Anda di halaman 1dari 164

1.

PERTANYAAN DARI GABUNGAN FRAKSI :


Apakah dengan ditetapkannya Raperda tentang Pelayanan Kesehatan nantinya
berpengaruh dengan Pendapatan Asli Daerah
mengingat dalam BLUD

dana yang

(PAD). Mohon penjelasan

diperoleh dapat dipakai langsung oleh

RSUD.
Jawaban :
Pendapatan BLUD dapat bersumber dari : jasa layanan, hibah, hasil
kerjasama dengan pihak lain, APBD, APBN dan lain-lain pendapatan BLUD
yang sah. Walaupun pendapatan yang diperoleh dapat dipakai
langsung oleh RSUD, tidak ada pengaruh dengan Pendapatan Asli
Daerah. Oleh karena seluruh pendapatan BLUD tersebut dilaksanakan
melalui Rekening Kas BLUD dan dicatat dalam Kode Rekening Kelompok
Pendapatan Asli Daerah pada jenis lain-lain pendapatan asli
daerah
yang sah
dengan obyek Pendapatan
BLUD. Seluruh
pendapatan dilaporkan kepada DPPKA Kabupaten setiap triwulan.
2. PERTANYAAN DARI FRAKSI GOLKAR
Dengan telah ditetapkannya

RSUD H. Boejasin menjadi BLUD sejak Januari

2011, Bagaimana penerimaan/ pendapatan daerah

bila Raperda Pelayanan

Kesehatan ini menjadi PERDA.


JAWABAN :
RSUD Hadji Boejasin sudah menerapkan PPK-BLUD sejak Januari 2011
dengan status BLUD Penuh, dan bila Raperda pelayanan kesehatan ini
menjadi PERDA maka penerimaan/ pendapatan RSUD
tetap diakui
sebagai
Pendapatan Asli Daerah
yang
menurut
Peraturan akan
dimasukkan dalam Pendapatan lain-lain BLUD yang sah.
Bahwa Pendapatan BLUD yang berasal dari jasa layanan dapat digunakan
langsung untuk membiayai kegiatannya, sehingga tidak masuk kas daerah
terlebih dahulu. Hal ini sangat terasa pada Rumah Sakit Daerah, kalau
Rumah Sakit Daerah tidak menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan BLUD,
pendapatan harus disetor ke Kas Daerah (tidak boleh digunakan
langsung). Kita mungkin perlu merenung, apa yang akan terjadi kalau
sebuah RSUD memerlukan obat bagi pasiennya dengan sangat segera,
sementara obat di RSUD tersebut sudah tidak mencukupi atau mungkin
sudah tidak ada. Kalau RSUD tersebut belum menerapkan PPK-BLUD maka
pencairan dananya harus melalui mekanisme dalam APBD sebagaimana
diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri

Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.


Berapa waktu yang harus diperlukan sampai tersedianya obat-obatan
tersebut? Bisa jadi pasiennya tidak tertolong jiwanya. Selain itu,
penerimaan yang bersumber dari APBD atau APBN dapat diberlakukan
sebagai pendapatan BLUD, hal ini mempunyai makna bahwa BLUD yang
telah memberi jasa layanan pada masyarakat, namun pemerintah (melalui
APBN) atau pemerintah daerah (melalui APBD) yang membayar untuk jasa
layanan tersebut. Dalam hal ini Pemerintah atau Pemerintah Daerah
membeli jasa layanan yang telah diberikan oleh BLUD. Sehingga APBN
atau APBD tersebut dapat diberlakukan sebagai pendapatan BLUD.
Bahkan dalam pelaksanaan belanja (biaya), BLUD boleh melampaui pagu
yang telah ditetapkan (flexsible budget) sepanjang pendapatan atau
belanjanya bertambah atau berkurang. Sementara kalau SKPD biasa tidak
boleh melampaui anggaran yang telah ditetapkan dalam Dokumen
Pelaksanaan Anggaran (DPA)
Perlu kami sampaikan juga bahwa dengan status Rumah Sakit yang
telah menjadi BLUD maka keuntungan bagi rumah sakit yaitu :
1. Tata kelola keuangan RS lebih baik dan transparan karena
menggunakan pelaporan standar akutansi keuangan yang memberi
informasi tentang laporan aktivitas, laporan posisi keuangan, laporan
arus kas dan catatan laporan keuangan.
2. RS masih mendapat subsidi dari pemerintah seperti biaya gaji pegawai,
biaya operasional, dan biaya investasi atau modal.
3. Pendapatan RS dapat digunakan langsung tidak disetor ke kantor kas
Negara, hanya dilaporkan saja ke Departemen Keuangan.
4. RS dapat mengembangkan pelayanannya karena tersedianya dana
untuk kegiatan operasional RS.
5. Membantu RS meningkatkan kualitas SDM nya dengan perekrutan yang
sesuai kebutuhan dan kompetensi.
6. Adanya insentif dan honor yang bisa diberikan kepada karyawan oleh
pimpinan RS.
Selanjutnya yang perlu menjadi perhatian kita semua adalah
Penerapan PPK-BLUD jangan hanya mengejar fleksibilitas yang diberikan,
tetapi dalam rangka peningkatan kinerja pelayanan, kinerja manfaat, dan
kinerja keuangan; BLUD merupakan quasi public goods, sehingga peran
APBD masih tetap diperlukan dalam peningkatan pelayanan; dan Untuk
keberhasilan implementasi BLUD, perlunya peningkatan kapasitas SDM,
perubahan
pola
pikir
(maindset),
semangat
kewirausahaan
(enterpreneurship) bagi stakeholder terkait, penyiapan peraturan
pendukung, serta pemahaman tentang konsepsi BLUD.

Pelaihari, 16 Juli 2012


Direktur RSUD Hadji Boejasin Pelaihari,

dr. H. HARI PRATONO, M.Kes

.
1. Kesimpulan
1. Menerapkan PPK-BLUD harus selektif dan obyektif oleh Pemerintah Daerah,
tidak semua SKPD atau Unit Kerja yang memberi pelayanan pada masyarakat
dapat menerapkan PPK-BLUD, harus dilihat kesiapan SDM-nya dan
perangkat pendukungnya;
2. Penerapan PPK-BLUD jangan hanya mengejar fleksibilitas yang diberikan,
tetapi dalam rangka peningkatan kinerja pelayanan, kinerja manfaat, dan
kinerja keuangan;
3. BLUD merupakan quasi public goods, sehingga peran APBD masih tetap
diperlukan dalam peningkatan pelayanan; dan
4. Untuk keberhasilan implementasi BLUD, perlunya peningkatan kapasitas
SDM, perubahan pola pikir (maindset), semangat kewirausahaan
(enterpreneurship) bagi stakeholder terkait, penyiapan peraturan pendukung,
serta pemahaman tentang konsepsi BLUD.

BADAN LAYANAN UMUM DAERAH,


ALTERNATIF DALAM PENINGKATAN PELAYANAN PUBLIK

Pada harian Seputar Indonesia (SINDO) tanggal 31 Januari 2009, dengan judul Tarif RSUD
Denpasar naik 200%. RSUD Denpasar menaikkan tarif sampai sebesar itu karena
konsekuensi dari kebijakan Departemen Kesehatan yang menerapkan status Badan Layanan
Umum Daerah bagi RSUD Wangaya. Mencermati dari berita tersebut mungkin perlu
dipahami apa itu Badan Layanan Umum Daerah (BLUD)?
1. Latar Belakang.
Pertama-tama mungkin perlu diketahui latar belakang pemerintah mengeluarkan peraturan
tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (Daerah) yaitu Peraturan Pemerintah
Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum dan Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan Umum Daerah. Hal ini disebabkan kondisi pelayanan publik yang
diberikan oleh penyelenggara Negara dewasa ini dirasa belum memuaskan masyarakat,
contohnya, (1) dalam memberikan pelayanan tidak cepat namun terjadi prosedur yang
berbelit-belit (kalau bisa dipersulit mengapa dipermudah?, bukannya kalau bisa dipermudah
mengapa dipersulit?); (2) adanya diskriminasi pelayanan, kalau masyarakat yang
bersangkutan mempunyai jabatan atau uang, akan cepat dilayani, akan tetapi kalau
masyarakat biasa (miskin) entar dulu; (3) biaya tidak transparan, katanya gratis tetapi
kenyataan di lapangan masih harus bayar, membayarnyapun tidak ada standarnya; (4) adanya
budaya kerja aparatur yang belum baik, hal ini disebabkan adanya anggapan bahwa kalau
sudah jadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), kerja tidak kerja gajinya sama; (5) waktu
penyelesaian pemberian pelayanan yang tidak jelas, katanya kalau mengurus KTP dapat
selesai dua hari, kenyatan di lapangan bisa sampai dua minggu; (6) banyaknya praktek
pungutan liar, ini yang sampai saat ini masih susah di tanggulangi, alasannya klasik gaji
kurang, yang menjadi pertanyyan apa iya gaji kurang? Apakah bisa dijamin remunerasinya
tinggi pungli tidak ada? Kondisi tersebut memberikan citra negative terhadap penyelenggara
pelayanan di mata masyarakat. Sehingga akan berdampak pada rendahnya daya saing bangsa
dan juga pertumbuhan ekonomi nasional, kenapa? Karena investor tidak mau lagi
menanamkan modalnya di Indonesia, belum-belum sudah dipalak sehingga mengakibatkan
biaya tinggi. Akibatnya banyak yang lari ke Negara lain seperti Vietnam, Singapura dan lainlainnya.
Seperti kita ketahui, ada tiga jenis lembaga di pemerintah daerah yang memberikan
pelayanan kepada masyarakat. (1) Public goods, yaitu pelayanan yang diberikan oleh Satuan
Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang operasionalnya seluruhnya dengan APBD, sifatnya
tidak mencari keuntungan (non profit); (2) Quasi Public Goods, yaitu perangkat daerah yang
dalam operasionalnya sebagian dari APBD dan sebagian lagi dari hasil jasa layanan yang
diberikan, sifatnya tidak semata-mata mencari keuntungan (not for profit); dan (3) Private
Goods, yaitu lembaga milik pemerintah daerah yang biaya operasionalnya seluruhnya berasal
dari hasil jasa layanan (seperti BUMD, Perusahaan daerah) dan bersifat mencari keuntungan
(profit oriented). Konsep pendanaan ke depan bagi perangkat daerah yang bersifat quasi
public goods, adalah lembaga tersebut diberi kemudahan dalam pengelolaan keuangannya,
khususnya yang berasal dari jasa layanan, dengan konsekuensi lambat laun pendanaan yang
bersumber dari APBD presentasenya semakin dikurangi. Sehingga diharapkan dikemudian
hari bisa mandiri. Alokasi anggaran berasal dari APBD yang selama ini dipergunakan untuk
membiayai perangkat daerah tersebut dialihkan untuk membiayai perangkat daerah yang
bersifat public goods, misal untuk pembangunan sekolahan, menambah kesejahteraan guru
(kaitannya dengan mencerdaskan kehidupan bangsa), membangun jalan, irigasi (kaitannya
dengan meningkatkan kesejahteraan masyarakat). Sehingga ke depan APBD hanya fokus

untuk digunakan pada pelayanan masyarakat yang bersifat public goods. Selanjutnya, yang
menjadi pertanyaan, bagaimana caranya? Salah satunya adalah dengan menerapkan Pola
Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah (PPK-BLUD) pada perangkat daerah
yang secara operasional memberikan pelayanan langsung pada masyarakat. Sekarang yang
menjadi pertanyaan, kenapa dengan BLUD?
Esensi dari BLUD adalah peningkatan pelayanan dan efisiensi anggaran. Hal ini dapat dilihat
dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis
Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah, disebutkan bahwa BLUD adalah
Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) atau Unit Kerja pada SKPD di lingkungan
pemerintah daerah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa
penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan, dan
dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. Makna
dari pengertian ini adalah: (1) BLUD merupakan perangkat daerah, mempunyai pengertian
bahwa BLUD asetnya merupakan aset daerah yang tidak dipisahkan; (2) Perangkat daerah
yang dapat menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan BLUD adalah SKPD (sebagai Pengguna
Anggaran) atau Unit Kerja pada SKPD (sebagai Kuasa Pengguna Anggaran); (3)
Memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang
dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan, mempunyai pengertian bahwa SKPD atau
Unit Kerja tersebut memberi pelayanan langsung kepada masyarakat dan tidak semata-mata
mencari keuntungan; dan (4) Kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan
produktivitas, mempunyai arti bahwa BLUD dterapkan dalam rangka efisiensi anggaran dan
peningkatan pelayanan pada masyarakat. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa
BLUD masuk dalam perangkat pemerintah daerah yang bersifat quasi public goods.
Selanjutnya, dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri tersebut juga disebutkan bahwa BLUD
merupakan Pola Pengelolaan Keuangan yang diterapkan pada SKPD atau Unit Kerja dengan
diberikan fleksibilitas, yaitu berupa keleluasaan untuk menerapkan praktek-praktek bisnis
yang sehat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagai pengecualian dari
ketentuan pengelolaan keuangan daerah pada umumnya. Dari pengertian tersebut, SKPD atau
Unit Kerja dapat disebut BLUD kalau SKPD atau Unit Kerja sudah menerapkan Pola
Pengelolaan Keuangan BLUD (PPK-BLUD). Hal ini untuk menepis adanya pemahaman
bahwa BLUD merupakan suatu kelembagaan, padahal hanya merupakan Pola Pengelolaan
Keuangan saja. Untuk itu, kalau mau menerapkan PPK-BLUD lembaganya harus ada
terlebih dahulu. Pengaturan kelembagaan di daerah dengan Peraturan Daerah dan Peraturan
Kepala Daerah, dengan mempedomani Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang
Organisasi Perangkat Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 57 Tahun 2007
tentang Penataan Organisasi Perangkat Daerah.
1. Persyaratan Menerapkan PPK-BLUD.
Dalam Permendagri tersebut juga disebutkan bahwa untuk menerapkan PPK-BLUD harus
memenuhi beberapa persyaratan. Pemerintah Daerah harus selektif dan obyektif dalam
menetapkan SKPD atau Unit Kerja untuk menerapkan PPK-BLUD. Sehingga tidak semua
SKPD atau Unit Kerja yang memberikan pelayanan pada masyarakat dapat menerapkan
PPK-BLUD. Persyaratan untuk menerapkan PPK-BLUD, meliputi: (1) substantif; (2) teknis;
dan (3) administratif.
Persyaratan substantif dipenuhi kalau SKPD atau Unit Kerja tersebut menurut tugas dan
fungsinya memberi pelayanan langsung kepada masyarakat dalam bentuk (a) penyediaan
barang dan jasa, seperti penyediaan layanan dalam bidang kesehatan (Rumah Sakit Daerah,

Puskesmas, dan Laboratorium), pendidikan (sekolahan, pendidikan dan pelatihan),


transportasi (terminal, jasa penyeberangan, jasa transportasi), pariwisata (pengelolaan wisata
daerah), perdagangan (pasar tradisional), kebersihan (pengelolaan sampah, limbah),
penyediaan bibit/pupuk, dan lain-lainnya; (b) pengelolaan wilayah/kawasan tertentu untuk
tujuan meningkatkan perekonomian masyarakat atau layanan umum, seperti pengelolaan
kawasan ekonomi di suatu wilayah; (c) pengelolaan dana khusus dalam rangka meningkatkan
ekonomi dan/atau pelayanan kepada masyarakat, seperti pengelolaan dana bergulir,
pengelolaan dana perumahan. Persyaratan teknis terpenuhi, apabila SKPD atau Unit Kerja
tersebut kinerja pelayanan di bidang tugas dan fungsinya layak dikelola dan ditingkatkan
pencapaiannya melalui BLUD, serta kinerja keuangannya sehat.
Persyaratan administratif, apabila SKPD atau Unit kerja menyampaikan dokumen
persyaratan, yang meliputi (1) surat pernyataan kesanggupan untuk meningkatkan kinerja
pelayanan, keuangan, dan manfaat bagi masyarakat; (2) pola tata kelola; (3) rencana strategis
bisnis; (4) standar pelayanan minimal; (5) laporan keuangan pokok atau prognosa/proyeksi
laporan keuangan; dan (6) laporan audit terakhir atau pernyataan bersedia untuk diaudit
secara independen.
Dari ketiga persyaratan tersebut, persyaratan administratif yang sangat menentukan dapat
tidaknya SKPD atau Unit Kerja menerapkan PPK-BLUD. Hal ini disebabkan dari dokumen
administratif tersebut akan dinilai oleh tim penilai yang ditetapkan oleh Kepala Daerah, yang
anggotanya paling sedikit terdiri dari: (1) Sekretaris Daerah, sebagai ketua merangkap
anggota; (2) Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD), sebagai sekretaris merangkap
anggota; (3) Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, sebagai anggota; (4)
Inspektorat Daerah, sebagai anggota; (5) Tenaga ahli (kalau diperlukan) sebagai anggota.
Dari tim penilai ini dikeluarkan rekomendasi kepada Kepala Daerah, layak tidaknya usulan
SKPD atau Unit Kerja tersebut untuk menerapkan PPK-BLUD. Untuk itu, tim penilai harus
betul-betul memahami konsepsi BLUD. Kalau tidak paham, penerapan BLUD hanya sekedar
ganti nama belaka dan tidak akan tercapai tujuan BLUD. Untuk itu, dalam memudahkan tim
penilai dalam menilai dokumen administratif, Menteri Dalam Negeri telah mengeluarkan
Surat Edaran Nomor: 900/2759/SJ tanggal 10 September 2008 perihal Pedoman Penilaian
Penerapan PPK-BLUD. Setelah Kepala Daerah menerima hasil penilaian dari tim penilai,
Kepala Daerah memutuskan menerima atau menolak usulan SKPD atau Unit Kerja untuk
menerapkan PPK-BLUD. Kalau usulan diterima, penetapan penerapkan PPK-BLUD dengan
Keputusan Kepala Daerah (tidak dengan Peraturan Kepala Daerah atau Peraturan Daerah).
Penetapannya dengan Status BLUD Penuh atau BLUD Bertahap, yang membedakan dari
status BLUD tersebut adalah dalam pemberian fleksibilitasnya. Untuk BLUD dengan status
penuh, diberikan seluruh fleksibilitas sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Dalam
Negeri tersebut. Sedangkan BLUD Bertahap, diberikan fleksibilitas pada batas-batas tertentu
berkaitan dengan jumlah dana yang dapat dikelola langsung, pengelolaan barang, pengelolaan
piutang, serta perumusan standar, kebijakan, sistem, dan prosedur pengelolaan keuangan serta
tidak diberikan fleksibilitas dalam hal pengelolaan investasi, pengelolaan utang, dan
pengadaan barang dan/atau jasa.
1. Fleksibilitas BLUD SKPD atau Unit Kerja yang menerapkan PPK-BLUD diberikan
fleksibilitas dalam Pola Pengelolaan Keuangannya, antara lain:
1. Pendapatan BLUD yang berasal dari jasa layanan dapat digunakan langsung
untuk membiayai kegiatannya, sehingga tidak masuk kas daerah terlebih
dahulu. Hal ini sangat terasa pada Rumah Sakit Daerah, kalau Rumah Sakit
Daerah tidak menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan BLUD, pendapatan
harus disetor ke Kas Daerah (tidak boleh digunakan langsung). Kita mungkin

perlu merenung, apa yang akan terjadi kalau sebuah RSD memerlukan obat
bagi pasiennya dengan sangat segera, sementara obat di RSD tersebut sudah
tidak mencukupi atau mungkin sudah tidak ada. Kalau RSD tersebut belum
menerapkan PPK-BLUD maka pencairan dananya harus melalui mekanisme
dalam APBD sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58
Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan
Daerah. Berapa waktu yang harus diperlukan sampai tersedianya obat-obatan
tersebut? Bisa jadi pasiennya tidak tertolong jiwanya. Selain itu, penerimaan
yang bersumber dari APBD atau APBN dapat diberlakukan sebagai
pendapatan BLUD, hal ini mempunyai makna bahwa BLUD yang telah
memberi jasa layanan pada masyarakat, namun pemerintah (melalui APBN)
atau pemerintah daerah (melalui APBD) yang membayar untuk jasa layanan
tersebut. Dalam hal ini Pemerintah atau Pemerintah Daerah membeli jasa
layanan yang telah diberikan oleh BLUD. Sehingga APBN atau APBD
tersebut dapat diberlakukan sebagai pendapatan BLUD.
2. Dalam pelaksanaan belanja (biaya), BLUD boleh melampaui pagu yang telah
ditetapkan (flexsible budget) sepanjang pendapatan atau belanjanya bertambah
atau berkurang. Sementara kalau SKPD biasa tidak boleh melampaui anggaran
yang telah ditetapkan dalam Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA).
3. BLUD boleh melakukan utang/piutang, investasi, dan kerjasama. Utang atau
pinjaman dan investasi jangka panjang harus dengan persetujuan Kepala
Daerah. Sementara kalau SKPD biasa tidak boleh melakukan utang/piutang,
investasi dan kerjasama, yang diperbolehkan adalah Pemerintah Daerah.
4. Pengadaan barang dan jasa untuk pendapatan yang berasal selain dari APBD
atau APBN boleh tidak dengan Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003
tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah atau
perubahannya. Makna dari pemberian fleksibilitas dalam pengadaan barang
dan jasa dimaksud, adalah untuk mempercepat pelayanan yang diberikan.
Namun tetap dengan prinsip efisien, efektif, transparan, bersaing, adil/tidak
diskriminatif, akuntabel dan praktek bisnis yang sehat.
5. Pengelolaan barang, BLUD boleh menghapus aset tidak tetap. Sebagai contoh,
RSD yang telah menerapkan BLUD, boleh menghapus aset-aset yang sudah
tidak produktif atau sudah tidak efisien lagi. Seperti tempat tidur pasien yang
sudah reyot, dari pada memenuhi ruangan/gudang lebih baik dijual. Hasil dari
penjualan aset tersebut merupakan pendapatan BLUD.
6. Pejabat Pengelola dan pegawai BLUD, boleh Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau
Non PNS. Pegawai Non PNS diperlukan sepanjang BLUD yang bersangkutan
sangat membutuhkan dan dalam rangka peningkatan pelayan. Kriteria
pengelola dan pegawai BLUD baik PNS maupun Non PNS harus yang betulbetul profesional, jangan sampai pegawai yang ada di BLUD karena titipan
dari para pejabat yang berpengaruh di daerah tersebut. Pemimpin BLUD harus
mempunyai komitmen dan berani menolak kalau memang tidak masuk dalam
kriteria yang telah ditetapkan. Perlu disadari, bahwa setiap tahun antara
pemimpin BLUD dengan kepala daerah menandatangani perjanjian kinerja

(contractual performance agreement). Apa makna dari perjanjian kinerja


dimaksud? Kepala daerah menugaskan pemimpin BLUD untuk
menyelenggarakan kegiatan pelayanan umum dan berhak mengelola dana
sesuai yang tercantum dalam Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) BLUD.
Apa sanksi kalau kinerjanya tidak tercapai? Pemimpin BLUD bisa dicopot
dari jabatannya. Untuk itu, pengelola dan pegawai BLUD harus yang benarbenar profesional, karena jabatan taruhannya. Sehingga jadi pemimpin BLUD,
seperti duduk di kursi panas, setiap tahun bisa dilengserkan.
7. BLUD boleh mengangkat Dewan Pengawas, sepanjang asset maupun
omsetnya memenuhi persyaratan sebagaimana yang ditetapkan oleh Menteri
Keuangan. Untuk saat ini diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
109/PMK.05/2007 tentang Dewan Pengawas Badan Layanan Umum. Dalam
Peraturan Menteri Keuangan tersebut, disebutkan bahwa Dewan Pengawas
dapat berjumlah 3(tiga) orang kalau nilai asetnya sebesar 75 (tujuh puluh lima)
miliar rupiah sampai dengan 200 (dua ratus) miliar rupiah, atau nilai omsetnya
antara 15 (lima belas) miliar sampai dengan 30 (tiga puluh) miliar rupiah
setahun. Sementara itu, Dewan Pengawas dapat berjumlah antara 3 (tiga) atau
5 (lima) orang kalau nilai asetnya diatas 200 (dua ratus) miliar rupiah atau
nilai omsetnya di atas 30 milai rupiah setahun. Lalu siapa yang berhak jadi
Dewan Pengawas? Untuk BLUD-SKPD adalah Sekretaris Daerah, Pejabat
Pengelola Keuangan Daerah dan Tenaga Ahli. Sedangkan BLUD Unit Kerja,
terdiri dari Kepala SKPD induk, Pejabat Pengelola Keuangan Daerah, dan
Tenaga Ahli. Bolehkah Kepala Daerah menjadi Dewan Pengawas?
jawabannya tidak. Karena dilihat dari tugas Dewan Pengawas salah satunya
adalah melaporkan kepada Kepala Daerah tentang kinerja BLUD. Kalau
Kepala Daerah menjadi Dewan Pengawas, maka Kepala Daerah tersebut
melaporkan kepada dirinya sendiri, bisa diistilahkan jeruk makan jeruk.
8. Remunerasi pejabat pengelola BLUD, dewan pengawas, sekretaris dewan
pengawas dan pegawai BLUD dapat diberikan remunerasi sesuai dengan
tingkat tanggungjawab dan tuntutan profesionalisme yang diperlukan.
Sehingga tidak lagi pengaturannya seperti PNS, kalau golongan dan masa
kerja sama, gaji yang diterima setiap bulan akan sama. Namun kalau sudah
jadi BLUD besaran remunerasi dapat dihitung berdasarkan indikator penilaian
antara lain: (1) pengalaman dan masa kerja (basic index); (2) ketrampilan,
ilmu pengetahuan dan perilaku (competency index); (3) resiko kerja (risk
index); (4) tingkat kegawatdaruratan (emergency index); (5) jabatan yang
disandang (position index); dan (6) hasil/capaian kinerja (performance index)
9. Penetapan tarif BLUD, ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah (bukan
dengan Peraturan Kepala Daerah). Kenapa? Karena untuk mempercepat
proses penetapan dan efisiensi biaya. Namun demikian, penetapan tarif harus
mempertimbangkan kontinuitas dan pengembangan layanan, daya beli
masyarakat, serta kompetisi yang sehat. Selain itu, dalam penetapan tarif,
Kepala Daerah dapat membentuk tim untuk mengkaji kelayakan besaran tarif
yang akan ditetapkan, yaitu dengan melibatkan pembina teknis, pembina
keuangan, unsur perguruan tinggi dan lembaga profesi. Penetapan tarif pada
BLUD mestinya berdasarkan unit cost. Untuk kasus RSUD Wangaya
Denpasar yang besaran tarif untuk kelas III sebesar Rp.33.000, yang

sebelumnya Rp.11.000,- supaya tidak memberatkan masyarakat mestinya


masih ada subsidi dari APBD. Untuk itu, kalau besaran tarif sebesar
Rp.33.000,- tersebut sudah berdasarkan perhitungan unit cost, namun kalau
pemerintah daerah yang bersangkutan mempunyai komitmen untuk membantu
masyarakat golongan bawah, maka yang dibebankan kepada masyarakat tidak
harus sebesar angka tersebut, misalnya Rp.20.000, maka sisanya sebesar Rp.
13.000,- dibayar oleh pemerintah daerah kepada RSUD Wangaya sebagai
pendapat RSUD tersebut. Namun juga perlu diingat bahwa nilai uang sebesar
Rp.11.000,- saat ini sampai di mana? Namun demikian, masyarakat hendaknya
juga berfikir realistik, kalau pasien dirawat inap harus makan tiga kali sehari?
Apakah cukup Rp.11.000,- tersebut? Bisa-bisa pasien sudah sehat tidak mau
pulang karena makannya lebih terjamin. Demikian juga yang harus disadari
oleh masyarakat yang mampu (golongan menengah-atas), jangan sampai kalau
sakit jadi miskin (sadikin). Untuk itu, perlu dipahami oleh jajaran pemerintah
daerah, bahwa SKPD atau Unit Kerja yang sudah menerapkan PPK-BLUD,
kewajiban pemerintah daerah dalam hal ini APBD masih tetap diperlukan
dalam meningkatkan pelayanannya. Karena pendapatan BLUD itu minimal
sama dengan belanja/biayanya.
10. Dalam menyusun Laporan Keuangan, BLUD merupakan perangkat daerah yang tidak
dipisahkan. Untuk itu laporan keuangan BLUD merupakan bagian dari laporan keuangan
SKPD atau Pemerintah Daerah. BLUD akuntansinya wajib menggunakan Standar Akuntansi
Keuangan yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), sementara laporan
Keuangan Pemerintah menggunakan Standar Akuntansi Pemerintahan sebagaimana diatur
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan,
maka di sini perlu adanya konsolidasian dalam menyusun laporan keuangan BLUD.
Dengan adanya kemudahan/fleksibilitas yang diberikan sebagaimana tersebut di atas,
hendaknya menerapkan PPK-BLUD jangan hanya mengejar fleksibilitas dimaksud. Namun
harus disadari, menerapkan PPK-BLUD karena mempunyai kemauan untuk meningkatkan
kinerja keuangan, kinerja manfaat dan kinerja pelayanan. Dilain pihak, dalam
implementasinya sampai saat ini masih ada keragu-raguan dari para pejabat di daerah tentang
keberadaan dari Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2007 dimaksud, karena di
dalam hirarki perundang-undangan Peraturan Menteri tidak termasuk di dalamnya. Sehingga
sering muncul pertanyaan, masa Permendagri menabrak Keputusan Presiden Nomor 80
Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Untuk itu,
dapat kami jelaskan bahwa keberadaan Peraturan Menetri Dalam Negeri 61 Tahun 2007
tersebut ada karena amanat dari Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah, khususnya Pasal 150, dimana disebutkan Pedoman Teknis
Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri
setelah mendapat pertimbangan Menteri Keuangan. Untuk itu, keberadaan Peraturan
Menetri Dalam Negeri tersebut sangat kuat. Oleh karena itu, dalam membaca Peraturan
Menetri Dalam Negeri tersebut hendaknya bersamaan dengan Peraturan Pemerintah Nomor
58 Tahun 2005, karena antara keduanya merupakan satu kesatuan.
11. Keberhasilan Implentasi Penerapan BLUD Apa yang harus dipersiapkan daerah dalam
menunjang keberhasilan implementasi BLUD?
1. Perlunya peningkatan kapasitas SDM, perubahan pola pikir (maindset), semangat
kewirausahaan (enterpreneurship) bagi stakeholder terkait mulai dari kepala daerah,

sekretaris daerah, PPKD, Kepala BAPPEDA, Inspektur Daerah dan pejabat pengelola
BLUD.
2. Perlunya penyiapan regulasi dan instrumen pendukung sebagai penjabaran dari
ketentuan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2007 untuk digunakan
sebagai pedoman operasional implementasi PPK-BLUD, antara lain penetapan Tim
Penilai, Standar Pelayanan Minimal, dan Peraturan yang ditetapkan oleh Kepala
Daerah terkait dengan fleksibilitas yang diberikan.
3. Perlu adanya pemahaman tentang konsepsi mengenai Rencana Strategis (RENSTRA)
Bisnis, Rencana Bisnis dan Anggaran (RBA), Tata Kelola, Standar Pelayanan
Minimal, Standar Akuntansi Keuangan (SAK), konsolidasian RBA dan laporan
keuangan dengan APBD.
2. Kesimpulan
1. Menerapkan PPK-BLUD harus selektif dan obyektif oleh Pemerintah Daerah,
tidak semua SKPD atau Unit Kerja yang memberi pelayanan pada masyarakat
dapat menerapkan PPK-BLUD, harus dilihat kesiapan SDM-nya dan
perangkat pendukungnya;
2. Penerapan PPK-BLUD jangan hanya mengejar fleksibilitas yang diberikan,
tetapi dalam rangka peningkatan kinerja pelayanan, kinerja manfaat, dan
kinerja keuangan;
3. BLUD merupakan quasi public goods, sehingga peran APBD masih tetap
diperlukan dalam peningkatan pelayanan; dan
4. Untuk keberhasilan implementasi BLUD, perlunya peningkatan kapasitas
SDM, perubahan pola pikir (maindset), semangat kewirausahaan
(enterpreneurship) bagi stakeholder terkait, penyiapan peraturan pendukung,
serta pemahaman tentang konsepsi BLUD.
Tulisan ini dibuat oleh : Ir Bejo Mulyono

2012, Pendapatan RSUD Dikelola Sendiri


Kamis, 29/12/2011 06:00 WIB - Muhammad Ismail
SUKOHARJORumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sukoharjo pada 2012 mulai
menerapkan pengelolaan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD). Nantinya semua
pendapatan akan dikelola sendiri.
Direktur RSUD Sukoharjo, Gunadi mengatakan secara garis besar dalam pelaksanaan BLUD
sudah siap secara keseluruhan, baik peralatan dan manajemen keuangannya.
Dengan sistem pengelolaan baru tersebut menguntungkan RSUD dibandingkan harus
menerapkan sistem keuangan daerah. Dan BLUD akan membuat pelayanan RSUD akan lebih
baik secara kualitas layanannya, ujar Gunadi, Rabu (28/12).
Dikatakan Gunadi, dengan sistem fleksibilitas keuangan baru tersebut, segala persoalan yang
ada di rumah sakit akan lebih mudah ditangani. Salah satu contohnya, ketika rumah sakit

kekurangan perlengkapan, bisa langsung dipenuhi dengan uang yang sudah didapat.
Namun demikian, untuk bantuan yang ditujukan ke RSUD nantinya tetap masuk ke kas
daerah, baik dari APBD dan APBN.
Karena itu, pasien atau masyarakat tidak perlu khawatir dengan hal tersebut. RSUD tetap
akan melakukan pelayanan kepada masyarakat sebagaimana mestinya. Prinsipnya, tetap
mengedepankan pelayanan tanpa membebani masyarakat. Dari segi tarif ketika
diterapkannya BLUD masih tetap sehingga masyarakat tidak usah takut, katanya.
Muhammad Ismail
0

Perlu dibedakan antara BLU (untuk di Pusat, yaitu BLU-nya di bawah Departemen)
dan BLUD (di daerah). Pengaturan untuk BLU Pusat ada pada PP 23/2005,
Permenkeu, dan Permen Departemen teknis terkait. sedangkan untuk di Daerah
(BLUD) diatur oleh PP 23/2005, Permendagri 61/2007 dan implementasinya dengan
Peraturan Kepela Daerah/Pemimpin BLUD.

numpang sharing yamenanggapi bagian akhir tulisan di atas ; sebetulnya


BLU/BLUD kedudukannya sangat kuat karena diatur dalam UU No. th 2004 pasal 68
dan 69 tentang BLU sebagai pengecualian pengelolaan keuangan negara pada
umumnya. pada BLUD juga telah diatur dalam PP 58 /2005, permendagri 13, 59, 21.
Inti dari BLU/D adalah pengelolaan SKPD seperti Perusahaan, statusnya sama dengan
SKPD lain tetapi fleksibilitas yg diperoleh menyamai perusahaan daerah seperti:
pegawai dapat non PNS, pengadaan brg dan jasa dr sumber pendapatan blud dgn
sistem internal, dpt investasi, berhutang, menghapus piutang, ber KSO dan kelola kas
secara mandiri dgn aturan direktur.
Permasalahannya adalah Pemda belum siap sepenuhnya dengan model BLUD
sehingga pada awal penerapannya (setelah ditetapkan oleh menkeu/Kepala daerah)
masih modifikasi dengan pola-pola SKPD biasa..
semoga bermanfaat..
Terima kasih

Pendahuluan
Rumah sakit merupakan suatu unit usaha jasa yang memberikan jasa pelayanan sosial di
bidang medis klinis. Pengelolaan unit usaha rumah sakit memiliki keunikan tersendiri karena
selain sebagai unit bisnis , usaha rumah sakit juga nemiliki misi sosial, disamping
pengelolaan rumah sakit juga sangat tergantung pada status kepemilikan rumah sakit. Misi
rumah sakit tidak terlepas dari misi layanan sosial. Namun tidak dipungkiri bahwa dalam
pengelolaan rumah sakit tetap terjadi konflik kepentingan dari berbagai pihak. Konflik
kepentingan berbagai pihak ini dapat bersumber dari klasifikasi organisasi rumah sakit.

