Anda di halaman 1dari 76

Anestesi pada Diabetes Mellitus

PENDAHULUAN
Diabetes mellitus merupakan masalah endokrin yang paling sering dihadapi ahli anestesi dalam melakukan
pekerjaannya. Sebanyak 5 % orang dewasa di Barat mengidap diabetes mellitus, lebih dari 50 % penderita
diabetes mellitus suatu saat mengalami tindakan pembedahan dalam hidupnya dan 75 % merupakan usia lanjut
di atas 50 tahun. Sedangkan di Indonesia angka prevalensi penderita diabetes mellitus adalah 1,5 % dan
diperkirakan 25 % penderita diabetes mellitus akan mengalami pembiusan dan pembedahan. Karena faktor
penyulit inilah mereka lebih banyak memerlukan pembedahan dari pada orang lain.1,2,3
Penyebab tingginya morbiditas dan mortalitas pada diabetes mellitus adalah karena penyulit kronis, hal tersebut
terjadi karena hiperglikemia yang tak terkontrol dalam jangka waktu lama, berupa mikro dan makroangiopati.
Penyulit kronis tersebut berhubungan dengan disfungsi organ seperti penyakit arteri koroner, penyakit
pembuluh darah otak, hipertensi, insufisiensi ginjal, neuropati autonomik diabetik, gangguan persendian
jaringan kolagen (keterbatasan ekstensi leher, penyembuhan luka yang buruk), gastroparesis, dan produksi
granulosit yang inadekuat Oleh karena itu perhatian utama ahli anestesi harus tertuju pada evaluasi preoperatif
dan penanganan penyakit-penyakit tersebut untuk menjamin kondisi preoperatif yang optimal.1,4,5,6
Ada tiga komplikasi akut DM yang mengancam jiwa, yaitu ketoasidosis dabetik, koma non ketotik
hipenosmolor dan hipoglikomia. Penurunan aklifitas insulin meningkatkan katabolisme asam lemak bebas
menghasilkan benda keton (asetoasetat dan hidroksibutirat).
Akumulasi asam-asam organik berakibat timbulnya asidosis metabolik anion-gab yang disebut kotoasidosis
diabetik. Kotoasidosis diabelik dapat diketahui dengan asidosis laktat. Dimana asidosis laktat pada plasma
terjadi peningkatan laktat (>6 mmol/L) dan tidak terdapat aseton dalam urine dan plasma. Ketoasidosis
alkoholik dapat dibedakan dengan ketoasidosis diabetik dari adanya riwayat baru saja mongkonsumsi alkohol
dalam jumlah yang banyak (pesta minum) yang terjadi pada pasien non diabetik dengan kadar glukosa rendah
atau sedikit meningkat.
Manifestasi klinik dari ketoasidosis adalah dyspnue (uji kompensasi untuk asidosis metabolik), nyeri perut yang
menyerupai kolik abdomen, mual dan muntah, dan perubahan sensoris. Penalalaksanaan kotoasidosis diabetik
tergantung pada koreksi hiperglikemia (yang mana jarang melebihi 500 mg/dl), penurunan kalium total tubuh,
dan dehidrasi diinfus dengan insulin, natrium dan cairan isotonis.
Pertentangan akan terjadi antara kebutuhan biaya untuk mengurangi lama rawat inap dan penanganan
perioperatif pasien diabetes mellitus yang tergantung pada periode stabilisasi preoperatif. Kontrol gula darah
yang lebih baik pada penderita yang akan mengalami pembedahan mayor menunjukkan perbaikan morbiditas
dan mortalitas perioperatif. Pencegahan hipoglikemia dan hiperglikemia tidak sesuai lagi untuk perkembangan
pengetahuan saat ini. Sementara terdapat sedikit perbedaan pendapat tentang penanganan pasien yang akan
mengalami tindakan mayor, untuk bedah minor sendiri masih terdapat banyak dilema. Dalam keadaan
bagaimana kasus anestesi dan bedah sehari dapat dikerjakan? Apakah waktu masuk pada saat hari pembedahan
menambah risiko pada pasien? Jika ada, pemeriksaan apa yang dibutuhkan untuk menilai sfetem kardiovaskuler
penderita asimptomatis yang akan dilakukan pembedahan mayor Patut disayangkan, hanya terdapat sedikit data
yang memberikan Jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan ire. Pemahaman patofisiologi dan kepentingan dari
penelitian terbaru akan memperbaiki perawatan perioperatif pasien yang akan mengalami pembedahan.7
Dalam tinjauan kepustakaan ini akan dibahas tentang patofisiologi diabetes mellitus serta penatalaksanaan
persiapan operasi.
DEFINISI
Diabetes mellitus adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh defisiensi insulin ditandai dengan peningkatan
kadar glukosa dalam plasma.8,9
Saat ini, American Diabetes Association (ADA) dan WHO mengeluarkan kriteria diagnostik terbaru. Kedua
badan tersebut menganjurkan penurunan nilai ambang kadar glukosa plasma puasa dan menetapkan klasifikasi
lebih berdasarkan etiologi.7
ADA telah menspesifikasikan bahwa diagnosis diabetes mellitus dibuat jika kadar glukosa plasma sewaktu pada
individu asimtomatik > 11,1 mmol/L (200 mg/dl). Jika kadar glukosa plasma puasa > 7,0 mmol/L (126 mg/dl)
pada individu asimtomatik, pemeriksaan harus diulang pada hari yang berbeda dan diagnosis dibuat jika
nilainya tetap di atas batas ini. ADA menetapkan kadar glukosa plasma diantara 6,1 dan 7,0 mmol/L (110
dan 126 mg/dl) sebagai kadar glukosa plasma puasa terganggu. WHO juga merekomendasikan bahwa diagnosis
diabetes mellitus dibuat jika kadar glukosa plasma sewaktu > 11,1 mmol/L atau 200 mg/dl (darah vena > 10,0
mmol/L atau 180 mg/dl). Diabetes mellitus dapat juga didiagnosis bila kadar glukosa plasma puasa > 7,0
mmol/L (126 mg/dl) dan tes kedua yang serupa atau tes toleransi glukosa oral memberikan .hasil pada batas
diabetes.7
KLASIFIKAS 1 5 7 8 9
Diabetes mellitus diklasifikasikan menjadi 2 tipe utama.

Tipe I (kerusakan sel p pankreas) dan tipe II (gangguan sekresi insulin, dan biasanya retensi insulin)
direkomendasikan untuk menggantikan Istitah insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) dan Non
Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM). Tipe I. Jenis ini paling sering terdapat pada anak-anak
dan dewasa muda. Defisiensi insulin terjadi karena produksi yang rendah yang disebabkan oleh adanya

destruka sel-sel pembuat insulin melalui mekanisme imunologik, sehingga pasien ini selalu
memerlukan insulin sebagai pengobatannya dan cenderung untuk mengalami ketoasidosis jika
insulin dihentikan pemberiannya.

Tipe II . Kelainan ini disebabkan oleh 2 sebab yaitu resistensi insulin dan defisiensi insilin relatif,
muncul pada usia dewasa, pasien tidak cenderung mengalami ketoasidodis, sering kali berbadan gemuk.
Pengobatan penderita ini kadang cukup dengan diet saja, bila perlu dapat diberikan obat anti diabetes
oral dan jarang sekali memerlukan insulin kecuali pada keadaan stres atau infeksi berat.

PATOFISIOLOGI
Pulau-pulau Langerhans yang menjadi sistem endokrinologis dari pankreas tersebar di seluruh pankreas tetapi
berat semuanya hanya 1 - 3% dari berat total pankreas. Besarnya pulau-pulau Langerhans ini berbeda-beda,
yang terkecil adalah 50. sedangkan yang terbesar 300 . Terbanyak adalah yang besarnya antara 100 dan
225 . Jumlah semua pulau Langerhans di pankreas diperkirakan antara 100.000 dan 2.500.00. Pulau-pulau
Langerhans paling kurang tersusun atas tiga jenis sel : sel-sel memproduksi glukagon yang menjadi faktor
hiperglikemik, sel-sel yang mensekresi insulin , dan sel-sel yang membuat somatostatin. Pertama insulin
disintesa sebagai proinsulin diubah menjadi insulin melalui pembelahan proteolitik dan kemudian dibungkus
kedalam butir-butir diantara sel-sel . Sejumlah besar insulin, normalnya kira-kira 200 unit disimpan dalam
pankreas. Sintesa terus berlangsung dengan rangsangan glukosa. Glukosa dan fruktosa merupakan pengatur
utama pelepasan insulin. Stimulator lain dari pelepasan insulin termasuk asam amino, glukagon, hormonhormon gastrointestinal (gastrin, sekretin, cholecystokinin-pancreozymin, dan enteroglucagon), dan asetilkolin.
Epinefrin dan. norepinefrin menghambat pelepasan insulin dengan merangsang reseptor adrenergik dan
merangsang pelepasan insulin pada reseptor adrenergik.5,9
Pada tipe I terjadi defisiensi insulin yang berat menyebabkan mobilisasi asam lemak bebas dari jaringan lemak
dan pelepasan asam amino dari dalam otot. Hiperglikemia terjadi karena dosis insulin yang normal tidak cukup
untuk menandingi meningkatnya kebutuhan insulin. Hati melalui proses glukoneogenesis, akan mengubah asam
amino dan asam lemak bebas membentuk glukosa dan benda keton. Keduanya mempunyai peran penting dalam
timbulnya gejala ketoasidosis. Pada tipe I dijumpai peningkatan glukagon yang merangsang hati untuk
mengubah asam lemak bebas menjadi benda keton. Hipotesis terjadinya tipe I dihubungkan dengan infeksi virus
yang membentuk respon autoimun yang menyebabkan dirusaknya sel beta oleh antibodi. Infeksi oleh virus
dianggap sebagai trigger factor pada mereka yang sudah mempunyai predisposisi genetik terhadap diabetes
mellitus. Virus-virus yang dianggap mempunyai pengaruh adalah : virus coxsackie B, virus
encephalamiokardias, mumps, rubella, cytomegalovirus, mononudeosis infectiosa, varicella dan virus
hepatftis.4,6,7,9
Sedangkan patofisiologi tipe II tidak jelas dipahami, tapi yang pasti ada hubungannya dengan faktor keturunan.
Pada tipe II terjadi defisiensi insulin relatif, hal ini kadang diperberat oleh resistensi insulin yang biasanya
disebabkan karena kegemukan.
Dianggap bahwa kegemukan akan :

Mengurangi jumlah reseptor insulin di sel target

Menyebabkan resistensi terhadap insulin karena perubahan pada post reseptor


- Transport glukosa berkurang
- Menghalangi metabolisme glukosa intraseluler

Menimbulkan faktor-faktor yang bertanggung jawab terhadap defek seluler, berupa:


-

Bertambahnya penimbunan lemak


Bertambah masuknya energi ke dalam tubuh
Komposisi diet (terutama banyak makanan lemak)
Inaktivasi lemak

Pada malnutrisi protein dianggap sel-sel (5 banyak yang rusak. Sedangkan alkohol dianggap menambah risiko
terjadinya
pankreatitis.4,9
Diabetes mellitus meningkatkan risiko iskemik miokard, infark serebrovaskular dan iskemik renal karena
meningkatnya insidensi dari penyakit arteri koronaria, ateromia arterial dan penyakit parenkim ginjal.
Peningkatan mortalitas dijumpai pada semua penderita yang dilakukan -pembedahan dan terutama penderita
tipe I men punyai risiko komplikasi pasca operasi.
Respon stres terhadap pembedahan yang dihubungkan dengan hiperglikenia pada pasien non diabetes sebagai
hasil dari meningkatnya sekresi hormon katabolik pada keadaan defisiensi insulin relatif. Defisiensi ini
berkembang dari kombinasi antara menurunnya sekresi insulin dan resistensi insulin. Sebagian dari resistensi
insulin dihasilkan dari meningkatnya sekresi katekolamin, kortisol dan growth hormone dan melibatkan
perubahan dari ikatan post-reseptor dari insulin dan selanjutnya penurunan dari transport glukosa
transmembran.6,7,9

DIAGNOSIS
Diabetes mellitus dapat diketahui dengan adanya gejala yang timbul sebagai akibat hiperglikemia seperti
pofiuria, polidifsia, pofifagia, penurunan berat badan, gangguan kesadaran, ketosis dan gangguan degeneratif
(neuropati, retinopati, nefropati).9,10
Diagnosis diabetes dapat ditegakkan metafii 3 cara. Dua dari 3 cara ini dapat dikerjakan dengan mudah oleh
dokter di bagian emergensi (Jinat tabef).14
TABEL I : KRITERIA DIAGNOSIS DIABETES MELLITUS

Gejala diabetes + konsentrasi glukosa plasma sewaktu >= 200 mg/dl (11,1 mmol/k). Sewaktu
didefinisikan sebagai setiap saat tanpa memperhatikan waktu terakhir makan. Kadar glnkosa plasma
puasa >= 126 mg/dl (7,0 ,mmmo/L). Puasa didefinisikan sebagai tidak ada asupan kalori dalam 8 jam
terakhir, atau

Kadar glukosa plasma 2 jam setelah minum 75 gram glukosa oral pada tes toleransi glukosa oral >= 200
mg/dl.

Apabila tidak terdapat hiperglikemia yang nyata pada keadaan dekompensasi metabolik akut (seperti
diabetes ketoasidosis atau sindrom hiperglikemik- hiperosmolar-nonketotik), kriteria ini harus
dikonfirmasi dengan mengulang penilaian pada hari yang berbeda. Penilaian yang ketiga (tes toleransi
glukosa oral) tidak dianjurkan untuk penggunaan klinis rutin.

Pada pemeriksaan tes toleransi glukosa oral usia juga harus diperhitungkan, karena respon insulin terhadap
rangsangan karbohidrat akan menurun untuk setiap dekade kehidupan. Penyebab sekunder intoleransi
karbohidrat harus selalu diperhitungkan sebagai diagnosis banding. Penyakit tertentu seperti pankreatitis,
hemokromatosis, feokromositoma dan hipertiroidisme harus selalu disingkirkan terlebih dahulu. Gangguan
primer metabolisme lemak seperti hiperlipidemia primer dapat pula menyebabkan intoleransi karbohidrat
sekunder. Semua penderita hiperglikemia tanpa ketosis harus dicari kemungkinan hipertrigliseridemia.
EFEK PEMBEDAHAN DAN PEMBIUSAN PADA METABOLISME
Diabetes mellitus menggambarkan adanya pengaturan abnormal dan gula darah karena salah satu sebab yaitu
adanya kekurangan insulin retetif atau absolut atau karena resistensi insulin. Kadar gula darah tergantung dari
produksi dan penggunaan gula darah tubuh. Selama pembedahan atau sakit/stres terjadi respon katabolik
dimana terjadi peningkatan sekresi katekolamin, glukagon, korfisol, tetapi di sana juga terjadi penurunan sekresi
insulin. Jadi pembedahan menyebabkan hiperglikemia, penurunan penggunaan gula darah, peningkatan
glukoneogenesis, katabolisme protein. Respon tersebut dipacu tidak hanya oleh nyeri tetapi juga oleh sekresi,
peptida seperti interleukin I dan berbagai hormon termasuk growth hormon dan prolaktin. Efek pembiusan pada
respon tersebut sangat bervariasi. Analgesia epidural tinggi dapat menghambat respon katabolik terhadap
pembedahan dengan cara blokade aferen. dan saraf otonom. Teknik narkotik dosis tinggi (fentanyl 50 /kg)
sebagian dapat mencegah respon stres, sedangkan anestesia umum mempunyai efek menghambat yang lebih
kecil, meskipun dengan pemberian konsentrasi tinggi (2,1 MAC halotan)1,6,11
FAKTOR RISIKO UNTUK PASIEN BEDAH DIABETES
Suatu penelitian memperlihatkan bahwa pasien diabetes mempunyai mortalitas dan morbiditas pasca bedah
lebih tinggi dibandingkan pasien normal. Masalah yang dapat muncul adalah infeksi, sepsis dan komplikasi dari
arteriosklerosis. Suatu penelitian menunjukkan 11 % pasien diabetes mengalami komplikasi miokardiak pada
pasca bedah terutama infeksi pneumonia. Komplikasi jantung terjadi pada 7% dari pasien diabetes, mortalitas
pasca bedah 4%, terutama pada pasien yang sebelumnya menderita penyakit jantung. Penelitian menunjukkan
bahwa pembedahan pada pasien diabetes dapat meningkatkan mortalitas sampai 10 kali, yang disebabkan oleh:
1. Sepsis
2. Neuropati autonomik
3. Komplikasi aterosklerosis (penyakit arteri koroner, stroke, penyakit pembuluh darah perifer)
4. Ketoasidosis dan koma hiperglikemik hiperosmolar1,7
Pada tipe I terjadi proses autoimun yang dapat merusak sistem saraf autonom dan meningkatkan
neuropati autonomik, dengan gejala klinik : hipohidrosis; berkurangnya respon denyut jantung terhadap valsava
maneuver (<5 x/mnt) dan hipotensi ortostatik (penurunan tekanan darah > 30 mmHg pada perubahan posisi
tegak
berdiri).1,6,7
Pasien dengan neuropati autonomik dapat mengalami hipotensi berat setelah pemberian obat anestesi, adanya
peningkatan risiko gastroparesis, aspirasi, episode hipoksia dan retensi urin. Hipotensi dapat terjadi pada 50%
pasien diabetes mellitus dengan neuropati autonomik. Insidensi neuropati autonomik bervariasi tergantung dari
lamanya mengidap penyakit Pirart mencatat laju sebesar 7% dalam 1 tahun setelah diagnosis dan sebesar 50 %

untuk mereka dengan diagnosis yang ditegakkan lebih dari 25 tahun sebelumnya. Burke mendapatkan 1,4 %
pasiennya mengalami variasi laju jantung tak normal. Umumnya disfungsi autonomik meningkat dengan
bertambahnya umur dan lamanya sakit Ada hubungan antara tes refleks kardiavaskuler yang memburuk dan
kontrol gula darah. Beberapa pasien diabetes dengan neuropati autonomik dapat meninggal mendadak.
Kemungkinan ini terjadi karena respon abnormal terhadap hipoksia, apnoe tidur atau aritmia jantung namun
belum ada penjelasan yang pasti. Pasien dengan neuropati autonomik mengandung risiko tinggi.1,5,6,7
Pada diabetes mellitus lanjut sering dijumpai penyakit ginjal. Kondisi tersebut dengan mikroalbuminuria
dan kelainan filtrasi glomerulus yang dijumpai perubahan pada klirens kreatinin. Dengan kontrol gula yang
ketat pada penderita diabetes dapat melindungi fungsi ginjal. Hipertensi, meskipun tidak pernah tinggi sekali
akan timbul jika glomerular filtration rate (GFR) berkurang. Jika ada hipertensi berat atau hipertensi timbul
tiba-tiba, harus difikirkan kemungkinan adanya suatu penyakit berupa stenosis arteria renalis yang
aterosklerotik. Aktifitas plasma renin adalah normal atau berkurang. Hipoaldosteronisme yang hiporeninemik
dengan hiperkalemia dan asidosis metabolik dengan hiperkloremia sedang adalah suatu keadaan biasa pada
nefropati diabetik. Infeksi dan sepsis memainkan peranan penting dalam meningkatkan mortalitas dan
morbiditas pasca bedah penderita , hal tersebut dihubungkan dengan adanya fungsi leukosit yang terganggu.
Penderita dengan kontrol gula yang ketat dimana kadar gula dipertahankan di bawah 250 mg/dl fungsi leukosit
akan pulih.5,6,7,8
Hogan melaporkan adanya peningkatan insiden kesulitan intubasi yang disebabkan oleh "stiff joint
syndrome" pada beberapa penderita . Pada awalnya sindrom ini terjadi pada sendi phalanx proksimal jari IV dan
V, kemudian meluas ke persendian lainnya dari jari dan tangan, sendi atlantooksipital leher, dan sendi besar
lainnya. Ketidak mampuan untuk mengekstensikan kepala karena imobilitas atlantooksipital dapat menyulitkan
intubasi. Akan tetapi dari suatu penelitian retrospektif terhadap rekaman anestesi dari 725 pasien yang
dilakukan transplantasi ginjal dan atau transplantasi pankreas (209 diantaranya mengidap diabetes), tidak
seorangpun yang dilaporkan mempunyai tingkat kesulitan laringoskopi sedang sampai berat. Secara
keseluruhan 4,8% penderita diabetes yang mempunyai tingkat kesulitan intubasi ringan sampai sedang
dibandingkan 1,0% pada non penderita diabetes. Kekakuan sendi ini disebabkan karena adanya jaringan
kolagen abnormal periartikuler yang disebabkan oleh mikroangiopari progresif. Kelainan kolagen dihubungkan
dengan glikosilasi non enzimatik protein. 'Banyak pasien ini mempunyai tanda "Prayer Sign" yaitu
ketidakmampuan mendekatkan permukaan kedua palmar dan sendi-sendi jari. Insidens " stiff joint syndrome"
dapat mencapai 30 % pada penderita DM tipe I.1,5,6,7,8
PENILAIAN PRABEDAH
Penilaian prabedah diutamakan pada penilaian fungsi utama organ jantung, ginjal, dan susunan syaraf pusat, tak
kalah penting dibandingkan penilaian status metabolik pasien. Untuk itu diperlukan penilaian laboratorium
dasar yang mencakup gula darah puasa, elektrolit, ureum, kreatinin, dan EKG. Komplikasi kardiovaskuler
(penyakit arteri koroner, gagal ginjal kongestif, hipertensi) hendaknya diatasi dahulu karena berkaitan dengan
meningkatnya mortalitas pada pasien diabetes mellitus . Pasien dengan hipertensi mempunyai insidensi
neuropati autonomik hingga 50 %, sedangkan pasien tanpa hipertensi mempunyai insiden hanya 10%.
Karenanya disfungsi autonomik harus dicari secara rutin pada peralatan pra bedah.1,5,6,7,8,12.
PENGARUH OBAT ANESTESI PADA PENDERITA DM
Seperti telah diketahui beberapa obat anestesi dapat meningkatkan gula darah, maka pemilihan obat anestesi
dianggap sama pentingnya dengan stabilisasi dan pengawasan status diabetesnya.4
Beberapa obat yang dipakai untuk anestesi dapat mengakibatkan perubahan di dalam metabolisme karbohidrat,
tetapi mekanisme dan tempat kerjanya belum jelas. Obat-obat induksi dapat mempengaruhi homeostatis glukosa
perioperatif. Etomediat menghambat steroidogenesis adrenal dan sintesis kortisol melalui aksinya pada 11hydroxylase dan enzim pemecah kolesterol, dan akibatnya akan menurunkan respon hiperglikemia terhadap
pembedahan kira-kira 1 mmol per liter pada pasien non diabetes. Pengaruh pada pasien diabetes belum
terbukti.4.7
Benzodiazepin akan menurunkan sekresi ACTH, dan juga akan memproduksi kortisol jika digunakan dengan
dosis tinggi selama pembedahan. Obat-obat golongan ini akan menurunkan stimulasi simpatis, tetapi
merangsang sekresi growth hormone dan akan menyebabkan penurunan respon glikemia pada pembedahan.
Efek-efek ini minimal jika midazolam diberikan pada dosis sedatif, tetapi dapat bermakna jika obat diberikan
secara kontinyu melalui infus intravena pada pasien di ICU.7
Teknik anestesia dengan opiat dosis tinggi tidak hanya memberikan keseimbangan hemodinamik, tetapi juga
keseimbangan hormonal dan metabolik. Teknik ini secara efektil menghambat seluruh sistem saraf impatis dan
sumbu hipotalamik-pituitari, kemungkinan melalui efek langsung pada hipotalamus dan pucat yang lebih tinggi.
Peniadaan respon hormonal katabolik terhadap pembedahan akan meniadakan hiperglikemia yang terjadi pada
pasien normal dan mungkin bermanfaat pada pasien diabetes.6,7
Ether dapat meningkatkan kadar gula darah, menoegah efek insulin untuk transport glukosa menyeberang
membran sel dan secara tak langsung melalui peningkatan aktifitas simpatis sehingga meningkatkan
glikogenolisis di hati. Menurut Greene penggunaan halotan pada pasien cukup memuaskan karena kurang
pengaruhnya
terhadap
peningkatan
hormon
;
pertumbuhan, peningkatan kadar gula atau penurunan kadar insulin. Penelitian invitro halotan dapat
menghambat pelepasan insulin dalam merespon hiperglikemia, tetapi tidak sama |pengaruhnya terhadap
level insulin selama anestesi. Sedangkan enfluran dan isofluran tak nyata pengaruhnya terhadap kadar gula
darah.4,6,7

Pengaruh propofol pada secresi insulin tidak diketahui. Pasien-pasien diabetik menunjukkan penurunan
kemampuan untuk membersihkan lipid dari sirkulasi. Meskipun hal W tidak relevan selama anestesia singkat
jika propofol digunakan untuk pemeliharaan atau hanya sebagai obat induksi. Keadaan ini dapat terlihat pada
pasien-pasien yang mendapat propofol untuk sedasi jangka panjang di ICU. Obat-obat anestesi intra vena yang
biasa diberikan mempunyai efek yang tidak berarti terhadap kadar gula darah kecuali ketamin yang
menunjukkan peningkatan kadar gula akibat efek simpatomimetiknya.7
Penggunaan anestesi lokal baik yang dilakukan dengan teknik epidural atau subarakhnoid tak berefek pada
metabolisme karbohidrat. Untuk prosedur pembedahan pada pasien yang menderita insufisiensi vaskuler pada
ekstremitas bawah sebagai suatu komplikasi penderita, teknik subarakhnoid atau epidural lebih memuaskan dan
tanpa menimbulkan kcmplikasi. Epidural anestesia lebih efektif dibandingkan dengan anestesia umum dalam
mempertahankan perubahan kadar gula, growth hormon dan kortisol yang disebabkan tindakan operasi.4,7
TEKNIK ANESTESIA PADA PENDERITA DM
Teknik anestesia, terutama dengan penggunaan spinal, epidural, spiangnik dan blokade regional yang lain, dapat
mengatur sekresi hormon katabolik dan sekresi insulin residual, Peningkatan sirkulasi glukosa perioperatif,
konsentrasi epinefrin dan kortisol yang dijumpai pada pasien non diabetik yang timbul akibat stres pembedahan
dengan anestesia umum dihambat oleh anestesia epidural. Infus phentolamine perioperatif, suatu penghambat
kompetitif reseptor -adrenergik, menurunkan respon gula darah terhadap pembedahan dengan menghilangkan
penekanan sekresi insulin secara parstal.7
Tidak ada bukti bahwa anestesia regional sendiri, atau kombinasi dengan anestesia umum memberikan banyak
keuntungan pada pasien diabetes yang dilakukan pembedahan dalam hal mortalitas dan komplikasi mayor.
Anestesia regional dapat memberikan risiko yang lebih besar pada pasien diabetes dengan neuropati autonomik.
Hipotensi yang dalam dapat terjadi dengan akibat gangguan pada pasien dengan penyakit arteri koronaria,
serebrovaskular dan retinovaskular. Risiko infeksi dan gangguan vaskular dapat meningkat dengan penggunaan
teknik regsonal pada pasien diabetes. Abses epidural lebih sering terjadi pada anestesia spinal dan epidural.
Sebaliknya, neuropati perifer diabetik yang timbul setelah anestesia epidural dapat dlkacaukan dengan
komplikasi anestesia dan blok regional. Kombinasi anestesi lokal dengan epinefrin dapat menyebabkan risiko
yang lebih besar terjadinya cedera saraf iskemik dan atau edema pada penderita diabetes mellitus.5,6,7
KONTROL METABOLIK PERIOPERATIF
Tujuan pokok adalah :
1. Mengoreksi kelainan asam basa, cairan dan elektrolit sebelum pembedahan.
2. Memberikan
ketoasidosis.

kecukupan

karbohidrat

untuk

mencegah

metabolisme

katabolik

dan

3. Menentukan kebutuhan insulin untuk mencegah hiperglikemia.


Pembedahan pada penderita DM tipe II tidak meningkatkan risiko, sehingga hanya membutuhkan
sedikit perubahan terapi yang sudah ada sebelumnya. Apakah terapi insulin perlu diberikan pada perioperatif?
Untuk bedah yang relatif kecil, jangan diberikan obat anti diabetes oral kerja pendek pada hari operasi, dan obat
kerja lama 2 hari sebelum pembedahan. Untuk bedah besar, dosis kecil insulin mungkin dibutuhkan untuk
mengontrol kadar gula darah dan glikosuria.1,2,9
Gavin mengindikasikan pemberian insulin pada penderita DM tipe II dengan kondisi seperti di bawah :
1. Gula darah puasa > 180 mg/dl
2. Hemoglobin glikosilasi 8-10 g%
3. Lama pembedahan lebih 2 jam
Pada DM tipe I, idealnya kontrol gula darah yang dapat diterima harus tercapai dalam 2 sampai 3 hari sebelum
pembedahan. Untuk pasien-pasien yang kronis, dengan kontrol metabolik yang buruk, mungkin perlu dirawat
di rumah sakit selama 2 sampai 3 hari untuk penyesuaian , dosis insulin. Untuk bedah minor cukup dengan
pemberian insulin subkutan. Pada pagi hari sebelum pembedahan, pasien diberikan 1/3 sampai 2/3 dosis insulin
normal secara subkutan, bersamaan dengan pemberian cairan dextrose 5% 100 cc/jam/70 kgBB. Dua pertiga
dosis insulin normal diberikan jika kadar glukosa darah puasa lebih dari 250 mg/dl setengah dosis insulin
normal untuk kadar glukosa antara 120 sampai 250 mg/d!, dan sepertiga dosis insulin normal untuk kadar
glukosa di bawah 120 mg/dl. Pasien dengan kadar glukosa darah rendah, atau normal tetap membutuhkan
sejumlah kecil insulin untuk mengimbangi peningkatan efek katabolik stres pembedahan, penurunan
metabolisme protein, dan mencegah lipolisis. Tanpa insulin, DM tipe I berisiko tinggi untuk mengalami ketosis
dengan pembedahan.6
Terdapat beberapa regimen tatalaksana perioperatif untuk pasien DM. Yang paling sering : t digunakan
adalah pasien menerima sebagian -biasanya setengah dari dosis total insulin pagi hari dalam bentuk insulin
kerja sedang:

Tabel: Dua teknik yang umum digunakan untuk tatalaksana insulin perioperatif pada pasien DM

Pemberian secara bolus


Preoperatif

Infus kontinyu

D5W (1,5 ml/kg/jam)


D5W (1 ml/kg/jam)
NPH insulin (1/2 dosis biasa Regular insulin Unit/jam =
pagi hari) (NPH=neutral
Glukosa plasma : 150
protamine Hagedorn)

Intraoperattf Regular insulin


(berdasarkan sliding scale)

Sama dengan preoperatif

Pascaoperatif Sama dengan intraoperatif

Sama dengan preoperatif

Untuk mengurangi risiko hipoglikemia, insulin diberikan setelah akses intravena dipasang dan kadar
gula darah pagi hari diperiksa. Sebagai contoh, pasien yang normalnya mendapat 20 unit NPH dan 10 unit
regular insulin (RI) tiap pagi dan kadar gula darahnya 150 mg/dl akan mendapat 15 unit NPH s.c. atau i.m.
sebelum pembedahan bersama-sama dengan infus cairan dextrose 5% (1,5 ml/kg/jam). Dextrose tambahan
dapat diberikan apabila pasien mengalami hipoglikemia (<100 mg/dl). Sebaliknya, hiperglikemia intra operatif
(>250 mg/dl) diobati dengan RI intravena berdasarkan slicing scale. Satu unit RI yang diberikan kepada orang
dewasa akan menurunkan glukosa plasma sebanyak 65 sampai 30 mg/dl. Harus diingat bahwa dosis ini adalah
suatu perkiraan dan tidak bisa dipakai pada pasien dalam keadaan katabolik (sepsis, hipertermi).6,8
Metode lainnya adalah dengan memberikan insulin kerja pendek dalam infus secara kontinyu.
Keuntungan teknik ini adalah kontrol pemberian insulin akan lebih tepat dibandingkan dengan pemberian NPH
insulin s.c atau i.m. Dan 10 sampai 15 unit RI dapat ditambahkan 1 liter cairan dekstose 5% dengan kecepatan
infus 1 - 1,5 ml/kg/jam (1 unit/jam/70 kg). Pemberian infus dextrose 5% (1 ml/kg/jam) dan insulin (50 unit RI
dalam 250 ml NaCl 0,9%) melalui jalur intravena yang terpisah akan lebih fleksibel. Apabila terjadi fluktuasi
gula darah, infus RI dapat disesuaikan berdasarkan rumus dibawah ini (Rumus Roizen):
Gukosa plasma (mg/dl)
Unit perjam =
150
atau
Glukosa plasma (mg/dl)
Unit per jam =
100
pada pemakaian steroid, obesitas, terapi insulin dalam jumlah tinggi dan infeksi
Diperlukan penambahan 30 mEq KCl untuk tiap 1 L dextrose karena insulin menyebabkan pergeseran
kalium intraselular.6,8
Pada pasien yang menjalani pembedahan besar diperlukan perencanaan yang seksama. Teknik yang
dianjurkan oleh Hins adalah sebagai berikut:
Glukosa 5-10 gr/jam ekuivalen dengan 100 - 200 cc dextrose 5% perjam diberikan intra vena. Kalium dapat
ditambahkan tetapi hati-hati pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Infus lain diberikan lewat kanul yang
sama sebagai berikut:
1. Campur 50 RI kedalam 500cc 0,9%Nacl.
2. Infuskan dengan larutan 0,5-1 /jam (5-10 cc/jam dengan pompa infus).
3. Ukur kadar gula darah tiap jam dan sesuaikan dengan kebutuhan insulin seperti di bawah ini :
Kadar gula
darah

mmol (mg/dl)

4,4
4,4 - 6,6

( 80 )
( 80 - 120 )

6,6-9,9
9,9 - 13,2

(120 - 180)
(180 - 240) .

