Lapkas
Lapkas
Presenter
: dr. Ayu Indah Putri
Pendamping : dr. Saidi M G , dr. Pipin A
No. Reg :
05. 57. 40
Terdaftar Sejak:
Deskripsi : Laki-laki berumur 43 tahun datang dengan keluhan batuk berdahak sejak 6 bulan
yang lalu dan memberat sejak 3 bulan ini. Batuk berdahak berwarna kuning. Demam (+)
hilang timbul selama 6 bulan ini dan memberat pada malam hari. Keringat pada malam hari
(+). Berat badan menurun 2 kg selama 1 bulan ini. Sesak nafas (+) di alami os selama 3 bulan
ini dan sesak nafas tidak berhubungan dengan cuaca dan aktivitas. Os selama ini berobat ke
mantri .
2. Riwayat Pengobatan : pasien tidak mengetahui obat apa yang diberikan oleh mantri
3. Riwayat Kesehatan/penyakit : 4. Riwayat Keluarga : 5. Riwayat Pekerjaan : Wiraswasta
Hasil Pembelajaran
Definisi dan Etiologi Tuberculosis Paru
Patofisiologi, Gejala Klinis Tuberculosis Paru
Subjektif :
Deskripsi : Laki-laki berumur 43 tahun datang dengan keluhan batuk berdahak sejak 6
bulan yang lalu dan memberat sejak 3 bulan ini. Batuk berdahak berwarna kuning, batuk
dahak bercampur darah (-). Demam (+) hilang timbul selama 6 bulan ini dan memberat
pada malam hari. Keringat pada malam hari (+). Berat badan menurun 2 kg selama 1
bulan ini. Sesak nafas (+) di alami os selama 3 bulan ini dan sesak nafas tidak
berhubungan dengan cuaca dan aktivitas. Os selama ini berobat ke mantri . Riwayat
penyakit terdahulu :
Objektif :
Keadaan Umum : Compos mentis
Vital sign :
TD = 100/40 mmHg
HR = 84 x/i
RR = 24 x/i
T = 37OC
Status Generalis
Kepala
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), reflek cahaya (+/+), pupil
isokor (3 mm)
T/H/M : Dalam batas normal
Leher : Pemb. KGB (-)
Pulmo
Inspeksi
: pergerakan dada simetris, ketinggalan pernafasan (-), tulang iga
tampak menonjol.
Palpasi
: stem fremitus kiri=kanan
Abdomen
Inspeksi : simetris
Palpasi
: soepel, hepar dan lien tidak teraba
Auskultasi : peristaltik (+), Asites (-)
Perkusi : timpani
Ekstremitas
Akral hangat, deformitas (-)
Pemeriksaan laboratorium:
Darah Rutin
Tanggal 22 Juli 2016
Pemeriksaan
Unit
Hasil
Normal
HB
gr %
7,5
12.0 - 16.0
Trombosit
ribu/mm3
561.000
150 450
Eritrosit
juta/mm3
3,38
3.8 5.8
Leukosit
10/mm3
9.300
4000-10.000
Ht
25,1
35.0 50.0
MCV
m3
74,3
82-95
MCH
Pg
22,1
27-31
MCHC
gram/dL
29,8
31.5 35.0
Nilai PCT
0,460
0.100-0.500
Nilai RDW
17,6
10.0-15.0
Nilai MPV
m3
8,2
6.5-11.0
Nilai PDW
14,5
10.0-18.0
Glucose ad Random
mg/dL
145
200
Faal Ginjal
Tanggal 22 Juli 2016
Pemeriksaan
Ureum
Creatinin
Hasil
30
0,9
Normal
17-43
L : 0.9-1.3
P : 0.6-1.1
Satuan
mg/dl
mg/dl
Faal Hati
Tanggal 22 Juli 2016
Pemeriksaan
SGOT (AST)
Hasil
36
Satuan
mg/dl
SGPT (ALT)
20
Normal
L : < 31
P : < 35
L : < 35
P : < 45
Profil lipid
Tanggal 22 Juli 2016
Pemeriksaan
Cholesterol
Hasil
143
Normal
<200
Satuan
mg/dl
Spesimen dahak
A ( Sewaktu )
B ( Pagi )
C ( Sewaktu )
mg/dl
Hasil
++
++
++
Diagnosis
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang diagnosis
kasus ini adalah: Tuberculosis Paru lesi luas + Infeksi sekunder
Penatalaksanaan
Konsul Sp.JP
Non medikamentosa:
Tirah baring
Medikamentosa
O2 2-4 l/i
Salbutamol 3x2mg
FOLLOW UP
Tanggal 23,24,25 Juli 2016
S
O2 2-4 l/i
IVFD RL S/L Amino fluid 10 gtt/menit
Inj Ceftriaxone 1gr/12 jam
Inj Ranitidin 1 amp/ 12 jam
OAT FDC 1x3 tab 2 jam pc
Salbutamol 3x2mg
Ambroxol syr 3xc1
O2 2-4 l/i
IVFD RL S/L Amino fluid 10 gtt/menit
Inj Ceftriaxone 1gr/12 jam
Inj Ranitidin 1 amp/ 12 jam
OAT FDC 1x3 tab 2 jam pc
Salbutamol 3x2mg
Ambroxol syr 3xc1
O2 2-4 l/i
IVFD RL S/L Amino fluid 10 gtt/menit
Inj Ceftriaxone 1gr/12 jam
