Anda di halaman 1dari 77

BABI

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immuno Deficiency
Syndrome (HIV/AIDS) sudah menjadi penyakit yang endemik menyerang
jutaan penduduk dunia. Hampir di setiap negara HIV/ AIDS menjadi
masalah nasional, yang perlu mendapatkan perhatian serius dari semua
pihak. Bukan saja pemerintah tetapi seluruh lapisan masyarakat termasuk
lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang memiliki perhatian terhadap
masalah ini (Burnet, 2014).
AIDS terjadi imunodefisiensi sekunder yang disebabkan oleh
infeksi HIV. Kekurangan imunitas tubuh dapat dilihat dari kadar CD4
(kurang dari 200) dalam tubuh. Pada dasarnya, HIV adalah jenis parasit
obligat yaitu virus yang hanya dapat hidup dalam sel atau media hidup.
Virus ini senang hidup dan berkembang biak pada sel darah putih
manusia. HIV akan ada pada cairan tubuh yang mengandung sel darah
putih, seperti darah, cairan plasenta, air mani atau cairan sperma, cairan
sumsum tulang, cairan vagina, air susu ibu dan cairan otak. (KPAI, 2015)
Data WHO (2015), pada akhir tahun 2013 ditemukan hampir 78
juta orang telah terinfeksi virus HIV dan sekitar 39 juta orang
1

telah

meninggal karena HIV. Secara global , 35 juta orang hidup dengan HIV
pada akhir 2013. Diperkirakan 0,8 % dari orang dewasa berusia 15-49 tahun
di seluruh dunia hidup dengan HIV. Penyakit HIV AIDS merupakan
golongan penyakit yang mematikan di dunia termasuk di Indonesia. Kasus
HIV AIDS di Indonesia yang dilaporkan oleh Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia tahun 2014 sebanyak 32.711 kasus untuk HIV dan
AIDS 5.494 kasus (Ditjen PP & PL Kemenkes RI, 2014). Jumlah kumulatif
kasus HIV di Propinsi Jawa Tengah yang dilaporkan sampai dengan tahun
2014 sebanyak 2.867 kasus, sedangkan kasus AIDS sebanyak 740 kasus.
Kabupaten Wonogiri merupakan salah satu kabupaten di Provinsi
Jawa Tengah yang mengalami peningkatan kejadian kasus HIV/AIDS. Data
kasus AIDS pada tahun 2010 tercatat sebanyak 13 kasus, tahun 2011 naik
19 kasus dan tahun 2012 kembali naik menjadi 29 kasus. Dalam kurun
waktu 5 tahun terakhir jumlah kasus AIDS sebanyak 83 kasus dengan 54
kematian. Dari penularan HIV/AIDS tersebut, sebanyak 13% karena jarum
suntik narkoba, 9% penularan lewat ibu hamil, dan 71% lewat pekerja seks
komersial atau berganti-ganti pasangan (Dinkes Kab. Wonogiri, 2014).
Tahun 2014, terdapat 42 kasus HIV/AIDS di Klinik VCT
(Voluntary Counselling Test) RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso
Wonogiri. Berdasarkan data yang diperoleh di Klinik VCT RSUD dr.
Soediran Mangun Sumarso Wonogiri, sampai bulan Mei tahun 2015
terdapat 5 kasus positif HIV dari 17 pasien yang dilakukan test HIV/AIDS.

Sedangkan sampai saat ini pasien yang masih melakukan program


pengobatan sebanyak 31 pasien.
Pada individu dengan HIV positif sistem imunitasnya akan
mengalami penurunan dan membutuhkan waktu beberapa tahun hingga
ditemukannya gejala tahap lanjut dan dinyatakan sebagai penderita AIDS.
Hal ini tergantung pada kondisi fisik dan psikologisnya. Ketika individu
dinyatakan terinfeksi HIV, sebagian besar menunjukkan perubahan karakter
psikososial yaitu : hidup dalam stres, depresi, merasa kurangnya dukungan
sosial, dan perubahan perilaku. Penderita HIV-AIDS menghadapi sendiri
kondisinya tanpa dukungan dari teman dan keluarga yang memberi dampak
kecemasan, depresi, rasa bersalah dan pemikiran atau perilaku bunuh diri
(Nasruddin, 2014).
Fungsi keluarga menurut Friedman (2010), yaitu: 1) fungsi afektif
(fungsi pemeliharaan kepribadian); 2) sosialisasi dan fungsi penempatan
sosial; 3) fungsi reproduksi; 4) fungsi ekonomis; 5) fungsi perawat
kesehatan. Sedangkan peranan keluarga menggambarkan seperangkat
perilaku antar pribadi, sifat, kegiatan yang berhubungan dengan pribadi
dalam posisi dan situasi tertentu. Peranan pribadi dalam keluarga didasari
oleh harapan dan pola perilaku dari keluarga, kelompok dan masyarakat.
Beberapa kasus butuh waktu bagi keluarga untuk memproses
informasi tentang status HIV anggota keluarga dan menyesuaikan diri
dengan perubahan, tetapi pada akhirnya mereka selalu mendukung. Hal ini

berlaku di seluruh peserta rute infeksi yang berbeda, jenis kelamin, dan usia.
Banyak keluarga yang menyediakan berbagai dukungan moral dan spiritual
untuk anggota keluarga mereka yang terinfeksi HIV-positif. Pada individu
yang mengalami HIV/AIDS positif, salah satu cara untuk meningkatkan
system imunitas atau untuk menghambat perkembangan virus HIV adalah
dengan program pengobatan (Burgoyne, 2005)
Program pengobatan yang dirasakan oleh pasien HIV AIDS dari
dukungan keluarga yang berupa informasi tentang penyakit HIV AIDS
menjelaskan tentang program pengobatan yang akan dijalani, begitu juga
dalam memenuhi kebutuhan pasien baik dari dalam rumah sakit maupun
dari luar yaitu berupa makanan dan istirahat yang cukup karena dapat
membantu dalam program tersebut (Burnet, 2014).
Masalah kepatuhan terhadap obat-obatan ternyata bukan hanyalah
masalah pasien HIV/AIDS. Angka yang mengejutkan adalah bahwa tingkat
kepatuhan pasien di negara maju terhadap pengobatan yang dianjurkan oleh
dokter adalah hanya sebesar 50% (Haynes, McDonald, Garg, & Montague,
2002). Sangat menarik untuk dicatat bahwa hasil ini konsisten dengan
kepatuhan pada penyakit kronis lainnya dan mendukung pandangan bahwa
ketidakpatuhan adalah perilaku umum, bahkan dengan penyakit serius
seperti infeksi HIV (Chesney, 2000). Angka yang lebih rendah lagi
diasumsikan terjadi di negara berkembang seperti Indonesia dengan
keterbatasan sistem pelayanan kesehatan yang ada.

Ketidakpatuhan adalah masalah yang diteliti dan telah dilaporkan


di banyak negara (Eldred, Wu, Chaisson, & Moore, dalam Githa, 2013).
Akan tetapi, laporan penelitian yang diterbitkan di Indonesia mengenai
kepatuhan meminum ARV sangat terbatas (Widjaja et al., 2011; Hasan,
2012; Fithria, Purnomo, & Ikawati, 2011). Penelitian-penelitian tersebut
memiliki keterbatasan jumlah partisipan dan berasal dari lingkup tertentu,
sehingga tidak dapat mewakili populasi Indonesia.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan pasien
meliputi usia, pendidikan, masalah ekonomi, takut akan efek samping,
kurangnya pengetahuan tentang penyakit, kemudahan akses pelayanan,
dukungan keluarga dan dari tenaga medis. Faktor tersebut akibat dari
kurangnya informasi dan komunikasi. Biasanya karena kurangnya
informasi, pasien melakukan self - regulation terhadap terapi obat yang
diterimanya (Muliawan, 2008).
Hasil penelitian yang dilakukan Evarina, dkk (2011) di Posyansus
(Pos Pelayanan Khusus) Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik
Medan menunjukkan bahwa adanya pengaruh dukungan keluarga terhadap
program pengobatan pasien HIV/AIDS di Posyansus RSUP Haji Adam
Malik Medan. Penelitian lain yang dilakukan Ika Silvitasari, dkk (2013)
dengan hasil bahwa terdapat hubungan efektivitas dukungan keluarga
dengan kepatuhan pengobatan ARV pada penderita HIV-AIDS Komunitas
Sebaya Kartasura.

Hasil studi pendahuluan yang dilakukan peneliti terhadap pasien


penderita HIV/AIDS yang ada di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso
Wonogiri, peneliti melakukan wawancara pasien HIV/AIDS yang datang ke
rumah sakit untuk mendapatkan program pengobatan. Dari hasil wawancara
terhadap 10 penderita HIV/AIDS, 8 di antaranya mengatakan bahwa
dukungan keluarganya belum dapat dirasakan oleh pasien selama menderita
HIV/AIDS.
Bentuk dukungan kurang yang pasien rasakan saat melakukan
pengobatan antara lain: 1) dukungan informasional contohnya keluarga
tidak menjelaskan tentang saran-saran dan program pengobatan penyakit
HIV/AIDS yang harus dilakukan, 2) perhatian keluarga terhadap pasien
kurang, 3) dorongan dalam melakukan aktifitas maupun memenuhi
kebutuhan pasien sehari-hari selama menjalani program pengobatan belum
ada dari keluarga, baik makan, minum dan pola istirahat, 4) dukungan
keluarga dalam hal ekonomi termasuk pembiayaan pengobatan.
Kurangnya dukungan keluarga tersebut, akan mempengaruhi
kepatuhan program pengobatan yang sedang dijalani pasien. Hasil
wawancara mengenai kepatuhan program pengobatan didapatkan hasil, 7
pasien menyatakan patuh dan taat mengikuti program pengobatan.
Sedangkan 3 sisanya mengatakan kurang patuh dalam pengobatan, pasien
sering terlambat mengambil obat, sehingga pola minum obat terganggu.
Alasan yang disampaikan pasien diantaranya adalah bahwa jarak dari rumah

ke rumah sakit jauh, keluarga kurang mendukung dengan tidak


mengantarkannya ke rumah sakit, faktor ekonomi yang kurang, bosan
minum obat dan faktor dari rumah sakit ketersediaan obat kadang terlambat.
Maka berdasarkan data tersebut, penulis tertarik melakukan penelitian
tentang hubungan
pengobatan

dukungan keluarga

pasien

HIV/AIDS

dengan

kepatuhan

program

di Wilayah Kerja UPT Puskesmas

Sumberjambe.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan hal tersebut maka dirumuskan permasalahan Adakah
hubungan dukungan keluarga dengan kepatuhan program pengobatan pasien
HIV/AIDS di Wilayah Kerja UPT Puskesmas Sumberjambe ?

1.3. Tujuan Penelitian


1.3.1. Tujuan Umum
Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan
dukungan keluarga dengan kepatuhan program pengobatan pasien
HIV/AIDS di Wilayah Kerja UPT Puskesmas Sumberjambe.

1.3.2. Tujuan Khusus


Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.3.2.1. Mendeskripsikan karakteristik pasien HIV/AIDS di wilayah kerja upt
Puskesmas Sumberjambe
1.3.2.2. Mendeskripsikan dukungan keluarga di wilayah kerja upt Puskesmas
Sumberjambe
1.3.2.3. Mendeskripsikan kepatuhan program pengobatan pasien HIV/AIDS di
wilayah kerja upt Puskesmas Sumberjambe
1.3.2.4. Menganalisis hubungan dukungan keluarga dengan kepatuhan program
pengobatan pasien HIV/AIDS di wilayah kerja upt Puskesmas
Sumberjambe

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat bagi Dinas Kabupaten Jember


Dapat dijadikan bahan informasi dan perencanaan progam
pencegahan HIV/AIDS khususnya mengenai pengaruh dukungan keluarga
terhadap pengobatannya.
1.4.2. Manfaat bagi Puskesmas Sumberjambe
Bahan masukan yang dapat disampaikan untuk Puskesmas
Sumberjambe adalah informasi untuk merancang suatu kebijakan yang
berhubungan dengan penanggulangan HIV/AIDS, serta kajian media
promosi kesehatan untuk dalam upaya pencegahan HIV/AIDS

1.4.3. Manfaat bagi Peneliti


Menambah proses belajar mengajar khususnya di bidang mata kuliah
metodologi penelitian dan untuk menambah wawasan dan pengetahuan
tentang pengaruh dukungan keluarga dalam upaya pasien HIV/AIDS untuk
melaksanakan program pengobatannya.