> 13,75

(>250)

Kebutuhan insulin
Matikan pompa, beri glukosa IV
Kurangi insulin menjadi 0,2 - 0,7
u/jam
teruskan insulin 0,5 - 1 /jam
Naikkan laju insulin 0,8 - 1,5
/jam
Laju insulin 1,5 /jam atau lebih

Obesitas dan infeksi berat akan menambah kebutuhan insulin 1,5 - 2 kali lipat Hal penting yang harus diingat
dalam mengelola kadar gula prabedah pada pasien diabetes adalah menetapkan sasaran yang jelas kemudian
pemantauan kadar gula darah untuk menyesuaikan terapi sesuai sasaran.1,9
Regimen lain untuk pemberian infus glukosa insulin dan kalium (GIK) dikenal dengan regimen Alberti.
Pemberiannya dapat terpisah atau bersama-sama. Berikut ini salah satu teknik GIK. Pagi hari diberikan dosis
intemiten insulin, kemudian 500 cc dextrose 5% ditambah 10 KCl diberikan dengan kecepatan 2 cc/kg/jam.
Infus insufin disiapkan dengan mencampurkan 50 unit RI ke dalam 250 cc Nad 0,9% sehingga berkonsentrasi
0,2 unit/cc larutan. Sebelum pemberian dextrose - kalium atau insulin, ukur kadar gula darah kemudian cek gula
darah tiap 2-3 jam, dan berikan dosis insulin sesuai dengan hasil pengukuran di bawah ini:
Kadar gula

Infus insulin

< 150 mg/dl

5 cc/jam (1 unit/jam)

150 - 250 mg/dl

10 cc/jam (2 unit/jam)

250 - 300 mg/dl

15 cc/jam (3 unit/jam)

300 - 400 mg/dl

20 cc/jam (4 unit/jam)

PERAWATAN PASCA BEDAH


Infus glukosa dan insulin harus tetap diteruskan sampai kondisi metabolik pasien stabil dan pasien sudah boleh
makan. Infus glukosa dan insulin dihentikan hanya setelah pemberian subkutan insulin kerja pendek. Setelah
pembedahan besar, infus glukosa dan insulin harus diteruskan sampai pasien dapat makan makanan padat. Pada
pasien-pasien ini, kegunaan dari suntikan subkutan insulin kerja pendek sebelum makan dan insulin kerja
sedang pada waktu tidur dianjurkan selama 24-48 jam pertama setelah infus glukosa dan insulin dihentikan dan
sebelum regimen insulin pasien dilanjutkan.15
Perlu diwaspadai kemungkinan terjadinya hipoglikemia atau hiperglikemia pasien pasca bedah terutama bite
terdapat keterlambatan bangun atau penurunan kesadaran. Harus dipantau kadar gula darah pasca bedah.
Pemeriksaan EKG postoperatif serial dianjurkan pada pasien DM usia lanjut, penderita DM tipe I, dan penderita
dengan penyakit jantung Infark miokard postoperatif mungkin tanpa gejala dan mempunyai mortalitas yang
tinggi. Jika ada perubahan status mental, hipotensi yang tak dapat dijelaskar., atau disrimia, maka perlu
diwaspadai kemungkinan terjadinya infark miokard.2,15
PENATALAKSANAAN PADA KASUS PEMBEDAHAN DARURAT
Keadaan yang jarang tetapi mungkin dijumpai adalah keadaan darurat yaitu pembedahan yang harus dilakukan
pada penderita dibetes mellitus dengan ketoasidosis. Dalam keadaan seperti ini bila memungkinkan maka
pembedahan ditunda beberapa jam. Waktu yang sangat terbatas ini digunakan untuk memeriksa, mengoreksi
keseimbangan cairan, asam basa dan etektrofit yang merupakan keadaan yang mengancam jiwa sebelum
pembedahan diJakukan. Bila waktu penundaan cukup maka dapat dilakukan koreksi ketoasklosis secara tuntas,
namun koreksi defisit cairan dan ketidakseimbangan dektrolit bermakna dapat dicapai dalam beberapa jam.
Penderita harus segera di evaluasi secara lengkap meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan gula
darah, aseton, elektrolit dan analisa gas darah. Kemudian dilakukan koreksi dehidrasi dengan Nacl 0,9% dengan
kecepatan 250 - 1000 cc/jam, apabila kadar gula darah mencapai 250 mg/dl cairan diganti dengan yang
mengandung glukosa. Berikan RI bolus 5-10 unit kemudian dilanjutkan dengan infus 50 unit dalam 500 cc Nacl
dimulai dengan 2-8 unit/jam atau 20 - 80 cc/jam, sebagai patokan mengatur kecepatan infus dengan rumus
kadar gula darah terakhir dibagi 150 atau 100 bila penderita memakai steroid, overweight atau ada infeksi.
Dilakukan pengukuran kadar gula darah serial tiap 2-3 jam pemantauan yang penting ialah analisa gas darah
dan elektrolit. Tetesan dapat diatur dengan mempertahankan kadar gula darah antara 120 - 250 mg/dl.1,2,3,9
Penggunaan terapi bikarbonat pada ketoasidosis merupakan hal yang kontroversial. Meskipun pH kurang dari
7,1 dapat mengganggu fungsi miokard, koreksi cepat asidosis dengan bikarbonat dapat menimbulkan
peningkatan C02, karena itu koreksi asidosis yang terlalu cepat tidak dianjurkan.1,2,3
Bonus .......................
DAFTAR SEDIAN INSULIN DI INDONESIA
Kandungan
Nama Patent
Onset
Peak
Durasi
Short & Rapid Acting
Insulin aspart
15-20
1-3 jam
3-5 jam
mnt
Insulin lispro
15 mnt
0,5-1,5
3-5 jam
jam
Regular (Soluble,
Atrapid HM,
0,5-0,7
1,5-4
5-8 jam
neutral)
Humulin R
jam
jam
Intermediate Acting
Lante (Insulin Zn
Monotard HM
1,2-5
6-12 jam
18-24

susp)
NPH (Isophane
Insulin)
Long Acting
Insulin gargine
Lainnya
Pencampuran 30 %
regular insulin &
70 % NPH

jam
1-1,5
jam

6-12 jam

jam
18-24
jam

Lantus

2-5 jam

24 jam

Mixtard 30 HM
Humulin 30/70

Sampai
30 mnt

Humulin N,
Isulatard HM

24 jam

FAKTOR RESIKO DM
1. Infeksi & sepsis : fungsi leukosit terganggu, dan bila gula darah < 250 mg/dl fungsi leukosit pulih
2. Neuropatik otonom
- Hipotensi ortostatis (Penurunan TD > 30 mmHg pada perubanhan posisi tegak berdiri)
- Hipotensi berat setelah pemberian anestesi
- Penurunan respon Heart Rate terhadap atropin dan propanolol
- Respon abnormal hipoksia yang dapat menyebabkan pasien meninggal mendadak
- Hipotermia intra operatif
- Nyeri berkurang pada pasien dengan Myocard iskemik (Sailent Myocard Iscemic)
- Nerogenic Bladder yang dapat menyebabkan retensi urin
- Gastroparesis menyebabkan resiko aspirasi, cegah dengan pemberian metroclopamid untuk mempercepat
pengosongan lambung.
- Keringat berkurang
- Inpotensi
3. Gangguan ginjal
- Mikroalbuminuria proteinuria
- Gangguan GFR Kreatinin menigkat
- Penurunan GFR menyebabkan hipertensi ringan
- Stenosis arteri renalis (sklerotik) menyebabkan hipertensi berat / hipertensi tiba-tiba
- Gagal Ginjal
4. Diuresis hipoosmolar, pasien mudah terjadi dehidrasi
5. Stift Join Sindrome , timbul kekakuan sendi atlantooccipitalis yang dapat menyebabkan kesulitan melakukan
tindakan intibasi.

Anestesi pada Geriatri


SISTEM PERNAPASAN

Penurunan elastisitas jaringan paru, menyebabkan distensi alveoli berlebihan yang berakibat mengurangi
permukaan alveolar, sehingga menurunkan efisiensi pertukaran gas.

Ventilasi masker lebih sulit.

Arthritis sendi temporomandibular atau tulang belakang servikal mempersulit intubasi.

Tidak adanya gigi, sering mempermudah visualisasi pita suara selama laringoskopi.

Penurunan progresif refleks protektif laring dapat menyebabkan pneumonia aspirasi.

FUNGSI METABOLIK DAN ENDOKRIN

Konsumsi oksigen basal dan maksimal menurun.

Produksi panas menurun, kehilangan panas meningkat, dan pusat pengatur temperatur hipotalamik
mungkin kembali ke tingkat yang lebih rendah.

Peningkatan resistensi insulin menyebabkan penurunan progresif terhadap kemampuan menangani


asupan glukosa.

FUNGSI GINJAL

Aliran darah ginjal dan massa ginjal menurun. (massa korteks diganti oleh lemak dan jaringan fibrotik).
Laju filtrasi glomerulus dan bersihan kreatinin (creatinin clearance) menurun

Gangguan penanganan natrium, kemampuan konsentrasi, dan kapasitas pengenceran memberi


kecenderungan pasien usia lanjut untuk mengalami dehidrasi atau overload cairan.

Fungsi ginjal menurun, mempengaruhi kemampuan ginjal untuk mengekskresikan obat.

Penurunan kemampuan ginjal untuk menangani air dan elektrolit membuat penatalaksanaan cairan yang
tepat menjadi lebih sulit; pasien usia tua lebih cenderung untuk mengalami hipokalemia dan
hiperkalmeia. Hal ini diperparah oleh penggunaan diuretik yang sering pada populasi usia lanjut.

FUNGSI GASTROINTESTINAL

Berkurangnya massa hati berhubungan dengan penurunan aliran darah hepatik, menyebabkan Fungsi
hepatik juga menurun sebanding dengan penu-runan massa hati.

Biotransformasi dan produksi albumin menurun.

Kadar kolinesterase plasma berkurang.

Ph lambung cenderung meningkat, sementara pengosongan lambung memanjang.

SISTEM SARAF

Aliran darah serebral dan massa otak menurun sebanding dengan kehilangan jaringan saraf.
Autoregulasi aliran darah serebral tetap terjaga.

Aktifitas fisik tampaknya mempunyai pengaruh yang positif terhadap terjaganya fungsi kognitif.

Degenerasi sel saraf perifer menyebabkan kecepatan konduksi memanjang dan atrofi otot skelet.

Penuaan dihubungkan dengan peningkatan ambang rangsang hampir semua rangsang sensoris misalnya,
raba, sensasi suhu, proprioseptif, pende-ngaran dan penglihatan.

Volume anestetik epidural yang diberikan cenderung mengakibatkan penyebaran yang lebih luas ke arah
kranial, tetapi dengan durasi analgesia dan blok motoris yang singkat. Sebaliknya, lama kerja yang lebih
panjang dapat diharapkan dari anestetik spinal.

Pasien usia lanjut sering kali memerlukan waktu yang lebih lama untuk pulih secara sempurna dari efek
SSP anestetik umum, terutama jika mereka mengalami kebingungan atau disorientasi preoperatif.

MUSKULOSKELETAL

Massa otot berkurang. Pada tingkat mikroskopik, neuromuskuler junction menebal.

Kulit mengalami atrofi akibat penuaan dan mudah mengalami trauma akibat pita berperekat, bantalan
elektrokauter, dan elektroda elektrokardiografi.

Vena seringkali lemah dan mudah ruptur pada infus intravena.

Sendi yang mengalami arthritis dapat mengganggu pemberian posisi (misalnya, litotomi) atau anestesi
regional (misalnya, blok subarakhnoid).

PERUBAHAN FARMAKOLOGI TERKAIT UMUR

Distribusi dan eliminasi juga dipengaruhi oleh terganggunya ikatan protein plasma. Albumin yang
cenderung berikatan dengan obat yang bersifat asam (misalnya barbiturat, benzodiazepin, agonis
opioid), menurun. 1-asam glikoprotein, yang berikatan dengan obat yang bersifat basa (misalnya,
anestetik lokal), meningkat.

Perubahan farmakodinamik utama adalah penurunan kebutuhan anestetik, ditunjukkan oleh MAC yang
rendah. Titrasi hati-hati bahan anestetik mem- bantu menghindari efek samping dan durasi yang
panjang; bahan kerja singkat seperti propofol, desflurane, remifentanil, dan suksinilkolin sangat berguna
pada pasien usia lanjut.

Obat yang secara bermakna tidak tergantung pada fungsi hepatik dan ginjal atau aliran darah, seperti
mivacurium, atracurium, dan cistracurim dapat berguna.

ANESTETIK INHALASI

MAC untuk agen inhalasi berkurang sekitar 4% per dekade umur setelah usia 40 tahun. Sebagai contoh,
MAC halotan pada usia 80 tahun diharapkan menjadi 0,65 (0,77-[0,77 x 4% x 4]).

Onset kerja menjadi lebih cepat jika curah jantung berkurang, tetapi akan lebih lambat jika terdapat
gangguan ventilasi/perfusi yang signifikan.

Efek depresan miokardial dari anestetik gas bertambah pada pasien usia lanjut, sementara
kecenderungan takikardi dari isofluran dan desfluran mele- mah. Berlawanan dengan efeknya pada
pasien yang lebih muda, isofluran mengurangi curah jantung dan denyut jantung pada pasien usia lanjut.

Pemulihan dari anestesi yang menggunakan anestetik gas kemungkinan memanjang sebab peningkatan
volume distribusi (peningkatan lemak tubuh), penurunan fungsi hepatik (penurunan metabolisme
halotan) dan penurunan pertukaran gas paru.

BAHAN ANESTETIK NON VOLATILE

Pasien usia lanjut menunjukkan kebutuhan dosis barbiturat, opioid agonis, dan benzodiazepin yang lebih
rendah. Sebagai contoh, umur 80 membutuhkan kurang dari setengah dosis induksi tiopental
dibandingkan dengan kebutuhan pada umur 20-an.

Benzodiazepin cenderung berakumulasi dalam penyimpanan lemak, volume distribusinya lebih besar
pada pasien usia lanjut sehingga eliminasi dari tubuh juga lambat. Waktu paruh lebih dari 36 jam dapat
menyebabkan kebingungan selama beberapa hari setelah pemberian diazepam.

PELUMPUH OTOT

Penurunan curah jantung dan aliran darah otot yang lambat dapat menyebabkan pemanjangan onset
blokade neuromuskuler sampai 2 kali lipat pada pasien usia lanjut.

Pemulihan dari pelumpuh otot nondepolarisasi yang tergantung pada ekskresi ginjal (misalnya,
metokurin, pankuronium, doksakurium, tubokurarin) mungkin tertunda akibat menurunnya bersihan
obat.

Demikian juga, penurunan ekskresi hepatik akibat kehilangan massa hati memperpanjang waktu paruh
eliminasi dan lama kerja rokuronium dan vekuronium.

Pria usia lanjut dapat menunjukkan sedikit pemanjangan efek suksinilkolin akibat kadar kolinesterase
plasma mereka yang rendah.

Anestesi untuk Pasien dengan Penyakit Ginjal


EVALUASI FUNGSI GINJAL

Taksiran akurat pada fungsi ginjal tergantung pada determinasi laboratorium. Gangguan renal (renal
impairment) bisa mengarah pada disfungsi glomerulus, fungsi tubulus atau obstruksi traktus urinarius.

Karena abnormalitas fungsi glomerulus disebabkan adanya gangguan yang hebat dan dapat dideteksi, tes
laboratorium yang dapat digunakan adalah yang berhubungan dengan GFR (glomerular filtration rate).

BUN (Blood Urea Nitrogen)


Sumber utama urea dari tubuh adalah hati. Pada saat katabolisme protein, amonia diproduksi dari deaminasi
asam-asam amino. Konversi hati ke urea mencegah pembentukan dari toksik amonia :
2NH3 + CO2 H2N CO NH2 + H2O
BUN adalah berhubungan langsung dengan katabolisme protein dan berhubungan terbalik dengan GF. Hasilnya,
BUN bukanlah indikator yang bisa digunakan untuk perhitungan GFR kecuali katabolisme protein normal dan
konstan. Lebih lagi, 40%-50% dari filtrat secara normal di reabsorpsi secara pasif oleh tubulus renal;
hipovolemi meningkatkan fraksi ini (bawah)
Konsentrasui BUN normal adalah 10 20 mg/dl. Nilai yang lebih rendah bisa didapati pada starvasi dengan
penyakit hati. Peningkatan biasanya disebabkan oleh berkurangnya GFR atau meningkatnya katabolisme
protein. Selanjutnya mungkin berlanjut pada status katabolisme tinggi (trauma atau sepsis), degradasi darah
baik pada traktus digestif atau hepatoma besar, atau diet tinggi protein. Konsentrasi BUN yang lebih besar dari
50 mg/dl biasanya berhubungan dengan renal impairment.
SERUM KREATININ

Kreatinin adalah produk dari metabolisme otot yang tanpa enzim dikonversi ke kreatinin. Produksi
kreatinin pada sebagian besar orang adalah relatif konstan dan berhubungan dengan massa otot.

Konsentrasi kreatinin serum berhubungan langsung dengan massa otot tubuh tapi berkebalikan dengan
GF. Oleh karena massa otot tubuh biasanya konstan, pengukuran kreatinin serum biasanya berdasarkan
indeks GFR. Makan daging dalam jumlah besar, terapi simetidin, peningkatan asetoasetat (seperti pada
ketoasidosis) meningkatkan pengukuran pada kreatinin serum tanpa perubahan di GFR.

GFR menurun dengan meningkatnya umur pada sebagian besar orang (5% per dekade setelah umur 20
tahun), tapi karena massa otot juga menurun, kreatinin serum tetap relatif normal; produksi kreatinin
bisa menurun sampai 10 mg/kg. Pada pasien yang tua, peningkatan kecil dari kreatinin serum bisa
menunjukkan perubahan besar pada GFR. Menggunakan usia dan berat badan (dalam kg), GFR bisa
diperkirakan dengan formula / rumus untuk pria.
[( 140 umur ) x BB]
CrCl = ------------------------------------72 x kreatinin plasma
Untuk wanita, persamaan tadi dikali dengan 0,85 untuk mengkompensasi perbedaan kecil pada massa

otot.

Grouping of Patients According to Glomerular Function


Creatinine Clearance (mL/min)
Normal
100120
Decreased renal reserve
60100
Mild renal impairment
4060
Moderate renal insufficiency
2540
Renal failure
< 25
End-stage renal disease1
< 10
1
This term applies to patients with chronic renal failure.
BUN : RASIO KREATININ

Aliran yang rendah dari tubulus ginjal membantu reabsorpsi urea namun tidak mempunyai efek pada
ketetapan kreatinin. Sebagai hasil, rasio BUN terhadap kreatinin serum meningkat diatas 10:1.
Penurunan aliran tubulus bisa disebabkan oleh penurunan perfusi ginjal atau obstruksi traktus urinari.
BUN : kreatinin rasio lebih dari 15:1 dapat dilihat pada kekurangan volume dan pada edema dengan
gangguan yang berhubungan dengan berkurangnya aliran tubular (seperti pada gagal jantung, sirosis,
nefrotik sindrome) dan juga pada obstruksi uropati.

Peningkatan katabolisme protein bisa meningkatkan rasio ini.

CREATININ CLEARANCE
Pengukuran CrCl adalah metode yang paling akurat untuk perkiraan klinis fungsi ginjal secara keseluruhan CrCl
< 25 mL/min indikasi dari gagal ginjal.
URINALISIS

Selanjutnya urinalisis adalah tes rutin yang paling biasa dilakukan untuk evaluasi fungsi renal. Urinalisis
bisa membantu untuk identifikasi beberapa gangguan pada disfungsi tubulus ginjal maupun beberapa
gangguan nonrenal. Urinalisis rutin termasuk pH, berat jenis (BJ), deteksi dan kuantitas glukosa, protein,
bilirubin dan pemeriksaan mikroskopik terhadap sedimen urin.

pH urin membantu bila pH arteri diketahui. Bila pH urin lebih dari 7,0 pada sistemik asidosis memberi
kesan asidosis tubulus renal.

BJ (berat jenis) berhubungan dengan osmolalitas urin 1,010 biasanya berhubungan dengan 290
mOsm/kg. BJ lebih dari 1,018 setelah puasa 1 malam merupakan indikasi adekuatnya kemampuan ginjal
dalam mengkonsentrasi. BJ yang lebih rendah memperlihatkan hiperosmolality dari plasma yang
konsisten dengan diabetes insipidus.

Glikosuria adalah hasil dari ambang batas bawah glukosa pada tubulus rendah ( normal 180 mg/dl) atau
hiperglikemia.

Proteinuri dideteksi dengan urinalisis rutin yang seharusnya dievaluasi pada pengumpulan urin 24 jam.
Ekskresi protein urin lebih dari 150 mg/dl adalah signifikan.

Peningkatan level bilirubin pada urin terlihat pada obstruksi biliari.

Analisa mikroskopik pada sedimen urin bisa mendeteksi adanya sel darah merah atau sel darah putih,
bakteri, cast, dan kristal.Sel darah merah mungkin mengindikasikan perdarahan akibat tumor, batu,
infeksi, koagulopati atau trauma.

Sel putih dan bakteria biasanya berhubungan dengan infeksi. Proses penyakit pada level nefron
membentuk tubular cast.

Kristal mungkin mengindikasikan abnormalitas pada asam oksalat, asam urat atau metabolisme kistin.

PERUBAHAN FUNGSI GINJAL DAN EFEKNYA TERHADAP AGEN-AGEN ANASTESI

Banyak obat-obatan sebagian tergantung pada ekskresi renal untuk eliminasi. Sehingga modifikasi dosis
harus dilakukan untuk mencegah akumulasi obat atau metabolit aktif.

Efek sistemik azotemia bisa menyebabkan potensiasi kerja farmakologikal dari agen-agen ini. Observasi
terakhir bisa disebabkan menurunnya ikatan protein dengan obat, penetrasi ke otak lebih besar oleh
karena perubahan pada blood brain barrier, atau efek sinergis dengan toxin yang tertahan pada gagal
ginjal.

AGEN INTRAVENA
Propofol & Etomidate

Secara Farmakokinetik tidak mempunyai efeknya secara signifikan pada gangguan fungsi ginjal.

Barbiturat

Sering terjadi peningkatan sensitivitas terhadap barbiturat selama induksi. Mekanismenya dengan
peningkatan barbiturat bebas yang bersirkulasi karena ikatan dengan protein yang berkurang.

Asidosis menyebabkan agen ini lebih cepat masuknya ke otak dengan meningkatkan fraksi non ion pada
obat.

Ketamin

Farmakokinetik ketamin berubah sedikit karena penyakit ginjal. Beberapa metabolit yang aktif di hati
tergantung pada ekskresi ginjal dan bisa terjadi potensial akumulasi pada gagal ginjal. Hipertensi
sekunder akibat efek ketamin bisa tidak diinginkan pada pasien-pasien hipertensi ginjal.

Benzodiazepin

Benzodiazepin menyebabkan metabolisme hati dan konjugasi karena eliminasi di urin. Karena banyak
yang terikat kuat dengan protein, peningkatan sensitivitas bisa terlihat pada pasien-pasien
hipoalbuminemia.

Diazepam seharusnya digunakan berhati-hati pada gangguan ginjal karena potensi akumulasi metabolit
aktifnya.

Opioid

Opioid (morfin, meperidin, fentanil, sufentanil dan alfentanil) di inaktifasi oleh hati, beberapa
metabolitnya nantinya diekskresi di urin. Farmakokinetik remifentanil tidak terpengaruh oleh fungsi
ginjal karena hidrolisis ester yang cepat di dalam darah.

Kecuali morfin dan meferidin, Akumulasi morfin (morfin-6-glucuronide) dan metabolit meperidine
pernah dilaporkan memperpanjang depresi pernafasan pada beberapa pasien dengan gagal ginjal.
Peningkatan level normeperidine, metabolit meperidine, dihubungkan dengan kejang-kejang.

Agonis-antagonis opioid (butorphanol nalbuphine dan buprenorphine) tidak terpengaruh oleh gagal
ginjal.

Agen-Agen Antikolinergik

Atropin dan glycopyrolate dalam dosis premedikasi, biasanya aman karena lebih dari 50% dari obat-obat
ini dan metabolit aktifnya di ekskresi normal di urin, potensi akumulasi terjadi bila dosis diulang.

Scopolamine kurang tergantung pada ekskresi ginjal, tapi efek sistem syaraf pusat bisa dipertinggi oleh
azotemia.

Phenothiazines, H2 Blockers Dan Agen-Agen Yang Berhubungan.

Phenothiazines, seperti promethazine bisa terjadi berpotensiasi dari depresi pusat oleh azotemia. Kerja
antiemetiknya bisa berguna untuk penanganan mual preoperatif. Droperidol sebagian bergantung pada
ekskresi ginjal. Akumulasi bisa dilihat pada dosis besar pada pasien-pasien dengan gangguan ginjal,
biasanya droperidol digunakan pada dosis kecil (< 2,5 mg)

Semua H2 reseptor bloker sangat tergantung pada ekskresi ginjal. Metoclopramide sebagian
diekskresinya tidak berubah di urin dan akan diakumulasikan juga pada gagal ginjal.

AGEN-AGEN INHALASI
Agen-agen volatile

Agen anastetik volatile hampir ideal untuk pasien dengan disfungsi renal karena tidak tergantungnya
pada eliminasi ginjal, kemampuan untuk mengkontrol tekanan darah dan biasanya mempunyai efek
langsung minimal pada aliran darah ginjal.

Percepatan induksi dan timbulnya bisa dilihat pada anemis berat (Hb <5 g/dL) dengan GGK; observasi
ini bisa dijelaskan oleh turunnya blood gas portion coefficient atau kurangnya MAC.

Enflurane dan sevoflurane (dengan aliran gas <2 L/min) tidak disarankan untuk pasien-pasien dengan
penyakit ginjal pada prosedur lama karena potensi akumulasi fluoride.

Nitrous Oxide

Banyak klinisi tidak menggunakan atau membatasi penggunaan NO2 sampai 50% dengan tujuan untuk
meningkatkan penggunaan O2 arteri pada keadaan anemia.

PELUMPUH OTOT
Succinyl choline
SC bisa digunakan secara aman pada gagal ginjal, dengan konsentrasi serum kalium kurang dari 5 mEq/L
pada saat induksi. Bila K serum lebih tinggi, pelumpuh otot nondepol sebaiknya digunakan
Cisatracurium, atracurium & Mivacurium
Mivacurium tergantung pada eliminasi ginjal secara minimal. Cisatracurium & atracurium didegradasi di
plasma oleh eliminasi hidrolisis ester enzymatik & nonenzymatik hofman. Agen-agen ini mungkin merupakan
obat pilihan untuk pelumpuh otot pada pasien-pasien dengan gagal ginjal.
Vecuronium & Rucoronium
Eliminasi dari vecuronium secara primer ada di hati, tapi lebih dari 20% dari obat dieliminasi di urine.
Efek dari dosis besar vecuronium (> 0,1 mg/kg) hanya memanjang sedikit pada pasien renal insufisiensi.
Perpanjangan kerja pada penyakit ginjal berat pernah dilaporkan.
Curare
Eliminasi dari curare tergantung baik pada ginjal maupun ekskresi empedu; 40-60% dosis curare secara
normal dieksresi di dalam urin. Dosis lebih rendah dan perpanjangan interval pemberian dosis diperlukan untuk
rumatan agar pelumpuh otot optimal
Pancuronium, Pipecuronium, Alcuronium, & Doxacurium
Obat-obat ini tergantung terutama pada ekskresi renal (60-90%). Walaupun pancuronium di meta- bolisme di
hati menjadi metabolit intermediate yang kurang aktif, eliminasi paruh waktunya masih tergantung pada
ekskresi ginjal (60-80%). Fungsi neuromuscular harus dimonitor ketat jika obat-obat ini digunakan pada fungsi
ginjal abnormal.
Metocurine, Gallamine & Decamethonium
Obat-obat ini hampir sepenuhnya tergantung pada ekskresi ginjal untuk eliminasi dan harus dihindari peng
gunaannya dari pasien dengan gangguan fungsi ginjal.

Obat-obat Reversal
Ekskresi ginjal adalah rute utama eliminasi bagi edrophonium, neostigmine & pyridostigmine. Waktu pa ruh
dari obat-obat ini pada pasien dengan gangguan gagal ginjal memanjang setidaknya sama dengan pelumpuh otot
sebelumnya diatas.
ANESTESIA PADA PASIEN DENGAN GAGAL GINJAL

PERTIMBANGAN PRE OPERASI


Gagal Ginjal Akut

Gagal ginjal akut adalah penurunan fungsi ginjal secara cepat yang menghasilkan penumpukan dari
sampah nitrogen (azotemia). Zat ini sebagian besar bersifat racun, dihasilkan oleh metabolisme protein
dan asam amino. Termasuk urea, senyawa guanidine (termasuk creatin dan creatinin), asam urat, asam
amino alifatik, berbagai jenis peptida dan metabolisme dari asam amino aromatik.

Azotemia dapat dibagi menjadi beberapa tipe berdasarkan penyebabnya yaitu prerenal, renal, dan
postrenal.

Penyebab oliguria
Pre renal
Hypovolemia
Hypotension
Poor cardiac output
Renal
Pre existing renal
damage
Renal vascular
disease
Renal
vasoconstriction
Sepsis

Renal
Hypoxia
From pre renal causes
Renal vein thrombosis
Nephrotoxins system
Amphotericin
Chemotherapeutic
agents
NSAIDS
Contrast media
(beware Renal or in
diabetes and multiple
myeloma)
Tissue injury
Haemoglobinuria
Myoglobinuria
Uric Acid (tumour
lysis)
Inflammatory
nephritides
Glomerulonephritis
Interstitial nephritis
Polyarteritis
Myeloma

Post Renal
Bladder neck
obstruction
Blocked drainage
system
Pelvis surgery
Prostatic
enlargement
Raised intraabdominalpressure
Renal or ureteric
Calculi
Clots
Necrotic papillae
Haemoglobinuria

Azotemia renal dan postrenal bersifat reversible pada tahap inisial namun jika dibiarkan terus menerus
akan menyebabkan azotemia renal. Kebanyakan pasien dewasa dengan gagal ginjal akan terjadi oliguria.

Pasien yang nonoliguri (yaitu pasien dengan urin output >400mL/hari) terus menerus membentuk urin
yang secara kualitatif miskin, pada pasien ini cenderung memiliki pemeliharaan yang cukup baik dari
GFR. Walaupun filtrasi glomerulus dan fungsi tubulus terganggu, kelainannya untuk cenderung buruk
lebih sedikit pada gagal ginjal nonoliguri.

Pembahasan mengenai gagal ginjal akut bervariasi, namun pada tipe oliguria bertahan sampai 2 minggu
dan diikuti oleh fase diuretik yang ditandai dengan adanya peningkatan yang progresif pada urin output.
Fase diuretik ini sering menghasilkan sangat banyaknya urin output dan biasanya tidak ditemui pada
gagal ginjal yang non oligurik. Fungsi urinari semakin baik dalam beberapa minggu namun bisa tetap
bertahan tidak kembali normal sampai 1 tahun.

Gagal Ginjal Kronis

Sindroma ini dikarakteristikkan oleh adanya penurunan fungsi ginjal yang progresif dan irreversibel
dalam waktu 3-6 bulan. Penyebab utamanya adalah hipertensi nefrosklerosis, diabetik nefropati,
glomerulonefritis kronis, dan penyakit ginjal polikistik.

Manifestasi penuh dari sindrom ini sering dikenal dengan uremia yang akan terlihat setelah GFR
menurun dibawah 25 mL/menit. Pasien dengan klirens dibawah 10 mL/menit (sering disebut dengan
end stage renal disease) akan bergantung kepada dialisis untuk bertahan sampai dilakukan transplantasi.
Dialisis dapat berbentuk intermittent hemodialysis melalui arteriovenous fistula atau dialisis terus
menerus melalui kateter yang diimplantasikan.

Manisfestasi of Uremia
Neurological
Peripheral neuropathy
Autonomic neuropathy
Muscle twitching
Encephalopathy
Asterixis
Myoclonus
Lethargy
Confusion
Seizures
Coma
Pulmonary
Hyperventilation
Interstitial edema
Alveolar edema
Pleural effusion
Gastrointestinal
Anorexia
Nausea and vomiting
Delayed gastric emptying
Hyperacidity
Mucosal ulcerations
Hemorrhage
Adynamic ileus
Endocrine
Glucose intolerance
Secondary hyperparathyroidism
Hypertriglyceridemia

Cardiovascular
Fluid overload
Congestive heart failure
Hypertension
Pericarditis
Arrhythmia
Conduction blocks
Vascular calcification
Accelerated atherosclerosis
Metabolic
Metabolic acidosis
Hyperkalemia
Hyponatremia
Hypermagnesemia
Hyperphosphatemia
Hypocalcemia
Hyperuricemia
Hypoalbuminemia
Hematological
Anemia
Platelet dysfunction
Leukocyte dysfunction
Skin
Hyperpigmentation
Ecchymosis
Pruritus
Skeletal
Osteodystrophy
Periarticular calcification

Efek yang meluas dari uremia biasanya dapat dikontrol dengan dialisis. Banyak pasien yang menjalani
dialisis setiap hari dengan normal dan mungkin tidak terjadi discoloration yang terkait dengan end stage
renal disease dan dialisis.

Mayoritas pasien di dialisis 3 kali perminggu. Sayangnya, semakin lama biasanya komplikasi uremia
sukar disembuhkan. Lebih lagi, beberapa komplikasi berhubungan langsung dengan proses dialisis
tersebut.

Hipotensi, neutropenia, hipoksemia, sindroma disequilibrium bersifat sementara dan hilang beberapa
jam setelah dialisis. Beberapa faktor yang menyebabkan hipotensi selama dialisis termasuk efek
vasodilatasi dari larutan asetat dialisat, neuropati otonom dan pergerakan yang cepat dari cairan.
Interaksi antara sel darah putih dengan membran derivat dialisis cellophane akan mengakibatkan
neutropenia dan leukocyte-mediated pulmonary disfunction menyebabkan hipoksemia. Sindroma
disequilibrium dikarakteristikkan oleh gejala neurologis sementara yang berhubungan dengan penurunan
dengan cepat osmolaritas ekstraselular dari osmolaritas intraselular.

Manifestasi dari Gagal Ginjal


A. Metabolik

Pasien dengan gagal ginjal dapat berkembang dengan abnormalitas dari metabolik yang multipel
termasuk hiperkalemia, hiperphospatemia, hipokalemia, hipermagnesemia, hiperuricemia, dan
hipoalbuminemia.

Retensi air dan natrium akan mengakibatkan pemburukan dari hiponatremia dan cairan ekstra seluler
yang berlebihan.

Kegagalan untuk mengekskresikan produksi asam yang non folatil mengakibatkan asidosis metabolik
dengan anion gap yang tinggi.

Hipernatremia dan hipokalemia adalah komplikasi yang jarang.

Hiperkalemia adalah abnormalitas yang paling mematikan karena memiliki efek pada jantung. Hal ini
biasanya ditemukan pada pasien dengan kreatinin klirens < 5 mL/menit, namun dapat berkembang
secara cepat pada pasien dengan klirens yang lebih tinggi oleh karena dengan masukan kalium yang
besar (trauma, hemolisis, infeksi atau konsumsi kalium).

Hipermagnesia biasanya ringan kecuali masukan magnesium meningkat (umumnya dari antasida yang
mengandung magnesium).

Hipokalsemia terjadi dengan sebab yang tidak diketahui. Mekanisme yang diakibatkan oleh deposit
kalsium ke tulang secara sekunder oleh karena hiperphospatemia, resistensi dari hormon paratiroid dan
penurunan absorbsi usus halus secara sekunder menurunkan sintesa renal dari 1,25-dihidroksi
kolekalsiferol.Gejala dari hipokalsemia jarang berkembang kecuali pasien dalam kondisi alkalosis.

Pasien dengan gagal ginjal juga secara cepat kehilangan protein jaringan sehingga menyebabkan
hipoalbuminemia. Anoreksia, restriksi protein dan dialisis (terutama dialisis peritonium) juga berperan.

B. Hematologik

Anemia biasanya muncul jika kreatinin klirens dibawah 30 ml/menit. Konsentrasi hemoglobin umumnya
6-8 gram/dl. Penurunan produksi eritropoetin menurunkan produksi sel darah merah, dan menurunkan
pertahanan sel. Faktor tambahan termasuk perdarahan saluran cerna, hemodilusi, dan penekanan
sumsum tulang dari infeksi sebelumnya. Walaupun dengan transfusi, konsentrasi hemoglobin meningkat
sampai 9 gram/dl sangat sulit untuk dipertahankan. Pemberian eritropoetin biasanya dapat mengoreksi
anemia. Peningkatan dari 2,3-difosfogliserat bertanggung jawab dalam penurunan kapasitas pembawa
oksigen. 2,3-DPG memfasilitasi pelepasan oksigen dari hemoglobin. Asidosis metabolik juga
mengakibatkan pergeseran ke kanan pada kurva oksigen-hemoglobin dissosiasi.

Fungsi platelet dan sel darah putih terganggu pada pasien dengan gagal ginjal. Secara klinis, hal ini
dimanifestasikan sebagai pemanjangan waktu perdarahan dan gampang terkena infeksi. Pada pasien
dengan penurunan aktivitas platelet faktor III, dan juga penurunan ikatan dan agregrasi platelet. Pasien
yang dihemodialisa juga memiliki efek sisa antikoagulan dari heparin.