Klasifikasi organisasi dibedakan menjadi dua, yaitu organisasi bisnis dan organisasi non
bisnis.
Rumah sakit pemerintah lebih tepat sebagai klasifikasi non bisnis, namun rumah sakit swasta
tidak seluruhnya diklasifikasikan dalam kelompok non bisnis. Beberapa rumah sakit masih
memiliki kualitas jasa layanan yang masih sangat memprihatinkan. Hal ini antara lain
disebabkan karena keterbatasan sumber daya baik sumber daya finansial maupun sumber
daya non finansial. Tuntutan peningkatan kualitas jasa layanan membutuhkan berbagai dana
investasi yang tidak sedikit. Kenaikan tuntutan kualitas jasa layanan rumah sakit harus
dibarengi dengan profesionalisme dalam pengelolaannya. Perkembangan pengelolaan rumah
sakit, baik dari aspek manajemen maupun operasional sangat dipengaruhi oleh berbagai
tuntutan dari lingkungan, yaitu lingkungan eksternal dan internal. Tuntutan eksternal antara
lain adalah dari para stakeholder bahwa rumah sakit dituntut untuk memberikan pelayanan
kesehatan yang bermutu, dan biaya pelayanan kesehatan terkendali sehingga akan berujung
pada kepuasan pasien. Tuntutan dari pihak internal antara lain adalah pengendalian biaya.
Pengendalian biaya merupakan masalah yang kompleks karena dipengaruhi oleh berbagai
pihak yaitu mekanisme pasar, perilaku ekonomis, sumber daya professional dan yang tidak
kalah penting adalah perkembangan teknologi. Rumah sakit kepemerintahan yang terdapat di
tingkat pusat dan daerah tidak lepas dari pengaruh perkembangan tuntutan tersebut.
Dipandang dari segmentasi kelompok masyarakat, secara umum rumah sakit pemerintah
merupakan layanan jasa yang menyediakan untuk kalangan menengah ke bawah, sedangkan
rumah sakit swasta melayani masyarakat kelas menengah ke atas. Biaya kesehatan cenderung
terus meningkat,dan rumah sakit dituntut untuk secara mandiri mengatasi masalah tersebut.
Peningkatan biaya kesehatan ini menyebabkan fenomena tersendiri bagi rumah sakit
pemerintahan karena rumah sakit pemerintah memiliki segmen layanan kesehatan untuk
kalangan menengah ke bawah. Akibantnya rumah sakit pemerintah diharapkan menjadi
rumah sakit yang murah dan bermutu. Rumah sakit pemerintah menghadapi dilema antara
misi melayani masyarakat kelas menengah ke bawah dan adanya keterbatasan sumber dana,
serta berbagai aturan dan birokrasi yang harus dihadapi. Kondisi tersebut akan
mengakibatkan rumah sakit pemerintah mengalami kebingungan apakah rumah sakit
dijadikan sebagai lembaga birokrasi dalam sistem kesehatan ataukah sebagai lembaga
pelayanan kesehatan yang tidak birokratis.

A. Pengertian BLU Rumah Sakit


Pengertian BLU diatur dalam Pasal 1 angka 23 UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara, yaitu : Badan Layanan Umum / BLU adalah instansi di lingkungan
Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa
penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan
dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.
Pengertian ini kemudian diadopsi kembali dalam peraturan pelaksanaannya yaitu dalam Pasal
1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan
Layanan Umum.
Badan Layanan Umum adalah suatu badan usaha pemerintah yang tidak bertujuan mencari
laba, meningkatkan kualitas pelayanan publik, dan memberikan otonomi atau fleksibilitas

manajemen rumah sakit publik, baik milik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Bentuk BLU merupakan alternatif penting dalam menerapkan Otonomi Daerah yang
merumuskan Rumah Sakit Daerah (RSD) sebagai Layanan Teknis Daerah .
Selain itu, pengertian lain menyatakan bahwa badan layanan umum adalah instansi di
lingkungan pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat
berupa penyediaan barang dan atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari
keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan
produktivitas.
Berdasar PP no: 23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, tujuan
BLU adalah meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan memberikan fleksibilitas
dalam pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip eknomi dan produktivitas dan penerapan
praktik bisnis yang sehat. Praktik bisnis yang sehat artinya berdasarkan kaidah manajemen
yang baik mencakup perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengendalian dan
pertanggungjawaban. Secara umum
asas badan layanan umum adalah pelayanan umum yang pengelolaannya berdasarkan
kewenangan yang didelegasikan, tidak terpisah secara hukum dari instansi induknya.
Asas BLU yang lainnya adalah:
1. Pejabat BLU bertanggungjawab atas pelaksanaan kegiatan layanan umum kepada
pimpinan instansi induk,
2. BLU tidak mencari laba,
3. Rencana kerja, anggaran dan laporan BLU dan instansi induk tidak terpisah,
4. Pengelolaan sejalan dengan praktik bisnis yang sehat.
BLU harus memenuhi persyaratan adminsitratif sebagai berikut :

Pernyataan kesanggupan untuk meningkatkan kinerja layanan, keuangan, dan

manfaat bagi masyarakat.

Pola tata kelola yang baik dan laporan keuangan,

Standar pelayanan minimum,

Laporan audit atau pernyataan bersedia diaudit secara independen,

Syarat-syarat BLU

Rumah sakit pemerintah daerah yang telah menjadi BLU/BLUD menggunakan SPM yang
telah ditetapkan oleh menteri/pimpinan lembaga/gubernur/walikota/bupati sesuai dengan
kewenangannya, harus memperhatikan kualitas pelayanannya, pemerataan, dan kesetaraan
layanan, biaya serta kemudahan untuk mendapatkan layanan. Dalam hal RSUD maka SPM
ditetapkan oleh pemerintah daerah. SPM tersebut harus memenuhi persyaratan :
1. Fokus pada pelayanan
2. Terukur
3. Dapat dicapai
4. Relevan dan dapat diandalkan
5. Tepat waktu
Adapun regulasi yang mengaturnya yaitu:
-

Pasal 1 angka 23 UU No.1 tahun 2004 tentang perbendaharaan Negara

Pasal 1 angka 1 PP No.23 tahun 2005 tentang pengelolaan keuangan BLU

Pasal 3 PP No.23 tahun 2005 tentang asas BLU

PP No.65 tahun 2005 tentang penyusunan SPM

Pasal 4 PP No.23 tahun 2005 tentang syarat menjadi BLU

Keuntungan BLU bagi rumah sakit yaitu :


1. Tata kelola keuangan RS lebih baik dan transparan karena menggunakan pelaporan
standar akutansi keuangan yang memberi informasi tentang laporan aktivitas, laporan
posisi keuangan, laporan arus kas dan catatan laporan keuangan.
2. RS masih mendapat subsidi dari pemerintah seperti biaya gaji pegawai, biaya
operasional, dan biaya investasi atau modal.
3. pendapatan RS dapat digunakan langsung tidak disetor ke kantor kas Negara, hanya
dilaporkan saja ke Departemen Keuangan.
4. RS dapat mengembangkan pelayanannya karena tersedianya dana untuk kegiatan
operasional RS.
5. Membantu RS meningkatkan kualitas SDM nya dengan perekrutan yang sesuai
kebutuhan dan kompetensi.
6. Adanya insentif dan honor yang bisa diberikan kepada karyawan oleh pimpinan RS.

B. Ukuran Rumah Sakit BLU yang Bermutu


Ukuran rumah sakit BLU yang bermutu diantaranya :
-

Terpenuhinya persyaratan SPM dalam BLU

RS BLU adalah RS pemerintah yang menjual jasa pelayanan rumah-sakit not-for-profit tetapi
tetap dikelola dengan prinsip produktifitas dan efisiensi. Dengan memiliki bentuk sebagai
organisasi BLU, maka RS memilki pola pengelolaan keuangan (PPK) yang memberikan
fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan praktek-praktek bisnis yang sehat untuk
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Praktek bisnis yang sehat adalah
penyelenggaraan fungsi organisasi berdasarkan kaidah-kaidah manajemen yang baik (good
corporate governance) dalam rangka pemberian layanan yang bermutu dan
berkesinambungan. Good coorporate governance sendiri adalah konsep untuk meningkatkan
transparansi dan akuntabilitas dengan tujuan untuk menjamin agar tujuan RS tercapai dengan
penggunaan sumberdaya se-efisien mungkin RS dapat diizinkan mengelola keuangan dengan
PPK-BLU apabila memenuhi berbagai persyaratan, yaitu:
1. Substantif yang dapat dipenuhi bila instansi pemerintah yang bersangkutan
menyelenggarakan Iayanan umum yang berhubungan dengan:

Penyediaan barang dan/atau jasa layanan umum

Pengelolaan wilayah/kawasan tertentu

Pengelolaan dana khusus

2. Teknis yang dapat dipenuhi apabila kinerja pelayanan sesuai bidang tugas pokok dan
fungsinya layak dikelola dan ditingkatkan pencapaiannya melalui BLU serta kinerja
keuangan satuan kerja instansi yang bersangkutan: sehat
3. Administratif yang dapat dipenuhi apabila dapat menyajikan dokumen:

Pernyataan kesanggupan untuk meningkatkan kinerja pelayanan, keuangan, dan


manfaat bagi masyarakat;

Pola tata kelola

Rencana strategis bisnis

Laporan keuangan pokok

Standar pelayanan minimum

Laporan audit terakhir atau penyataan bersedia untuk diaudit secara independen

Atas dasar itu maka penyusunan Standar Pelayanan Minimum (SPM) menjadi bagian dari
proses kegiatan merubah bentuk RS menjadi bentuk BLU. SPM sediri didefinisikan dalam PP
nomor 23 tahun 2004 sebagai spesifikasi teknis tentang tolok ukur layanan minimum yang

diberikan oleh BLU kepada masyarakat. Dari definisi ini terlihat bahwa SPM harus memiliki
indikator kinerja pelayanan dan standar (target) pencapaiannya.
-

Memenuhi standar rumah sakit BLU bermutu

Pelanggan baik eksternal maupun internal mempunyai keinginan-keinginan ataupun harapan


terhadap jasa yang disediakan oleh rumah sakit. Mereka mempunyai persyaratan-persyaratan
yang diharapkan dapat dipenuhi oleh rumah sakit. Namun demikian pelanggan eksternal
sebagai pengguna jasa pelayanan mengharapkan apa yang diinginkan dapat dipuaskan
(customer satisfaction), sedangkan tenaga profesi mengajukan persyaratan agar pelayanan
yang disediakan memenuhi standar profesi, sedangkan pihak manajemen menghendaki
pelayanan yang efektif dan efisien. Jadi mutu dapat dipandang dari berbagai sudut pandang.
Dari pendapat beberapa pakar mutu yang memperhatikan berbagai sudut pandang tersebut,
dapat dirangkum ada 16 dimensi mutu:
1. Efficacy: pelayanan yang diberikan menunjukan manfaat dan hasil yang diinginkan
2. Appropriateness: pelayanan yang diberikan relevan dengan kebutuhan klinis pasien
dan didasarkan pada perkembangan ilmu pengetahuan
3. Availability: pelayanan yang dibutuhkan tersedia
4. Accessibility: pelayanan yang diberikan dapat diakses oleh yang membutuhkan
5. Effectiveness: pelayanan diberikan dengan cara yang benar, berdasar ilmu
pengetahuan, dan dapat mencapai hasil yang diinginkan
6. Amenities: kenyamanan fasilitas pelayanan
7. Technical competence: tenaga yang memberikan pelayanan mempunyai kompetensi
tehnis yang dipersyaratkan
8. Affordability: pelayanan yang diberikan dapat dijangkau secara finansial oleh yang
membutuhkan
9. Acceptability: pelayanan yang diberikan dapat diterima oleh masyaraka pengguna
10. Safety: pelayanan yang diberikan aman
11. Efficiency: pelayanan yang diberikan dilakukan dengan efisien
12. Interpersonal relationship: pelayanan yang diberikan memperhatikan hubungan antar
manusia baik antara pemberi pelayanan dengan pelanggan maupun antar petugas pemberi
pelayanan.
13. Continuity of care: pelayanan yang diberikan berkelanjutan, terkoordinir dari waktu ke
waktu
14. Respect and caring: pelayanan yang diberikan dilakukan dengan hormat, sopan dan
penuh perhatian

15. Legitimacy/Accountability: pelayanan yang diberikan dapat dipertanggung-jawabkan


(secara medik maupun hukum)
16. Timelines: pelayanan diberikan tepat waktu.
Untuk dapat menyediakan pelayanan yang bermutu maka RS harus menetapka berbagai
standar yang terdiri dari standar seluruh aktifitas yang berhubungan/berpengaruh terhadap
kualitas hasil dan operasional organisasi dalam mencapai tujuan.
-

Terpenuhinya Indikator Mutu Pelayanan Rumah Sakit

Berbagai butir-butir peraturan atau ketentuan tentang mutu pelayanan yang terkait dengan
mutu pelayanan di rumah-sakit antara lain:
1. PP 23 tahun 2005 tentang pengelolaan keuangan BLU
Dalam PP 23 tahun 2005 terdapat aturan mengenai SPM yaitu bahwa SPM
mempertimbangkan (dimensi): Kualitas tehnis, proses, tatacara, dan waktu; Pemerataan dan
kesetaraan; Biaya; Kemudahan. Dimana dalam penyusunannya harus Standar layanan BLU
semestinya memenuhi persyaratan SMART: Specific (fokus pada jenis layanan); Measurable
(dapat diukur); Achievable (dapat dicapai); Reliable (relevan dan dapat diandalkan); dann
Timely (tepat waktu)
1. KepMenKes 228 tahun 2002 tentang pedoman penyusunan SPM RS
Dalam Kepmenkes 228 tahun 2002, maka SPM RS harus memuat standar penyelenggaraan
yang terkait dengan: Pelayanan medik; Pelayanan penunjang; Pelayanan keperawatan;
Pelayanan bagi Gakin; dan Manajemen rumah sakit (yang terdiri dari manajemen
sumberdaya manusia; manajemen keuangan; manajemen sistem informasi rumah sakit;
manajemen sarana prasarana; dan manajemen mutu Pelayanan)
1. Buku indikator kinerja RS (Depkes tahun 2004)
Dalam buku indikator kinerja RS dijelaskan bawa indikator kinerja harus diukur dari empat
perspektif, yaitu: Pengembangan SDM, Proses, Kepuasan pelanggan, dan Keuangan.
1. Buku petunjuk pelaksanaan indikator pelayanan RS (Depkes tahun 1998)
Sedangkan dalam buku petunjuk pelaksanaan indikator pelayanan RS terdapat 4 jenis
indikator yaitu: Indikator pelayanan non-bedah; Indikator pelayanan bedah; Indikator
pelayanan ibu bersalin dan bayi; dan Indikator tambahan (dibagi rujukan dan nonrujukan)

C. Rumah Sakit Sebagai BLU


1.
1. Tinjauan Aspek Pelaporan Keuangan

Organisasi BLU cenderung sebagai organisasi nirlaba kepemerintahan Sesuai dengan PP


No:23 tahun 2005 pasal 26 menyebutkan bahwa akuntansi dan laporan keuangan
diselenggarakan sesuai dengan Standar Akuntansi keuangan (SAK) yang diterbitkan oleh
asosiasi profesi akuntansi Indonesia. Ketentuan ini mengakibatkan ketidakkonsistensian yaitu
bahwa organisasi BLU yang cenderung sebagai organisasi
kepemerintahan tetapi pelaporan akuntansi menggunakan PSAK (standar akuntansi
keuangan ) dari IAI, bukan menggunakan PSAP (Standar akuntansi pemerintahan).
Dalam PP disebutkan badan layanan umum sebagai institusi yang nirlaba menggunakan
SAK. Nilai lebih dari rumah sakit pemerintah menjadi badan layanan uumun ditinjau dari isi
pelaporan keuangan adalah rumah sakit harus mengikuti ketentuan untuk pelaporan keuangan
organisasi nirlaba dan menyanggupi untuk laporan keuangan tersebut diaudit oleh auditor
independence. Dengan kesanggupan tersebut tentu saja diharapkan rumah sakit dapat
mencapai tata kelola yang baik dan pelaporan yang transparans. Laporan keungan rumah
sakit sebagai BLU yang disusun harus menyediakan informasi untuk:
a)

Mengukur jasa atau manfaat entitas nirlaba,

b) Pertanggungjawaban manajemen entitas rumah sakit, (disajikan dalam bentuk laporan


aktivtias dan laporan arus kas)
c) Mengetahui kontinuitas pemberian jasa, (disajikan dalam bentuk laporan posisi
keuangan)
d) Mengetahui perubahan aktiva bersih, (disajikan dalam bentuk laporan aktivitas)
1. Tinjauan Aspek Teknis Keuangan
Adanya sistem desentralisasi membuat rumah sakit harus melakukan banyak penyesuaian
khusunya dalam hal pengelolaan teknis keuangan maupun penganggaraannya, termasuk
penentuan biaya. Rumah sakit pemerintah dituntut untuk menjadi rumah sakit yang murah
dan bermutu. Dalam pengelolaannya rumah sakit pemerintah memiliki peraturan pendukung
yang terkait dnegan pengelolaan keuangan yang fleksibel. Berdasar PP no: 23 tahun 2005
tersebut rumah sakit pemerintah telah mengalami perubahan sebagai badan layanan umum.
Perubahan kelembagaan ini berimbas pada pertanggungjawaban keuangan bukan lagi kepada
departemen kesehatan tetapi kepada departemen keuangan. Sebagaimana telah diuraikan di
atas dari aspek pelaporan keuangan yang harus mengikuti standar akuntansi keuangan, maka
dalam pengelolaan teknis keuangan pun harus diselenggarakan dengan mengacu pada
prinsip-prinsip akuntanbilitas, transparansi dan efisiensi. Anggaran yang disusun rumah sakit
pemeritah juga harus disusun dengan berbasis kinerja (sesuai dengan Kepmendagri no 29
tahun 2002).
Berdasar prinsip-prinsip tersebut, aspek teknis keuangan perlu didukung adanya hubungan
yang baik dan berkelanjutan antara rumah sakit,dengan pemerintah dan dengan para
stakeholder, khususnya dalam penentuan biaya pelayanan kesehatan yang mencakup unit
cost, efisiensi dan kualitas pelayanan. Yang perlu dipertimbangankan lagi adalah adalah
adanya audit atau pemeriksaan bukan saja dari pihak independen terhadap pelaporan

keuangan tetapi juga perlu audit klinik. Dengan berubahnya kelembagaan sebagai BLU tentu
saja aspek teknis sangat berhubungan erat dengan basis kinerja.
Tahap Penyusunan Tarif
Sesuai dengan syarat-syarat BLU bahwa yang dimaksud dengan persyaratan substantif,
persyaratan teknis dan persyaratan admnistratif adalah berkaitan dengan
standar layanan, penentuan tarif layanan, pengelolaan keuangan,tata kelola semuanya
harus berbasis kinerja. Hal-hal yang harus dipersiapkan bagi rumah sakit untuk menjadi BLU
dalam aspek teknis keuangan adalah:

Penentuan tarif harus berdasar unit cost dan mutu layanan. Dengan demikian rumah
sakit pemerintah harus mampu melakukan penelusuran (cost tracing) terhadap
penentuan segala macam tarif yang ditetapkan dalam layanan. Selama ini aspek
penentuan tarif masih berbasis aggaran ataupu subsidi pemerintah sehingga masih
terdapat suatu cost culture yang tidak mendukung untuk peningkatan kinerja atau
mutu layanan. Penyusunan tarif rumah sakit seharusnya berbasis pada unit cost, pasar
(kesanggupan konsumen untuk membayar dan strategi yang dipilih. Tarif tersebut
diharapkan dapat menutup semua biaya, diluar subsidi yang diharapkan. Yang perlu
diperhatikan adalah usulan tarif jangan berbasis pada prosentase tertentu namun
berdasar pada kajian yang dapat dipertanggungjawabkan. Secara umum tahapan
penentuan tarif harus melalui mekanisme usulan dari setiap divisi dalam rumah sakit
dan aspek pasar dan dilanjutkan kepada pemilik. Pemilik rumah sakit pemerintah
adalah pemerintah daerah dan DPRD (lihat gambar di atas)

Penyusunan anggaran harus berbasis akuntansi biaya bukan hanya berbasis subsidi
dari pemerintah. Dengan demikian penyusunan anggaran harus didasari dari indikator
input, indikator proses dan indikator output.

Menyusun laporan keuangan sesuai dengan PSAK yang disusun oleh organsisasi
profesi akuntan dan siap diaudit oleh Kantor Akuntan Independen bukan diaudit dari
pemerintah.

Sistem remunerasi yang berbasis indikator dan bersifat evidance based.

Dalam penyusunan sistem remunerasi rumah sakit perlu memiliki dasar pemikiran bahwa
tingkatan pemberian remunerasi didasari pada tingkatan, yaitu tingkatan satu adalah basic
salary yang merupakan alat jaminan safety bagi karyawan. Basic salary tidak dipengaruhi
oleh pendapatan rumah sakit. Tingkatan dua adalah incentives yaitu sebagai alat pemberian
motivasi bagi karyawan. Pemberian incentives ini sangat dipengaruhi oleh pendapatan rumah
sakit. Tingkatan yang ketiga adalah bonus sebagai alat pemberian reward kepada
karyawan.Pemberian bonus ini sangat dipengaruhi oleh tingkat keuntungan rumah sakit.
Implementasi aspek teknis keuangan bagi rumah sakit ini akan menjadi nilai plus dalam
upayanya untuk peningkatan kualitas jasa layanan dan praktik tata kelola yang transparan.
D. Tata Kelola BLU

Secara umum ada lima prinsip dasar yang terkandung dalam good corporate governance atau
tata kelola yang baik menurut Daniri (2005). Kelima prinsip tersebut adalah transparansi,
akuntabilitas, responsibilitas, independensi dan kesetaraan/kewajaran. Namun dalam
Permendagri No. 61 tahun 2007, prinsip yang dituntut untuk dilaksanakan hanya empat
prinsip yang pertama.
Secara lebih rinci prinsip-prinsip dasar dalam tata kelola yang baik adalah sebagai berikut:
1. Transparansi (Transparancy); yaitu keterbukaan informasi baik dalam proses pengambilan
keputusan maupun dalam mengungkapkan informasi material dan relevan mengenai
perusahaan. Efek terpenting dari dilaksanakannya prinsip transparansi ini adalah terhindarnya
benturan kepentingan (conflict of interest) berbagai pihak dalam manajemen.
2. Akuntabilitas (Accountability); yaitu kejelasan fungsi, struktur, sistem dan
pertanggungjawaban organ lembaga sehingga pengelolaan lembaga dapat terlaksana dengan
baik. Dengan terlaksananya prinsip ini, lembaga akan terhindar dari konflik atau benturan
kepentingan peran.
3. Responsibilitas (Responsibility); yaitu kesesuaian atau kepatuhan di dalam pengelolaan
lembaga terhadap prinsip korporasi yang sehat serta peraturan perundangan yang berlaku,
termasuk yang berkaitan dengan masalah pajak, hubungan industrial, perlindungan
lingkungan hidup, kesehatan/keselamatan kerja, standar penggajian dan persaingan yang
sehat.
4. Independensi (Independency); yaitu suatu keadaan dimana lembaga dikelola secara
profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manapun yang tidak
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi
yang sehat.
5. Kesetaraan dan kewajaran (Fairness); yang secara sederhana dapat didefinisikan sebagai
perlakuan yang adil dan setara didalam memenuhi hak-hak stakeholder yang timbul
berdasarkan perjanjian serta peraturan perundangan yang berlaku.
Aplikasi Konsep Tata Kelola yang Baik
Selain bersaing untuk mendapatkan pengguna, lembaga pelayanan publik juga bersaing
dengan sektor lain untuk memperoleh sumber daya dari pemerintah. Sehingga pelaksanaan
pola tata kelola yang baik menjadi sangat vital bagi lembaga.
Aplikasi Pola Tata Kelola ini terutama ditujukan untuk:
i. Meningkatkan kemampuan bersaing mendapatkan sumber daya dari pemerintah maupun
non pemerintah
ii. Mengurangi risiko perubahan yang terjadi tiba-tiba dan mendorong penanaman modal
jangka panjang
iii. Memperkuat sektor finansial
iv. Memajukan manajemen yang bertanggung jawab dan kerja finansial yang solid

Pola Tata Kelola Rumah Sakit


Tata Kelola RSD dengan PPK BLUD disusun sesuai dengan falsafah BLUD yang tertuang di
Permendagri nomor 61 tahun 2007, sebagai berikut:
1) Pelaksanaan reformasi di bidang keuangan dan perkecualian dari aturan Negara
sebelumnya
2) Diberikan previlledge dan tuntutan khusus
3) Penganggaran berbasis kinerja
4) Orientasi pada output
5) Mewiraswastakan pemerintah (enterprising the government )
6) Menerapkan pola pengelolaan yang fleksibel
7) Menonjolkan produktifitas, effektif dan effisien
Instansi yang dikelola secara business like
9) Tenaga yang professional dan competent
10) Kontrak Kinerja ( a contractual performance agreement )
Pola Tata Kelola, yang merupakan peraturan dasar internal RSD dengan PPK BLUD, yang
menggambarkan Akuntabilitas, Transparansi, Indepedensi, dan Resposibilitas. Tata Kelola
Rumah Sakit Daerah dengan PPK BLUD adalah Tata kelola Rumah Sakit (Hospital
Bylaws) yang disesuaikan dengan tujuan pengelolaan BLUD yaitu meningkatkan pelayanan
dengan praktek bisnis yang sehat, yaitu pengelolaan manajemen yang baik, bermutu dan
berkesinambungan. Terminologi hospital bylaws perlu dibedakan dengan terminologi rule
and regulation dalam banyak hal; antara lain dalam hal materi (substansi) serta badan
(otoritas) yang punya kewenangan mengesahkannya.
E. Alasan Rumah Sakit Pemerintah dijadikan BLU
Diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan
Badan Layanan Umum (BLU) adalah sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 69 ayat
(7) UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. PP tersebut bertujuan untuk
meningkatkan pelayanan publik oleh Pemerintah, karena sebelumnya tidak ada pengaturan
yang spesifik mengenai unit pemerintahan yang melakukan pelayanan kepada masyarakat
yang pada saat itu bentuk dan modelnya beraneka macam. Jenis BLU disini antara lain rumah
sakit, lembaga pendidikan, pelayanan lisensi, penyiaran, dan lain-lain. Rumah sakit sebagai
salah satu jenis BLU merupakan ujung tombak dalam pembangunan kesehatan masyarakat.
Namun, tak sedikit keluhan selama ini diarahkan pada kualitas pelayanan rumah sakit yang
dinilai masih rendah. Ini terutama rumah sakit daerah atau rumah sakit milik pemerintah.
Penyebabnya sangat klasik, yaitu masalah keterbatasan dana yang dimiliki oleh rumah sakit
umum daerah dan rumah sakit milik pemerintah, sehingga tidak bisa mengembangkan mutu
layanannya, baik karena peralatan medis yang terbatas maupun kemampuan sumber daya

manusia (SDM) yang rendah. Perkembangan pengelolaan rumah sakit, baik dari aspek
manajemen maupun operasional sangat dipengaruhi oleh berbagai tuntutan dari lingkungan,
yaitu antara lain bahwa rumah sakit dituntut untuk memberikan pelayanan kesehatan yang
bermutu, dan biaya pelayanan kesehatan terkendali sehingga akan berujung pada kepuasan
pasien. Tuntutan lainnya adalah pengendalian biaya. Pengendalian biaya merupakan masalah
yang kompleks karena dipengaruhi oleh berbagai pihak yaitu mekanisme pasar, tindakan
ekonomis, sumber daya manusia yang dimiliki (profesionalitas) dan yang tidak kalah penting
adalah perkembangan teknologi dari rumah sakit itu sendiri. Rumah sakit pemerintah yang
terdapat di tingkat pusat dan daerah tidak lepas dari pengaruh perkembangan tuntutan
tersebut. Dipandang dari segmentasi kelompok masyarakat, secara umum rumah sakit
pemerintah merupakan layanan jasa yang menyediakan untuk kalangan menengah ke bawah,
sedangkan rumah sakit swasta melayani masyarakat kelas menengah ke atas. Biaya kesehatan
cenderung terus meningkat,dan rumah sakit dituntut untuk secara mandiri mengatasi masalah
tersebut. Peningkatan biaya kesehatan menyebabkan fenomena tersendiri bagi rumah sakit
pemerintahan karena rumah sakit pemerintah memiliki segmen layanan kesehatan untuk
kalangan menengah ke bawah. Akibatnya rumah sakit pemerintah diharapkan menjadi rumah
sakit yang murah dan bermutu.
Standar Pelayanan dan Tarif Layanan Rumah Sakit Pemerintah Daerah yang telah menjadi
BLU/BLUD menggunakan standar pelayanan minimum yang ditetapkan oleh
menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya, harus
mempertimbangkan kualitas layanan, pemerataan dan kesetaraan layanan, biaya serta
kemudahan untuk mendapatkan layanan. Dalam hal rumah sakit pemerintah di daerah
(RSUD) maka standar pelayanan minimal ditetapkan oleh kepala daerah dengan peraturan
kepala daerah. Standar pelayanan minimal tersebut harus memenuhi persyaratan, yaitu :
1. Fokus pada jenis pelayanan, dalam arti mengutamakan kegiatan pelayanan yang
menunjang terwujudnya tugas dan fungsi BLU/BLUD;
2. Terukur, merupakan kegiatan yang pencapaiannya dapat dinilai sesuai dengan standar yang
telah ditetapkan;
3. Dapat dicapai, merupakan kegiatan nyata yang dapat dihitung tingkat pencapaiannya,
rasional sesuai kemampuan dan tingkat pemanfaatannya;
4. Relevan dan dapat diandalkan, merupakan kegiatan yang sejalan, berkaitan dan dapat
dipercaya untuk menunjang tugas dan fungsi BLU/BLUD;
5. Tepat waktu, merupakan kesesuaian jadwal dan kegiatan pelayanan yang telah ditetapkan.
Rumah Sakit Pemerintah Daerah yang telah menjadi BLU/BLUD dapat memungut biaya
kepada masyarakat sebagai imbalan atas barang atau jasa layanan yang diberikan. Imbalan
atas barang atau jasa layanan yang diberikan tersebut ditetapkan dalam bentuk tarif yang
disusun atas dasar perhitungan biaya per unit layanan atau hasil per investasi dana. Tarif
layanan diusulkan oleh rumah sakit kepada menteri keuangan/menteri kesehatan/kepala
SKPD sesuai dengan kewenangannya, dan kemudian ditetapkan oleh menteri
keuangan/kepala daerah dengan peraturan menteri keuangan/peraturan kepala daerah. Tarif
layanan yang diusulkan dan ditetapkan tersebut harus mempertimbangkan hal-hal sebagai
berikut:

1. kontinuitas dan pengembangan layanan;


2. daya beli masyarakat;
3. asas keadilan dan kepatutan; dan
4. kompetisi yang sehat.
Pengelolaan Keuangan Adanya desentralisasi dan otonomi daerah dengan berlakunya UU
tentang Pemerintahan Daerah (UU No. 32 Tahun 2004, terakhir diubah dengan UU No. 12
Tahun 2008), UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, serta
Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Umum Penyusunan APBD, kemudian PP
No. 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, PP No. 24 Tahun
2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan, dan Permendagri No. 61 Tahun 2007 tentang
Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah, membuat rumah
sakit pemerintah daerah harus melakukan banyak penyesuaian khususnya dalam pengelolaan
keuangan maupun penganggarannya, termasuk penentuan biaya. Dengan terbitnya PP No. 23
Tahun 2005, rumah sakit pemerintah daerah mengalami perubahan menjadi BLU. Perubahan
ini berimbas pada pertanggungjawaban keuangan tidak lagi kepada Departemen Kesehatan
tetapi kepada Departemen Keuangan, sehingga harus mengikuti standar akuntansi keuangan
yang pengelolaannya mengacu pada prinsip-prinsip akuntabilitas, transparansi dan efisiensi.
Anggaran yang akan disusun pun harus berbasis kinerja (sesuai dengan Kepmendagri No. 29
Tahun 2002). Penyusunan anggaran rumah sakit harus berbasis akuntansi biaya yang didasari
dari indikator input, indikator proses dan indikator output, sebagaimana diatur berdasarkan
PP No. 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, PMK No.
76/PMK.05/2008 tentang Pedoman Akuntansi Dan Pelaporan Keuangan Badan Layanan
Umum, dan khusus untuk RSUD, pengelolaan keuangannya harus mengacu dan berdasarkan
Permendagri Permendagri No. 61 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan Umum Daerah.
F. Apakah BLU sama dengan privatisasi (jelaskan)
Badan layanan umu tidak sama dengan privatisasi. Berdasarkan Pasal 1 angka 23 UU No. 1
Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Badan Layanan Umum (BLU) adalah instansi di
lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat
berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari
keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan
produktivitas. Tujuan dibentuknya BLU adalah untuk meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan
bangsa dengan memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip
ekonomi dan produktivitas, dan penerapan praktik bisnis yang sehat. Berdasarkan PP No.23
tahun 2005 pasal 3 disebutkan beberapa asas BLU diantaranya BLU tidak mencari laba.
Selain itu, sekalipun BLU dikelola secara otonom dengan prinsip efisiensi dan produktivitas
ala korporasi, namun pengelolaan keuangan BLU mempunyai karakteristik yang berbeda jika
dibanding dengan BUMN/BUMD, diantaranya BLU dibentuk untuk meningkatkan pelayanan
kepada masyarakat. BLU juga disertai dengan beberapa persyaratan, yang meliputi
persyaratan substantif, teknis, dan administratif.
Sedangkan privatisasi rumah sakit merupakan perubahan RSUP menjadi bentuk perjan atau
instansi pemerintah yang diswastakan. RSUP yang selama ini tidak pernah memerhatikan

masalah cost dan revenue sekarang diwajibkan melaporkan situasi keuangan secara rutin.
Perubahan status RSUP menjadi status perjan seperti perubahan fungsi RS dari fungsi sosial
menjadi industry jasa berkurangnya kemampuan pemerintah untuk mensubsidi pelayanan
kesehatan, pengelolaan RS swadana yang tidak lagi berjalan akibat adanya UU PNBP, dan
berkembangnya paradigma sehat. Selain itu, privatisasi rumah sakit berdasarkan telaah dan
kajian dari aspek hukum, sosial kemasyarakatan, hingga aspek moral yang telah dilakukan
oleh departemen kesehatan pada prinsipnya privatisasi rumah sakit hanya akan
mengedepankan aspek bisnis daripada fungsi sosial dan privatisasi rumah sakit hanya akan
semakin menjauhkan masyarakat dari pelayanan kesehatan. Secara logika, rumah sakit yang
telah diprivatisasi maka keuntungan akan menjadi tujuan utama agar rumah sakit dapat tetap
beroperasi. Akibatnya rumah sakit akan mengekar target untuk menutup investasi dengan
mengambil keuntungan dari pasien. Hal tersebut akhirnya akan mendorong dokter untuk
cenderung melakukan tindakan yang tidak rasional dan mengesampingkan etika. Akibat
privatisasi rumah sakit ini akan sangat terasa bagi pasien yang tidak tercover oleh asuransi
kesehatan nasional. Maka Sesuai usulan Depkes kepada Presiden pada surat No
173/MENKES/II/2005 pada 3 Februari 2005 mengusulkan agar 13 RS Perjan (RSCM
Jakarta, Fatmawati, Persahabatan, Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita, Anak dan
Bersalin Harapan Kita, Kanker Dharmais, Hasan Sadikin Bandung, Kariadi Semarang,
Sardjito Yogyakarta, Sanglah Denpasar, Wahidin Sudirohusodo Makassar, M. Djamil Padang,
dan M. Hoesin Palembang) dapat berubah ke sistem pengelolaan keuangan sebagai BLU.
G. Dampak BLU bagi manajemen Rumah Sakit
Kualitas pelayanan Rumah sakit tergantung pada manajemen pengelolaan Rumah sakit
tersebut, yang terdiri dari manajemen strategik dan operasional RS, manajemen keuangan,
manajemen barang dan sarana RS, dan manajemen SDM. Pada Rumah sakit pemerintah
ternyata manajemen pengelolaan ini sangat tergantung pada bentuk kelembagaan Rumah
sakit pemerintah sehingga peraturan/perundangan yang memengaruhi bentuk kelembagaan
Rumah sakit pemerintah akan sangat berpengaruh pada manajemen pengelolaan Rumah sakit
dan akhirnya akan berpengaruh pada kualitas pelayanan Rumah sakit.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 RS Pemerintah adalah Unit Pelaksana
Teknis (UPT), di mana RSUP sebagai konsekuensi asas dekonsentrasi menjadi UPT dari
Depkes, sedangkan RSUD menjadi UPT dari Dinas Kesehatan kabupaten/kota atau Pemda
Dati II, sebagai konsekuensi asas desentralisasi. Campur tangan pemda terlibat pada seluruh
manajemen RS, bahkan pembiayaan RSUD 20 persen dari Pemerintah Dati II dan 80 persen
subsidi pemerintah pusat.
Kemudian terjadi reformasi pertama Rumah sakit pemerintah pada tahun 1992 ketika keluar
Keputusan Presiden No 38/1991 tentang Unit Swadana, artinya Rumah sakit pemerintah
mempunyai kewenangan untuk menggunakan penerimaan fungsionalnya secara langsung,
artinya revenue dapat dikelola secara mandiri oleh Rumah sakit pemerintah, walaupun
subsidi masih ada. Unit swadana memang bukan reformasi kelembagaan, tapi mulai nyata
adanya hubungan antara kemandirian pengelolaan revenue ini dan peningkatan kualitas.
Reformasi ini hanya berjalan lima tahun, dengan dikeluarkannya UU No 20/1997 tentang
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), maka RSUP yang sudah terbiasa mengelola
anggaran pendapatan fungsionalnya sebagai RS unit swadana harus mengembalikan dana
tersebut ke kas negara. RSUD tidak terkena UU ini.