10

BABII
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Teori


2.1.1. Dukungan Keluarga
2.1.1.1. Definisi dukungan keluarga
Dukungan keluarga adalah sebuah proses yang terjadi sepanjang
masa kehidupan, sifat dan jenis dukungan berbeda dalam berbagai tahaptahap siklus kehidupan. Dukungan keluarga dapat berupa dukungan
sosial internal, seperti dukungan dari suami, istri atau dukungan dari
saudara kandung dan dapat juga berupa dukungan keluarga eksternal bagi
keluarga inti. Dukungan keluarga membuat keluarga mampu berfungsi
dengan berbagai kepandaian dan akal. Sebagai akibatnya, hal ini
meningkatkan kesehatan dan adaptasi keluarga (Friedman, 2010).
Dukungan keluarga didefinisikan oleh Gottlieb (dalam Ika
Silviasari, 2014) yaitu informasi verbal, sasaran, bantuan yang nyata atau
tingkah laku yang diberikan oleh orang-orang yang akrab dengan subjek
didalam lingkungan sosialnya atau yang berupa kehadiran dan hal yang
dapat memberikan keuntungan emosional atau pengaruh pada tingkah
laku penerimaannya. Dalam hal ini orang yang merasa memperoleh
dukungan sosial, secara emosional merasa lega diperhatikan, mendapat
saran atau kesan yang menyenangkan pada dirinya.

11

Menurut Sarason (dalam Ika Silviasari, 2014), dukungan


keluarga adalah keberatan, kesedihan, kepedulian dari orang-orang yang
dapat diandalkan, menghargai dan menyayangi kita..
Dukungan keluarga adalah sikap, tindakan dan penerimaan
keluarga terhadap anggotanya. Anggota keluarga dipandang sebagai
bagian yang tidak terpusahkan dalam lingkungan keluarga. Anggota
keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap
memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan (Friedman, 2010).
2.1.1.2. Bentuk dukungan keluarga
Bentuk dukungan keluarga menurut Friedman (2010) antara lain:
1. Dukungan emosional (Emosional Support)
Keluarga sebagai sebuah tempat yang aman dan damai untuk istirahat
dan pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi. Meliputi
ungkapan empati, kepedulian dan perhatian terhadap anggota
keluarga yang menderita HIV (misalnya: umpan balik, penegasan).
2. Dukungan Penghargaan (Apprasial Assistance)
Keluarga bertindak sebagai sebuah bimbingan umpan balik,
membimbing dan menengahi pemecahan masalah dan

sebagai

sumber dan validator identitas anggota. Terjadi lewat ungkapan


hormat (penghargan) positif untuk penderita kusta, persetujuan
dengan gagasan atau perasaan individu dan perbandingan positif
penderita kusta dengan penderita lainnya seperti orang-orang yang
kurang mampu atau lebih buruk keadaannya (menambah harga diri).

3. Dukungan Materi (Tangibile Assistance)


Keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan praktis dan
konkrit, mencakup bantuan langsung seperti dalam bentuk uang,
peralatan, waktu, modifikasi lingkungan maupun menolong dengan
pekerjaan waktu mengalami stress.
4. Dukungan Informasi (informasi support)
Keluarga berfungsi sebagai sebuah koletor dan disse minator
(penyebar) informasi tentang dunia, mencakup memberri nasehat,
petunjuk-petunjuk, saran atau umpan balik. Bentuk dukungan
keluarga yang diberikan oleh keluarga adalah dorongan semangat,
pemberian nasehat atau mengawasi tentang pola makan sehari-hari
dan pengobatan. Dukungan keluarga juga merupakan perasaan
individu yang mendapat perhatian, disenangi, dihargai dan termasuk
bagian dari masyarakat.
2.1.1.3. Fungsi dan tugas keluarga
1. Fungsi pokok keluaraga
Fungsi keluarga biasanya didefinisikan sebagai hasil atau
konsekuensi dari struktur keluarga. Adapun fungsi keluarga tersebut
adalah (Friedman,2010) :
a. Fungsi afektif (fungsi pemeliharaan kepribadian) : untuk
pemenuhan

kebutuhan

psikososial,

saling

mengasuh

dan

memberikan cinta kasih, serta saling menerima dan mendukung.

b. Fungsi sosialisasi dan fungsi penempatan sosial : proses


perkembangan dan perubahan individu keluarga, tempat anggota
keluarga berinteraksi sosial dan belajar berperan di lingkungan.
c. Fungsi reproduktif : untuk meneruskan kelangsungan keturunan
dan menambah sumber daya manusia.
d. Fungsi ekonomis : untuk memenuhi kebutuhan keluarga,seperti
sandang, pangan, dan papan.
e. Fungsi perawatan kesehatan : untuk merawat anggota keluarga
yang mengalami masalah kesehatan
2. Tugas keluarga dalam bidang kesehatan
Sesuai dengan fungsi pemeliharaan kesehatan, keluarga
mempunyai tugas dibidang kesehatan yang perlu dipahami dan
dilakukan. Friedman (2010) membagi 5 tugas keluarga dalam bidang
kesehatan yang harus dilakukan, yaitu:
a. Mengenal masalah kesehatan setiap anggotanya
Perubahan sekecil apapun yang dialami anggota keluarga secara
tidak langsung menjadi perhatian dan tanggung jawab keluarga,
maka apabila menyadari adanya perubahan perlu segera dicatat
kapan terjadinya, perubahan apa yang terjadi dan seberapa besar
perubahannya.
b. Mengambil keputusan untuk melakukan tindakan yang tepat bagi
keluarga

Tugas ini merupakan upaya keluarga yang utama untuk mencari


pertolongan yang tepat sesuai dengan keadaan keluarga, dengan
pertimbangan

siapa

diantara

keluarga

yang

mempunyai

kemampuan memutuskan untuk menentukan tindakan keluarga


maka segera melakukan tindakan yang tepat agar masalah
kesehatan dapat dikurangi atau bahkan teratasi. Jika keluarga
mempunyai keterbatasan seyoganya meminta bantuan orang lain
dilingkungan sekitar keluarga.
c. Memberikan keperawatan anggotanya yang sakit atau yang tidak
dapat membantu dirinya sendiri karena cacat atau usianya terlalu
muda. Perawatan ini dapat dilakukan dirumah apabila keluarga
memiliki kemampuan melakukan tindakan untuk pertolongan
pertama atau kepelayanan kesehatan untuk memperoleh tindakan
lanjutan agar masalah yang lebih parah tidak terjadi.
d. Mempertahankan

suasana

dirumah

yang

menguntungkan

kesehatan dan perkembangan kepribadian anggota keluarga.


e. Mempertahankan hubungan timbal balik antara keluarga dan
lembaga kesehatan (pemanfaatan fasilitas kesehatan yang ada).
2.1.2. Kepatuhan
2.1.2.1. Pengertian Kepatuhan
Smet B. mendefinisikan kepatuhan (ketaatan) sebagai tingkat
penderita melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan
oleh dokternya atau yang lain. Kepatuhan berasal dari kata

patuh

(Suparyanto, 2014). Kepatuhan (adherence) adalah suatu bentuk perilaku


yang timbul akibat adanya interaksi antara petugas kesehatan dan pasien
sehingga pasien mengerti rencana dengan segala konsekwensinya dan
menyetujui

rencana

tersebut

serta

melaksanakannya

(Kemenkes

R.I.,2011).
Seseorang dikatakan patuh berobat bila mau datang ke petugas
kesehatan yang telah ditentukan sesuai dengan jadwal yang telah
ditetapkan serta mau melaksanakan apa yang dianjurkan oleh petugas
(Lukman Ali et al, 1999 dalam Silvitasari, 2014)). Kepatuhan
(adherence) secara umum didefinisikan sebagai tingkatan perilaku
seseorang yang mendapatkan pengobatan, mengikuti diet, dan atau
melaksanakan gaya hidup sesuai dengan rekomendasi pemberi pelayanan
kesehatan (WHO, 2003 dalam Evarina, dkk, 2011)
Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), patuh berarti
suka menurut perintah, taat kepada perintah atau aturan dan berdisiplin.
Kepatuhan berarti bersifat patuh, ketaatan, tunduk, patuh pada ajaran dan
aturan.
2.1.2.2. Variabel yang mempengaruhi tingkat kepatuhan
Beberapa variabel yang mempengaruhi tingkat kepatuhan
menurut Muliawan (2008) adalah :
1. Variabel demografi seperti usia, jenis kelamin, suku bangsa, status
sosio ekonomi dan pendidikan.

2. Variabel penyakit seperti keparahan penyakit dan hilangnya gejala


akibat terapi.
3. Variabel program terapeutik seperti kompleksitas program dan efek
samping yang tidak menyenangkan.
4. Varibel psikososial seperti intelegensia, sikap terhadap tenaga
kesehatan, penerimaan, atau penyangkalan terhadap penyakit,
keyakinan agama atau budaya dan biaya finansial.
2.1.2.3. Jenis ketidakpatuhan (Non Compliance)
1. Ketidakpatuhan yang disengaja (Intentional non Compliance).
Kepatuhan yang disengaja dapat disebabkan oleh :
a. Keterbatasan biaya pengobatan.
b. Sikap apatis pasien
c. Ketidakpercayaan pasien akan efektifitas obat

2. Ketidakpatuhan yang tidak disengaja (Unitional non Compliance)


Ketidakpatuhan yang tidak disengaja dapat disebabkan karena :
a. Pasien lupa minum obat
b. Ketidaktahuan akan petunjuk pengobatan
c. Kesalahan dalam hal pembacaan etiket
2.1.2.4. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan (Non Compliance)
Faktor-faktor

yang

mempengaruhi

ketidakpatuhan

dapat

digolongkan menjadi empat bagian menurut Niven (2002) (dalam


Evarina,dkk, 2011) antara lain :

1. Pemahaman tentang intruksi


Tak seorang pun dapat mematuhi intruksi jika ia salah paham tentang
intruksi yang diberikan kepadanya.
2. Kualitas Interaksi
Kualitas interaksi antara professional kesehatan dan pasien merupakan
bagian yang penting dalam menentukan derajat kepatuhan.
3. Isolasi sosial dan dukungan keluarga
Keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam
menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu serta juga dapat
menentukan tentang program pengobatan yang dapat mereka terima.
4. Keyakinan, sikap dan kepribadian
Pendapat Becker, et al (1979) yang dikutip Dinna (2009) telah
membuat suatu usulan bahwa model keyakinan kesehatan berguna
untuk memperkirakan adanya ketidakpatuhan.
Lima

faktor

yang

perlu

diperhatikan

ketidakpatuhan pasien adalah (Spiritia, 2012):


1. Penyakit pasien
2. Individu pasien
3. Sikap dokter
4. Obat yang diberikan
5. Lingkungan pengobatan

untuk

menghindari

2.1.2.5. Akibat ketidakpatuhan


Menurut Spiritia (2012), Ketidakpatuhan dapat memberikan akibat pada
program terapi yang sedang dijalankan, diantaranya :
1. Bertambah parahnya penyakit atau penyakit cepat kambuh lagi
2. Terjadinya resistensi
3. Keracunan
2.1.2.6. Cara untuk mengetahui ketidakpatuhan
Terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengetahui
ketidakpatuhan, yaitu (Dinna, 2009):
1. Melihat hasil terapi secara berkala.
2. Memonitor pasien kembali datang untuk membeli obat pada periode
selanjutnya setelah obat itu habis.
3. Melihat jumlah sisa obat.
4. Langsung bertanya kepada pasien mengenai kepatuhannya terhadap
pengobatan.
2.1.2.7. Mengukur tingkat kepatuhan
Tingkat ketidakpatuhan seseorang dalam menjalankan terapi dapat diukur
dengan beberapa metode (Dinna, 2009) :
1. Metoda pengukuran langsung (pengukuran konsentrasi obat atau
metabolitnya dalam darah atau urin).
2. Metoda pengukuran tidak langsung meliputi wawancara dengan
pasien, penilaian hasil pemeriksaan klinis.