C. Kardiovaskuler

Cardiac Output dapat meningkat pada gagal ginjal untuk menjaga oksigen delivery pada penurunan
kapasitas pembawa oksigen.

Retensi natrium dan abnormalitas pada sistem renin angiotensin berakibat pada hipertensi sistemik
arteri. Left ventrikuler hipertropi umum dijumpai pada gagal ginjal kronis. Cairan ekstraseluler yang
berlebihan oleh karena retensi natrium bersamaan dengan peningkatan kebutuhan yang terganggu oleh
karena anemia dan hipertensi mengakibatkan pasien gagal jantung dan edema pulmonum. Peningkatan
permeabilitas dari membran kapiler alveoli dapat menjadi faktor predisposisi.

Blok konduksi sering ditemukan mungkin diakibatkan oleh deposit kalsium dari sistem konduksi.

Aritmia sering ditemukan dan mungkin berhubungan pada kelainan metabolik.

Perikarditis uremia dapat ditemukan pada beberapa pasien, pasien bisa asimptomatis , yang ditandai
dengan adanya nyeri dada atau terbentuknya tamponade jantung.

Pasien dengan gagal ginjal kronis juga dikarakteristikan dengan peningkatan pembuluh darah perifer dan
penyakit arteri koroner.

Depresi volume intravaskuler dapat muncul pada fase diuretik pada gagal ginjal akut jika replacement
cairan tidak adekuat. Hipovolemi juga muncul jika terlalu banyak cairan yang terlalu banyak
dikeluarkan ketika dialisis.

D. Pulmonary

Tanpa dialisis atau terapi bikarbonat, pasien bergantung pada peningkatan ventilasi permenit untuk
mengkompensasikan asidosis metabolik.

Cairan ekstravaskular pulmonum biasanya meningkat dalam bentuk interstitial edema, mengakibatkan
perluasan gradien alveolar ke arterial oksigen yang menyebabkan terjadinya hipoksemia. Peningkatan

permeabilitas dari kapiler alveolar pada beberapa pasien menyebabkan edema paru walaupun dengan
tekanan kapiler paru yang normal, karakteristik pada foto toraks menyerupai butterfly wings.

E. Endokrin

Toleransi glukosa yang abnormal ditandai dengan adanya gagal ginjal akut dari resistensi perifer pada
insulin, pasien mempunyai glukosa dalam darah dengan jumlah besar dan jarang menggunakannya.

Hiperparatiroidisme yang sekunder pada pasien dengan gagal ginjal kronis dapat mengakibatkan
penyakit tulang metabolik, yang dapat menyebabkan fraktur.

Kelainan metabolisme lemak sering mengakibatkan hipertrigliseridemia dan kemungkinan berperan


dalam atherosklerosis.

Peningkatan dari tingkat protein dan polipeptida yang biasanya segera didegradasikan di ginjal sering
terlihat, hal ini berhubungan dengan hormon para- tiroid, insulin, glukagon, growth hormon, luteinizing
hormone, dan prolaktin.

F. Gastrointestinal

Anoreksia, nausea, vomiting dan ileus adinamik umumnya berhubungan dengan azotemia.

Hipersekresi dari asam lambung meningkatkan insiden dari tukak peptik dan perdarahan saluran
pencernaan, yang muncul pada 10-30% dari pasien.

Penundaan pengosongan lambung secara sekunder pada neuropati autonom dapat mencetuskan adanya
aspirasi perioperatif.

Pasien dengan gagal ginjal kronis juga memiliki koinsiden terhadap virus hepatitis (tipe B dan C), sering
diikuti oleh disfungsi hepatik.

G. Neurologis

Tubuh kurus, letargi, confussion, kejang, dan koma adalah manifestasi dari uremik encephalopathy.
Gejala pada umumnya berhubungan dengan derajat azotemia.

Neuropati autonom dan perifer umumnya dijumpai pada pasien dengan gagal ginjal kronis. Neuropati
perifer bersifat sensoris dan melibatkan ekstremitas distal bagian bawah.

Evaluasi Preoperatif
Gagal ginjalnya berhubungan dengan komplikasi post operatif atau trauma. Pasien dengan gagal ginjal akut
juga mempercepat pemecahan protein. Manajemen perioperatif yang optimal tergantung dari dialisis
preoperatif. Hemodialisis lebih efektif dari pada peritoneal dialisis dan dapat dilakukan melalui internal jugular
yang temporer, dialisis dengan kateter subklavia atau femoral. Kebutuhan dialisis pada pasien nonoligurik dapat
disesuaikan dengan kebutuhan individual.
Indikasi Untuk Dialisis
Overload
Hiperkalemi
Asidosis
Enselopaty Metabolik
Perikarditis
Koogulopati
Refraktory
Toksisitas Obat

Cairan
Berat

Gastrointestinal

Symtom

Pasien dengan gagal ginjal kronis semua manifestasi yang reversibel dari uremia harus dikontrol.
Dialisis pre operatif pada hari pembedahan atau hari sebelumnya dibutuhkan.

Evaluasi fisik dan laboratorium harus di fokuskan pada fungsi jantung dan pernafasan. Tandatanda
kelebihan cairan atau hipovolemia harus dapat diketahui. Kekurangan volume intravaskuler sering

disebabkan oleh dialisis yang berlebihan. Perbandingan berat pasien sebelum dan sesudah dialisis
mungkin membantu.

Data hemodinamik, jika tersedia dan foto dada sangat bermakna dalam kesan klinis.

Analisa gas darah juga berguna dalam mendeteksi hipoksemia dan mengevaluasi status asam-basa pada
pasien dengan keluhan sesak nafas.

EKG harus diperiksa secara hati-hati sebagai tanda-tanda dari hiperkalimia atau hipokalimia seperti pada
iskemia, blok konduksi, dan ventrikular hipertropi.

Echocardiography sangat bermakna dalam mengevaluasi fungsi jantung pada pasien dibawah prosedur
pembedahan mayor karena hal ini dapat mengevaluasi ejeksi fraksi dari ventrikel, seperti halnya
mendeteksi dan kuantitatif hipertropi, pergerakan abnormal pembuluh darah, dan cairan perikard adanya
gesekan bisa tidak terdengar pada auskultasi pada pasien dengan efusi perikard.

Transfusi pre operatif sel darah merah harusnya diberikan pada pasien dengan anemia berat (hemoglobin
<6-7 g/dL) atau ketika kehilangan darah sewaktu operasi diperkirakan.

Waktu perdarahan dan pembekuan dianjurkan, khususnya jika ada pertimbangan regional anestesi.
Serum elektrolit, BUN, dan pengukuran kreatinin dapat menentukan keadekuatan dialisis.

Pengukuran glukosa dibutuhkan dalam mengevaluasi kebutuhan potensial untuk terapi insulin
perioperatif.

Perlambatan pengosongan lambung akibat sekunder dari neuropati otonom pada beberapa pasien bisa
mempengaruhi pasien-pasien GGK untuk terjadinya aspirasi pada perioperatif

Terapi obat preoperatif diberikan secara hati-hati pada obat yang dieliminasi di ginjal. Penyesuaian dosis
dan pengukuran kadar darah (jika memungkinkan) dibutuhkan untuk mencegah toksisitas obat.

Obat yang berpotensial berakumulasi secara signifikan pada pada pasien dengan ganggaun ginjal

Muscle relaxants : Metocurine, Gallamine, Decamethonium, Pancuronium, Pipecurium, Doxacurium,


Alcuronium

Anticholinergics : Atropine, Glycopyrrolate

Metoclopramide

H2 reseptor antagonists : Cimetidine, Ranitidine

Digitalis

Diuretics

Calcium Channel antagonis : Nifedipine, Diltiazem

Adrenergic blockers : Propanolol, Nadolol, Pindolol, Atenolol

Anti Hipertensi : Clonidine, Methyldopa, Captporil, Enalapril, Lisinopril, Hydralazine, Nitroprusside


(Thiocyanate)

Antiarrhytmics : Procainamide, Disopyramide, Bretylium, Tocainide, Encainide (Genetically


determined)

Bronchodilators : Terbutalline

Psychiatric : Lithium

Antibiotics : Penicillins, Cephalosporin, Aminoglycosid, Tetracycline, Vancomycin

Anticonvulsants : Carbamazepine, Ethosuximide, Primidone

Premedikasi

Pada pasien yang relatif stabil dan sadar dapat diberikan pengurangan dosis dari opioid atau
benzodiazepin.

Profilaksis untuk aspirasi diberikan H2 blocker diindikasikan pada pasien mual, muntah atau perdarahan
saluran cerna.

Metoclopramide, 10 mg secara oral atau tetes lambat intra vena juga berguna dalam mempercepat
pengosongan lambung, mencegah mual dan menurunkan resiko aspirasi.

Pengobatan preoperatif terutama obat anti hipertensi harus dilanjutkan sampai pada saat pembedahan.

Pertimbangan Intraoperatif
Monitoring

Prosedur pembedahan membutuhkan perhatian pada kondisi medis secara menyeluruh. Karena bahaya
dari adanya oklusi, tekanan darah sebaiknya tidak diukur dari cuff pada lengan dengan fistula
arteriovena.

Intra-arterial, vena sentral, dan arteri paru membutuhkan perhatian, terutama pada pasien dibawah
prosedur dengan pergeseran cairan yang luas, volume intravaskuler sering sulit disesuaikan hanya dari
tanda klinis.

Monitoring tekanan darah intra-arteri secara langsung diindikasikan pada pasien yang hipertensinya
tidak terkontrol.

Monitoring invasif yang agresif diindikasikan khususnya pada pasien diabetes dengan penyakit ginjal
berat yang sedang menjalani pembedahan mayor, pasien jenis ini mungkin memiliki tingkat morbiditas
10 kali lebih banyak pada pasien diabetes tanpa penyakit ginjal. Yang terakhir ini menunjukkan insiden
yang tinggi pada komplikasi kardiovaskular pada grup pertama.

Induksi

Pasien dengan mual, muntah atau perdarahan saluran cerna harus menjalani induksi cepat dengan
tekanan krikoid.

Dosis dari zat induksi harus dikurangi untuk pasien yang sangat sakit. Thiopental 2-3 mg/kg atau
propofol 1-2 mg/kg sering digunakan. Etomidate, 0,2-0,4 mg/kg dapat dipertimbangkan pada pasien
dengan hemodinamik yang tidak stabil.

Opioid, beta-bloker (esmolol), atau lidokain bisa digunakan untuk mengurangi respon hipertensi pada
intubasi.

Succinylcholine, 1,5 mg/kg, bisa digunakan untuk intubasi endotrakeal jika kadar kalium darah kurang
dari 5 meq/L. Rocuronium (0,6mg/kg),cisatracurium (0,15 mg/kg), atracurium (0,4 mg/kg) atau
mivacurium (0,15 mg/kg) dapat digunakan untuk mengintubasi pasien dengan hiperkalemia. Atracurium
pada dosis ini umumnya mengakibatkan pelepasan histamin. Vecuronium, 0,1 mg/kg tepat digunakan
sebagai alternatif, namun efeknya harus diperhatikan.

Pemeliharaan

Tehnik pemeliharaan yang ideal harus dapat mengkontrol hipertensi dengan efek minimal pada cardiac
output, karena peningkatan cardiac output merupakan kompensasi yang prinsipil dalam mekanisme
anemia.

Anestesi volatil, nitrous oxide, fentanyl, sufentanil, alfentanil, dan morfin dianggap sebagai agen
pemeliharaan yang memuaskan.

Isoflurane dan desflurane merupakan zat yang mudah menguap pilihan karena mereka memiliki efek
yang sedikit pada cardiac output.

Nitrous oxide harus digunakan secara hati-hati pada pasien dengan fungsi ventrikel yang lemah dan
jangan digunakan pada pasien dengan konsentrasi hemoglobin yang sangat rendah (< 7g/dL) untuk
pemberian 100% oksigen.

Meperidine bukan pilihan yang bagus oleh karena akumulasi dari normeperidine. Morfin boleh
digunakan, namun efek kelanjutannya perlu diperhatikan.

Ventilasi terkontrol adalah metode teraman pada pasien dengan gagal ginjal. Ventilasi spontan dibawah
pengaruh anestesi yang tidak mencukupi dapat menyebabkan asidosis respiratorik yang mungkin
mengeksaserbasi acidemia yang telah ada, yang dapat menyebabkan depresi pernafasan yang berat dan
peningkatan konsentrasi kalium di darah yang berbahaya. Alkalosis respiratorik dapat merusak karena
mengeser kurva disosiasi hemoglobin ke kiri, dan mengeksaserbasi hipokalemia yang telah ada, dan
menurunkan aliran darah otak.

Terapi Cairan

Operasi superfisial melibatkan trauma jaringan yang minimal memerlukan penggantian cairan dengan
5 % dekstrosa dalam air. Prosedur ini berhubungan dengan kehilangan cairan yang banyak atau
pergeseran yang membutuhkan kristalloid yang isotonik, koloid, atau keduanya.

Ringer laktat sebaiknya dihindari pada pasien hiperkalemia yang membutuhkan banyak cairan, karena
kandungan kalium (4 meq/L), normal saline dapat digunakan. Cairan bebas glukosa digunakan karena
intoleransi glukosa yang berhubungan dengan uremia.

Kehilangan darah diganti dengan packed red blood cells.

ANESTESI PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN GINJAL RINGAN SAMPAI SEDANG


Pertimbangan Preoperatif

Ginjal biasanya menunjukkan fungsi yang besar. GFR, yang dapat diketahui dengan kreatinin klirens,
dapat menurun dari 120 ke 60 mL/ menit tanpa adanya perubahan klinis pada fungsi ginjal. Walaupun
pada pasien dengan kreatinin klirens 40 -60 mL/menit umumnya asimtomatik. Pasien ini hanya memiliki
gangguan ginjal ringan namun harus dipertimbangkan sebagai gangguan ginjal.

Ketika kreatinin klirens mencapai 25 40 mL/menit gangguan ginjal sedang dan pasien bisa disebut
memiliki renal insufisiensi. Azotemia yang signifikan selalu muncul, dan hipertensi maupun anemia
secara bersamaan. Manajemen anestesi yang tepat pada pasien ini sama pentingnya pada pasien gagal
ginjal yang berat. Yang terakhir ini terutama selama prosedur yang berkaitan dengan insiden yang relatif
tinggi dari gagal ginjal postoperatif, seperti pembedahan konstruktif dari jantung dan aorta.

Kehilangan volume intravaskular, sepsis, obstruktif jaundice, kecelakaan, injeksi kontras dan
aminoglikosid, angiotensin converting enzim inhibitor, atau obat-obat terapi seperti NSAID sebagai
resiko utama pada perburukan akut pada fungsi ginjal.

Hipovolemia muncul khususnya sebagai faktor yang penting pada gagal ginjal akut postoperatif.
Penekanan manajemen pada pasien ini adalah pencegahan, karena angka kematian dari gagal ginjal post
operatif sebesar 50%60%.

Peningkatan resiko perioperatif berhubungan dengan kombinasi penyakit ginjal lanjut dan diabetes.

Profilaksis untuk gagal ginjal dengan cairan diuresis efektif dan diindikasikan pada pasien dengan resiko
tinggi, rekonstruksi aorta mayor, dan kemungkinan prosedur pembedahan lainnya.

Mannitol (0,5 g/kg) sering digunakan dan diberikan sebagai perioritas pada induksi.

Cairan intravena diberikan untuk mencegah kehilangan intra vaskular. Infus intravena dengan
fenoldopam atau dopamin dosis rendah memberikan peningkatan aliran darah ginjal melalui aktivasi
dari vasodilator reseptor dopamin pada pembuluh darah ginjal.

Loop diuretik juga dibutuhkan untuk menjaga pengeluaran urin dan mencegah kelebihan cairan.

Pertimbangan Intraoperatif
Monitoring

Monitor standard yang digunakan untuk prosedur termasuk kehilangan cairan yang minimal. Untuk
operasi yang banyak kehilangan cairan atau darah, pemantauan urin output dan volume intravaskular
sangat penting.

Walaupun dengan urin output yang cukup tidak memastikan fungsi ginjal baik, namun selalu diusahakan
pencapaian urin output lebih besar dari 0,5 mL/kgBB/jam.

Pemantauan tekanan intra arterial juga dilakukan jika terjadi perubahan tekanan darah yang cepat,
misalnya pada pasien dengan hipertensi tidak terkontrol atau sedang dalam pengobatan yang
berhubungan dengan perubahan yang mendadak pada preload maupun afterload jantung.

Induksi

Pemilihan zat induksi tidak sepenting dalam memastikan volume intravaskular yang cukup terlebih
dahulu. Anestesi induksi pada pasien dengan Renal Insuffisiensi biasanya menghasilkan hipotensi jika
terjadi hipovolemia. Kecuali jika diberikan vasopressor, hipotensi biasanya muncul setelah intubasi atau
rangsangan pembedahan. Perfusi ginjal, yang dipengaruhi oleh hipovolemia semakin buruk sebagai
hasil pertama adalah hipotensi dan kemudian secara simpatis atau farmakologis diperantarai oleh
vasokonstriksi ginjal. Jika berlanjut, penurunan perfusi ginjal pengakibatkan kerusakan ginjal
postoperatif. Hidrasi preoperatif biasanya digunakan untuk mencegah hal ini.

Pemeliharaan

Semua zat pemeliharaan dapat diberikan kecuali Methoxyflurane dan Sevoflurane. Walau enflurane bisa
digunakan secara aman pada prosedur singkat, namun lebih baik dihindari pada pasien dengan
insuffisiensi ginjal karena masih ada pilihan obat lain yang memuaskan. Pemburukan fungsi ginjal
selama periode ini dapat menghasilkan efek hemodinamik lebih lanjut dari pembedahan (perdarahan)
atau anestesi (depresi jantung atau hipotensi).

Efek hormon tidak langsung (aktifasi simpatoadrenal atau sekresi ADH), atau ventilasi tekanan positif.
Efek ini biasanya reversibel ketika diberikan cairan intravena yang cukup untuk mempertahankan
volume intravaskuler yang normal atau meluas.

Pemberian utama dari vasopresor adrenergik (phenyleprine dan norepineprine) juga dapat
mengganggu. Dosis kecil intermitten atau infus singkat mungkin bisa berguna untuk mempertahankan
aliran darah ginjal sebelum pemberian yang lain (seperti transfusi) dapat mengatasi hipotensi. Jika mean
tekanan darah arteri, cardiac output dan cairan intravaskuler cukup, infus dopamin dosis rendah (2-5
mikrogram/kg/menit) dapat diberikan dengan batasan urin output untuk mempertahankan aliran darah
ginjal dan fungsi ginjal.Dosis dopamin untuk ginjaltelah juga dapat menunjukkan setidaknya sebagian
membalikkan vasokonstriksi arteri ginjal selama infus dengan vasopresor adrenergik
(norepinephrine). Fenoldopam juga mempunyai efek yang sama.

Terapi Cairan

Perhatikan jika ditemukan pemberian cairan yang berlebihan, namun masalah biasanya jarang dengan
pasien yang urin outputnya cukup. Maka perlu dilakukan pemantauan pada urin outputnya, jika cairan
yang berlebihan diberikan maka akan menyebabkan edema atau kongestif paru yang lebih mudah
ditangani daripada gagal ginjal akut.

Anestesi dan Masalah Paru


ASMA
William R.Fuman,M.D
Asma didefinisikan sebagai obstruksi saluran nafas bawah yang rekuren, episodik dan reversible. Diantara
episode-episode itu, fungsi paru pasien normal (atau agak normal). Diketahui pencetus dari reaksi saluran nafas
pada pasien adalah allergen, proses infeksi atau stimulus fisik. Gejala pada pasien sangat bervariasi tetapi
umumnya terjadi batuk, wheezing, nafas yang pendek dan exercional dyspnea.

Evaluasi klinis dimulai dengan menilai fungsi jalan nafas diantara episode-episode asma. Menentukan
ada tidaknya gejala-gejala dan menentukan regimen pengobatan dibutuhkan untuk mencapai hasil ini.
Jika pasien tidak bebas dari gejala-gejala, pikirkan kemungkinan bahwa pengobatan pada pasien asma
tidak adekuat atau adanya keterlibatan proses lain (misalnya emfisema atau bronchitis kronik).
Spirometer pre dan post penggunaan bronkodilator dapat dilakukan jika tersedia.

Putuskan, berdasarkan riwayat dan pemeriksaan fisik apakah pasien berada dalam keadaan dibawah
standar. Jika pasien berada dalam keadaan standar, putuskan apakah keadaannya baik atau dapat berubah
dengan farmakoterapi yang agresif.

Putuskan apakah pembedahan merupakan pilihan utama atau dapat ditunda dan dilakukan evaluasi serta
terapi.

Pertama digunakan beta-adrenergic agonis dan kortikosteroid sistemik. Jika pasien tidak dapat
menerimanya maka digunakan Albuterol inhaler dan Prednison oral selama 3-5 hari dengan dosis
berangsur-angsur dikurangi. Penggunaan Theophyllin masih kontroversi dan sekarang tidak lagi
digunakan untuk asma akut. Ipratropium bromida merupakan bahan inhalasi pilihan kedua yang kadangkadang ditambahkan pada pengobatan dengan Albuterol. Reseptor antagonis leukotrien (misalnya
Zafirlukast) adalah obat baru yang digunakan untuk terapi preventif pada penanganan asma. Jika
terdapat infeksi paru atau bronkus maka digunakan antibiotika.

Jika prosedur mendesak dan gawat, albuterol secara nebulation dengan atau tanpa ipratropium
merupakan pilihan terbaik untuk memperbaiki mekanisme pernapasan dan pertukaran udara. Pengobatan
dimulai dengan penggunaan steroid intra vena sedini mungkin.

Bahan induksi yang paling disenangi untuk anstesi umum adalah propofol, ketamin intramuskular atau
intravenosa, atau inhalasi halotan atau sevofluran. Bahan analgetik yang menyebabkan pelepasan
histamin, induksi dan pelumpuh otot hasilnya tidak jelek dan lebih aman. Bahan anestetik volatile
mengurangi bronkospasme dan biasanya merupakan bahan utama untuk maintenance pada anestesi
umum serta pengobatan bronkospasme intraoperatif. Nitrogen oksida dihindari pemakaiannya (atau
digunakan dengan konsentrasi lebih kurang 50%) jika diperkirakan terdapat obstruksi di daerah paruparu. Jika diperlukan relaksan otot, pertimbangkan penggunaan anticholinesterase.. Obat antagonis
muskarinik dapat menyebabkan bronkospasme.

Intubasi endotrakheal merupakan masalah pada asma. Kedalaman anestesi yang inadekuat dapat
memperburuk bronkospasme, terutama jika terdapat rangsangan pada trakhea, carina atau bronkus oleh
tube endotrakheal atau karena dingin, inhalasi gas kering. Efeknya dihambat oleh lidokain IV (1,5
mg/kg) pada saat anestesi yang dalam. Bahan lain adalah penggunaan lidokain spray topikal sebelum
intubasi dan penggunaan atropin untuk memblok nervus vagus. Jangan lakukan hiperventilasi pada
pasien; hal tersebut tidak diperlukan karena dapat menyebabkan barotrauma. Hipokarbia dapat
menyebabkan bronkokonstriksi. Ekstubasi merupakan pilihan tetapi hal ini biasanya tidak dibutuhkan.

Untuk menghindari penggunaan alat pada trachea, penggunaan anestesi umum dengan mask atau dengan
laryngeal mask airway (LMA), anestesi lokal dan anesetsi regional perlu dipertimbangkan. Pemberian
sedativ aman pada pasien asma, cocok digunakan secara IV dan neuraxial narcotik untuk mengobati
nyeri.

PERIOPERATIV PADA WHEEZING


Deborah K. Rasch, M.d.
Ellen B. Duncan, M.D.
Wheezing (diambil dari kata Old Norse yang berarti bunyi mendesis) merupakan tanda yang kompleks yang
dihadapi pada saat perawatan pasien perioperatif. Saat terjadi bronkospasme, wheezing akan menyertai
terjadinya konstriksi bronkus (dan meningkat pada pasien yang di intubasi). Meskipun predominan terjadi pada
saat ekspirasi, mungkin juga terdapat bunyi nafas yang pendek selama inspirasi. Bising pernafasan mirip dengan
wheezing dan dapat dihubungkan dengan gangguan lain.

Wheezing pada saat preoperative, mengindikasikan satu atau lebih hal-hal dibawah ini : penyakitpenyakit brokospastik (asma, COPD, cystic fibrosis), penyakit jantung (Congestif Heart Failure [CHF],
congenital heart disease dengan pembesaran arteri pulmonal dimana menyebabkan kompresi bronkus
utama, vascular ring disekitar trachea); aspirasi; penyakit inflamasi atau infeksi (bronchitis kronis,
pneumonia, infeksi virus pada anak). Wheezing bisa terjadi pada pasien dengan edema laring atau
bagian lain pada bronkus dan jarang pada emboli paru. Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis (gejala
penekanan saluran nafas, toleransi terhadap exercise, respon terhadap bronkodilator, irama cardiac
gallop, penggunaan diuretic guna penggolongan penyakit. Studi diagnostik masih diperlukan.
Optimalkan fungsi kardiopulmonal, bronkodilator dan perbaikannpulmonary toilet pada penyakit
bronkospastik ; penatalaksanaan medikasi dan diuretic pada CHF; dan penundaan tindakan elektiv
sampai proses infeksi dihilangkan) sebelum pembedahan elektif.

Pengelolaan anestesi pada pasien asma termasuk intubasi (dan ekstubasi) sampai terjadi anestesi yang
dalam (untuk menurunkan stimulasi vagal dan bronkokonstriksi). Pada pasien asma, oksibarbiturat
kurang disukai karena menyebabkan pelepasan histamin dibandingkan barbiturat.Meskipun halothane

lebih disenangi oleh beberapa ahli anestesi, semua bahan inhalasi secara kasar sama dengan
bronkodilator. Bronkodilator ketamin sangat membantu.

Pengelolaan individual pada pasien jantung sesuai dengan lesi. Wheezing, walaupun pengelolaan
hemodinamik tepat, dapat terjadi bronkospasme.

Pada pasien dimana tidak mendapatkan preoperative wheezing dan kemudian terjadi fase perpanjanga
ekspirasi dan wheezing sesudah intubasi merupakan masalah diagnostik yang akut. Sekresi yang banyak
pada saluran pernapasan atau tube endotrakheal dapat menyebabkan bising pada pernapasan dan dapat
dihilangkan dengan suction.

Bronkospasme intraoperativ dapat disebabkan oleh pelepasan histamin karena obat (thiopental, curare,
succinylcholine, morphine), anesthesia ringan, stimulasi parasimpatomimetik (adanya tube endotrakheal,
rangsangan operasi), aspirasi, anafilaksis aktivitas obat beta-bloker. Anafilaksis menyebabkan hipotensi,
vasodilatasi dan edema periorbital dan dapat disebabkan oleh beberapa obat tertentu. Pengobatan
anafilaksis dengan g/kg IV; dan methylprednisolondipenhydramin, 2 mg/kg; epinefrin, 3-5 1-2 mg/kg
IV.

Tebutaline 0,01 mg/kg subkutan; albuterol 0,1 mg/kg inhalasi; terbutaline 0,1 mg/kg inhalasi atau
metaproterenol 5 mcg/kg inhalasi telah digunakan dan memberikan hasil yang memuaskan. Jika terjadi
bronkospasme, dapat diberikan aminofilin 5-6 mg/kg IV, 20-30 menit, dan dimulai dengan infus
aminofilin 0,4-0,9 mg/kg/jam (lihat table 1). Perhatikan disritmia ventricular. Jika pasien tidak respon
terhadap pengobatan awal, dapat diberikan epinefrin IV.
Tabel 1. Penggunaan obat pada bronkospasme intraoperativ

CHRONIC OBSTRUCTION PULMONARY DISEASE (COPD)


Michael A. Lyew, M.D.
Diane M. Peters-Koren, M.D.
COPD ditandai dengan kurangnya aliran udara ekspirasi yang persisten dengan meningkatnya residual volume
dan function residual capacity. Resiko anestesi adalah : hipoksemia, hiperkarbia, bronkospasme dan
peningkatan insiden Postoperative Pulmonary Complication (PPC), termasuk atelektasis, pneumonia dan gagal
nafas.

Merokok adalah faktor predisposisi yang besar yang menyebabkan COPD, dimana sebagian besar
diklasifikasikan dalam bronchitis kronis dan emfisema. Gabungan dari keduanya dapat terjadi. Penyebab
minor dari emfisema adalah defisiensi homozygot a-1 antitripsin, dimana hal tersebut juga berperan
sebagai penyebab sirhosis. Merokok lebih dari 20 pak/tahun, usia lanjut, obesitas, status ASA yang
tinggi, serta operasi thorax dan upper abdominal merupakan co-faktor COPD untuk PPC. COPD dini
dengan atau tanpa gejala, tes fungsi paru rutin (PFTs) tidak diperlukan, kecuali sebelum reseksi paru.
Dispnu (terutama pada saat istirahat), batuk dan produksi sputum menandakan perlunya persiapan yang
intensif, termasuk PFTs dasar dan pengukuran gas darah arteri.

Perbandingan FEV1/FVC menunjukkan beratnya COPD. Resiko PPC meningkat setelah pembedahan
upper abdominal, jika pada preoperative nilai dari FEV1/FVC < 70%, FEV25-75%/FVC < 50%, FVC <
75%, dan MVV < 50%. Gagal nafas sering terjadi jika FEV1/FVC < 50% dan PaCO2 > 50 mmHg.
Retensi CO2 sering terjadi jika FEV1/FVC < 35%. Perbaikan nilai aliran ekspirasi dan PaCO2 setelah
pemberian bronkodilator menurunkan resiko PPC. Malnutrisi dan gangguan elektrolit perlu diperhatikan
karena keduanya menyebabkan penurunan fungsi otot pernapasan. Selanjutnya dapat terjadi hipoksemia
dan hiperkarbia menunjukan adanya polisitemia, hipertensi pulmonal dan cor-pulmonal. Pada COPD
dini, foto thorax normal, tetapi dapat terlihat pembesaran paru pada emfisema dan blood diversion pada
lobus atas serta kardiomegali pada bronchitis kronik.

Sebelum operasi elektif, fungsi paru harus optimal. Merokok harus dihentikan pada yang berat; untuk
menurunkan level carboxyhemoglobin dibutuhkan 12-18 jam. Pengobatan penuh pada infeksi saluran
nafas akut dan dilanjutkan dengan inhalasi bronkodilator serta obat anticholinergik. Jaga atau tingkatkan

terapi steroid. Koreksi hipokalemi, tunjang gizi dan manuver ventilasi untuk meningkatkan cadangan
nafas. Sediakan cadangan oksigen (O2) untuk memperbaiki hipertensi pulmonal. Pengobatan right
ventricular failure dengan digoksin, diuretik dan vasodilator. Waktu yang inadekuat untuk
mengoptimalkan keadaan sebelum operasi meningkatkan resiko PPC dan merupakan operasi yang
emergensi.

Jenis pembedahan dan status fisik menentukan teknik anestesi dan tingkat monitoring. Blok spinal dan
epidural lebih tinggi dari T6 menurunkan volume cadangan ekspirasi dan refleks batuk serta
menghilangkan sekresi. Penggunaan sedative dibatasi karena efeknya terhadap depresi pernafasan.
Bronkospasme saat dilakukan anestesi umum pada pasien dapat disebabkan oleh intubasi endotrakheal,
rangsang nyeri dan pelepasan histamin karena obat. Nitrogen oksida dihindari jika terdapat bulla atau
hipertensi pulmonal. Jaga pH normal arteri, tetapi tidak PaCO2 , pada pasien dengan retensi CO2
preoperative untuk menjaga kompensasi metabolik. Gradien antara CO2 tidal dan CO2 arteri bisa
meningkat. CVP menggambarkan fungsi ventrikel kanan lebih baik daripada volume intravaskuler jika
terdapat hipertensi pulmonal.

Hindari atau minimalkan bronkospasme selama keadaan gawat extubasi dalam keadaan tidak sadar atau
sadar setelah profilaksis dengan lidokain IV atau inhalasi bronkodilator. Pasien-pasien seperti ini
memiliki level PaCO2 yang rendah dan desaturasi oksigen pada analgesia epidural kemudian kontrol
nyeri dengan opioid parenteral. Pengaturan FiO2 tergantung ventilasi pada hipoksia. Mobilisasi dini dan
manuver ventilator merupakan anjuran. Hindari hidrasi yang berlebihan. CO2 yang berlebihan pada
sepsis atau intake kalori yang berlebihan membutuhkan bantuan ventilasi. Kontrol ventilasi juga
diperlukan pada tindakn di daerah thorax dan upper abdominal sampai fungsi paru diperbaiki.

CIGARETTE SMOKING
James Gilbert, M.D.
Kathryn R. Hamilton, M.D.
Diketahui, riwayat merokok meningkatkan insiden komplikasi pernapasan postoperative. Efek merokok adalah
rusaknya mukosiliar, hipersekresi mucous, dan obstruksi jalan nafas. Hal ini meningkatkan sensitivitas
bronchiolar sehingga terjadi bronkokonstriksi dan peningkatan resistensi jalan nafas dan pengurangan dinamik.
Efek akut dari mengisap asam rokok adalah peningkatan level karbonmonoksida dan disosiasi kurva
oxyhemoglobin pada leftward shift. Carboxyhemoglobin (CoHb) dapat meningkat sampai 8-10% pada perokok
berat, yang berarti mengurangi kapasitas oksigen pembawa. Nikotin adalah agonis adrenergik yang
meningkatkan heart rate, BP dan resistensi vaskuler perifer.

Adanya batuk produktif, sputum purulen atau penurunan FEV1 menandakan peningkatan resiko
terhadap komplikasi pulmonal. Adanya beberapa faktor resiko atau kemungkinan adanya batuk pada
intraoperatif atau postoperative dapat mengganggu jalannya operasi (misalnya operasi mata dan
herniorrhaphy) memerlukan evaluasi yang lebih sebelum pembedahan.

Studi fungsi paru yang sederhana menyatakan adanya penurunan FEV1 dan peningkatan closing
volume. Studi fungsi paru dilakukan dengan atau tanpa bronkodilator untuk mengevaluasi efek obat
selama persiapan preoperative pada pasien. Diperlukan adanya ABGs, foto thorax dan EKG. Apabila
beberapa tes hasilnya abnormal, jika lama operasi diperkirakan lebih dari 3 jam atau jika lokasi
operasi pada daerah upper abdominal atau thorax, pertimbangkan penundaan tindakan elektif untuk
persiapan akan adanya efek pada paru yang luas.

Merokok harus dihentikan minimal 6-8 minggu sebelum operasi untuk mengurangi angka kesakitan
pada postoperative pulmonal dan memperbaiki fungsi imun serta penyakit saluran nafas yang reversible.
Merokok 48 jam sebelum operasi berdampak pulmonary toilet yang agresif, meskipun demikian,
berhenti merokok lebih cepat sebelum operasi masih kontroversi. Namun, walaupun hanya beberapa hari
tidak merokok, terjadi aktivitas perbaikan cilia dan 1-2 minggu tidak merokok secara signifikan
menurunkan volume sputum dan reaktivitas saluran nafas. Waktu paruh yang singkat dari CoHb
menurun setelah 12 jam tidak merokok.

Infiltasi lokal sebagai syarat untuk sedativ IV atau anestesi regional diperlukan, tetapi untuk anestesi
umum tidak digunakan, hal ini penting untuk mempertahankan kelembaban yang adekuat,
mempertahankan FRC dan cukup bermanfaat pada anestesi yang dalam untuk mengurangi reaktivitas
jalan nafas. Preoperativ dengan menggunakan antikolinergik tidak bermanfaat. Pulmonary toilet yang
aktif, termasuk perkusi dan vibrasi, diperlukan setelah extubasi, diikuti dengan tindakan suction pada
jalan nafas selama tindakan operasi. Pengurangan FRC terjadi pada semua pasien yang dianestesi tetapi
lebih banyak pada perokok. Walaupun penurunan SaO2 pada perokok memperlihatkan gejala yang
asimptomatik, selama periode postoperative suplemen O2 harus ditransportasikan dan dipertahankan.