Tetapi, dengan UU No 1/2004 tentang Perbendaraan Negara, membuat suatu terobosan


dengan pembentukan badan layanan umum (BLU). Jadi RSUD walau berbentuk Lembaga
Teknis Daerah , namun sistem keuangannya adalah BLU dan seperti juga unit swadana, maka
RS BLU adalah suatu perubahan otonomi sistem keuangan dan bukan perubahan
kelembagaan RS.
Pada rumah sakit berbentuk BLU, bentuknya lebih bersifat otonom dengan manajemen BLU,
maka sebuah RS mempunyai keleluasaan dan kelonggaran yang lebih untuk
mendayagunakan uang pendapatan. Namun, pendapatan tersebut harus dikelola sebaikbaiknya untuk meningkatkan mutu pelayanan bagi semua pasien. Juga untuk meningkatkan
kualitas SDM, mengendalikan tarif pelayanan, mengelola sarana, menjalin hubungan dengan
pihak ketiga, dan tidak menumpuk keuntungan saja, sehingga BLU masih tetap harus
melayani masyarakat miskin.
Sebelum adanya aturan tentang BLU, manajemen pengelolaan keuangan di sebuah rumah
sakit sangat ketat. Akibatnya, rumah sakit tidak bisa mengembangkan diri dalam hal
keuangan. Yang lebih parah, mutu layanan kepada pasien atau konsumen juga semakin
menurun.
Adapun tujuan dari reformasi bentuk badan hukum dari organisasi dan manajemen rumah
sakit pemerintah ini diantaranya adalah :
1. Dengan adanya perubahan bentuk badan hukum rumah sakit dari berbantuk PNBP
(penerimaan negara bukan pajak) menjadi Badan Layanan Umum, diharapkan terjadi
peningkatan mutu pelayanan kesehatan di Rumah sakit pemerintah
2. Dengan adanya perubahan ini para karyawan mendapatkan gaji sesuai dengan kinerja
mereka masing-masing sehingga pada akhirnya tercipta iklim kerja yang sehat di
lingkungan rumah sakit.
3. Dengan adanya perubahan ini diharapkan adanya keleluasaan bagi manajemen rumah
sakit untuk mengelola keuangannya demi peningkatan dan pengembangan sumber
daya, fasilitas dan peralatan rumah sakit
4. Dengan perubahan ini juga diharapkan tidak melupakan fungsi sosial sebuah rumah
sakit yaitu dengan tetap memberi pelayanan bagi rakyat miskin.
Kualitas pelayanan Rumah sakit tergantung pada manajemen pengelolaan Rumah sakit
tersebut. Dengan BLU, manajemen RS diperbolehkan meminjam uang kepada pihak ketiga
untuk meningkatkan dan mengembangkan pelayanan rumah sakit, bahkan juga untuk
menutup biaya operasional jika kondisi keuangan sebuah rumah sakit benar-benar
mengkhawatirkan, namun persoalannya ketika sudah menggandeng banyak pihak, beban
untuk peningkatan pelayanan lambat laun akan ditimpakan kepada pasien. Dengan adanya
aturan soal BLU ini, maka manajemen rumah sakit memiliki keleluasaan dalam mengelola
keuangannya dan mutu rumah sakit yang semakin bagus dengan adanya sistem BLU ini
karena manajemen rumah sakit mampu mengelola keungannya sendiri dan bisa
meningkatkan kemampuan SDM nya untuk mewujudkan mutu rumah sakit yang berkualitas.
H. Sikap Rumah Sakit BLU terhadap Masyarakat Miskin

Rumah sakit adalah ujung tombak pembangunan kesehatan masyarakat. Namun, tak sedikit
keluhan selama ini diarahkan pada kualitas pelayanan rumah sakit yang dinilai masih rendah.
Ini terutama rumah sakit daerah atau rumah sakit milik pemerintah.
Penyebabnya klasik, yaitu masalah keterbatasan dana. Sehingga rumah sakit (RSUD dan
rumah sakit milik pemerintah) tidak bisa mengembangkan mutu layanannya, baik karena
peralatan medis yang terbatas maupun kemampuan sumber daya manusia (SDM) yang
rendah.
Menyadari hal tersebut, pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (BLU). Dengan
PP ini, maka status rumah sakit kini berubah menjadi BLU.
Rumah Sakit Pemerintah Daerah yang telah menjadi BLU/BLUD dapat memungut biaya
kepada masyarakat sebagai imbalan atas barang/jasa layanan yang diberikan. Imbalan atas
barang/jasa layanan yang diberikan tersebut ditetapkan dalam bentuk tarif yang disusun atas
dasar perhitungan biaya per unit layanan atau hasil per investasi dana. Tarif layanan
diusulkan oleh rumah sakit kepada menteri keuangan/menteri kesehatan/kepala SKPD sesuai
dengan kewenangannya, dan kemudian ditetapkan oleh menteri keuangan/kepala daerah
dengan peraturan menteri keuangan/peraturan kepala daerah. Tarif layanan yang diusulkan
dan ditetapkan tersebut harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
1. kontinuitas dan pengembangan layanan;
2. daya beli masyarakat;
3. asas keadilan dan kepatutan; dan
4. kompetisi yang sehat.
Selama ini muncul kekhawatiran di masyarakat terhadap rumah sakit (RS) dengan status
sebagai Badan Layanan Umum (BLU). Dikhawatirkan, biaya kesehatan di RS semakin tak
terjangkau oleh masyarakat miskin. Akibatnya, masyarakat miskin makin jauh dari pelayanan
kesehatan yang sangat dibutuhkannya.
Saat ini keuntungan rumah sakit bukan merupakan parameter penting untuk menilai
keberhasilan seorang direktur utama rumah sakit. Pasalnya, di masa lalu banyak rumah sakit
yang untung, tetapi semakin banyak orang Indonesia yang berobat ke luar negeri. Hal ini bisa
ditekan bila para dokter bekerja lebih baik, sehingga kepercayaan kepada dokter meningkat
dan tidak akan berobat ke luar negeri.
Pengurangan jumlah orang Indonesia yang berobat ke luar negeri merupakan salah satu
ukuran kesuksesan seorang direktur utama RS BLU. Selain itu, saat ini tidak ada alasan lagi
dari pihak rumah sakit menolak pasien miskin. Karena, saat ini ada program pengobatan
gratis untuk rakyat miskin di kelas tiga dengan mekanisme asuransi kesehatan (Askeskin).
Manajemen keuangan rumah sakit yang sekarang dikelola dengan sistem BLU (Badan
Layanan Umum) berarti rumah sakit mempunyai kelonggaran yang lebih untuk
mendayagunakan uang pendapatan rumah sakit, bahkan masih mendapat subsidi pula.
Kelonggaran mengelola pendapatan rumah sakit hendaknya jangan dimanfaatkan untuk

menumpuk keuntungan saja, tapi untuk meningkatkan mutu pelayanan untuk semua pasien,
meningkatkan mutu sumber daya manusianya serta mengendalikan tarif pelayanan.
Sekarang ini, parameter keberhasilan telah berubah, bukan lagi semata-mata keuntungan
material, tapi keberhasilan melayani masyarakat menjadi unsur yang jauh lebih penting,
dalam hal ini harus mampu memberikan pelayanan kepada masyarakat yang feasibel dengan
menonjolkan produktivitas, efisiensi dan efektivitas.
Indikator perbaikan pelayanan RS adalah indikator yang mengukur tentang kegiatan
pelayanan di salah satu rumah sakit seperti pelayanan rawat jalan, rawat inap, dan pelayanan
penunjang, dengan demikian akan memberikan kualitas dan kecepatan pelayanan meningkat.
Sedangkan mutu pelayanan dan manfaat rumah sakit bagi masyarakat adalah dengan
mengukur sejauh mana rumah sakit BLU memberikan fasilitas kepada Masyarakat Miskin
(Maskin), antara lain proporsi penyediaan fasilitas tempat tidur kelas III diatas 50 persen
yang mencerminkan fungsi sosial rumah sakit.
Istilah fungsi sosial, subsidi, dan merugisesungguhnya tidak tepat digunakan untuk
sebuah RS Publik. Penggunaan istilah tersebut dalam berbagai diskusi menunjukkan bahwa
kita tidak memahami atau pemahaman kita telah terdistorsi tanpa memperhatikan tugas
pokok dan fungsi pemerintah. Kita telah mencampur adukan diskusi tentang RS Publik
dengan RS swasta. Istilah fungsi sosial, yang umunya diartikan memberikan pelayanan bagi
masyarakat yang kurang mampu (yang di Amerika sering disebut uncompensated care),
melekat pada RS swasta khususnya yang bertujuan mencari keuntungan atau uang bagi
pemegang sahamnya (for profit private hospital). Melayani orang tidak mampu, bukan hanya
yang miskin, adalah kewajiban pemerintah yang diberikan antara lain melalui RS Publik,
puskesmas, dan upaya-upaya lain.
Sementara keuangan merupakan indikator yang proporsinya paling kecil yaitu 20 persen,
maksudnya adalah rumah sakit tidak semata-mata mencari uang tetapi paling penting RS
harus berkompetisi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Sejak ditetapkannya
rumah sakit menjadi BLU, pendapatannya dari tahun ke tahun selalu meningkat murni dari
peningkatan pelayanan terhadap masyarakat.
Hal ini juga didukung oleh para Direktur Utama Rumah Sakit untuk ikut mensukseskan
program pengobatan gratis untuk rakyat miskin di kelas III RS dengan mekanisme asuransi
kesehatan yang dikelola oleh PT. Askes Indonesia.
Kemudian ditegaskan kembali dalam PP No. 23 Tahun 2005 sebagai peraturan pelaksanaan
dari asal 69 ayat (7) UU No. 1 Tahun 2004, Pasal 2 yang menyebutkan bahwa BLU bertujuan
untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan
umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan memberikan fleksibilitas dalam
pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip ekonomi dan produktivitas, dan penerapan praktek
bisnis yang sehat.
Kebanyakan masyarakat jadi miskin jika sakit (the law of medical money). Solusi terhadap
permasalahan tersebut adalah daerah harus mengikutinya dengan memberikan penjaminan
kesehatan, baik premi yang sepenuhnya berasal dari APBD maupun iur premi dengan peserta.
Jika ini dilakukan maka berapapun tarif yang diterapkan oleh RSU BLU tidak menjadi
masalah, karena masyarakat telah memperoleh jaminan pemeliharaan kesehatan.

KESIMPULAN
Rumah sakit BLU yaitu instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan
pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa
mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada
prinsip efisiensi dan produktivitas. Rumah sakit BLU dapat dikatakan bermutu jika SPM RS
BLU, standar RS BLU bermutu, dan indicator RS bermutu dapat terpenuhi. BLU yang
diterapkan di rumah sakit secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi sistem
manajemen rumah sakit yang bersangkutan. RS BLU yang diharapkan semakin dapat
memberikan pelayanan berkualitas bagi masyarakat menengah ke bawah dan bersifat nirlaba
sangat berbeda dengan sistem privatisasi rumah sakit yang justru cenderung mendorong RS
untuk mendapatkan untung agar dapat terus beroperasi, sehingga semakin menjauhkan
masyarakat dari pelayanan kesehatan yang seharusnya untuk mereka.

Cianjur, Pelita
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Cianjur, Jabar, setelah menjadi RS Badan
Layanan Umum Daerah (BLUD) pada awal 2008, pendapatannya terjadi kenaikan, misalnya
pendapatan 2007 sekitar Rp22 miliar, dan 2008 mencapai Rp30 miliar.
Direktur RSUD Kabupaten Cianjur, dr H Suranto MM, mengatakan, keberhasilan dalam
upaya meningkatkan pendapatan ini, salah satunya karena RSUD Cianjur telah berubah
menjadi BLUD. Sehingga bisa mengatur dan mengelola anggaran sendiri.
Dengan menjadi BLUD, pihak RS lebih fleksibilitas dalam mengelola RS selama masih bisa
dipertanggungjawabkan, dan seluruh kebijakan yang dikeluarkan dalam rangka pengelolaan
RS telah sesuai aturan yang telah ditetapkan dan diketahui baik oleh legislatif maupun
eksekutif.
Keberhasilan yang telah dicapai RSUD Cianjur, dalam mengelola RS BLUD, telah menarik
perhatian kabupaten lain yang ingin melakukan studi banding ke RSUD Cianjur. Sebelumnya
pihak RSUD Cianjur telah kedatangan tamu dari Kabupaten Bukit Tinggi dan Kabupaten
Purworejo untuk melakukan studi banding.
RSUD Cianjur, Kamis (4/12) kembali menerima kunjungan tamu dari Kabupaten Seragen
Jawa Tengah, yang dipimpin ketua rombongan yaitu Ketua Komisi D DPRD Kabupaten
Sragen, Suwanto,Wakil Ketua Komisi D, Drs Aris Surawan dan 10 orang dari intansi terkait.
Suwanto SH, mengatakan, kedatangan ke RSUD Cianjur, ingin melihat bagaimana peran dan
cara RSUD Cianjur dalam mengelola RSUD menjadi BLUD Keingin tahuan kami tentang
BLUD RSUD Cianjur, karena untuk menjad BLUD, tidak mudah, tuturnya. (ck-53/man)
Meski sudah menjadi Badan Layanan Umum (BLU), bukan berarti
rumah sakit tak lagi mendapat subsidi dari pemerintah. RS yang
sudah BLU bebas memakai uang pendapatan untuk memajukan
pelayanan di rumah sakit. RS BLU juga tak boleh membatasi
layanan terhadap masyarakat, khususnya pasien miskin.
"RS yang sudah menjadi BLU bukan tidak di subsidi oleh pemerintah

untuk memerhatikan pegawainya. BLU itu bukan berarti


melepaskan subsidi pemerintah daerah (Pemda) sampai RS itu
benar-benar mandiri," kata Ketua Persatuan Rumah Sakit Indonesia
(Persi), dr Sjarial R Anas.
BLU, lanjutnya, bebas memakai uang pendapatan untuk memajukan
pelayanan RS. "Kalau RS tidak BLU, RS masih tergantung kepada
proyek. Dana yang dipakai RS harus sesuai kepada aturan
pemerintah, imbuhnhya.
Dia menjelaskan, masyarakat dapat memperoleh pelayanan dengan
BLU. Misalnya, pengembangan ruangan klas III khususnya untuk
pasien miskin. Untuk pelayanan, RS dapat menentukan honor
dokter dengan pendapatan RS itu sendiri. "Kalau pendapatkan
semakin tinggi, honor dokter kan juga semakin tinggi, karena
selama ini sistemnya terikat dengan peraturan dari pemerintah,"
ungkapnya.
Pelayanan terhadap pasien miskin, lanjutnya, juga semakin baik.
Sebab, anggaran yang digunakan tidak lagi terikat oleh peraturan
yang dibuat pemerintah. "BLU itu tujuannya untuk meningkatkan
pelayanan dan bebas menggunakan anggaran tanpa ada yang
membatasi karena aturan dari pemerintah," bebernya.
Sementara itu, Wadir Pelayanan Medik RSUD dr Pirngadi Medan, dr
Amran Lubis, saat mempersentasikan kelayakan BLU rumah sakit di
ruang rapat I RSU dr Pirngadi Medan beberapa waktu lalu
mengatakan, RSU Pirngadi sudah dianggap layak menjadi BLU
sebab secara keuangan dan managerial Pirngadi sudah dinyatakan
siap. Hal ini berdasarkan Undang-Undang Rumah Sakit No 44 tahun
2009, dan Peraturan Pemerintah No23 tahun 2009, dimana pada
2011 setiap RS Pemerintah harus BLU.
Dan sejak 2007, pihaknya sudah memiliki studi kelayakan, yang
menggunakan jasa konsultan melalaui biaya APBD Kota Medan
untuk melakukan studi kelayakan seperti analisis keuangan, dan
kemampuan rumah sakit ini menjadi BLU.

Diskusi tentang BLU memang menarik, khususnya rumah sakit dan perguruan tinggi. Berikut
artikel tentang BLU dari Harian Republika dan blog.
Berharap Peningkatan Mutu RS Lewat Badan Layanan Umum
Rumah sakit adalah ujung tombak pembangunan kesehatan masyarakat. Namun, tak sedikit
keluhan selama ini diarahkan pada kualitas pelayanan rumah sakit yang dinilai masih rendah.
Ini terutama rumah sakit daerah atau rumah sakit milik pemerintah.
Penyebabnya klasik, yaitu masalah keterbatasan dana. Sehingga rumah sakit (RSUD dan
rumah sakit milik pemerintah) tidak bisa mengembangkan mutu layanannya, baik karena

peralatan medis yang terbatas maupun kemampuan sumber daya manusia (SDM) yang
rendah.
Menyadari hal tersebut, pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (BLU). Dengan
PP ini, maka status rumah sakit kini berubah menjadi BLU.
Sebagai tahap awal, pemerintah menetapkan 13 RS yang statusnya perusahaan jawatan
(Perjan) menjadi BLU. Yaitu enam RS di Jakarta (RSCM, RS Fatmawati, RS Persahabatan,
RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita, RSAB Harapan Kita, RS Kanker Dharmais),
dan masing-masing satu RS di Bandung (RS Dr Hasan Sadikin), di Semarang (RS Dr
Kariadi), di Yogyakarta (RS Dr Sardjito), di Denpasar (RS Sanglah), di Makassar (RS Dr
Wahidin Sudirohusodo), di Padang (RS Dr M Djamil), dan RS Dr Mohammad Hoesin di
Palembang.
Pelantikan direktur utama BLU rumah sakit tersebut dilakukan oleh Menteri Kesehatan, Siti
Fadilah Supari, di Jakarta, pekan lalu. Menurut Menkes, sebelum ditetapkan menjadi BLU,
RS yang berstatus Perjan telah diberi kesempatan untuk melewati masa transisi selama enam
bulan. Dalam masa tersebut, ada rumah sakit yang tenang-tenang saja. Namun, ada juga yang
bergejolak, baik positif maupun negatif.
Keleluasaan
Dengan manajemen BLU, kata Menkes, maka sebuah RS mempunyai keleluasaan dan
kelonggaran yang lebih untuk mendayagunakan uang pendapatan. Namun, pendapatan
tersebut harus dikelola sebaik-baiknya untuk meningkatkan mutu pelayanan bagi semua
pasien. Juga untuk meningkatkan kualitas SDM, mengendalikan tarif pelayanan, mengelola
sarana, dan bukannya untuk menumpuk keuntungan, katanya.
Menkes melanjutkan, dengan manajemen yang baik, keuntungan yang cukup longgar,
kesejahteraan SDM semakin meningkat, serta adanya UU Praktik Kedokteran dan UU
Perumahsakitan, maka para dokter akan bekerja lebih baik. Sehingga diharapkan
kepercayaan masyarakat terhadap dokter akan semakin meningkat. Dan akhirnya masyarakat
akan mantap untuk berobat di negeri sendiri serta tidak perlu lagi ke Singapura atau
Malaysia, tuturnya.
Senada, Dirjen Bina Pelayanan Medik Departemen Kesehatan, Farid W Husein, menyatakan,
dengan status BLU, maka RS memiliki keleluasaan untuk mengelola keuangannya. Namun,
pihaknya akan selalu melakukan pengamatan terhadap kinerja rumah sakit BLU. Kehatihatiannya harus tambah, ujarnya.
Kalau sebagai tahap awal, sebanyak 13 RS yang statusnya Perjan telah ditetapkan menjadi
RS BLU, di kemudian hari semua RS akan dibawa ke arah sana. Syaratnya RS tersebut harus
sehat dalam melaksanakan pekerjaannya. Arah BLU adalah untuk meningkatkan kualitas

pelayanan RS. Yaitu bagaimana meningkatkan mutu dengan kebebasan keuangan yang
dimilikinya, kata Farid.
Kebebasan mengelola keuangan ini diakui oleh Direktur Utama BLU RSCM, Dr dr Akmal
Taher SpU (K). Dengan BLU kami punya cukup otonomi untuk mengelola sumber daya.
Jadi, ada keleluasaan, katanya.
Direktur Utama BLU RS Sanglah Denpasar, dr I Gusti Lanang M Rudiartha MHA, juga
mengatakan hal yang sama. Mudah-mudahan setelah apa yang dicanangkan, pengelolaan
sumber daya lebih bagus lagi dibandingkan pada saat masih sebagai Perjan. Pengelolaan
keuangan lebih leluasa. Ini yang kami harapkan. Ke depan pelayanan lebih bagus sehingga
pendapatan RS juga lebih bagus, ungkapnya.
Penggajian proporsional
Menurut Guru Besar Fakultas Kedokteran UI, Prof Ascobat Gani, dengan adanya aturan soal
BLU ini, maka manajemen rumah sakit memiliki keleluasaan dalam mengelola keuangannya.
Tidak hanya itu, masalah penggajian karyawan juga bisa diatur secara lebih proporsional.
Sebelum adanya aturan tentang BLU, manajemen pengelolaan keuangan di sebuah rumah
sakit sangat ketat. Akibatnya, rumah sakit tidak bisa mengembangkan diri dalam hal
keuangan. Yang lebih parah, mutu layanan kepada pasien atau konsumen juga semakin
menurun.
Yang jelas manajemen rumah sakit sekarang lebih luas dalam mengelola keuangannya. Dulu
ketat sekali sehingga tidak boleh pinjam uang namun tidak boleh berhenti melayani.
Akibatnya mutunya jadi turun, katanya pada Lokakarya Nasional Kesiapan Rumah Sakit
Daerah (RSUD) Menjadi BLU, yang diselenggarakan Asosiasi Rumah Sakit Daerah Seluruh
Indonesia (ARSADA), di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Menurut Ascobat, aturan yang ada di PP 23 tahun 2005 memangkas aturan-aturan yang ada
sebelumnya. Justru yang itu membatasi gerak langkah RS. Dengan BLU, manajemen RS
diperbolehkan meminjam uang kepada pihak ketiga untuk menutup biaya operasional. Ini
bisa dilakukan jika kondisi keuangan sebuah rumah sakit benar-benar mengkhawatirkan.
Ascobat menyebut aturan di BLU ini sangat revolusioner. Tapi yang lebih penting, dengan
menjadi BLU, maka pimpinan RS memiliki hak untuk mengatur penggajian karyawannya. Ini
berbeda dengan aturan sebelumnya, yaitu semua karyawan mendapat gaji sama tanpa
membedakan prestasi atau hasil kerjanya.
Dengan BLU pimpinan RS bisa memberikan honor, insetif, atau bonus di luar ketentuan
gaji. Dulu kan PGPS alias Pinter Goblok Pembayaran Sama. Nah, dengan BLU sekarang
diatur bahwa di luar gaji boleh diberikan honor, insetif, bahkan bonus. Misalnya ketika
kinerja keuangan bagus sekali sehingga ada sisa hasil usaha, paparnya.
Masyarakat Miskin Tetap Terjamin

Selama ini muncul kekhawatiran di masyarakat terhadap rumah skit (RS) dengan status
sebagai Badan Layanan Umum (BLU). Dikhawatirkan, biaya kesehatan di RS semakin tak
terjangkau oleh masyarakat miskin. Akibatnya, masyarakat miskin makin jauh dari pelayanan
kesehatan yang sangat dibutuhkannya.
Menjawab kekhawatiran tersebut, Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari, meminta kepada
direktur rumah sakit BLU untuk benar-benar memperhatikan akses kesehatan bagi
masyarakat miskin.
Saya tidak ingin mendengar lagi adanya rakyat kecil yang terlunta-lunta ketika ingin
mendapatkan pelayanan kesehatan di rumah sakit. Saya tidak mau mendengar lagi kisah
rakyat kecil yang ditolak oleh rumah sakit, terutama rumah sakit pemerintah, dengan alasan
apapun juga, katanya ketika melantik 13 direktur utama RS BLU dan sejumlah pejabat
eselon II Depkes lainnya, di Jakarta, pekan lalu.
Menkes menegaskan, pemerintah saat ini menjalankan program pengobatan gratis untuk
rakyat miskin di kelas tiga rumah sakit dengan mekanisme asuransi kesehatan yang dikelola
PT Askes. Karena itu, Menkes mengingatkan, agar jangan sampai ada masyarakat miskin
yang tidak memiliki kartu Askeskin ditolak di rumah sakit.
Saya tekankan, adakanlah satu atau lebih petugas untuk mengurus kartu Askeskin bagi orang
miskin yang belum mempunyai kartu. Jadi, tidak ada lagi alasan rumah sakit nombok karena
merawat orang miskin. Sebab hal itu bisa diselesaikan dengan PT Askes, kata Menkes
menegaskan.
Direktur Utama BLU RS Sanglah Denpasar, dr I Gusti Lanang M Rudiartha MHA, kepada
Republika, mengatakan dengan status BLU, rakyat miskin tetap akan mendapatkan pelayanan
kesehatan yang memadai.
Masyarakat miskin sangat terbuka dengan adanya pembiayaan dari Askes miskin. Yang
jelas, dengan status BLU maka sisi manajemen, pelayanan, dan sebagainya harus sudah jelas
arahnya, ujarnya.
Sumber: Republika Online Selasa, 18 Oktober 2005
Tuesday, July 17, 2007
BLU akankah menjadi solusi?
Hasil temuan BPK untuk tahun 2007 ini masih mengindikasikan banyak lembaga negara,
Departemen, dan juga Universitas Universitas terindikasi belum menyetorkan PNBP nya.
Alasan yang dikemukakan adalah dana dana PNBP itu digunakan terlebih dahulu selagi
menunggu cairnya anggaran APBN dalam suatu kegiatan.Tapi ternyata BPK tidak mau tahu
walaupun pengeluaran PNBP yang dilakukan Lembaga ada catatannya. Mereka menganggap
hal itu salah menurut hukum. Maka dari itu,terkesan banyak PNBP yang diposkan sementara

dalam rekening-rekening liar telah divonis merugikan negara. Demikian juga yang terjadi
dalam dunia kampus.
Menurut ketua BPK Anwar Nasution dari hasil pemeriksaan semester II 2006 menyatakan:
Universitas Airlangga Surabaya, Universitas Hasanuddin Makassar, dan Universitas
Sumatera Utara masih menahan PNBP senilai Rp 242,65 miliar. Hal tersebut menimbulkan
kontroversi karena pihak universitas terpaksa menahan uang tersebut agar dapat membiayai
operasional perkuliahan dan kegiatan mahasiswa di kampusnya.
Untuk menyikapi hal itu, Menteri Keuangan sadar kesulitan yang dihadapi satker satker
dalam hal kebutuhan dana mendesak. Beliau mengatakan:Semuanya adalah aturan manusia
yang masih bisa diubah. Daripada membuat para rektor itu terus berbohong, lebih baik
dicarikan cara agar mereka dapat menggunakan dana PNBP tanpa harus terhambat oleh apa
pun,Beliau juga menyarankan sebuah Departemen, Lembaga,dan Universitas memiliki
Badan Usaha. Lebih bagus lagi bila memiliki Badan Layanan Umum yang telah memiliki
payung hukum yang jelas.
Namun muncul dilema bahwa adanya BLU akan menyebabkan komersialisasi di berbagai
sektor dan bidang.Upaya mewiraswastakan pemerintah tersebut dapat diketahui melalui
pembentukan Badan Layanan Umum (BLU) sesuai pasal 68 dan 69 Undang-undang Nomor 1
tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Dalam peraturan itu disebutkan bahwa BLU
adalah Instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan
kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan
mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan
produktivitas. Walaupun BLU dibentuk tidak untuk mencari keuntungan, akan tetapi letak
enterprising-nya dapat dilihat pada pasal 69 ayat (6) bahwa pendapatan BLU dapat digunakan
langsung untuk membiayai belanja BLU yang bersangkutan. Pendapatan yang dimaksud itu
dapat diperoleh dari hibah, sumbangan, atau sehubungan dengan jasa layanan yang diberikan.
Sebagaimana amanat pasal 69 Undang-undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara bahwa BLU akan diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah, pada tanggal 13
Juni 2005 pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2005 tentang
Badan Layanan Umum. Peraturan tersebut mengatur lebih rinci mengenai tujuan, asas,
persyaratan, penetapan, pencabutan, standar layanan, tarif layanan, pengelolaan keuangan,
dan tata kelola BLU.
Indulgensia
Max Weber menyatakan bahwa pemerintah memiliki dua tinjauan peranan penting.
Pemerintah mempunyai fungsi sebagai regulator dan administrator jika ditinjau dari mechanic
view. Jika ditinjau dari organic view pemerintah juga berfungsi sebagai public service agency
dan investor yang harus dinamis. Idealnya kedua tinjauan itu dapat terlaksana secara
simultan.