2.1.2.8. Strategi untuk meningkatkan kepatuhan


Pendapat Smet (1994) yang dikutip Ika Silvitasari

(2014)

berbagai strategi telah dicoba untuk meningkatkan kepatuhan adalah :


1. Dukungan profesional kesehatan
Dukungan

profesional

kesehatan

sangat

diperlukan

untuk

meningkatkan kepatuhan, contoh yang paling sederhana dalam hal


dukungan tersebut adalah dengan adanya teknik komunikasi.
Komunikasi memegang peranan penting karena komunikasi yang baik
diberikan oleh professional kesehatan baik dokter/perawat dapat
menanamkan ketaatan bagi pasien.
2. Dukungan sosial
Dukungan social yang dimaksud adalah keluarga. Para profesional
kesehatan yang dapat meyakinkan keluarga pasien untuk menunjang
peningkatan kesehatan pasien maka ketidakpatuhan dapat dikurangi.
3. Perilaku sehat
Modifikasi perilaku sehat sangat diperlukan. Untuk pasien dengan
hipertensi

diantaranya

adalah

tentang

bagaimana

cara

untuk

menghindari dari komplikasi lebih lanjut apabila sudah menderita


hipertensi. Modifikasi gaya hidup dan control secara teratur atau
minum obat anti hipertensi sangat perlu bagi pasien hipertensi.
4. Pemberian informasi
Pemberian informasi yang jelas pada pasien dan keluarga mengenai
penyakit yang dideritanya serta cara pengobatannya.

2.1.3. HIV/AID 2.1.3.1.Definisi


AIDS/HIV
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah satu jenis virus yang
menyerang sel darah putih/ kekebalan (Sudoyo, Aru.W., dkk. 2009). HIV
(Human Immunodeficiency Virus) adalah virus penyebab

AIDS

(Kemenkes RI, 2011).


AIDS adalah kependekan dari Acquired Immune Deficiency
Syndrome. Acquired berarti didapat, bukan keturunan. Immune terkait
dengan sistem kekebalan tubuh kita. Deficiency berarti kekurangan.
Syndrome atau sindrom berarti penyakit dengan kumpulan gejala, bukan
gejala tertentu. Jadi AIDS berarti kumpulan gejala akibat kekurangan atau
kelemahan sistem kekebalan tubuh yang dibentuk setelah kita lahir.
(Spiritia, 2014)
2.1.3.2. Penyebab AIDS
AIDS disebabkan oleh virus yang disebut HIV masuk dalam
golongan virus retro yang disebut human immunodeficiency virus. Virus
ini diketemukan oleh Montagner, seorang ilmuwan dari perancis (Institute
Pasteur Paris, 1983), yang mengisolasi virus dari seorang penderita
dengan gejala limfadenopati, sehingga saat itu dinamakan (LAV) atau
Lymphadenophathy Associated Virus (Sudoyo, Aru.W., dkk. 2009).
Penularan

HIV/AIDS

terjadi

melalui

cairan

tubuh

yang

mengandung HIV yaitu melalui hubungan seksual, baik homoseksual


maupun heteroseksual, jarum suntik pada pengguna narkoba, transfusi

komponen darah dan dari ibu yang terinfeksi HIV kepada bayi yang
dilahirkannya. Oleh karena itu kelompok paling tinggi terhadap
HIV/AIDS misalnya pengguna narkoba, pekerja seks komersil dan
pelanggannya, serta narapidana. (Zubari Djoerban, 2006)
2.1.3.3. Epidemiologi HIV/AIDS
Perkembangan epidemi yang meningkat di awal tahun 2000-an
telah ditanggapi dengan keluarnya Peraturan Presiden nomer 75 tahun
2006 yang mengamanatkan perlunya intensifikasi penanggulangan AIDS
di Indonesia.
Indonesia adalah salah satu negara di Asia dengan epidemi yang
berkembang paling cepat (UNAIDS, 2008). Kementerian Kesehatan
memperkirakan, Indonesia pada tahun 2014 akan mempunyai hampir tiga
kali jumlah orang yang hidup dengan HIV dan AIDS dibandingkan pada
tahun 2008 (dari 277.700 orang menjadi 813.720 orang). Ini dapat terjadi
bila tidak ada upaya penanggulangan HIV dan AIDS yang bermakna
dalam kurun waktu tersebut.
Peningkatan penanggulangan HIV dan AIDS yang efektif dan
komprehensif di Indonesia memerlukan pendekatan yang strategik, yang
menangani faktor-faktor struktural melibatkan peran aktif semua sektor.
Tantangan yang dihadapi sungguh besar dilihat secara geografik dan sosial
ekonomi, Indonesia berpenduduk terbesar ke empat di dunia dan terdiri
lebih dari 17.000 pulau, dengan sistem pemerintahan terdesentralisasi
mencakup lebih dari 400 kabupaten dan kota dan 33 provinsi. Kasus HIV

telah dilaporkan oleh lebih dari 200 kabupaten dan kota di seluruh 33
provinsi. Mengingat epidemi HIV merupakan suatu tantangan global dan
salah satu masalah yang paling rumit dewasa ini maka keberhasilan
penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia, tidak saja memberikan
manfaat bagi Indonesia tetapi juga penanggulangan AIDS secara global
(KPAN, 2010).
2.1.3.4. Patofisiologi HIV/AIDS
Masuknya HIV ke dalam tubuh manusia menurut (Nasronudin dan
Maramis, 2007) melalui 3 cara yaitu :
1. Secara vertikal dari ibu ke anak
2. Secara transeksual (homoseksual maupun heteroseksual)
3. Secara horizontal yaitu kontak antardarah (pemakaian jarum suntik
bersama-sama

secara

bergantian,tato,

tindik,

transfusi

darah,

transplantasi organ, tindakan hemodialisa, perawatan gigi, khitanan


masal, dan lain-lain yang kurang memperhatikan asas sterilitas).
Partikel virus yang ada dalam tubuh ODHA, akan bergabung
dengan DNA sel pasien, sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV,
seumur hidup akan tetap terinfeksi. Dari semua orang yang terinveksi
HIV, sebagian berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50%
berkembang menjadi pasien AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun
hampir semua orang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan
kemudian

meninggal.

Perjalanan

penyakit

tersebut

menunjukkan

gambaran penyakit kronis, sesuai dengan perusakan sistem tubuh yang


juga bertahap. (Zubari Djoerban, 2006)
2.1.3.5. Manifestasi klinis HIV/AIDS
Menurut Kemenkes RI (2009), manifestasi klinis penderita HIV
dan AIDS dewasa dapat dibagi menjadi empat stadium :
1. Stadium I

a. Asimtomatis
b. Limfadenopati generalisata persisten
c. Dengan penampilan klinis derajad I : asimtomatis dan aktivitas
normal
2. Stadium II

a. Penurunan berat badan <10%


b. Manifestasi mukokutaneus MINOR (dermatitis seborreic, prurigo,
infeksi jamur pada kuku, ulserasi pada mulut berulang, cheilitis
angularis)
c. Herpes Zoster, dalam 5 tahun terakhir
d. Infeksi saluran nafas atas berulang (sinusitis bakterial)
e. Dengan atau penampilan klinis derajat 2 : simtomatis, aktivitas
normal
3. Stadium III
a. Penurunan berat badan > 10%
b. Diare kronis dengan penyebab yang tidak jelas > 1 bulan

c. Demam tanpa penyebab yang jelas (intermittent atau menetap) > 1

bulan
d. Kandidiasis oral
e. Tuberkulosis paru dalam 1 tahun terakhir
f.

Terinfeksi bakteri berat (pneumonia, piomiositis)

g. Dengan atau penampilan klinis derajad 3 : berbaring ditempat

tidur, <50% sehari dalam 1 bulan terakhir.


4. Stadium IV
a. HIV wasting sindrome
b. Pneumonia pneumokistik karinii
c. Infeksi toksoplasmosis di otak
d. Diare karena cryptosporidiosis > 1 bulan
e. Mengalami infeksi citomegalovirus
f.

Infeksi herpes simpleks, maupun mukokutaneus > 1bulan\

g. Infeksi mikosis (histoplasmosis, coccidioidomycosis)


h. Kandidiasis esofagus, trakhea, bronkus, maupun paru
i.

Infeksi mikobakteriosis athypical

j.

Sepsis

k. Tuberkulosis ektrapulmoner
l.

Limfoma maligna

m. Sarkoma kaposi
n. Enselopati HIV

Dengan penampilan klinis derajad 4 : berada ditempat tidur, > 50%


setiap hari dalam bulan-bulan terakhir.
2.1.3.6. Pemeriksaan HIV/AIDS (Kemenkes RI, 2011)
1. Anamnesa
Riwayat medis yang perlu ditanyakan :
a. Kapan dan dimana diagnosis terinfeksi HIV ditegakkan
b. Siapa yang diperkirakan sebagai sumber penularan
c. Keluhan dan gejala yang dialami akhir-akhir ini
d. Riwayat medis di masa lalu, keluhan, diagnosis dan terapi yang
telah diberikan
e. Keluhan maupun terapi TB sebelumnya
f. Riwayat kemungkinan penyakit menular seksual
g. Riwayat kehamilan
h. Riwayat terapi ARV sebelumnya
i. Riwayat kontak seksual dan kebiasaan sosial
2. Pemeriksaan fisik
a. Pengkukuran berat badan
b. Pemeriksaan kulit : herpes zoster, sarkoma kaposis, dermatitis
HIV
c. Mukosa Orofaring : kandidiasis, sarkoma kaposiss
d. Pemeriksaan jantung dan paru
e. Pemeriksaan abdomen, terutama kemungkinan adanya perbesaran
hati dan limpa

f. Pemeriksaan neurologis, psikiatrik dan muskuloskeletal : status


mental, defist motorik dan sensorik
g. Pemeriksaan fundus optik : retinitis, papil edem
h. Pemeriksaan genitourinarius
3. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan esensial
b. Serologi HIV
c. Hitung limfosit CD4+, atau hitung limfosit total
d. Pemeriksaan darah lengkap dan profil kimia klinis
e. Tes kehamilan atas dugaan
f. HIV-RNA viral load
4. Pemeriksaan tambahan atas indikasi
a. Foto thoraks
b. Urin untuk pemeriksaan rutin dan mikroskopik
c. Pemriksaan serologi hepatitis virus B dan C
d. Toksoplasmosis, infeksi virus sitomegalo
e. Histoplasmosis, kandidiasis, kriptokokus
f. dan lain-lain yang diperlukan.

2.1.3.7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada penderita HIV-AIDS menurut Nasronudin
dan Maramis tahun 2007 adalah:
1. Penatalaksanaan Umum
Istirahat cukup guna meminimalkan kondisi hipermatabolik
dan hiperkatabolik. Dukungan nutrisi berbasis mikro dan mk
menghindari

makronutrien

harus

optimal

untuk

menghindari

munculnya sindrom wasting. Konseling yang memadai merupakan


formulasi dukungan psikobiologis dan psikososial terhadap penderita
HIV dan AIDS.
2. Penatalaksanaan Khusus
Karena

penyebabnya

adalah

virus,

maka

pemberian

antiretroviral therapy (ART) perlu diberikan secara kombinasi.


Terhadap infeksi oportunistik dan malignasi, terapi disesuaikan dengan
manifestasinya. Prinsip dasar penatalaksanaan penderita HIV dan
AIDS.
a. Menurunkan angka kesakitan akibat HIV, dan angka kematian
akibat AIDS
b. Meningkatkan kualitas hidup penderita
c. Mempertahankan serta memulihkan status imun penderita
d. Menekan serta menghambat replikasi HIV semaksimal mungkin
(<50 kopi/ml) dan dipertahankan dalam kadar rendah tersebut
selama mungkin

Pada tahun 2003 WHO memberikan panduan ART, yaitu :


a. Kapan mulai terapi ART.
b. Berapa lama pemberian dan kemudian muncul efek toksik ARV.
c. Penyediaan obat rejiman lini pertama dan lini kedua.
d. Pertimbangan penggantian akibat toksisitas atau switching terapi
akibat kegagalan.
e. Strategi monitoring terapi.
Pada perkembangan lebih lanjut panduan WHO 2005-2006
semakin dilengkapi dengan beberapa pertimbangan :
a. Pilihan regimen lini ke dua.
b. Beberapa pertimbangan pemberian ART pada situasi khusus seperti
koinfeksi (TB, hepatitis virus), pengguna narkotik intravena dan
kehamilan.
c. Pertimbangan terhadap potensi efek samping ART dan kepatuhan.
d. Strategi kepatuhan.
Tabel.2.1. Obat, Dosis, Cara Pemberian, dan Efek Samping
Nama Generik
Abacavir
(ABC)

Dosis
300mg 3 kali sehari,
atau dalam bentuk
kombinasi dengan ZDV
dan 3TC (Trizivir) 1
tablet, 2 kali sehari
Di
dalam
Trizivir,
terkandung 300 mg
ZDV, 150 mg 3TC, dan
300 mg ABC

Efek Samping
Reaksi hipersensitifitas
(dapat fatal)
Demam,
rash,
kelemahan
umum
Mual, muntah, nafsu
makan
menurun,
gangguan
saluran
pernafasan
(nyeri
tenggorok,
batuk),
Asidosis laktat dengan
dengan hepatic stenosis.