Siapkan analgetik postoperative dengan cara blok saraf atau analgetik epidural jika memungkinkan. Jika
hal ini tidak mungkin atau kecil kemungkinannya untuk dilakukan, dosis analgetik IV secara titrasi yang
berulangkali akan memberikan efek yang diinginkan; Hindari kombinasi beberapa obat sedatif kerja
lama atau fenotiazin. Juga baik memilih analgetik yang kurang mengandung antitusive (misalnya obat
nonsteroid antiinflamasi). Terapi preoperative pulmonal dilanjutkan sampai periode postoperative.
Pertahankan hidrasi dan terapi O2 yang adekuat. Spirometer atau terapi fisik pada thorax (jika terjadi
atelektasis atau infiltrat pada daerah tertentu), terapi bronkodilator dan mobilisasi dini untuk mengurangi
komplikasi postoperative pulmonal.

INFEKSI SALURAN NAFAS ATAS


Alan R. Tait, Ph.D.
Paul R. Knight, M.D., Ph.D.
Resiko tindak anestesi pada pasien infeksi saluran nafas atas yang akut (ISPA) masih kontroversial. Studi
menunjukkan bahwa hal tersebut kurang jelas. Walaupun beberapa studi mengatakan bahwa tindakan anestesi
pada pasien dengan ISPA memiliki resiko terjadinya laringospasme, bronkospasme dan desaturasi pada
postoperative, pendapat lain mengatakan bahwa pasien ISPA akut dan carries ISPA tanpa komplikasi, tidak
menurunkan angka kesakitan.

Riwayat dan pemeriksaan fisik sangat penting untuk menentukan apakah pasien sedang mengidap suatu
proses infeksi atau tidak. Evaluasi pasien akan adanya demam, batuk, produksi sputum, dispnu dan
letargi. Tentukan apakah gejala tersebut terjadi secara akut atau musiman. Shreiner dan kawan-kawan
mengatakan bahwa sangat penting untuk memprediksikan kemungkinan yang akan terjadi. Thorax foto
harus dipertimbangkan jika dipikirkan bahwa saluran nafas bawah ikut terlibat.

Perkiraan pembedahan yang urgency. Pembedahan yang nonurgency dengan adanya asma telah
dinyatakan sebagai faktor yang paling sering mempengaruhi keputusan para ahli anestesi untuk
menunda operasi elektif pada pasien dengan ISPA. Jika pembedahan urgent, pertimbangan tekhnik
regional untuk menghindari manipulasi jalan nafas. Jika hal ini gagal atau tidak dapat dilakukan, alihkan
pada anestesi umum dengan mempertimbangkan lamanya pasien puasa. Kelembaban dan hidrasi dapat
menolong mobilisasi sekresi.

Jika pembedahan elektif, perkirakan kemungkinan infeksi. Dengan waktu yang singkat, hal ini tidaklah
mudah; walaupun demikian, informasi bisa didapatkan dari data tentang riwayat dan pemeriksaan fisik
pasien. Walaupun 95% pasien dengan gejala ISPA mendapatkan infeksi virus, beberapa pasien
memperlihatkan sekresi atau sputum yang mukopurulen, demam, atau sepsis. Jika diduga infeksi bakteri,
pasien harus diberikan antibiotik dan pembedahan harus ditunda paling kurang 4 minggu. Pasien dengan
nasofaringitis berat, wheezing, demam lebih dari 38oC, batuk yang produktif atau flu atau gejala batuk
yang disertai sesak nafas harus dijadwal ulang. Pasien tanpa infeksi, alergi, rhinitis vasomotor kronis
atau penyakit-penyakit tingkatan sedang, tidak berkomplikasi, gejala cold akut dimana tidak terdapat
sekresi dapat dilakukan pembedahan. Jika pasien pasien ini akan dioperasi, pertimbangkan resiko dan
keuntungan tindak operasi (misalnya operasi yang telah berulangkali ditunda, dan tidak diperlukannya
pembedahan yang menambah resiko komplikasi pada pasien dengan ISPA). Jika perbandingan resiko
dan keuntungan baik, operasi dapat dilakukan; jika tidak baik atau ragu-ragu, operasi ditunda paling
kurang 4 minggu.

Jika tekhnik regional cocok, operasi dapat dilakukan. Jika dilakukan anestesi umum, gunakan mask jika
memungkinkan. Jika biasa menggunakan Laryngeal Mask Airway (LMA), pertimbangkan
penggunaannya untuk tindakan yang normalnya memerlukan intubasi tracheal. Antisialogoque dapat
digunakan pada anak-anak untuk mengurangi stimulasi vagal pada manupulasi jalan nafas. Gunakan
pulse oxymetri pada semua pasien.

Jika pasien telah diintubasi, suction trachea sebelum dilakukan extubasi. Lanjutkan pulse oxymetri
selama pemindahan pasien dan dalam ruang pemulihan. Pasien dengan ISPA memperlihatkan tingkat
saturasi terbesar selama masa pemulihan. Diperlukan penggunaan oksigen dengan menggunakan
facemask.

TUBERCULOSIS ATAU SUSPEK TUBERCULOSIS


Susan M. Ryan, Ph.D., M.D.
Peningkatan Tuberkulosa (TB) dan peningkatan resistensi terhadap antibiotik mendapat perhatian besar dalam
kesehatan masyarakat. TB menyebar melalui inhalasi droplet nuclei; aerosol partikel kering, sisa-sisa yang ada
diudara. Konsultasikan dengan spesialis penyakit infeksi untuk membantu diagnosa, pengobatan dan waktu

operasi. Pegawai Rumah Sakit Departemen Kesehatan, National Institute for Occupational Safety and Health
(NIOSH), dan Center for Disease Control and Prevention (CDC) bermanfaat sebagai sumber informasi.

TB adalah penyakit paru primer. Diperlukan data tentang diagnosa, riwayat pengobatan dan gejala pada
paru-paru, serta keterlibatan ekstrapulmonal (limfatik, CNS, ginjal dan sum-sum tulang). TB yang dini
biasanya asimptomatik atau timbul dengan gejala yang tidak spesifik (anoreksia, fatique, kehilangan
beratbadan, berkeringat pada malam hari). Selanjutnya dapat terjadi batuk yang produktif, hemoptisis
dan nyeri pada dada. Takipnu, ronkhi, dan melemahnya bunyi pernafasan bisa terjadi. Jika
ekstrapulmonal terlibat maka gejala yang paling sering terlihat adalah limfadenopati. Penemuan pada
foto thorax tergantung pada tingkat dan kronisitas penyakit Jika foto thorax abnormal maka dilihat foto
sebelumnya. Pada TB primer terlihat infiltrat di lobus atas atau seperti infiltrat halus yang multiple.
Limfadenopatui hilar atau efusi pleura bisa terjadi. Pada TB kronik, bisa terdapat bintik atau nodul pada
apikal dan subapikal. Dahulu, pengobatan TB dimana terdapat granuloma adalah dengan apical scarring.
Perhatikan adanya peningkatan leukosit dan anemia normositik normokrom. Pada TB pulmonal dapat
terjadi hiponatremia dan meningitis TB disebabkan oleh syndrome of inappropriate secretion on
antidiuretic hormone (SIADH).

Hilangkan infeksi TB yang aktif sebelum pembedahan yang tidak mendesak. Observasi penyebab TB
jika ada dugaan adanya TB aktif. Jika foto thorax normal atau ada sedikit perubahan pada pasien yang
asimptomatik, tidak ada tes yang direkomendasikan. Jika pada foto thorax diduga adanya TB aktif atau
secara klinik diduga kuat pengobatan tidak adekuat, ambil tiga contoh sputum untuk smear basil tahan
asam (BTA) dan kultur TB. Satu smear positif membantu diagnosa. Apabila BTA negatif, tindakan
pencegahan dan pembedahan tergantung pada tingkatan penyakit dan kecurigaan TB yang tidak diobati.
Jika BTA negatif, TB aktif tidak dapat disingkirkan (pasien dengan resiko tinggi atau pasien yang
memberikan gejala) dan dilakukan pengobatan serta penundaan tindakan pembedahan. PPD yang positif
(tes penyaringan yang baik tetapi tidak pasti) dapat dicurigai adanya TB, tetapi PPD negatif (walaupun
dengan kontrol) tidak dapat menyingkirkan adanya TB; Foto thorax dan analisa sputum lebih dipercaya.
Pada pasien dengan HIV positif cenderung mendapatkan penyakit paru aktif dan melibatkan
ekstrapulmonal. Pada pasien-pasien tersebut, tes PPD positif dengan ukuran 5 mm. Pada pasien dengan
HIV positif yang berat, foto thorax bisa negatif untuk beberapa hari saat pasien terinfeksi dengan TB.
Sebagai tambahan, BTA positif dihasilkan oleh beberapa mycobacteria; namun tetap diobati sebagai TB
sampai hasil kultur didapatkan.

Pasien dengan HIV positif dan diduga TB adalah penduduk atau imigran dari daerah dengan prevalensi
tinggi, penyalahguna obat, kontak TB, tunawisma, malnutrisi. Pikirkan diagnosa TB jika terjadi
pneumonia pada pasien dengan resiko tinggi atau pasien yang tidak respon terhadap antibiotik atau
adanya kontak pada kasus yang aktif.

Observasi pernafasan sebagai pencegahan termasuk pasien yang diintubasi. Ruang khusus dengan
tekanan ventilasi negatif dan 6-10 kali/jam perubahan udara, pencegahan gejala pada saluran nafas yang
membahayakan dan masker atau alat bantu nafas untuk setiap orang yang masuk dalam ruangan. Tipe
masker berguna untuk kesehatan kerja (HCW) dan alat bantu pernafasan yang diakui oleh NIOSH :
fitted air-filtering mask, powered air purifying respirators (PAPR), atau respirator tekanan positif dengan
tambahan udara. Selama pemindahan pasien ketempat lain, gunakan masker pada pasien. Jika pasien
diintubasi dan dilakukan ventilasi, gunakan masker selama pemindahan pasien.

Jika pasien dengan BTA positif, dilakukan penundaan untuk pembedahan elektif dan tindak pengobatan
selama 2 minggu dan tiga kali sputum negatif. Jika pasien BTA negatif tetapi kultur positif atau pasien
dengan resiko tinggi, pasien dengan gejala TB, tindak pengobatan dilanjutkan minimal satu minggu
sampai terjadi perubahan pada kondisi pasien. Kasus yang gawat memerlukan keputusan klinik,
pengobatan yang memungkinkan selama sebelum pembedahan, dan tindak pencegahan di ruangan
operasi.

TB diobati dengan kombinasi obat selama 6 bulan sampai 1 tahun atau lebih. Masalah yang besar adalah
terjadinya resistensi, dan terapi obat harus dilakukan secara hati-hati dan disesuaikan dengan
sensitivitas. Respon terhadap terapi ditandai dengan berkurangnya bakteri, sputum dengan BTA negatif
dan perubahan secara klinik. Pasien diperkirakan masih infeksius selama 2-3 minggu setelah
pengobatan.

Ventilasi yang adekuat diruang operasi sangat penting. Dapat digunakan ventilator dengan tekanan
negatif. Peralatan anestesi : gunakan alat-alat sekali pakai. Letakkan penyaring bakteri pada lubang
pernafasan atau dengan menggunakan tube endotrakheal (ET) untuk mencegah kontaminasi. Atur tube
ET dan kateter suction dengan cermat. Bersihkan mesin dan peralatan anestesi menggunakan larutan
tuberkulosidal dan sterilkan jika memungkinkan. Ahli anestesi dan yang lainnya : menggunakan masker
seperti biasanya, lindungi daerah steril. Sebagai tambahan perhatikan dan gunakan alat pelindung
pernafasan untuk mencegah infeksi dari droplet. Satu masker dapat disiapkan . Respirator dengan katup

ekshalasi, PAPR, respirator tekanan positif tidak melindungi daerah yang steril. Pembedahan dan
prosedurnya : terdapat resiko tinggi terhadap kontaminasi selama dilakukan tindakan dimana cairan
tubuh yang terinfeksi keluar (trakheostomi, thorakotomi, bipso paru terbuka, bronkoskopi, kauterisasi
jaringan yang terinfeksi) dan selama perawatan tube ET. Hindari atau minimalkan tindakan suction pada
ET. Pemulihan : PACU harus tersendiri dan terdapat standar pencegahan TB. Jika tidak, pemulihan
pasien dilakukan diruang operasi atau ICU. Tenaga kesehatan harus menggunakan pelindung pernafasan.
RESTRICTIVE LUNG DISEASE
A. Sue Carlisle, M.D., Ph.D.
Restrictive Lung Disease (RLD) adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kumpulan gejala
fisiologis yang ditandai dengan menurunnya kapasitats total dari paru-paru. RLD dapat disebabkan oleh
bermacam-macam sebab intrinsik dimana daya pengembangan parenkhim paru menurun atau oleh faktor
ekstrinsik yang berdampak pada dinding dada, pleura dan abdomen. Keadaan ini dapat disebabkan secara
sendiri-sendiri atau bersamaan menghasilkan restrictive fisiologis. Perubahan instrinsik bisa permanen, seperti
terjadinya fibrosis paru atau reversible seperti terjadinya edema paru atau pneumonia. Perubahan ekstrinsik
dapat terjadi secara sekunder pada bermacam-macam keadaan termasuk kelemahan otot pernafasan, penebalan
pleura, kiposkoliosis, chest wall scarring dan kegemukan. Sebagai tambahan beberapa tindakan seperti
laparoskopik dimana dibutuhkan penurunan tekanan dalam cavum peritoneum, secara temporal dapat
menyebabkan restrictive fisiologis. RLD juga sering terjadi obstructive lung disease (OLD) dan kombinasi
keduanya dapat mempersulit diagnosa dan pengobatan.

Riwayat pasien yang diduga mengalami RLD harus ditanyakan dimana akan menyebabkan adanya
penyakit paru instrinsik, penyakit neuromuskular dan penyakit tulang termasuk kiphoskoliosis, infeksi
paru dan congestive heart failure. Gejalanya adalah penurunan toleransi kerja, dispnu saat bekerja, batuk
atau kesukaran bernafas dalam. Evaluasi dini pada pasien RLD adalah observasi pola pernafasan.
Pasien-pasien ini cenderung memiliki penurunan tidak volum dan peningkatan respiratory rate karena
pola bernafas yang kurang baik serta perluasan system noncompliant. Pasien dengan deformitas skeletal,
weaknesss, rales dan ronkhi harus ditindaki secara hati-hati. Obesitas adalah hal yang paling penting
yang dapat menyebabkan RLD yang berat. Besarnya gejala dan tingkat toleransi terhatap latihan dapat
menjadi acuan untuk evaluasi preoperative yang lebih lanjut.

Radiografi pada thorax berguna untuk evaluasi pada beberapa kasus RLD yang dalam pengobatan
seperti edema paru, pneumonia dan pneumonia interstisial. Fungsi paru dapat dievaluasi dengan
spirometer untuk mendeteksi penurunan volume paru dan adanya obstruksi serta restriktif fisiologis.
Pada beberapa kasus, dalam beberapa studi tentang fungsi paru, kurva volume aliran udara diperlukan
untuk menilai berat tidaknya RLD (lihat bagan). Total lung capacity dan diffusing capacity juga
diperlukan. Pada beberapa kasus, nilai ABG preoperative berguna untuk prognosis postoperative apakah
dibutuhkan tambahan ventilator setelah operasi. Pada kasus yang berat echo jantung atau kateterisasi
jantung kanan preoperative berguna untuk mengevaluasi hipertensi pulmonal atau kegagalan ventrikel.
Komponen reversible harus diobati sebelum tindakan pembedahan elektif.

Jika memungkinkan, pilihlah tekhnik anestesi yang tidak memerlukan sedasi yang luas atau ventilasi
mekanik. Tekhnik regional dapat digunakan jika otot pernafasan tidak dapat dijamin. Pada beberapa
kasus, diperlukan anestesi umum dan ventilasi mekanis. Monitoring intraoperative dilakukan dengan
pulse oximeter dan arterial line untuk monitoring tekanan darah dan contoh gas darah. Pada kasus-kasus
yang berat, adanya hipertensi pulmonal dan ventricular failure dilakukan pemasangan kateter pada arteri
pulmonal (PA) atau transesopharingeal echo (TEE) untuk melihat perubahan pada tekanan arteri
pulmonal dan fungsi ventrikel. Ventilasi pada beberapa ruang operasi tidak cukup untuk
mempertahankan tekanan dan aliran ventilasi yang adekuat bagi pasien dengan compliance yang kurang.
Jenis ventilator ICU dibutuhkan. Atur ventilator untuk menurunkan tidal volume dan meningkatkan
frekwensi compliance pada pasien dengan daya compliance yang rendah. Tindakan ini atau tindakan
dengan menggunakan ventilasi dengan tekanan yang dikontrol dapat menghindarkan masalah tekanan
yang tinggi seperti barotrauma dan hemodinamik yang membahayakan. Hemodinamik yang
membahayakan bisa terjadi karena cardiac output dan tekanan darah menurun atau menurunnya
ventilasi.

Setelah operasi, pada pasien dapat diberikan pH normal dan oksigenasi yang adekuat untuk
mempertahankan kemampuan tubuh. Jika dilakukan intubasi trachea, perhatikan meticulous uantuk
mengontrol nyeri. Efeknya minimal terhadap alat pernafasan (mekanisme kompensasi pada pasien) dan
lebih menguntungkan. Jika pasien tidak dapat mentoleransi ekstubasi, ventilasi, volume yang optimal,
serta pulmonary toilet dan nutrisi yang baik, lakukan ventilasi non-infasif seperti tekanan udara positif
bilevel.

Anestesi pada Pasien Hipertensi

PENDAHULUAN
Hipertensi adalah penyakit yang umum dijumpai.Diperkirakan satu dari empat populasi dewasa di Amerika atau
sekitar 60 juta individu dan hampir 1 milyar penduduk dunia menderita hipertensi, dengan mayoritas dari
populasi ini mempunyai risiko yang tinggi untuk mendapatkan komplikasi kardiovaskuler.1-4 Data yang
diperoleh dari Framingham Heart Study menyatakan bahwa prevalensi hipertensi tetap akan meningkat
meskipun sudah dilakukan deteksi dini dengan dilakukan pengukuran tekanan darah (TD) secara teratur. Pada
populasi berkulit putih ditemukan hampir 1/5 mempunyai tekanan darah sistolik (TDS) lebih besar dari 160/95
mmHg dan hampir separuhnya mempunyai TDS lebih besar dari 140/90 mmHg. Prevalensi hipertensi tertinggi
ditemukan pada populasi bukan kulit putih.2,5
Hipertensi yang tidak terkontrol yang dibiarkan lama akan mempercepat terjadinya arterosklerosis dan
hipertensi sendiri merupakan faktor risiko mayor terjadinya penyakit-penyakit jantung, serebral, ginjal dan
vaskuler.3 Pengendalian hipertensi yang agresif akan menurunkan komplikasi terjadinya infark miokardium,
gagal jantung kongestif, stroke, gagal ginjal, penyakit oklusi perifer dan diseksi aorta, sehingga morbiditas
dapat dikurangi.3,6 Konsekuensi dari penggunaan obatobat antihipertensi yang rutin mempunyai potensi
terjadinya interaksi dengan obat-obat yang digunakan selama pembedahan. Banyak jenis obat-obatan yang
harus tetap dilanjutkan selama periode perioperatif, dimana dosis terakhir diminum sampai dengan 2 jam
sebelum prosedur pembedahan dengan sedikit air dan dilanjutkan kembali pada saat pemulihan dari pengaruh
anestesia.7 Tingginya angka penderita hipertensi dan bahayanya komplikasi yang bisa ditimbulkan akibat
hipertensi ini menyebabkan pentingnya pemahaman para ahli anestesia dalam manajemen selama periode
perioperatif. Periode perioperatif dimulai dari hari dimana dilakukannya evaluasi prabedah, dilanjutkan periode
selama pembedahan sampai pemulihan pasca bedah.1,7
DIAGNOSIS DAN KLASIFIKASI HIPERTENSI
Diagnosis suatu keadaan hipertensi dapat ditegakkan bila ditemukan adanya peningkatan tekanan arteri diatas
nilai normal yang diperkenankan berdasarkan umur, jenis kelamin dan ras. Batas atas tekanan darah normal
yang di ijinkan adalah sebagai berikut :

Dewasa 140/90 mmHg

Dewasa muda (remaja) 100/75 mmHg

Anak usia prasekolah 85/55 mmHg

Anak < 1 tahun (infant) 70/45 mmHg

Menurut The Joint National Committee 7 (JNC 7) on prevention, detection, evaluation, and treatment of
high blood pressure tahun 2003, klasifikasi hipertensi dibagi atas prehipertensi, hipertensi derajat 1 dan 2 (lihat
tabel 1).
Klasifikasi di atas untuk dewasa 18 tahun ke atas. Hasil pengukuran TD dipengaruhi oleh banyak faktor,
termasuk posisi dan waktu pengukuran, emosi, aktivitas, obat yang sedang dikonsumsi dan teknik pengukuran
TD. Kriteria ditetapkan setelah dilakukan 2 atau lebih pengukuran TD dari setiap kunjungan dan adanya riwayat
peningkatan TD darah sebelumnya.3 Penderita dengan klasifikasi prehipertensi mempunyai progresivitas yang
meningkat untuk menjadi hipertensi. Nilai rentang TD antara 130-139/80-89 mmHg mempunyai risiko 2 kali
berkembang menjadi hipertensi dibandingkan dengan nilai TD yang lebih rendah dari nilai itu. 2
Disamping itu klasifikasi hipertensi berdasarkan penyebabnya, dapat dibagi dalam 2 penyebab dasar, yaitu
sebagai berikut:5,8
1. Hipertensi primer (esensial, idiopatik).
2. Hipertensi sekunder:
A. Hipertensi sistolik dengan tekanan nadi melebar:
Regurgitasi aorta, tirotoksikosis, PDA.
B. Hipertensi sistolik dan diastolik dengan peningkatan SVR:

Renal: glomerulonefritis akut dan kronis, pyelonefritis, polikistik ginjal, stenosis arteri renalis.

Endokrin: Sindroma Chusing, hiperplasia adrenal congenital,


(hiperaldosteronisme primer), phaeochromacytoma, hipotiroidisme.

Neurogenik: peningkatan TIK, psikis (White Coat Hypertension), porfiria akut, tanda-tanda
keracunan.

sindroma

Conn

Penyebab lain: coarctation dari aorta, polyarteritis nodosa, hiperkalsemia, peningkatan volume
intravaskuler (overload).

PATOGENESIS TERJADINYA HIPERTENSI


Hanya berkisar 10-15% kasus hipertensi yang diketahui penyebabnya secara spesifik. Hal ini penting menjadi
bahan pertimbangan karena beberapa dari kasus-kasus hipertensi tersebut bisa dikoreksi dengan terapi definitif
pembedahan, seperti penyempitan arteri renalis, coarctation dari aorta, pheochromocytoma, cushings disease,
akromegali, dan hipertensi dalam kehamilan. Sedangkan hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya sering
disebut sebagai hipertensi esensial. Hipertensi esensial menduduki 80-95% dari kasus-kasus hipertensi. 1,3,9,10
Secara umum hipertensi selalu dihubungkan dengan ketidaknormalan peningkatan aktivitas simpatis, yaitu
terjadi peningkatan baseline dari curah jantung (CO), seperti pada keadaan febris, hipertiroidisme atau terjadi
peningkatan resistensi pembuluh darah perifer (SVR) atau kedua-duanya. Peningkatan SVR merupakan
penyebab hipertensi pada mayoritas penderita hipertensi. 1,3 Pola perkembangan terjadinya hipertensi, awalnya
CO meningkat, tetapi SVR dalam batas-batas normal. Ketika hipertensi semakin progresif, CO kembali normal
tetapi SVR meningkat menjadi tidak normal. Afterload jantung yang meningkat secara kronis menghasilkan
LVH (left ventricle hypertrophy) dan merubah fungsi diastolik. Hipertensi juga merubah autoregulasi serebral
sehingga cerebral blood flow (CBF) normal untuk penderita hipertensi dipertahankan pada tekanan yang
tinggi.3
Tekanan darah berbanding lurus dengan curah jantung dan SVR, dimana persamaan ini dapat dirumuskan
dengan menggunakan hukum Law, yaitu:1,9
BP = CO x SVR
Secara fisiologis TD individu dalam keadaan normal ataupun hipertensi, dipertahankan pada CO atau SVR
tertentu. Secara anatomik ada 3 tempat yang mempengaruhi TD ini, yaitu arterial, vena-vena post kapiler
(venous capacitance) dan jantung. Sedangkan ginjal merupakan faktor keempat lewat pengaturan volume cairan
intravaskuler (gambar 1). Hal lain yang ikut berpengaruh adalah baroreseptor sebagai pengatur aktivitas saraf
otonom, yang bersama dengan mekanisme humoral, termasuk sistem rennin-angiotensin-aldosteron akan
menyeimbangkan fungsi dari keempat tersebut. Faktor terakhir adalah pelepasan hormon-hormon lokal yang
berasal dari endotel vaskuler dapat juga mempengaruhi pengaturan SVR. Sebagai contoh, nitrogen oksida (NO)
berefek vasodilatasi dan endotelin-1 berefek vasokonstriksi.9
FARMAKOLOGI DASAR OBAT-OBAT ANTIHIPERTENSI
Obat antihipertensi bekerja pada reseptor tertentu yang tersebar dalam tubuh. 8,9 Kategori obat antihipertensi
dibagi berdasarkan mekanisme atauprinsip kerjanya, yaitu:
1. Diuretika, menurunkan TD dengan cara mengurangi natrium tubuh dan volume darah, sehingga CO
berkurang. Contohnya: golongan thiazide, loop diuretics.
2. Golongan simpatolitik / simpatoplegik, menurunkan TD dengan cara menumpulkan refleks arkus
simpatis sehingga menurunkan resistensi pembuluh darah perifer, menghambat fungsi kardiak,
meningkatkan pengisian vena sehingga terjadi penurunan CO. Contohnya: beta dan alpha blocker,
methyldopa dan clonidine, ganglion blocker, dan post ganglionic symphatetic blocker (reserpine,
guanethidine).
3. Vasodilator langsung, menurunkan TD dengan cara relaksasi otot-otot polos vaskuler. Contoh:
nitroprusside, hydralazine, calcium channel blocker.
4. Golongan penghambat produksi atau aktivitas Angiotensin, penghambatan ini menurunkan resistensi
perifer dan volume darah, yaitu dengan menghambat angiotensin I menjadi angiotensin II dan
menghambat metabolisme dari bradikinin.

Oral Antihypertensive Agents.3

Category

Class

Diuretics

Thiazide type

Subclass

Agent
Chlorothiazide
(Diuril)
Chlorthalidone
(Thalitone)
Hydrochlorothiazide
)
Indapamide (Lozol)
Metolazone
(Zaroxolyn)

Potassium
sparing

Spironolactone
(Aldactone)
Triamterene
(Dyrenium)
Amiloride
(Midamor)

Loop

Bumetanide
(Bumex)
Ethacrynic acid
(Edecrin)
Furosemide (Lasix)
Torasemide
(Demadex)

Sympatholytics Adrenergicreceptor
blockers

Acebutolol (Sectral)
Atenolol (Tenormin)
Betaxolol (Kerlone)
Bisoprolol (Zebeta)
Carteolol (Cartrol)
Metoprolol
(Lopressor)
Nadolol (Corgard)
Penbutolol (Levatol)
Pindolol (Visken)
Propranolol
(Inderal)
Timolol (Blocadren)

1
Doxazosin
(Cardura)
Prazosin
(Minipress)
Terazosin (Hytrin)
1 + 2
Phenoxybenzamin
e (Dibenzyline)

and

Labetalol
(Trandate)
Carvedilol (Coreg)

Central 2agonists

Clonidine
(Catapres)
Guanabenz
(Wytensin)

Category

Class

Subclass

Agent
Guanfacine (Tenex)
Methyldopa
(Aldomet)

Vasodilators

Postganglionic Guanadrel
blockers

Reserpine

Calcium
channel
blockers

Diltiazem1 (Tiazac)

Benzothiazepine

Phenylalkylamine Verapamil1 (Calan


s
SR)
Dihydropyridines Amlodipine
(Norvasc)
Felodipine (Plendil)
Isradipine1
(Dynacirc)
Nicardipine1
(Cardene)
Nifedipine1
(Procardia XL)
Nisoldipine (Sular)
ACE inhibitors2

Benazepril
(Lotensin)
Captopril (Capoten)
Enalapril (Vasotec)
Fosinopril
(Monopril)
Lisinopril (Zestril)
Moexipril (Univasc)
Perindopril (Aceon)
Quinapril (Accupril)
Ramipril (Altace)
Trandopril (Mavik)

Angiotensinreceptor
antagonists

Candesartan
(Atacand)
Eprosartan
(Tevetan)
Irbesartan (Avapro)
Losartan (Cozaar)
Olmesartan
(Benicar)
Telmisartan
(Micardis)
Valsartan (Diovan)

Direct
vasodilators

Hydralazine
(Apresoline)
Minoxidil

Extended realease.
ACE, angiotensin-converting enzyme.

MANAJEMEN PERIOPERATIF PENDERITA HIPERTENSI


1. Penilaian Preoperatif dan Persiapan Preoperatif Penderita Hipertensi
Penilaian preoperatif penderita-penderita hipertensi esensial yang akan menjalani prosedur pembedahan, harus
mencakup 4 hal dasar yang harus dicari, yaitu:10,11

Jenis pendekatan medikal yang diterapkan dalam terapi hipertensinya.

Penilaian ada tidaknya kerusakan atau komplikasi target organ yang telah terjadi.

Penilaian yang akurat tentang status volume cairan tubuh penderita.

Penentuan kelayakan penderita untuk dilakukan tindakan teknik hipotensi, untuk prosedur pembedahan
yang memerlukan teknik hipotensi.

Semua data-data di atas bisa didapat dengan melakukan anamnesis riwayat perjalanan penyakitnya,
pemeriksaan fisik, tes laboratorium rutin dan prosedur diagnostik lainnya.2,11 Penilaian status volume cairan
tubuh adalah menyangkut apakah status hidrasi yang dinilai merupakan yang sebenarnya ataukah suatu relatif
hipovolemia (berkaitan dengan penggunaan diuretika dan vasodilator). Disamping itu penggunaan diuretika
yang rutin, sering menyebabkan hipokalemia dan hipomagnesemia yang dapat menyebabkan peningkatan risiko
terjadinya aritmia.5,11,12 Untuk evaluasi jantung, EKG dan x-ray toraks akan sangat membantu. Adanya LVH
dapat menyebabkan meningkatnya risiko iskemia miokardial akibat ketidak seimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen. Untuk evaluasi ginjal, urinalisis, serum kreatinin dan BUN sebaiknya diperiksa untuk
memperkirakan seberapa tingkat kerusakan parenkim ginjal. Jika ditemukan ternyata gagal ginjal kronis, maka
adanya hiperkalemia dan peningkatan volume plasma perlu diperhatikan. Untuk evaluasi serebrovaskuler,
riwayat adanya stroke atau TIA dan adanya retinopati hipertensi perlu dicatat. 5 Tujuan pengobatan hipertensi
adalah mencegah komplikasi kardiovaskuler akibat tingginya TD, termasuk penyakit arteri koroner, stroke,
CHF, aneurisme arteri dan penyakit ginjal. Diturunkannya TD secara farmakologis akan menurunkan mortalitas
akibat penyakit jantung sebesar 21%, menurunkan kejadian stroke sebesar 38%, menurunkan penyakit arteri
koronariasebesar 16%.11
Efek samping Terapi Antihipertensi Lama.
Class

Adverse Effects

Diuretics
Thiazide

Hypokalemia, hyponatremia, hyperglycemia, hyperuricemia, hypomagnesemia,


hyperlipidemia, hypercalcemia

Loop

Hypokalemia, hyperglycemia, hypocalcemia, hypomagnesemia, metabolic alkalosis

Potassium sparing

Hyperkalemia

Sympatholytics
-Adrenergic
blockers

Bradycardia, conduction blockade, myocardial depression, enhanced bronchial tone,


sedation, fatigue, depression

-Adrenergic
blockers

Postural hypertension, tachycardia, fluid retention

Central 2-agonists

Postural hypotension, sedation, dry mouth, depression, decreased anesthetic


requirements, bradycardia, rebound hypertension, positive Coombs test and hemolytic
anemia (methyldopa), hepatitis (methyldopa)

Ganglionic blockers Postural hypotension, diarrhea, fluid retention, depression (reserpine)


Vasodilators
Calcium channels
blockers
ACE inhibitors1

Cardiac depression, bradycardia, conduction blockade (verapamil, diltiazem),


peripheral edema (nifedipine), tachycardia (nifedipine), enhanced neuromuscular
nondepolarizing blockade
Cough, angioedema, reflex tachycardia, fluid retention, renal dysfunction, renal failure
in bilateral renal artery stenosis, hyperkalemia, bone marrow depression (captopril)

Angiotensin-receptor Hypotension, renal failure in bilateral renal artery stenosis, hyperkalemia


antagonists
Direct vasodilators

Reflex tachycardia, fluid retention, headache, systemic lupus erythematosus-like


syndrome (hydralazine), pleural or pericardial effusion (minoxidil)

ACE, angiotensin-converting enzyme.

2. Pertimbangan Anestesia Penderita Hipertensi


Sampai saat ini belum ada protokol untuk penentuan TD berapa sebaiknya yang paling tinggi yang sudah tidak

bisa ditoleransi untuk dilakukannya penundaan anestesia dan operasi.12,13 Namun banyak literatur yang menulis
bahwa TDD 110 atau 115 adalah cut-off point untuk mengambil keputusan penundaan anestesia atau operasi
kecuali operasi emergensi.11,12 Kenapa TD diastolik (TDD) yang dijadikan tolak ukur, karena peningkatan TD
sistolik (TDS) akan meningkat seiring dengan pertambahan umur, dimana perubahan ini lebih dianggap sebagai
perubahan fisiologik dibandingkan patologik. Namun beberapa ahli menganggap bahwa hipertensi sistolik lebih
besar risikonya untuk terjadinya morbiditas kardiovaskuler dibandingkan hipertensi diastolik. Pendapat ini
muncul karena dari hasil studi menunjukkan bahwa terapi yang dilakukan pada hipertensi sistolik dapat
menurunkan risiko terjadinya stroke dan MCI pada populasi yang berumur tua. Dalam banyak uji klinik, terapi
antihipertensi pada penderita hipertensi akan menurunkan angka kejadian stroke sampai 35%-40%, infark
jantung sampai 20-25% dan angka kegagalan jantung diturunkan sampai lebih dari 50%. 2,12 Menunda operasi
hanya untuk tujuan mengontrol TD mungkin tidak diperlukan lagi khususnya pada pasien dengan kasus
hipertensi yang ringan sampai sedang. Namun pengawasan yang ketat perlu dilakukan untuk menjaga kestabilan
hemodinamik, karena hemodinamik yang labil mempunyai efek samping yang lebih besar terhadap
kardiovaskular dibandingkan dengan penyakit hipertensinya itu sendiri. Penundaan operasi dilakukan apabila
ditemukan atau diduga adanya kerusakan target organ sehingga evaluasi lebih lanjut perlu dilakukan sebelum
operasi.15 The American Heart Association / American College of Cardiology (AHA/ACC) mengeluarkan acuan
bahwa TDS 180 mmHg dan/atau TDD 110 mmHg sebaiknya dikontrol sebelum dilakukan operasi,
terkecuali operasi bersifat urgensi. Pada keadaan operasi yang sifatnya urgensi, TD dapat dikontrol dalam
beberapa menit sampai beberapa jam dengan pemberian obat antihipertensi yang bersifat rapid acting.16 Perlu
dipahami bahwa penderita hipertensi cenderung mempunyai respon TD yang berlebihan pada periode
perioperatif. Ada 2 fase yang harus menjadi pertimbangan, yaitu saat tindakan anestesia dan postoperasi.
Contoh yang sering terjadi adalah hipertensi akibat laringoskopi dan respons hipotensi akibat pemeliharaan
anestesia. Pasien hipertensi preoperatif yang sudah dikontrol tekanan darahnya dengan baik akan mempunyai
hemodinamik yang lebih stabil dibandingkan yang tidak dikontrol dengan baik.11,13,14
3. Perlengkapan Monitor
Berikut ini ada beberapa alat monitor yang bisa kita gunakan serta maksud dan tujuan penggunaanya:5

EKG: minimal lead V5 dan II atau analisis multipel lead ST, karena pasien hipertensi punya risiko tinggi
untuk mengalami iskemia miokard.