Inj Ranitidin 1 amp/ 12 jam
OAT FDC 1x3 tab 2 jam pc
Salbutamol 3x2mg
Ambroxol syr 3xc1
+ asam mefenamat 500 mg (k/p)
Ciprofloxacin 2x500mg
Ibuprofen 3x400 (k/p)
OAT FDC 1x3 tab 2 jam pc
Salbutamol 3x2mg
Ambroxol syr 3xc1
OMZ 1x1
Pasien PBJ
Tinjauan Pustaka
6.1. Tuberculosis
6.1.1
Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis
complex. Pasien dapat dikatakan suspek TB jika terdapat gejala atau tanda TB yang meliputi
batuk produktif lebih dari 2 minggu dan disertai dengan gejala pernapasan (sesak napas, nyeri
dada, hemoptisis) dan/atau gejala tambahan meliputi tidak nafsu makan, penurunan berat badan,
keringat malam, dan mudah lelah). Sedangkan yang dimaksud dengan kasus TB pasti adalah
pasien TB dengan ditemukan Mycobacterium tuberculosis complex yang diidentifikasi dari
spesimen klinik (jaringan, cairan tubuh, usap tenggorok,dll) dan kultur. Pada negara dengan
keterbatasan kapasitas laboratorium dalam mengidentifikasi M. Tuberculosis maka kasus TB
paru dapat ditegakkan apabila ditemukan satu atau lebih dahak BTA positif
6.1.2
Epidemiologi
6.1.3
BIOMOLEKULER M.Tuberculosis
molekul 14 kDa (kiloDalton), 19 kDa, 38 kDa, 65 kDa yang memberikan sensitiviti dan
spesifisiti yang bervariasi dalam mendiagnosis TB. Ada juga yang menggolongkan antigenM.
tuberculosis dalam kelompok antigen yang disekresi dan yang tidak disekresi (somatik). Antigen
yang disekresi hanya dihasilkan oleh basil yang hidup, contohnya antigen 30.000 a, protein MTP
40 dan lain lain.
6.1.4
Patogenesis
a. Tuberculosis Primer
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan paru
sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumoni, yang disebut sarang primer atau afek primer.
Sarang primer ini mungkin timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang
reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus
(limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus
(limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional dikenal sebagai
kompleks primer. Kompleks primer ini akan mengalami salah satu nasib sebagai berikut :
1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad integrum)
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis fibrotik,
sarang perkapuran di hilus
3. Menyebar dengan cara :
sembuh secara spontan, akan tetetapi bila tidak terdapat imuniti yang adekuat,
penyebaran ini akan menimbulkan keadaan cukup gawat seperti tuberkulosis
milier, meningitis tuberkulosis, typhobacillosis Landouzy. Penyebaran ini juga
dapat menimbulkan tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang,
ginjal, anak ginjal, genitalia dan sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini
mungkin berakhir dengan : Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya
pertumbuhan terbelakang pada anak setelah mendapat ensefalomeningitis,
tuberkuloma ) atau Meninggal. Semua kejadian diatas adalah perjalanan
tuberkulosis primer.
b. Tuberculosis Postprimer
Tuberkulosis postprimer akan muncul bertahun-tahun kemudian setelah tuberkulosis
primer, biasanya terjadi pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis postprimer mempunyai nama yang
bermacam-macam yaitu tuberkulosis bentuk dewasa, localized tuberculosis, tuberkulosis
menahun, dan sebagainya. Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama menjadi masalah kesehatan
masyarakat, karena dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis postprimer dimulai dengan
sarang dini, yang umumnya terletak di segmen apikal lobus superior maupun lobus inferior.
Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumoni kecil. Sarang pneumoni ini akan
mengikuti salah satu jalan sebagai berikut :
1. Diresopsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat
2. Sarang tersebut akan meluas dan segera terjadi proses penyembuhan dengan
penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan terjadi pengapuran dan akan sembuh
dalam bentuk perkapuran. Sarang tersebut dapat menjadi aktif kembali dengan
membentuk jaringan keju dan menimbulkan kaviti bila jaringan keju dibatukkan
keluar.
3. Sarang pneumoni meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). Kaviti akan
muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti awalnya berdinding tipis,
kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti sklerotik). Kaviti tersebut akan
menjadi:
bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity, atau kaviti
menyembuh dengan membungkus diri dan akhirnya mengecil. Kemungkinan
berakhir sebagai kaviti yang terbungkus dan menciut sehingga kelihatan
seperti bintang (stellate shaped).
Untuk lebih memahami berbagai aspek tuberkulosis, perlu diketahui proses patologik
yang terjadi. Batuk yang merupakan salah satu gejala tuberkulosis paru, terjadi karena kelainan
patologik pada saluran pernapasan akibat kuman M.tuberculosis. Kuman tersebut bersifat
sangat aerobik, sehingga mudah tumbuh di dalam paru, terlebih di daerah apeks karena pO2
alveolus paling tinggi. Kelainan jaringan terjadi sebagai respons tubuh terhadap kuman. Reaksi
jaringan yang karakteristik ialah terbentuknya granuloma, kumpulan padat sel makrofag.
Respons awal pada jaringan yang belum pernah terinfeksi ialah berupa sebukan sel radang, baik
sel leukosit polimorfonukleus (PMN) maupun sel fagosit mononukleus. Kuman berproliferasi
dalam sel, dan akhirnya mematikan sel fagosit. Sementara itu sel mononukleus bertambah
banyak dan membentuk agregat. Kuman berproliferasi terus, dan sementara makrofag (yang
berisi kuman) mati, sel fagosit mononukleus masuk dalam jaringan dan menelan kuman yang
baru terlepas. Jadi terdapat pertukaran sel fagosit mononukleus yang intensif dan
berkesinambungan. Sel monosit semakin membesar, intinya menjadi eksentrik, sitoplasmanya
bertambah banyak dan tampak pucat, disebut sel epiteloid. Sel-sel tersebut berkelompok padat
mirip sel epitel tanpa jaringan diantaranya, namun tidak ada ikatan interseluler dan bentuknya
pun tidak sama dengan sel epitel.
Sebagian sel epiteloid ini membentuk sel datia berinti banyak, dan sebagian sel datia ini
berbentuk sel datia Langhans (inti terletak melingkar di tepi) dan sebagian berupa sel datia benda
asing (inti tersebar dalam sitoplasma). Lama kelamaan granuloma ini dikelilingi oleh sel limfosit,
sel plasma, kapiler dan fibroblas. Di bagian tengah mulai terjadi nekrosis yang disebut perkijuan,
dan jaringan di sekitarnya menjadi sembab danjumlah mikroba berkurang. Granuloma dapat
mengalami beberapa perkembangan , bila jumlah mikroba terus berkurang akan terbentuk
simpai jaringan ikat mengelilingi reaksi peradangan. Lama kelamaan terjadi penimbunan garam
kalsium pada bahan perkijuan. Bila garam kalsium berbentuk konsentrik maka disebut cincin
Liesegang . Bila
sentrifugal, terbentuk pula granuloma satelit yang dapat berpadu sehingga granuloma membesar.
Sel epiteloid dan makrofag menghasilkan protease dan hidrolase yang dapat mencairkan bahan
kaseosa. Pada saat isi granuloma mencair, kuman tumbuh cepat ekstrasel dan terjadi perluasan
penyakit.
Reaksi jaringan yang terjadi berbeda antara individu yang belum pernah terinfeksi dan
yang sudah pernah terinfeksi. Pada individu yang telah terinfeksi sebelumnya reaksi jaringan
terjadi lebih cepat dan keras dengan disertai nekrosis jaringan. Akan tetapi pertumbuhan kuman
tertahan dan penyebaran infeksi terhalang. Ini merupakan manifestasi reaksi hipersensitiviti dan
sekaligus imuniti.
6.1.5
KLASIFIKASI TUBERKULOSIS.