Namun rupanya untuk mencapai kondisi ideal tersebut di Indonesia bagaikan menegakkan
benang basah. Masyarakat sudah terlanjur memiliki persepsi bahwa pemerintah merupakan
organisasi birokratis, tidak efisien, tidak efektif, dan lambat. Pada kenyataannya masyarakat
memang sering dihadapkan pada birokrasi komplek pemerintah. Bahkan birokrasi komplek
tersebut pada beberapa instansi telah melahirkan mata pencaharian baru, yaitu sebagai calo.
Praktek percaloan ini tak jauh beda dengan praktek suap menyuap, kolusi, korupsi, dan
extraordinary crime lainnya.
Dalam penjelasan PP 23 tahun 2005 dijelaskan bahwa pembentukan BLU diharapkan
menjadi contoh konkrit penerapan manajemen keuangan berbasis kinerja sehingga mampu
menonjolkan produktivitas, efisiensi, dan efektivitas. Hal ini sebenarnya pemerintah secara
tidak langsung mengakui adanya persepsi masyarakat tersebut. Dengan dibentuknya BLU,
pemerintah mengakui tidak bisa menjalankan perannya sebagai mecanic view dan organic
view secara simultan. Jadi PP 23 tahun 2005 tak ubahnya seperti surat indulgensia, surat
pengakuan dosa, dari pemerintah kepada rakyatnya.
Rencana Dosa
Rakyat mungkin akan memaafkan pengakuan dosa-dosa pemerintah itu. Namun apa jadinya
jika BLU dimanfaatkan untuk merencanakan dosa-dosa lain yang justru menjadi legal karena
keberadaan BLU yang diakui pemerintah. Pada kesempatan kali ini setidaknya penulis
menemukan tiga rencana dosa dalam kaitan keberadaan BLU.
Pertama, pola pengelolaan kas BLU sebenarnya menghambat proses pembentukan Treasury
Single Account sebagai mana diamanatkan UU Perbendaharaan Negara. Sesuai dengan pasal
16 PP 23 tahun 2005 BLU menyelenggarakan kegiatan-kegiatan pengelolaan kas. Kegiatan
itu antara lain: merencanakan penerimaan dan pengeluaran kas, melakukan pemungutan
pendapatan atau tagihan, menyimpan kan dan mengelola rekening bank, melakukan
pembayaran, mendapatkan sumber dana untuk menutp defisit jangka pendek, dan
memanfaatkan surplus kas jangka pendek untuk memperoleh pendapatan tambahan. Aturan
ini menjadi kelihatan tidak beres setelah dibandingkan dengan pasal 12 ayat (2) dan pasal 13
ayat (2) UU Perbendaharaan Negara. Ketentuan perbendaharaan negara menyebutkan bahwa
semua penerimaan dan pengeluaran negara/daerah dilakukan melalui Rekening Kas Umum
Negara/Daerah.
Permasalahan ini mungkin saja diperdebatkan, karena BLU membuat rencana kerja dan
anggaran dalam menyelenggarakan kegiatannya. Namun juga harus diketahui bahwa rencana
kerja dan anggaran merupakan fungsi planning dalam manajemen yang pada kenyataannya
bisa menimbulkan varians. Demikian juga dengan BLU yang diberi kewenangan untuk
memperoleh pendapatan selain dari APBN/APBD yaitu sehubungan dengan jasa layanan,
hibah dan sumbangan. Dengan kondisi tersebut, penulis kira BLU tidak mungkin
menjalankan anggaran secara mutlak, atau bisa dikatakan hampir pasti terjadi varians antara
anggaran dengan realisasi kerja BLU. Lantas bagaimana jika varians yang terjadi bukan
bagian dari fungsi planning? Kondisi ini yang dikhawatirkan penulis akan menjadi dana non

budgeter atau dana taktis. Suryohadi Djulianto, penasehat KPK, dengan tegas menyatakan
bahwa apapun alasannya perbuatan menghimpun dana non budgeter adalah perbuatan
melawan hukum. Demikian juga BLU yang menghimpun dana di luar APBN dan APBD serta
tidak mencantumkan dalam rencana kerja telah melanggar UU Perbendaharaan Negara.[1]
Kedua, BLU dapat menggunakan surplus anggarannya untuk kepentingan BLU tersebut. Hal
ini dengan gamblang disebutkan dalam pasal 29 PP 23 tahun 2005
yaitu Surplus anggaran BLU dapat digunakan dalam tahun anggaran berikutnya kecuali atas
perintah Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota, sesuai dengan kewenangannya,
disetorkan sebagian atau seluruhnya ke Kas Umum Negara/Daerah dengan
mempertimbangkan posisi likuiditas BLU. Jika dibandingkan dengan pasal 3 UU Keuangan
Negara, maka aturan mengenai surplus BLU tersebut telah menganakemaskan BLU sehingga
tidak tercermin adanya keadilan.
Pasal 3 ayat (7) UU Keuangan Negara menyebutkan bahwa Surplus penerimaan/negara
dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran negara/daerah tahun anggaran berikutnya.
Selanjutnya pada ayat berikutnya dijelaskan Penggunaan surplus penerimaan negara/daerah
sebagaimana dimaksud dalam ayat (7) untuk membentuk dana cadangan atau penyertaan
Perusahaan Negara/Daerah harus memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari DPR/DPRD.
Berdasarkan ketentuan ini dapat diketahui bahwa kaidah perlakuan surplus adalah
dimanfaatkan untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Peruntukan lain terhadap surplus
anggaran ini harus memperoleh persetujuan DPR/DPRD. Perbandingan kedua aturan yang
mengatur surplus angaran ini menunjukkan bahwa BLU memiliki daya tawar keuangan yang
lebih tinggi dibandingkan Perusahaan Negara/Daerah.
Ketiga, keberadaan BLU sebagai bukan subjek pajak telah melanggar Undang-undang
Nomor 7 tahun 1983 stdtd Undang-undang Nomor 17 tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan
(PPh). Pada pasal 14 PP 23 tahun 2005 dijelaskan bahwa pendapatan BLU dilaporkan sebagai
pendapatan negara bukan pajak kementrian/lembaga atau pendapatan negara bukan pajak
pemerintah daerah. Beberapa penggagas BLU juga menyatakan bahwa BLU dibebaskan dari
kewajiban membayar PPh Badan atas sisa anggaran atau hasil usaha/nilai tambah karena
BLU bukan subjek pajak.
Apabila keberadaan BLU memang demikian adanya, maka telah terjadi pelanggaran terhadap
pasal 2 UU PPh. Dalam ketentuan tersebut dinyatakan bahwa subjek pajak adalah orang
pribadi; warisan yang belum terbagi sebagai kesatuan, menggantikan yang berhak; badan;
dan bentuk usaha tetap. Selanjutnya terminologi badan jelaskan bahwa badan adalah
sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha
maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer,
perseroan lainnya, badan usaha milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk
apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan,
organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk
usaha tetap, dan bentuk badan lainnya.

PPh merupakan pajak subjektif sehingga yang diperhatikan terlebih dahulu adalah kewajiban
subjektifnya. Sebagaiman dijelaskan diatas bahwa badan merupakan salah satu subjek pajak,
maka seharusnya BLU juga merupakan subjek pajak. Apabila BLU dikatakan bukan subjek
pajak maka hal ini perlu dikonfrontir dengan pasal 3 UU PPh. Pada akhirnya juga diketahui
bahwa BLU tidak termasuk golongan yang dikecualikan dari subjek pajak. Jadi berdasarkan
aturan PPh BLU secara mutlak adalah subjek pajak.
Dalam Reformasi Depkeu diusulkan bahwa Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) akan
berubah menjadi BLU. Di satu sisi model BLU masih sering diperdebatkan dan masih banyak
yang menentangnya. Tapi disi lain mungkin hal ini akan dapat meningkatkan kinerja dari
instansi terkait. Semoga STAN yang nantinya benar benar menjadi BLU dapat menjadi
BLU yang baik dengan meningkatkan pelayanan kepada mahasiswanya yang saat sekarang
ini masih terkesan asal asalan. Semoga STAN bukan termasuk instansi yang memanfaatkan
kesalahan untuk berbuat salah.

RUMAH SAKIT DALAM PENGELOLAAN KEUANGAN BLU HARUS MEMBERI


PELAYANAN TERBAIK
Dirjen Bina Pelayanan Medik Departemen Kesehatan Farid W Husain mengatakan, kinerja
rumah sakit yang ikut dalam pengelolaan keuangan badan layanan umum (BLU) harus
mampu memberikan pelayanan kepada masyarakat yang feasibel dengan menonjolkan
produktivitas, efisiensi dan efektivitas.
Keberhasilan rumah sakit BLU dalam kinerjanya telah ditentukan oleh Departemen
Kesehatan dalam 3 (tiga) indikator yaitu pelayanan, mutu pelayanan dan manfaat bagi
masyarakat, serta keuangan. Keuntungan rumah sakit menjadi BLU diantaranya adalah RS
masih mendapat subsidi dari pemerintah seperti biaya gaji pegawai, biaya operasional, dan
biaya investasi/modal.
Selain itu juga, pendapatan RS dapat digunakan langsung tidak disetor ke kantor kas
Negara, hanya dilaporkan saja ke Departemen Keuangan, serta dapat melakukan kerja
sama dengan pihak ke tiga.
Indikator perbaikan pelayanan RS adalah indikator yang mengukur tentang kegiatan
pelayanan di salah satu rumah sakit seperti pelayanan rawat jalan, rawat inap, dan
pelayanan penunjang, dengan demikian akan memberikan kualitas dan kecepatan
pelayanan meningkat.
Sedangkan mutu pelayanan dan manfaat rumah sakit bagi masyarakat adalah dengan
mengukur sejauh mana rumah sakit BLU memberikan fasilitas kepada Maswyarakat Miskin
(Maskin), antara lain proporsi penyediaan fasilitas tempat tidur kelas III diatas 50 persen
yang mencerminkan fungsi sosial rumah sakit.
Sementara keuangan merupakan indikator yang proporsinya paling kecil yaitu 20 persen,
maksudnya adalah rumah sakit tidak semata-mata mencari uang tetapi paling penting RS
harus berkompetisi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Dengan

diberikannya flesibilitas dan kewenangan kepada RS untuk tidak menyetorkan


pendapatannya ke kas Negara akan terpengaruh terhadap pelayanan rumah sakit tersebut
diantaranya tersedianya dana untuk operasional, kebutuhan obat cukup tersedia, dan
pempinan RS dapat mengembangkan strategi pelayanan.

RS Sebagai Badan Layanan Umum


Written by Administrator
Monday, 07 February 2011 10:51
1diggdigg
1. Pengertian:
BLU adalah instansi di lingkungan pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan
kepada masyarakat berupa penyediaan barang/jasa tanpa mengutamakan mencari keuntungan
dan didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktifitas.
2. Tujuan

Dapat dilakukan peningkatan pelayanan instansi pemerintah kepada masyarakat


dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa;

Instansi pemerintah dapat memperoleh fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan


berdasarkan prinsip ekonomi dan produktivitas dengan menerapkan praktik bisnis
yang sehat;

Dapat dilakukan pengamanan atas aset negara yang dikelola oleh instansi terkait.

3. Keutungan menjadi BLU

Masih mendapatkan subsidi dari pemerintah yang terdiri dari gaji pegawai, biaya
operasional dan biaya investasi/modal

Pendapatan BLU dapat dipergunakan langsung untuk membiayai belanja BLU yang
dijabarkan dalam Rencana Bisnis Anggaran (RBA) pendapatan RS tidak disetorkan
ke Kas Negara tapi hanya dilaporkan saja ke Departemen Keuangan

Dapat melakukan kerjasama dengan pihak ketiga

Paradigma Baru Layanan Medis

Jangan Keburu Senang Bila Anak Tenang

Tinjauan Remunerasi Jasa Medik/Pelayanan di RS(U)D...

Jumat, 26 Desember 2008


Tinjauan Remunerasi Jasa Medik/Pelayanan di RS(U)D
Pendahuluan
Dewasa ini masalah krisis global yang melanda seluruh belahan dunia membuat para
pengelola bisnis harus menghitung ulang anggaran belanja dan pendapatan perusahaan
atau bisnis yang dikelolanya, mengevaluasi kembali kinerja perusahaannya (karyawan) dan
melakukan penyesuaian ataupun perubahan target pencapaian kearah yang lebih relevan.
Akibat cukup besarnya krisis yang ada saat ini imbasnya dapat dirasakan juga pada sektor
bisnis kesehatan dan rumah sakit (terutama RS. swasta). Dalam menghadapi tekanan
tersebut diperlukan penataan ulang mekanisme mesin cetak keuangan, penataan
anggaran belanja kebutuhan dalam upaya penghematan dan penataan kembali mekanisme
distribusi hasil jasa produksi, termasuk mekanisme bagihasil (gainsharing) jasa pelayanan
yang prosesnya dilakukan melalui Proses Remunerasi.
Sebagai dasar dalam menata proses remunerasi layanan kesehatan (Health Care
Services), diperlukan sedikit pengetahuan dasar mengenai sistem dan azas dasar dari
usaha bisnis rumah sakit. Rumah sakit merupakan suatu unit usaha jasa yang berbeda
dari layanan usaha jasa lain, karena selain memberikan jasa layanan sosial di bidang medis
(pada masa lampau dikenal sangat lekat dengan nuansa sosial kemasyarakatan ketimbang
profit oriented), pengelola rumah sakit harus tetap mampu menjaga kelangsungan bisnis
rumah sakit (terutama bagi RS. swasta). Dalam pengelolaan rumah sakit dapat saja terjadi
konflik kepentingan berbagai pihak, yang dapat bersumber dari situasi eksternal RS
(pengaruh owner, situasi politik, ekonomi & keamanan, kebijakan yang tidak kondusif, dll)
ataupun pengaruh keadaan Internal RS sendiri, seperti: 1. Klasifikasi organisasi atau
status RS masih masih belum jelas, 2. Belum ada Dewan Pengawas (Governing Body)
dan aturan dasar RS (Hospital bylaws ), yang berfungsi mengawasi pimpinan rumah sakit
dan menjadi acuan bagi pimpinan rumah sakit dalam pengelolaan rumah sakit. 3. Deviasi
dari Visi, Misi dan Tujuan Rumah Sakit yang dilakukan secara berjamaah , baik secara
sengaja maupun tidak sengaja, 4. Ketidak-mampuan atau ketidak- kompetenan (Lack of
Skill or Improper) pimpinan RS, manajemen RS atau seluruh unsur RS (?) dalam
mengelola core bisnis RS.
Berdasarkan orientasi terhadap profitabilitas, organisasi rumah sakit pada umumnya terbagi
atas: Organisasi bisnis (profit) dan organisasi non bisnis (non profit). Di Indonesia rumah
sakit non bisnis pada hakikatnya terdiri dari dua kelompok yaitu: 1. RS. milik pemerintah
dan, 2. RS. bukan milik Pemerintah. Sebagai contoh rumah sakit milik pemerintah adalah

RS. vertikal Depkes, RS. milik departemen lain, RS. milik TNI / Polri serta RS. milik
pemerintah daerah. Sedangkan contoh RS non bisnis bukan milik pemerintah adalah RS.
milik universitas / perguruan tinggi, RS. milik lembaga swadaya masyarakat dan RS. milik
organisasi keagamaan dll. Sedangkan organisasi rumah sakit yang berorientasi bisnis murni
(profit) biasanya dimiliki oleh swasta (domestik maupun asing) misalnya saja RS. milik
konglomerasi, RS. milik swasta asing dan RS. milik pribadi.
Berkaitan dengan berbagai tekanan ekonomi dan keterbatasan anggaran yang disediakan
oleh pemerintah dan otorotas RS, maka dewasa ini sulit bagi pengelola RS non bisnis untuk
tetap konsisten bertahan pada idealisme awal (murni non profit), sebagai solusi untuk
mengatasi keadaan diatas beberapa RS non bisnis merasa perlu untuk membuka sayap
bisnis dalam bentuk layanan rawat (Paviliun Khusus Swasta ), layanan rawat sehari
(Oneday Care), atau layanan kekhususan lain (Unit Hemodialisis, Pusat Stroke dll).
Seperti telah disebutkan diatas pengaruh krisis global yang berkepanjangan, ditambah
dengan masalah sosial, politik dan keamanan (nasional & internasional) telah memicu
munculnya inflasi diberbagai sektor riil, yang pada akhirnya akan memaksa pemerintah
untuk berhati-hati dalam menghitung anggaran belanja negara termasuk belanja dibidang
kesehatan. Respons yang berlebihan untuk tetap mempertahankan idealisme dengan
alasan dan tujuan tertentu yang tidak logis serta hanya untuk kepentingan diri, kelompok
ataupun golongan (terutama dalam menghadapai Pemilu 2009) tanpa memperhatikan
pengaruh faktor eksternal, faktor internal dan confounding faktor lainnya, lama kelamaan
dapat menyebabkan rumah sakit tidak dapat berfungsi dengan baik. Demikian pula hasrat
yang berlebihan dalam menjawab keadaan diatas (dalam bentuk peningkatan pola tarif yang
tidak sesuai dengan kondisi ekonomi masyarakat saat ini), akan dapat menyebabkan rumah
sakit kehilangan ruh dan fungsi sosialnya yang selama ini diagungkan disamping dapat
berpotensi menyengsarakan masyarakat.
Berkaitan dengan kualitas dan fasilitas, beberapa rumah sakit pemerintah maupun swasta
yang ada saat ini memiliki kualitas layanan kesehatan yang sangat memprihatinkan dan
fasilitas yang menyedihkan. Hal ini antara lain disebabkan adanya keterbatasan sumber
daya (sumber daya finansial & non finansial). Tuntutan masyarakat terhadap peningkatan
mutu jasa layanan rumah sakit (Hospital / Medical Services) membutuhkan dana
investasi yang tidak sedikit. Peningkatan tuntutan terhadap kualitas jasa layanan rumah
sakit harus diikuti pula dengan peningkatan profesionalitas pengelolannya dan
pengelolaanya serta selalu dibarengi dengan niat tulus dan jujur tanpa ada keinginan untuk
mendapatkan keuntungan baik secara pribadi, golongan maupun kelompok.
Remunerasi Jasa medis dan gaji upah
Dalam membahas remunerasi jasa medis dan gaji upah, perlu dipahami makna dan tujuan
dari remunerasi pada umumnya.
Tujuan dari Remunerasi adalah: 1. Memperoleh SDM yang qualified, 2. Mempertahankan
karyawan yang baik dan berprestasi serta mencegah turnover karyawan, 3. Mendapatkan
keunggulan kompetitif, 4. Memotivasi karyawan untuk memperoleh perilaku yang diinginkan,
5. Menjamin keadilan antara satu karyawan dengan yang lainnya berdasarkan kinerja dan
prestasi kerja, 6. Mengendalikan biaya, 7. Sebagai sarana untuk mencapai sasaran strategis
RS, dan 8. Memenuhi peraturan Pemerintah.
Pemahaman definisi remunerasi jasa medis pada dasarnya adalah : Besaran nilai jumlah
uang yang harus diterima oleh tenaga medis sebagai kompensasi atas kinerja yang telah
dilakukan, berkaitan dengan risiko dan tanggung jawab profesi dari pekerjaannya.
Sedangkan gaji upah tenaga medis adalah nilai total yang harus diterima oleh tenaga medis

dari nilai kompensasi ditambah dengan besaran keuntungan lain (tangible & intangible).
Penjelasan dari definisi diatas, remunerasi terdiri dari: Kompensasi (komisi, keuntungan
langsung) dan insentif (bonus, bagihasil) atas kinerja atau aktifitas tugas yang telah
dilakukan. Sedangkan upah mencakup pendapatan dari besaran kompensasi dan insentif
ditambah dengan besaran keuntungan tak langsung yang didapat dari pengembangan atau
aktifitas organisasi / institusi.
Menurut Flippo EB, (1961). Remunerasi sesungguhnya adalah Harga untuk jasa-jasa yang
telah diberikan seseorang kepada orang lain. Dengan kata lain remunerasi jasa medis
merupakan bentuk kompensasi atas jasa (jasa medis) yang telah diberikan / dilakukan
tenaga medis pada pasiennya, dan untuk memudahkan dalam pendistribusian maka
remunerasi dikonkritkan dalam bentuk nominal.
Jasa medis yang dilakukan oleh tenaga medis pada hakikatnya berkaitan dengan layanan
medis dokter terhadap pasiennya didalam rumah sakit, layanan tersebut dapat dilakukan
dengan dukungan unit-unit penunjang lain baik unit penunjang langsung (rekam medik,
radiologi, laboratorium, fisioterapi, gizi, dll) maupun unit penunjang tidak langsung (unit
manajemen, marketing, sekuriti, perparkiran, kebersihan dll). Dari penjelasan diatas mudah
dipahami bahwa layanan RS (Hospital Services) merupakan hasil dari satu kerjasama
berbagai unit / layanan bersama, dengan berbagai proporsi,kerja, risiko dan tanggung
jawab. Beberapa unit penunjang langsung juga merupakan sumber pendapatan RS, oleh
karenanya bentuk jasa layanan yang dilakukan tadi disebut sebagai Jasa Pelayanan Rumah
Sakit. Pada klinik dan RS yang cukup kecil dengan layanan terbatas, biasanya jasa medis
congcruent dengan jasa pelayanan.
Terdapat berbagai cara dalam melakukan perhitungan untuk mendapatkan besaran nilai
remunerasi jasa pelayanan, berikut dibawah ini adalah pedoman yang dapat digunakan
dalam melakukan proses remunerasi:
1. Amanat Undang-undang No. 43 tahun 1999 tentang Kepegawaian bahwa sistem
penggajian Pegawai Negeri adalah berdasarkan merit yang disebutkan dlm psl. 7
ayat 1 : Setiap Pegawai Negeri berhak memperoleh gaji yang adil dan layak sesuai dengan
beban pekerjaan dan tanggung jawabnya
ayat 2 : Gaji yang diterima oleh Pegawai Negeri harus mampu memacu produktivitas dan
menjamin kesejahteraannya.
2. Remunerasi harus dapat memacu pegawai untuk menggunakan dan memanfaatkan
waktunya lebih banyak di rumah sakit dalam upaya melaksanakan optimalisasi
pekerjaannya.
3. Remunerasi harus memenuhi prinsip equity yang dikaitkan dikaitkan dengan kompetensi,
prestasi dan besaran risiko yang dihadapi.
4. Menggunakan pendekatan yang menitik-beratkan pada kombinasi Sistem Penilaian
berdasar pada kemampuan pencapaian hasil / penyelesaikan tugas dan Penilaian berdasar
pada keterampilan pelaksanaan tugas (Performance Based Pay Sistem and Skill
Based Pay System).

Remunerasi Tenaga Paramedis


Tugas pelayanan kesehatan (Health Care) paramedis dalam melakukan asuhan
keperawatan akan menyebabkan dirinya berada pada posisi paling depan yang juga berisiko
tinggi. Keberhasilan pada tiap asuhan medis akan sangat bergantung pada keberhasilan
asuhan keperawatan, sulit sekali atau bahkan hampir tidak pernah ada asuhan medis di
rumah sakit yang dilakukan tanpa dukungan asuhan keperawatan. Oleh karena itu secara

umum remunerasi tenaga paramedis akan selalu mengikuti (congruence) remunerasi


tenaga medis dengan prosentase tertentu yang disepakati melalui pertimbangan besaran
risiko, kesulitan kerja dan jenjang pendidikan.
Remunerasi untuk Dewan Pengawas, Direktur dan Staf Manajemen
Keberhasilan dalam mencapai Visi, Misi dan Tujuan Rumah sakit selalu dan selalu saja
berkaitan dengan komitmen penuh dari 4 unsur utama rumah sakit dibawah ini yaitu :
1. Dewan Pengawas (Owner / Governing body )
2. Direktur & Staff manajemen
3. Staf medik fungsional & paramedik
4. Karyawan ( tenaga) pendukung lain
Upaya yang patut dilakukan oleh keempat unsur diatas adalah kemampuan membangun
rasa saling percaya (trust develop) dengan selalu bersandarkan pada :
1. Kejujuran yang utuh dalam tiap aspek pengelolaan rumah sakit,
2. Upaya untuk saling mengenal dan mengutamakan hubungan interpersonal,
3. Memiliki ataupun membangun Visi, Misi dan Tujuan RS yang jelas, dan selalu berupaya
menyamakan persepsi berkaitan dengan Visi, Misi dan Tujuan RS, yang dijabarkan secara
berjenjang berdasarkan tugas pokok dan fungsi masing-masing,
4. Selalu mengutamakan pemberdayaan karyawan.
Pada umumnya perseroan di Indonesia menganut sistem dual board (dua dewan), yaitu
adanya direksi yang mengelola perusahaan sehari-hari, dan memiliki dewan komisaris yang
melakukan pengawasan serta memberikan nasehat kepada direksi. Dewasa ini didalam
struktur RSUD istilah Dewan Komisaris lebih dikenal dengan Dewan Pengawas (Governing
Body). Pembahasan mengenai sistem penggajian Direksi dan Dewan Pengawas, tentu
tidak terlepas dari ruang lingkup pekerjaan, tanggung jawab, kompetensi, dan komitmen
waktu dari masing-masing Direktsi dan Dewan Pengawas. Di samping itu perlu juga
diperhatikan, kesesuaian dengan hakikat pemisahan kepengurusan perusahaan menjadi
dual board, agar mekanisme check and balance dapat dilaksanakan secara efektif dan
efisien melalui berbagai peraturan dasar yang dibuat oleh dewan pengawas, disebut
sebagai Hospital bylaws dan berfungsi sebagai acuan bagi Direktur dalam melakukan
penatalaksanaan RS .
Dengan asumsi bahwa RS(U)D. Kabupaten / Kota sedang mengupayakan perubahan status
yang nantinya akan menjadi BLUD, maka selayaknya proses remunerasi yang akan
dilakukan merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 10/PMK.02/2006, Tentang
Pedoman Penetapan Remunerasi bagi Pejabat pengelola, Dewan Pengawas dan Pegawai
Badan Layanan Umum , yaitu sbb:
Honorarium Dewan Pengawas ditetapkan sebagai berikut:
1. Honorarium Ketua Dewan Pengawas sebesar 40% (empat puluh persen) dari gaji
Pemimpin BLU.
2. Honorarium anggota Dewan Pengawas sebesar 36% (tiga puluh enam persen) dari gaji
Pemimpin BLU.
3. Honorarium Sekretaris Dewan Pengawas sebesar 15% (lima belas persen) dari gaji
Pemimpin BLU.
Besaran remunerasi Direktur ditetapkan dengan mempertimbangkan faktor-faktor sebagai
berikut :
1. Proporsionalitas, yaitu pertimbangan atas ukuran (size) dan jumlah aset yang dikelola RS
serta tingkat pelayanan.

2. Kesetaraan, yaitu dengan memperhatikan industri pelayanan sejenis.


3. Kepatutan, yaitu menyesuaikan kemampuan pendapatan RS yang bersangkutan
4. Kinerja operasional RS yang ditetapkan oleh Departemen Kesehatan, berkesuaian
dengan type RS yang sekurang-kurangnya mempertimbangkan indikator keuangan,
pelayanan, mutu dan manfaat bagi masyarakat.
Sedangkan remunerasi bagi pejabat keuangan dan pejabat teknis ditetapkan sebesar 90%
(sembilan puluh persen) dari direktur.
Remunerasi tenaga lain
Disebabkan jasa pelayanan congruent dengan pelayanan aktif kepada masyarakat maka
remunerasi tenaga lain dilakukan pertama-tama dengan selalu mempertimbangkan kaitan
tenaga tersebut dengan fungsi pelayanan, makin erat fungsi pelayanan (hospital services)
yang dilakukan seseorang maka makin besar bobot yang diberikan kepadanya, makin
kurang kaitannya (fungsi) seseorang dengan pelayanan maka makin berkurang
pembobotannya.
Pembobotan berikutnya adalah dengan perhatian terhadap jabatan, jenis ketenagaan
(dalam fungsi yang sama tenaga PNS bobotnya lebih besar dibanding non PNS).
Selanjutnya jenjang pendidikan, lama kerja dan prestasi kerja..
Penutup
Pada akhirnya bagaimanapun metode dan cara yang ditempuh itu bukanlah masalah,
selama itu dilakukan dengan selalu berlandaskan pada 8 Tujuan Proses Remunerasi ,
yang terpenting pada akhir proses akan tercapai hasil yang berkesesuaian dan menjiwai
semangat dari tujuan remunerasi itu sendiri.
Salah satu kriteria yang menunjukkan bahwa tujuan remunerasi yang dilakukan telah
tercapai adalah, bila hasil rumusan tersebut diaplikasikan dalam perhitungan jasa pelayanan
akan menghasilkan personifikasi seperti dibawah ini :
Ga

Menjadi BLU, Rumah Sakit Lebih Mandiri


MedanBisnis Medan. Rumah sakit yang berstatus Badan Layanan Umum (BLU) akan lebih
mandiri dalam hal pengelolaan keuangannya. Sehingga, upaya untuk meningkatkan
pelayanan kepada pasien dan peningkatan kesejahteraan tenaga medis lebih memungkinkan.
Artinya, BLU itu bebas memakai uang pendapatan untuk memajukan pelayanan RS, ujar
Ketua Persatuan Rumah Sakit Indonesia (Persi), dr Sjarial R Anas menjawab MedanBisnis,
Senin (13/12).
Dijelaskan, kalau RS tidak BLU, RS masih tergantung kepada proyek. Dana yang dipakai RS
harus sesuai kepada aturan pemerintah. Meski demikian, RS yang sudah menjadi BLU bukan
tidak disubsidi oleh pemerintah untuk memperhatikan pegawainya. "Kalau pendapatkan
semakin tinggi, honor dokter kan juga semakin tinggi, karena selama ini sistemnya terikat
dengan peraturan dari pemerintah," ujarnya.
Untuk pelayanan terhadap pasien miskin juga semakin baik, sebab anggaran yang digunakan
tidak lagi terikat oleh peraturan yang dibuat pemerintah. "BLU itu tujuannya untuk
meningkatkan pelayanan dan bebas menggunakan anggaran tanpa ada yang membatasi
karena aturan dari pemerintah," paparnya.
Sebelumnya dr Amran Lubis, Wadir Pelayanan Medik RSU dr Pirngadi Medan
menyampaikan, sejak 2007 pihaknya sudah memiliki studi kelayakan tentang RS Pringadi
yang layak menjadi BLU.
Hal itu merupakan hasil studi kelayakan yang dilakukan konsultan, termasuk tentang analisis
keuangan, dan kemampuan rumah sakit ini sebagai BLU.
"Jumlah pendapatan RSUPM yang terus mengalami peningkatan setiap tahun, ini
menunjukkan bahwa kinerja RS tersebut cukup bagus. Misalnya saja pada tahun 2009,
RSUPM berhasil melebihi target dari yang diberikan yakni Rp 63 miliar. Dan hampir setiap
tahun kita over target hingga mencapai nilai Rp 2 miliar Rupiah," ungkap Amran. (zahendra)
Share on facebook Share on twitter Share on email Share on print More Sharing S

Pendahuluan
Rumah sakit merupakan suatu unit usaha jasa yang memberikan jasa pelayanan sosial di
bidang medis klinis. Pengelolaan unit usaha rumah sakit memiliki keunikan tersendiri karena
selain sebagai unit bisnis , usaha rumah sakit juga nemiliki misi sosial, disamping
pengelolaan rumah sakit juga sangat tergantung pada status kepemilikan rumah sakit. Misi
rumah sakit tidak terlepas dari misi layanan sosial. Namun tidak dipungkiri bahwa dalam
pengelolaan rumah sakit tetap terjadi konflik kepentingan dari berbagai pihak. Konflik
kepentingan berbagai pihak ini dapat bersumber dari klasifikasi organisasi rumah sakit.
Klasifikasi organisasi dibedakan menjadi dua, yaitu organisasi bisnis dan organisasi non
bisnis.
Rumah sakit pemerintah lebih tepat sebagai klasifikasi non bisnis, namun rumah sakit swasta
tidak seluruhnya diklasifikasikan dalam kelompok non bisnis. Beberapa rumah sakit masih
memiliki kualitas jasa layanan yang masih sangat memprihatinkan. Hal ini antara lain
disebabkan karena keterbatasan sumber daya baik sumber daya finansial maupun sumber
daya non finansial. Tuntutan peningkatan kualitas jasa layanan membutuhkan berbagai dana
investasi yang tidak sedikit. Kenaikan tuntutan kualitas jasa layanan rumah sakit harus
dibarengi dengan profesionalisme dalam pengelolaannya. Perkembangan pengelolaan rumah
sakit, baik dari aspek manajemen maupun operasional sangat dipengaruhi oleh berbagai
tuntutan dari lingkungan, yaitu lingkungan eksternal dan internal. Tuntutan eksternal antara
lain adalah dari para stakeholder bahwa rumah sakit dituntut untuk memberikan pelayanan
kesehatan yang bermutu, dan biaya pelayanan kesehatan terkendali sehingga akan berujung
pada kepuasan pasien. Tuntutan dari pihak internal antara lain adalah pengendalian biaya.
Pengendalian biaya merupakan masalah yang kompleks karena dipengaruhi oleh berbagai
pihak yaitu mekanisme pasar, perilaku ekonomis, sumber daya professional dan yang tidak
kalah penting adalah perkembangan teknologi. Rumah sakit kepemerintahan yang terdapat di
tingkat pusat dan daerah tidak lepas dari pengaruh perkembangan tuntutan tersebut.
Dipandang dari segmentasi kelompok masyarakat, secara umum rumah sakit pemerintah
merupakan layanan jasa yang menyediakan untuk kalangan menengah ke bawah, sedangkan
rumah sakit swasta melayani masyarakat kelas menengah ke atas. Biaya kesehatan cenderung
terus meningkat,dan rumah sakit dituntut untuk secara mandiri mengatasi masalah tersebut.
Peningkatan biaya kesehatan ini menyebabkan fenomena tersendiri bagi rumah sakit
pemerintahan karena rumah sakit pemerintah memiliki segmen layanan kesehatan untuk
kalangan menengah ke bawah. Akibantnya rumah sakit pemerintah diharapkan menjadi
rumah sakit yang murah dan bermutu. Rumah sakit pemerintah menghadapi dilema antara
misi melayani masyarakat kelas menengah ke bawah dan adanya keterbatasan sumber dana,
serta berbagai aturan dan birokrasi yang harus dihadapi. Kondisi tersebut akan
mengakibatkan rumah sakit pemerintah mengalami kebingungan apakah rumah sakit

dijadikan sebagai lembaga birokrasi dalam sistem kesehatan ataukah sebagai lembaga
pelayanan kesehatan yang tidak birokratis.

A. Pengertian BLU Rumah Sakit


Pengertian BLU diatur dalam Pasal 1 angka 23 UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara, yaitu : Badan Layanan Umum / BLU adalah instansi di lingkungan
Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa
penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan
dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.
Pengertian ini kemudian diadopsi kembali dalam peraturan pelaksanaannya yaitu dalam Pasal
1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan
Layanan Umum.
Badan Layanan Umum adalah suatu badan usaha pemerintah yang tidak bertujuan mencari
laba, meningkatkan kualitas pelayanan publik, dan memberikan otonomi atau fleksibilitas
manajemen rumah sakit publik, baik milik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Bentuk BLU merupakan alternatif penting dalam menerapkan Otonomi Daerah yang
merumuskan Rumah Sakit Daerah (RSD) sebagai Layanan Teknis Daerah .
Selain itu, pengertian lain menyatakan bahwa badan layanan umum adalah instansi di
lingkungan pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat
berupa penyediaan barang dan atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari
keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan
produktivitas.
Berdasar PP no: 23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, tujuan
BLU adalah meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan memberikan fleksibilitas
dalam pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip eknomi dan produktivitas dan penerapan
praktik bisnis yang sehat. Praktik bisnis yang sehat artinya berdasarkan kaidah manajemen
yang baik mencakup perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengendalian dan
pertanggungjawaban. Secara umum
asas badan layanan umum adalah pelayanan umum yang pengelolaannya berdasarkan
kewenangan yang didelegasikan, tidak terpisah secara hukum dari instansi induknya.
Asas BLU yang lainnya adalah:
1. Pejabat BLU bertanggungjawab atas pelaksanaan kegiatan layanan umum
kepada pimpinan instansi induk,

2. BLU tidak mencari laba,


3. Rencana kerja, anggaran dan laporan BLU dan instansi induk tidak
terpisah,
4. Pengelolaan sejalan dengan praktik bisnis yang sehat.

BLU harus memenuhi persyaratan adminsitratif sebagai berikut :

Pernyataan kesanggupan untuk meningkatkan kinerja layanan, keuangan,


dan

manfaat bagi masyarakat.