Tekanan Darah: monitoring secara continuous Tekanan Darah adalah esensial kateter Swan-Ganz: hanya
digunakan untuk penderita hipertensi dengan riwayat CHF atau MCI berulang.

Pulse oxymeter: digunakan untuk menilai perfusi dan oksigenasi jaringan perifer.

Analizer end-tidal CO2: Monitor ini berguna untuk membantu kita mempertahankan kadar CO2.

Suhu atau temperature.

4. Premedikasi
Premedikasi dapat menurunkan kecemasan preoperatif penderita hipertensi. Untuk hipertensi yang ringan
sampai dengan sedang mungkin bisa menggunakan ansiolitik seperti golongan benzodiazepin atau midazolam.
Obat antihipertensi tetap dilanjutkan sampai pada hari pembedahan sesuai jadwal minum obat dengan sedikit air
non partikel. Beberapa klinisi menghentikan penggunaan ACE inhibitor dengan alasan bisa terjadi hipotensi
intraoperatif.
5. Induksi Anestesi
Induksi anestesia dan intubasi endotrakea sering menimbulkan goncangan hemodinamik pada pasien hipertensi.
Saat induksi sering terjadi hipotensi namun saat intubasi sering menimbulkan hipertensi. Hipotensi diakibatkan
vasodilatasi perifer terutama pada keadaan kekurangan volume intravaskuler sehingga preloading cairan penting
dilakukan untuk tercapainya normovolemia sebelum induksi. Disamping itu hipotensi juga sering terjadi akibat
depresi sirkulasi karena efek dari obat anestesi dan efek dari obat antihipertensi yang sedang dikonsumsi oleh
penderita, seperti ACE inhibitor dan angiotensin receptor blocker.3,8,10 Hipertensi yang terjadi biasanya
diakibatkan stimulus nyeri karena laringoskopi dan intubasi endotrakea yang bisa menyebabkan takikardia dan
dapat menyebabkan iskemia miokard. Angka kejadian hipertensi akibat tindakan laringoskopi-intubasi
endotrakea bisa mencapai 25%. Dikatakan bahwa durasi laringoskopi dibawah 15 detik dapat membantu
meminimalkan terjadinya fluktuasi hemodinamik Beberapa teknik dibawah ini bisa dilakukan sebelum tindakan
laringoskopi-intubasi untuk menghindari terjadinya hipertensi.3,10

Dalamkan anestesia dengan menggunakan gas volatile yang poten selama 5- 10 menit.

Berikan opioid (fentanil 2,5-5 mikrogram/kgbb, alfentanil 15-25 mikrogram/kgbb, sufentanil 0,25- 0,5
mikrogram/kgbb, atau ramifentanil 0,5-1 mikrogram/ kgbb).

Berikan lidokain 1,5 mg/kgbb intravena atau intratrakea.

Menggunakan beta-adrenergik blockade dengan esmolol 0,3-1,5 mg/kgbb, propanolol 1-3 mg, atau
labetatol 5-20 mg).

Menggunakan anestesia topikal pada airway..

Pemilihan obat induksi untuk penderita hipertensi adalah bervariasi untuk masing-masing klinisi.
Propofol, barbiturate, benzodiazepine dan etomidat tingkat keamanannya adalah sama untuk induksi pada
penderita hipertensi.3 Untuk pemilihan pelumpuh otot vekuronium atau cis-atrakurium lebih baik dibandingkan
atrakurium atau pankuronium. Untuk volatile, sevofluran bisa digunakan sebagai obat induksi secara inhalasi.8,10
6. Pemeliharaan Anestesia dan Monitoring
Tujuan pencapaian hemodinamik yang diinginkan selama pemeliharaan anestesia adalah meminimalkan
terjadinya fluktuasi tekanan darah yang terlalu lebar. Mempertahankan kestabilan hemodinamik selama periode
intraoperatif adalah sama pentingnya dengan pengontrolan hipertensi pada periode preoperatif.10 Pada hipertensi
kronis akan menyebabkan pergeseran kekanan autoregulasi dari serebral dan ginjal. Sehingga pada penderita
hipertensi ini akan mudah terjadi penurunan aliran darah serebral dan iskemia serebral jika tekanan darah
diturunkan secara tiba-tiba. Terapi jangka panjang dengan obat antihipertensi akan menggeser kembali kurva
autregulasi kekiri kembali ke normal. Dikarenakan kita tidak bisa mengukur autoregulasi serebral sehingga ada
beberapa acuan yang sebaiknya diperhatikan, yaitu:8

Penurunan MAP sampai dengan 25% adalah batas bawah yang maksimal yang dianjurkan untuk
penderita hipertensi.

Penurunan MAP sebesar 55% akan menyebabkan timbulnya gejala hipoperfusi otak.

Terapi dengan antihipertensi secara signifikan menurunkan angka kejadian stroke.

Pengaruh hipertensi kronis terhadap autoregulasi ginjal, kurang lebih sama dengan yang terjadi pada
serebral.

Anestesia aman jika dipertahankan dengan berbagai teknik tapi dengan memperhatikan kestabilan
hemodinamik yang kita inginkan. Anestesia dengan volatile (tunggal atau dikombinasikan dengan N2O),
anestesia imbang (balance anesthesia) dengan opioid + N2O + pelumpuh otot, atau anestesia total intravena bisa
digunakan untuk pemeliharaan anestesia.3 Anestesia regional dapat dipergunakan sebagai teknik anesthesia,
namun perlu diingat bahwa anestesia regional sering menyebabkan hipotensi akibat blok simpatis dan ini sering
dikaitkan pada pasien dengan keadaan hipovolemia.10 Jika hipertensi tidak berespon terhadap obat-obatan yang
direkomendasikan, penyebab yang lain harus dipertimbangkan seperti phaeochro-macytoma, carcinoid
syndrome dan tyroid storm.17 Kebanyakan penderita hipertensi yang menjalani tindakan operasi tidak
memerlukan monitoring yang khusus. Monitoring intra-arterial secara langsung diperlukan terutama jenis
operasi yang menyebabkan perubahan preload dan afterload yang mendadak. EKG diperlukan untuk
mendeteksi terjadinya iskemia jantung. Produksi urine diperlukan terutama untuk penderita yang mengalami
masalah dengan ginjal, dengan pemasangan kateter urine, untuk operasi-operasi yang lebih dari 2 jam. Kateter
vena sentral diperlukan terutama untuk memonitoring status cairan pada penderita yang mempunyai disfungsi
ventrikel kiri atau adanya kerusakan end organ yang lain.3,10
7. Hipertensi Intraoperatif
Hipertensi pada periode preoperatif mempunyai risiko hipertensi juga pada periode anestesia maupunsaat pasca
bedah.13 Hipertensi intraoperatif yang tidak berespon dengan didalamkannya anestesia dapat diatasi dengan
antihipertensi secara parenteral (lihat tabel 2), namun faktor penyebab bersifat reversibel atau bisa diatasi
seperti anestesia yang kurang dalam, hipoksemia atau hiperkapnea harus disingkirkan terlebih dahulu.3
Tabel 2. Agents Parenteral Untuk Terapi Akut Hipertesi.3
Agent

Rentang Dosis

Onset

Duration

Nitroprusside

0.510 g/kg/min

3060

15 min

Nitroglycerin

0.510 g/kg/min

1 min

35 min

Esmolol

0.5 mg/kg over 1 min; 50300


g/kg/min

1 min

1220 min

Labetalol

520 mg

12 min

48 h

Propranolol

13 mg

12 min

46 h

Trimethaphan

16 mg/min

13 min

1030 min

Phentolamine

15 mg

Diazoxide
Hydralazine

110 min 2040 min

13 mg/kg slowly

210 min

46 h

520 mg

520 min

48 h

Agent

Rentang Dosis

Onset

Duration

Nifedipine
(sublingual)

10 mg

510 min

4h

Methyldopa

2501000 mg

23 h

612 h

Nicardipine

0.250.5 mg

15 min

34 h

0.6251.25 mg

615 min

46 h

0.11.6 mg/kg/min

5 min

5 min

515 mg/h
Enalaprilat
Fenoldopam

Pemilihan obat antihipertensi tergantung dari berat, akut atau kronik, penyebab hipertensi, fungsi baseline
ventrikel, heart rate dan ada tidaknya penyakit bronkospastik pulmoner dan juga tergantung dari tujuan dari
pengobatannya atau efek yang diinginkan dari pemberian obat tersebut (lihat tabel 3). 3,19 Berikut ini ada
beberapa contoh sebagai dasar pemilihan obat yang akan digunakan:3

Beta-adrenergik blockade: digunakan tunggal atau tambahan pada pasien dengan fungsi ventrikuler yang
masih baik dan dikontra indikasikan pada bronkospastik.

Nicardipine: digunakan pada pasien dengan penyakit bronkospastik.

Nifedipine: refleks takikardia setelah pemberian sublingual sering dihubungkan dengan iskemia miokard
dan antihipertensi yang mempunyai onset yang lambat.

Nitroprusside: onset cepat dan efektif untuk terapi intraoperatif pada hipertensi sedang sampai berat.

Nitrogliserin: mungkin kurang efektif, namun bisa digunakan sebagai terapi atau pencegahan iskemia
miokard.

Fenoldopam: dapat digunakan untuk mempertahankan atau menjaga fungsi ginjal.

Hydralazine: bisa menjaga kestabilan tekanan darah, namun obat ini juga punya onset yang lambat
sehingga menyebabkan timbulnya respon takikardia.

8. Krisis Hipertensi
Dikatakan krisis hipertensi jika tekanan darah lebih tinggi dari 180/120 mmHg dan dapat dikategorikan dalam
hipertensi urgensi atau hipertensi emergensi, berdasarkan ada tidaknya ancaman kerusakan target organ atau
kerusakan target organ yang progresif. Pasien dengan hipertensi sistemik kronis dapat mentoleransi TDS yang
lebih tinggi dibandingkan individu yang sebelumnya normotensif dan lebih mungkin mengalami hipertensi yang
sifatnya urgensi dibandingkan emergensi.10 Hal-hal yang paling sering menimbulkan krisis hipertensi adalah
antara lain karena penggunaan obat antihipertensi seperti clonidine, hiperaktivitas autonom, obat-obat penyakit
kolagen-vaskuler, glomerulonefritis akut, cedera kepala, neoplasia seperti pheokromasitoma, preeclampsia dan
eklampsia. Manifestasi klinis yang timbul adalah sesuai dengan target organ yang rusak akibat hipertensi ini.8
Krisis hipertensi terbagi atas hipertensi emergensi dan hipertensi urgensi. Hipertensi emergensi adalah pasien
dengan bukti adanya kerusakan target organ yang sedang terjadi atau akut (ensefalopati, perdarahan intra
serebral, kegagalan ventrikel kiri akut dengan edema paru, unstable angina, diseksi aneurisme aorta, IMA,
eclampsia, anemia hemolitik mikro angiopati atau insufisiensi renal) yang memerlukan intervensi farmakologi
yang tepat untuk menurunkan TD sistemik. Ensefalopati jarang terjadi pada pasien dengan hipertensi kronis
sampai TDD melebihi 150 mmHg sedangkan pada wanita hamil yang mengalami hipertensi dapat mengalami
tanda-tanda ensefalopati pada TDD < 100 mmHg. Sehingga walaupun tidak ada gejala, wanita hamil dengan
TDD > 109 mmHg dianggap sebagai hipertensi emergensi dan memerlukan terapi segera. Bila TD diturunkan
secara cepat akan terjadi iskemia koroner akut, sehingga MAP diturunkan sekitar 20% dalam 1 jam pertama,
selanjutnya pelan-pelan diturunkan sampai160/110 selama 2-6 jam. Tanda-tanda penurunan tekanan darah
ditoleransi dengan baik adalah selama fase ini tidak ada tanda-tanda hipoperfusi target organ.8,10,20 Hipertensi
urgensi adalah situasi dimana TD meningkat tinggi secara akut, namun tidak ada bukti adanya kerusakan target
organ. Gejala yang timbul dapat berupa sakit kepala, epitaksis atau ansietas. Penurunan TD yang segera tidak
merupakan indikasi dan pada banyak kasus dapat ditangani dengan kombinasi antihipertensi oral bertahap
dalam beberapa hari.10,20

9. Manajemen Postoperatif
Hipertensi yang terjadi pada periode pasca operasi sering terjadi pada pasien yang menderita hipertensi esensial.
Hipertensi dapat meningkatkan kebutuhan oksigen miokard sehingga berpotensi menyebabkan iskemia

miokard, disritmia jantung dan CHF. Disamping itu bisa juga menyebabkan stroke dan perdarahan ulang luka
operasi akibat terjadinya disrupsi vaskuler dan dapat berkonstribusi menyebabkan hematoma pada daerah luka
operasi sehingga menghambat penyembuhan luka operasi.3,10 Penyebab terjadinya hipertensi pasca operasi ada
banyak faktor, disamping secara primer karena penyakit hipertensinya yang tidak teratasi dengan baik,
penyebab lainnya adalah gangguan sistem respirasi, nyeri, overload cairan atau distensi dari kandung kemih.
Sebelum diputuskan untuk memberikan obat-obat antihipertensi, penyebab-penyebab sekunder tersebut harus
dikoreksi dulu.3 Nyeri merupakan salah satu faktor yang paling berkonstribusi menyebabkan hipertensi pasca
operasi, sehingga untuk pasien yang berisiko, nyeri sebaiknya ditangani secara adekuat, misalnya dengan
morfin epidural secara infus kontinyu. Apabila hipertensi masih ada meskipun nyeri sudah teratasi, maka
intervensi secara farmakologi harus segera dilakukan dan perlu diingat bahwa meskipun pasca operasi TD
kelihatannya normal, pasien yang prabedahnya sudah mempunyai riwayat hipertensi, sebaiknya obat
antihipertensi pasca bedah tetap diberikan.14 Hipertensi pasca operasi sebaiknya diterapi dengan obat
antihipertensi secara parenteral misalnya dengan betablocker yang terutama digunakan untuk mengatasi
hipertensi dan takikardia yang terjadi. Apabila penyebabnya karena overload cairan, bisa diberikan diuretika
furosemid dan apabila hipertensinya disertai dengan heart failure sebaiknya diberikan ACE-inhibitor. Pasien
dengan iskemia miokard yang aktif secara langsung maupun tidak langsung dapat diberikan nitrogliserin dan
beta-blocker secara intravena sedangkan untuk hipertensi berat sebaiknya segera diberikan sodium
nitroprusside.13 Apabila penderita sudah bisa makan dan minum secara oral sebaiknya antihipertensi secara oral
segera dimulai.3,10,14
Anestesi pada Obesitas
Overweight didefinisikan sebagai BMI 24 kg/m2, obesitas BMI 30, dan morbit obesitas (obesitas ekstrim)
BMI 40.
Manifestasi Klinis

Obesitas dikaitkan dengan banyak penyakit, termasuk diabetes mellitus tipe II, hipertensi, penyakit arteri
koroner, dan cholelithiasis. (The triad obesitas, hipertensi, dan diabetes tipe II adalah sindrom
metabolik).

Oksigen demand, produksi CO2, dan ventilasi alveolar yang tinggi karena tingkat metabolisme yang
sebanding dengan berat badan.

Jaringan lemak yang berlebihan pada dada menyebabkan berkurang complience dinding dada meskipun
compience paru-paru tetap normal.

Peningkatan massa abdoment akan menekan diafragma ke arah cephalad, yang dapat membatasi
volume paru-paru seperti penyakit paru-paru restrictif.

Penurunan volume paru-paru akibat penekanan saat posisi supine dan posisi Trendelenburg. Khusus,
fungsional residual kapasiti dapat turun di bawah closing cavasitas . Jika ini terjadi, beberapa alveoli
akan menutup selama ventilasi normal tidal volume, dan akan menyebabkan sebuahmismatch ventilasi /
perfusi.

Pasien obesitas sering ditemukan hipoksia, hanya sedikit yang hypercapni, sehingga kita harus waspada
terhadap komplikasi akan datang.

Sindrome Obesitas-hypoventilation (sindrom pickwickian) merupakan komplikasi dari obesitas ekstrim


ditandai dengan hiperkapnia, cyanosis-induced polisitemia, gagal jantung kanan, dan somnolen.

Pasien juga mengalami blunted respiratory drive dan sering mendengkur keras serta obstruksi jalan
napas atas saat tidur (Obstruktiv sleep apnea syndrome [OSAS]. OSAS juga berhubungan dengan
peningkatan komplikasi perioperatif termasuk hipertensi, hipoksia, aritmia, infark miokard, edema paru,
dan stroke.

Kesulitan manajemen jalan napas selama induksi dan obstruksi jalan napas atas selama pemulihan harus
diantisipasi.
Pasien sangat rentan selama periode pasca operasi jika opioid atau obat penenang lainnya telah
diberikan, dan jika pasien ditempatkan telentang, membuat saluran napas bagian atas lebih rentan
terhadap gangguan.

Untuk pasien yang diketahui atau dicurigai OSAS, Postoperatip harus dipertimbangkan pemberian
continuous positive airway pressure (CPAP) sampai dekter anestesi yakin bahwa pasien dapat
melindungi jalan napas-nya dan menjaga ventilasi spontan tanpa adanya tanda obstruksi.

Jantung juga memiliki beban kerja meningkat, cardiac output dan volume darah meningkat untuk
tambahan perfusi penyimpanan lemak. Peningkatan cardiac output (0,1 L / menit / kg jaringan adiposa)
dicapai melalui peningkatan stroke volume-sebagai kompensasi dari denyut jantung sehingga sering
menyebabkanarterial hipertensi dan hipertrofi ventrikel kiri.

Peningkatan aliran darah arteri paru dan vasokonstriksi paru dari hipoksia persisten dapat menyebabkan
hipertensi pulmonal dan cor pulmonale.

Obesitas juga berkaitan dengan patofisiologi gastrointestinal, termasuk hernia hiatus, reflux
gastroesofagus, lambatnnya pengosongan lambung, dan hyperacidic cairan lambung, serta peningkatan
risiko kanker lambung.

Infiltrasi lemak di hati juga terjadi dan dapat dikaitkan dengan tes hati abnormal.

Pertimbangan anestesi
Preoperative

Pasien obesitas pada peningkatan risiko untuk pneumonia aspirasi. Rutin pretreatment dengan antagonis
H2 dan metoklopramid harus dipertimbangkan.

Premedikasi dengan obat depresan pernafasan harus dihindari pada pasien dengan bukti hipoksia pra
operasi, hiperkapnia, atau slep apnea obstruktif.

Suntikan intramuskular sering tidak dapat diandalkan karena ketebalan dari jaringan adiposa.

Evaluasi pra operasi pasien sangat gemuk menjalani operasi besar harus dinilai cadangan
cardiopulmonary dengan radiograf dada, ECG, analisa gas darah arteri, dan tes fungsi paru.

Fisik klasik tanda-tanda gagal jantung (misalnya, edema sakral) mungkin sulit untuk diidentifikasi.
tekanan darah harus diambil dengan menset sesuai ukuran.

Tempat akses Intravena dan intraarterial harus diperiksa untuk mengantisipasi kesulitan teknis. Perhatian
khusus harus diberikan pada saluran napas pada pasien obesitas karena mereka sering sulit untuk
intubasi sebagai akibat dari mobilitas terbatas sendi temporomandobula dan atlantooccipital, jalan napas
bagian atas yang menyempit, dan jarak yang pendek diantara bantalan lemak rahang bawah dan
sternum.

Intraoperative

Karena risiko aspirasi, pasien obesitas biasanya di intubasi boleh dengan semua agen anestesi umum
tetapi dengan durasi yang lebih pendek.

Selain itu, ventilasi dikontrol dengan volume pasang besar sering memberikan oksigenasi lebih baik
daripada dangkal, napas spontan.

Jika intubasi tampaknya akan sulit, awake intubating dengan bronkoskop serat optik sangat dianjurkan.

Nafas suara mungkin sulit untuk di dilai; konfirmasi intubasi trakea membutuhkan deteksi end tidal
CO2. Bahkan ventilasi kontrol mungkin memerlukan konsentrasi oksigen yang relatif tinggi terinspirasi
untuk mencegah hipoksia, terutama posisi lithotomi, Trendelenburg, atau posisi prone.

Subdiaphragmatic laparotomi abdominal dapat menyebabkan kerusakan lebih lanjut dari fungsi paru dan
penurunan tekanan darah arteri dengan rusaknnya venous return.

Penambahan tekanan akhir ekspirasi positif memperburuk hipertensi paru pada beberapa pasien dengan
obesitas ekstrim.

Anestetik volatil dapat dimetabolisme lebih luas pada pasien obesitas. Ini adalah perhatian khusus
sehubungan dengan defluorination dari halothane. peingkatkan metabolisme dan kecenderungan untuk
hipoksia dapat menjelaskan peningkatan kejadian hepatitis halothane pada pasien obesitas.

Anestesi volatil menyebar perlahan-lahan ke lemak yang disimpan yang meningkatkan reservoir lemak
memiliki sedikit efek klinis pada waktu bangun, bahkan selama prosedur pembedahan yang lama.
Secara teoritis, cadangan lemak yang besar akan miningkatkan volume distribusi obat larut lemak
(misalnya, benzodiazepine, opioid). Dengan demikian, loading dosis yang lebih besar akan diperlukan

untuk menghasilkan konsentrasi plasma yang sama. Ini adalah alasan rasional untuk mendasarkan
beberapa dosis obat pada berat badan pada pasien obesitas. Dengan alasan yang sama, dosis
pemeliharaan harus diberikan lebih jarang karena clearance diharapkan akan lebih lambat dengan
volume yang lebih besar distribusi.

Sebaliknya, obat yang larut dalam air (misalnya, NMBAs) memiliki volume distribusi yang jauh lebih
terbatas, yang seharusnya tidak dipengaruhi oleh cadangan lemak. Dosis obat ini sehingga harus
didasarkan pada berat badan ideal untuk menghindari overdosis.

Kesulitan teknis terkait dengan anestesi regional telah disebutkan. Meskipun dosis persyaratan untuk
anestesi epidural dan spinal sulit diprediksi, pasien obesitas biasanya membutuhkan anestesi lokal
kurang 20-25% karena lemak epiduraldan distended vena epidural. Tingkat blokade yang tinggi dengan
mudah dapat membahayakan pernafasan. Anestesi continous epidural memiliki keuntungan meredakan
nyeri dan menurunkan komplikasi pernafasan pada periode pasca operasi.

Pascaoperasi

Kegagalan pernafasan adalah masalah utama pasca operasi pasien sangat gemuk. Peningkatan Risiko
hipoksia pasca operasi bisa karena hipoksia pra operasi dan operasi yang melibatkan thoraks atau
abdomen bagian atas (terutama insisi vertikal).

Extubation harus ditunda sampai dampak NMBAs reverse secara komplek dan pasien benar-benar sadar.

Seorang pasien gemuk harus tetap terintubasi sampai tidak ada keraguan bahwa udara yang memadai
dan volume tidal dapat dipertahankan. Ini tidak berarti bahwa semua pasien obesitas perlu tetap
terventilator semalaman di unit perawatan intensif.

Jika pasien extubasi di ruang operasi, oksigen tambahan harus disediakan selama transportasi ke ruang
pemulihan.

Modipikasi posisi duduk 45 akan menurunkan diafragma dan meningkatkan ventilasi dan oksigenasi.

Risiko hipoksia meluas selama beberapa hari ke periode pasca operasi, dan oksigen tambahan harus
tersedia rutin.

Lainnya komplikasi pascaoperasi umum pada pasien obesitas meliputi luka infeksi, trombosis vena
dalam dan emboli paru.

Anestesi pada Neonatus


Neonatus adalah masa kehidupan pertama di luar rahim sampai dengan usia 28 hari, dimana terjadi perubahan
yang sangat besar dari kehidupadidalam rahim menjadi diluar rahim. Pada masa ini terjadi pematangan organ
hampir pada semua system.Masa perubahan yang paling besar terjadi selama jam ke 24-72 pertama. Transisi ini
hampir meliputi semua sistem organ tapi yang terpenting bagi anestesi adalah system pernafasan sirkulasi,
ginjal dan hepar.
SISTEM PERNAFASAN
Jalan Nafas :

Otot leher bayi masih lembek, leher lebih pendek, sulit menyangga atau memposisikan kepala dengan
tulang occipital yang menonjol.

Lidah besar, epiglottis berbentuk U dengan proyeksi lebih ke posterior dengan sudut 450, relative
lebih panjang dan keras, letaknya tinggi, bahkan menempel pada palatum molle sehingga cenderung
bernafas melalui hidung. Akibat perbedaan anatomis epiglottis tersebut, saat intubasi diperlukan
pengangkatan epiglottis untuk visualisasi.

Lubang hidung, glottis, pipa tracheobronkial relative sempit, meningkatkan resistensi jalan nafas, mudah
sekali tersumbat oleh lender dan edema.

Trachea pendek, berbentuk seperti corong dengan diameter tersempit pada bagian cricoid. (Cote
CJ,2000)

Pernafasan :

Sangkar dada lemah dan kecil dengan iga horizontal. Diafragma terdorong keatas oleh isi perut yang
besar. Dengan demikian kemampuan dalam memelihara tekanan negative intrathorak dan volume paru
rendah sehingga memudahkan terjadinya kolaps alveolus serta menyebabkan neonatus bernafas secara
diafragmatis.

Kadang-kadang tekanan negative dapat timbul dalam lambung pada waktu proses inspirasi, sehingga
udara atau gas anestesi mudah terhirup ke dalam lambung. Pada bayi yang mendapat kesulitan bernafas
dan perutnya kembung dipertimbangkan pemasangan pipa lambung.

Karena pada posisi terlentang dinding abdomen cenderung mendorong diafragma ke atas serta adanya
keterbatasan pengembangan paru akibat sedikitnya elemen elastis paru, maka akan menurunkan FRC
(Functional Residual Capacity) sementara volume tidalnya relative tetap. Untuk meningkatkan ventilasi
alveolar dicapai dengan cara menaikkan frekuensi nafas, karena itu neonatus mudah sekali gagal nafas.

Peningkatan frekuensi nafas juga dapat akibat dari tingkat metabolisme pada neonatus yang relative
tinggi, sehingga kebutuhan oksigen juga tinggi, dua kali dari kebutuhan orang dewasa dan ventilasi
alveolar pun relative lebih besar dari dewasa hingga dua kalinya. Tingginya konsumsi oksigen dapat
menerangkan mengapa desaturasi O2 dari Hb terjadi lebih mudah atau cepat, terlebih pada premature,
adanya stress dingin maupun sumbatan jalan nafas.

SISTEM SIRKULASI DAN HEMATOLOGI

Pada neonatus reaksi pembuluh darah masih sangat kurang, sehingga keadaan kehilangan darah,
dehidrasi dan kelebihan volume juga sangat kurang ditoleransi. Manajemen cairan pada neonatus harus
dilakukan dengan secermat dan seteliti mungkin. Tekanan sistolik merupakan indicator yang baik untuk
menilai sirkulasi volume darah dan dipergunakan sebagai parameter yang adekuat terhadap penggantian
volume.

Autoregulasi aliran darah otak pada bayi baru lahir tetap terpelihara normal pada tekanan sistemik antara
60-130 mmHg.

Frekuensi nadi bayi rata-rata 120 kali/menit dengan tekanan darah sekitar 80/60 mmHg.

SISTEM EKSKRESI DAN ELEKTROLIT

Akibat belum matangnya ginjal neonatus, filtrasi glomerulus hanya sekitar 30% disbanding orang
dewasa. Fungsi tubulus belum matang, resorbsi terhadap natrium, glukosa, fosfat organic, asam amibo
dan bikarbonas juga rendah.

Bayi baru lahir sukar memekatkan air kemih, tetapi kemampuan mengencerkan urine seperti orang
dewasa.

Kematangan filtrasi glomerulus dan fungsi tubulus mendekati lengkap sekitar umur 20 minggu dan
kematangannya sedah lengkap setelah 2 tahun.. (Cote CJ,2000)

Karena rendahnya filtrasi flomerulus, kemampuan mengekskresi obat-obatan juga menjadi


diperpanjang.

Oleh karena ketidakmampuan ginjal untuk menahan air dan garam, penguapan air, kehilangan abnormal
atau pemberian air tanpa sodium dapat dengan cepat jatuh pada dehidrasi berat dan ketidakseimbangan
elektrolit terutama hiponatremia. (Warih,1992)

Pemberian cairan dan perhitungan kehilangan atau derajat dehidrasi diperlukan kecermatan lebih
disbanding pada orang dewasa. Begitu pula dalam hal pemberian elektrolit, yang biasa disertakan pada
setiap pemberian cairan.

FUNGSI HATI

Fungsi detoksifikasi obat masih rendah dan metabolisme karbohidrat yang rendah pula yang dapat
menyebabkan terjadinya hipoglikemia dan asidosis metabolic.

Hipotermia dapat pula menyebabkan hipoglikemia.

Cadangan glikogen hati sangat rendah. Kadar gula normal pada bayi baru lahir adalah 50-60%.
Hipoglikemia pada bayi (dibawah 30 mg%) sukar diketahui tanda-tanda klinisnya, dan diketahui bila
ada serangan apnoe atau terjadi kejang.

Sintesis vitamin K belum sempurna. Pada pemberian cairan rumatan dibutuhkan konsentrasi dextrose
lebih tinggi (10%). Secara rutin untuk bedah bayi baru lahir dianjurkan pemberian vitamin K 1 mg i.m.

Hati-hati penggunaan opiate dan barbiturate, karena kedua obat tersebut dioksidasi dalam hati.

SISTEM SYARAF

Waktu perkembangan system syaraf, sambungan syaraf, struktur otak dan myelinisasi akan berkembang
pada trimester tiga (myelinisasi pada neonatus belum sempurna, baru matang dan lengkap pada usia 3-4
tahun), sedangkan berat otak sampai 80% akan dicapai pada umur 2 tahun. Waktu-waktu ini otak sangat
sensitive terhadap keadaan-keadaan hipoksia.

Persepsi tentang rasa nyeri telah mulai ada, namun neonates belum dapat melokalisasinya dengan baik
seperti pada bayi yang sudah besar. Sebenarnya anak mempunyai batas ambang rasa nyeri yang lebih
rendah disbanding orang dewasa.

Perkembangan yang belum sempurna pada neuromuscular junction dapat mengakibatkan kenaikan
sensitifitas dan lama kerja dari obat pelumpuh otot non depolarizing.

Syaraf simpatis belum berkembang dengan baik sehingga parasimpatis lebih dominant yang
mengakibatkan kecenderungan terjadinya refleks vagal (mengakibatkan bradikardia; nadi <110
kali/menit) terutama kalau bayi dalam keadaan hipoksia maupun bila ada stimulasi daerah nasofaring.

Sirkulasi bayi baru lahir stabil setelah berusia 24-48 jam.

Belum sempurnanya mielinisasi dan kenaikan permeabilitas blood brain barrier akan menyebabkan
akumulasiobat-obatan seperti barbiturat dan narkotik, dimana mengakibatkan aksi yang lama dan
depresi pada periode pasca anestesi.

Sisa dari blok obat relaksasi otot dikombinasikan dengan zat anestesi IV dapat menyebabkan kelelahan
otot-otot pernafasan, depresi pernafasan dan apnoe pada periode pasca anestesi.

Setiap keadaan bradikardia harus dianggap berada dalam keadaan hipoksia dan harus cepat diberikan
oksigenasi. Kalau pemberian oksigen tidak menolong baru dipertimbangkan pemberian sulfas atropine.

PENGATURAN TEMPERATUR

Pusat pengaturan suhu di hypothalamus belum berkembang, walaupun sudah aktif.

Kelenjar keringat belum berfungsi normal, mudah kehilangan panas tubuh (perbandingan luas
permukaan dan berat badan lebih besar, tipisnya lemak subkutan, kulit lebih permeable terhadap air),
sehingga neonatus sulit mengatur suhu tubuh dan sangat terpengaruh oleh suhu lingkungan (bersifat
poikilotermik).

Produksi panas mengandalkan pada proses non-shivering thermogenesis yang dihasilkan oleh jaringan
lemak coklat yang terletak diantara scapula, axila, mediastinum dan sekitar ginjal. Hipoksia mencegah
produksi panas dari lemak coklat (Morgan HAH,1993)

Hipotermia dapat dicegah dengan suhu sekitar yang panas, selimut atau kain penutup yang tebal dan
pemberian obat penahan keringat (misal: atropin, skopolamin).

Adapun hipotermia bisa disebabkan oleh suhu lingkungan yang rendah, permukaan tubuh terbuka,
pemberian cairan infuse/ tranfusi darah dingin, iriga- si oleh cairan dingin, pengaruh obat anestesi umum
(yang menekan pusat regulasi suhu) maupun obat vasodilator.

Temperature lingkungan yang direkomendasikan untuk neonatus adalah 27 0C. Paparan dibawah suhu
ini akan mengandung resiko diantaranya: cadangan energi protein akan berkurang, adanya pengeluaran
katekolamin yang dapat menyebabkan terjadinya kenaikan tahanan vaskuler paru dan perifer, lebih jauh
lagi dapat menyebabkan lethargi, shunting kanan ke kiri, hipoksia dan asidosis metabolic.

Untuk mencegah hipotermia bias ditempuh dengan : memantau suhu tubuh, mengusahakan suhu kamar
optimal atau pemakaian selimut hangat, lampu penghangat, incubator, cairan intra vena hangat, begitu
pula gas anestesi, cairan irigasi maupun cairan antiseptic yang digunakan yang hangat.

FARMAKOLOGI
Farmakokinetik dan farmakodinamik dari obat-obat yang diberikan pada neonatus berbeda dibanding dengan
dewasa karena pada neonatus :
1. Perbandingan volume cairan intravaskuler terhadap cairan ekstravaskuler berbeda dengan orang dewasa.
2. Laju filtrasi glomerulus masih rendah
3. Laju metabolisme yang tinggi
4. Kemampuan obat berikatan dengan protein masih rendah
5. Liver/hati yang masih immature akan mempengaruhi proses biotransformasi obat.
6. Aliran darah ke organ relative lebih banyak (seperti pasa otak, jantung, liver dan ginjal)
7. Khusus pada anestesi inhalasi, perbedaan fisiologi system pernafasan : ventilasi alveolar tinggi, Minute
volume, FRC rendah, lebih rendahnya MAC dan koefisien partisi darah/gas akan meningkatkan potensi
obat, mempercepat induksi dan mempersingkat pulih sadarnya. Tekanan darah cenderung lebih peka
terhadap zat anestesi inhalsi mungkin karena mekanisme kompensasi yang belum sempurna dan depresi
miokard hebat.