A. TUBERKULOSIS PARU
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk
pleura (selaput paru)
1. Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA) TB paru dibagi dalam :
a. Tuberkulosis Paru BTA (+)
Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA
positif
Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan
kelainan radiologik menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif
Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan
biakan positif
b. Tuberkulosis Paru BTA (-)
Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran
klinik dan kelainan radiologik menunjukkan tuberkulosis aktif serta tidak
respons dengan pemberian antibiotik spektrum luas
Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan
M.tuberculosis positif
Jika belum ada hasil pemeriksaan dahak, tulis BTA belum diperiksa
2. Berdasarkan Tipe Penderita
Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa
tipe penderita yaitu :
a. Kasus baru Adalah penderita yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT
atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian)
b. Kasus kambuh (relaps) Adalah penderita tuberkulosis yang sebelumnya
pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak
BTA positif atau biakan positif. Bila hanya menunjukkan perubahan pada gambaran
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak,
selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran
kencing, alat kelamin, dll. Diagnosis sebaiknya didasarkan atas kultur spesimen positif, atau
histologi, atau bukti klinis kuat konsisten dengan TB ekstraparu aktif, yang selanjutnya
dipertimbangkan oleh klinisi untuk diberikan obat anti tuberkulosis siklus penuh. TB di luar paru
dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakit, yaitu :
1. TB di luar paru ringan
Misalnya : TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang
belakang), sendi dan kelenjar adrenal.
2. TB diluar paru berat
Misalnya : meningitis, millier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral,
TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kencing dan alat kelamin.
Catatan :
Yang dimaksud dengan TB paru adalah TB pada parenkim paru. Sebab itu TB
pada pleura atau TB pada kelenjar hilus tanpa ada kelainan radiologik paru,
dianggap sebagai penderita TB di luar paru.
Bila seorang penderita TB paru juga mempunyai TB di luar paru, maka untuk
kepentingan pencatatan penderita tersebut harus dicatat sebagai penderita TB
paru. Bila seorang penderita ekstra paru pada beberapa organ, maka dicatat
sebagai ekstra paru pada organ yang penyakitnya paling berat.
6.1.6
Diagnosis
A. GAMBARAN KLINIK
Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan
fisik/jasmani, pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan pemeriksaan penunjang lainnya
Gejala klinik
Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala respiratorik (atau
gejala organ yang terlibat) dan gejala sistemik.
1. Gejala respiratorik
batuk 3 minggu
batuk darah
sesak napas
nyeri dada
Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala
yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang penderita terdiagnosis pada saat medical
check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka penderita mungkin tidak ada
gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan
untuk membuang dahak ke luar.
Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada
limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah
bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat gejala meningitis, sementara pada pleuritis
tuberkulosa terdapat gejala sesak napas & kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya
terdapat cairan.
2. Gejala sistemik
Demam
gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan
menurun
Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ yang terlibat.
Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru. Pada
permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan
kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apex
dan segmen posterior , serta daerah apex lobus inferior. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan
antara lain: suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda
penarikan paru, diafragma & mediastinum.
Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari banyaknya cairan
di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang melemah
sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan.
Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersering di
daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-kadang di daerah ketiak.
Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi cold abscess
6.1.7
Pemeriksaan Penunjang
A. Pemeriksaan Bakteriologik
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai arti yang
sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat
berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan
bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi
jarum halus/BJH).
Pemeriksaan
bakteriologik
yang
paling
sering
dilakukan
adalah
pemeriksaan
bakteriologik yang berasal dari dahak. Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS) yaitu :
- Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
- Pagi ( keesokan harinya )
- Sewaktu / spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi)
Pemeriksaan bakteriologi dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan pleura, liquor
cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar /BAL, urin, faeces
dan jaringan biopsi, termasuk BJH) dapat dilakukan dengan cara mikroskopik dan biakan.
Namun teknik yang paling sering di gunakan adalah pemeriksaan mikroskopik yaitu :
Mikroskopik biasa
: pewarnaan Ziehl-Nielsen
Mikroskopik fluoresens
screening)
ginjal, penggunaan ACE-inhibitor serta obat potassium sparring. Pada gagal jantung kongestif,
tes fungsi hati (bilirubin,AST,LDH) gambarannya abnormal karena kongesti hati. Pemeriksaan
profil lipid, albumin serum, fungsi tiroid dianjurkan sesuai kebutuhan.
Pemeriksaan penanda BNP (B tipe natriuretik peptide) sebagai penanda biologis gagal
jantung dengan kadar BNP plasma 100 pg/ml dan plasma NT pro-BNP adalah 300 pg/ml.