Didanosine
(ddi)

Lamivudin
(3TC)
Stavudine
(d4T)

Zidovudine
(ZDV,AZT)

Nevirapine
(NVP)

>60 kg :200 mg 2 kali


sehari, atau 400 mg 1
kali sehari
< 60 kg :125 mg 2 kali
sehari, atau 250 mg 1
kali sehari
150 mg 2 kali sehari,
atau < 50 kg : 2 mg / kg
BB bid
>60 kg : 40 mg 2 kali
sehari
<60 kg : 30 mg 2 kali
sehari
300 mg 2 kali sehari,
atau dalam bentuk
kombinasi ZDV/3TC
300mg/150 mg 2 kali
sehari

Pankretitis, neuropati
perifer, mual, diare,
asidosis lactat dengan
hepatic stenosis

Tokisisitas
minimal,
asidosis laktat dengan
hepatic
stenosis
Pankreatitis, neuropati
perifer, asidosis laktat
dengan hepatic stenosis,
lipoartrophy
Anemia,
neutropeni,
intoleransi
gastrointestinal, sakit
kepala,
insomnia,
miopati, asidosis laktat
dengan hepatic steatosis
200 mg 1 kali untuk 14 Rash kulit, sindrom
hari, yang diikuti oleh steven-johnson,
200 mg 2 kali sehari
peningkatan
kadar
serum
transaminase,
hepatitis
600 mg 1 kali sehari, Keluhan mengenai CNS
: dizziness, somnolen,
diberikan malam hari
insomnia,
confusion,
halusinasi,
agitasi
Peningkatan
kadar
serum
transaminase,
rash kulit

Sumber: Dirjen P3L Kemenkes RI (2011)

3. Keberhasilan Terapi Antiretroviral (ARV)


Keberhasilan terapi dapat dilihat dari tanda-tanda klinis pasien
yang membaik setelah terapi, salah satunya infeksi oppurtunistik tidak
terjadi. Ukuran jumlah sel CD4+ menjadi predictor terkuat terjadinya
komplikasi HIV. Jumlah CD4+ yang menurun diasosiasikan sebagai

perbaikan yang lambat dalam terapi, meski pada kenyataannya pasien


yang memulai terapi pada saat CD4+ rendah, akan

menunjukkan

perbaikan yang lambat. Namun jumlah CD4+ di bawah 100 sel/mm3


menunjukkan resiko yang signifikan untuk terjadinya penyakit HIV
yang progresif. Maka, kegagalan imunologik.
4. Standar Pengobatan HIV/AID (Dirjen P3L Kemenkes RI, 2011)
Dalam

buku

Panduan

Pengobatan

HIV/AIDS

yang

diterbitkan Kemenkes RI (2011) disebutkan bahwa HIV sangat cepat


bermutasi sehingga resisten terhadap obat. Untuk mengurangi
kemungkinan tersebut, maka didalam penanganan infeksi HIV
digunakan terapi antiretrovirus yang sangat aktif (highly active
antiretroviral therapy, disingkat HAART). Pilihan terbaik HAART
saat ini, berupa kombinasi dari setidaknya tiga obat (disebut "koktail)
yang terdiri dari paling sedikit dua macam (atau "kelas") bahan
antiretrovirus. Kombinasi yang umum digunakan adalah nucleoside
analogue reverse transcriptase inhibitor (NRTI) yang terdiri dari :
Zidovudin

(AZT/ZDV),

Lamivudin

(3TC),

Tenofovir

(TDF),

Emtricitabine (FTC) dengan non-nucleoside reverse transcriptase


inhibitor (NNRTI) yang terdiri dari Nevirapin (NVP), Efavirenz
(EFV). (Dirjen P3L Kemenkes RI, 2011)
Untuk

memulai

terapi

antiretroviral

perlu

dilakukan

pemeriksaan jumlah CD4 dan penentuan stadium klinis infeksi HIVnya. Hal tersebut adalah untuk menentukan apakah penderita sudah
memenuhi syarat terapi antiretroviral atau belum.

Berikut ini adalah rekomendasi cara memulai HAART pada


ODHA dewasa:
Tabel.2.2. Saat Memulai Terapi pada ODHA Dewasa
Stadium
Klinis
Stadium
Klinis 1 dan
2

Jumlah sel CD4

Rekomendasi

> 350 sel/mm

Belum mulai terapi.


Monitor gejala klinis
dan jumlah sel CD4
setiap 6-12 bulan

Stadium
klinis 3 dan 4
Apapun
stadium
klinis
Apapun
stadium
klinis

< 350 sel/mm

Mulai terapi

Berapun jumlah
sel CD4

Mulai terapi

Berapun jumlah
sel CD4

Mulai terapi

Apapun
Berapun jumlah
stadium
sel CD4
klinis
Sumber: Dirjen P3L Kemenkes RI (2011)

Mulai terapi

Target
Populasi
ODHA
dewasa

Pasien
dengan koinfeksi TB
Pasien koinfeksi
Hepatitis B
Kronik aktif
Ibu hamil

Tabel.2.3. Panduan Lini Pertama pemberian 2 NRTI + 1 NNRTI


Populasi
Target

Pilihan yang
direkomendasika
n

Catatan

Dewasa dan
anak

AZT atau TDF +


3 TC (atau FTC)
+ EFV atau NVP
AZT +3TC +EFV
atau NVP

Merupakan pilihan paduan yang


sesuai untuk sebagian besar pasien.
Gunakan FDC jika tersedia.
Perempuan
Tidak boleh menggunakan EFV pada
hamil
trismester pertama, TDF bisa
merupakan pilihan
Ko-infeksi
AZT atau TDF + Mulai terapi ARV segera setelah
HIV/TB
3TC (FTC) +
terapi TB dapat ditoleransi antara 2-8
EFV
minggu.
Gunakan NVP atau triple NRTI bila
EFV tidak dapat digunakan.
Ko-infeksi
TDF + 3 TC
Pertimbangkan pemeriksaan HBsAg
HIV/Hepatitis (FTC) + EFV atau terutama bila TDF merupakan
B kronik
NVP
paduan lini pertama. Diperlukan
penggunaan 2 ARV yang memiliki
aktivitas anti-HBV
Sumber: Dirjen P3L Kemenkes RI (2011)

2.2. Keaslian Penelitian


Penelitian sejenis yang pernah dilakukan diantaranya adalah:
Tabel 2.4. Keaslian Penelitian
Nama
Peneliti

Judul
Penelitian

Metode
Penelitian

Hasil Penelitian

Perbedaan

Ika
Silvitasari,
dkk
(2013)

Evarina
(2011)

Githa
(2013)

Efektivitas
dukungan
keluarga
terhadap
kepatuhan
pengobatan
ARV
pada
ODHA
di
kelompok
dukungan
sebaya
Kartasura
Pengaruh
dukungan
keluarga
terhadap
program
pengobatan
pasien
HIV/AIDS di
Posyansus
RSUP
Haji
Adam Malik
Medan
Kepatuhan
pengobatan
antiretroviral
pada
Pasien
HIV/AIDS di
RSUD Prof.
Dr. Margono
Soekarjo
Purwokerto

Kuantitatif
dengan
desain crosssectional

Terdapat hubungan
efektivitas
dukungan keluarga
terhadap kepatuhan
pengobatan ARV

1.Uji
analisis
data
menggunakn
Chi Square.
2.Tempat
dan
waktu

Kuantitatif
dengan
desain crosssectional

Adanya pengaruh 1.Uji


analisis
dukungan keluarga
data
terhadap program
menggunakn
pengobatan pasien Chi
Square
HIV/AIDS
dan
regresi
linier
berganda
2.Tempat
dan
waktu

Kuantitatif
dengan
desain crosssectional

Faktor psikologis 1.Jenis


selama seminggu
penelitian
terakhir,
faktor
deskripsi
psikologis
yang
statistik
dialami
pasien 2.Tempat
dan
selama
sebulan
waktu
terakhir serta faktor
efek samping obat
yang
mempengaruhi
secara
signifikan
terhadap
tingkat
kepatuhan
terapi
anti retro viral pada
pasien ODHA

34

35

BABIII
METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Rancangan Penelitian


Jenis penelitian ini adalah penelitian korelasi. Penelitian korelasi
adalah penelitian dengan tujuan utama untuk membuat gambaran atau
deskriptif tentang suatu keadaan secara obyektif. Penelitian ini adalah
penelitian deskriptif yang berbentuk studi korelasi (correlation study) yang
pada hakikatnya merupakan penelitian tentang hubungan dua variabel atau
lebih pada suatu situasi atau sekelompok subjek. Pendekatan penelitian
dilakukan secara cross sectional yaitu pengumpulan data baik untuk
variabel independen (variabel sebab) maupun variabel dependen (variabel
akibat) dilakukan secara bersama-sama atau simultan (Notoatmodjo, 2005).

3.2. Populasi dan Sampel


3.2.1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti
(Notoatmodjo, 2005). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien
HIV/AIDS yang aktif berobat di Puskesmas Sumberjambe.

35

36

3.2.2. Sampel
Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti (Arikunto,
2006). Sampling adalah proses menyeleksi porsi dari populasi yang dapat
mewakili populasi yang ada (Nursalam, 2009). Teknik pengambilan
sampel dalam penelitian ini menggunakan metode sensus (total sampling)
karena jumlah populasi kurang 50, maka semuanya diambil sebagai
responden, ini sesuai dengan pendapat Arikunto (2006) bahwa subyek
penelitian kurang dari 50 sebaiknya diambil semua. Teknik ini digunakan
karena beberapa pertimbangan yaitu karena jumlah populasi hanya 15
responden.
Sampel yang di ambil adalah pasien HIV/AIDS yang berobat di
Puskesmas Sumberjambe sebanyak 15 pasien dengan kriteria sebagai
berikut: Kriteria inklusi:
1. Bersedia menjadi responden
2. Berumur 17-70 tahun.
3. Dapat membaca dan menulis.
4. Pasien yang periksa ke Puskesmas Sumberjambe.
Kriteria eksklusi:
1. Berumur kurang 17 tahun dan lebih 70 tahun.

3.3. Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Sumberjambe pada tanggal
26 Juli sampai dengan 8 Agustus 2016.

3.4. Variabel, Definisi Operasional, dan Skala Pengukuran


Variabel mengandung pengertian ukuran atau ciri yang dimiliki
oleh anggota-anggota suatu kelompok yang berbeda dengan yang dimiliki
oleh kelompok yang lain. Berdasarkan hubungan fungsional antara variabel
satu dengan yang lain, variabel dibedakan menjadi dua yaitu variabel
tergantung, akibat, terpengaruh atau variabel dependen dan variabel bebas,
sebab, mempengaruhi atau variabel independen (Notoatmodjo, 2005).
Variabel penelitian ini adalah variabel independen yaitu dukungan keluarga
dan variabel dependen yaitu kepatuhan program pengobatan.
Ruang lingkup atau pengertian variabel yang diteliti perlu sekali
diberi batasan atau definisi operasional. Definisi operasional bermanfaat
untuk mengarahkan kepada pengukuran atau pengamatan terhadap variabel
yang bersangkutan serta pengembangan instrumen atau alat ukur
(Notoadmodjo, 2005).

Tabel 3.1. Definisi Operasional


Variabel

Dukungan
keluarga

Definisi
Operasional
Ukur

Alat

Skala
Data

Skor

Dukungan keluarga adalah


sikap,
tindakan dan penerimaan keluarga terhadap
anggotanya yang meliputi
dukungan
emosional, dukungan penghargaan, dukungan
materi, dukungan informasi,

3.5. Alat Penelitian dan Cara Pengumpulan Data


3.5.1. Alat Penelitian
Kuesioner adalah suatu cara pengumpulan data atau suatu penelitian
mengenai suatu masalah yang umumnya banyak menyangkut kepentingan
umum. Kuesioner ini dilakukan dengan mengedarkan suatu daftar
pertanyaan yang berupa formulir-formulir, diajukan secara tertulis kepada
sejumlah subjek untuk mendapatkan tanggapan, informasi, jawaban, dan
sebagainya (Notoatmodjo, 2005). Berdasarkan pada hal tersebut maka alat
pengumpulan data penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
kuesioner dukungan keluarga dan kuesioner kepatuhan terhadap program
pengobatan HIV/AIDS.
3.5.1.1. Kuesioner dukungan keluarga
Kuesioner ini disadur dari Ika Silvitari, dkk (2013) berisi tentang
pertanyaan tertutup mengenai dukungan keluarga yaitu responden tinggal
memberi tanda terhadap alternatif jawaban yang dipilih. Metode
penilaian dukungan keluarga menggunakan skala Likert. Kuesioner ini
terdiri 20 item pertanyaan dengan 3 alternatif jawaban yaitu:
Skore 3: Selalu (SL)
Skore 2: Kadang-kadang (KK)
Skore 1: Tidak pernah (TP)

Dari hasil jawaban tersebut dikategorikan sebagai


berikut: Kurang: skore < 33

Sedang: skore 34 47 Baik : skore > 47


Pertanyaan dibuat dua tipe yaitu favourable dan unfavourable
terhadap objek. Kisi-kisi dukungan keluarga sebagai berikut:
Tabel 3.2. Kisi-kisi Dukungan Keluarga
No

Indikator
1.
2.
3.
4.