Beberapa obat golongan barbiturat dan agonis opiate agaknya sangat toksisk pada neonatus dibanding
dewasa. Hal ini mungkin karena obat-obat tersebut sangat mudah menembus sawar darah otak,
kemampuan metabolisme masih rendah atau kepekaan pusat nafas sangat tinggi.

Sebaliknya neonatus tampaknya lebih tahan terhadap efek ketamin.

Bayi umumnya membutuhkan dosis suksisnil cholin relative lebih tinggi disbanding dewasa karena
ruang extraselulernya relative lebih besar.

Respon terhadap pelumpuh otot non deplarisasi cukup bervariasi.

PERSIAPAN ANESTESI

Sebelum anestesi dan pembedahan dilaksanakan, keadaan hidrasi, elektrolit, asam basa harus berada
dalam batas-batas normal atau mendekati normal.

Sebagian pembedahan bayi baru lahir merupakan kasus gawat darurat.

Proses transisi sirkulasi neonatus, penurunan PVR (Pulmonary Vascular Resistance) berpengaruh pada
status asam-basanya.

Transportasi neonatus dari ruang perawatan ke kamar bedah sedapat mungkin menggunakan incubator
yang telah dihangatkan. Sebelum bayi masuk kamar bedah hangatkan kamar dengan mematikan AC
misalnya.

Peralatan anestesi neonatus bersifat khusus. Tahanan terhadap aliran gas harus rendah, anti obstruksi,
ringan dan mudah dipindahkan.

Untuk anestesi yang lama, kalau mungkin gas-gas anestetik dihangatkan, dilembabkan dengan pelembab
listrik.

Biasanya digunakan system anestesi semi-open modifikasi system pipa T dari Ayre yaitu peralatan dari
Jackson-Rees.

Puasa
Puasa yang lama menyebabkan dehidrasi dan hipoglikemia. Lama puasa yang dianjurkan adalah stop susu 4 jam
dan berilah air gula 2 jam sebelum anestesi. (Abdul Latief,1991)
Infus

Dipasang untuk memenuhi kebutuhan cairan karena puasa, mengganti cairan yang hilang akibat trauma
bedah, akibat perdarahan, dll.

Untuk pemeliharaan digunakan preparat D5%-10% dalam cairan elektrolit.

Neonatus terutama bayi premature mudah sekali mengalami dehidrasi akibat puasa lama atu sulit
minum, kehilangan cairan lewat gastrointestinal, evaporasi (Insensible water loss), tranduksi atau
sekuestrasi cairan ke dalam lumen usus atau kompartemen tubuh lainnya. Dehidrasi/hipovolemia sangat
mudah terjadi karena luas permukaan tubuh dan kompartemen atau volume cairan ekstra seluler relative
lebih besar serta fingsi ginjal belum matang.

Cairan pemeliharaan/pengganti karena puasa diberikan dalam waktu 3 jam, jam I 50% dan jam II, III
maing-masing 25%.

Kecukupan hidrasi dapat dipantau melalui produksi urin (>0,5ml/kgBB/jam), berat jenis urin (<1,010),
ataupun dengan pemasangan CVP (Central Venous Pressure).

Premedikasi
Sulfas Atropine

Hampir selalu diberikan terutama pada penggunaan Halotan, Enfluran, Isofluran, suksinil cholin atau
eter. Dosis atropine 0,02 mg/kg, minimal 0,1 mg dan maksimal 0,5 mg. lebih digemari secara intravena
dengan pengenceran.

Hati-hati pada bayi demam, takikardi, dan keadaan umumnya jelek.

Penenang
Tidak dianjurkan, karena susunan syaraf pusat belum berkembang, mudah terjadi depresi, kecuali pasca anestesi
dirawat diruang perawatan intensif. (Abdul Latief,1993)
MASA ANESTESI
Induksi
Pada waktu induksi sebaiknya ada yang membantu. Usahakan agar berjalan dengan trauma sekecil mungkin.
Umumnya induksi inhalasi dengan Halotan-O2 atau Halotan-O2/N2O.
Intubasi

Intubasi Neonatus lebih sulit karena mulut kecil, lidah besar-tebal, epiglottis tinggi dengan bentuk U.
Laringoskopi pada neonatus tidak membutuhkan bantal kepala karena occiputnya menonjol. Sebaiknya
menggunakan laringoskop bilah lurus-lebar dengan lampu di ujungnya.

Hati-hati bahwa bagian tersempit jalan nafas atas adalah cincin cricoid.

Waktu intubasi perlu pembantu guna memegang kepala. Intubasi biasanya dikerjakan dalam keadaan
sadar (awake intubation) terlebih pada keadaan gawat atau diperkirakan akan dijumpai kesulitan.

Beberapa penulis menganjurkan intubasi sadar untuk bayi baru lahir dibawah usia 10-14 hari atau pada
bayi premature. Yang berpendapat dilakukan intubasi tidur atas pertimbangan dapat ditekannya trauma,
yang dapat dilakukan dengan menggunakan ataupun tanpa pelumpuh otot.

Pelumpuh otot yang digunakan adalah suksinil cholin 2 mg/kg secara iv atau im.

Pipa trachea yang dianjurkan adalah dari bahan plastic, tembus pandang dan tanpa cuff. Untuk
premature digunakan ukuran diameter 2-3 mm sedangkan pada bayi aterm 2,5-3,5 mm. Idealnya
menggunakan pipa trachea yang paling besar yang dapat masuk tetapi masih sedikit longgar sehingga
dengan tekanan inspirasi 20-25 cmH2O masih sedikit bocor. (Adipradja K, 1998)

Pemeliharaan Anestesi

Dianjurkan dengan intubasi dan pernafasan kendali.

Pada umunya menggunakan gas anestesi N2O/O2 dengan kombinasi halotan, enfluran, isofluran
ataupun sevofluran.

Pelumpuh otot golongan non depol sangat sensitive sehingga harus diencerkan dan pemberiannya secara
sedikit demi sedikit.

Pemantauan
1. Pernafasan : Stetoskop prekordial, Pada nafas spontan ( gerak dada dan bag reservoir),Warna
ekstremitas
2. Sirkulasi : Stetoskop perikordial, Perabaan nadi, EKG dan CVP
3. Suhu : Rektal
4. Perdarahan : Isi dalam botol suction, Beda berat kassa sebelum dan sesudah kena darah, Periksa Hb dan
Ht secara serial
5. Air Kemih : Isi dalam kantong air kemih
PENGAKHIRAN ANESTESIA

Pembersihan lender dalam rongga hidung dan mulut dilakukan secara hati-hati. Pemberian O2 100%
selama 5-15 menit setelah agent dihentikan.

Bila masih ada pengaruh obat pelumpuh obat non-depol, dapat dilakukan penetralan dengan neostigmin
(0,04 mg/kg) bersama atropin (0,02 mg/kg).

Kemudian dilakukan ekstubasi.

KESIMPULAN

Anestesi pada neonatus merupakan hal yang lain dari biasanya.

Karena mereka bukanlah merupakan miniatur orang dewasa sehingga dalam melakukan tindakan
anestesi diperlukan pengetahuan dan keterampilan khusus dan teliti dalam manajemennya.

Perhatian khusus sangat diperlukan mengingat perbedaan anatomi, fisiologi dan farmakologi pada
neonatus.

Jadi sebelum dilakukan tindakan anestesi haruslah dipertimbangkan faktor sistem pernafasan, sirkulasi,
ginjal, dan heparnya.

Pediatrik Neuroanestesia
Menangani pasien bedah saraf tidak hanya memerlukan pengetahuan tentang anestesi umum bedah saraf tetapi
juga
memahami
anestesi
anak
dan
ketidak
normalan
saraf
PERTIMBANGAN PATOFISIOLOGI UMUM

Basic tubular dan multi ventrikel terbentuk saat trimester pertama, tetapi koneksi neural, struktur
pendukung dan mielinisasi terjadi pada semester akhir.

Berat otak akan meningkat dua kalinya saat 6 bulan pertama dan pada tahun kedua akan mencapai 80%
berat optimal.

Pertumbuhan itu membutuhkan banyak oksigen sehingga bila terjadi hipoksia atau iskemia akan terjadi
mikrocephali dan defisit neurologis.

Critical blood flow adalah 15 20 cc/ 100g/ menit

Produksi CSF adalah 0.35 ml/menit dengan perkiraan volume subarakhnoid pada anak sekitar 50 150
cc.

Karena tekanan darah pada anak cenderung rendah maka autoregulasi juga muncul pada tekanan yang
rendah.

CO2 arterial merupakan komponen penentu utama dari CBF pada autoregulasi normal.

Tekanan oksigen arteria juga mempengaruhi CBF, lebih kecil dari pada karbondioksida.

Hipoksia pada anak yang lebih tua dapat meningkatkan CBF dimana pada infant hal ini terjadi saat
tekanan oksigen sangat rendah.

Iskemia dan asidosis juga mempengaruhi CBF sehingga autoregulasi tidak berjalan pada bayi yang sakit

Laju metabolik cerebral juga mempengaruh CBF, kenaikan temperatur akan menaikkan laju metabolik
cerebral.

Tekanan intra cranial dipengaruhi oleh parenkim saraf, CSF dan volume darah, dimana bila salah satu
berubah akan merubah yang lain untuk menjaga agar volume neuraxial tetap konstan (doktrin MonroKellie).

Karena perbedaan compliance dari beberapa faktor menyebabkan kenaikan volume tidak setara dengan
peningkatan ICP

80% otak berisi jaringan neural axis serta 20% berupa CSF dan darah

Hubungan volume dan tekanan intracranial adalah hiperbolik dan kurvanya sesuai dengan compliance

Karena sutura pada bayi belum menutup maka dapat untuk mengukur ICP secara non invasif

Tugas utama pada bedah saraf anak adalah mengontrol ICP caranya dengan memposisikan,
hiperventilasi, dehidrasi euvolume, dan obat

Karena ukuran bayi relatif kecil maka penurunan ICP dapat diperoleh dengan posisi head up

Menolehkan kepala ke salah satu sisi dapat menghambat kembalinya darah lewat vena juguler sehingga
ICP dapat naik

Penggunaan manitol 1 g/kg diikuti oleh 0.7 mg /kg furosemide adalah cara yang paling efektif

Steroid (dexametason 1-3 mg/kg/hari) hanya efektif untuk tumor otak bukan pada trauma

Barbiturat (thiopenthal 2-6 mg/kg) menurunkan ICP dengan cara vasokonstriksi cerebral, menurunkan
cerebral metabolik rate, dan blood flow

Untuk terapi jangka panjang dari peningkatan ICP pada pasien trauma atau Reyes syndrome dapat
digunakan barbiturat continuous infusion dengan serum barbiturat yang direkomendasikan adalah 3 mg/
100 cc

MANAJEMEN ANESTESI
Evaluasi pre operasi

Periksa neurologic history

Traumapengosongan lambung tertunda

Berat badan yang tepat untuk estimasi cairan pengganti dan dosis obat

Laboratorium dan rontgen

Premedikasi harus hati-hati terutama pada airway sulit. Pasien AVM dan aneurisma harus di premedikasi
berat.

Monitoring

Monitor yang ketat terutama pada posisi ekstrim

Monitoring blok neuromuskular

CVP jangan lewat vena juguler karena dapat mengganggu drainage vena dari otak.

CVP dikalibrasi pada level kepala untuk memperkirakan CPP (lateral canthus mata ~ foramen of
Monroe)

Positioning

Elevasi 15-30 derajad dapat menurunkan ICP tetapi bila lebih tinggi maka Cardiac output dan CPP juga
akan turun.

Hal-hal yang diperhatikan pada posisi extrim:


o Badan harus ikut miring kalau kepala dimiringkan
o Kalau kepala flexi harus pakai ETT non kinking
o Pada posisi duduk, jangan gunakan N2O, lutut agak ditekuk dan kaki diberi elastic bandage
o Saat posisi prone, dada dan pelvis harus diganjal, jaga ETT agar jangan sampai lepas

Kontrol temperatur

General anestesi menyebabkan pasien jadi poikilotermik

Hipotermi menurunkan cerebral metabolik rate tetapi juga menurunkan tekanan darah dan shivering

Cegah hipotermi dengan menaikkan suhu kamar operasi, menghangatkan dan melembabkan gas
anestesi, membungkus pasien, matras penghangat dan menghangatkan cairan yang masuk.

Penggantian cairan dan darah

Pemberian infus cairan gula harus disertai dengan pemeriksaan gula karena peningkatan kadar gula
dapat memperburuk kondisi neurologik pasien.

Perlu adanya monitoring dan pemeriksaan Hct serial karena kehilangan darah sulit diestimasi

Bila perdarahan >2x EBV maka perlu tranfusi FFP dan platelet

Pada tranfusi masif (1.5 2 cc/kg/menit) atau infus cepat FFP (>1 cc/kg/menit) perlu diperhatikan
hipoCa dan butuh terapi Ca (10-20 mg/kg).

Induksi

Induksi harus mulus

Barbirturat merupakan agen yang ideal untuk menurunkan ICP, CBF dfan metabolic rate

Pada anak yang tidak kooperatif perlu dipertimbangkan induksi per rectal

Pada pasien dengan anomali craniofascial lebih baik diinduksi inhalasi atau awake intubasi.

Halotan meningkatkan CBF tapi dapat diminimalisasi dengan hiperventilasi

Isofluran menurunkan konsumsi O2 cerebral tapi bila dihiperventilasi bisa terjadi penurunan CBF

Scholin tidak disukai karena dapat menaikan ICP

Atracurium menyebabkan histamin release

Vecuronium lebih disukai

Pada bayi dan anak dimana Cardiac Output merupakan rate dependen, pancuronium lebih dipilih karena
membuat kardiovaskular stabil

Intubasi

ETT not kinking dipakai pada posisi yang ekstrim

Untuk anak < 6 tahun digunakan ETT non cuff untuk mencegah trauma subglotis

Gastric tube digunakan untuk mencegah distensi lambung

Lidokain 1-1.5 mg/kg digunakan untuk mencegah reflek simpatis dan mencegah peningkatan ICP

Maintanance dan pelayanan post operasi

Isofluran dosis rendah berguna jika diperlukan hipotensi terkontrol

N2O harus dihindari pada pembedahan intracranial dan apabila membuka vena besar

Emergency dan pelayanan post operasi

Tujuan utama anestesi pada bedah saraf anak adalah pasien bangun dengan halus untuk mencegah
peningkatan ICP

Reversal diperlukan untuk mencegah hipoventilasi

Anestesi inhalasi dapat dieliminasi dengan cepat tanpa efek sisa sehingga cocok untuk anestesi anak
yang ICP nya tidak naik

Post operasi anak sering timbul hipoksemia sehingga perlu suplemen O2

HYDROCHEPALUS
Penyakit bedah saraf anak terbanyak
Pertimbangan klinis

Hidrocephalus merupakan ketidak seimbangan antara produksi CSF dan absorbsi, dimana hampir semua
kasus merupakan obstruksi pada sirkulasi CSF kecuali pada Choroid plexus papilloma dimana terjadi
over sekresi dari CSF

Obtruksi tersering adalah pada keluaran ventikel 4, biasanya stenosis aquaductal.

Penyebabnya myelomeningocelle, Arnold-Chiari malformation, congenital atresia of the foramina of


Luschka and Magendie, Dandy-Walker cyst, dan massa intracranial

Hydrocephalus yg didapat pada infant seringkali karena fibrosis akibat leptomeninges dari meningitis
atau perdarahan intraventrikuler.

Karena tengkorak bayi dapat melebar maka tanda peningkatan ICP muncul terakhir

Gejala awal adalah membesarnya kepala dan bila sudah maksimal akan muncul tanda-tanda peningkatan
ICP seperti mual, tanda setting sun dan lumpuhnya nervus ke enam

Diagnosa pasti didapat dengan CT Scan

Manajemen Operasi

Tehniknya relatif mudah yaitu menempatkan kateter dalam sistem ventrikel baik lewat frontal maupun
occipital.

Kateter tersebut dilewatkan subcutan ke rongga peritoneum, atrium kanan, atau di kavitas paru.

Atrium kanan mempunyai resiko mikroemboli, cor pulmonale dan gagal jantung kanan sehingga hanya
dipakai bila tidak bisa ditaruh di rongga abdomen.

Shunt ke pleura sering dipakai untuk anak dengan usia lebih tua (>7 tahun) tetapi dengan resiko efusi
pleura yang mengarah ke gagal napas.

Manajemen anestesi

Ketika shunt mengalami gangguan maka akan terjadi kegawatan karena antara peningkatan ICP dengan
herniasi intracerebral waktunya pendek.

Peningkatan ICP dapat dikurangi dengan cara intubasi, hiperventilasi sehingga PaCO2 22-25 mmHg,
manitol (0.5-1 mg/kg) dan furosemide (1mg/kg) untuk membuang cairan extra sel.

Saat terjadi kegawat daruratan maka jarum spinal dapat dimasukkan lewat fontanela yang terbuka atau
dimasukkan lewat tempat kateter shunt sebelumnya.

Lebih baik tidak disedasi saat premedikasi dan diinduksi dengan barbiturat atau dengan menggunakan
halotan-N2O.

Jika tidak kooperatif bisa diberikan methohexital 25mg/kg dalam larutan 10%

Pasien diposisikan supine, agak ekstensi dengan kepala menghadap ke arah anestesi

Perhatikan peletakan elektroda ECG agar tidak mengganggu ruang kerja bedah

Jumlah perdarahan biasanya minimal dan waktu operasi singkat

Hati-hati saat meletakkan kateter di rongga abdomen agar tidak terjadi perforasi buli

Komplikasi

Ventrikel atrial shunt bisa menyebabkan disritmia kardiac dan emboli udara

Kateter atrial dimasukkan lewat vena jugularis masuk ke atrium kanan (posisi midatrial)

Shunt di pleura harus disertai dengan napas tekanan positif agar paru tidak kolap

Umumnya pasien mudah dibangunkan dan diekstubasi sadar baik kecuali pasien dengan kecenderungan
parese vokal cord.

Pembuangan CSF secara tiba-tiba dalam jumlah yang banyak bisa menarik batang otak keatas dan
disertai gejala serupa dengan herniasi batang otak (bradikardi, disritmia, gasping)

Bridging cortical vein dapat ruptur dan menyebabkan SDH

Pada pasien Arnold-Chiary malformation atau Dandy-Walker syndrome, paralisa satu atau dua pita suara
dapat memperparah napas penderita

CRANIAL DAN SPINAL DYSRAPHISM


Yang paling sering adalah spina bifida occulta
Myelomeningocele

Merupakan kasus yang paling parah dan paling sering ditemui

Elemen saraf sebagian tertutupi kulit dan meningen dan biasanya ruptur saat persalinan

Dengan perawatan yang agresif, pasien bisa bertahan cukup lama

Kelainan dilumbal dan sacrum secara rutin diperbaiki pada saat awal post partum

Kelainan dithorak dan cervical seringkali tidak diterapi

Sebagian besar dari myelomeningocele mengalami hydrochephalus

Perbaikan defek spinal biasanya dilakukan dalam 48 jam pertama

Tehnik yang dipakai biasanya adalah membebaskan kulit dan subcutan untuk menutup
myelomeningocele yang besar

Bila meningocele berada di occipital maka dianjurkan untuk mengintubasi sambil miring menghadap
muka pasien secara awake.

Sebelum mengintubasi lakukan atropinisasi (0,01 0.02 mg/kg untuk mencegah bradikardi yang
mengarah ke kolapnya kardiovaskuler

Saat diposisikan tengkurap, letak bokong harus lebih tinggi dari kepala agar mencegah CSF bocor lewat
myelomeningocele

Pasien diposisikan dengan penyangga pada dada dan panggul supaya perut bebas

Bila meningocele dan hidrocephalus diterapi sekaligus maka posisi perut harus oblique

Selama posisi prone pasien dikontrol ventilasi dan dijaga suhu dan volumenya

Perdarahan yang terjadi bisa banyak saat dilakukan skin flap dan bila kantongnya pecah sebelum operasi
maka diperlukan terapi cairan

Muscle relaksan tidak boleh digunakan bila perlu dilakukan neuro transmiter test

Post op pasien dirawat dengan posisi prone dengan posisi kepala lebih rendah dari meningocelenya
sehingga ekstubasi boleh dilakukan saat pasien sudah sadar baik

Hampir semua pasien juga menderita Arnold-Chiary tipe II malformation dengan pergeseran dari
cerebelum dan ventrikel 4 lewat foramen magnum

Karena manipulasi leher dapat menekan brainstem maka leher harus dipegang oleh asisten selama
intubasi

Encephalocele
Bisa berupa polip kecil sampai massive encephalocele

Anak dengan encephalocele dapat tumbuh dengan intelektual normal

Encephalocele frontal butuh fiksasi ETT yang baik karena biasanya pasien hyperteleoric dan butuh
rekonstruksi sinus

Pasien dengan encephalocele occipital perlu diintubasi posisi miring kemudian diposisikan prone

Selama memposisikan hari-hati supaya jangan menekan encephalocele

Perdarahan bisa sangat banyak karena sagital venous sinus terlibat baik untuk encephalocele frontal
maupun occipital

Saat encephalocele dieksisi sering muncul gejala bradikardia

Tindakan operasinya adalah memotong proporsi extracranial dan memperbaiki defek cranial dengan
dural graft dan skin graft

Dysrhaphisms yang lain


Pada pasien ini biasanya dilakukan pelepasan tethered cord atau memotong intra spinal lipoma atau dermoid

Operasi dengan posisi prone terdiri dari laminectomy dan melepas cord dan nerve roots dengan
menggunakan mikroskop

Perdarahan biasanya minimal

CRANIOSYNOSTOSIS

Merupakan penutupan sutura secara prematur dan menimbulkan gangguan kosmetik an letak wajah

Jika hanya satu sutura yang menyatu maka akan terjadi malrotasi

Bila ada beberapa sutura yang menyatu maka otak tidak bisa berkembang, ICP meningkat, gangguan
pertumbuhan

Biasanya craniosynostosis terkait dengan Crouzons syndrome dan Aperts syndrome

Tehnik operasi klasik adalah synostectomy

Coronal synostosis terdiri dari bifrontal skin flap, bifrontal craniostomy dan orbital rim advancement

Sagital suture synostosis terdiri dari bilateral parasagital synostectomy

Operasinya biasanya menggunakan dural plication untuk mengatur abnormal contur dari otak

Tehnik operasi terbaru menggunakan Phi () squeeze procedure dimana tehnik ini membutuhkan terapi
dehidrasi untuk membuat otak relaks dan mengecil

Crouzons dan Aperts syndrome

Pasien ini mengalami deformitas midface yang berat dan displasia sehingga mengalami gangguan
pertumbuhan dari jalan napas dan cenderung untuk apnea karena obstruksi. Hal ini menyebabkan
sulitnya intubasi terutama intubasi nasal

Tanda-tanda yang lain : exopthalmus dengan hypertelorism, mata yang sangat lebar dan proptosis,
tulang-tulang yang abnormal

Pasien ini diterapi dengan midface Le Fort advancements.

Pre operasi pasien ini perlu diperhatikan ICP nya

Induksi secara inhalasi biasanya aman dimana sebagian besar pasien ini dengan ICP normal

Induksi barbiturat dilakukan bila tidak ada abnormalitas pada jalan napas

Semua pasien ini harus diintubasi selama operasi dengan fiksasi yang baik karena posisinya yang
extreme

Infant dengan posisi supine dengan fleksi leher yang ekstreme mempunyai resiko untuk emboli udara
karena osteotomy nya diatas level jantung sehingga perlu monitoring dengan precordial doppler

Perdarahannya biasanya banyak karena itu perlu monitor IAP dan pemeriksaan BGA dan hematocrit
berkala

Jika tranfusinya banyak maka perlu tranfusi fresh frozen plasma dan platelet

Pasien yang lebih dewasa mengkin memerlukan osteotomy cranial dan facial dan butuh nasal intubasi

Jika diperlukan graft costa hati-hati pneumothorak

Ektubasi dilakukan bila sudah tidak bengkak dan tidak ada darah yang merembes

Holoprosencephaly

Merupakan serangkaian malformasi teratology yang ditandai dengan deformitas wajah dan otak

Tanda-tandanya adalah satu ruang ventrikel, thalamus yang menyatu, tidak adanya inferiofrontal dan
temporal, isocortek yang rudimenter

Induksi dengan menggunakan halotan dan dipre medikasi dengan atropin

TRAUMA KEPALA

Trauma kepala merupakan penyebab kematian terbanyak dan 70% nya karena kecelakaan sepeda motor

Angka morbiditas dan mortalitas meningkat sejalan dengan lamanya jarak antara trauma dan
penanganannya sehingga trauma ini memerlukan perhatian dan evaluasi yang cepat supaya tidak terjadi
kecacatan

Pada anak, respon pertama dari trauma adalah hiperemia dan peningkatan ICP

Oksigen harus diberikan secepat mungkin dan airway harus segera dilindungi dengan intubasi

Untuk mencegah peningkatan ICP, digunakan RSI dengan barbiturat dan lidokain

Hiperventilasi bisa menurunkan ICP dengan menurunkan PaCO2

Selama operasi jaga PaCO2 20-25 mmHg

ICP juga dapat diturunkan dengan agent hiperosmolar seperti manitol (0.5-1 g/kg) dan posisi slight head
up

Manitol menaikkan volume darah sehingga ICP meningkat pada anak sedangkan pada neonatus dapat
terjadi congestive heart failure

Jaga agar osmolaritas serum berada pada 295-305, bila diatas 320 mOsm/l akan terjadi renal tubular
nekrosis

Cedera tulang leher jarang terjadi pada anak, apabila ada maka perlu dilakukan traksi leher

Untuk mengontrol ICP dalam jangka panjang digunakan steroid (terutama pada tumor)

Barbiturat masih digunakan untuk mengontrol ICP durante operasi dan untuk Reyes syndrome

Pelumpuh otot digunakan untuk mencegah naik turunnya ICP karena batuk dan mengejan

Perdarahan pada subdural hematom dapat menyebabkan hipotensi pada bayi karena ukuran kepala lebih
besar dari badan

Depresi tulang tengkorak dapat terjadi pada anak tanpa laserasi kulit kepala dan tidak memerlukan
operasi emergensi

TUMOR OTAK

Tumor kepala merupakan tumor terbanyak kedua pada anak dimana kebanyakan berada di infratentorial

Tumor terbanyak adalah cerebellar astrocytoma, medulloblastoma dan brainstem glioma. Di jepang dan
Afrika tumor terbanyak adalah craniopharyngiomas dan pinealomas sedangkan ependymoma terbanyak
di India

Tumor pada anak cenderung gawat karena kebanyakan berada di fossa posterior dan dapat menyebabkan
obtruksi CSF

Tumor anak dibedakan menjadi tumor supratentorial dan infratentorial

Gejala tumor supratentorial : kejang, perdarahan dan lesi neurologis, sayangnya gejala ini muncul tibatiba sehingga perlu penanganan segera

Pembedahan digunakan untuk diagnosa, dekompresi atau pengangkatan total

Gejala tumor infratentorial berupa peningkatan ICP dengan atau tanpa hidrocephalus

Manajemen anestesi

Tujuan utamanya adalah mencegah peningkatan ICP dan menjaga suhu badan karena operasinya lama

Pasien biasanya mendapat dexamethasone dan furosemide atau manitol untuk mengurangi edema
cerebri

Pada anak yang lebih tua dilakukan drainase spinal untuk mengurangi volume otak

Anestesi dengan induksi intravena, hiper ventilasi dan narkotik serta isofluran dosis rendah

Diusahakan agar pasien segera bangun agar dapat dilakukan pemeriksaan neurologis

Pertanyaan yang perlu dijawab sebelum operasi:

1.

- apakah hiperventilasi dan dehidrasi diperlukan

2.

- penggunaan steroid dan dosisnya

3.

- apakah hiperventilasi dan dehidrasi diperlukan

4.

- penggunaan steroid dan dosisnya

5.

- pada pasien tumor supratentorial, seberapa

6.

- terapi cairan 60-80% normal

7.

- apakah tumornya highly vaskular, apakah

sering diberikan anti kejang

perdarahannya mungkin banyak

Posisi anak durante operasi perlu dipertimbangkan

Manipulasi dari brainstem dapat menyebabkan aritmia

Idealnya untuk pasien tumor langsung sadar saat akhir operasi

Saat pasien mulai bangun dan ekstubasi merupakan saat kritis dimana bisa timbul perdarahan bila pasien
mengejan (valsava manuver) atau hipertensi

Tumor pada daerah supra sella biasanya menyebabkan gangguan endokrin dan seringkali disertai dengan
gangguan penglihatan

Operasinya lewat transphenoidal pada dewasa dan frontal craniotomy pada anak

Manipulasi saraf penglihatan dapat menyebabkan bradikardi dapat diterapi dengan atropin

Diabetes insipidus mungkin terjadi durante atau post operasi

Pitresin dihindari saat durante operasi dan penggantian cairan elektrolit harus sesuai dengan evaluasi
elektrolit secara serial

Cairan dekstrosa sebaiknya dihindari karena dapat menyebabkan hiperglikemia yang parah

GANGGUAN VASKULER

Gangguan yang jarang pada anak dimana AVM merupakan gangguan yang tersering

90% AVM dijumpai di supratentorial pada cabang utama arteri carotis interna

Gejala AVM baru muncul saat usia 30-40 tahun

Pada anak, gejala AVM adalah perdarahan intracranial yang harus segera dihilangkan kalau perlu
dilakukan surgical extirpasi dan perlu dilakukan resusitasi segera, proteksi jalan napas, dan pencegahan
peningkatan ICP

Aneurisma

Berbeda dengan dewasa, anak laki lebih sering mengalami aneurisma dan sering berada di distal dari
circle of willis

Aneurisma pada anak sering terkait dengan coarctation dari aorta, penyakit ginjal polikistik, hipertensi
esential, pheochromocytoma atau cyanotic congenital heart disease

Tehnik operasinya adalah obliterasi dan relatif lebih gampang dari dewasa karena tidak ada
atherosclerotic

Anak dengan perdarahan subarachnoid akibat aneurisma akan mengalami peningkatan ICP dan
dikurangi dengan agen dehidrasi, hiperventilasi dan drainage spinal

Durante operasi biasanya diperlukan hipotensi sehingga diperlukan obat untuk menurunkan tekanan
darah dengan cepat dimana pada anak lebih baik digunakan anestesi inhalasi yang dalam, pada anak
lebih tua dapat digunakan trimethaphan atau sodium nitroprusside

Trimethaphan dapat menyebabkan takikardi yang bisa diturunkan dengan beta adrenergic bloker.
Sodium nitroprussid lebih umum digunakan

Setelah cliping aneurisma selesai maka tekanan darah dikembalikan normal atau sedikit diatas normal
untuk memaksimalkan perfusi otak dan menurunkan vasospasm

Arteriovenous malformation

Penyakit ini sebelumya jarang ada namun karena perkembangan tehnik radiologi maka kasus ini jadi
sering muncul

Penyakit ini muncul disertai dengan perdarahan subarachnoid atau kejang

Pembedahannya lama dan berdarah banyak

Pencegahan kejang diberikan pra operasi

Premedikasi dengan sedasi berat

Perlu induksi yang mulus dan dilindungi dengan lidokain

Durante operasi memerlukan hipotensi dan pengaturan ICP

Aneurysms of the Vein of Galen

Lebih dari separuh AVM dengan gejala melibatkan vena besar dari Galen

Pertemuan antara arteri cerebral dengan vena besar Gallen menampakan beberapa tingkatan shunt dari
kiri ke kanan

Gejala tergantung dari derajad shunting dan letak aneurisma dan biasanya dibagi 3 pola:
1. Bayi baru lahir dengan gagal jantung kongesti yang parah. Kadang disertai kejang dan
hidrocephalus dan suara bruit yang keras di cranial. Diperlukan cerebral angiography untuk
melihat pembuluh darah yang memberi makan aneurisma. Pengontrolan gagal jantung kongestif
segera dilakukan agar operasi koreksi bisa segera dilakukan
2. Bayi dan anak yang lebih tua mempunyai gejala
hidrocephalus dan craniomegaly, sebagai
akibat dari penekanan ventrikel ketiga dan aquaductus Sylvii. Cardiomegaly sering muncul dan
bruit di cranial sering terdengar
3. Anak yang lebih tua dan dewasa memiliki gejala migrain dengan atau tanpa hidrocephalus.
Terdapat garis calcium mengelilingi aneurisma yang terlihat di foto. Karena shunt nya lebih
kecil, maka gagal jantung kongestif dan cardiomegali jarang ada

Manajemen anestesinya merupakan hal yang sulit dimana anak mengalami gagal jantung kongestif,
kardiomyopathy dan operasinya berdarah banyak

Setelah ligasi akan muncul hipervolume tiba-tiba karena 80% kardiak output mengalir dalam shunt dan
volume darah central akan meningkat bermakna setelah aneurisma dikeluarkan

Angka kematiannya 50-70%

Banyak tehnik termasuk extracorporeal circulation dengan hipotermia telah direkomendasikan

Yang penting saat operasi adalah menjaga perfusi tetap adekuat agar mencegah iskemi miokard,
memberikan cairan pengganti, tehnik anestesi yang menyediakan pengurangan maksimal pada otak yang
bengkak dengan steroid dan furosemid

Penggunaan narkotik, oksigen dan pankuronium juga dianjurkan

Pada anak yang lebih tua, hipotensi terkontrol diperlukan agar bedah dapat mencapai tempat lesinya

Pada neonatus yang sakit atau bayi kecil, hipotensi dan hipovolemi harus dihindari karena dapat
menurunkan perfusi dari myocard

Prosedur Diagnosis
Kemajuan CT scan dan MRI memungkinkan pneumoencephalography

Baik CT scan dan MRI membutuhkan sedasi ringan

Cerebral arteriography dan myelography pada bayi dan anak membutuhkan anestesi umum

Jika ICP normal maka anestesi inhalasi dengan napas spontan lebih nyaman

Intubasi dimungkinkan karena pasien akan dipindah dari mesin anestesi untuk angiography dan prone
untuk myelography

Anestesi Pediatri
1.

Perbedaan jalan napas orang dewasa dan anak-anak


JALAN NAPAS INFAN
SIGNIFIKANSI
Pernapasan hidung yang
Infan bernapas hanya melalui
obligat, nares sempit
hidung yang mudah tersumbat oleh
sekresi
Lidah yang besar
Dapat menyumbat jalan napas dan
membuat laringoskopi dan intubasi
lebih sulit
Oksiput yang besar
Sniffing positon tercapai dengan
mengganjal bahunya
Glottis terletak pada C3 bayi
Laring terletak lebih anterior;
yang prematur, C3-C4 bayi
penekanan krikoid sering dapat
baru lahir, dan C5 dewasa
membantu visualisasi
Laring dan trakhea berbentuk Bagian tersempit trakhea adalah
seperti corong
krikoid; pasien sebaiknya
dipasangkan ETT berukuran < 30
cm H2O untuk mencegah tekanan
yang berlebihan pada mukosa
trakhea, barotrauma
Pita vokalis lebih miring ke
Insersi ETT mungkin lebih sulit
anterior
ETT = endotracheal tube

2.

Perbedaan sistem pulmonal orang dewasa dengan anak-anak


SISTEM PULMONAL
SIGNIFIKANSI
ANAK-ANAK
Alveoli yang sedikit dan lebih Jumlah alveoli pada usia 6 tahun 13
kecil
kali lebih banyak dibanding bayi
baru lahir
Kemampuan pengembangan
Kecenderungan kollaps jalan napas
lebih kecil
lebih besar

Kurang elastis
Resistensi jalan napas lebih
besar
Jalan napas lebih kecil
Iga-iga lebih horizontal, lebih
lunak, dan mengandung lebih
banyak kartilago
Mengadung otot tipe-1 (yang
sangat oksidatif) yang lebih
sedikit
Kapasitas total paru (TLC)
kurang, RR dan metabolik
lebih cepat
Volume akhir lebih besar
3.

