
dengan acara jejak tanah bayi
2. Peutrn Da!u
Upacara eutr2n #apu (turun dapur) dilakukan pada hari ke empat puluhempat
setelah melahirkan. 3ara-caranya sesuai dengan ajaran agama !slam. ada
haritersebut, sanak keluarga dan tetangga berkumpul untuk turut
membantu penyelenggaraan kenduri.!bu mertua yang datang bersama-sama sanak
keluarganya untuk peusijuk menantunya yang telah mengeluarkan darah dari
tubuhnya membawa bahan-bahanseperti ketan kuning (bu leukat kun9ng), ayam
panggang (manok panggang), beras padi bercampur beras kunyit (breuh pad ,
breuh kun9ng), penganan (tumpoe), daunsidingin (2n sisijuek), segenggam rumput
padi (naleung sambo), sejenis dedaunan

(2n manek-manoe), dan tepung tawar (teupong tabeu). Secara adat resam yang
laimmenepung tawari (peusijuk) menantunya dengan bahan-bahan yang dibawa
sendirikemudian diikuti oleh hadirin. Setelah upacara mandi dan menepung tawari
selesai,ibu mertua mempersembahkan kepada menantunya satu setel pakaian dan

sesetel pula untuk besannya sebagai hibah atas segala jerih payah selama ia
merawatmenantu dan cucunya. Setelah melewati berbagai upacara di atas, ada
tradisi lain yang mungkin sudahmulai ditinggalkan oleh masyarakat Aceh yaitu
tradisi membuai anak dengan nina bobok berupa kisah-kisah perjuangan, syair-syair
agama, dan sajak-sajak yangmenggelorakan semangat. Sejak masih dalam buaian
anak sudah ditempa denganlagu-lagu perjuangan dan dipupuk dengan kisah-kisah
ajaran agama sehingga sudahselayaknya bila dewasa ia akan menjadi orang-orang
berani dan satria serta memilikirasa tanggung jawab terhadap agama.
BAB IIIPENUTUP3.1 &es%m!ulan
Masyarakat Aceh banyak mengenal berbagai macam upacara, setiap
upacaraidentik dengan acara makan-makan yang seringkali berlangsung setelah
acaraseremonialnya atau dinamakan dengan kanduri. Upacara yang tetap
berlangsunghingga saat ini masih dilakukan dalam masyarakat Aceh di antaranya
adalah: upacaraturun ke sawah, upacara tolak bala, upacara perkawinan, upacara
kehamilan anak pertama, upacara kematian, dan lain-lain.Salah satu upacara yang
masih dilakukan adalah upacara kelahiran bayi, yangmeliputi ba bu, pantangan,
meuramin, kelahiran bayi, koh pusat, aan atau 4amat,tanoem adoe, dan
madeueng. Ada pun upacara di masa bayi meliputi cuko ok, peucicap, akikah,
peutroen aneuk manyak, dan peutroen dapu.
3.2 aran
Sebagai orang Aceh dan penerus kebudayaan Aceh seharusnya kita banggadan
harus mampu melestarikan kebudayaan Aceh. Sehingga kebudayaan Aceh
masih bisa diingat dan masih bisa diturunkan kepada penerus

Praktik dukun beranak telah lama ada di Indonesia, dahulu saat tenaga medis belum ada
masyarakat sangat mengandalkan dukun beranak untuk merawat dan menolong persalinan.
Dukun beranak biasanya adalah orang yang dituakan dan dianggap memiliki pengetahuan lebih
tentang obat-obatan, pantangan serta teknik-teknik perawatan dan pertolongan dalam persalinan.
Tidak hanya itu, dukun beranak juga memiliki pengetahuan spriritual terkait masalah-masalah
persalinan. Biasanya mereka juga menempati posisi penting (informal) dalam masyarakat.
Pada masa sekarang ini, dukun beranak seperti Ma Blien di Aceh masih tetap hadir memberikan
bantuan persalinan walaupun tidak begitu giat seperti dulu. Masuknya bidan puskesmas di desa,
yang disertai dengan program-program pemerintah terkait masalah kesehatan ibu dan anak
tentunya berdampak terhadap eksistensi mereka. Namun sebagian masyarakat masih mempercayi
Ma Blien untuk merawat dan menolong persalinan mereka. Hal ini tidak lepas dari peran aktif
orang tua yang mengarahakan anak/menantunya untuk memilih dan menggunakan jasa Ma
Blien.
Namun keberadaan Ma Blien secara medis (formal) tidak diakui oleh pemerintah. Praktik
mereka selalu dilihat sebagai salah satu indikator penyebab tingginya angka kematian ibu dan
anak. Untuk mengurangi penggunaan praktik-praktik non-medis tersebut, hadirnya bidan
puskesmas dianggap menjadi salah satu solusi, selain menjadi tenaga penolong persalinan juga