Pola tata kelola yang baik dan laporan keuangan,

Standar pelayanan minimum,

Laporan audit atau pernyataan bersedia diaudit secara independen,

Syarat-syarat BLU

Rumah sakit pemerintah daerah yang telah menjadi BLU/BLUD menggunakan SPM yang
telah ditetapkan oleh menteri/pimpinan lembaga/gubernur/walikota/bupati sesuai dengan
kewenangannya, harus memperhatikan kualitas pelayanannya, pemerataan, dan kesetaraan
layanan, biaya serta kemudahan untuk mendapatkan layanan. Dalam hal RSUD maka SPM
ditetapkan oleh pemerintah daerah. SPM tersebut harus memenuhi persyaratan :
1. Fokus pada pelayanan
2. Terukur
3. Dapat dicapai
4. Relevan dan dapat diandalkan
5. Tepat waktu

Adapun regulasi yang mengaturnya yaitu:


-

Pasal 1 angka 23 UU No.1 tahun 2004 tentang perbendaharaan Negara

Pasal 1 angka 1 PP No.23 tahun 2005 tentang pengelolaan keuangan BLU

Pasal 3 PP No.23 tahun 2005 tentang asas BLU

PP No.65 tahun 2005 tentang penyusunan SPM

Pasal 4 PP No.23 tahun 2005 tentang syarat menjadi BLU

Keuntungan BLU bagi rumah sakit yaitu :


1. Tata kelola keuangan RS lebih baik dan transparan karena menggunakan
pelaporan standar akutansi keuangan yang memberi informasi tentang
laporan aktivitas, laporan posisi keuangan, laporan arus kas dan catatan
laporan keuangan.
2. RS masih mendapat subsidi dari pemerintah seperti biaya gaji pegawai,
biaya operasional, dan biaya investasi atau modal.
3. pendapatan RS dapat digunakan langsung tidak disetor ke kantor kas
Negara, hanya dilaporkan saja ke Departemen Keuangan.
4. RS dapat mengembangkan pelayanannya karena tersedianya dana untuk
kegiatan operasional RS.
5. Membantu RS meningkatkan kualitas SDM nya dengan perekrutan yang
sesuai kebutuhan dan kompetensi.
6. Adanya insentif dan honor yang bisa diberikan kepada karyawan oleh
pimpinan RS.

B. Ukuran Rumah Sakit BLU yang Bermutu


Ukuran rumah sakit BLU yang bermutu diantaranya :
-

Terpenuhinya persyaratan SPM dalam BLU

RS BLU adalah RS pemerintah yang menjual jasa pelayanan rumah-sakit not-for-profit tetapi
tetap dikelola dengan prinsip produktifitas dan efisiensi. Dengan memiliki bentuk sebagai
organisasi BLU, maka RS memilki pola pengelolaan keuangan (PPK) yang memberikan
fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan praktek-praktek bisnis yang sehat untuk
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Praktek bisnis yang sehat adalah
penyelenggaraan fungsi organisasi berdasarkan kaidah-kaidah manajemen yang baik (good
corporate governance) dalam rangka pemberian layanan yang bermutu dan
berkesinambungan. Good coorporate governance sendiri adalah konsep untuk meningkatkan
transparansi dan akuntabilitas dengan tujuan untuk menjamin agar tujuan RS tercapai dengan
penggunaan sumberdaya se-efisien mungkin RS dapat diizinkan mengelola keuangan dengan
PPK-BLU apabila memenuhi berbagai persyaratan, yaitu:
1. Substantif yang dapat dipenuhi bila instansi pemerintah yang bersangkutan
menyelenggarakan Iayanan umum yang berhubungan dengan:

Penyediaan barang dan/atau jasa layanan umum

Pengelolaan wilayah/kawasan tertentu

Pengelolaan dana khusus

2. Teknis yang dapat dipenuhi apabila kinerja pelayanan sesuai bidang tugas pokok dan
fungsinya layak dikelola dan ditingkatkan pencapaiannya melalui BLU serta kinerja
keuangan satuan kerja instansi yang bersangkutan: sehat
3. Administratif yang dapat dipenuhi apabila dapat menyajikan dokumen:

Pernyataan kesanggupan untuk meningkatkan kinerja pelayanan,


keuangan, dan manfaat bagi masyarakat;

Pola tata kelola

Rencana strategis bisnis

Laporan keuangan pokok

Standar pelayanan minimum

Laporan audit terakhir atau penyataan bersedia untuk diaudit secara


independen

Atas dasar itu maka penyusunan Standar Pelayanan Minimum (SPM) menjadi bagian dari
proses kegiatan merubah bentuk RS menjadi bentuk BLU. SPM sediri didefinisikan dalam PP
nomor 23 tahun 2004 sebagai spesifikasi teknis tentang tolok ukur layanan minimum yang
diberikan oleh BLU kepada masyarakat. Dari definisi ini terlihat bahwa SPM harus memiliki
indikator kinerja pelayanan dan standar (target) pencapaiannya.
-

Memenuhi standar rumah sakit BLU bermutu

Pelanggan baik eksternal maupun internal mempunyai keinginan-keinginan ataupun harapan


terhadap jasa yang disediakan oleh rumah sakit. Mereka mempunyai persyaratan-persyaratan
yang diharapkan dapat dipenuhi oleh rumah sakit. Namun demikian pelanggan eksternal
sebagai pengguna jasa pelayanan mengharapkan apa yang diinginkan dapat dipuaskan
(customer satisfaction), sedangkan tenaga profesi mengajukan persyaratan agar pelayanan
yang disediakan memenuhi standar profesi, sedangkan pihak manajemen menghendaki
pelayanan yang efektif dan efisien. Jadi mutu dapat dipandang dari berbagai sudut pandang.
Dari pendapat beberapa pakar mutu yang memperhatikan berbagai sudut pandang tersebut,
dapat dirangkum ada 16 dimensi mutu:
1. Efficacy: pelayanan yang diberikan menunjukan manfaat dan hasil yang
diinginkan

2. Appropriateness: pelayanan yang diberikan relevan dengan kebutuhan


klinis pasien dan didasarkan pada perkembangan ilmu pengetahuan
3. Availability: pelayanan yang dibutuhkan tersedia
4. Accessibility: pelayanan yang diberikan dapat diakses oleh yang
membutuhkan
5. Effectiveness: pelayanan diberikan dengan cara yang benar, berdasar ilmu
pengetahuan, dan dapat mencapai hasil yang diinginkan
6. Amenities: kenyamanan fasilitas pelayanan
7. Technical competence: tenaga yang memberikan pelayanan mempunyai
kompetensi tehnis yang dipersyaratkan
8. Affordability: pelayanan yang diberikan dapat dijangkau secara finansial
oleh yang membutuhkan
9. Acceptability: pelayanan yang diberikan dapat diterima oleh masyaraka
pengguna

10. Safety: pelayanan yang diberikan aman


11. Efficiency: pelayanan yang diberikan dilakukan dengan efisien
12. Interpersonal relationship: pelayanan yang diberikan memperhatikan hubungan antar
manusia baik antara pemberi pelayanan dengan pelanggan maupun antar petugas pemberi
pelayanan.
13. Continuity of care: pelayanan yang diberikan berkelanjutan, terkoordinir dari waktu ke
waktu
14. Respect and caring: pelayanan yang diberikan dilakukan dengan hormat, sopan dan
penuh perhatian
15. Legitimacy/Accountability: pelayanan yang diberikan dapat dipertanggung-jawabkan
(secara medik maupun hukum)
16. Timelines: pelayanan diberikan tepat waktu.
Untuk dapat menyediakan pelayanan yang bermutu maka RS harus menetapka berbagai
standar yang terdiri dari standar seluruh aktifitas yang berhubungan/berpengaruh terhadap
kualitas hasil dan operasional organisasi dalam mencapai tujuan.
-

Terpenuhinya Indikator Mutu Pelayanan Rumah Sakit

Berbagai butir-butir peraturan atau ketentuan tentang mutu pelayanan yang terkait dengan
mutu pelayanan di rumah-sakit antara lain:
1. PP 23 tahun 2005 tentang pengelolaan keuangan BLU

Dalam PP 23 tahun 2005 terdapat aturan mengenai SPM yaitu bahwa SPM
mempertimbangkan (dimensi): Kualitas tehnis, proses, tatacara, dan waktu; Pemerataan dan
kesetaraan; Biaya; Kemudahan. Dimana dalam penyusunannya harus Standar layanan BLU
semestinya memenuhi persyaratan SMART: Specific (fokus pada jenis layanan); Measurable
(dapat diukur); Achievable (dapat dicapai); Reliable (relevan dan dapat diandalkan); dann
Timely (tepat waktu)
1. KepMenKes 228 tahun 2002 tentang pedoman penyusunan SPM RS

Dalam Kepmenkes 228 tahun 2002, maka SPM RS harus memuat standar penyelenggaraan
yang terkait dengan: Pelayanan medik; Pelayanan penunjang; Pelayanan keperawatan;
Pelayanan bagi Gakin; dan Manajemen rumah sakit (yang terdiri dari manajemen
sumberdaya manusia; manajemen keuangan; manajemen sistem informasi rumah sakit;
manajemen sarana prasarana; dan manajemen mutu Pelayanan)
1. Buku indikator kinerja RS (Depkes tahun 2004)

Dalam buku indikator kinerja RS dijelaskan bawa indikator kinerja harus diukur dari empat
perspektif, yaitu: Pengembangan SDM, Proses, Kepuasan pelanggan, dan Keuangan.
1. Buku petunjuk pelaksanaan indikator pelayanan RS (Depkes tahun 1998)

Sedangkan dalam buku petunjuk pelaksanaan indikator pelayanan RS terdapat 4 jenis


indikator yaitu: Indikator pelayanan non-bedah; Indikator pelayanan bedah; Indikator
pelayanan ibu bersalin dan bayi; dan Indikator tambahan (dibagi rujukan dan nonrujukan)

C. Rumah Sakit Sebagai BLU


1.
1. Tinjauan Aspek Pelaporan Keuangan

Organisasi BLU cenderung sebagai organisasi nirlaba kepemerintahan Sesuai dengan PP


No:23 tahun 2005 pasal 26 menyebutkan bahwa akuntansi dan laporan keuangan
diselenggarakan sesuai dengan Standar Akuntansi keuangan (SAK) yang diterbitkan oleh
asosiasi profesi akuntansi Indonesia. Ketentuan ini mengakibatkan ketidakkonsistensian yaitu
bahwa organisasi BLU yang cenderung sebagai organisasi
kepemerintahan tetapi pelaporan akuntansi menggunakan PSAK (standar akuntansi

keuangan ) dari IAI, bukan menggunakan PSAP (Standar akuntansi pemerintahan).


Dalam PP disebutkan badan layanan umum sebagai institusi yang nirlaba menggunakan
SAK. Nilai lebih dari rumah sakit pemerintah menjadi badan layanan uumun ditinjau dari isi
pelaporan keuangan adalah rumah sakit harus mengikuti ketentuan untuk pelaporan keuangan
organisasi nirlaba dan menyanggupi untuk laporan keuangan tersebut diaudit oleh auditor
independence. Dengan kesanggupan tersebut tentu saja diharapkan rumah sakit dapat
mencapai tata kelola yang baik dan pelaporan yang transparans. Laporan keungan rumah
sakit sebagai BLU yang disusun harus menyediakan informasi untuk:
a)

Mengukur jasa atau manfaat entitas nirlaba,

b) Pertanggungjawaban manajemen entitas rumah sakit, (disajikan dalam bentuk laporan


aktivtias dan laporan arus kas)
c) Mengetahui kontinuitas pemberian jasa, (disajikan dalam bentuk laporan posisi
keuangan)
d) Mengetahui perubahan aktiva bersih, (disajikan dalam bentuk laporan aktivitas)
1. Tinjauan Aspek Teknis Keuangan

Adanya sistem desentralisasi membuat rumah sakit harus melakukan banyak penyesuaian
khusunya dalam hal pengelolaan teknis keuangan maupun penganggaraannya, termasuk
penentuan biaya. Rumah sakit pemerintah dituntut untuk menjadi rumah sakit yang murah
dan bermutu. Dalam pengelolaannya rumah sakit pemerintah memiliki peraturan pendukung
yang terkait dnegan pengelolaan keuangan yang fleksibel. Berdasar PP no: 23 tahun 2005
tersebut rumah sakit pemerintah telah mengalami perubahan sebagai badan layanan umum.
Perubahan kelembagaan ini berimbas pada pertanggungjawaban keuangan bukan lagi kepada
departemen kesehatan tetapi kepada departemen keuangan. Sebagaimana telah diuraikan di
atas dari aspek pelaporan keuangan yang harus mengikuti standar akuntansi keuangan, maka
dalam pengelolaan teknis keuangan pun harus diselenggarakan dengan mengacu pada
prinsip-prinsip akuntanbilitas, transparansi dan efisiensi. Anggaran yang disusun rumah sakit
pemeritah juga harus disusun dengan berbasis kinerja (sesuai dengan Kepmendagri no 29
tahun 2002).
Berdasar prinsip-prinsip tersebut, aspek teknis keuangan perlu didukung adanya hubungan
yang baik dan berkelanjutan antara rumah sakit,dengan pemerintah dan dengan para
stakeholder, khususnya dalam penentuan biaya pelayanan kesehatan yang mencakup unit
cost, efisiensi dan kualitas pelayanan. Yang perlu dipertimbangankan lagi adalah adalah
adanya audit atau pemeriksaan bukan saja dari pihak independen terhadap pelaporan
keuangan tetapi juga perlu audit klinik. Dengan berubahnya kelembagaan sebagai BLU tentu
saja aspek teknis sangat berhubungan erat dengan basis kinerja.
Tahap Penyusunan Tarif

Sesuai dengan syarat-syarat BLU bahwa yang dimaksud dengan persyaratan substantif,
persyaratan teknis dan persyaratan admnistratif adalah berkaitan dengan
standar layanan, penentuan tarif layanan, pengelolaan keuangan,tata kelola semuanya
harus berbasis kinerja. Hal-hal yang harus dipersiapkan bagi rumah sakit untuk menjadi BLU
dalam aspek teknis keuangan adalah:

Penentuan tarif harus berdasar unit cost dan mutu layanan. Dengan
demikian rumah sakit pemerintah harus mampu melakukan penelusuran
(cost tracing) terhadap penentuan segala macam tarif yang ditetapkan
dalam layanan. Selama ini aspek penentuan tarif masih berbasis aggaran
ataupu subsidi pemerintah sehingga masih terdapat suatu cost culture
yang tidak mendukung untuk peningkatan kinerja atau mutu layanan.
Penyusunan tarif rumah sakit seharusnya berbasis pada unit cost, pasar
(kesanggupan konsumen untuk membayar dan strategi yang dipilih. Tarif
tersebut diharapkan dapat menutup semua biaya, diluar subsidi yang
diharapkan. Yang perlu diperhatikan adalah usulan tarif jangan berbasis
pada prosentase tertentu namun berdasar pada kajian yang dapat
dipertanggungjawabkan. Secara umum tahapan penentuan tarif harus
melalui mekanisme usulan dari setiap divisi dalam rumah sakit dan aspek
pasar dan dilanjutkan kepada pemilik. Pemilik rumah sakit pemerintah
adalah pemerintah daerah dan DPRD (lihat gambar di atas)

Penyusunan anggaran harus berbasis akuntansi biaya bukan hanya


berbasis subsidi dari pemerintah. Dengan demikian penyusunan anggaran
harus didasari dari indikator input, indikator proses dan indikator output.

Menyusun laporan keuangan sesuai dengan PSAK yang disusun oleh


organsisasi profesi akuntan dan siap diaudit oleh Kantor Akuntan
Independen bukan diaudit dari pemerintah.

Sistem remunerasi yang berbasis indikator dan bersifat evidance based.

Dalam penyusunan sistem remunerasi rumah sakit perlu memiliki dasar pemikiran bahwa
tingkatan pemberian remunerasi didasari pada tingkatan, yaitu tingkatan satu adalah basic
salary yang merupakan alat jaminan safety bagi karyawan. Basic salary tidak dipengaruhi
oleh pendapatan rumah sakit. Tingkatan dua adalah incentives yaitu sebagai alat pemberian
motivasi bagi karyawan. Pemberian incentives ini sangat dipengaruhi oleh pendapatan rumah
sakit. Tingkatan yang ketiga adalah bonus sebagai alat pemberian reward kepada
karyawan.Pemberian bonus ini sangat dipengaruhi oleh tingkat keuntungan rumah sakit.
Implementasi aspek teknis keuangan bagi rumah sakit ini akan menjadi nilai plus dalam
upayanya untuk peningkatan kualitas jasa layanan dan praktik tata kelola yang transparan.
D. Tata Kelola BLU
Secara umum ada lima prinsip dasar yang terkandung dalam good corporate governance atau
tata kelola yang baik menurut Daniri (2005). Kelima prinsip tersebut adalah transparansi,
akuntabilitas, responsibilitas, independensi dan kesetaraan/kewajaran. Namun dalam

Permendagri No. 61 tahun 2007, prinsip yang dituntut untuk dilaksanakan hanya empat
prinsip yang pertama.
Secara lebih rinci prinsip-prinsip dasar dalam tata kelola yang baik adalah sebagai berikut:
1. Transparansi (Transparancy); yaitu keterbukaan informasi baik dalam proses pengambilan
keputusan maupun dalam mengungkapkan informasi material dan relevan mengenai
perusahaan. Efek terpenting dari dilaksanakannya prinsip transparansi ini adalah terhindarnya
benturan kepentingan (conflict of interest) berbagai pihak dalam manajemen.
2. Akuntabilitas (Accountability); yaitu kejelasan fungsi, struktur, sistem dan
pertanggungjawaban organ lembaga sehingga pengelolaan lembaga dapat terlaksana dengan
baik. Dengan terlaksananya prinsip ini, lembaga akan terhindar dari konflik atau benturan
kepentingan peran.
3. Responsibilitas (Responsibility); yaitu kesesuaian atau kepatuhan di dalam pengelolaan
lembaga terhadap prinsip korporasi yang sehat serta peraturan perundangan yang berlaku,
termasuk yang berkaitan dengan masalah pajak, hubungan industrial, perlindungan
lingkungan hidup, kesehatan/keselamatan kerja, standar penggajian dan persaingan yang
sehat.
4. Independensi (Independency); yaitu suatu keadaan dimana lembaga dikelola secara
profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manapun yang tidak
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi
yang sehat.
5. Kesetaraan dan kewajaran (Fairness); yang secara sederhana dapat didefinisikan sebagai
perlakuan yang adil dan setara didalam memenuhi hak-hak stakeholder yang timbul
berdasarkan perjanjian serta peraturan perundangan yang berlaku.
Aplikasi Konsep Tata Kelola yang Baik
Selain bersaing untuk mendapatkan pengguna, lembaga pelayanan publik juga bersaing
dengan sektor lain untuk memperoleh sumber daya dari pemerintah. Sehingga pelaksanaan
pola tata kelola yang baik menjadi sangat vital bagi lembaga.
Aplikasi Pola Tata Kelola ini terutama ditujukan untuk:
i. Meningkatkan kemampuan bersaing mendapatkan sumber daya dari pemerintah maupun
non pemerintah
ii. Mengurangi risiko perubahan yang terjadi tiba-tiba dan mendorong penanaman modal
jangka panjang
iii. Memperkuat sektor finansial

iv. Memajukan manajemen yang bertanggung jawab dan kerja finansial yang solid
Pola Tata Kelola Rumah Sakit
Tata Kelola RSD dengan PPK BLUD disusun sesuai dengan falsafah BLUD yang tertuang di
Permendagri nomor 61 tahun 2007, sebagai berikut:
1) Pelaksanaan reformasi di bidang keuangan dan perkecualian dari aturan Negara
sebelumnya
2) Diberikan previlledge dan tuntutan khusus
3) Penganggaran berbasis kinerja
4) Orientasi pada output
5) Mewiraswastakan pemerintah (enterprising the government )
6) Menerapkan pola pengelolaan yang fleksibel
7) Menonjolkan produktifitas, effektif dan effisien
Instansi yang dikelola secara business like
9) Tenaga yang professional dan competent
10) Kontrak Kinerja ( a contractual performance agreement )
Pola Tata Kelola, yang merupakan peraturan dasar internal RSD dengan PPK BLUD, yang
menggambarkan Akuntabilitas, Transparansi, Indepedensi, dan Resposibilitas. Tata Kelola
Rumah Sakit Daerah dengan PPK BLUD adalah Tata kelola Rumah Sakit (Hospital
Bylaws) yang disesuaikan dengan tujuan pengelolaan BLUD yaitu meningkatkan pelayanan
dengan praktek bisnis yang sehat, yaitu pengelolaan manajemen yang baik, bermutu dan
berkesinambungan. Terminologi hospital bylaws perlu dibedakan dengan terminologi rule
and regulation dalam banyak hal; antara lain dalam hal materi (substansi) serta badan
(otoritas) yang punya kewenangan mengesahkannya.
E. Alasan Rumah Sakit Pemerintah dijadikan BLU
Diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan
Badan Layanan Umum (BLU) adalah sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 69 ayat
(7) UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. PP tersebut bertujuan untuk
meningkatkan pelayanan publik oleh Pemerintah, karena sebelumnya tidak ada pengaturan
yang spesifik mengenai unit pemerintahan yang melakukan pelayanan kepada masyarakat
yang pada saat itu bentuk dan modelnya beraneka macam. Jenis BLU disini antara lain rumah

sakit, lembaga pendidikan, pelayanan lisensi, penyiaran, dan lain-lain. Rumah sakit sebagai
salah satu jenis BLU merupakan ujung tombak dalam pembangunan kesehatan masyarakat.
Namun, tak sedikit keluhan selama ini diarahkan pada kualitas pelayanan rumah sakit yang
dinilai masih rendah. Ini terutama rumah sakit daerah atau rumah sakit milik pemerintah.
Penyebabnya sangat klasik, yaitu masalah keterbatasan dana yang dimiliki oleh rumah sakit
umum daerah dan rumah sakit milik pemerintah, sehingga tidak bisa mengembangkan mutu
layanannya, baik karena peralatan medis yang terbatas maupun kemampuan sumber daya
manusia (SDM) yang rendah. Perkembangan pengelolaan rumah sakit, baik dari aspek
manajemen maupun operasional sangat dipengaruhi oleh berbagai tuntutan dari lingkungan,
yaitu antara lain bahwa rumah sakit dituntut untuk memberikan pelayanan kesehatan yang
bermutu, dan biaya pelayanan kesehatan terkendali sehingga akan berujung pada kepuasan
pasien. Tuntutan lainnya adalah pengendalian biaya. Pengendalian biaya merupakan masalah
yang kompleks karena dipengaruhi oleh berbagai pihak yaitu mekanisme pasar, tindakan
ekonomis, sumber daya manusia yang dimiliki (profesionalitas) dan yang tidak kalah penting
adalah perkembangan teknologi dari rumah sakit itu sendiri. Rumah sakit pemerintah yang
terdapat di tingkat pusat dan daerah tidak lepas dari pengaruh perkembangan tuntutan
tersebut. Dipandang dari segmentasi kelompok masyarakat, secara umum rumah sakit
pemerintah merupakan layanan jasa yang menyediakan untuk kalangan menengah ke bawah,
sedangkan rumah sakit swasta melayani masyarakat kelas menengah ke atas. Biaya kesehatan
cenderung terus meningkat,dan rumah sakit dituntut untuk secara mandiri mengatasi masalah
tersebut. Peningkatan biaya kesehatan menyebabkan fenomena tersendiri bagi rumah sakit
pemerintahan karena rumah sakit pemerintah memiliki segmen layanan kesehatan untuk
kalangan menengah ke bawah. Akibatnya rumah sakit pemerintah diharapkan menjadi rumah
sakit yang murah dan bermutu.
Standar Pelayanan dan Tarif Layanan Rumah Sakit Pemerintah Daerah yang telah menjadi
BLU/BLUD menggunakan standar pelayanan minimum yang ditetapkan oleh
menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya, harus
mempertimbangkan kualitas layanan, pemerataan dan kesetaraan layanan, biaya serta
kemudahan untuk mendapatkan layanan. Dalam hal rumah sakit pemerintah di daerah
(RSUD) maka standar pelayanan minimal ditetapkan oleh kepala daerah dengan peraturan
kepala daerah. Standar pelayanan minimal tersebut harus memenuhi persyaratan, yaitu :
1. Fokus pada jenis pelayanan, dalam arti mengutamakan kegiatan pelayanan yang
menunjang terwujudnya tugas dan fungsi BLU/BLUD;
2. Terukur, merupakan kegiatan yang pencapaiannya dapat dinilai sesuai dengan standar yang
telah ditetapkan;
3. Dapat dicapai, merupakan kegiatan nyata yang dapat dihitung tingkat pencapaiannya,
rasional sesuai kemampuan dan tingkat pemanfaatannya;
4. Relevan dan dapat diandalkan, merupakan kegiatan yang sejalan, berkaitan dan dapat
dipercaya untuk menunjang tugas dan fungsi BLU/BLUD;

5. Tepat waktu, merupakan kesesuaian jadwal dan kegiatan pelayanan yang telah ditetapkan.
Rumah Sakit Pemerintah Daerah yang telah menjadi BLU/BLUD dapat memungut biaya
kepada masyarakat sebagai imbalan atas barang atau jasa layanan yang diberikan. Imbalan
atas barang atau jasa layanan yang diberikan tersebut ditetapkan dalam bentuk tarif yang
disusun atas dasar perhitungan biaya per unit layanan atau hasil per investasi dana. Tarif
layanan diusulkan oleh rumah sakit kepada menteri keuangan/menteri kesehatan/kepala
SKPD sesuai dengan kewenangannya, dan kemudian ditetapkan oleh menteri
keuangan/kepala daerah dengan peraturan menteri keuangan/peraturan kepala daerah. Tarif
layanan yang diusulkan dan ditetapkan tersebut harus mempertimbangkan hal-hal sebagai
berikut:
1. kontinuitas dan pengembangan layanan;
2. daya beli masyarakat;
3. asas keadilan dan kepatutan; dan
4. kompetisi yang sehat.
Pengelolaan Keuangan Adanya desentralisasi dan otonomi daerah dengan berlakunya UU
tentang Pemerintahan Daerah (UU No. 32 Tahun 2004, terakhir diubah dengan UU No. 12
Tahun 2008), UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, serta
Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Umum Penyusunan APBD, kemudian PP
No. 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, PP No. 24 Tahun
2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan, dan Permendagri No. 61 Tahun 2007 tentang
Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah, membuat rumah
sakit pemerintah daerah harus melakukan banyak penyesuaian khususnya dalam pengelolaan
keuangan maupun penganggarannya, termasuk penentuan biaya. Dengan terbitnya PP No. 23
Tahun 2005, rumah sakit pemerintah daerah mengalami perubahan menjadi BLU. Perubahan
ini berimbas pada pertanggungjawaban keuangan tidak lagi kepada Departemen Kesehatan
tetapi kepada Departemen Keuangan, sehingga harus mengikuti standar akuntansi keuangan
yang pengelolaannya mengacu pada prinsip-prinsip akuntabilitas, transparansi dan efisiensi.
Anggaran yang akan disusun pun harus berbasis kinerja (sesuai dengan Kepmendagri No. 29
Tahun 2002). Penyusunan anggaran rumah sakit harus berbasis akuntansi biaya yang didasari
dari indikator input, indikator proses dan indikator output, sebagaimana diatur berdasarkan
PP No. 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, PMK No.
76/PMK.05/2008 tentang Pedoman Akuntansi Dan Pelaporan Keuangan Badan Layanan
Umum, dan khusus untuk RSUD, pengelolaan keuangannya harus mengacu dan berdasarkan
Permendagri Permendagri No. 61 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan Umum Daerah.
F. Apakah BLU sama dengan privatisasi (jelaskan)

Badan layanan umu tidak sama dengan privatisasi. Berdasarkan Pasal 1 angka 23 UU No. 1
Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Badan Layanan Umum (BLU) adalah instansi di
lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat
berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari
keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan
produktivitas. Tujuan dibentuknya BLU adalah untuk meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan
bangsa dengan memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip
ekonomi dan produktivitas, dan penerapan praktik bisnis yang sehat. Berdasarkan PP No.23
tahun 2005 pasal 3 disebutkan beberapa asas BLU diantaranya BLU tidak mencari laba.
Selain itu, sekalipun BLU dikelola secara otonom dengan prinsip efisiensi dan produktivitas
ala korporasi, namun pengelolaan keuangan BLU mempunyai karakteristik yang berbeda jika
dibanding dengan BUMN/BUMD, diantaranya BLU dibentuk untuk meningkatkan pelayanan
kepada masyarakat. BLU juga disertai dengan beberapa persyaratan, yang meliputi
persyaratan substantif, teknis, dan administratif.
Sedangkan privatisasi rumah sakit merupakan perubahan RSUP menjadi bentuk perjan atau
instansi pemerintah yang diswastakan. RSUP yang selama ini tidak pernah memerhatikan
masalah cost dan revenue sekarang diwajibkan melaporkan situasi keuangan secara rutin.
Perubahan status RSUP menjadi status perjan seperti perubahan fungsi RS dari fungsi sosial
menjadi industry jasa berkurangnya kemampuan pemerintah untuk mensubsidi pelayanan
kesehatan, pengelolaan RS swadana yang tidak lagi berjalan akibat adanya UU PNBP, dan
berkembangnya paradigma sehat. Selain itu, privatisasi rumah sakit berdasarkan telaah dan
kajian dari aspek hukum, sosial kemasyarakatan, hingga aspek moral yang telah dilakukan
oleh departemen kesehatan pada prinsipnya privatisasi rumah sakit hanya akan
mengedepankan aspek bisnis daripada fungsi sosial dan privatisasi rumah sakit hanya akan
semakin menjauhkan masyarakat dari pelayanan kesehatan. Secara logika, rumah sakit yang
telah diprivatisasi maka keuntungan akan menjadi tujuan utama agar rumah sakit dapat tetap
beroperasi. Akibatnya rumah sakit akan mengekar target untuk menutup investasi dengan
mengambil keuntungan dari pasien. Hal tersebut akhirnya akan mendorong dokter untuk
cenderung melakukan tindakan yang tidak rasional dan mengesampingkan etika. Akibat
privatisasi rumah sakit ini akan sangat terasa bagi pasien yang tidak tercover oleh asuransi
kesehatan nasional. Maka Sesuai usulan Depkes kepada Presiden pada surat No
173/MENKES/II/2005 pada 3 Februari 2005 mengusulkan agar 13 RS Perjan (RSCM
Jakarta, Fatmawati, Persahabatan, Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita, Anak dan
Bersalin Harapan Kita, Kanker Dharmais, Hasan Sadikin Bandung, Kariadi Semarang,
Sardjito Yogyakarta, Sanglah Denpasar, Wahidin Sudirohusodo Makassar, M. Djamil Padang,
dan M. Hoesin Palembang) dapat berubah ke sistem pengelolaan keuangan sebagai BLU.
G. Dampak BLU bagi manajemen Rumah Sakit
Kualitas pelayanan Rumah sakit tergantung pada manajemen pengelolaan Rumah sakit
tersebut, yang terdiri dari manajemen strategik dan operasional RS, manajemen keuangan,
manajemen barang dan sarana RS, dan manajemen SDM. Pada Rumah sakit pemerintah

ternyata manajemen pengelolaan ini sangat tergantung pada bentuk kelembagaan Rumah
sakit pemerintah sehingga peraturan/perundangan yang memengaruhi bentuk kelembagaan
Rumah sakit pemerintah akan sangat berpengaruh pada manajemen pengelolaan Rumah sakit
dan akhirnya akan berpengaruh pada kualitas pelayanan Rumah sakit.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 RS Pemerintah adalah Unit Pelaksana
Teknis (UPT), di mana RSUP sebagai konsekuensi asas dekonsentrasi menjadi UPT dari
Depkes, sedangkan RSUD menjadi UPT dari Dinas Kesehatan kabupaten/kota atau Pemda
Dati II, sebagai konsekuensi asas desentralisasi. Campur tangan pemda terlibat pada seluruh
manajemen RS, bahkan pembiayaan RSUD 20 persen dari Pemerintah Dati II dan 80 persen
subsidi pemerintah pusat.
Kemudian terjadi reformasi pertama Rumah sakit pemerintah pada tahun 1992 ketika keluar
Keputusan Presiden No 38/1991 tentang Unit Swadana, artinya Rumah sakit pemerintah
mempunyai kewenangan untuk menggunakan penerimaan fungsionalnya secara langsung,
artinya revenue dapat dikelola secara mandiri oleh Rumah sakit pemerintah, walaupun
subsidi masih ada. Unit swadana memang bukan reformasi kelembagaan, tapi mulai nyata
adanya hubungan antara kemandirian pengelolaan revenue ini dan peningkatan kualitas.
Reformasi ini hanya berjalan lima tahun, dengan dikeluarkannya UU No 20/1997 tentang
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), maka RSUP yang sudah terbiasa mengelola
anggaran pendapatan fungsionalnya sebagai RS unit swadana harus mengembalikan dana
tersebut ke kas negara. RSUD tidak terkena UU ini.
Tetapi, dengan UU No 1/2004 tentang Perbendaraan Negara, membuat suatu terobosan
dengan pembentukan badan layanan umum (BLU). Jadi RSUD walau berbentuk Lembaga
Teknis Daerah , namun sistem keuangannya adalah BLU dan seperti juga unit swadana, maka
RS BLU adalah suatu perubahan otonomi sistem keuangan dan bukan perubahan
kelembagaan RS.
Pada rumah sakit berbentuk BLU, bentuknya lebih bersifat otonom dengan manajemen BLU,
maka sebuah RS mempunyai keleluasaan dan kelonggaran yang lebih untuk
mendayagunakan uang pendapatan. Namun, pendapatan tersebut harus dikelola sebaikbaiknya untuk meningkatkan mutu pelayanan bagi semua pasien. Juga untuk meningkatkan
kualitas SDM, mengendalikan tarif pelayanan, mengelola sarana, menjalin hubungan dengan
pihak ketiga, dan tidak menumpuk keuntungan saja, sehingga BLU masih tetap harus
melayani masyarakat miskin.
Sebelum adanya aturan tentang BLU, manajemen pengelolaan keuangan di sebuah rumah
sakit sangat ketat. Akibatnya, rumah sakit tidak bisa mengembangkan diri dalam hal
keuangan. Yang lebih parah, mutu layanan kepada pasien atau konsumen juga semakin
menurun.

Adapun tujuan dari reformasi bentuk badan hukum dari organisasi dan manajemen rumah
sakit pemerintah ini diantaranya adalah :
1. Dengan adanya perubahan bentuk badan hukum rumah sakit dari
berbantuk PNBP (penerimaan negara bukan pajak) menjadi Badan
Layanan Umum, diharapkan terjadi peningkatan mutu pelayanan
kesehatan di Rumah sakit pemerintah
2. Dengan adanya perubahan ini para karyawan mendapatkan gaji sesuai
dengan kinerja mereka masing-masing sehingga pada akhirnya tercipta
iklim kerja yang sehat di lingkungan rumah sakit.
3. Dengan adanya perubahan ini diharapkan adanya keleluasaan bagi
manajemen rumah sakit untuk mengelola keuangannya demi peningkatan
dan pengembangan sumber daya, fasilitas dan peralatan rumah sakit
4. Dengan perubahan ini juga diharapkan tidak melupakan fungsi sosial
sebuah rumah sakit yaitu dengan tetap memberi pelayanan bagi rakyat
miskin.