4.

Tenaga untuk bernapas lebih besar


dan penyakit lebih rentan
menyerang saluran napas yang
kecil
Mekanisme kerja dinding dada
tidak efisien
Bayi lebih mudah lelah
Desaturasi terjadi lebih cepat
Ventilasi ruang rugi lebih tinggi

Mengapa sistem kardiovaskuler pada anak-anak berbeda?

Bayi baru lahir tidak mempu meningkatkan curah jantungnya (CO) dengan cara meningkatkan
kontraktilitasnya; CO hanya dapat ditingkatkan dengan cara meningkatkan denyut jantung (HR)

Bayi mempunyai refleks baroreseptor yang immatur dan kemampuan kompensasi yang terbatas hanya
dengan cara meningkatkan denyut jantung (HR). Itu sebabnya bayi lebih rentan terhadap efek depresi
jantung anestetik volitile.

Bayi dan infan mempunyai tonus vagus yang lebih tinggi sehingga cenderung bradikardi. Tiga penyebab
utama bradikardia adalah hipoksia, stimulasi vagus (laringoskopi), dan anestetik volatile (mudah
menguap). Bradiardi itu Tidak Baik.

Tanda-tanda vital yang normal pada anak-anak


USIA
(tahun)
<1

HR

RR

SBP

DBP

12030-60
60-95
35-69
160
1-3
9024-40
95-105
50-65
140
3-5
7518-30
95-110
50-65
110
8-12
7518-30
90-110
57-71
100
12-16
60-90
12-16
112-130
60-80
HR = denyut jantung, RR = frekuensi napas, SBP = tekanan darah sistol,
DBP = tekanan darah diastol. Kaidah yang disetujui : tekanan darah = 80 mmHg + 2 x usia
5.

Kapan sebaiknya anak-anak dipremedikasi ? Obat apa yang sering dipakai ?


Anak-anak sering mengalami rasa takut dan gelisah yang sangat besar saat mereka terpisah dari orang tua
mereka dan saat induksi anestesi. Premedikasi dianjurkan oleh Vetter pada anak-anak yang berusia 2-6 tahun
dan belum pernah menjalani pembedahan atau tidak menerima tuntunan dan pemahaman perioperatif atau yang
gagal berinteraksi positif dengan layanan perawatan kesehatan saat perioperatif. Telah banyak ditemukan
perubahan tingkah laku yang negatif pasca operasi pada anak-anak yang gelisah selama induksi.
Medikasi Preoperatif Yang Sering Digunakan Dan Cara Pemberiannya
Cara
Obat
Keuntungan
Kerugian
Pemberian
Rasanya tidak
Onset cepat,
enak saat
po, pr, in, iv,
Midazolam
efek samping
diberikan per oral,
sl
minimal
menyengat dalam
hidung
Memperlambat
emergensi,
po, pr, in, iv, Onset cepat,
Ketamin
rasanya tidak
sl
analgesia bagus
enak, menyengat
dalam hidung

Rasanya enak,
Dapat terjadi
anlagesik bagus,
hipoksemia, mual
onset 45 menit
Murah, efek
Onset lama,
Diazepam
po, pr, im
samping
emergensi jadi
minimal
berkepanjangan
Po = per oral, pr = per rektum, iv = intravena, sl = sublingual, im = intramuskuler,
in = intranasal, otfc = fentalnil sitrat transmukosa oral
Fentanyl

6.

Otfc

Teknik induksi yang sering digunakan pada anak-anak

Induksi inhalasi adalah teknik induksi yang paling sering digunakan pada anak-anak berusia < 10
tahun. Anak-anak disuruh menghirup N2O 70% dan oksigen 30% selama sekitar 1 menit; halotan
kemudian diberikan secara perlahan. Konsentrasi halotan ditingkatkan 0,5% setiap 3-5 kali bernapas.
Jika anak itu batuk atau menahan napas, konsentrasi halotan tidak boleh dinaikkan sampai batuk atau
menahan napas itu berhenti. Sevofluran juga dapat digunakan dengan atau tanpa N2O.

Induksi inhalasi yang cepat atau brutane digunakan pada anak-anak yang tidak kooperatif. Anakanak dibaringkan kemudian dipasangkan sungkup yang mengandung N2O 70% dan oksigen 30%, dan
halotan 3-5% atau sevofluran 8% pada mukanya. Teknik yang seringkali tidak nyaman ini sebaiknya
dihindari jika memungkinkan. Sekali anestesi telah diinduksi, konsentrasi sevofluran atau halotan harus
dinaikkan.

Steal Induction dapat digunakan saat anak-anak telah tidur. Induksi anestesi dilakukan dengan
menggunakan sungkup yang agak jauh dari muka si anak, kemudian konsentrasi halotan atau sevofluran
ditingkatkan secara bertahap. Tujuan hal ini adalah untuk menginduksi anestesi tanpa membangunakan
si anak.

Induksi intravena digunakan pada seorang anak yang telah dipasangi infus atau pada anak-anak yang
berusia > 10 tahun. Medikasi yang biasanya digunakan pada anak-anak adalah tiopental 5-7 mg/kg;
propofol 2-3 mg/kg; dan ketamin 2-5 mg/kg. Agar prosedur tidak traumatik, krim EMLA (campuran
anestesi lokal yang eutektos/mudah larut) diusapkan paling kurang 90 menit sebelum infus IV dipasang.

7. Mengapa keberadaan shunt kiri - ke - kanan (left - to - right) dapat mempengaruhi induksi inhalasi?
Shunt kiri-ke-kanan intrakardiak menyebabkan overload volume pada sisi kanan jantung dan pada sirkulasi
paru. Pasien dapat menderita gagal jantung kongestif (CHF) dan penurunan kemampuan pengembangan paru.
Ambilan dan distribusi zat-zat inhalasi hanya terpengaruh sedikit (minimal); waktu onset zat-zat intravena
sedikit memanjang.
8.

Bagaimana dengan shunt kanan-ke-kiri (right-to-left) ?


Shunting kanan-ke-kiri intrakardiak menyebabkan overload ventrikel kiri. Pasien berkompensasi dengan cara
meningkatkan volume darah dan hematokrit. Hal ini penting untuk memelihara resistensi vaskuler perifer tetap
tinggi untuk mencegah peningkatan shunting kanan ke kiri. Shunt seperti itu dapat sedikit memperlambat
induksi inhalasi dan mempersingkat waktu onset induksi zat-zat intravena.

9. Hal - hal khusus lain yang harus diperhatikan pada anak - anak yang menderita penyakit jantung

Anatomi lesi dan arah aliran darah sebaiknya ditentukan. Resistensi vaskuler pulmonal (PVR) perlu
dijaga. Jika PVR meningkat, shunting kanan-ke-kiri dapat meningkat dan memperburuk oksigenasi,
sementara itu, pasien yang menderita shunt kiri-ke-kanan mengalami arah aliran darah yang sebaliknya
(sindrom Eisenmenger). Jika pasien menderita shunt kiri-ke-kanan, penurunan PVR akan meningkatkan
aliran daraj ke paru-paru dan mengarah ke edema pulmonal. Menurunkan PVR pada pasien dengan
shunt kanan-ke-kiri dapat memperbaiki hemodinamik.

Kondisi-kondisi yang Dapat Mningkatkan Shunting


Shunt Kiri-Ke-Kanan
Shunt Kanan-Ke-Kiri
Hematokrit rendah
SVR menurun
SVR meningkat
PVR meningkat
PVR menurun
Hipoksia
Hiperventilasi
Hiperkarbia
Hipotermia
Asidosis
Zat anestetik : Isofluran
Zat anestetik: N2O,Ketamin ?
SVR = resistensi vaskuler sistemik; PVR = resistensi vaskuler pulmonal

10.

Gelembung udara harus dihindari dengan sangat cermat. Jika terdapat komunikasi antara sisi jantung
kanan dan kiri (defek septum ventrikel, defek septum atrium), injeksi udara secara iv dapat berjalan
melintasi komunikasi tersebut dan masuk ke sistem arteri. Hal ini akan mengarah ke gejala-gejala SSP
(susunan saraf pusat) jika udara tersebut menyumbat suplai darah ke otak dan medulla spinalis (emboli
udara paradoksikal).

Antibiotik Profilaksis sebaiknya diberikan untuk mencegah endokarditis bakteri. Medikasi dan dosis
yang direkomendasikan dapat ditemukan pada pedoman Asosiasi Jantung Amerika.

Hindari Bradikardi

Mengenali dan mampu menangani tet spell. Anak-anak dengan tetralogy of fallot mengalami
obstruksi aliran sebelah kiri (RVOT/right outflow tract ), overriding aorta, dan stenosis atau atresia
pulmonal. Beberapa diantaranya akan mengalami ucapan hipersianotik (tet spell) akibat suatu
stimulasi saat usianya bertambah. Episode seperti itu ditandai oleh memburuknya obstruksi RVOT,
mungkin sebagai akibat hipovolemia, peningkatan kontraktilitas, atau takikardi saat stimulasi atau stress.
Pasien sering ditangani dengan beta blocker, yang sebaiknya dilanjutkan saat perioperatif. Hipovolemia,
asidosis, menangis atau gelisah yang berlebihan, dan peningkatan tekanan jalan napas sebaiknya
dihindari. Resistensi vaskuler sistemik (SVR) sebaiknya tetap terpelihara. Jika ucapan hipersianotik
terjadi saat periode perioperatif, penatalaksanaan yang dapat dilakukan antara lain : memelihara jalan
napas, infus volume, meningkatkan kedalaman anestesia atau mengurangi stimulus pembedahan.
Fenilefrin sangat bermanfaat dalam meningkatkan SVR. Dosis tambahan dari beta blocker juga dapat
dicoba. Asidosis metabolik sebaiknya dikoreksi.

Cara pemilihan ukuran ETT yang tepat ?


Ukuran Diameter Interna
USIA
(mm)
Bayi baru lahir
3,0 3.5
Bayi baru lahir 12 bulan
3,5 4,0
12 18 bulan
4,0
2 tahun
4,5
> 2 tahun
Ukuran ETT =

ETT setengah nomor di atas dan setengah di bawah harus disiapkan

Kebocoran di sekitar ETT sebaiknya kurang dari 30 cm H2O

ETT sebaiknya dipasang pada kedalaman sekitar 3 kali dari diameter internanya.

11. Dapatkah ETT yang ber-cuff digunakan pada anak-anak ?


ETT yang ber-cuff dapat diguanakan pada anak-anak. Tentu saja cuff tersebut mengambil tempat sehingga
membatasi ukuran ETT. Namun, Khine dkk., telah memperlihatkan bahwa pipa yang ber-cuff telah sukses
digunakan bahkan pada neonatus tanpa peningkatan komplikasi.
12. Dapatkah laryngeal mask airway (LMA) digunakan pada anak-anak?
LMA dapat sangat bermanfaat pada pediatrik. Alat ini dapat membantu pada jalan napas sulit, baik sebagai
teknik tunggal, maupun digunakan bersama-sama dengan ETT.
13. Bagaimana cara pemilihan ukuran LMA yang tepat ?
Berat Badan Anak
Ukuran LMA
Neonatus sampai 5 kg
1
Infan 5-10 kg
1
Anak-anak 10-2 kg
2
Anak-anak 20-30 kg
2
Anak-anak/dewasa muda > 30
3
kg
14. Mengapa farmakologi obat-obat anestetik yang sering digunakan pada anak-anak berbeda?

Konsentrasi alveolar minimal (MAC) zat-zat volatile lebih tinggi pada anak-anak dibanding dewasa.
MAC tertinggi adalah pada infan 1-6 bulan. Bayi prematur dan neonatus mempunyai MAC yang rendah

Anak-anak mempunyai toleransi yang lebih tinggi terhadap efek disritmik epinefrin pada anestesi umum
dengan zat-zat volatile

Anak-anak pada umumnya mempunyai keperluan obat (mg/kg) yang lebih tinggi karena mempunyai
distribusi volume yang lebih besar (lebih banyak lemak, lebih banyak cairan tubuh)

Opioid sebaiknya digunakan dengan hati-hati pada anak-anak yang berusia < 1 tahun, yang lebih sensitif
terhadap efek depresan pernapasan

15. Bagaimana penatalaksanaan perioperatif pada anak-anak?

Pemeliharaan diperhitungkan dengan cara berikut :


o Infan < 10 kg

4 ml/kg/jam

o 10-20 kg

40 + 2 ml/lg/jam setiap < 10 kg

o Anak-anak > 20 kg

60 + 1 ml / kg / jam setiap > 20 kg

Estimasi defisit cairan (EFD) sebaiknya dihitung dan diganti dengan cara :
o EFD = pemeliharaan x jam sejak asupan oral terakhir
o EFD + pemeliharaan diberikan pada jam pertama
o EFD + pemelihataan diberikan pada jam ke-2
o EFD + pemelihataan diberikan pada jam ke-3

Seluruh EFD sebaiknya diganti pada kasus-kasus besar. Untuk kasus kecil, 10-20 ml/kg solusi garam
yang ditakar dengan atau tanpa glukosa biasanya sudah adekuat.

Estimasi volume darah (EBV) dan kehilangan darah (ABL) sebaiknya dihitung pada setiap kasus.

16. Cairan pengganti apa yang paling sering digunakan pada anak-anak ? Mengapa?
Garam natrium yang ditakar (BSS) seperti RL dengan glukosa (D5RL) atau tanpa glukosa (RL)
direkomendasikan dalam hal ini. Pada bayi yang lahir baik, terlihat bahwa hipoglikemia dapat terjadi pada anak
sehat yang menjalani prosedur invasif jika tidak digunakan cairan yang mengandung glukosa. Namun
ditemukan adanya hiperglikemia yang terjadi pada mayoritas anak-anak yang telah diberikan solusi yang
mengandung glukosa 5%. Beberapa penulis menganjurkan penggunaan cairan yang mengandung glukosa 1%
atau 2,5%. Yang lain masih menggunakan solusi glukosa 5% untuk pemeliharaan, namun direkomendasikan
bukan BSS yang mengandung non-glukosa untuk third space atau kehilangan darah. Pada operasi mayor, sangat
penting untuk memeriksa kadar glukosa secara berseri dan untuk menghindari hiper- atau hipoglikemia.
17. Nilai-nilai EBV pada anak-anak?
USIA
Neonatus
Infan sampa 1 tahun
Lebih dari 1 tahun

EBV (ml/kg)
90
80
70

18. Cara mengkalkulasi (menghitung) jumlah kehilangan darah (blood loss)?

Dimana ABL = kehilangan darah, EBV = estimasi volume darah, px = pasien, dan hct =hematokrit. Nilai
hematokrit terendah bervariasi antara tiap individu. Transfusi darah biasanya dipertimbangkan saat hematorkit
kurang dari 21-25%. Jika terdapat masalah pada tanda-tanda vital, transfusi darah perlu diberikan lebih dini.
Sebagai contoh, seorang infan berusia 4 bulan dijadwalkan untuk rekonstruksi kraniofasial. Dia sehat, dengan
asupan oral terakhir diperoleh 6 jam sebelum tiba di ruang operasi. BB = 6 kg, hct preoperatif = 33%, nilai hct
terendah = 25%.
Pemeliharaan
= BB x 4 ml/jam = 24 ml/jam
EFD
= pemeliharaan x 6 kg = 144 ml
EBV
= BB x 80 ml/kg = 480 ml
EBL

19. Mengapa manifestasi hipovolemia berbeda pada anak-anak ?


Anak-anak yang sehat telah berkompensasi terhadap kehilangan volume akut sebesar 30-40% sebelum terjadi
perubahan tekanan darah. Indikator awal yang paling jelas pada syok hipovolemik yang terkompensasi pada
anak-anak adalah takikardi persisten, vasokonstriksi kutaneus, dan penurunan tekanan darah.
20. Respon sistemik terhadap kehilangan darah ?
Respon Sistemik terhadap Kehilangan Darah pada Anak-anak
Sistem
Kehilangan
Kehilangan
Kehilangan
Organ
Darah <25 %
Darah 25-40%
Darah > 45%
Penurunan TD,
peningkatan HR
, bradikardi
Nadi lemah
mengindikasika
Jantung
dan cepat, HR HR meningkat
n kehilangan
meningkat
darah yang berat
dan mengarah
ke kollaps
sirkulasi
Perubahan LOC,
Lesu, bingung,
SSP
kurang berespon Komatous
cengeng
terhadap nyeri
Sianotik,
penurunan
Kedinginan,
pengisian
Kulit
Pucat, dingin
berkeringat
kapiler ,
ekstremitas
dingin
Penurunan
Ginjal
UOP minimal
UOP minimal
UOP
HR = denyut jantung, TD = tekanan darah, LOC = tingkat kesadaran, UOP = produksi urine
21. Anestesi regional yang sering dilakukan pada anak-anak
Blok epidural kaudal adalah teknik anestesi yang paling sering dilakukan pada anak-anak. Biasanya, pada anakanak yang teranestesi diberikan tambahan analgesia intraoperatif dan post-operatif. Teknik ini paling sering
dilakukan untuk pembedahan ekstremitas bawah, perineum, dan abdomen bawah. Blok epidural thoraks dan
lumbal juga dapat digunakan untuk penhilang nyeri pasca operasi. Namun hal ini sebaiknya dilakukan hanya
oleh operator yang berpengalaman.
22. Anestetik lokal apa yang biasanya digunakan
Bupivakain dengan konsentrasi 0,125-0,25% adalah anestesi lokal yang paling sering digunakan. Bupivakain
0,25% menghasilkan analgesia intraoperatif yang bagus dan menurunkan kebutuhan MAC pada anestesi
inhalasi. Namun, obat ini dapat menyebabkan blokade motorik yang mengganggu proses keluarnya pasien dari
rumah sakit. Bupivakain 0,125% menghasilkan blok motorik pasca operatif yang minimal, namun tidak
memberikan analgesia intraoperatif dan tidak menurunkan keperluan MAC. Gunter memperlihatkan bahwa
bupivakain 0,174% menghasilkan analgesia intraoperatif yang baik dan blok motorik yang minimal serta
menurunkan kebutuhan MAC zat volatile.
23. Dosisnya
Dosis Anestesi Lokal yang Sering Diterapkan pada Blok Kaudal
DOSIS
TINGKAT BLOK
JENIS OPERASI
(cc/kg)
0,5
Sakral/lumbal
Penis, ekstremitas bawah
1
Lumbal/thoraks
Abdominal bawah
1,2
Thoraks atas
Abdominal atas
Dosis toksik bupivakain pada anak-anak = 2,5 mg/kg; pada neonatus = 1,5
mg/kg
24. Apa yang dimaksud dengan blok fasia iliaka dan diindikasikan untuk apa ?
Blok fasia iliaka adalah teknik untuk menganestesi nervus femoral, obturator, dan kutaneus lateralis. Blok ini
menghasilkan analgesia pada paha atas dan baik untuk pasien yang mengalami fraktur femur atau pasien yang
menjalani prosedur-prosedur seperti osteotomi, biopsi otot, atau grafting kulit.

25. Gambarkan komplikasi pasca operasi yang tersering !

Mual dan muntah merupakan penyebab tersering dari tertundanya waktu keluar pasien. Terapi terbaik
untuk mual dan muntah post-operatif adalah dengan pencegahan. Menghindari opiod akan mungurangi
insidensi mual dan muntah post-operatif sepanjang ada penghilang nyeri yang adekuat (seperti
berfungsinya blok kaudal pada pasien). Penatalaksanaan yang dapat dilakukan adalah pemberian cairan
intravena dan penghentian asupan oral. Jika muntah menetap, metoklopramid, droperidol, atau
ondansetron dapat dicoba. Jika muntah tidak teratasi, pasien sebaiknya diobservasi.

Faktor-faktor yang Meningkatkan Insidensi Mual dan Muntah Pasca Operasi


Faktor Pasien
Faktor Pembedahan/Anestesi
Pasien berusia > 6 tahun
Lama pembedahan > 20 menit
Riwayat mual dan muntah
Bedah mata
sebelumnya
Tonsilektomi/adenoidektomi
Riwayat motion sickness
Pemberian narkotik
Mual pre-operatif
? Nitrous Oksida
Sangat gelisah saat preoperatif

Masalah pernapasan, utamanya laringospasme dan stridor lebih sering ditemukan pada anak-anak
dibanding pada orang dewasa. Penatalaksanaan laringo-spasme antara lain : oksigen bertekanan positif,
maneuver Fink (jaw thrust yang nyeri), suksinilkolin, dan intubasi ulang jika perlu. Stridor biasanya
ditangani dengan oksigen yang dihumidifikasi (dilembabkan), steroid, dan epinefrin rasemik.
KONTROVERSI

26.

27.

Apa signifikansi rigiditas otot masseter ?

Rigiditas otot masseter terjadi pada 1% anak-anak yang menerima halotan dan suksinilkolin. Tambahan
natrium thiopental dapat mengurangi insidensi itu, meskipun mekanisme kerjanya belum diketahui.

Rigiditas otot masseter bisa jadi gejala pertama hipertermia maligna (MH), tapi juga dapat terjadi pada
pasien yang tidak diduga MH.

Bagaimana penatalaksanaan pasien yang mengalami rigiditas otot masseter ?

Sumber insidensi MH akibat rigiditas otot masseter masih kontroversi. Kebanyakan penulis percaya
bahwa insidensinya 1% atau kurang; namun salah satu penelitian terbaru menunjukkan bahwa insidensi
itu dapat setinggi 59% pada pasien yang diperiksa melalui biopsi otot.

Saat rigiditas otot masseter terjadi, masalah utama adalah apakah mengganti teknik yang tidak memicu
atau menghentikan prosedur. Penulis biasanya setuju pada teknik yang tidak memicu dan operasi tetap
dilanjutkan, kecuali terjadi tanda-tanda MH atau spasme otot masseter yang berat sehingga intubasi
tidak memungkinkan.

Pasien sebaiknya dipantau setelah post operatif untuk melihat adanya peningkatan kadar kreatin
fosfokinase (CPK) dan tanda-tanda MH yang lain (HR, TD, suhu, mioglobin urine). Jika kadar CPK
postoperatif > 20.000, pasien sebaiknya ditangani dan didiagnosis sebagai MH. Jika CPK < 20.000,
namun masih meningkat signifikan, penatalaksanaan MH sebaiknya dipertimbangkan, termasuk biopsi
otot. Jika CPK normal atau meningkat minimal, pasien mungkin tidak berisiko MH.

28. Gambarkan penatalaksanaan pasien yang mengalami infeksi saluran napas atas ?
1. Risiko memburuknya pernapasan setelah dua minggu menderita infeksi saluran napas atas (ISPA), 9-11 kali
lebih besar. Penyebab gangguan pulmonal antara lain :

Penurunan kapasitas difusi oksigen

Penurunan kemampuan pengembangan dan peningkatan resistensi

Penurunan volume akhir

Meningkatnya shunting (ketidaksesuaian ventilasi-perfusi), ambilan oksigen paru lebih cepat

Peningaktan insidensi hipoksemia

Peningkatan reaktivitas jalan napas

2. ETT meningkatkan risiko gangguan pernapasan


3. Rekomendasi umum untuk anak-anak dengan ISPA ringan

Mendiskusikan peningkatan risiko dengan pasien

Mencoba untuk menghindari intubasi

Penggunaan antikolinergik untuk menurunkan sekresi dan reaktivitas jalan napas

4. Pada anak-anak yang demam, ronkhi yang tidak jelas dan batuk, sinar X dada abnormal, hitung sel darah putih
yang tinggi, atau penurunan derajat aktivitas sebaiknya dibuat jadual ulang.
29. Apa keuntungan dan kerugian sistem sirkuit dan sirkuit bain pada anak-anak?
Keuntungan dan Kerugian Sistem Sirkuit dan Sirkuit Otak Bain
Sirkuit
Keuntungan
Kerugian
Konsentrasi gas inspirasi Desainnya rumit, katub
yang relatif konstan
satu arah
Kelembaban dan panas
Sistem Sirkuit
lebih alami
Bayi kecil (< 10 kg) harus
Polusi pada ruang operatif bernapas lebih kuat untuk
minimal
mengatasi resistensi katub
Ringan
Kebanyakan mesin
Baik untuk ventilasi
anestesi memerlukan
spontan atau terkontrol
pemasangan khusus pada
Resistensi minimal
alat ini
Sirkuit Bain
Gas yang diekshalasi dari
luar pipa membuat gas
yang akan diinspirasikan
Pipa dalam dapat bengkok
lebih hangat dan lebih
atau tidak terhubung
lembab (dalam teori)

30. Apakah orang tua dibolehkan untuk menemani anaknya saat induksi anestesi ?
Anak-anak yang lebih muda dapat sangat gelisah dan ketakutan saat mereka dipisahkan dari orang tuanya
sebelum pembedahan. Mengizinkan orang tua untuk menemani anak di ruang operasi dapat memfasilitasi
induksi anestesi pada beberapa kasus. Orang tua dan anak-anak sebaiknya diberitahu dan disiapkan menganai
apa yang akan dilakukan. Orang tua sebaiknya siap meninggalkan ruang operasi saat anestesiologis yakin hal
tersebut memang lebih tepat. Keberadan orang tua sering merasa gelisah, enggan, dan histeris di ruang operasi
dapat sangat mengganggu. Seorang anestesiologis yang tidak nyaman dengan mengizinkan orang tua pasien
untuk ikut serta saat induksi mungkin sebaiknya tidak mengizinkan mereka untuk ikut serta. Pada anak-anak
yang tidak kooperatif atau ketakutan, keberadaan orang tua dapat bermanfaat, namun juga dapat sebaliknya.
Spinal Anestesia
PENDAHULUAN
Anestesiaspinaldihasilkandenganmenginjeksikananestetiklocalkedalamcairanserebrospinal,halinidicapai
hanyadenganpunksisubaraknoidlumbal.Tergantungdosis,localanestetikdapatmenghasilkanefekanesthesia
ringansampaidengankomplitpadadaerahdermatomatauseluruhtubuh.
Tehnikinitelahdilakukanawalabadduapuluhdandokterdanpenderitamemutuskanbukanberarti
menghindarikomplikasikomplikasianestesiumum.Setelah1950,penggunaananesthesiaberkurangdiAS,
anesthesiaumummenjadiamandanlebihmenyenangkanbagipasien.Pada1975telahdipertimbangkanbahwa
faedahanestesispinaldanepidural,memberikankeuntunganterhadappemakaidantidakmerupakanpilihan
yangsimpleterhadapanestesiumum,membuattehnikinipentingpadapenangananpenderita.
ANATOMI

TulangBelakang.
Tulangbelakangterdiridari7servikal,12torakal,5lumbaldan5tulangsacrumyangbersatu.Vertebraterdiri
daricolumnadanarkusvertebra.Arkusvertebraterdiridariduapedikeldianteriordandualaminadiposterior.
Padapertemuanlaminadanpedikelterdapatprocesustransversus,dandaripertemuankedualaminapadagaris
tengah tubuh diposterior terdapat procesus spinosus . Lekukan pada permukaan pedikel akan membentuk
foramenintervertebralis denganlekukanpadapermukaanpedikelvertebradiatas ataudibawahnyasebagai
tempatkeluarnervusspinalis.
Medula Spinalis.
Kanalisspinalisterletakdidalamcolumnavertebralisantaraforamenmagnumdanhiatussakralis.Dianterior
dibentukolehcolumnavertebra,dilateralolehpedikeldandiposteriorolehlamina.Medulaspinalisterbentang
daribatangotaksampaipermukaanL12padaorangdewasa.Akhirlumbalbawahdanakarakarsarafsacral
berlanjutdidalamkanalisspinalissebagaikaudaequina.
Medulaspinalis dibungkus olehtigamembranyaitu:piamater,arakhnoidmater,danduramater.Ketiganya
membentuk tiga ruang. Ruang antara piamater yang menutup medula spinalis dan arakhnoidmater. Ruang
subarakhnoidberlanjutdaridasarkraniumsampaiS2danterdiridariakarsarafdanciranserebrospinal(CSS).
Ruangsubarakhnoidterletakantaraduramaterdanarakhnoidmater,inimerupakanruangpotensialkhususnya
obatobatanyangdiinjeksikankeruangepiduralatausubarakhnoid.Akibatsubduralblokadalahkelemahandan
penyebaranutamasecaralangsungkerahkepala.
LigamentumLigamentum.
Ligamentum longitudinalis anterior dan posterior berjalan diantara aspek anterior dan posterior columna
vertebralis. Ligamentum supraspinosus membentang dari vertebra cervical 7 sampai sakrum dan mencapai
ketebalan maksimum didaerah lumbal. Ligamentum interspinosus menghubungkan dua procesus spinosus.
Ligamentumflavum dikenalsebagaiseratelestikwarnakuningberjalandiaspekanteriordaninferiortiap
laminavertebrakepermukaanposteriordansuperiorbawahlaminadanmenebaldidaerahlumbal.

BloodSuply
Medullaspinalismendapatsuplaidarahdaria.vertebral,a.servikal,a.interkostaldana.lumbalis.Cabang
spinaliniterbagikedalama.radikularisposteriordananterioryangberjalansepanjangsarafmenjangkau
medulladanmembentukpleksusarterididalampiameter.
CerebrospinalFluid
SerabutsarafmaupunmedullaspinalisterendamdalamLCSyangmerupakanhasilulktrafiltrasidaridarahdan
diekskresiolehpleksusuchoroideuspadaventrikellateral,ventrikelIIIdanventrikelIV.Produksinyakonstan
ratarata500ml/haritetapisebandingdenganabsorpsinya.VolumetotalLCSsekitar130150ml,terdiridari
6075mldiventrikel,3540mlsebagaicadanganotakdan2530mldiruangsubarakhnoid.
NervusSpinalis.
Nervusspinalismeninggalkankanalisspinalismenembuskeduaforamenintervertebtralis,danmempersarafi
kulityangdikenalsebagaidermatom.Perjalanannervusviscerallebihkompleks,tergantungdansesuaidengan

perekembanganakhirembrionikorgandaripadaposisiakhirdalamtubuh.Seringterjadi,tingkatanestesia
untukoperasiyangdikehendakilebihtinggidariperkiraandasaryangmenutupidermatomsensoris,Contoh:
anestesiavisceralabdomenbagianatasdibutuhkanpalingkurangtingkatspinalT4walaupuninsisikulitpada
T6ataulebih.Afferensimpatikkembalidariendorganmelaluipleksusprevertebradanganglionparavertebra
sehinggamencapaimedulaspinalispadasetiaptingkat.
Tabel.TingkatMinimumDermatomUntukanestesispinal.
LetakOperasi
Ekstremitasbawah.

Yangdiperlukan
T12

Panggul.

T10

ProstatatauBulibuli.

T10.

Testis.

T6.

Herniorapi.

T4.

Intraabdomen.

T4.

Sarafspinalisada31pasangyaitu8servikal,12thorakal,5lumbal,5sakraldan1koksigeal.Padaspinal
anestesi, paralysis motorik mempengaruhi gerakan bermacam sendi dan otot. Persarafan segmental ini
digambarkansebagaiberikut:

BahuC68

SikuC58

PergelangantanganC67

TangandanjariC78,T1

InterkostalT111

DiafragmaC35

AbdominalT712

Pinggul,pangkalpahafleksiL13

Pinggul,pangkalpahaekstensiL5,S1

LututfleksiL5,S1

LututekstensiL34

PergelangankakifleksiL45

PergelangankakiekstensiS12

Sistemsarafotonom
1.Systemsarafsimpatis
MesrabutsarafpregamglionmeninggalkanmedullaspinalismelaluiradikssarafventralisT1L2.Padabagian
servikalkumpulangangliainimenyusungangliaservikalissuperior,mediadanstellatganglia.Padathorak,
rangkaiansimpatisinimembentuksarafsplanknikusyangmenembusdiafragmauntukmencapaigangliadalam
pleksuskoeliakdanpleksusoartikorenal.Didalamabdomenrangkaiansimpatisiniberhubunagndengan
pleksuskoeliak,pleksusaortadanpleksushypogastrik.Rangkaianiniberakhirdipelvispadapermukaan
anteriorsacrum.
Serabutserabutsarafpostganglionikyangtidakbermielinterdistribusiluaspadaseluruhorganyangmenerima
suplaisarafsimpatis.Daerahvisceramenerimaserabutpostganglionicsebagianbesarlangsubgmelaluicabang
yangmeninggalkanpleksuspleksusbesar.
Distribusisegmentalsarafsimpatisvisceral:

Kepala,leherdananggotabadanatas,T15

Jantung,T15

Paruparu,T24

Oesofagus,T56

Lambung,T610

Usushalus,T910

Ususbesar,T1112

Kandungempedudanhati,T79

Pankreasdanlien,T610

Ginjaldanuereter,T1012

Kelenjaradrenal,T8L1

Testisdanovarium,T10L1

Kandungkemih,T11L2

Prostate,T11L1

Uterus,T10L1

2.Systemsarafparasimpatis
Sarafeferendanaferendarisystemsarafsimpatisberjalanmelaluinervusintracranialdannervussakraliske
2,3,4.Nervusvagusmerupakansarafcranialpalingpentingyangmembawasarafeferenparasimpatis.Mereka
dirangsangadengansensasisepertilapar,mual,distensivesika,kontraksiuterus.Berbagaimacamnyeri
disalurkanmelaluisarafinisepertikolikataunyerimelahirkan.Nervusvagusmenginervasijantung,paru,
esophagusdantraktusgastrointestinalbagianbawahsampaikekolontranversum.Sarafsimpatissacralbersama
sarafsimpatisdidistribusikanpadaususbagianbawahkolontransversum,vesikaurinaria,spincterdanorgan
reproduksi.
Blokadesomatic
Denganmenghambattransmisiimpulsnyeridanmenghilangkantonusototrangka.Bloksensorismengkambat
stimulusnyerisomaticatauvisceralsementarablokmotorikmenyebabkanrelaksasiotot.Efekenstetiklocal
padaserabutasarafbervariasitergantungdariukuranserabutsaraftersebutdanapakahserabuttersebut
bermielinatautidaksertakonsentrasiobatdanlamanyakontak
BlokadeOtonom
Hambatanpadaserabuteferentransmisiototnompadaakarsarafspinalmenimbulkanblockadesimpatisdan
beberapablokparasimpatis.Simpatisoutflowberasaldarisegmenthorakolumbalsedangkanparasimpatisdari
craniosacral.SerabutsarafsimpatispreganglionterdapatdariT1sampaiL2sedangkanserabutparasimpatis
preganglionkeluardarimedullaspinalismelaluiserabutcranialdansacral.Perludiperhatikanbahwablok
subarachnoidtidakmemblokserabutsarafvagal.Selianitubloksimpatismengakibatkanketidakseimbangan
otonomdimanaparasimpatismenjadilebihdominant.Beberapalaporanmenyebutkanbahwabiasterjadi
aritmiasampaicardiacarrestselamaanestesispinal.Haliniterjadikarenavagotoniayaitupeningkatantonus
parasimpatisnervusvagus.
EVALUASI PREOPERATIF
Pada umumnya setiap dilakukan pemeriksaan sebagaimana biasanya, evaluasi sebelum anestesi spinal atau
epidural mempertimbangkan perencanaan operatif, serta keadaan fisik pasien dan beberapa kontraindikasi
terhadaptehnikregional.
PertimbanganBedah.
Banyakoperasipadaekstremitasbawah,pelvis,abdomenbagianbawahdanperineumdapatdilakukandengan
anestesispinal.Operasidaerahdiatasabdomen,dada,bahudanekstremitasatasdapatditanganidengananestesi
spinaldengankesulitanyangbesar.Walaupuntempatoperasisudahteranestesidalambanyakkasuspasien
tetap merasa tidak nyaman. Selanjutnya , efek operasi atau spinal anesthesia yang tinggi mungkin akan
mempengaruhipernapasan,sirkulasibahkanintubasidanventilasimekanikmungkindiperlukan.