menjadi penyebar informasi kesehatan untuk mendidik masyarakat terkait kesehatan ibu dan
anak. Salah satu strateginya, terkadang bidan puskesmas juga mengikutsertakan Ma Blien
sebagai mitra mereka dalam menangani persalinan, selain untuk memperkenalkan kepada Ma
blien tentang prosedur-prosedur persalinan dari sisi medis, cara ini juga bermanfaat bagi bidan
untuk bersosialisasi dengan masyarakat, Sciortino dalam penelitiannya menulis bahwa:
Tujuan pendidikan kesehatan adalah memperkenalkan konsep-konsep biomedis pada penduduk
desa agar mereka tidak lagi menginterpretasikan gejala-gejala dengan paradigma tradisional
dan sekaligus mengurangi penggunaan jamu-jamuan dan dukun. (Sciortino, Rosalia. 1999.
Menuju Kesehatan Madani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hlm. 93.)
Keberadaan Ma Blien tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan Indonesia khususnya dalam
kebudayaan Aceh. Dalam konteks kearifan lokal, Ma Blien mengambil peran penting dalam
berbagai tradisi seperti Jok Ma Blien, Manoe Peut Ploh Peut, Treun Mano juga pengobatan
tradisional seperti Madeung. Tradisi dan praktik yang dijalankan oleh Ma Blien selalu diwarnai
dengan nilai-nilai adat dan agama . Tentu diperlukan penelitian yang lebih mendalam tentang
eksistensi mereka dan nilai-nilai yang mereka bawa dalam ranah pengobatan tradisional,
khususnya perawatan persalinan di Aceh.

MA BLIEN: Dukun Beranak di Aceh


Praktik dukun beranak telah lama ada di Indonesia, dahulu saat tenaga medis belum ada
masyarakat sangat mengandalkan dukun beranak untuk merawat dan menolong persalinan.
Dukun beranak biasanya adalah orang yang dituakan dan dianggap memiliki pengetahuan lebih
tentang obat-obatan, pantangan serta teknik-teknik perawatan dan pertolongan dalam persalinan.
Tidak hanya itu, dukun beranak juga memiliki pengetahuan spriritual terkait masalah-masalah
persalinan. Biasanya mereka juga menempati posisi penting (informal) dalam masyarakat.
Pada masa sekarang ini, dukun beranak seperti Ma Blien di Aceh masih tetap hadir memberikan
bantuan persalinan walaupun tidak begitu giat seperti dulu. Masuknya bidan puskesmas di desa,
yang disertai dengan program-program pemerintah terkait masalah kesehatan ibu dan anak
tentunya berdampak terhadap eksistensi mereka. Namun sebagian masyarakat masih mempercayi
Ma Blien untuk merawat dan menolong persalinan mereka. Hal ini tidak lepas dari peran aktif
orang tua yang mengarahakan anak/menantunya untuk memilih dan menggunakan jasa Ma
Blien.
Namun keberadaan Ma Blien secara medis (formal) tidak diakui oleh pemerintah. Praktik
mereka selalu dilihat sebagai salah satu indikator penyebab tingginya angka kematian ibu dan
anak. Untuk mengurangi penggunaan praktik-praktik non-medis tersebut, hadirnya bidan
puskesmas dianggap menjadi salah satu solusi, selain menjadi tenaga penolong persalinan juga
menjadi penyebar informasi kesehatan untuk mendidik masyarakat terkait kesehatan ibu dan
anak. Salah satu strateginya, terkadang bidan puskesmas juga mengikutsertakan Ma Blien
sebagai mitra mereka dalam menangani persalinan, selain untuk memperkenalkan kepada Ma

blien tentang prosedur-prosedur persalinan dari sisi medis, cara ini juga bermanfaat bagi bidan
untuk bersosialisasi dengan masyarakat, Sciortino dalam penelitiannya menulis bahwa:
Tujuan pendidikan kesehatan adalah memperkenalkan konsep-konsep biomedis pada penduduk
desa agar mereka tidak lagi menginterpretasikan gejala-gejala dengan paradigma tradisional
dan sekaligus mengurangi penggunaan jamu-jamuan dan dukun. (Sciortino, Rosalia. 1999.
Menuju Kesehatan Madani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hlm. 93.)
Keberadaan Ma Blien tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan Indonesia khususnya dalam
kebudayaan Aceh. Dalam konteks kearifan lokal, Ma Blien mengambil peran penting dalam
berbagai tradisi seperti Jok Ma Blien, Manoe Peut Ploh Peut, Treun Mano juga pengobatan
tradisional seperti Madeung. Tradisi dan praktik yang dijalankan oleh Ma Blien selalu diwarnai
dengan nilai-nilai adat dan agama . Tentu diperlukan penelitian yang lebih mendalam tentang
eksistensi mereka dan nilai-nilai yang mereka bawa dalam ranah pengobatan tradisional,
khususnya perawatan persalinan di Aceh.

Anda mungkin juga menyukai