Pemeriksaan radionuklir atau multigated ventrikulografi dapat mengetahui ejection faction , laju
pengisian sistolik, laju pengosongan diastolik, dan abnormalitas dari pergerakan dinding.
Troponin-I atau T harus diambil pada pasien yang diduga gagal jantung ketika klinis
menunjukkan sebuah sindrom koroner akut (ACS). Sebuah peningkatan troponin jantung
menunjukkan nekrosis miosit dan potensi revaskularisasi harus dipertimbangkan dan sesuai
diagnosis. Peningkatan troponin juga terjadi di miokarditis akut. Peningkatan troponin jantung
ringan sering terlihat pada gagal jantung parah atau selama episode gagal jantung dekompensasi
pada pasien tanpa bukti miokard skemia akibat ACS dan dalam situasi seperti sepsis.
Angiografi dikerjakan pada nyeri dada berulang akibat gagal jantung. Angiografi
ventrikel kiri dapat mengetahui gangguan fungsi yang global maupun segmental serta
mengetahui tekanan diastolik, sedangkan kateterisasi jantung kanan untuk mengetahui tekanan
sebelah kanan (atrium kanan, ventrikel kanan dan arteri pulmonalis) serta pulmonary artery
capillary wedge pressure.
6.1.8
Penatalaksanaan.
Riwayat angioedema
Jenis obat : Captopril (starting dose 6,25 mg t.i.d dan target dose 50mg t.i.d), Enalapril (starting
dose 25 mg b.i.d dan target dose 10-20 mg b.i.d), Lisinopril (starting dose 2,5-5,0 mg o.d dan
target dose 20-35 mg t.i.d)
Blocker
Indikasi :
LVEF 40 %
Gejala ringan sampai berat (NYHA fungsional kelas II-IV), pasien dengan disfungsi LV
sistolik tanpa gejala setelah MI juga memiliku inidikasi untuk blocker.
Untuk meningkatkan dosis optimal suatu ACE-I atau ARB (dan aldosteron antagonis juga
diindikasikan)
Pasien garus secara klinis stabil (misalnya tidak ada perubahan terbaru dalam dosis
diuretic).
Kontraindikasi :
Penyakit Asma
Second or third degree heart block, sindrom sinus sakit, sinus bradikardia.
Jenis obat : Bisoprolol (starting dose 1,25 mg o.d dan target dose 10 mg o.d), Carvedilol (starting
dose 3,125 mg b.i.d dan target dose 25-50 mg b.i.d)
Antagonis Aldosteron
Indikasi :
LVEF 35%
Kontraindikasi :
Jenis obat : Eplerenone (starting dose 25 mg o.d dan target dose 50 mg o.d), Spironolactone
(starting dose 25 mg o.d dan target dose 25-50 mg o.d).
Angiotensin Reseptor Blocker
Indikasi :
LVEF 40%
Sebagai alternative pada pasien dengan gejala ringan sampai berat (fungsional NYHA
kelas II-IV) tidak toleran ACE-I
Atau pada pasien dengan gejala persisten (NYHA kelas fungsional II-IV) meskipun
perawatan dengan ACE-I dan -Blocker.
ARB dapat menyebabkan perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia, dan gejala hipotensi
dengan kejadian yang mirip dengan ACE-I. Mereka tidak menyebabkan batuk.
Kontraindikasi :
Sebuah ARB hanya boleh digunakan pada pasien dengan fungsi ginjal dan konsentrasi
kalium serum normal, serial pemantauan elektrolit serum dan fungsi ginjal adalah wajib,
terutama jika suatu ARB digunakan bersama dengan ACE-I.
Jenis obat : Candesartan (starting dose 4-8 mg o.d dan target dose 32 mg o.d), Valsartan (starting
dose 40 mg b.i.d dan target dose 160 mg b.i.d), Losartan (starting dose 50 mg o. d dan target
dose 150 mg o.d)
Hydralazine dan Isosorbide Dinitrate
Indikasi :
Alternatif ke ACE-I /ARB ketika kedua yang disebut terakhir tidak ditoleransi.
Seperti add-on terapi ke ACE-I jika antagonis ARB atau aldosteron tidak ditoleransi.
Kontraindikasi :
Gejala hipotensi
Sindrom Lupus.