Kualitas pelayanan Rumah sakit tergantung pada manajemen pengelolaan Rumah sakit
tersebut. Dengan BLU, manajemen RS diperbolehkan meminjam uang kepada pihak ketiga
untuk meningkatkan dan mengembangkan pelayanan rumah sakit, bahkan juga untuk
menutup biaya operasional jika kondisi keuangan sebuah rumah sakit benar-benar
mengkhawatirkan, namun persoalannya ketika sudah menggandeng banyak pihak, beban
untuk peningkatan pelayanan lambat laun akan ditimpakan kepada pasien. Dengan adanya
aturan soal BLU ini, maka manajemen rumah sakit memiliki keleluasaan dalam mengelola
keuangannya dan mutu rumah sakit yang semakin bagus dengan adanya sistem BLU ini
karena manajemen rumah sakit mampu mengelola keungannya sendiri dan bisa
meningkatkan kemampuan SDM nya untuk mewujudkan mutu rumah sakit yang berkualitas.
H. Sikap Rumah Sakit BLU terhadap Masyarakat Miskin
Rumah sakit adalah ujung tombak pembangunan kesehatan masyarakat. Namun, tak sedikit
keluhan selama ini diarahkan pada kualitas pelayanan rumah sakit yang dinilai masih rendah.
Ini terutama rumah sakit daerah atau rumah sakit milik pemerintah.
Penyebabnya klasik, yaitu masalah keterbatasan dana. Sehingga rumah sakit (RSUD dan
rumah sakit milik pemerintah) tidak bisa mengembangkan mutu layanannya, baik karena
peralatan medis yang terbatas maupun kemampuan sumber daya manusia (SDM) yang
rendah.
Menyadari hal tersebut, pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (BLU). Dengan
PP ini, maka status rumah sakit kini berubah menjadi BLU.

Rumah Sakit Pemerintah Daerah yang telah menjadi BLU/BLUD dapat memungut biaya
kepada masyarakat sebagai imbalan atas barang/jasa layanan yang diberikan. Imbalan atas
barang/jasa layanan yang diberikan tersebut ditetapkan dalam bentuk tarif yang disusun atas
dasar perhitungan biaya per unit layanan atau hasil per investasi dana. Tarif layanan
diusulkan oleh rumah sakit kepada menteri keuangan/menteri kesehatan/kepala SKPD sesuai
dengan kewenangannya, dan kemudian ditetapkan oleh menteri keuangan/kepala daerah
dengan peraturan menteri keuangan/peraturan kepala daerah. Tarif layanan yang diusulkan
dan ditetapkan tersebut harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
1. kontinuitas dan pengembangan layanan;
2. daya beli masyarakat;
3. asas keadilan dan kepatutan; dan
4. kompetisi yang sehat.

Selama ini muncul kekhawatiran di masyarakat terhadap rumah sakit (RS) dengan status
sebagai Badan Layanan Umum (BLU). Dikhawatirkan, biaya kesehatan di RS semakin tak
terjangkau oleh masyarakat miskin. Akibatnya, masyarakat miskin makin jauh dari pelayanan
kesehatan yang sangat dibutuhkannya.
Saat ini keuntungan rumah sakit bukan merupakan parameter penting untuk menilai
keberhasilan seorang direktur utama rumah sakit. Pasalnya, di masa lalu banyak rumah sakit
yang untung, tetapi semakin banyak orang Indonesia yang berobat ke luar negeri. Hal ini bisa
ditekan bila para dokter bekerja lebih baik, sehingga kepercayaan kepada dokter meningkat
dan tidak akan berobat ke luar negeri.
Pengurangan jumlah orang Indonesia yang berobat ke luar negeri merupakan salah satu
ukuran kesuksesan seorang direktur utama RS BLU. Selain itu, saat ini tidak ada alasan lagi
dari pihak rumah sakit menolak pasien miskin. Karena, saat ini ada program pengobatan
gratis untuk rakyat miskin di kelas tiga dengan mekanisme asuransi kesehatan (Askeskin).
Manajemen keuangan rumah sakit yang sekarang dikelola dengan sistem BLU (Badan
Layanan Umum) berarti rumah sakit mempunyai kelonggaran yang lebih untuk
mendayagunakan uang pendapatan rumah sakit, bahkan masih mendapat subsidi pula.
Kelonggaran mengelola pendapatan rumah sakit hendaknya jangan dimanfaatkan untuk
menumpuk keuntungan saja, tapi untuk meningkatkan mutu pelayanan untuk semua pasien,
meningkatkan mutu sumber daya manusianya serta mengendalikan tarif pelayanan.
Sekarang ini, parameter keberhasilan telah berubah, bukan lagi semata-mata keuntungan
material, tapi keberhasilan melayani masyarakat menjadi unsur yang jauh lebih penting,
dalam hal ini harus mampu memberikan pelayanan kepada masyarakat yang feasibel dengan
menonjolkan produktivitas, efisiensi dan efektivitas.

Indikator perbaikan pelayanan RS adalah indikator yang mengukur tentang kegiatan


pelayanan di salah satu rumah sakit seperti pelayanan rawat jalan, rawat inap, dan pelayanan
penunjang, dengan demikian akan memberikan kualitas dan kecepatan pelayanan meningkat.
Sedangkan mutu pelayanan dan manfaat rumah sakit bagi masyarakat adalah dengan
mengukur sejauh mana rumah sakit BLU memberikan fasilitas kepada Masyarakat Miskin
(Maskin), antara lain proporsi penyediaan fasilitas tempat tidur kelas III diatas 50 persen
yang mencerminkan fungsi sosial rumah sakit.
Istilah fungsi sosial, subsidi, dan merugisesungguhnya tidak tepat digunakan untuk
sebuah RS Publik. Penggunaan istilah tersebut dalam berbagai diskusi menunjukkan bahwa
kita tidak memahami atau pemahaman kita telah terdistorsi tanpa memperhatikan tugas
pokok dan fungsi pemerintah. Kita telah mencampur adukan diskusi tentang RS Publik
dengan RS swasta. Istilah fungsi sosial, yang umunya diartikan memberikan pelayanan bagi
masyarakat yang kurang mampu (yang di Amerika sering disebut uncompensated care),
melekat pada RS swasta khususnya yang bertujuan mencari keuntungan atau uang bagi
pemegang sahamnya (for profit private hospital). Melayani orang tidak mampu, bukan hanya
yang miskin, adalah kewajiban pemerintah yang diberikan antara lain melalui RS Publik,
puskesmas, dan upaya-upaya lain.
Sementara keuangan merupakan indikator yang proporsinya paling kecil yaitu 20 persen,
maksudnya adalah rumah sakit tidak semata-mata mencari uang tetapi paling penting RS
harus berkompetisi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Sejak ditetapkannya
rumah sakit menjadi BLU, pendapatannya dari tahun ke tahun selalu meningkat murni dari
peningkatan pelayanan terhadap masyarakat.
Hal ini juga didukung oleh para Direktur Utama Rumah Sakit untuk ikut mensukseskan
program pengobatan gratis untuk rakyat miskin di kelas III RS dengan mekanisme asuransi
kesehatan yang dikelola oleh PT. Askes Indonesia.
Kemudian ditegaskan kembali dalam PP No. 23 Tahun 2005 sebagai peraturan pelaksanaan
dari asal 69 ayat (7) UU No. 1 Tahun 2004, Pasal 2 yang menyebutkan bahwa BLU bertujuan
untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan
umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan memberikan fleksibilitas dalam
pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip ekonomi dan produktivitas, dan penerapan praktek
bisnis yang sehat.
Kebanyakan masyarakat jadi miskin jika sakit (the law of medical money). Solusi terhadap
permasalahan tersebut adalah daerah harus mengikutinya dengan memberikan penjaminan
kesehatan, baik premi yang sepenuhnya berasal dari APBD maupun iur premi dengan peserta.
Jika ini dilakukan maka berapapun tarif yang diterapkan oleh RSU BLU tidak menjadi
masalah, karena masyarakat telah memperoleh jaminan pemeliharaan kesehatan.

KESIMPULAN
Rumah sakit BLU yaitu instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan
pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa
mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada
prinsip efisiensi dan produktivitas. Rumah sakit BLU dapat dikatakan bermutu jika SPM RS
BLU, standar RS BLU bermutu, dan indicator RS bermutu dapat terpenuhi. BLU yang
diterapkan di rumah sakit secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi sistem
manajemen rumah sakit yang bersangkutan. RS BLU yang diharapkan semakin dapat
memberikan pelayanan berkualitas bagi masyarakat menengah ke bawah dan bersifat nirlaba
sangat berbeda dengan sistem privatisasi rumah sakit yang justru cenderung mendorong RS
untuk mendapatkan untung agar dapat terus beroperasi, sehingga semakin menjauhkan
masyarakat dari pelayanan kesehatan yang seharusnya untuk mereka.

Disusun Oleh:
Anggit Tinarbuka AW
Apriliana Susilowati
Arcindy Iswanty
Ari Andang Pratiwi
Merry Tiffani
Riama Haposanita

PEMINATAN ADMINISTRASI DAN KEBIJAKAN KESEHATAN


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG 2011

Daftar Pustaka
Aditama, Tjandra.2007.Manajemen Administrasi Rumah Sakit.Jakarta : UI Press

Djojosugito, A. Seluk Beluk Rumah Sakit Berbentuk Perusahaan Jawatan. Jur MARSI
Vol.III, No.1, 2002, p.19-23
Gizi.net. Berharap Peningkatan Mutu RS Lewat Badan Layanan Umum. 2005.
[www.gizi.net/gklinis] Diakses pada tanggal 19 Mei 2011.
Kemenkes RI.2005.Menkes Minta Privatisasi Rumah Sakit Ditinjau Ulang.Jakarta :
Kemenkes RI (Diunduh tanggal : 25 Mei 2011) Diunduh dari :
http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/717-menkes-minta-privatisasi-rumahsakit-ditinjau-ulang.html
Norpatiwi, AM Vianey. Aspek Value Added Rumah Sakit Sebagai Bdan Layanan Umum.
2005. [http://www.stieykpn.ac.id/images/artikel/Aspek%20Value%20Added%20Rumah
%20Sakit.pdf] Diakses pada tanggal 19 Mei 2011.
Sie Infokum Ditama Binbangkum, 2008. RUMAH SAKIT PEMERINTAH DAERAH
SEBAGAI BADAN LAYANAN UMUM (BLU) [Diunduh tanggal 23 Mei 2011]
(http://www.jdih.bpk.go.id/informasihukum/RSUD_BLU.pdf) [diakses tanggal 23 Mei 2011]
Tempo Interaktif.26 Mei 2005.Depkes Tolak Privatisasi Rumah Sakit.Jakarta : Tempo
interaktif (Diunduh tanggal 25 Mei 2011)Diunduh dari :
http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2005/05/26/brk,20050526-61482,id.html
Thabrany, Hasbullah, 2007. Rumah Sakit Publik Bebentuk BLU: Bentuk Paling Pas Dalam
Koridor Hukum Saat ini. [online]
(http://staff.ui.ac.id/internal/140163956/material/RumahSakitSebagaiBadanLayananUmum.p
df) [diakses tanggal 23 Mei 2011]
Yulianti, Anni. Studi tentang Kesiapan Rumah Sakit Swadana dalam Menghadapi
Desentralisasi menuju Otonomi Daerah (Suatu Studi di RSUD Pasar Rebo dan RSUP
Fatmawati), Center for Research and Development of Health Service and Technology,
NIHRD. 2001
Posted in Kebijakan, Kesehatan, Kuliah.
29 comments
By tinarbuka-aw July 11, 2011

Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat)


1. Pengertian Jamkesmas

Jamkesmas adalah program bantuan sosial untuk pelayanan kesehatan bagi masyarakat
miskin dan tidak mampu.Program ini diselenggarakan secara nasional agar terjadi subsidi
silang dalam rangka mewujudkan pelayanan kesehatan yang menyeluruh bagi masyarakat
miskin. Pada hakekatnya pelayanan kesehatan terhadap masyarakat miskin menjadi
tanggung jawab dan dilaksanakan bersama oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Pemerintah Propinsi/Kabupaten/Kota berkewajiban memberikan kontribusi sehingga
menghasilkan pelayanan yang optimal. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan masyarakat
miskin mengacu pada prinsip-prinsip:
1. Dana amanat dan nirlaba dengan pemanfaatan untuk semata-mata
peningkatan derajat kesehatan masyarakat miskin.
2. Menyeluruh (komprehensif) sesuai dengan standar pelayanan medik yang
cost effective dan rasional.
3. Pelayanan Terstruktur, berjenjang dengan Portabilitas dan ekuitas.
1. Transparan dan akuntabel.

2. Tujuan Jamkesmas
Tujuan dari Jamkesmas dibagi menjadi dua, yaitu :
a. Tujuan umum yaitu

terselenggaranya akses dan mutu pelayanan kesehatan terhadap seluruh


masyarakat miskin dan tidak mampu agar tercapai derajat kesehatan
masyarakat yang optimal secara efektif dan efisien.

Meningkatnya akses dan mutu pelayanan kesehatan sehinga tercapai


derajat

kesehatan yang optimal secara efektif dan efisien bagi seluruh peserta
Jamkesmas

b. Tujuan khususnya yaitu

Memberikan kemudahan dan askes pelayanan kesehatan kepada peserta


di seluruh jaringan PPK Jamkesmas

Mendorong peningkatan pelayanan kesehatan yang terstandar bagi


peserta, tidak berlebihan sehingga terkendali mutu dan biayanya

Terselenggaranya pengelolaan keuangan yang transparan dan akuntabel

meningkatkan cakupan masyarakat dan tidak mampu yang mendapat


pelayanan kesehatan di puskesmas serta jaringannya dan di Rumah Sakit,

serta meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan bagi masyarakat


miskin.

3. Sasaran, Target, dan Kepesertaan Jamkesmas


Sasaran program Jamkesmas ini adalah masyarakat miskin tidak mampu diseluruh indonesia
dan yang tidak termasuk sudah mempunyai jaminan kesehatan lainnya, masyarakat miskin
dan tidak mampu yang ditetapkan oleh bupati/walikota sesuai kuota, Gelandangan, pengemis,
anak terlantar, Peserta program keluarga harapan (PKH), Maskin penghuni lapas, panti sosial,
rutan dan korban bencana alam pasca bencana . Jumlah sasarannya yaitu 76,4 juta jiwa, dan
tidak termasuk penduduk yang sudah mempunyai jaminan kesehatan lainnya.
Sasaran Jamkesmas saat ini masih sama dengan Tahun 2009 yakni 76,4 juta meski data
masyarakat miskin menurut BPS Tahun 2008 telah turun menjadi 60,39 juta. Baseline data
kepesertaan Tahun 2010 tetap menggunakan data sebelumnya.
Dalam rangka memperluas cakupan kepesertaan pada Tahun 2010, terdapat kelompok peserta
baru menjadi sasaran peserta Jamkesmas, yaitu : a) Masyarakat miskin penghuni Lapas/Rutan
dengan melampirkan surat keterangan dari Kepala Rutan/Kepala Lapas setempat. b)
Masyarakat miskin penghuni panti-panti sosial, melalui Surat Keputusan Kepala
Dinas/Institusi Sosial Kabupaten/Kota setempat, selanjutnya Ke- menterian Kesehatan akan
segera membuatkan kartu Jamkesmas. c) Masyarakat miskin akibat bencana pasca tanggap
darurat sebagaimana yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah setempat. d) Untuk semua
kepesertaan diatas, SKP diterbitkan petugas PT. Askes (Persero).
Serta terdapat perhatian khusus kepada peserta Jamkesmas yang belum masuk database
seperti bayi baru lahir dari keluarga miskin, anak terlantar/gelandangan/pengemis
(rekomendasi Dinas Sosial), peserta Program Keluarga Harapan (PKH). Untuk administrasi
kepesertaan Depkes menunjuk PT Askes (Persero), dengan kewajiban melakukan langkahlangkah sebagai berikut:
1. Data peserta yang telah ditetapkan Pemda, kemudian dilakukan entry
olehPT Askes (Persero) untuk menjadi database kepesertaan
diKabupaten/Kota;
2. Entry data setiap peserta;
3. Berdasarkan database tersebut kemudian kartu diterbitkan
dandidistribusikan kepada peserta;

4. PT Askes (Persero) menyerahkan kartu peserta kepada yang


berhak,mengacu kepada penetapan Bupati/Walikota dengan tanda terima
yangditanda tangani/cap jempol peserta atau anggota keluarga peserta;
dan
5. PT Askes (Persero) melaporkan hasil pendistribusian kartu peserta
kepadaBupati/Walikota, Gubernur, Depkes, Dinas Kesehatan (Dinkes)
Provinsi danKabupaten/Kota serta rumah sakit setempat.

Kepesertaan Jamkesmas
1. Peserta jaminan kesehatan adalah setiap orang yang membayar iuran
atau iuarannya dibayar oleh Pemerintah.
2. Peserta Program Jamkesmas adalah fakir miskin dan orang yang tidak
mampu dan peserta lainnya yang iurannya dibayar oleh Pemerintah
sejumlah 76,4 juta jiwa bersumber dari data makro Badan Pusat Statistik
(BPS) Tahun 2006.
3. Peserta yang dijamin dalam program Jamkesmas tersebut meliputi :
1. Masyarakat miskin dan tidak mampu yang telah ditetapkan oleh
Surat Kepu- tusan (SK) Bupati/Walikota Tahun 2008 berdasarkan
pada kuota Kabupaten/ Kota (BPS) yang dijadikan database
nasional.
2. Gelandangan, pengemis, anak dan orang terlantar, masyarakat
miskin yang tidak memiliki identitas.
3. Semua Peserta Program Keluarga Harapan (PKH) yang telah
memiliki atau mempunyai kartu Jamkesmas.
4. Masyarakat miskin yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor 1185/Menkes/SK/XII/2009 tentang Peningkatan
Kepesertaan Jamkesmas bagi Panti Sosial, Penghuni Lembaga
Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara serta Korban
Bencana. Tata laksana pelayanan diatur dengan petunjuk teknis
(juknis) tersendiri sebagaimana tertuang dalam Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor 1259/Menkes/SK/XII/2009 tentang Petunjuk Teknis
Pelayanan Jamkesmas Bagi Masyarakat Miskin Akibat Bencana,
Masyarakat Miskin Penghuni Panti Sosial, dan Masyarakat Miskin
Penghuni Lembaga Pemasyarakatan serta Rumah Tahanan Negara.
5. Apabila masih terdapat masyarakat miskin dan tidak mampu, tidak
termasuk dalam Surat Keputusan Bupati/Walikota maka Jaminan
Kesehatannya menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah (Pemda)
setempat. Cara penyelenggaraan jaminan kesehatan daerah
seyogyanya mengikuti kaidah-kaidah pelaksanaan Jamkesmas.
6. Peserta Jamkesmas ada yang memiliki kartu sebagai identitas
peserta dan ada yang tidak memiliki kartu.
1. Peserta yang memiliki kartu terdiri dari :

1)

Peserta sesuai SK Bupati/Walikota

2)

Penghuni panti-panti sosial

3)

Korban bencana pasca tanggap darurat

2. Peserta yang tidak memiliki kartu terdiri dari :


1)
Gelandangan, pengemis, anak terlantar pada saat mengakses pelayan- an kesehatan
dengan menunjukkan rekomendasi dari Dinas Sosial se- tempat.
2)
Penghuni lapas dan rutan pada saat mengakses pelayanan kesehatan dengan
menunjukkan rekomendasi dari Kepala Lapas/Rutan.
3)
Peserta Program Keluarga Harapan (PKH) pada saat mengakses pe- layanan kesehatan
dengan menunjukkan kartu PKH.
4)
Bayi dan anak yang lahir dari pasangan peserta Jamkesmas, setelah terbitnya SK
Bupati/Walikota dapat mengakses pelayanan kesehatan dengan menunjukkan akte
kelahiran/surat kenal lahir/surat keterangan lahir/pernyataan dari tenaga kesehatan, kartu
Jamkesmas orang tua dan Kartu Keluarga orangtuanya.
1. Terhadap peserta yang memiliki kartu maupun yang tidak memiliki kartu
sebagaimana tersebut diatas, PT. Askes (Persero) wajib menerbitkan Surat
Keabsahan Peserta (SKP) dan membuat pencatatan atas kunjungan
pelayanan kesehatan.
2. Bila terjadi kehilangan kartu Jamkesmas, peserta melapor kepada PT.
Askes (Persero) untuk selanjutnya dilakukan pengecekan database
kepesertaannya dan PT. Askes (Persero) berkewajiban menerbitkan surat
keterangan yang bersangkutan sebagai peserta.
3. Bagi peserta yang telah meninggal dunia maka haknya hilang dan tidak
dapat dialihkan kepada orang lain.
4. Penyalahgunaan terhadap hak kepesertaan dikenakan sanksi sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Verifikasi Kepesertaan
PT. Askes (Persero) bertugas melaksanakan verifikasi kepesertaan dengan mencocokkan
kartu Jamkesmas dari peserta yang berobat dengan database kepesertaan untuk selanjutnya
diterbitkan SKP. Verifikasi kepesertaan dilengkapi dengan dokumen berupa Kartu Keluarga
(KK) / Kartu Tanda Penduduk (KTP) / identitas lainnya untuk pembuktian kebenarannya.
Bagi gelandangan, pengemis, anak dan orang terlantar yang tidak punya identitas cukup
dengan surat keterangan/rekomendasi dari Dinas/Instansi Sosial setempat. Khusus untuk

penghuni lapas dan rutan, cukup dengan surat rekomendasi dari Kepala Lapas/Kepala Rutan
setempat. (Pengaturan lebih lanjut lihat tata laksana pelayanan kesehatan).
Jamkesmas Jateng
Sasaran Jamkesmas tahun 2009/2010 untuk Provinsi Jawa Tengah sebanyak 11,7 juta. Seperti
di Kota Semarang, khusus masyarakat miskin yang tidak masuk dalam Jamkesmas dan
Jamkesmaskot, sudah diatur dalam Peraturan Wali Kota tentang Pedoman Pelaksanaan
Pelayanan Kesehatan Masyarakat Miskin Kota. Dalam peraturan tersebut diatur bagi
masyarakat miskin yang belum masuk dalam Jamkesmas dan Jamkesmaskot, maka
pengobatan bisa dengan cara menunjukkan surat keterangan tidak mampu (SKTM) yang
harus diverifikasi oleh pihak kelurahan bersangkutan.
Berdasarkan data yang ada jumlah keluarga miskin Kota Semarang periode Januari-Juni 2009
sebanyak 138.361 kepala keluarga atau 498.985 jiwa. Dari total 498.985 jiwa tersebut, yang
mendapat Jamkesmas dari pusat sebanyak 306.700 jiwa, sehingga masih ada 192.285 jiwa
yang belum menerima Jamkesmas. Mengacu pada Keputusan Menteri Kesehatan tertanggal 6
Februari 2008 disebutkan, kelebihan kuota Jamkesmas menjadi tanggung jawab Pemerintah
Kota. Pemerintah Kota Semarang kemudian memiliki program Jaminan Kesehatan
Masyarakat Miskin Kota (Jamkesmaskot) Semarang dari 192.285 jiwa yang belum menerima
Jamkesmas tersebut.
Prosedur Pelayanan Jamkesmas
Prosedur untuk memperoleh pelayanan kesehatan bagi peserta, sebagai berikut:

Peserta yang memerlukan pelayanan kesehatan dasar berkunjung ke


Puskesmas dan jaringannya.

Untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, peserta harus menunjukkan


kartu yang keabsahan kepesertaannya merujuk kepada daftar masyarakat
miskin yang ditetapkan oleh Bupati/Walikota setempat. Penggunaan SKTM
hanya berlaku untuk setiap kali pelayanan kecuali pada kondisi pelayanan
lanjutan terkait dengan penyakitnya.

Apabila peserta JAMKESMAS memerlukan pelayanan kesehatan rujukan,


maka yang bersangkutan dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan
disertai surat rujukan dan kartu peserta yang ditunjukkan sejak awal
sebelum mendapatkan pelayanan kesehatan, kecuali pada kasus
emergency

Pelayanan rujukan sebagaimana butir ke-3 (tiga) diatas meliputi :

a. Pelayanan rawat jalan lanjutan (spesialistik) di Rumah Sakit, BKMM/


BBKPM /BKPM/BP4/BKIM.

b. Pelayanan Rawat Inap kelas III di Rumah Sakit


c. Pelayanan obat-obatan
d. Pelayanan rujukan spesimen dan penunjang diagnostic

Untuk memperoleh pelayanan rawat jalan di BKMM/BBKPM/BKPM/


BP4/BKIM dan Rumah Sakit peserta harus menunjukkan kartu peserta
atau SKTM dan surat rujukan dari Puskesmas di loket Pusat Pelayanan
Administrasi Terpadu Rumah Sakit (PPATRS). Kelengkapan berkas peserta
diverifikasi kebenarannya oleh petugas PT Askes (Persero). Bila berkas
sudah lengkap, petugas PT Askes (Persero) mengeluarkan Surat
Keabsahan Peserta (SKP), dan peserta selanjutnya memperoleh pelayanan
kesehatan

Untuk memperoleh pelayanan rawat inap di BKMM/BBKPM/BKPM/


BP4/BKIM dan Rumah Sakit peserta harus menunjukkan kartu peserta atau
SKTM dan surat rujukan dari Puskesmas di loket Pusat Pelayanan
Administrasi Terpadu Rumah Sakit (PPATRS). Kelengkapan berkas peserta
diverifikasi kebenarannya oleh petugas PT Askes (Persero). Bila berkas
sudah lengkap, petugas PT Askes (Persero) mengeluarkan SKPdan peserta
selanjutnya memperoleh pelayanan rawat inap.

Pada kasus-kasus tertentu yang dilayani di IGD termasuk kasus gawat


daruratdi BKMM/BBKPM/BKPM/BP4/BKIM dan Rumah Sakit peserta harus
menunjukkan kartu peserta atau SKTM dan surat rujukan dari Puskesmas
di loket Pusat Pelayanan Administrasi Terpadu Rumah Sakit (PPATRS).
Kelengkapan berkas peserta diverifikasi kebenarannya oleh petugas PT
Askes (Persero). Bila berkas sudah lengkap, petugas PT Askes (Persero)
mengeluarkan surat keabsahan peserta. Bagi pasien yang tidak dirawat
prosesnya sama dengan proses rawat jalan, sebaliknya bagi yang
dinyatakan rawat inap prosesnya sama dengan proses rawat inap.

Bila peserta tidak dapat menunjukkan kartu peserta atau SKTM sejak awal
sebelum mendapatkan pelayanan kesehatan, maka yang bersangkutan di
beri waktu maksimal 2 x 24 jam hari kerja untuk menunjukkan kartu
tersebut. Pada kondisi tertentu dimana ybs belum mampu menunjukkan
identitas sebagaimana dimaksud diatas maka Direktur RS dapat
menetapkan status miskin atau tidak miskin yang bersangkutan. Yang
dimaksud pada kondisi tertentu pada butir 8 diatas meliputi anak
terlantar, gelandangan, pengemis, karena domisili yang tidak
memungkinkan segera mendapatkan SKTM. Pelayanan atas anak terlantar,
gelandangan, pengemis dibiayai dalam program ini.

5. Prinsip Penyelenggaraan
Ada beberapa prinsip penyelenggaraan di dalam Jamkesmas, yaitu :

Pendanaan berasal dari bersumber dari APBN sebagai dana Bantuan Sosial
Sektor Kesehatan.

Prinsip prinsip Penyelenggaraan sebagai berikut :

1.
1. Dana amanah dan dikelola secara nirlaba
2. Portabilitas dan Ekuitas
3. Pelayanan kesehatan dilaksanakan secara terstruktur berdasarkan
kebutuhan medis yang cost efektif
4. Iuran dijamin oleh pemerintah
5. Dikelola secara transparan dan akuntabel.

Pengelolaan meliputi :

1. Tatalaksana kepesertaaan,
2. Tatalaksana pelayanan kesehatan,
3. Tatalaksana administrasi keuangan
4. Pengorganisasian dan manajemen
6. Pelayanan Kesehatan (PPK)
1. Paket manfaat JAMKESMAS yang diterima peserta Jamkesmas
Komprehensip (Promotif, Preventif, Kuratif dan Rehabilitatif) sesuai
kebutuhan medis
2. Jenis Pelayanan Kesehatan Perseorangan (Personal Care)
3. Jaringan Pelayanan Kesehatan Lanjutan di milik pemerintah, swasta dan
TNI-Polri
4. Jaringan pelayanan kesehatan dasar (Yankesda) di Puskesmas dan
jaringannya. Sedangkan Jaminan Persalinan (Jampersal) dapat melibatkan
Bidan Praktek, Klinik Bersalin, Rumah Bersalin, Dokter Praktek.
5. Ketersediaan Obat, AMHP, Alkes, Darah dan bahan penunjang lainnya
sepenuhnya menjadi tanggungjawab Rumah Sakit/Balkesmas
6. Diperlakukan Formularium Obat RS Jamkesmas.

TATALAKSANA PELAYANAN KESEHATAN


A. KETENTUAN UMUM

1. Setiap peserta mempunyai hak mendapat pelayanan kesehatan dasar


meliputi: pelayanan kesehatan Rawat Jalan Tingkat Pertama (RJTP) dan
Rawat Inap Tingkat Pertama (RITP), pelayanan kesehatan Rawat Jalan
Tingkat Lanjutan (RJTL), Rawat Inap Tingkat Lanjutan (RITL) dan pelayanan
gawat darurat.
2. Manfaat jaminan yang diberikan kepada peserta dalam bentuk pelayanan
kesehatan yang bersifat menyeluruh (komprehensif) berdasarkan
kebutuhan medik sesuai dengan standar pelayanan medik.
3. Pelayanan kesehatan dalam program ini menerapkan pelayanan
terstruktur dan pelayanan berjenjang berdasarkan rujukan.
4. Pelayanan kesehatan dasar (RJTP dan RITP) diberikan di Puskesmas dan
jaringannya. Khusus untuk persalinan normal dapat juga dilayani oleh
tenaga kesehatan yang berkompeten (praktek dokter dan bidan swasta)
dan biayanya diklaimkan ke Puskesmas setempat sebagaimana diatur
dalam juknis pelayanan dasar.
5. Pelayanan tingkat lanjut (RJTL dan RITL) diberikan di PPK lanjutan jaringan
Jamkesmas (Balkesmas, Rumah Sakit Pemerintah termasuk RS Khusus, RS
TNI/Polri dan RS Swasta) berdasarkan rujukan. Pelayanan Balkesmas
merupakan PPK untuk layanan RJTL dengan pemberian layanan dalam
gedung.
6. PPK lanjutan harus mempunyai kode PPK lanjutan agar dapat
mengoperasi- kan software INA-DRG versi 1.6. Apabila PPK lanjutan belum
mempunyai kode atau kode tersebut sudah tidak valid, maka diharapkan
segera melapor dan membuat permintaan kode kepada Direktorat
Jenderal Bina Pelayanan Medik
7. Pelayanan RITL diberikan di ruang rawat inap kelas III (tiga). Apabila
karena sesuatu hal seperti misalnya tidak tersedianya tempat tidur,
peserta terpak- sa dirawat di kelas yang lebih tinggi dari kelas III, biaya
pelayanannya tetap diklaimkan menurut biaya kelas III.
8. Pada RS khusus (RS Jiwa, RS Kusta, RS Paru, dll) yang juga melayani
pasien umum, klaim pelayanan kesehatan dilaksanakan secara terpisah
antara pasien khusus sesuai dengan kekhususannya dan pasien umum
dengan mengguna- kan software INA-DRG yang berbeda sesuai penetapan
kelasnya.
9. Pada keadaan gawat darurat (emergency) seluruh PPK wajib memberikan
pe- layanan penanganan pertama keadaan gawat darurat kepada peserta
Jam- kesmas walaupun tidak sebagai PPK jaringan Jamkesmas sebagai
bagian dari fungsi sosial PPK. Setelah kegawatdaruratannya selesai
ditangani, selanjutnya PPK tersebut segera merujuk ke PPK jaringan PPK
Jamkesmas untuk penanganan lebih lanjut.
10.Status kepesertaan harus ditetapkan sejak awal untuk mendapatkan
pelayan- an kesehatan. Peserta Jamkesmas tidak boleh dikenakan iuran
dengan alasan apapun.

11.Pemberian pelayanan kepada peserta oleh PPK lanjutan harus dilakukan


se- cara efisien dan efektif, dengan menerapkan prinsip kendali biaya dan
kendali mutu. Manajemen PPK lanjutan melakukan analisis pelayanan dan
memberi umpan balik secara internal kepada instalasi pemberi layanan.

B. PROSEDUR PELAYANAN
Prosedur untuk memperoleh pelayanan kesehatan bagi peserta, sebagai berikut:
1. Pelayanan Kesehatan Dasar
1. Untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas dan jaringannya, peserta harus menunjukkan kartu Jamkesmas. Untuk peserta
gelandangan, pengemis, anak dan orang terlantar, menggunakan surat
keterangan/rekomendasi Dinas/Instansi Sosial setempat. Bagi peserta PKH
yang belum memiliki kartu Jamkesmas, cukup menggunakan kartu PKH.
2. Pelayanan kesehatan dapat dilakukan di Puskesmas dan jaringannya.
3. Bila menurut indikasi medis peserta memerlukan pelayanan pada tingkat
lanjut maka Puskesmas dapat merujuk peserta ke PPK lanjutan.
4. PPK lanjutan penerima rujukan wajib merujuk kembali peserta Jamkesmas
disertai jawaban dan tindak lanjut yang harus dilakukan jika secara medis
peserta sudah dapat dilayani di PPK yang merujuk.