Dukungan
Informasional
Dukungan Penilaian
Dukungan
Instrumental
Dukungan emosional
Jumlah

No Soal
Unfavourable
Favourable

Jumlah

1,3,4,5

1,3,4

2,5

1,2,4,5

1,2,3,4

15

20

3.5.1.1. Uji Validitas


Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat
kevalidan atau kesahihan suatu instrumen. Suatu instrumen yang valid
atau sahih mempunyai validitas yang tinggi yaitu apabila mampu
mengukur apa yang diinginkan (Arikunto, 2006). Uji validitas dan
reliabilitas dilakukan di RSUD Sukoharjo terhadap 20 responden.
Uji validitas kuesioner menggunakan koefisien korelasi yang
menguji konsistensi antara skor tiap nomor soal dengan skor total
kuesioner. Uji validitas dilakukan terhadap dukungan keluarga dan
kepatuhan program pengobatan. Rumus uji validitas menggunakan
formula korelasi product moment dari Pearson, sebagai berikut
(Arikunto, 2006):

N XY ( X )(Y )
XY

Keterangan :
X

Skor responden pada nomor soal tertentu

Skor

responden

keseluruhan N =

pada

kuesioner

Jumlah sampel,

Sigma

Uji validitas dengan menggunakan metode Reliabilitas Internal


yaitu dilakukan dengan cara menganalisis data dari hasil satu kali
pengetesan (Arikunto, 2006). Kriteria yang ditetapkan dalam menentukan
validitas data adalah r hitung > r tabel (0,444) pada taraf signifikan 0,05 (Ika
Silvitasari, dkk, 2013). Jika koefisien korelasi lebih besar dari nilai
kritis, maka instrumen dapat dikatakan valid.
Hasil uji validitas dengan Internal Consistency didapatkan: 20
item instrumen dukungan keluarga dinyatakan valid (rhitung > r tabel (n=20)
= 0,444) dengan rentang nilai antara 0,519-0,953. Sedangkan untuk 11
item instrumen kepatuhan program pengobatan juga dinyatakan valid
karena semua item rhitung > r

tabel

(n=20) = 0,444) dengan rentang nilai

antara 0,551-0,909.
3.5.1.2. Uji Reliabilitas
Suatu

instrumen

pengukuran

dikatakan

reliabel

pengukurannya konsisten dan cermat akurat (Arikunto,


Reliabilitas berkaitan dengan konsistensi data yang

jika
2006).

dikumpulkan

meskipun dievaluasi oleh instrumen penelitian berdasarkan perspektif


dan teknik yang berbeda. Uji reliabilitas dilakukan terhadap kuesioner
dukungan keluarga dan kepatuhan.
Formula yang dipergunakan untuk menguji reabilitas instrumen
dalam penelitian ini adalah Koefisien Alpha Cronbach (Arikunto, 2006)
dengan rumus sebagai berikut:
2

2
2

Dimana rumus varians =


rtt
1

k1
i

x2

Keterangan:
rtt

= Koefisien reliabilitas alfa


N

= Varians total

= Jumlah butir

= Banyaknya butir soal

= Jumlah varians butir

= Skor pada item

Uji reliabilitas menggunakan alpha cronbach test karena


merupakan tehnik yang handal untuk mengukur konsistensi internal
pertanyaan. Menurut Nursalam (2009), memberikan kriteria untuk
mengetahui tingkat reliabilitas yaitu nilai Cronbanchs Alpha lebih
besar dari standar baku (0,6).
Hasil uji reliabilitas terhadap instrumen dukungan keluarga
sebanyak 20 pertanyaan dinyatakan reliabel dan layak digunakan untuk
penelitian karena nilai Cronbanchs Alpha = 0,978 > 0,6. Sedangkan

untuk instrumen kepatuhan juga dinyatakan valid karena nilai


Cronbanchs Alpha = 0,924 > 0,6
3.5.2. Metode Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini ada dua jenis yaitu data
primer yaitu merupakan data yang diperoleh dari hasil kuesioner. Sedangkan
data sekunder yaitu merupakan hasil pencatatan data-data penunjang
Puskesmas Sumberjambe seperti: jumlah pasien, dan lembar catatan Rekam
medik.
3.5.3. Proses Pengumpulan Data
Proses pengumpulan data dilakukan dengan cara:
1. Melakukan pemilihan subyek penelitian sesuai dengan kriteria inklusi
yang telah ditetapkan.
2. Melakukan pendekatan terhadap responden dan memberikan penjelasan
mengenai maksud dan tujuan penelitian kepada responden serta
memohon kesediaan responden untuk menjadi responden.
3. Meminta responden untuk mengisi persetujuan menjadi responden dan
menjelaskan cara pengisian kuesioner.
4. Pengisian kuisioner dilakukan secara langsung oleh responden dengan
didampingi oleh peneliti.
5. Pengisian sampai dengan pengembalian kuesioner ke perawat diberikan
waktu selama 30 menit.

3.6. Teknik Pengolahan dan Analisis Data


3.6.1. Pengolahan Data
Data yang telah dikumpulkan kemudian dilakukan :
3.6.1.1. Proses Editing
Proses editing bertujuan untuk meneliti kembali jawaban yang
telah ada sehingga jawaban yang diperoleh dapat lengkap (Waluya,
2007). Editing dilakukan di lapangan, bila ada kekurangan atau
ketidaksesuaian dapat segera dilengkapi dan disempurnakan.
3.6.1.2. Proses Koding
Data yang terkumpul diubah bentuknya ke dalam bentuk yang
lebih ringkas dengan menggunakan kode untuk memudahkan dalam
menganalisis data (Waluya, 2007).
Dalam penelitian ini yang perlu dilakukan koding antara lain:
a.

Kategori umur
1) Umur < 30 tahun (1)
2) Umur 30-50 tahun (2)
3) Umur > 50 tahun (3)

b.

Jenis kelamin
1) Laki-laki (1)
2) Perempuan (2)

c.

Pendidikan
1) SD

2) SLTP
3) SLTA
4) Perguruan Tinggi
5) Tidak Sekolah
d.

Lama terpapar HIV/AIDS


1) 2 - 9 bulan (1)
2) 10 - 17 bulan (2)
3) > 25 bulan (3)

e.

Lama

Pengobatan

HIV/AIDS 1)

2 - 8 bulan

(1)
2) 10 - 16 bulan (2)
3) > 16 bulan (3)
f.

Dukungan Keluarga
1) Kurang: skore < 7 (1)
2) Sedang: skore 7 - 14 (2)
3) Baik: skore > 14 (3)

g.

Kepatuhan
1) Tidak Patuh = nilai < 95% dari nilai tertinggi(1)
2) Patuh = > 95% dari nilai tertinggi (2)

3.6.1.3. Pemindahan Data


Data yang sudah di-koding dipindahkan ke dalam media untuk
diolah secara manual dan komputerisasi.

NX

3.6.1.4. Tabulasi
Tabulasi data adalah merupakan kegiatan menggambarkan
jawaban responden dengan cara tertentu. Tabulasi juga dapat digunakan
untuk menciptakan statistik deskriptif variabel-variabel yang diteliti atau
yang variabel yang akan di tabulasi silang. (Monalia, 2012). Adapun
pengolahan data dilakukan dengan komputerisasi.
3.6.2. Analisis Data
Analisis data menggunakan analisis statistik sebagai berikut:
3.6.2.1. Analisis Univariat
Analisis univariat digunakan untuk mendeskripsikan masingmasing variabel. Dalam penelitian ini yang dilakukan analisis univariat
adalah karakteristik responden yang meliputi umur, jenis kelamin,
pendidikan, lama terpapar dan lama pengobatan, variabel dukungan
keluarga dan variabel kepatuhan.
Hasil dari analisis univariat ini adalah distribusi dan prosentase
dari tiap variabel tersebut dengan rumus menurut Budiarto
sebagai berikut :
f
P = N x100%

Keterangan :
f = frekuensi
N= jumlah seluruh observasi

( X ) 2 N Y

( Y ) 2

(2005)

3.6.2.2. Analisis Bivariat


Analisis bivariat yaitu analisis yang digunakan untuk menjawab
hipotesis, menguji hipotesis bertujuan untuk mengetahui hubungan tiap
variabel bebas dengan variabel terikat. Analisis data ini digunakan untuk
mengetahui hubungan antara dukungan keluarga dengan kepatuhan.
Karena skala data kedua variabel tersebut berupa data ordinal, maka
analisis yang tepat dengan menggunakan uji non parametrik salah
satunya menggunakan uji Spearman dengan derajat kemaknaan kurang
dari sama dengan 0,05 (5%) yang berarti ada hubungan antara 2 variabel.

3.7.

Etika Penelitian
Etika mempunyai pengertian sebagai ukuran tingkah laku atau perilaku
manusia yang baik, yakni tindakan yang tepat yang harus dilakukan oleh
manusia sesuai dengan moral pada umumnya. Etika penelitian berguna sebagai
pelindung terhadap institusi tempat penelitian dan peneliti itu sendiri.
3.7.1. Persetujuan (Informed Consent)
Lembar

persetujuan

penelitian

diberikan

pada

responden.

Tujuannya adalah sebagai subyek mengetahui maksud dan tujuan penelitian


serta dampak yang diteliti selama pengumpulan data (Nursalam, 2009). Jika
subyek bersedia diteliti maka peneliti tidak akan memaksa dan tetap
menghormati haknya. Dalam penelitian ini peneliti memberikan persetujuan
kepada responden yang berisi tujuan yang dilakukan peneliti.

3.7.2. Tanpa Nama (Anonimity)


Untuk memjaga kerahasiaan identitas subyek, peneliti tidak akan
mencantumkan nama subyek pada lembar pengumpulan data (kuesioner)
yang diisi oleh subyek. Lembar tersebut hanya diberi nomer kode tertentu
(Nursalam, 2009). Dalam penelitian ini nama responden tidak dicantumkan
sama sekali. Penulisan nama menggunakan inisial saja baik di lembar
persetujuan maupun lembar kuesioner.
3.7.3. Kerahasiaan (Confiedentiality)
Kerahasiaan informasi yang diberikan oleh subyek dijamin oleh
peneliti. Dalam penelitian ini peneliti juga menjaga kerahasiaan responden
untuk menghargai privasi responden sehingga responden tidak merasa
dirugikan (Nursalam, 2009). Kerahasiaan responden dijamin dengan cara
menunjukkan surat permohonan menjadi responden.

BABIV
HASIL PENELITIAN
Pada bab ini diuraikan hasil penelitian diperoleh melalui proses
pengumpulan data yang dilakukan sejak tanggal 26 Juli sampai dengan 05
Agustus 2016, di Wilayah Kerja UPT Puskesmas Sumberjambe
4.1.