Dosis : kombinasi fixed dose (starting dose 37,5 mg hydralazine/ 20 mg isosorbide dinitrate t.i.d,
target dose 75 mg hydralazine/ 40 mg isosorbide dinitrate t.i.d), hydralazine dan isosorbide
dinitrate (starting dose hydralazine 25-50 mg/ 3-4/hari dan ISDN 20-30 mg/3-4/hari dan target
dose hydralazine 300 mg/hari dalam dosis terbagi , ISDN 120 mg/hari dalam dosis terbagi).
*t.i.d : ter in die (3 kali sehari), b.i.d : bis in die (2 kali sehari), o.d : omni die (1 kali sehari)
Digoxin
Digoxin biasanya tidak diperlukan pada pasien stabil dengan ritme sinus. Sebuah
perawatan harian dosis tunggal 0,25 mg umumnya digunakan pada orang dewasa dengan fungsi
ginjal normal. Pada orang tua dan pada mereka dengan kerusakan ginjal, mengurangi dosis 0,125
atau 0,0625 mg harus dilakukan. Konsentrasi digoksin harus diperiksa awal selama terapi pada
orang-orang dengan fungsi ginjal normal. Tidak ada bukti bahwa konsentrasi digoksin regular
memberikan hasil yang lebih baik. Konsentrasi serum harus berada di antara 0,6 dan 1,2 mg / ml,
lebih rendah dari yang direkomendasikan sebelumnya. Obat tertentu dapat meningkatan kadar
digoksin.
Diuretik
Diuretik digunakan untuk mengeliminasi natrium dan air melalui ginjal dan menurunkan
volume intravascular dan venous return pada jantung. Dengan itu, preload dari ventrikel kiri
akan berkurang. Jenis-jenis diuretik yang sering digunakan bagi pasien gagal jantung adalah
yang bekerja di lengkung Henle ginjal contohnya furosemide. Diuretik jenis Thiazide contohnya
hydrochlorothiazide juga dapat digunakan namun kurang efektif.
Efek samping dari diuretik yang digunakan adalah penurunan dari cardiac output yang
berkepanjangan dan gangguan elektrolit tubuh (paling sering hipokalemia dan hipomagnesemia).
Terapi sinkronisasi jantung (CRT)
CRT dianjurkan untuk mengurangi morbiditas dan kematian di pasien kelas III-IV NYHA
yang gejala tetap meskipun terapi medis yang optimal, dan yang memiliki EF berkurang (LVEF
35%) dan perpanjangan QRS (QRS lebar 120 ms).
Transplantasi jantung
Transplantasi jantung adalah pengobatan yang diterima untuk gagal jantung stadium
akhir. Meskipun percobaan terkontrol belum pernah dilakukan, ada consensus bahwa
transplantasi, asalkan kriteria seleksi yang tepat diterapkan, secara signifikan meningkatkan
kelangsungan hidup, kapasitas latihan, kembali bekerja, dan kualitas hidup dibandingkan dengan
pengobatan konvensional. Pasien dengan gejala gagal jantung berat, prognosis yang buruk dan
tanpa bentuk alternative pengobatan harus dipertimbangkan untuk transplantasi jantung.
Transplantasi jantung harus dipertimbangkan dalam pasien dengan gagal jantung tahap akhir,
gejala-gejala berat, co morbiditas yang serius, dan tidak ada pemilihan pengobatan alternative.
Gamb
ar 6.2. Algoritme Terapi Pasien Gagal Jantung
6.1.9 Prognosis
Gagal jantung merupakan tahap akhir penyakit jantung yang dapat menyebabkan
meningkatnya mortalitas dan morbiditas penderita penyakit jantung. Prognosis individu pasien
dengan gagal jantung seringkali sulit diprediksi.
DAFTAR PUSTAKA
Arif, Mansjoer, dkk. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, Medica Aesculpalus, FKUI,
Jakarta. 2000.
Dumitru,
I.
Heart
Failure.
2013.
Available
Gopal, M., Karnath, B. Clinical Diagnosis of Heart Failure, University Boulevard. 2009.
Available : http://www.turner-white.com/memberfile.php?PubCode=hp_dec09_heart.pdf
[Last accessed 19 Juli 2016]
Shah, R.V., Fifer, M.A. Heart Failure. In: Lilly, L.S., ed. Pathophysiology of Heart
Disease. 4th ed. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins. 2007;234-242.
Marantz, P.R. The Relationship between left ventricular systolic function and congestive
heart failure diagnosed by clinical criteria. American Heart Association. 2013.
Available : http://circ.ahajournals.org/content/77/3/607.full.pdf [Last accessed 19 Juli
2016]
Panggabean, M. Gagal Jantung. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam PDUI, Jilid 2.
2007;342;1514.