2. Pelayanan Tingkat Lanjut


1. Peserta Jamkesmas yang memerlukan pelayanan kesehatan tingkat lanjut
(RJTL dan RITL), dirujuk dari Puskesmas dan jaringannya ke PPK tingkat
lanjut secara berjenjang dengan membawa kartu peserta Jamkesmas/identitas kepesertaan lainnya dan surat rujukan yang ditunjukkan sejak awal.
Pada kasus emergency tidak memerlukan surat rujukan.
2. Kartu peserta Jamkesmas/identitas kepesertaan lainnya dan surat rujukan
dari Puskesmas dibawa ke loket Pusat Pelayanan Administrasi Terpadu Rumah Sakit (PPATRS) untuk diverifikasi kebenaran dan kelengkapannya, selanjutnya dikeluarkan Surat Keabsahan Peserta (SKP) oleh petugas PT.
Askes (Persero), dan peserta selanjutnya memperoleh pelayanan
kesehatan.
3. Bayi dan anak yang lahir dari pasangan peserta Jamkesmas secara otomatis menjadi peserta dengan merujuk pada kartu orang tuanya. Bila bayi
dan anak memerlukan pelayanan dapat langsung diberikan dengan
mengguna- kan identitas kepesertaan orang tuanya dan dilampirkan surat
keterangan lahir dan Kartu Keluarga orang tuanya.
4. Pelayanan tingkat lanjut sebagaimana diatas meliputi :

5. Pelayanan rawat jalan lanjutan (spesialistik) di Rumah Sakit dan Balkesmas.


1. Pelayanan rawat jalan lanjutan yang dilakukan pada Balkesmas
bersifat pasif (dalam gedung) sebagai PPK penerima rujukan.
Pelayanan Bal- kesmas yang ditanggung oleh program Jamkesmas
adalah Upaya Ke- sehatan Perorangan (UKP) dalam gedung.
2. Pelayanan rawat inap bagi peserta diberikan di kelas III (tiga) di
Rumah Sakit.
3. Pelayanan obat-obatan dan alat/bahan medis habis pakai.
1. Pelayanan rujukan spesimen dan penunjang diagnostik
lainnya.
2. Untuk kasus kronis yang memerlukan perawatan
berkelanjutan dalam waktu lama, seperti Diabetes Mellitus,
Gagal Ginjal, Kanker, dll, surat rujukan dapat berlaku selama
1 bulan. Untuk kasus kronis lainnya seperti kasus gang- guan
jiwa, kusta, kasus paru dengan komplikasi, surat rujukan
dapat berlaku selama 3 bulan. Pertimbangan pemberlakuan
waktu surat rujukan (1 atau 3 bulan) didasarkan pada pola
pemberian obat.
3. Peserta yang berobat lintas daerah, verifikasi kepesertaan
tetap dilakukan oleh PT. Askes (Persero) dengan melihat pada
kartu Jamkesmas. Dalam hal terdapat keragu-raguan
mengenai status kepesertaannya, dapat dilakukan konfirmasi
status kepesertaan tersebut ke database daerah asal peserta
oleh petugas PT. Askes (Persero) atau tim pengelola daerah
tempat asal pasien.
4. Rujukan pasien antar RS termasuk rujukan RS antar daerah
dilengkapi surat rujukan dari rumah sakit asal pasien dengan
membawa identitas kepesertaannya untuk dapat dikeluarkan
SKP oleh petugas PT. Askes (Persero).
5. Peserta Jamkesmas dalam keadaan gawat darurat wajib
ditangani langsung tanpa diperlukan surat rujukan. Apabila
setelah penanganan kegawat-daru- ratannya peserta belum
melengkapi identitasnya, maka yang bersangkutan diberi
waktu 2 x 24 jam hari kerja untuk melengkapi identitasnya
yakni kartu peserta disertai KK dan KTP.
6. Untuk memenuhi kebutuhan obat dan bahan habis pakai di
Rumah Sakit, Instalasi Farmasi/Apotik Rumah Sakit
bertanggungjawab menyediakan semua obat sesuai dengan
formularium dan bahan habis pakai yang diperlukan. Meski
telah diberlakukan INA-DRG, agar terjadi efisiensi pelayanan,
pemberian obat wajib menggunakan formularium obat
Jamkesmas di Rumah Sakit (formularium obat Jamkesmas
akan di tetapkan dengan SK Menkes tersendiri).

7. Penggunaan INA-DRG versi 1.6 bagi seluruh PPK lanjutan


sebagai dasar pertanggung-jawaban/klaim diberlakukan sejak
1 Maret 2010.
8. Alat Medis Habis Pakai (AMHP) tertentu dapat diklaimkan
terpisah di luar paket INA-DRG. RS wajib membuat daftar
AMHP dan kisaran harga yang ditetapkan pihak RS atas
masukan komite medik. Pilihan penggunaan AMHP tersebut
didasarkan kepada ketersediaan AMHP dengan
mempertimbang- kan efisiensi, efektifitas dan harga yang
ekonomis tanpa mengorbankan mutu. Ketentuan mengenai
AMHP ini terdapat dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Bina
Pelayanan Medik Nomor JP.01.01/I/3392/2009 tanggal 2
September 2009 tentang Edaran Pelaksanaan Jamkesmas
2009.
9. Agar pelayanan berjalan dengan lancar, RS
bertanggungjawab untuk men- jamin ketersediaan obat,
AMHP, darah termasuk reagennya. Pelayanan darah menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dari paket tarif INA- DRG
sehingga tidak dapat diklaimkan terpisah.
10.Pelayanan RJTL dan pelayanan RITL di PPK lanjutan dilakukan
secara ter- padu sehingga biaya pelayanan kesehatan
diklaimkan dan diperhitungkan menjadi satu kesatuan
menurut INA-DRG. Dokter berkewajiban melakukan
penegakan diagnosa yang tepat sesuai ICD-10 dan ICD-9 CM
sebagai dasar penetapan kode INA-DRG. Dalam hal tertentu,
tenaga Koder RS da- pat membantu proses coding diagnosa
dokter. Dokter penanggung jawab harus menuliskan nama
dengan jelas serta menandatangani berkas peme- riksaan
(resume medik).
11.Pada kasus-kasus dengan diagnosa yang kompleks dengan
severity level-3 menurut kode INA-DRG harus mendapatkan
pengesahan dari Komite Medik atau Direktur Pelayanan atau
Supervisor yang ditunjuk/diberi tanggungjawab oleh RS untuk
hal tersebut.
12.Pasien yang masuk ke instalasi rawat inap sebagai kelanjutan
dari proses perawatan di instalasi rawat jalan atau instalasi
gawat darurat hanya diklaim menggunakan 1 (satu) kode
INA-DRG dengan jenis pelayanan rawat inap.
13.Pasien yang datang ke 2 (dua) atau lebih instalasi rawat jalan
dengan dua atau lebih diagnosa akan tetapi diagnosa
tersebut merupakan diagnosa sekunder dari diagnosa
utamanya maka diklaimkan menggunakan 1 (satu) kode INADRG.
14.PPK lanjutan melakukan pelayanan dengan efisien dan efektif
agar biaya pelayanan seimbang dengan tarif INA-DRG.

7.Sumber Pembiayaan

Dana Pelayanan Kesehatan Jamkesmas, Jampersal, BOK bersumber dari


APBN (6,3 T, 932 M).

Jenis Belanja Yankes Jamkesmas, Jampersal adalah BANSOS, sedangkan


BOK berupa Belanja Barang.

Dana Operasional Manajemen Tim Pengelola bersumber APBN melalui


Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.

Tetap dilakukan Luncuran dana dengan memperhitungkan Lap.


Pertanggungjawaban dan Kepatuhan Faskes (Cooperatif)

Pertanggungjawaban Dana Luncuran;

Di Pelayanan Kesehatan dasar dengan Klaim

Di Pelayanan Kesehatan Lanjutan tetap dengan INA-CBGs

Tim Pengelola Jamkesmas & BOK (Bag Verifikasi) untuk Pelayanan


kesehatan Dasar

Verifikator Independen untuk Pelayanan Kesehatan Lanjutan

Pendanaan Jamkesmas Yandas dan Jampersal menjadi satu rekening


khusus Jamkesmas (Giro) di Dinkes Kab/Kota, sedangkan BOK dengan
SATKER tersendiri.

Proses Verifikasi Pertanggungjawaban dana tetap dilakukan;.

Setelah diverifikasi Verifikator Independen dan ditandatangani oleh


Direktur RS/Balkesmas dan Verifikator Independen RS/Balkesmas dapat
langsung mencairkan dana klaim tanpa menunggu Umpan Balik (feed
back) dari Pusat (PPJK)

P2JK (TP Jamkesmas Pusat) akan turun segera melakukan pembinaan


apabila ada praduga kesalahan pertanggung jawaban, kesulitan secara
teknis software.

Ada pengalihan Grouper INA-DRGs ke INA-CBGs (UNU-IIHG)

PELAYANAN KLAIM JAMKESMAS


A. PENYALURAN DANA KE PPK

PUSKESMAS

Dana untuk Pelayanan Kesehatan masyarakat miskin di Puskesmas dan jaringannya


disalurkan langsung dari Departemen Kesehatan (cq Ditjen Bina Kesehatan Masyarakat) ke
Puskesmas melalui pihak PT Pos Indonesia. Penyaluran dana ke Puskesmas berdasarkan
Surat Keputusan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang mencantumkan nama dan
alokasi Puskesmas penerima dana yang akan dikirimkan secara bertahap.

RUMAH SAKIT /BKMM /BBKPM /BKPM /BP4 /BKIM

Dana untuk Pelayanan Kesehatan masyarakat miskin di Rumah Sakit/BKMM/


BBKPM/BKPM/BP4/BKIM disalurkan langsung dari Departemen Kesehatan melalui Kas
Negara (KPPN) ke rekening Bank Rumah Sakit/BKMM/BBKPM/BKPM/BP4/BKIM. Pada
tahap pertama diluncurkan dana awal sebesar 2 (dua) bulan dana pelayanan kesehatan yang
diperhitungkan berdasarkan jumlah klaim rata-rata perbulan tahun sebelumnya.

B. PENCAIRAN DAN PEMANFAATAN DANA DI PPK

PUSKESMAS

Puskesmas membuat Plan Of Action (POA) yang telah dibahas dan disepakati
sebelumnya pada forum lokakarya mini Puskesmas.
Setiap pengambilan dana dari rekening Puskesmas harus mendapat persetujuan dari
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau pejabat yang ditunjuk sesuai dengan POA
yang telah disusun sebagaimana butir a.
-

Dana yang diterima Puskesmas, dimanfaatkan untuk membiayai:

1) Dana pelayanan kesehatan dasar yang meliputi:


(a). Biaya pelayanan dalam dan luar gedung
(b). Biaya jasa pelayanan kesehatan
(c). Biaya transportasi petugas
(d). Biaya rawat inap
(e). Biaya penanganan komplikasi kebidanan dan neonatal di Puskesmas PONED
(f). Biaya jasa pelayanan dokter spesialis dan penggunaan peralatan penunjang spesialistik
(g). Biaya transport dan petugas kesehatan pendamping untuk rujukan
2) Dana pertolongan persalinan:

(a). Biaya pertolongan persalinan normal


(b). Biaya pelayanan nifas
Pengelolaan dan pemanfaatannya secara rinci atas dana pelayanan kesehatan di
Puskesmas dan Jaringannya diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Bina
Kesehatan Masyarakat No. HK.03.05/BI.3/2036/2007Tentang Petunjuk Teknis
Pelayanan Kesehatan Dasar dan Pertolongan Persalinan Program Jaminan
Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin di Puskesmas dan jaringannya Tahun
2007

RUMAH SAKIT/BKMM/BBKPM/BKPM/BP4/BKIM

Rumah Sakit menerima pembayaran setelah klaim yang diajukan, disetujui untuk dibayar
oleh Departemen Kesehatan. Penerimaan klaim RS tahun 2008, pengelolaan dan
pemanfaatannya diserahkan pada mekanisme daerah.
Klaim Rumah Sakit tahun 2008 berdasarkan :
- Jenis paket dan tarif pelayanan kesehatan tahun 2008 (dalam masa transisi), sambil
menunggu kesiapan INA-DRG .
- Paket klaim tersebut diajukan oleh Rumah Sakit meliputi Pelayanan Kesehatan RJTL,
RITL, obat dan penunjang.

Berdasarkan Jenis paket dan tarif pelayanan kesehatan tahun 2008 ,


maka RS melakukan klaim dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut;

- Untuk berbagai jenis pelayanan (tindakan, pelayanan obat, penunjang diagnostik,


pelayanan darah serta pelayanan lainnya, tidak termasuk pelayanan haemodialisa)
diklaimkan secara terpadu oleh Rumah Sakit sehingga biaya diklaimkan dan
diperhitungkan menjadi satu kesatuan.
- Dalam format klaim wajib dicantumkan diagnosa sebagai pembelajaran awal
penerapan INA-DRG

C. PEMBAYARAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN DANA DI PPK

PUSKESMAS

Pembayaran ke Puskesmas dan jaringannya harus dipertanggung jawabkan dengan dilakukan


verifikasi pelayanan meliputi: RJTP (jumlah kunjungan dan rujukan), RITP, Persalinan,
Transportasi Rujukan, Pelayanan Spesialistik oleh Tim Pengelola JAMKESMAS
Kabupaten/Kota.

RUMAH SAKIT/BKMM/BBKPM/BKPM/BP4/BKIM

Prosedur pembayaran pelayanan kesehatan di Rumah Sakit/BKMM/


BBKPM/BKPM/BP4/BKIM dilakukan secara bertahap. Tahapan pembayaran pelayanan
kesehatan ke Rumah Sakit adalah sebagai berikut:

Pembayaran Dana luncuran Pertama (awal) tahun 2008.

Departemen Kesehatan mengucurkan dana awal pada bulan Februari 2008 ke rekening
RS/BKMM/BBKPM/BKPM/BP4/BKIM. Besarnya jumlah dana yang dibayarkan
dipehitungkan berdasarkan rata-rata pembayaran per bulan di Rumah Sakit pada tahun
sebelumnya. Dana luncuran tersebut langsung disalurkan dari Departemen Kesehatan melalui
KPPN Pusat ke Rekening RS/BKMM/BBKPM/BKPM/BP4/BKIM.
RS/BKMM/BBKPM/BKPM/BP4/BKIM dapat langsung mengambil dan menggunakan
dana tersebut untuk pelayanan kesehatan peserta.
Pertanggung jawaban dana awal tersebut berupa klaim pelayanan
RS/BKMM/BBKPM/BKPM/BP4/BKIM yang besarannya mengacu pada Jenis paket dan
tarif pelayanan kesehatan tahun 2008
Sebelum terbentuknya Pelaksana Verifikasi, klaim pertanggung jawaban dana awal
tersebut langsung dikirim ke Tim Pengelola JAMKESMAS Pusat, dengan menggunakan
format rekapitulasi klaim biaya mingguan untuk RJTL, IGD, ODC, dan RITL (form 1c
sampai dengan 4c), serta rekapitulas klaim biaya total (form 5) seperti terdapat dalam
lampiran IV.
Dana luncuran berikutnya dapat disalurkan bila dana luncuran awal telah
dipertanggungjawabkan.
Penerimaan klaim bagi RS Daerah, pertanggungjawaban, pengelolaan dan
pemanfaatannya diserahkan pada mekanisme Daerah. Khusus untuk RS Vertikal/
BKMM/BBKPM /BKPM/BP4/BKIM disesuaikan dengan peraturan yang berlaku.
Rumah Sakit dapat memanfaatkan dana tersebut sesuai kebutuhan dan ketentuan
masing-masing RS/BKMM/BBKPM/BKPM/BP4/BKIM antara lain: jasa medik/pelayanan,
jasa sarana, pemenuhan kebutuhan bahan medis habis pakai, dana operasional, pemeliharaan,
obat, darah dan kebutuhan administrasi pendukung lainnya. Khusus untuk belanja investasi
untuk Rumah Sakit daerah harus mendapat persetujuan Kepala Dinas Kesehatan Propinsi dan
untuk Rumah Sakit Vertikal persetujuan dari Dirjen Bina Yanmed.
Seluruh berkas dokumen pertanggung jawaban disimpan oleh RS, dan akan diaudit
kemudian oleh Aparat Pengawas Fungsional (APF).

RS/BKMM/BBKPM/BKPM/BP4/BKIM mengirimkan laporan realisasi klaim kepada


Tim Pengelola JAMKESMAS Kabupaten/Kota.
Tim Pengelola JAMKESMAS Kabupaten/Kota melakukan rekapitulasi realisasi klaim
dan mengirimkan ke Tim Pengelola Propinsi
Tim Pengelola JAMKESMAS Propinsi melakukan rekapitulasi realisasi klaim dan
mengirimkan ke Tim Pengelola JAMKESMAS Pusat

Pembayaran Dana Luncuran ke dua

Apabila telah terbentuk tenaga pelaksana verifikasi, maka akan dilakukan verifikasi dengan
mengacu pada Jenis paket dan tarif pelayanan kesehatan tahun 2008, dengan demikian
pembayaran dilakukan berdasarkan klaim RS yang sudah di verifikasi.
Rumah Sakit/BKMM/BBKPM/BKPM/BP4/BKIM mengajukan klaim (setiap minggu),
sedangkan verifikasinya dilakukan setiap hari oleh tenaga verifikasi
Rekapitulasi Klaim yang telah diverifikasi dikirimkan ke Tim Pengelola JAMKESMAS
Pusat yang ditanda tangani direktur Rumah Sakit dan diketahui oleh pelaksana Verifikasi
Terhadap Klaim tersebut dilakukan telaah dan otorisasi oleh Tim Pengelola Pusat untuk
selanjutnya dilakukan pembayaran melalui KPPN.
Dasar besaran klaim mengacu sampai dengan bulan Juni 2008 tetap mengacu pada jenis
paket dan tarif pelayanan kesehatan tahun 2008 dengan kewajiban Rumah
Sakit/BKMM/BBKPM/BKPM/BP4/BKIM mencantumkan diagnosa pada setiap klaim
dengan ditambahkan kode diagnosa, meskipun kode tersebut belum dijadikan dasar
pembayaran.
Apabila belum ada tenaga pelaksana verifikasi pengaturan penggunaannya seperti
luncuran tahap pertama

Periode klaim Juli-Desember 2008 dasar besaran klaim RS mengacu


pada Tarif Paket JAMKESMAS di RS tahun 2008 (INA-DRG) yang berlaku
efektif.

Terhitung bulan Juli 2008, dasar besaran klaim Rumah


Sakit/BKMM/BBKPM/BKPM/BP4/BKIM mengacu pada Tarif Paket Pelayanan
Kesehatan Masyarakat Miskin di Rumah Sakit Tahun 2008 (INA-DRG) sesuai dengan
kode dan diagnosa penyakit.

Penerimaan klaim bagi RS Daerah, pengelolaan dan pemanfaatannya diserahkan pada


mekanisme Daerah. Khusus untuk RS Vertikal/BKMM/BBKPM/BKPM/BP4/BKIM
disesuaikan dengan peraturan yang berlaku.
Rumah Sakit dapat memanfaatkan dana tersebut sesuai kebutuhan dan ketentuan
masing-masing RS antara lain: jasa medik/pelayanan, jasa sarana, pemenuhan kebutuhan
bahan medis habis pakai, dana operasional, pemeliharaan, obat, darah dan kebutuhan
administrasi pendukung lainnya. Khusus untuk belanja investasi bagi Rumah Sakit daerah
harus mendapat persetujuan Kepala Dinas Kesehatan Propinsi dan untuk Rumah Sakit
Vertikal harus mendapatkan persetujuan Dirjen Bina Yanmed, departemen kesehatan.
Seluruh berkas dokumen pertanggung jawaban disimpan oleh RS, dan akan diaudit
kemudian oleh Aparat Pengawas Fungsional (APF).
RS/BKMM/BBKPM/BKPM/BP4/BKIM mengirimkan laporan realisasi klaim kepada
Tim Pengelola JAMKESMAS Kabupaten/Kota.
Tim Pengelola JAMKESMAS Kabupaten/Kota melakukan rekapitulasi realisasi klaim
dan mengirimkan ke Tim Pengelola Propinsi
Tim Pengelola JAMKESMAS Propinsi melakukan rekapitulasi realisasi klaim dan
mengirimkan ke Tim Pengelola JAMKESMAS Pusat
Apabila pengajuan klaim oleh Rumah Sakit melebihi 30 hari kalendar sejak pasien pulang,
maka klaim tersebut tidak akan dibayarkan. Ketentuan ini diberlakukan efektif mulai
pelayanan pada bulan April 2008.
Kekurangan ataupun kelebihan pembayaran pada bulan Januari sampai dengan Maret 2008
akan diperhitungkan pada pembayaran berikutnya.
Klaim Paket Jamkesmas di rekapitulasi mingguan oleh
RS/BKMM/BBKPM/BKPM/BP4/BKIM dan di verifikasi oleh Pelaksana Verifikasi dan
diajukan oleh RS ke Depkes untuk pembayaran. Depkes membayar klaim paling lama 7
(tujuh) hari kalender setelah tanggal Berita Acara Verifikasi oleh Tim Pengelola Pusat.

D. VERIFIKASI
Verifikasi adalah kegiatan penilaian administrasi klaim yang diajukan PPK yang dilakukan
oleh Pelaksana Verifikasi dengan mengacu kepada standar penilaian klaim. Tujuan
dilaksanakannya verifikasi adalah diperolehnya hasil pelaksanaan program Jaminan
Pelayanan Kesehatan Masyarakat Miskin yang menerapkan prinsip kendali biaya dan kendali
mutu. Tiap-tiap RS/BKMM/BBKPM/BKPM/BP4/BKIM akan ditempatkan pelaksana
verifikasi yang jumlahnya diperhitungkan dari jumlah TT yang tersedia di

RS/BKMM/BBKPM/BKPM/BP4/BKIM dan beban kerja. Verifikasi Program Jaminan


Kesehatan Masyarakat meliputi: verifikasi administrasi kepesertaan, administrasi pelayanan
dan administrasi keuangan. Pelaksana Verifikasi dalam melaksanakan tugas sehari-hari di
RS/BKMM/BBKPM/BKPM/BP4/BKIM berdasarkan beban kerja di bawah koordinasi Tim
Pengelola JAMKESMAS Kabupaten/ Kota.
Pelaksana verifikasi ditetapkan oleh Kepala Dinas Kesehatan Propinsi atas nama Menteri
Kesehatan yang ditugaskan untuk melaksanakan penilaian administrasi klaim yang diajukan
PPK, dengan mengacu kepada standar penilaian klaim, dan memproses klaim sesuai dengan
hak dan tanggung jawabnya.

PROSES VERIFIKASI
Proses verifikasi dalam pelaksanaan JAMKESMAS, meliputi:

Pengecekan kebenaran dokumen identitas peserta program Jaminan


Kesehatan Masyarakat

Pengecekan adanya Surat Rujukan dari PPK dan Penerbitan SKP (Surat
Keabsahan Peserta), (1 dan 2) Oleh PT Askes.

Proses memastikan dikeluarkannya data entry rekapitulasi pengajuan


klaim oleh petugas RS sesuai dengan format pengajuan klaim

Pengecekan kebenaran penulisan paket/diagnosa, prosedur, No. Kode

Pengecekan kebenaran besar tarif sesuai paket/diagnosa, prosedur, No.


Kode

Pengiriman rekapitulasi pengajuan klaim yang di tanda tangani oleh


Direktur RS/BKMM/BBKPM/BKPM/BP4/BKIM ke TIM Pengelola JAMKESMAS
Pusat, tembusan Tim Pengelola JAMKESMAS Propinsi/Kabupaten/Kota

Mengirim laporan rekapitulasi dan realisasi pembayaran klaim


RS/BKMM /BBKPM/BKPM/BP4/BKIM ke Tim Pengelola Pusat, Propinsi,
Kabupaten/Kota

8. Komponen Organisasi
Pengorgannisasian dalam penyelenggaraan jamkesmas terdiri dariTim pengelola dan Tim
koordinasi di Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/kota, pelksana verifikasi di Pemberi Pelayanan
Kesehatan (PPk) serta PT.Askes (Persero) sebagai pengelola manajemen kepesertaan.
A. TIM PENGELOLA JAMKESMAS

Tim Pengelola Jamkesmas melaksanakan pengelolaan jaminan kesehatan bagi pe-serta


meliputi kegiatan-kegiatan manajemen kepesertaan, pelayanan, keuangan,perencanaan, SDM,
informasi, hukum dan organisasi serta telaah hasil verifikasi.
1. TIM PENGELOLA JAMKESMAS PUSAT

Tim Pengelola Jamkesmas ditetapkan dengan SK Menteri Kesehatan tentangTim Pengelola


Jamkesmas Pusat Tahun 2010. Keberadaan tim ini bersifat inter-nal lintas program
Kementerian Kesehatan. Menteri Kesehatan membentuk Tim Pengelola Jamkesmas Pusat
terdiri dari Pelindung, Pengarah, dan Pelaksana Teknis. Sebagai Pelindung adalah Menteri
Kesehatan sedangkan Pengarah terdiri daripara Pejabat Eselon I di bawah koordinasi
Sekretaris Jenderal KementerianKesehatan. Pelaksana Teknis terdiri dari Ketua, Wakil Ketua,
Sekretaris, Anggota yang ter-diri dari Pejabat Eselon I, II dan III terkait di Kementerian
Kesehatan dan Bidang-Bidang yang terdiri dari Bidang Administrasi Umum, Perencanaan,
SDM, Infor-masi dan Hukor, Bidang Kepesertaan, Bidang Pelayanan Kesehatan,
BidangKeuangan, dan Bidang Verifikasi.
Struktur Organisasi Tim Pengelola JAMKESMAS Pusat
I. Pelindung : Menteri Kesehatan RI
II. Pengarah : Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan dan para Pejabat Eselon I di
lingkungan Kementerian Kesehatan
III. Pelaksana Teknis :
Ketua : SAM Bidang Pembiayaan dan Pemberdayaan Masyarakat
Wakil Ketua : SAM Bidang Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan Desentralisasi
Sekretaris : Kepala Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan
Anggota : Pejabat Eselon II dan III terkait
Bidang-Bidang yang meliputi :
1. Bidang Administrasi Umum, Perencanaan, SDM, Informasi dan Hukor:

terdiri dari Penanggung Jawab, Ketua Bidang Administrasi Umum besertaanggota, Ketua
Bidang Perencanaan & Penganggaran beserta anggota,Ketua Bidang SDM beserta anggota,
Ketua Bidang Sistem Informasi Mana-jemen & EDP beserta anggota, Ketua Bidang Hukum
& Organisasi besertaanggota.
1. Bidang Kepesertaan:

2. terdiri dari Penanggung Jawab, Ketua Bidang Pen-dataan dan Registrasi


beserta anggota, Ketua Bidang Penanganan Keluhandan
Advokasi/Sosialisasi beserta anggota.
3. Bidang Pelayanan Kesehatan:
4. terdiri dari Penanggung Jawab, Ketua Bi-dang Pelayanan Kesehatan Dasar
beserta anggota, Ketua Bidang Pelayan-an Kesehatan Rujukan beserta
angsgota.
5. Bidang Keuangan:
6. terdiri dari Penanggung Jawab, Ketua Bidang Pertang-gungjawaban dan
Klaim beserta angggota, Ketua Bidang Pembayaran be-serta anggota.
7. Bidang Verifikasi:
8. terdiri dari Penanggung Jawab Verifikasi Umum, Pe-nanggung Jawab
Verifikasi Teknis, Ketua beserta anggota.

Tugas Tim Pengelola Pusat


Pengarah :
1. merumuskan dan menetapkan kebijakan operasional dan teknis,
pelaksanaanprogram Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) agar
sejalan denganUU Nomor 40 tahun 2004 tentang SJSN.
2. melakukan pengawasan dan pembinaan atas kebijakan yang telah ditetapkan.
3. melakukan sinkronisasi dan koordinasi terkait pengembangan kebijakan.
4. memberi masukan kepada Menteri Kesehatan terkait pelaksanaan
program Jamkesmas.

Pelaksana Teknis :
1. merumuskan dan melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan oleh
peng-arah.
2. menyusun pedoman teknis pelaksanaan, penataan sasaran, penataan sarana pelayanan kesehatan (pemberi pelayanan kesehatan).
3. menyusun dan mengusulkan norma, standar, prosedur dan kriteria
dalampenyelenggaraan Jamkesmas kepada pengarah.
4. melaksanakan pertemuan berkala dengan pihak terkait dalam rangka
koor dinasi, sinkronisasi dan evaluasi penyelenggaraan Jamkesmas.
5. Melaksanakan advokasi, sosialisasi, sinkronisasi penyelenggaraan Jamkesmas.

6. menyusun perencanaan, evaluasi, monitoring dan pengawasan seluruh


kegi-atan sesuai dengan kebijakan teknis dan operasional yang telah
ditetapkan.
7. melakukan telaah hasil verifikasi, otorisasi dan realisasi pembayaran
klaimdan mengusulkan kebutuhan anggaran pelayanan kesehatan.
8. membuat laporan hasil penyelenggaraan Jamkesmas kepada pengarah

Bidang

-Bidang :

1. memberikan masukan kepada Tim Pengelola (pengarah dan


pelaksana) terkait penyelenggaraan Jamkesmas.
2. menyiapkan dan menyusun pedoman pelaksanaan Jamkesmas sesuai dengan arah kebijakan pengarah dan rumusannya.
3. membantu kelancaran administrasi pelaksanaan tugas Tim Pengelola.
4. menyiapkan norma, standar, prosedur dan kriteria penyelenggaraan Jamkesmas.
5. menyiapkan dan menyusun bahan-bahan bimbingan teknis,
monitoring,evaluasi penyelenggaraan Jamkesmas.
6. membantu pengarah dan pelaksana dalam melakukan advokasi,
sosialisasi,monitoring dan evaluasi penyelenggaraan Jamkesmas.
7. melaksanakan pelatihan-pelatihan terkait penyiapan SDM dalam pelaksanaan Jamkesmas.
8. melakukan analisis aspek kendali biaya dan kendali mutu.
9. membuat laporan secara berkala kepada pengarah dan pelaksana.

2. TIM PENGELOLA JAMKESMAS PROVINSI


Tim pengelola Jamkesmas Provinsi bersifat internal lintas program di DinasKesehatan
Provinsi. Jamkesmas merupakan suatu sistem yang memadukansubsistem pelayanan
kesehatan dan subsistem pembiayaan kesehatan, karenaitu dalam pelaksanaannya sebaiknya
Tim Pengelola Jamkesmas Provinsi meli-batkan berbagai bidang/subdin terkait yang tidak
terlepas dari tugas pokok danfungsi dari masing-masing bidang atau subdin-subdin di Dinas
Kesehatan. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi membentuk Tim Pengelola JamkesmasProvinsi
terdiri dari 1 (satu) orang Ketua sebagai Penanggung Jawab yangdijabat oleh Kepala Dinas
Kesehatan Provinsi; 1 (satu) orang Sekretaris seba-gai koordinator operasional dijabat oleh
seorang Kasubdin/Kabag/Kabid yangmembidangi pembiayaan/jaminan kesehatan; 2 (dua)
orang staf koordinator,yaitu: 1 (satu) orang staf Penanggung Jawab yang membidangi

kepesertaan & pelayanan, dan (satu) orang staf Penanggung Jawab bidang Administrasi
&Keuangan. Stuktur tim ini bersifat minimal, apabila Dinas Kesehatan Provinsiingin
memperluas masih dimungkinkan sepanjang tersedia dana penunjanguntuk mendukung
aktifitas Tim Pengelola.
Tugas Tim Pengelola Provinsi :
1. melaksananakan kebijakan yang telah ditetapkan Tim Pengelola Jamkesmas Pusat.
2. bertanggung jawab dalam pengelolaan manajemen penyelenggaraan Jamkesmas secara keseluruhan di wilayah kerjanya.
3. mengkoordinasikan manajemen kepesertaan, pelayanan dan
administrasikeuangan dalam penyelenggaraan Jamkesmas.
4. Memfasilitasipermasalahan lintas batas.
5. bertindak atas nama Menteri Kesehatan melakukan rekruitmen dan menyampaikan usulan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian
tenagaverifikator independen yang bekerja di seluruh PPK jaringan yang
berada diprovinsinya atas usulan Tim Pengelola Jamkesmas
Kabupaten/Kota.
6. melakukan pembinaan, pengawasan dan pengendalian terhadap unitunitkerja yang terkait dalam penyelenggaraan Jamkesmas di wilayah
kerjanya.
7. memfasilitasi pertemuan secara berkala dengan Tim Koordinasi sesuai kebutuhan dalam rangka sinkronisasi, harmonisasi, evaluasi, dan penyelesaian masalah lintas sektor yang terkait dengan penyelenggaraan
Jamkesmasdi provinsi.
8. membuat laporan secara berkala atas pelaksanaan Jamkesmas di wilayahnya kepada Tim Pengelola Jamkesmas Pusat.
9. menangani penyelesaian keluhan dari para pihak.
10.meneruskan hasil rekruitmen PPK dari Dinkes Kabupaten/Kota ke Pusat.
11.memonitor pelaksanaan Perjanjian Kerjasama (PKS) antara Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan PPK yang menyelenggarakan Jamkesmas
diwilayah kerjanya.
12.melakukan pengawasan dan pemeliharaan terhadap inventaris barang
yangtelah diserahkan Kementerian Kesehatan untuk menunjang
pelaksanaanJamkesmas di daerahnya.
13.menyusun dan menyampaikan laporan atas semua hasil pelaksanaan
tugaspenyelenggaraan Jamkesmas kepada Tim Pengelola Jamkesmas
Pusat.

3. TIM PENGELOLA JAMKESMAS KABUPATEN/KOTA


Tim Pengelola Jamkesmas Kabupaten/Kota bersifat internal lintas program di Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota. Jamkesmas merupakan suatu sistem yang memadukan
subsistem pelayanan kesehatan dan subsistem pembiayaan ke-sehatan karena itu dalam
pelaksanaannya sebaiknya Tim pengelola JamkesmasKabupaten/Kota melibatkan berbagai
bidang/subdin terkait yang tidak terlepastugas pokok dan fungsi dari bidang atau subdinsubdin di Dinas Kesehatan. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota membentuk Tim
Pengelola Jamkes-mas Kabupaten/Kota. Tim Pengelola Jamkesmas Kabupaten/Kota terdiri
dari 1(satu) orang ketua sebagai penanggung jawab yang dijabat oleh Kepala DinasKesehatan
Kabupaten/Kota; 1 (satu) orang sekretaris sebagai koordinator ope-rasional orang dijabat oleh
salah seorang kasubdin/kasudit yang membidangipembiayaan/jaminanan kesehatan; 3 (tiga)
orang staf koordinator yang membi-dangi kepesertaan, pelayanan, administrasi dan keuangan.
Tugas Tim Pengelola Kab/Kota:
a) bertanggung Jawab mengelola manajemen penyelenggaraan Jamkesmassecara
keseluruhan diwilayah kerjanya.
b) melakukan rekruitmen dan menyampaikan usulan pengangkatan, pemindah-an dan
pemberhentian tenaga verifikator independen yang bekerja di selu-ruh PPK yang berada di
kabupaten/kota.
c) melakukan pembinaan, pengawasan dan pengendalian terhadap unit-unitkerja yang
terkait dalam penyelenggaraan Jamkesmas diwilayah kerjanya(termasuk pada sarana yankes
dasar di puskesmas dan jaringannya danPPK Lanjutan).
d) memfasilitasi pertemuan secara berkala dengan tim koordinasi sesuai kebu-tuhan dalam
rangka review, evaluasi, dan penyelesaian masalah lintas sek-tor yang terkait dengan
penyelenggaraan Jamkesmas di kabupaten/kota.
e) mengkoordinasikan manajemen kepesertaan, pelayanan dan administrasikeuangan dalam
penyelenggaraan Jamkesmas di kabupaten/kota.
f) membentuk tim rekruitmen tenaga verifikator independen serta melakukanpembinaan,
pengawasan dan pengendalian serta mobilisasi tenaga verifika-tor di PPK lanjutan.
g) menyusun dan menyampaikan laporan atas semua pelaksanaan tugas pe-nyelenggaraan
Jamkesmas kepada Tim Pengelola Jamkesmas Pusat mela-lui Dinas Kesehatan Provinsi
setempat.
h)
melakukan pengelolaan kepesertaan yang mencakup pencatatan dan up-dating data
kepesertaan di wilayah kerjanya.

i)
menangani penyelesaian keluhan yang belum dapat terselesaikan baik di PPK
maupun peserta.
j)

Menyiapkan bahan laporan penyelenggaraan Jamkesmas

k) memfasilitasi calon PPK baru, yang meliputi: penyiapan rekomendasi ber-dasarkan hasil
penilaian kelengkapan dokumen calon PPK tingkat lanjutyang baru. menyiapkan Perjanjian
Kerjasama (PKS) dengan PPK yang me-nyelenggarakan Jamkesmas di wilayah kerjanya.
l) Selaku Pembina verifikator independen melakukan pembinaaan dan penga-wasan
pelaksanaan kegiatan verifikator independen di daerahnya, termasukdidalamnya adalah
melakukan evaluasi kinerja terhadap kegiatan verifikatorindependen.
m) melakukan pengawasan dan pemeliharaan terhadap inventaris barang yangtelah
diserahkan Kementerian Kesehatan untuk menunjang pelaksanaanJamkesmas di daerahnya.