Analisis Univariat
Berdasarkan hasil data penelitian ini mengenai karakteristik
responden akan disajikan sebagai berikut:
4.1.1. Karakteristik responden
4.1.1.1. Umur
Sampel pada penelitian ini adalah adalah pasien HIV/AIDS yang
berobat di Wilayah Kerja UPT Puskesmas Sumberjambe sebanyak 15
orang. Responden maksimal berumur 59 tahun, minimal 21 tahun dan ratarata berumur 39,1 tahun. Distribusi umur responden dijelaskan pada tabel
berikut:
Tabel 4.1
Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Menurut Umur di Wilayah
Kerja UPT Puskesmas Sumberjambe

21 - 33 Tahun

Frekuensi
(Orang)
14

33 - 46 Tahun

19

47 - 59 Tahun

No

Kelompok Umur

Jumlah

45,3
21,4

42

50

Prosentase
(%)
33,3

100

51

Berdasarkan Tabel 4.1 diketahui bahwa sebagian besar responden


berada pada kelompok umur 34-46 tahun sebanyak 19 responden (45,2%),
yang kedua kelompok umur 21-33 tahun sebanyak 14 responden (33,3%)
dan paling sedikit berada pada kelompok umur 40-59 tahun sebanyak 9
responden (21,4%).
4.1.1.2. Jenis Kelamin
Hasil distribusi frekuensi mengenai jenis kelamin responden
dijelaskan pada tabel berikut:
Tabel 4.2
Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Menurut Jenis Kelamin
di Wilayah Kerja UPT Puskesmas Sumberjambe
No

Jenis Kelamin
1

Perempuan

Laki-laki
Jumlah

Frekuensi Prosentase
(Orang)
(%)
23
54,8
19

45,2

42

100

Berdasarkan Tabel 4.2 dan diketahui bahwa sebagian besar


responden berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 23 responden
(54,8%) dan sisanya laki-laki sebanyak 19 responden (45,2%).
4.1.1.3. Pendidikan
Hasil

distribusi

frekuensi

dijelaskan pada tabel berikut:

mengenai

pendidikan

responden

Tabel 4.3
Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Menurut Pendidikan
di Wilayah Kerja UPT Puskesmas Sumberjambe
No

Frekuensi

Pendidikan

Prosentase
(%)

(Orang)

Tidak Sekolah

SD

19

45,2

SLTP

11

26,2

SLTA

12

28,6

Perguruan Tinggi

Jumlah

0
42

100

Berdasarkan Tabel 4.3 dan diketahui bahwa sebagian besar


responden berpendidikan SD sebanyak 19 responden (45,2%), yang kedua
SLTA sebanyak 12 responden (28,6%), ketiga SLTP sebanyak 11
responden (26,2%) dan yang tidak sekolah dan Perguruan Tinggi tidak
ada.
4.1.1.4. Pekerjaan
Hasil distribusi frekuensi mengenai pekerjaan responden dijelaskan
pada tabel berikut:
Tabel 4.4
Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Menurut Pekerjaan
di Wilayah Kerja UPT Puskesmas Sumberjambe
No

Frekuensi

Pekerjaan

Tidak Bekerja

(Orang)
19

Buruh

16

Wiraswasta
Jumlah

Prosentase
(%)
42,1
38,1
16,7

42

100

Berdasarkan Tabel 4.4 dan diketahui bahwa sebagian besar


responden tidak bekerja yaitu sebanyak 19 responden (45,2%), yang kedua
sebagai buruh sebanyak 16 responden (38,1%) dan paling sedikit bekerja
sebagai wiraswasta sebanyak 7 responden (16,7%).
4.1.1.5. Lama Terpapar HIV/AIDS
Hasil distribusi frekuensi mengenai lama terpapar HIV/AIDS
responden dijelaskan pada tabel berikut:
Tabel 4.5
Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Menurut Lama Terpapar
HIV/AIDS di Wilayah Kerja UPT Puskesmas Sumberjambe
No

Lama Terpapar
HIV/AIDS

Frekuensi
(Orang)

Prosentase
(%)

2- 9 Bulan

21

50

10 -17 Bulan

14

33,3

18 -25 Bulan

16,7

42

100

Jumlah

Berdasarkan Tabel 4.5 dan diketahui bahwa sebagian besar


responden positif terpapar HIV/AIDS sejak 2-9 bulan yang lalu yaitu
sebanyak 21 responden (50%), yang kedua sejak 10-17 bulan yang lalu
yaitu sebanyak 14 responden (33,3%) dan sejak 18-25 bulan yang lalu
yaitu sebanyak 7 responden (16,7%).

4.1.1.6. Lama Pengobatan


Hasil distribusi frekuensi mengenai lama pengobatan responden
dijelaskan pada tabel berikut:
Tabel 4.6
Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Menurut Lama Pengobatan
di Wilayah Kerja UPT Puskesmas Sumberjambe
No

Frekuensi

Lama Pengobatan

2-8 Bulan

(Orang)
21

9-15 Bulan

14

16-25 Bulan

Jumlah

Prosentase
(%)
50
33,3
16,7

42

100

Berdasarkan Tabel 4.6 dan diketahui bahwa sebagian besar


responden telah menjalani pengobatan sejak 2-9 bulan yang lalu yaitu
sebanyak 21 responden (50%), yang kedua sejak 10-17 bulan sebanyak 14
responden (33,3%) dan sejak 18-25 bulan sebanyak 7 responden (16,7%).
4.1.1.7. Dukungan Keluarga
Hasil distribusi frekuensi jawaban responden mengenai dukungan
keluarga terhadap penderita HIV/AIDS dijelaskan pada tabel berikut:
Tabel 4.7
Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Menurut Dukungan
Keluarga di Wilayah Kerja UPT Puskesmas Sumberjambe
No

Frekuensi

Dukungan Keluarga

(Orang)

Prosentase
(%)
9,5

Kurang

Sedang

14

33,3

Baik

24

57,1

42

100

Jumlah

Berdasarkan Tabel 4.7 dan diketahui bahwa sebagian besar


responden memperoleh dukungan keluarga baik yaitu sebanyak 24
responden (57,1%), yang kedua dukungan keluarga cukup baik sebanyak
14 responden (33,3%) dan paling sedikit memperoleh dukungan keluarga
kurang baik sebanyak 4 responden (9,5%).
4.1.1.8. Kepatuhan Program Pengobatan
Hasil distribusi frekuensi mengenai kepatuhan program pengobatan
responden dijelaskan pada tabel berikut:
Tabel 4.8
Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Menurut Kepatuhan
Program Pengobatan di Wilayah Kerja UPT Puskesmas Sumberjambe
No

Kepatuhan
1

Tidak Patuh

Patuh
Jumlah

Frekuensi Prosentase
(Orang)
(%)
8
19
34

81

42

100

Berdasarkan Tabel 4.8 diketahui bahwa sebagian besar responden


patuh dalam program pengobatan HIV/AIDS yaitu sebanyak 34 responden
(81%) dan yang tidak patuh dalam pengobatan hanya sebanyak 8
responden (19%).

4.2.

Analisis Bivariat
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini uji analisis
Spearman dengan derajat kemaknaan kurang dari sama dengan 0,05 (5%)

yang berarti ada hubungan antara 2 variabel. Analisis Spearman


digunakan untuk mengetahui hubungan variabel independen dengan
variabel dependen. Untuk menganalisis data digunakan sistem pengolahan
data dengan bantuan SPSS yang hasilnya dapat dilihat pada tabel di bawah
ini:
Tabel 4.9
Crosstabulation Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Kepatuhan
Program Pengobatan Pasien HIV/AIDS

Dukungan
Keluarga

Total

Kurang Baik
%
Cukup Baik
%
Baik
%
Jumlah
%

1
6
1
8

Kepatuhan
Tidak Patuh
Patuh
3
25
75
8
42,6
57,1
23
4,2
95,8
34
19
82

Total
4
100
36
100
22
100
9542
100

Tabel 4.9 didapatkan hasil bahwa responden dengan dukungan


keluarga yang kurang baik menunjukkan tidak patuh dalam program
pengobatan sebanyak 1 responden (25%) dan yang patuh sebanyak 3
responden (75%). Responden dengan dukungan keluarga yang cukup baik
menunjukkan tidak patuh dalam program pengobatan sebanyak 6
responden (42,6%) dan patuh sebanyak 8 responden (57,1%). Sedangkan
Responden dengan dukungan keluarga yang baik menunjukkan tidak patuh
dalam program pengobatan sebanyak 1 responden (4,2%) dan yang patuh
sebanyak 23 responden (98,8%).

Tabel 4.10
Hasil Analisis Spearman's rho Hubungan Dukungan Keluarga Dengan
Kepatuhan Program Pengobatan Pasien HIV/AIDS
Dukungan
Keluarga
Spearman'
Dukungan
s rho
Keluarga

Correlation
Coefficient

Kepatuhan
Pengobatan

1,000

,398(**)

42

,009
42

Sig. (2-tailed)
N

Hasil analisis dengan program komputerasasi diperoleh nilai


Spearman's rho ( rs ) sebesar 0,398 dengan probabilitas (p) sebesar 0,009
nilai
rs tabel untuk jumlah sampel 42 dalam taraf signifikan 5% (0,05)
sebesar 0,257. Hasil perbandingan antara

nilai
rs hitung dengan rs tabel

menunjukkan bahwa nilai


rs hitung > rs tabel (0,398 > 0,257) atau dilihat dari
nilai probabilitas (p) menunjukkan bahwa nilai p lebih kecil dari level of
significant 5 % (0,009 < 0,05).
Karena nilai rs = 0,398, maka hubungan dukungan keluarga
dengan kepatuhan program pengobatan pasien HIV/AIDS di di Wilayah
Kerja UPT Puskesmas Sumberjambe adalah cukup (Sugiyono, 2007).
Nilai koefisien bertanda positif, artinya jika dukungan keluarga baik maka
kepatuhan program pengobatanya juga tinggi atau sebaliknya. Maka dapat
disimpulkan bahwa ada dukungan keluarga dengan kepatuhan program
pengobatan pasien HIV/AIDS di Poliklinik VCT (Voluntary Counseling
Test).

Jadi hipotesis alternatif (Ha) yang menyatakan bahwa Ada


hubungan dukungan keluarga dengan kepatuhan program pengobatan
pasien HIV/AIDS di Wilayah Kerja UPT Puskesmas Sumberjambe,
terbukti kebenarannya.

BABV
PEMBAHASAN

Bab ini memaparkan pembahasan hasil penelitian hubungan dukungan


keluarga dengan kepatuhan program pengobatan pasien HIV/AIDS di Wilayah
Kerja UPT Puskesmas Sumberjambe. Pembahasan ini berisi tentang perbandingan
hasil penelitian dengan teori dan penelitian terdahulu.
5.1.

Karakteristik Responden
Hasil analisis deskriptif karakteristik responden dapat dijelaskan sebagai
berikut:
5.1.1. Umur
Pada penelitian ini, didapatkan bahwa paling banyak responden
berusia antara 33-46 tahun. Data ini dapat menjelaskan bahwa infeksi HIV
ternyata lebih banyak terjadi pada usia produktif. Hal ini dapat disebabkan
karena pada usia produktif dimungkinkan lebih banyak melakukan
perilaku seks tidak aman yang berisiko terhadap penularan HIV (Firman,
2015). Biasanya penderita tertular HIV/AIDS karena penyalahgunaan
narkotika, kontak seksual dan hubungan seks bebas. Perlu diketahui bahwa
mayoritas jalur penularan HIV di Wonogiri melalui kontak seksual.
Hasil penelitian ini memperlihatkan secara proporsi sejalan dengan
pola penularan HIV di Indonesia maupun dunia selama 5 tahun terakhir