PemeriksaanFisik.
Evaluasipreoperatiftermasukpemeriksaantoraksdanvertebralumbalsertakulitdisekitartempatpenusukan
jarum.Anestesispinallebihsulitdanmungkinkesalahanlebihbanyakjikaterdapatkelainananatomicseperti
scoliosis atau keterbatasan fleksi vertebra pasien. Infeksi pada tempat punksi menghalangi spinal anestesi.
Defisitneurologyyangadasebelumnyayangditemukanlewatanamnesaataudenganpemeriksaanharusdicatat
untukmencegahkesalahandiagnosiskelainanneurologypostanestesi.
KontraIndikasi.
Diantarasedikitkontraindikasiabsolutanesthesiaspinaladalahpasienmenolakdaninfeksipadatempatinsersi
jarumanestesispinal.Jugauntukpenderitayangmenderitakoagulopatiyangberatdanditakutkanterjadinya
hematomaepidural.Tehnikinijugatidakdiindikasikanpadapasienpasiendengangangguanpembekuan.,hal
inidapatdilindungidenganpemberianheparinsesudahnya.
Jikahipovolemiatidakdikoreksisebelumanestesispinal,penekanansarafsympatismenghasilkankatastropik
hipotensi,jugaperdarahan dandehidrasiharusditanganisebelumanesthesiadilakukan.Baktemremiatidak
merupakankontraindikasiabsolutterhadapanestesispinal,penderitadapatdiberikanantibiotik,tapitehnikini
dihindarijikapasienditakutkanadanyabakteremiabloodborneyangdilihatpadahematomaepiduralyangkecil
danmembentukabses.Herniasidiscusvertebraataupembedahantulangsebelumnya tidaktemasukkontra
indikasispinalanesthesia,walaupunjaringanparutdapatmenghalangipenusukanjarumyangberisianestesi
localataupengaruhnyaterhadappeningkatanakanterjadinyatraumaakarsaraf.Dalamkasusinikekhawatiran
akanterjadinyaeksaserbasisakitbelakang atauradikulitis,pasiendanahlinaestesiakanmemilihanestesi
umum.Walaupunsedikitbuktibahwaanestesispinalmenyebabkankeadaanpenyakitneurologybertambah
jelek.Banyakyangmenghindaritehnikinibilaterjadieksaserbasikelainanyangadasebelumnyapadapost
operasi.
Tabel.KontraindikasiPenggunaanAnestesi.
Absolut
Pasienmenolak.

Relative
Hypovolemia.

Coagulopathy.

Sepsis.

Infeksisetempat.

Kelainanneurologysebelumnya.

TEHNIK UMUM ANESTESI SPINAL


Sepertipadaanestesiumum,obatobatan,perlengkapansertamesinanestesidisiapkansebelumpenderitamasuk
ruangan ; begitu pula dengan monitor standar. Persiapan termasuk vasopressor untuk mencegah hipotensi,
suplemenoksigenmelaluinasalkanulaataumaskeruntukmengatasidepresipernapasanakibatsedatifatau
anestetik.Pemberiansedatifdannarkotikmembuatpenderitatenangselamapenusukanjarum,bahkanpasien
cukup sadar untuk melaporkan parestesia selama prosedur. Nyeri yang persisten atau parestesia dengan
penusukanjarumatauinjeksianestetikdapatmenggambarkantraumaakarsaraf.
Anestesispinaldapatdilakukanpadaposisiduduk,lateraldekubitusatauposisiprone.Walaupunposisiduduk
lebihmudahuntukmendapatkan fleksivertebra,pasienmenjadilelahbahkanmembutuhkanbantuan.Setiap
melakukantindakantersebutoperatordanasistenharusmemberitahupasiensetiaplangkahyangdiambiluntuk
mendapatkankeadaanyangstabil.Setelahposisiditentukan,identifikasitempatpenusukan.Pencegahanuntuk

menghindari infeksi termasuk tehnik aseptic, kulit dibersihkan dengan larutan bakterisidal, penutup steril,
sarungtangandansecarahatihatimemperhatikanindicatorsterilisasitermasukperlengkapanspinal.Untuk
mncegahkesalahanpemberianobatataudosis,identifikasilabeldankonsentrasidiperhatikandenganhatihati.

TEHNIK ANESTESI
Posisilumbalpunksiditentukansesuaidengankesukaanpenderita,letakdaerahoperasidandensitaslarutan
anestetik local. Vertebra lumbal difleksikan untuk melebarkan ruang procesus spinosus dan memperluas
ronggainterlamina.Padaposisiprone,menempatkanbantaldibawahpangguluntukmembantufleksivertebra
lumbal.
SaatlahirmedullaspinalisberkembangsampaiL4,setelahumur1tahunmedullaspinalisberakhirpada
L1L2. Jadi blok spinal dibuat dibawah L2 untuk menghindari resiko kerusakan medulla spinalis. Garis
penghubungyangmenghubungkanKristailiacamemotongdaerahinterspaceL45atauprocesusspinosusL4.

Pendekatanmedianlebihseringdigunakan.Jaritengahtanganoperatornondominanmenetukantitik
interspaceyangdipilih,kulityangmenutupiinterspacediinfiltrasidengananestesilocalmenggunakanjarum
halus.Jarumspinalditusukkanpadagaristengahsecarasagital,mengarahkecranial(10 o)menghadapruang
interlamina.Penusukankeruangsubarachnoidmelewatikulit,jaringansubcutan,ligamentumsupraspinosus,
ligamentuminterspinosusdanligamentumflavum.Ketikaujungjarummendekatiligamentumflavumterdapat
peningkatantahanandisertaiperasaanpoping,saatitujarummenembusduramaterdengankedalaman47cm.
Jikaujungjarummenyentuhtulangharusditarikkembalisecukupnyauntukmembebaskandariligametum,
sebelumnyadiarahkankearahcranialataukaudal.

Setelahitustyletditarik,CSSmengalirdarijarumsecarabebas.JikaCSSbercampurdarahhendaknya
dibersihkansecepatnya;kemungkinaninijarummengenaivenaepidural.SetelahyakinaliranCSSahlianestesi
memegang jarum dengan tangan yang bebas , dengan menahan belakang pasien, ibu jari dan telunjuk
memegangpangkaljarum,danmenghubungkandenganspoityangtelahberisilarutananestetik.AspirasiCSS
untukmeyakinkanujungjarungtetapdalamCSS.Injeksidengancepatmenggunakanjarumkecilmemudahkan
bercampurnya anestesi dengan CSS, ini memudahkan penyebaran larutan dengan CSS dan menurunkan
perbedaan densitasantaralarutandenganCSS.Injeksiyangsangatlambat(2atau3mldalamsemenitatau
lebih)mengurangiefeknya.setelahinjeksiobataspiarasilagiCSSuntuklebihmenyakinkanposisijarum.
Bilapendekatanmidlinetidakberhasilseperti orangtuadengankalsifikasiligamentumataupasien
kesulitanposisikarenaketerbatasanfleksilumbal.Jarumditusukkankirakira11,5cmdilateralgaristengah
padabagianbawahprocesusspinosusdariinterspaceyangdiperlukan.Jarumditusukkankearahmediandanke
cephalmenembusototototparaspinosus.Jikajarummengenaitulangberartimengenailaminaipsilateraldan
jarumdiposisikankembalikearahsuperioratauinferiormasukruangsubarachnoid.
Pendekatanselainmidlineatauparamedianadalahpendekatanlumbosakral(taylor),yangdigunakan
interspacecolumnavertebralispadaL5S1.identifikasispinailiacaposteriorsuperiordankulit,dimulai1cm
kemediandan1cm inferiorketitiktersebut.Jarumdiarahkankemedialdankesuperiorsampaimasukke
kanalisspinalispadamidlineL5S1.
JARUM SPINAL
Pemilihanjarumspinaltergantung usiapasien,kebiasaanahlianestesiologidanbiaya.Ujungjarumquincle
umumnyamempunayibevelyangpanjangyangmenyatudenganlubang.Dapatdibagidalamukuran:20G29G;
ukuran22Gdan25Gyangseringdigunakan.Ujungjarumquincleyangruncingmenebusdenganmudah.untuk
menjaminposisiyangtepatmengalirnyaCSSdilihatpada4kwadrandenganmemutarjarum.
Tidaksepertijarumdenganbeveltajam,jarumbentukpensilmempunyaiujungberbentuktaperingdengan
lubangdisamping.Untukinsersidibutuhkantenagayanglebih.ContohjarumbentukpensiladalahSprotte,
WhitacredanGertieMarx.Perbedaanantarakeduajarumtersebutadalahukurandanletaklubangdilateral.
Meskipunlebihmahaldaripadabeveltajam,jaruminikurangmenyebabkankerusakanpadaduramaterdan
lebihsedikitmengakibatkansakitkepalapostanesthesiaspinal.
Penentuanjenisjarumlebihbanyakditentukanolehusia.Walaupunhargayanglebihmahaljarumpensilpoint,
lebihbagusbagipenderitayangmempunyairesikoyangbesarterhadapsakitkepalapostanesthesiaspinal.
OBAT-OBAT SPINAL ANESTESI
Anestesi spinal yang memuaskan membutuhkan blok sepanjang dermatom daerah operasi. Keterbatasan
memperluasanestesiyangdiperlukanuntukmemblokdermatomsangatpentinguntukmengurangiberatnya
efek menjadi minimum. Obat yang digunakan untuk anestesi spinal termasuk anestesi local, opioid dan
vasokonstriktor,dektrosakadangkadangditambahkanuntukmeningkatkanberatjenislarutan.
Anestetiklocal.
Semua anestetik local efektif untuk anesthesia spinal. Criteria yang digunakan untuk memilih obat adalah
lamanyaoperasi.Tetrakaindanbuvipakainbiasanyadipilihuntukoperasiyanglebihlamadari1jamdan
lidokainuntukoperasioperasiyangkurangdari1jam,walaupundurasianestesispinaltergantungpulapada
penggunaanvasokonstriktor,dosissertadistribusiobat.

Dalam menentukan dosis yang digunakan untuk anesthesia spinal, variable individual pasien tidak
merupakankepentinganyangbesar.Padaumumnyalebihbanyakanestetiklocalakanmenghasilkananestesi
yanglebihluas.
Tabel.Obatobatanestesilocaluntukanesthesiaspinal
Obat

Konsentras
i(%)

Dosis
(mg)

5
2
0,5
1
0,3
0,5
0,75

25100
20100
315
320
320
515
315

Lidokain,hyperbarik
Lidokain,isobaric.
Tetrakain,hyperbarik.
Tetrakain,isobaric.
Tetrakain,hypobarik.
Bupivakain,isobaric.
Bupivakain,hyperbarik.

Lama(jam)
Tanpa
Dengan
Epinefrin
Epinefrin
1
2
1,5
23
2
24
23
46
2
46
23
46
1,5
34

Vasokonstriktor.
Lamanya blok dapat ditingkatkan 12 jam dengan penambahan larutan vasokonstriktor kelautan yang
diinjeksikankedalamCSS.Baikepinefrin(0,10,2mg)maupunphenyleprine(1,04,0mg)memperpanjang
durasianestesispinal.Obatobatantersebutmenyebabkanvasokonstriksipembuluhdarahyangmensuplaydura
dan medulla spinalis, mengurangi absorbsi vascular dan eliminasi anestetik local. Penambahan untuk
mengurangialirandarah,vasokonstriktormenekansecaralangsungefekantinoceftifterhadapmedullaspinalis.
Opioid.
Dalamdecadeterakhirini,ahlianestesitelahmenggunakanopioidsubarachnoiduntukmemperbaikikwalitas
daribloksensomotorisdanuntukanalgesiapostoperative.Kerjanarkotiksubarachnoidadalahpadareseptor
opioddidalammedullaspinalis.Morpin(0,10,2mg)menghasilkananalgesiasignifikanyangbaikpadaperiode
postoperative,sebagaimanaFentanyl(2537,5mikrogram)dansubfentanyl(10mikrogram).efeksamping
narkotiksubarachnoidtermasukpruritus,nausea,dandepresipernapasan.
Tabel.OpioidDalamruangsubarachnoid.
Obat
Morfin

Dosis.
0,10,2mg

Lamakerja.
824jam

Fentanyl

2550mg

12jam

Subfentanyl

510mg

23jam

Dextrose,Barisitas,Distribusi.
Densitaslarutananestesilocaladalahfungsikonsenrasidancairandimanaobattersebutdilarutkan.Densitas
dariCSS37oCadalah1,0011,005g/ml.Barisitaslarutananestesilocaladalahperbandinganpadasuhudari
densitas laritan anestetik terhadap densitas CSS pada tempratur yang sama. Larutan anestesi local dengan
densitaslebihdari1,008g/mlpadasuhu37oCdisebuthiperbarik,densitasantara0,998dan1,007g/ml
digolongkanisobaric,dandensitaskurangdari0,997g/mltermasukhipobarik.Preparatanestetiklocal5%
sampai8%dalamdextroseadalahhiperbarik;dalamCSSataugaramsaline,isobaric;dandilarutkandalamair,
hipobarik.
Dosis obat, densitas larutan anestetik local dan posisi pasien selama dan setelah injeksi lebih banyak
menentukandistribusianestesilocaldantingkatanesthesia.Factorlainseperti;umur,beratbadandanpanjang
columnavertebralisadalahkurangpenting.Padaposisisupine,lordosislumbalmenunjukkantitikterendah
spinalpadaL34,dankiposistorakmenunjukkantitikterendahpadaT56.jadijikapasiendiberikanlarutan

anestesilocalhiperbarikpadaL4padaposisisupine,larutantersebutbergerakolehkarenagrafitasidarititik
tertinggi sampai dua regio yang lebih rendah yaitu sacrum dan T56, menghasilkan blok yang baikpada
dermatomtorakstetapiitutermasuksuplaiyangrelatifjarangdarianestesilocalpadaakarsarafpertengahan
lumbal.Sadelblokuntukanesthesiaperineum,inidihasilkanjikalautanhiperbarikdiinjeksikanpadapasien
denganposisidudukdanmempertahankanposisitersebutuntukbeberapamenitsetelahinjeksi.
Larutanisobariccenderunguntuktinggalpadatempatinjeksidanmenghasilkanblokyanglebihterlokalisirdan
menyebarhanyakebawahdandermatomtoraks.Larutaninicocokuntukprosedurpadaektremitasbawahdan
prosedururology.
Larutan hypobarik dapat digunakan ketika pasien pada posisi supine, pada posisi jackknife untuk operasi
rectum, perineum, dan anus, atau pada posisi lateral dekubitus. Kenutungan larutan hypobarik bahwa
kemiringanmejaoperasidengankepaladibawahmengurangipengumpulandarahditungkai,jugamembantu
mencegahpemyebarananestesilocalkearahkepala.
KONDUKSI ANESTESI SPINAL
Pengelolaan setelah injeksi anestesi local kedalam CSS meliputi pengamatan dan pengobatan efek
sampingdanpenilaiandistribusidarianestesilocal.Pemberianoksigendanpemasanganpulseoksimetriuntuk
mencegah hipoksemia. Memperhatikan terusmenerus denyut jantung untuk mendeteksi bradikardia, dan
mengulangipengukurantekanandarahuntukmenilaiadanyahipotensi.
Distribusidariblokdapatdiukurdenganbeberapates.Kehilanganrasapersepsidingin(kapasalcoholataues
padakulit)berhubungandengantingkatbloksimpatis,yangdilayaniolehduamodalitassarafyanghampir
miripdiameterdankecepatankonduksinya.Levelsensorisdiketahuidenganadanyaresponterhadapgoresan
penitiataugarukanjari.Fungsimotorikdilakukandenganmenyuruhpasienmelakukanfleksiplantarjarikaki
(S12),dorsofleksikaki(L45),mengangkatlutut(L23)atauteganganmuskulusrektusabdominalisdengan
mengangkatkepala(T612).
Selamaanestesispinaltingkatbloksimpatismeluaslebihtinggidaribloksensorisdimanadalamperluasannya
lebihtinggidariblokmotoris.Besarnyaderajatbloktidakberhubungandenganperbedaandarisnesitivitasdari
berbagaimacamserabutsaraf,sebagaisuatupemikiran,tetapidibedakanolehkonsentrasianestatiklocal
diantaraberbagaiakarsarafdanterhadapderajatkonsentrasididalammasingmasingakarsaraf.Serbutsaraf
sensorisdansimpatisyanglebihperiferlebihmudahdiblokkarenalebihbanyaktereksposeolehkeonsetrasi
anestesilocaldaripadaserabutsarafmotorikyanglebihdalam.
KOMPLIKASI ANESTESI SPINAL
Komplikasidini/intraoperatif:
1. Hipotensi
2. Anestesispinaltinggi/total.
3. Hentijantung
4. Mualdanmuntah
5. Penurunanpanastubuh
6. Parestesia.

Komplikasilanjut
1. PostduralPunctureHeadache(PDPH)
2. Nyeripunggung(Backache)
3. Caudaequinesindrom
4. Meningitis
5. Retensiurine
6. Spinalhematom.
7. Kehilanganpenglihatanpascaoperasi

Hipotensi.
Hipotensiseringterjadiselamaanestesispinal,terutamaakibatblokpreganglionvasomotorefferentsistimsaraf
simpatisdankehilangankompensasivasokonstriksieketremitasbawah.Berkurangnyapreload(venodilatasi)
menunjukkan menurunnya curah jantung; berkurangnya tonus arteriole sedikit kontribusinya terhadap
terjadinyahipotensi,kecualitahananpembuluhdarahperifermeningkatsebelumanestesispinal.Blokserat
kardioakselatorpadaT1T4menyebabkanbradikardidankehilangankontraktilitas.
Terapihipotensidimulaidengantindakanyangcepatsepertikoreksiposisikepala,pemberiancairanintravena
danpemberianvasopressorsesuaikebutuhan.Jikacairanyangdiberikantidakdapatmengoreksibradikardiatau
kontraktilitasmelemah,terapiyangdisukaiuntukspinalhipotensiadalahkombinasicairanuntukmengoreksi
hipovolemidenganalfadanbetaadrenergikagonis(sepertiefedrin)danatropin(untukbradikardi)tergantung
padasituasi.
AnestesispinaltinggidanBlokadetotalspinal
Pasiendengantingkatanesthesiayangtinggidapatmengalamikesulitandalampernapasaan.Harusdibedakan
secarahatihatiapapenyebabnyauntukmemberikanterapiyangtepat.Hampirsemuadispneatidakdisertai
paralysisototpernapasantetapiadalahkehilangansensasiproprioseptiftersebutmengakibatkandyspnea
walaupunfungsiototpernapasandanpertukarangasadekuat.
Totalspinaladalahblockadedarimedullaspinalissampaikeservikalolehsuatuobatlocalanestesi.
Factorpencetus:Pasienmengejan,dosisobatlocalanestesiyangdigunakan,posisipasienterutamabila
menggunakanobathiperbarik.
Sesaknapasdansukarbernapasmerupakangejalautamadariblokspinaltinggi.Seringdisertaimual,muntah,
precordialdiscomfortdangelisah.Apabilabloksemakintinggipenderitamenjadiapnea,kesadaranmenurun
disertaihipotensiyangberatdanjikatidakditolongakanterjadihentijantung
Penanganan:

Usahakanjalannapastetapbebas,kadangdiperlukanbantuannapaslewatfacemask

Jikadepresipernapasanmakinberat(blokmotorC35denganparalysisnervusphrenikus)perlusegera
dilakukanintubasiendotrakealdancontrolventilasiuntukmenjaminoksigenasiyangadekuat

Bantuansirkulasidengandekompresijantungluardiperlukanbilaterjadihentijantung

Pemberiancairankristaloid1020ml/kgBBdiperlukanuntukmencegahhipotensi

Jikahipotensitetapterjadiataujikapemberiancairanyangagresifharusdihindarimakapemberian
vasopresormerupakanpilihansepertiadrenalindansulfasatropin

Hentijantungyangtibatiba.
Henti jantung yang tibatiba telah dilaporkan pada pasien yang mendapatkan spinal anestesi. Pasien yang
mendapat sedatif dan hipotensi sampai tejadinya henti jantung yang tibatiba terbukti sulit untuk diterapi.
Responkardiovaskulerterhadaphiperkarbiadanhipoksiakeranasedatifdannarkotikmengakibatkanpasien
tidakmempunyairesponterhadaphipoksemiayangprogresif,asidosisdanhiperkarbia.
Henti jantung dapat dihindari dengan beberapa langkah sebagai berikut: pertama opioid harus digunakan
dengan perhatian yang tinggi selama anestesispinal. Kedua,semua pasienyangmenjalanianestesispinal
dibutuhkan suplemen oksiegen dan pemantauan dengan pulse oxymetri. Ketiga, hipotensi dan bradikardi
dibutuhkan terapi segera untuk memelihara curah jantung. Keempat, seharusnya pasien yang mengalami
episodehipotensidanhentijantungyangtibatiba merupakanindikasisegeradantepatmendapatkanterapi
oksigen,hiperventilasi,epinefrindosistinggi(0,11mg)dansodiumbikarbonatjikaadaindikasi.
MualdanMuntah
Mualselamaanestesispinalbiasaterjadiolehkarenahipoperfusiserebralatautidakterhalanginyastimulus
vagususus.Biasanyamualadalahtandaawalhipotensi.Bahkanbloksimpatismengakibatkantakterhalangnya
tonus

parasimpatis

yang

berlebihan

pada

traktus

gastrointestinal.

Mualdanmuntahumumnnya,dapatterjadikarena:

Hiotensi

Adanyaaktifitasparasimpatisyangmenyebabkanpeningkatanperistalyikusus

TarikannervusdanpleksuskhususnyaNvagus

Adanyaempedudalamlambungolehkarenarelaksasipylorusdanspincterductusbiliaris

Factorpsikologis

Hipoksia

Penanganan:

Untukmenanganihipotensi:loadingcairankristaloidataukoloid1020ml/kgBBkristaloid

Pemberianbolusefedrin510mgIV

Oksigenasiyangadekuatuntukmengatasihipoksia.

Dapatjugadiberikanantiemetik.

Atropindapatmemperbaikirefleksmualdimanatekanandarahdancurahjantungtelahdiperbaiki.

Paresthesia.
Parestesia dapat terjadi selama penusukan jarum spinal atau saat menginjeksikan obat anestetik. Pasien
mengeluhsakitatauterkejutsingkatpadaektremitasbawah,halinidisebabkanjarumspinalmungkinmengenai
akarsaraf.Jikapasienmerasakanadanyaparestesia persitenatauparesthesiasaatmenginjeksikananesthetik
local,jarumharusdigerakkankembalidanditempatkanpadainterspaceyanglainuntukmengcegahkerusakan
yangpermanen.Adaatautidaknyaparesthesiadicatatpadastatusanesthesia.
Sakitkepalapostpunksidura.
Sakit kepala yang terjadi setelah punksi dura disebut spinal headache atau postdural puncture headache
(PDPH), telah dilukiskan oleh Bier thn. 1898. CSS keluar dari ruang subarachnoid melalui punksi dura,
menyebabkantarikanpadastrukturvaskuleryangsensitiveterhadapsakit.Sakitkepaladiperburukolehsikap
berdiriataududukdanterasaberkurangdenganterlentang.Rasasakittersebutdirasakandifrontal,occipital
ataukeduanyadanmungkindisertaidengangejalasepertitinitusataudiplopia.Walupuniniterjadisegera
setelahpunksidura,tapibisanyasetelah2472jam.
Kejadian PDPH lebih banyak terjadi pada pasien muda dan wanita. Kecepatan hilangnya CSS cenderung
bergantungpadabentukukuranlubangpadaduradandengandemikiankemungkinanterjadinyasakitkepala
lebihberat.Menggunakanjarumukurankecil(24Gataulebihkecil)pentinguntukpasiendibawahumur50
tahun. Jarum spinal dengan bagian ujung bulat atau tumpul, membentuk robekan yang lebih kecil dan
penyembuhanlebihcepat.
Terapisakitkepalabisanyadimulaidengantindakankonservatif.Hidrasiintravenaatauoralmeningkatkan
produksi CSS dan mengganti CSS yang hilang. Walaupun pasien dengan PDPH akan lebih senang jika
terlentang,istirahatditempattidurtidakdapatmencegahsakitkepala.Cafeinintravenaatauoralmungkindapat
membantu.Pengikatanperutdapatmeningkatkantekananruangepidural,karenaitumegurangibocornyaCSS.
TerapidefinitiveuntukPDPHadalahmenyumbatepiduraldengandarah.Tahun1960Gormleymencatatbahwa
pasiendenganperdarahanselamalumbalpunksimemilikiinsidenyangkurangterjadinyaPDPH.Dengan
postulatinibekuandarahdapatmenutuplubangduradanmencegahbocornyaCSS,iamemperlihatkandengan
sukses,untukmembebaskansakitkepala,darahtersebutditempatkandidalamruangepidural.Untuk
mendapatkansuatupenyumbatanepiduralolehdarah,1020mldarahsendiriyangsterildiinjeksikanperlahan
keruangepidural.Dengankomplikasipadaumumnyaadalahtransientbackpain.Penyumbatandengandarah
efektiflebihdari95%pasien.
PencegahandanPenanganan:
1. Hidrasidengancairanyangkuat.
2. Gunakanjarumsekecilmungkin(dianjurkan<24)danmenggunakanjarumnoncuttingpencilpoint
3. Hindaripenusukanjarumyangberulangulang.
4. Tusukanjarumdenganbevelsejajarserabutlongitudinaldurameter.
5. Mobilisasiseawalmungkin.

6. Gunakanpendekatanparamedian
7. Jikanyerikepalatidakberatdantidakmenggangguaktivitasmakahanyadiperlukanterapikonservatif
yaitubedrestdenganposisisupine,pemberiancairanintravenamaupunoral,oksigenasiadekuat.
8. Pemberiansedasiatauanalgesiyangmeliputipemberiankafein300mgperoralataukafeinbenzoate500
mgIVatauIM,asetaminofenatauNSAID
9. HidrasidanpemberiankafeinmembantumenstimulasipembenntukanLCS
10. JikanyerikepalamenghebatdilakukanprosedurkhususEpiduralBloodPatch

Baringkanpasiensepertiprosedurepidural.

Ambildarahvenaantecubiti1015ml.

Dilakukanpungsiepiduralkemudianmasukandarahsecarapelanpelan.

Pasiendiposisikansupineselama1jamkemudianbolehmelakukangerakandanmobilisasi.

Selamaprosedurpasientidakbolehbatukdanmenghejan.

Kerusakansaraf.
Trauma saraf setelah anestesi spinal adalah jarang tapi dapat terjadi akibat trauma mekanik dan kimiawi.
Kerusakan langsung pada akar saraf mungkin disebabkan oleh jarum, mengakibatkan radikulopati dengan
defisit motoris atau sensoris sepanjang distribusi akar saraf. Kerusakan ini bisanya membaik dalam 212
minggu.

CaudaEquinaSindrom
Terjadiketikacaudaequineterlukaatautertekan.Penyebabadalahtraumadantoksisitas.Ketikaterjadiinjeksi
yangtraumaticintraneural,diasumsikanbahwaobatyangdiinjeksikantelahmemasukiLCS,bahanbahanini
biasmenjadikontaminansepetideterjenatauantisepticataubahanpengawetyangberlebihan.
Penanganan
Penggunaanobatanestesilocalyangtidakneurotoksikterhadapcaudaequinemerupakansalahsatupencegahan
terhadapsindromatersebutselainmenghindaritraumapadacaudaequinewaktumelakukanpenusukanjarum
spinal
Meningitis
Munculnyabakteripadaruangsubarakhnoidtidakmungkinterjadijikapenangananklinisdilakukandengan
baik.Meningitisasepticmungkinberhubungandenganinjeksiiritankimiawidantelahdideskripsikantetapi
jarangterjadidenganperalatansekalipakaidanjumlahlarutananestesimurnilocalyangmemadai.
Pencegahan
1. Dapatdilakukandenganmenggunakanalatalatdanobatobatanyangbetulbetulsteril

2. Menggunakanjarumspinalsekalipakai
3. Pengobatandenganpemberianantibiotikayangspesifik

Retensiurine.
Prosesmiksitergantungdariutuhnyapersarafandarispincteruretradanototototkandungkencing.Setelah
anestesispinalfungsimotordansensorisekstremitasbawahpulihlebihcepatdarifungsikandungkencing,
khususnyadenganobatanestesispinalkerjacepatsepertitetracainataubupivacain.Lambatnyafungsisaraf
pulihdapatmengakibatkanretensiurinedandistensikandungkencing.Untukproseduryanglebihlamadan
pemberiancairanintravenayangbanyak,pemasangankateterkandungkencingmencegahkomplikasiini.
Sakittulangbelakang/Nyeripunggung.
Sakittulangbelakanglebihseringmengikuitanesthesiaspinaldaripadayangterjadipadaanestesiumum.Ini
mungkindisebabkanakibattarikanligamentumdenganrelaksasiototparaspinosusdanposisioperasiyang
menyertaianestesiregionaldangeneral.
NyeripunggungdapatjugaterjadiakibatTusukanjarumyangmengenaikulit,ototdanligamentum.Nyeriini
tidakberbedadengannyeriyangmenyertaianestesiumum,biasnyabersifatringansehinggaanalgetikpost
operatifbiasanyabiasmenutupnyeriini.
Relaksasiototyangberlebihpadaposisilitotomidapatmenyebabkanketeganganligamentumlumbalselama
spinalanestesi.Rasasakitpunggungsetelahspinalanestesiseringterjaditibatibadansembuhdengan
sendirinyasetelah48jamataudenganterapikonservatif.Adakalanyaspasmeototparaspinosusmenjadi
penyebab
Penanganan:Dapatdiberikanpenanganandenganistirahat,psikologis,komprespanaspadadaerahnyeridan
analgetikantiinflamasiyangdiberikandenganbenzodiazepineakansangatberguna.

Spinalhematom
Meskiangkakejadiannnyakecil,spinalhematommerupakanbahayabesarbagikliniskarenaseringtidak
mengetahuisampaiterjadikelainanneurologistyangmembahayakan.Terjadiakibattraumajarumspinalpada
pembuluhdarahdimedullaspinalis.Dapatsecaraspontanatauadahubungannnyadengankelainanneoplastik.
Hematomyangberkembangdikanalisspinalisdapatmenyebabkanpenekananmedullaspinalisyang
menyebabkaniskemikneurologistdanparaplegi
Tandadangejalatergantungpadalevelyangterkena,umumnyameliputi:
1. Matirasa
2. Kelemahanotot
3. KelainanBAB
4. Kelainansfingterkandungkemih
5. Sakitpinggangyangberat

Factorresiko:abnormalitasmedullaspinalis,kerusakanhemostasis,kateterspinalyangtidaktepatposisinya,
kelainan

vesikuler,

penusukan

berulangulang

ApabilaadakecurigaanmakapemeriksaanMRI,myelografiharussegeradilakukandandikonsultasikankeahli
bedahsaraf.Banyakperbaikanneurologistpadapasienspinalhematomyangsegeramendapatkandekompresi
pembedahan(laminektomi)dalamwaktu812jam.

Anda mungkin juga menyukai

  • Fetal Distress
    Fetal Distress
    Dokumen8 halaman
    Fetal Distress
    Nurrul Hudaa
    Belum ada peringkat
  • Vivi - Diare
    Vivi - Diare
    Dokumen25 halaman
    Vivi - Diare
    Vivi Binalole
    Belum ada peringkat
  • Vivi - Diare
    Vivi - Diare
    Dokumen25 halaman
    Vivi - Diare
    Vivi Binalole
    Belum ada peringkat
  • Vivi - Diare
    Vivi - Diare
    Dokumen25 halaman
    Vivi - Diare
    Vivi Binalole
    Belum ada peringkat
  • Kuesioner Penelitian
    Kuesioner Penelitian
    Dokumen4 halaman
    Kuesioner Penelitian
    arya
    Belum ada peringkat
  • Borang IGD-Ruangan
    Borang IGD-Ruangan
    Dokumen9 halaman
    Borang IGD-Ruangan
    Vivi Binalole
    Belum ada peringkat
  • Daftar Isi
    Daftar Isi
    Dokumen1 halaman
    Daftar Isi
    Vivi Binalole
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Dokumen16 halaman
    Bab Ii
    Vivi Binalole
    Belum ada peringkat
  • Vivi - Diare
    Vivi - Diare
    Dokumen25 halaman
    Vivi - Diare
    Vivi Binalole
    Belum ada peringkat
  • f1 f7
    f1 f7
    Dokumen42 halaman
    f1 f7
    Vivi Binalole
    Belum ada peringkat
  • Gawat Janin
    Gawat Janin
    Dokumen20 halaman
    Gawat Janin
    Muhammad Helri Arif
    100% (3)
  • f1 f7
    f1 f7
    Dokumen42 halaman
    f1 f7
    Vivi Binalole
    Belum ada peringkat
  • Borang Back Up
    Borang Back Up
    Dokumen28 halaman
    Borang Back Up
    Vivi Binalole
    Belum ada peringkat
  • F1-F6 Mini Project
    F1-F6 Mini Project
    Dokumen29 halaman
    F1-F6 Mini Project
    deffylettyzia
    67% (3)
  • CBD TB
    CBD TB
    Dokumen15 halaman
    CBD TB
    Vivi Binalole
    Belum ada peringkat
  • ISIP Borang PKM
    ISIP Borang PKM
    Dokumen32 halaman
    ISIP Borang PKM
    Vivi Binalole
    Belum ada peringkat
  • BORANG
    BORANG
    Dokumen29 halaman
    BORANG
    Vivi Binalole
    Belum ada peringkat
  • 5 Bab Iii
    5 Bab Iii
    Dokumen9 halaman
    5 Bab Iii
    Vivi Binalole
    Belum ada peringkat
  • Borang IGD-Ruangan
    Borang IGD-Ruangan
    Dokumen9 halaman
    Borang IGD-Ruangan
    Vivi Binalole
    Belum ada peringkat
  • Pendahuluan
    Pendahuluan
    Dokumen4 halaman
    Pendahuluan
    Vivi Binalole
    Belum ada peringkat
  • Anemia Putry
    Anemia Putry
    Dokumen18 halaman
    Anemia Putry
    Vivi Binalole
    Belum ada peringkat
  • F1
    F1
    Dokumen20 halaman
    F1
    Vivi Binalole
    Belum ada peringkat
  • Tutorial HEG
    Tutorial HEG
    Dokumen12 halaman
    Tutorial HEG
    Vivi Binalole
    Belum ada peringkat
  • 8 Daftar Pustaka
    8 Daftar Pustaka
    Dokumen1 halaman
    8 Daftar Pustaka
    Vivi Binalole
    Belum ada peringkat
  • Daftar Isi
    Daftar Isi
    Dokumen1 halaman
    Daftar Isi
    Vivi Binalole
    Belum ada peringkat
  • Tutorial Klinik Vertigo
    Tutorial Klinik Vertigo
    Dokumen31 halaman
    Tutorial Klinik Vertigo
    Vivi Binalole
    Belum ada peringkat
  • BORANG
    BORANG
    Dokumen29 halaman
    BORANG
    Vivi Binalole
    Belum ada peringkat
  • Kuesioner Penelitian
    Kuesioner Penelitian
    Dokumen4 halaman
    Kuesioner Penelitian
    arya
    Belum ada peringkat
  • ISIP Borang PKM
    ISIP Borang PKM
    Dokumen32 halaman
    ISIP Borang PKM
    Vivi Binalole
    Belum ada peringkat
  • Mini Project Fendi
    Mini Project Fendi
    Dokumen21 halaman
    Mini Project Fendi
    Vivi Binalole
    Belum ada peringkat