59

60

bahwa infeksi HIV banyak terjadi pada kelompok usia produktif 25-49
tahun (Ditjen PPM dan PL Depkes RI. 2014). Hasil ini juga sejalan dengan
penelitian Evarina (2011) bahwa mayoritas penderita HIV/AIDS di Medan
berada pada kelompok umur 25-40 tahun sebanyak 22 orang (73,3%).
5.1.2. Jenis Kelamin
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa HIV/AIDS lebih banyak
terjadi pada perempuan yaitu 54,8%. Hal ini terjadi karena di Wonogiri
kebanyakan kasus terjadi karena tertular dari suaminya. Perlu diketahui
bahwa kultur di Sumberjambe

kebanyakan para suami banyak yang

merantau atau bekerja di kota-kota besar di Indonesia sehingga peluang


untuk melakukan perilaku seks bebas lebih besar.
Menurut Hasan Ramadhan dari Media Indonesia, Rabu 21 Agustus
2013, wanita ataupun para istri lebih rentan tertular virus penyakit
HIV/AIDS jika dibandingkan dengan laki-laki, hal itu dilihat dari sisi
biologis dan hubungan sosial. Pada banyak kasus, yang sering ditemukan
seorang istri, yang hanya diam di rumah dan pada saat gadis tidak pernah
melakukan perilaku seksual berisiko, ternyata terkena HIV. Dari
kebayakan kasus perempuan tertular dari suaminya yang sering melakukan
hubungan

seksual

dengan

bergonta-ganti

pasangan,

sehingga

menyebabkan perempuan lebih rentan tertular penyakit ini, sedangkan


kaum laki-laki lebih bisa menentukan nasib diri untuk tertular atau tidak,
serta mencari cara supaya tidak menularkan penyakit ini. Bila ditinjau dari

segi biologis, bentuk organ reproduksi perempuan memungkinkan lebih


banyak menampung cairan sperma yang mungkin mengandung virus HIV.
Apalagi kondom khusus perempuan belum dijual bebas, dan harganya juga
jauh lebih mahal dari pada kondom untuk pria, serta masih kurang
diminati pemakaiannya dengan berbagai macam alasan lainya. (Hasan,
2013)
Sedangkan kalau dilihat dari sisi sosial perempuan harus
mengemban tugas rangkap, selain sibuk di ranah domestik dengan
berbagai kegiatan mengurus rumah tangga, hingga tak sedikit juga
perempuan yang harus bekerja untuk menambah penghasilan ekonomi
keluarga. Akibatnya perempuan seakan tidak punya waktu untuk
mengurus diri sendiri dan kondisi kesehatan mereka. Kaum perempuan
sering kali baru memeriksakan diri setelah sangat terlambat, ketika sudah
dalam kondisi sakit dan sudah pada fase AIDS. Demikian juga terkait
akses informasi, ketika ada sosialisasi HIV/AIDS kerap kali yang
diprioritaskan mendapatkan informasinya hanya kaum pria. Menyikapi hal
ini perempuan diharapkan lebih waspada, sadar, serta berhak mendapatkan
informasi kesehatan secara seimbang. Perempuan juga harus sensitif
membaca keadaan lingkungan termasuk perilaku suami mereka di luar.
(Komisi Penanggulangan AIDS Nasional/KPAN, 2010)
Hasil penelitian ini berbeda bila dibandingkan dengan data statistik
pola penularan HIV/AIDS di Indonesia tahun 2014, bahwa pola selama 7

tahun terakhir masih lebih banyak laki-laki (54%) dibandingkan kaum


perempuan (29%) (Kemenkes RI, 2015). Hasil ini juga berbeda dengan
penelitian Evarina (2011) bahwa angka kejadian HIV di Medan lebih
banyak terjadi pada laki-laki (90%). Hal ini dikarenakan penelitian yang
dilakukan Evarina (2011) dilakukan di kota besar sehingga peluang lakilaki untuk melakukan perilaku seks bebas dan penggunaan Narkoba suntik
lebih besar. Apabila dibandingkan kultur di Wonogiri kebanyakan para
suami banyak yang merantau atau bekerja di kota-kota besar di Indonesia,
sehingga penularan HIV/AIDS dikalangan ibu rumah tangga disebabkan
karena kontak seksual dengan pasangannya (suami) yang bekerja di luar
kota.
5.1.3. Pendidikan
Hasil penelitian ini diketahui bahwa pendidikan responden
semuanya berpendidikan rendah yaitu pendidikan hanya sampai SLTA,
terbanyak adalah berpendidikan SD sebanyak 19 responden (45,2%).
Gambaran ini jelas memperlihatkan bahwa sebagian besar responden
mempunyai pendidikan rendah lebih mungkin mempunyai keterbatasan
wawasan berpikir dan penerimaan informasi tentang penyakit HIV/AIDS
dan pencegahan penularannya, sehingga menyebabkan angka penularan
HIV terjadi pada kelompok ini.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Evarina (2011) bahwa
terdapat 66,7% responden berpendidikan rendah. Pendidikan yang tidak

memadai merupakan salah satu faktor resiko tingginya HIV/AIDS.


Pendidikan dapat menjadi sarana untuk membuka wawasan sehingga
seseorang dengan pendidikan yang lebih tinggi cenderung lebih mudah
menerima perubahan. Pendidikan rendah mempengaruhi pengetahuan
masyarakat

mengenai

HIV/AIDS,

sehingga

dengan

kurangnya

pengetahuan akan menyebabkan masyarakat rentan terhadap penularan


HIV/AIDS.
5.1.4. Pekerjaan
Data penelitian ini menunjukkan perbedaan proporsi yang
signifikan antara yang bekerja dan tidak bekerja, yaitu tidak bekerja 42%,
bekerja sebagai buruh 38,1% dan wiraswasta 16,7%. Mayoritas responden
tidak bekerja hanya sebagai ibu rumah tangga saja, hal ini disebabkan
sebagian besar tinggal di pedesaan, dan sebagian besar

suaminya

merantau, sehingga ibu-ibu hanya di rumah mengurus anak sebagai ibu


rumah tangga saja.
Meningkatnya HIV/AIDS di kalangan Ibu Rumah Tangga
diperparah dengan anggapan dari Ibu Rumah Tangga yang salah perihal
perilaku-perilaku yang bisa menularkan HIV/AIDS. Padahal, dari tiga
aspek penularan, yakni hubungan seks menyimpang, melahirkan, dan
jarum suntik, perempuan terlibat dalam dua aspek yaitu hubungan seks
dan melahirkan. Jika suami selingkuh hingga melakukan hubungan seks
berisiko tinggi dengan wanita idaman lain atau bahkan wanita pekerja seks

yang terjangkit HIV/AIDS tanpa memakai kondom, bisa dipastikan, saat


berhubungan seks dengan istri, sang suami itu menularkan virus HIV
kepada istrinya. Sementara sang istri tak tahu menahu dengan kondisi
suami di luar rumah, sehingga tak menaruh curiga apa pun saat
berhubungan seks, meski suami telah terjangkit virus HIV. Ibu rumah
tangga menduduki peringkat pertama dari jumlah kumulatif AIDS pada
perempuan tahun 2010 (Komisi Penanggulangan AIDS, 2010).
Hal penelitian ini memperlihatkan secara proporsi sejalan dengan
pola penularan HIV di Indonesia maupun dunia selama 7 tahun terakhir
bahwa infeksi HIV banyak terjadi pada kelompok ibu rumah tangga
(Ditjen PPM dan PL Depkes RI. 2014). Hasil ini tidak sejalan dengan
penelitian Evarina (2011) bahwa mayoritas penderita HIV/AIDS di Medan
berada pada kelompok responden wiraswasta sebanyak (36,7%). Penelitian
yang tidak sejalan juga ditunjukkan oleh penelitian Ika Silvitasari, dkk
(2013) bahwa sebagian besar responden bekerja (65%).

5.1.5. Lama terpapar HIV/AIDS


Data penelitian ini menunjukkan bahwa responden terpapar
HIV/AIDS sejak 2-9 bulan yang lalu sebanyak 21 responden (50%). Dari
gambaran tersebut yang perlu diwaspadai di Kabupaten Wonogiri
sebenarnya proporsi penderita HIV/AIDS yang baru. Munculnya angka
kasus baru ini mungkin tidak representatif, karena bisa saja ODHA
tersebut baru teridentifikasi setelah adanya pemeriksaan HIV

positif,

namun sebenarnya mereka sudah lama terinfeksi HIV positif. Selama


selang waktu belum terindentifikasi, ODHA tersebut dapat saja
menularkan HIV kepada orang lain dan menyebabkan fenomena gunung
es terjadi, ini berbahaya.
Bila dibandingkan dengan data nasional untuk kumulatif kasus
ODHA baru dari Ditjen PPM dan PL Depkes RI (2014) yaitu rata-rata
proporsi sebesar 27,67% pertahun, maka peningkatan proporsi kejadian
ODHA baru di Wonogiri berada lebih tinggi dibandingkan dengan
proporsi nasional. Hal ini dikarenakan lapangan kerja yang sempit di
daerah Wonogiri menyebabkan arus urbanisasi ke kota-kota besar di
Indonesia meningkat, yang membuat banyak penduduk Wonogiri
melakukan urbanisasi untuk bekerja di kota dengan pengetahuan yang
sangat minim tentang HIV/AIDS. Dari hasil wawancara sebagian besar
tidak tau kalau terkena HIV, baru mengetahui setelah dilakukan
pemeriksaan di rumah sakit.
5.1.6. Lama Pengobatan
Data penelitian ini menunjukkan bahwa lama pengobatan
responden sebagian besar telah dilaksanakan 2-8 bulan yang lalu sebesar
50%. Menurut Dirjen P3L Kemenkes RI (2011), bahwa pengobatan
ODHA dilaksanakan apabila pemeriksaan laboratorium jumlah sel CD4
<350 sel/mm. Untuk memulai terapi antiretroviral perlu dilakukan
pemeriksaan jumlah CD4 dan penentuan stadium klinis infeksi HIV-nya.

Hal tersebut adalah untuk menentukan apakah penderita sudah memenuhi


syarat terapi antiretroviral atau belum.
Dalam buku Panduan Pengobatan HIV/AIDS yang diterbitkan
Kemenkes RI (2011) disebutkan bahwa HIV sangat cepat bermutasi
sehingga resisten terhadap obat. Untuk mengurangi kemungkinan tersebut,
maka didalam penanganan infeksi HIV digunakan terapi antiretrovirus
yang sangat aktif (highly active antiretroviral therapy, disingkat HAART).
Pilihan terbaik HAART saat ini, berupa kombinasi dari setidaknya tiga
obat (disebut "koktail) yang terdiri dari paling sedikit dua macam (atau
"kelas") bahan antiretrovirus. Kombinasi yang umum digunakan adalah
nucleoside analogue reverse transcriptase inhibitor (NRTI) yang terdiri
dari : Zidovudin (AZT/ZDV), Lamivudin (3TC), Tenofovir (TDF),
Emtricitabine (FTC) dengan non-nucleoside reverse transcriptase
inhibitor (NNRTI) yang terdiri dari Nevirapin (NVP), Efavirenz (EFV).
(Dirjen P3L Kemenkes RI, 2011)
Dari gambaran hasil penelitian ini bisa disimpulkan bahwa hampir
semua pasien yang positif HIV/AIDS sudah melakukan pengobatan.
5.2.

Gambaran Dukungan Keluarga


Hasil penelitian mengenai dukungan keluarga diketahui bahwa
sebagian besar responden yang mendapat dukungan keluarga baik
sebanyak 24 responden (57,1%), yang kedua dukungan keluarga cukup

baik sebanyak 14 responden (33,3%) dan paling sedikit memperoleh


dukungan keluarga kurang baik sebanyak 4 responden (9,5%).
Berdasarkan hasil tersebut dapat dilihat bahwa dukungan keluarga
yang didapatkan oleh penderita AIDS/HIV masih beragam, namun
sebagian besar mendapatkan dukungan yang baik. Hal ini dikarenakan
sebagian besar responden dapat selalu berinteraksi dengan keluarganya.
Dukungan keluarga diperlukan untuk berhasil tidaknya proses pengobatan
seseorang. Hal ini disebabkan, tidak banyak dari mereka yang keinginan
sembuhnya datang dari dalam dirinya sendiri, lebih banyak penderita
membutuhkan dukungan keluarga. Dukungan keluarga yang diberikan
dalam

penelitian

ini

meliputi

dukungan

emosional,

dukungan

penghargaan, dukungan materi, dukungan informasi.


Dukungan yang didapat dari keluarga ini sangat penting untuk
keberlangsungan terapi karena keluarga adalah orang terdekat pasien yang
selalu dapat memantau dan mengawasi pasien terutama pada saat
semangat pasien untuk mengikuti terapi menurun. Meskipun demikian
masih

banyak

penderita

HIV/AIDS

yang

merasakan

dukungan

keluarganya masih kurang, hal ini disebabkan oleh tingginya stigma yang
terkait dengan penyakit HIV/AIDS sehingga anggota keluarga yang
menderita penyakit ini seringkali dianggap telah melanggar norma-norma
dalam kelurga dan memalukan keluarga sehingga seringkali dikucilkan
atau ditelantarkan bahkan diisolasi dari lingkungan sosial.

Hal ini mendukung pendapat Friedman (1998) yang menyatakan


bahwa tugas keluarga dalam masalah kesehatan adalah mengenal masalah
kesehatan setiap anggotanya, mengambil keputusan untuk melakukan
tindakan yang tepat bagi keluarga, merawat anggotannya yang sakit,
menjaga kondisi rumah yang menguntungkan dan pemanfaatan fasilitas
kesehatan yang ada.
Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Evarina (2011)
bahwa mayoritas penderita HIV/AIDS di Medan memiliki dukungan
keluarga dengan kategori cukup yaitu 15 (50%) orang responden, baik 13
(43,3%) orang responden dan kurang 2 (6,7%) orang responden.
5.3.

Gambaran Kepatuhan Program Pengobatan


Hasil penelitian mengenai kepatuhan diketahui bahwa sebagian
besar responden patuh dalam program pengobatan HIV/AIDS yaitu
sebanyak 34 responden (81%) dan yang tidak patuh dalam pengobatan
hanya sebanyak 8 responden (19%).
Hal ini berarti pasien terapi HIV/AIDS di RSUD dr. Soediran
Mangun Sumarso Wonogiri dalam melaksanakan pengobatan mereka
ternyata sangat mematuhi saran dokter atau profesional kesehatan sesuai
dengan ketentuan yang diberikan oleh dokter atau profesional kesehatan.
Hal ini disebabkan oleh lamanya waktu terapi membuat para pasien yang
tidak patuh tidak dapat bertahan dalam terapi sehingga mereka berhenti
dari terapi, dan pada akhirnya hanya pasien-pasien yang patuh saja yang

tersisa dan dapat bertahan dalam mengikuti terapi. Pasien-pasien yang


dapat bertahan tersebut yang kemudian diteliti oleh penulis sehingga
membuat hasil tingkat kepatuhan pasien menjadi tinggi. dipengaruhi oleh
keinginan pasien untuk sembuh karena melihat beberapa dari teman
mereka yang sama-sama mengikuti terapi ada yang telah dinyatakan clean
(bersih) dan dinyatakan telah selesai dalam mengikuti terapi.
5.4.

Hubungan

Dukungan

Keluarga

dengan

Kepatuhan

Program

Pengobatan
Pasien yang telah dinyatakan HIV positif, penting untuk bekerja
sama dan berbicara secara terbuka dengan penyedia layanan kesehatan.
Karena gejala HIV sering tidak terlihat sampai infeksi telah benar-benar
maju, melakukan pengawasan sistem kekebalan tubuh dapat membantu
menentukan seberapa banyak infeksi sistem anda telah mengambil alih.
Tes CD4 Reguler (yang menunjukkan berapa banyak sel per milimeter
kubik dalam darah) dapat memberikan pemahaman yang berharga
mengenai keadaan sistem kekebalan tubuh. Semakin rendah jumlah CD4,
alasan yang miliki untuk memulai terapi obat karena sistem kekebalan
tubuh melemah (Epigee,2009).
Hasil uji statistik dengan menggunakan uji spearman diperoleh
nilai Spearman's rho ( rs ) sebesar 0,398 dengan probabilitas (p) sebesar
0,009, hasil ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara dukungan

keluarga dengan program pengobatan pasien HIV/AIDS di Poliklinik VCT


RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri. Maka hipotesa diterima
yaitu terdapat ada hubungan antara dukungan keluarga dengan program
pengobatan pasien HIV/AIDS.
Menurut pengamatan peneliti, dukungan keluarga merupakan salah
satu yang mejadi motivasi penderita HIV selain dari program-program
yang ditetapkan oleh rumah sakit dalam menjalani program pengobatan.
Berdasarkan hasil penelitia yang dilakukan oleh disarnakan kepada
keluarga dari pada HIV/AIDS untuk mendukung, memperhatikan dan
memberikan penjelasan maupun saran-saran yang dapat memotivasi pasien
dalam menjalani program pengobatan HIV AIDS.
Sistem dukungan adalah segala fasilitas berupa dukungan yang
diberikan kepada klien yang bersumber dari keluarga, teman dan
masyarakat disekitarnya. Model terapi dukungan merupakan model
psikoterapi baru yang mulai digunakan diberbagai negara seperti rumah
sakit, klinik psikiatri atau kehidupan masyarakat (Stuart & Sundeens,
1998).
Bahwa baik efek-efek penyangga (dukungan keluarga menahan
efek-efek negatif dari stres terhadap kesehatan) dan efek-efek utama
(dukungan keluarga secara langsung mempengaruhi akibat-akibat dari
kesehatan) pun ditemukan. Sesungguhnya efek-efek penyangga dan utama
dari dukungan sosial terhadap kesehatan dan kesejahteraan boleh jadi

berfungsi bersamaan. Secara lebih spesifik, keberadaan dukungan sosial


yang adekuat terbukti berhubungan dengan menurunnya mortalitas, lebih
mudah sembuh dari sakit dan dikalangan kaum tua, fungsi kognitif, fisik
dan kesehatan emosi (Friedman, 2010).
Hasil penelitian ini mendukung pendapat Suparyanto (2014) bahwa
faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan antara lain: pemahaman
tentang intruksi, tingkat pendidikan, umur, kesakitan dan pengobatan,
keyakinan, sikap dan kepribadian, dukungan keluarga, tingkat ekonomi,
dukungan sosial, perilaku sehat dan dukungan profesi kesehatan.
Hasil ini juga mendukung penelitian yang dilakukan

Evarina

(2011) bahwa ada Pengaruh Dukungan Keluarga terhadap Program


Pengobatan HIV AIDS di Posyansus Rumah Sakit Umum Pusat Haji
Adam Malik Medan Tahun 2011, hal ini dibuktikan dari uji chi square
dimana nilai P= 0,003 (P<0,05). Penelitian lain yang dilakukan Ika
Silvitasari, dkk (2013, juga menunjukkan ada hubungan efektivitas
dukungan keluarga terhadap kepatuhan pengobatan ARV pada penderita
HIV-AIDS Komunitas Sebaya Kartasura (p = 0,000 < 0,05).

BABVI
PENUTUP

6.1.

Simpulan

6.1.1. Karakteristik pasien HIV/AIDS di Wilayah Kerja UPT Puskesmas


Sumberjambe sebagian besar berumur 33-46 tahun (45,3%), paling banyak

berjenis kelamin perempuan (54,8%), berpendidikan paling banyak SD


(45,2%), sebagian besar tidak bekerja (42,1%), dan telah menjalani
pengobatan selama 2-8 bulan (50%).
6.1.2. Dukungan keluarga terhadap pasien HIV/AIDS di Wilayah Kerja UPT
Puskesmas Sumberjambe dalam kategori baik (57,1%).

6.1.3. Kepatuhan pasien HIV/AIDS dalam progam pengobatan di Wilayah Kerja


UPT Puskesmas Sumberjambe sebagian besar dalam kategori patuh (81%).

6.1.4. Terdapat hubungan yang cukup antara dukungan keluarga dengan


kepatuhan program pengobatan pasien HIV/AIDS di Wilayah Kerja UPT
Puskesmas Sumberjambe ( rs = 0,398 ; p = 0,009).

72

73

6.2.

Saran
6.2.1. Bagi Pasien
Penulis mengharapkan agar pasien selalu menjalin hubungan yang
baik dengan keluarga karena dukungan keluarga merupakan suatu
kebutuhan yang sangat penting dalam memberikan motivasi, nutrisi,
makan, minum dan obat-obatan pasien untuk menjalankan program
pengobatan. Dengan hal ini maka prosedur tetap program pengobatan yang
ada dapat dijalani dengan baik.
6.2.2. Bagi Keluarga
Penulis menyarankan kepada keluarga untuk selalu memberikan
dukungan, motivasi dan memenuhi kebutuhan pasien sehari-hari baik
fisiologi maupun psikologi selama menjalani program pengobatan,
sehingga program pengobatan dapat lancar sesuai dengan protap
6.2.3. Bagi Rumah Sakit
Bagi rumah sakit diharapkan dengan mengetahui keefektivan
dukungan keluarga terhadap kepatuhan pengobatan ARV pada penderita
HIV-AIDS, dapat meningkatkan kualitas dukungan keluarga untuk
memberikan konseling kepada penderita HIV-AIDS
6.2.4. Bagi Peneliti Selanjutnya
Peneliti selanjutnya diharapkan dapat melakukan penelitian dengan
desain dan variabel lebih banyak lagi sehingga mampu mengetahui faktorfakto r lain yang mempengaruhi kepatuhan terapi antiretroviral.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S., (2006). Prosedur Penelitian Edisi Revisi IV. Jakarta : Penerbit
Rineka Cipta.
Bart, Smet, 1994. Psikologi Kesehatan. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana
Indonesia.
Budiarto, Eko. (2005). Metodologi Penelitian Kedokteran. Jakarta:EGC
Chesney, 2000. Patient Care Committee & Adherence Working Group Of The
Outcomes Committee Of The Adult Aids Clinical Trials Group (AACTG):
Department of Medicine, Division of Infectious Disease , Indiana
University , Indianapolis, Indiana.
Cobb, M. H., 2002. Pharmacological Inhibitors of MAPK Pathways. Trends in
Pharmacological Sciences.
Departemen Kesehatan Wonogiri, 2015. Profil Kesehatan Provinsi Jawa tenggah
Tahun 2014.
Ditjen PPM dan PL Depkes RI. 2014. Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia di
Laporkan Januari-Desember 2014. www.spiritia.ro.id/start/statcurr.pdf.
Diakses 2 Juni 2015.
Dinna,

2009.
Kepatuhan
Minum
Obat
(Compliance).
windiasari.blogspot.com. Diakses 2 Juni 2015.

dinna-

Dirjen P3L Kemenkes RI, 2011. Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral, Edisi
II. Jakarta:Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan.
Evarina, dkk, 2011. Pengaruh Dukungan Keluarga Terhadap Program
Pengobatan Pasien HIV/AIDS di Posyansus RSUP Haji Adam Malik
Medan. sari-mutiara.ac.id. Diakses tanggal 23 Juni 2015
Firman, Herdiansyah., 2014. Usia Produktif Peringkat Pertama HIV/AIDS.
firmanherdiansyah045.blogspot.com. Diakses tanggal 23 Desember
2015.

74

75

Friedman, Marlyn, M., 2010. Buku Ajar Keperawatan Keluarga Riset, Teori, dan
Praktek, Edisi ketiga. Jakarta: EGC.
Githa, 2013. Kepatuhan pengobatan antiretroviral pada Pasien HIV/AIDS di
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. journal.uad.ac.id.
Diakses tanggal 23 Mei 2015.
Hasan, Ramadhan,. 2013. Jurnal Perempuan; Media Indonesia, Rabu 21 Agustus
2013. hasan@jurnalperempuan.com. Diakses 23 Desember 2015.
Haynes, McDonald, Garg, & Montague, 2002. AIDS and Non-AIDS Morbidity
and Mortality Across the Spectrum of CD4 Cell Counts in HIV-Infected
Adults Before Starting Antiretroviral Therapy in Co te dIvoire vol 54.
http://ncbi.nml.nih.gov/m/pudmed/22173233/. Diakses tanggal 23 Mei
2015.
Ika, Silvitasari, Hermawati, Martini, 2014. Efektivitas dukungan keluarga
terhadap kepatuhan pengobatan ARV pada ODHA di kelompok
dukungan sebaya Kartasura. ws.ub.ac.id. Diakses tanggal 23 Juni 2015.
Kemenkes RI., 2011. Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan
Terapi Antiretroviral Pada Orang Dewasa. Jakarta: Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia.
KPAN, 2010. Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanggulangan HIV Dan
AIDS Tahun 2010 - 2014. Jakarta: Komisi Penanggulangan AIDS (KPA)
Nasional.
Lukman Ali et al, 1999. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:Balai Pustaka.
Monalia, 2012. Pengolahan Data (Editing, Coding, Recording, & Cleaning).
monaliasakwati.blogspot.com. Diakses tanggal 23 Juli 2015.
Muliawan, B.T., 2008. Pelayanan Konseling Akan Meningkatkan Kepatuhan
Pasien Pada Terapi Obat. http://www.binfar.depkes.go.id/def_menu.php.
Diakses tanggal 23 Juni 2015.
Nasronudin dan Maramis. 2007. Konseling, Dukungan, Perawatan, dan
Pengobatan ODHA. Surabaya : Airlangga University Press.
Notoatmodjo, 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : PT Rineka Cipta.
Nursalam,

2009.

Konsep

dan

Penerapan

Metodologi

Ilmu
Keperawatan. Jakarta: PT Salemba medika.

Penelitian

Spiritia, 2012. Hubungan yang Konsisten antara Depresi dan Kepatuhan yang
rendah terhadap terapi HIV. http://spritia.or.id. Diakses tanggal 23 Juni
2015.
Sudoyo, Aru, W., 2009. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : InternaPublishing.
Suparyanto, 2014. Konsep Keluarga. dr-suparyanto.blogspot.com. Diakses
tanggal 23 Juni 2015.
UNAIDS, 2008. Report on the global HIV/AIDS epidemic. WHO Library
Cataloguing-in-Publication Date.
Zubari, Djoerban., 2012. Meningkatkan Tes HIV dan Terapi ART di Indonesia.
File Presentasi Disampaikan pada Acara Pokdisus Award 2012. Jakarta :
UPT HIV RSCM.

Anda mungkin juga menyukai