4. PT. ASKES (PERSERO)


PT. Askes (Persero) atas penugasan Menteri Kesehatan, melaksanakan mana-jemen
kepesertaan, yang didukung dengan jaringan kantor terdiri dari: 1. PT. Askes (Persero) 2. PT.
Askes (Persero) Regional 3. PT. Askes (Persero) Cabang dan Area Asisten Manajer (AAM)
Tugas PT. Askes (Persero):
a. melakukan penatalaksanaan kepesertaan dalam pelayanan kesehatan, me-liputi:
1)
verifikasi peserta Jamkesmas yang memanfaatkan pelayanan di PPKtingkat lanjut; bila
terjadi keraguan atas identitas yang diserahkan pe-serta, petugas PT. Askes (Persero)
berkewajiban mengecek kebenaran-nya.
2)
penerbitan Surat Keabsahan Peserta (SKP); kelalaian terhadap pener-bitan SKP
sepenuhnya menjadi tanggung jawab PT. Askes (Persero).
b. melakukan penatalaksanaan organisasi dan manajemen kepesertaan,meliputi:
1)
melakukan penanganan keluhan peserta terkait penugasan manajemenkepesertaan dan
rekapitulasi pelaporannya.
2)
melakukan telaah utilisasi kepesertaan atas akses pelayanan kesehatandi PPK tingkat
lanjut berdasarkan wilayah kab/kota/provinsi, jenis ke-lamin dan umur per PPK lanjutan
secara bulanan dan triwulanan.

3)
melakukan pelaporan hasil telaah utilisasi secara berjenjang ke Tim Pengelola
Jamkesmas Kabupaten /Kota, Provinsi, dan Pusat.
4)
melakukan koordinasi aktif dalam pelaporan telaah utilisasi dan pena-nganan
keluhan peserta dengan Tim Pengelola Jamkesmas Kabupaten/ Kota/Provinsi.
5)
melakukan pelaporan tahunan atas pelaksanaan tugasnya dalam mana-jemen
kepesertaan Jamkesmas yang mencakup rekapitulasi telaah utili-sasi kepesertaan, aspek
manajerial dan aspek akuntabilitas pencapaianprogram, kendala yang dihadapi dan saran
perbaikan.
6)
melakukan pelaporan tahunan atas pelaksanaan tugasnya dalam mana-jemen
kepesertaan Jamkesmas yang mencakup rekapitulasi telaah utili-sasi kepesertaan, aspek
manajerial dan aspek akuntabilitas pencapaianprogram, kendala yang dihadapi dan saran
perbaikan.

B. TIM KOORDINASI PROGRAM JAMKESMAS


Tim Koordinasi melaksanakan koordinasi penyelenggaraan Jamkesmas yang meli-batkan
lintas sektor dan stakeholder terkait dalam berbagai kegiatan seperti koordi-nasi, sinkronisasi,
pembinaan, pengendalian dan lain-lain.
1. TIM KOORDINASI JAMKESMAS PUSAT
Menteri Kesehatan membentuk Tim Koordinasi Jamkesmas Pusat terdiri dariPelindung dan
Pelaksana yang terdiri dari Ketua dan Anggota serta Sekretariat.Tim Koordinasi bersifat
lintas sektor terkait, diketuai oleh Sekretaris Kemente-rian Koordinator Bidang Kesejahteraan
Rakyat dengan anggota terdiri dari Pe-jabat Eselon I Kementerian terkait dan unsur lainnya.
Tugas Tim :
1. Menetapkan arah kebijakan koordinasi dan sinkronisasi Program
Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas).
2. Melakukan pembinaan, pengawasan dan evaluasi program.
3. Melaksanakan pertemuan berkala dalam rangka evaluasi kebijakan.
4. Mengindentifikasi permasalahan lintas program dan lintas sektor yang bersumber dari atau berkaitan dengan kebijakan program di tingkat pusat
sertamenyampaikan hasil penyelesaiannya kepada Tim Pengelola
JamkesmasPusat.
5. Melaporkan secara berkala perkembangan hasil keputusan dalam Tim
Koor-dinasi kepada Menteri Kesehatan.

2. TIM KOORDINASI PROVINSI


Gubernur membentuk Tim Koordinasi Program Jamkesmas Tingkat Provinsi ter-diri dari
Pelindung, Ketua dan Anggota serta Sekretariat. Tim koordinasi bersifatlintas sektor terkait
dalam pelaksanaan program Jamkesmas, diketuai oleh Sek-retaris Daerah Provinsi dengan
anggota terdiri dari Pejabat terkait.
Tugas :
1. Menetapkan arah kebijakan koordinasi dan sinkronisasi program
JaminanKesehatan Masyarakat di tingkat Provinsi dengan tetap mengacu
pada kebi-jakan pusat
2. Melakukan pembinaan dan pengendalian program Jamkesmas di provinsi.
3. Melaksanakan pertemuan dalam rangka review/evaluasi sesuai
kebutuhand.
4. Menyelesaikan permasalahan Jamkesmas yang menyangkut lintas sektor
di tingkat provinsi
5. Menggali sumber daya yang diperlukan dalam rangka meningkatkan
pelak-sanaan di daerahnya melalui advokasi ke DPRD, PEMDA, organisasi
ke-masyarakatan, swasta/dunia usaha lainnya.

Struktur Tim Koordinasi Jamkesmas Tingkat Provinsi berikut:


Pelindung :Gubernur
Ketua :Sekretaris Daerah
Anggota :Kadinkes Provinsi
: Asisten Kesra
: Direktur Rumah Sakit
: Ketua Komisi DPRD yang membidangi Kesehatan
: Kepala PT. Askes (Persero) Regional/ Cabang
Sekretariat
Ketua : Kasubdin/Kabid yang bertanggung jawab pada program Pem-biayaan dan Jaminan
Kesehatan

Staf Sekretariat : 2 orang

3. TIM KOORDINASI KABUPATEN/KOTA


Bupati/Walikota membentuk Tim Koordinasi Jamkesmas Tingkat Kabupaten/Kotaterdiri dari
Pelindung, Ketua dan Anggota serta Sekretariat. Tim koordinasi bersifatlintas sektor terkait
dalam pelaksanaan program Jamkesmas, diketuai oleh Sekre-taris Daerah Kabupaten atau
Kota dengan anggota terdiri dari Pejabat terkait.
Tugas :
1. Menetapkan arah kebijakan koordinasi dan sinkronisasi Program Jamkesmas Tingkat Kabupaten/Kota;
2. Melakukan pembinaan dan pengendalian Program Jamkesmas Tingkat Kabupaten/Kota;
3. Melaksanakan pertemuan review/evaluasi secara berkala sesuai kebutuhan;
4. Menyelesaikan permasalahan Jamkesmas yang menyangkut lintas sektor
di tingkat Kabupaten/Kota;
5. Menggali sumber daya yang diperlukan dalam rangka meningkatkan
pelak-sanaan di daerahnya melalui advokasi ke DPRD, PEMDA, organisasi
ke-masyarakatan, swasta/dunia usaha lainnya.

Struktur Tim Koordinasi Program Jamkesmas Tingkat Kabupten/Kota berikut :


Pelindung : Bupati/ Walikota Ketua :
Sekretaris Daerah Anggota : Kadinkes
Kabupaten/Kota
:Asisten Kesra
: Direktur Rumah Sakit
: Ketua Komisi DPRD yang membidangi Kesehatan
: Kepala PT. Askes (Persero) Cabang/ AAM
Sekretariat

Ketua : Kasubdin/kabid yang bertanggung jawab program Pembi-ayaan dan Jaminan


Kesehatan
Staf Sekretariat : 2 orang

C. PELAKSANA VERIFIKASI
Tenaga Pelaksana Verifikasi adalah tenaga yang memiliki pengetahuan dan ke-mampuan
dalam melakukan administrasi klaim meliputi aspek kepesertaan, pe-layanan kesehatan,
keuangan dan mampu melaksanakan tugasnya secara profes-sional serta telah mengikuti
pelatihan.
Prosedur rekrutmen dilakukan sesuai Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
160/ MENKES/SK/II/2009 tentang Pedoman Rekrutmen Tenaga Pelaksana VerifikasiDalam
Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat sebagaimanatelah diubah dengan
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1241/MENKES/SK/ XII/2009 tentang Perubahan Atas
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 160/MEN-KES/SK/II/2009 Tentang Pedoman
Rekrutmen Tenaga Pelaksana Verifikasi DalamPenyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan
Masyarakat. Adapun jumlah tenagapelaksana verifikasi 2010 masih mengacu pada jumlah
tenaga pelaksana verifikasiTahun 2009.
Lingkup-Kerja-Pelaksana-Verifikasi:
1. Melaksanakan verifikasi administrasi kepesertaan;
2. Melaksanakan verifikasi administrasi pelayanan;
3. Melaksanakan verifikasi administrasi keuangan.

Uraian Tugas:
1)

Memastikan kebenaran dokumen identitas peserta program Jamkesmas;

2)

Memastikan adanya Surat Rujukan dari PPK;

3)

Memastikan adanya dokumen Surat Keabsahan Peserta (SKP);

4)
4. Memastikan dikeluarkannya rekap pertanggungjawaban keuangan oleh petu-gas RS
sesuai dengan format paket yang ditetapkan;
5)

Memastikan kebenaran penulisan paket/diagnosa, prosedur, nomor kode;

6)

Memastikan kebenaran besar tarif sesuai paket/diagnosa, prosedur, nomorkode;

7)

Menyimpulkan kelayakan hasil verifikasi;

8)
Melakukan rekapitulasi laporan pertanggungjawaban dana PPK lanjutan yangsudah
layak bayar;
9)

Menandatangani rekapitulasi laporan pertanggungjawaban dana;

10) Memastikan Direktur RS/Kepala Balai Kesehatan menandatangani rekapitulasilaporan


pertanggungjawaban dana;
11) Membuat laporan hasil pekerjaan bulanannya kepada Tim Pengelola Kabu-paten/Kota,
termasuk absensi kehadiran.
9. Perbaikan Dalam Jamkesmas

Percepatan penyelesaian pendataan sasaran maskin

Percepatan pembayaran klaim Tim verifikasi independen

Pembayaran langsung ke rekening Pusk & RS

Pemberlakuan paket pelayanan JAMKESMAS di RS

Peningkatan peran Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam fungsi


pengelola, koordinasi serta pengawasan & pengendalian

10. Indikator Keberhasilan Jamkesmas


Input :

Ada Tim Koordinasi di tingkat Pusat/Prov/Kab/Kota

Adanya sekretariat Pengelola di tingkat Pusat/Prov/Kab/Kota

Ada Tim Verifikasi di semua RS

Ada Anggaran utk manajemen Operasional

Adanya APBD untuk maskin diluar yg ditetapkan Bupati/Walikota

Proses :

Adanya Database Kepesertaan 100% di Kab/Kota

Tercapainya Distribusi Kartu Peserta JAMKESMAS 100%

Tarif Paket Pelayanan JAMKESMAS

Klaim tepat waktu

Laporan tepat waktu

Output :

Peningkatan Cakupan Kepesertaan:

100% Kab/Kota memiliki database peserta


Distribusi Kartu 100%

Peningkatan cakupan & mutu pelayanan:

Kewajaran Tingkat Kunjungan RJTP & RITP

Kewajaran Tingkat Rujukan dr PPK I ke PPK II/III

Kewajaran Kunj RJTL

Kewajaran Kunj RITL

Ketepatan Mekanisme Pembayaran dg Penggunaan Tarif Paket JAMKESMAS di RS

Kecepatan Pembayaran Klaim & Limitasi:


Klaim diajukan setiap hari Jumat (setiap minggunya)

Pembayarn Klaim selambat-lambatnya 7 hari setelah Tgl Berita Acara Verifikasi di


Depkes
-

Peningkatan Transparansi & Akuntabilitas

11. Tugas PT ASKES


1. Tata laksana kepesertaan

membuat data base kepesertaan sesuai SK bupati/walikota

mendistribusikan database kepesertaan kepada puskemas, RS, dinkes kesehatan


propinsi/kab/kota

melakukan pencetakan blanko kartu, entry, penerbitan dan distribusi kartu (Rp
1000,-/kartu

melakukan advokasi kepada bupati/walikota untuk penetapan sasaran

analisis kepesertaan
1. Tatalaksana Pelayanan

Melakukan Pre Verifikasi kepesertaan

Melakukan telaah utilisasi (berdasarkan laporan) bulanan/triwulan


1. Tatalaksana Organisasi & Manajemen :

Melakukan penanganan keluhan

Melakukan pengolahan dan analisa data kepesertaan

Melakukan pelaporan meliputi: kepesertaan dan pemanfaatan pelayanan

12. Tata Laksana Pendanaan


Sumber Dana berasal dari APBN sektor Kesehatan Tahun Anggaran 2008 dan kontribusi
APBD.Pemerintah Daerah berkontribusi dalam menunjangdan melengkapi pembiayaan
pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin didaerah masing-masing. Adapun kontribusi
Pemda sebagai berikut:
1. Masyarakat miskin yang tidak masuk dalam pertanggungan
kepesertaanJamkesmas;
2. Selisih harga diluar jenis paket dan tarif pelayanan kesehatan tahun 2008;
3. Biaya transportasi rujukan dan rujukan balik pasien maskin dari
RSKabupaten/Kota ke RS yang dirujuk. Sedangkan biaya transportasi
rujukkan dari puskesmas ke RS/BKMM/BBKPM/BKPM/BP4/BKIM
ditanggungoleh biaya operasional Puskesmas;
4. Penanggungan biaya transportasi pendamping pasien rujukan;
5. Pendamping pasien rawat inap; dan
6. Menanggulangi kekurangan dana operasional Puskesmas.

Dana yang digunakan untuk penyelenggaraan Program Jamkesmas merupakan dana bantuan
sosial dimana dalam pembayaran kepada rumahsakit dalam bentuk paket, dengan
berdasarkan klaim yang diajukan. Khusus untuk BKMM/BBKPM/BKPM/BP4/BKIM
pembayaran paket disetarakan dengantarif paket pelayanan rawat jalan dan atau rawat inap
rumah sakit dan peserta tidak boleh dikenakan iuran biaya dengan alasan apapun.Dana
program dialokasikan untuk membiayai kegiatan pelayanan kesehatan dan manajemen
operasional Program Jamkesmas dengan rincian sebagai berikut :

1.Dana Pelayanan Kesehatan masyarakat miskin di Pemberi PelayananKesehatan (PPK); dan


2.Dana manajemen operasional.

13. Sumber dan Alokasi Dana Program


1. Sumber
Dana Pelayanan Jamkesmas bersumber dari APBN sektor Kesehatan dan APBD. Pemerintah
daerah melalui APBD berkontribusi dalam menunjang dan melengkapi pembiayaan
pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin dan tidak mampu di daerah masing- masing
meliputi antara lain:
1. Masyarakat miskin dan tidak mampu yang tidak masuk dalam
pertanggungan kepesertaan Jamkesmas.
2. Biaya transportasi rujukan dari rumah sakit yang merujuk ke pelayanan
kesehatan lanjutan serta biaya pemulangan pasien menjadi tanggung
jawab Pemda asal pasien.
3. Biaya transportasi petugas pendamping pasien yang dirujuk.
4. Dukungan biaya operasional manajemen Tim Koordinasi dan Tim Pengelola
Jamkesmas Provinsi/Kabupaten/Kota.
5. Biaya lain-lain di luar pelayanan kesehatan, sesuai dengan spesifik daerah
dapat dilakukan oleh daerahnya.

Adapun dana Operasional Manajemen Tim Pengelola di Provinsi bersumber dari APBN
melalui dana dekonsentrasi, sedangkan untuk Tim Pengelola Kabupaten/Kota bersumber dari
APBN melalui dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan.

2. Alokasi
Besaran alokasi dana pelayanan Jamkesmas di pelayanan dasar untuk setiap kabupaten/kota
dan pelayanan rujukan untuk rumah sakit/balkesmas ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan
(SK) Menteri Kesehatan.
LINGKUP PENDANAAN
Pendanaan Jamkesmas terdiri dari:
1. Dana Pelayanan Kesehatan

Adalah dana yang langsung diperuntukkan untuk pelayanan kesehatan di FASKES Tingkat
Pertama dan FASKES Tingkat Lanjutan. Dana Pelayanan Kesehatan bagi peserta Jamkesmas
meliputi seluruh pelayanan kesehatan di:
a. puskesmas dan jaringannya untuk pelayanan kesehatan dasar.
b. rumah sakit pemerintah/swasta termasuk RS khusus, TNI/POLRI, balkesmas untuk
pelayanan kesehatan rujukan.
2. Dana Operasional Manajemen
Adalah dana yang diperuntukkan untuk operasional manajemen Tim Pengelola dan Tim
Koordinasi Jamkesmas dan BOK Pusat/Provinsi/Kabupaten/Kota dalam menunjang program
Jamkesmas.
a. Operasional Manajemen Tim Pengelola dan Tim Koordinasi Jamkesmas dan BOK Pusat
Dana Operasional Manajemen Tim pengelola dan Tim Koordinasi Jamkesmas Pusat adalah
dana APBN yang dialokasikan melalui DIPA Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan,
Setjen Kementerian Kesehatan RI, dana tersebut dipergunakan untuk kegiatan-kegiatan
sebagai berikut:
1) Administrasi kepesertaan
2) Koordinasi Pelaksanaan dan Pembinaan program
3) Advokasi, Sosialisasi
4) Bimbingan Teknis
5) Pelatihan Petugas Coder dan Klaim RS, Verifikator Independen
6) Pertemuan evaluasi program Jamkesmas
7) Kajian dan survei
Pembayaran honor dan operasional
9) Perencanaan dan pengembangan program
10)Pengelolaan Pelaporan Pelaksanaan Jamkesmas
11)Pengembangan dan Pemantapan Sistem Informasi Manajemen (SIM) Jaminan Kesehatan
Masyarakat (Jamkesmas), Software Jamkesmas
12)Penanganan pengaduan masyarakat

b. Operasional Manajemen Tim Pengelola Jamkesmas dan BOK Provinsi/Kabupaten/Kota


Dana Operasional Manajemen Tim Pengelola dan Tim Koordinasi Provinsi/Kabupaten/Kota
adalah dana operasional yang bersumber dari APBN dan disediakan melalui dana
dekonsentrasi, tugas pembantuan (TP) dan kontribusi dana APBD, yang penggunaannya
untuk kegiatan-kegiatan antara lain:
1) Pembayaran honorarium tim pengelola Provinsi/Kabupaten/Kota
2) Operasional Tim Pengelola dan Tim Koordinasi Provinsi/Kabupaten/kota
3) Koordinasi Pelaksanaan, Konsultasi dan Pembinaan program
4) Sosialisasi program bagi stakeholder dan melalui media
5) Evaluasi program di Provinsi/Kabupaten/Kota
6)Pengelolaan Pelaporan Pelaksanaan Jamkesmas dan BOK di Provinsi/Kabupaten/Kota
PENYALURAN DANA
1. DANA PELAYANAN KESEHATAN
a. PUSKESMAS
1) Dana pelayanan kesehatan program Jamkesmas di puskesmas terintegrasi secara utuh
dengan dana jaminan persalinan dan disalurkan secara langsung dari rekening kas negara ke
rekening giro atas nama Dinas Kesehatan Kabupaten/kota.
2) Penyaluran dana ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dilakukan secara bertahap
berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementerian
Kesehatan yang mencantumkan, alokasi, rekening Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, dan
besaran dana yang diterima.
3) Pengaturan lebih rinci tentang penyaluran, pemanfaatan dan Apabila terjadi kekurangan
dana pelayanan kesehatan pada akhir tahun anggaran, akan diperhitungkan dan dibayarkan
pada tahun berikutnya. Sebaliknya bila terjadi kelebihan dana pelayanan kesehatan pada akhir
tahun anggaran, maka dana tersebut menjadi sumber dana pelayanan kesehatan tahun
berikutnya. Dana Jamkesmas yang disalurkan ke Rekening FASKES Lanjutan sebelum
dipertanggungjawabkan dengan mekanisme INA-CBGs belum menjadi pendapatan FASKES
Lanjutan, karena masih merupakan dana masyarakat (sasaran), jadi tidak dapat dicairkan
Bunga Bank/Jasa Giro yang terdapat pada Rekening FASKES Lanjutan dan dinas kesehatan
kabupaten/kota yang bersumber dari Dana Jamkesmas harus disetor ke Kas Negara melalui
KPPN setempat (contoh Fomat Setoran Bunga Bank/Jasa Giro ke kas Negara terlampir pada
Formulir

4) pertanggung jawaban dana di puskesmas dan jaringannya di atur lebih lanjut dalam
Petunjuk Teknis tersendiri melalui Peraturan Menteri Kesehatan yang merupakan satu
kesatuan yang tidak terpisahkan dari pedoman pelaksanaan Jamkesmas.
5) Pengaturan lebih rinci dana jaminan persalinan di FASKES tingkat pertama akan diatur
dalam Petunjuk Teknis tersendiri (Petunjuk Teknis Jaminan Persalinan).
b. RUMAH SAKIT/BALKESMAS
1)
Dana pelayanan kesehatan program Jamkesmas di FASKES Lanjutan terintegrasi secara
utuh dengan dana jaminan persalinan dan disalurkan secara langsung dari rekening kas
negara ke rekening FASKES lanjutan melalui Bank. Penyaluran dana dilakukan secara
bertahap.
2)
Penyaluran Dana Pelayanan ke FASKES Lanjutan berdasarkan Surat Keputusan
Menteri Kesehatan RI yang mencantumkan Nama FASKES Lanjutan, besaran dana yang
diterima.
3)
Perkiraan besaran dana yang disalurkan untuk pelayanan kesehatan dilakukan
berdasarkan perhitungan atas laporan pertanggung jawaban dana PPK Lanjutan.
4)
Pengaturan lebih rinci dana jaminan persalinan di FASKES lanjutan akan diatur dalam
Petunjuk Teknis tersendiri (Petunjuk Teknis Jaminan Persalinan).
2. DANA OPERASIONAL MANAJEMEN
Dana operasional manajemen yang bersumber dari APBN untuk mendukung pelaksanaan
penyelenggaraan Jamkesmas bagi Tim Pengelola Jamkesmas dan BOK di kabupaten/kota
penyalurannya mengikuti aturan dan ketentuan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
Pengelolaan Dana (Penerimaan, Pencairan/Pembayaran, Pemanfaatan, Dan
Pertanggungjawaban)
1. DINAS KESEHATAN KABUPATEN/KOTA
a. Dana Pelayanan Kesehatan
1) Penerimaan
Dalam persiapan awal Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota menunjuk dan menetapkan
salah satu anggota Tim Pengelola Jamkesmas dan BOK sebagai penanggung jawab yang akan
mengelola dana Jamkesmas dan Jampersal. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota segera
membuka rekening giro khusus untuk menerima dana Jamkesmas dan Jampersal.
Penanggung jawab keuangan mencatat semua penerimaan dana Jamkesmas yang telah
disalurkan dari Pusat.

2) Pembayaran
1. Tim Pengelola Jamkesmas dan BOK Kabupaten/Kota membuat
inventarisasi POA dan klaim yang diajukan oleh puskesmas serta rencana
pencairan dana pelayanan kesehatan.
2. Tim Pengelola Jamkesmas dan BOK Kabupaten/Kota melakukan telaah dan
verifikasi terhadap; (a) POA dan Klaim yang diajukan oleh puskesmas, (b)
Klaim yang diajukan faskes/tenaga kesehatan swasta.
3. Pembayaran atas klaim-klaim sebagaimana dimaksud pada butir a) dan b)
dilakukan berdasarkan hasil Verifikasi yang dilakukan Tim Pengelola
Jamkesmas & BOK Kabupaten/Kota.
4. Verifikasi klaim yang dilakukan Tim Pengelola Jamkesmas dan BOK
Kabupaten/Kota mencakup:
1. Kesesuaian realisasi pelayanan dan besaran tarif jampersal/tarif
perda yang digunakan disertai bukti pendukungnya.
2. Pengecekan klaim dari FASKES yang memberikan pelayanan
kesehatan bagi peserta Jamkesmas serta faskes/tenaga kesehatan
swasta yang memberikan pelayanan Jaminan Persalinan beserta
bukti pendukungnya.
3. Melakukan kunjungan ke lapangan untuk pengecekan kesesuaian
dengan kondisi sebenarnya bila diperlukan.
4. Memberikan rekomendasi dan laporan pertanggungjawaban atas
klaim-klaim tersebut kepada Kepala Dinas Kesehatan setiap bulan
yang akan dijadikan laporan pertanggungjawaban keuangan ke
Pusat.

3) Pertanggungjawaban
1. Penanggung jawab keuangan sebagai pengelola keuangan yang ditunjuk
harus memiliki buku catatan kas keluar/masuk untuk mencatat setiap
uang masuk dan keluar dari kas yang terpisah dengan sumber
pembiayaan yang lain, dan pembukuan terbuka bagi pengawas intern
(Inspektorat Jenderal Kemkes dan BPKP) maupun ekstern (BPK) setelah
memperoleh izin Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
2. Seluruh berkas dan bukti-bukti:

1. Kwitansi pembayaran klaim dana pelayanan Jamkesmas ke


puskesmas.
2. POA dan Klaim pelayanan Jamkesmas beserta bukti pendukung dari
puskesmas.
3. Klaim pelayanan persalinan dari faskes/tenaga kesehatan swasta.
Disimpan di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota sebagai dokumen
pertanggung jawaban yang akan diaudit kemudian oleh Aparat
Pengawas Fungsional (APF).
4. Tim Pengelola Jamkesmas dan BOK Kabupaten/Kota membuat dan
mengirimkan Laporan Rekapitulasi Realisasi Penggunaan

Dana pelayanan Jamkesmas dan Jampersal yang telah dibayarkan ke puskesmas dan
FASKES/Tenaga Kesehatan swasta (Format Terlampir dalam Formulir 5).
b. Dana Operasional Manajemen
Pengelolaan dana operasional manajemen oleh Tim Pengelola Jamkesmas dan BOK
kabupaten/kota mengikuti sesuai ketentuan yang APBN yang berlaku.
2. PUSKESMAS
a. Pencairan/Pembayaran
1) Puskesmas membuat Plan Of Action (POA) sebagai acuan rencana kerja puskesmas dan
jaringannya dalam pemberian pelayanan kesehatan perorangan peserta Jamkesmas baik di
dalam maupun di luar gedung. POA tersebut telah dibahas dan disepakati sebelumnya melalui
forum lokakarya mini puskesmas. POA dibuat secara terpadu untuk ketiga kegiatan
(Jamkesmas, Jampersal dan BOK, Contoh Form Terlampir pada Formulir 6) dan pengusulan
POA tersebut dapat dilakukan perbulanan. Pencairan dana dapat dilakukan perbulanan,
perdua bulanan atau pertiga bulanan disesuaikan kebijakan kepala Dinas Kesehatan setempat
dengan mempertimbangkan letak geografis dan kesulitan-kesulitan puskesmas.
2) Pencairan dan pembayaran biaya pelayanan kesehatan yang telah
dikeluarkan didasarkan pada:
1. POA dan Klaim dari puskesmas
2. Klaim dari Faskes/tenaga kesehatan swasta

b. Pemanfaatan
1. Pemanfaatan dana Jamkesmas di puskesmas dan jaringannya dapat
digunakan untuk membayar:

a. Pelayanan Rawat Jalan tingkat primer


b. Pelayanan Rawat Inap
c. Pertolongan persalinan
d. Pelayanan Spesialistik
e. Transport rujukan (untuk pasien Jampersal transport rujukan dari Faskes tingkat pertama ke
tingkat lanjutan menggunakan dana BOK)
1. Dana Jamkesmas di puskesmas dan jaringannya tidak dapat dimanfaatkan
untuk operasional Pelayanan Kesehatan Luar Gedung karena akan didanai
dari dana Bantuan Operasional Kesehatan (BOK).
2. Biaya pelayanan kesehatan di puskesmas mengacu pada Perda Tarif yang
berlaku di daerah tersebut. Apabila dalam Perda Tarif tersebut tidak
mengatur tentang tarif atas jenis pelayanan yang diberikan maka dapat
dibuatkan Surat Keputusan Bupati/Walikota berdasarkan usulan Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Khusus untuk pelayanan dalam
Jampersal menggunakan tarif yang ditetapkan dalam Juknis Jampersal.
3. Dana yang telah menjadi pendapatan puskesmas pembagiannya dapat
diatur oleh Bupati atau Walikota melalui usulan kepala Dinas Kesehatan
setempat disesuaikan dengan pengaturan yang telah atau akan
diberlakukan di daerah tersebut. Pengaturan tersebut dapat dilakukan
melalui beberapa pilihan sebagai berikut:

a) Pilihan pertama:
Pendapatan puskemas tersebut masih bersifat bruto dan dapat langsung dibayarkan untuk jasa
pelayanan kesehatan dan sisanya (setelah dibayarkan jasa pelayanan) dapat disetorkan ke
Kantor Kas daerah sebagai pendapatan netto (setelah dipotong Jasa pelayanan). Pendapatan
bruto dan bersih (netto) keduanya dilaporkan secara utuh kepada kantor kas daerah untuk
dicatat. Sisa dana pada rekening dinas kesehatan kabupaten/kota yang tidak digunakan
dan/atau tidak tersalurkan sampai dengan akhir tahun anggaran harus disetor ke kas negara
(Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-21/PB/2011 tentang Petunjuk
Pencairan Dana Jaminan Kesehatan Masyarakat, terlampir)
b) Pilihan kedua :
Pendapatan puskesmas tersebut seluruhnya dilaporkan kepada kantor kas daerah (tidak secara
fisik) untuk dicatat dan dana tersebut dapat digunakan langsung untuk pembayaran jasa
pelayanan kesehatan dan keperluan kegiatan-kegiatan lainnya.
c) Pilihan ketiga :

Dana hasil pendapatan puskesmas tersebut disetorkan dan tercatat di kantor kas daerah
sebagai pendapatan puskesmas, tetapi dalam waktu paling lambat 1 (satu) bulan dana tersebut
dikembalikan untuk membayar jasa pelayanan kesehatan dan kegiatan lainnya.
d) Jasa pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud huruf (a),(b), dan (c), dibayarkan
sebesar minimal 50% dari pendapatan pelayanan kesehatan dasar program Jamkesmas dan
minimal 75% untuk jasa tenaga kesehatan penolong persalinan.
5) Pengaturan sebagaimana dimaksud pada angka empat (4) diatur melalui peraturan
Bupati/Walikota atas usul Kepala Dinas Kesehatan yang didasari atas surat keputusan
Menteri Kesehatan tentang Petunjuk teknis pelaksanaan ini.
6) Dana yang telah menjadi pendapatan fasilitas kesehatan swasta (yang bekerjasama)
sepenuhnya menjadi pendapatan fasilitas tersebut, termasuk Bidan Praktik, Dokter Praktik,
Klinik Bersalin, dan sebagainya.
c. Pertanggungjawaban
1. Pertanggungjawaban dana Jamkesmas yang diterima puskesmas untuk
pelayanan kesehatan dasar dan jaminan persalinan oleh Faskes/Tenaga
Kesehatan Swasta menggunakan mekanisme klaim (Format terlampir
pada Formulir 7 dan Formulir
2. Pengaturan lebih rinci tentang pengelolaan dana Jamkesmas di pelayanan
dasar akan diatur dalam Petunjuk Teknis tersendiri.

3. RUMAH SAKIT/BALKESMAS
a. Pertanggungjawaban
1)
FASKES Lanjutan membuat pertanggungjawaban Dana pelayanan kesehatan dengan
menggunakan Software INA-CBGs. Tarif balkesmas dalam implementasi INA-CBGs
disetarakan dengan RS kelas C/D dan RS yang belum mempunyai penetapan kelas ditetapkan
setara dengan kelas C/D. Pada RS khusus yang melayani pelayanan kesehatan umum, maka
diberlakukan dua tarif INA-CBGs sesuai dengan penetapan kelas oleh Direktur Jendaral
Bina Upaya Kesehatan
2)
Selanjutnya pertanggungjawaban tersebut akan diverifikasi oleh Verifikator Independen
dengan menggunakan Software verifikasi Klaim Jamkesmas.
3)
Setelah verifikasi dinyatakan layak oleh Verifikator Independen, selanjutnya
pertanggungjawaban tersebut ditandatangani oleh Direktur Rumah Sakit/Kepala Balai
Kesehatan Masyarakat dan Verifikator Independen.

4)
Pertanggungjawaban dana Jamkesmas di FASKES lanjutan menjadi sah setelah
mendapat persetujuan dan ditandatangani Direktur/Kepala PPK lanjutan dan Verifikator
Independen.
5)
Selanjutnya PPK lanjutan mengirimkan secara resmi laporan pertanggungjawaban dana
Jamkesmas dalam bentuk hard copy yaitu form 1C, 2C, 3, dan koreksi (Formulir 9 ) serta soft
copy dalam satu CD yang memuat (1) file txt INA-CBGs; (2) file txt administrasi klaim; (3)
Raw data VI kepada Tim Pengelola Jamkesmas Pusat dan tembusan kepada Tim Pengelola
Jamkesmas Kabupaten/kota dan Provinsi berupa hardcopy form 3 sebagai bahan monitoring,
evaluasi dan pelaporan.
6)
Pertanggungjawaban dana yang diterima oleh Tim Pengelola Jamkesmas Pusat akan
dilakukan telaah dan selanjutnya diberikan umpan balik sebagai upaya pembinaan.
7)
Pelaporan pertanggungjawaban dana disertai dengan hasil kinerja atas pelayanan
kesehatan di PPK lanjutan meliputi kunjungan Rawat Jalan Tingkat Lanjutan (RJTL),
kunjungan kasus Rawat Inap Tingkat Lanjutan (RITL), disertai dengan karakteristik pasien,
sepuluh penyakit terbanyak dan sepuluh penyakit dengan biaya termahal.
Pertanggungjawaban dana Jamkesmas untuk Rumah Sakit khusus jiwa menggunakan
ketentuan sebagai berikut:
- Termin 1 hari 1 hari 35 = Tarif INA-CBGs
- Termin 2 hari 36 hari 103 = Rp. 90.000,- Termin 3 hari 104 hari 180 = Rp. 45.000,Sedangkan untuk Rumah Sakit khusus kusta menggunakan ketentuan:
- Termin 1 hari 1 hari 35 = Tarif INA-CBGs
- Termin 2 hari 36 hari 103 = Rp. 50.000,- Termin 3 hari 104 hari 180 = Rp. 25.000, 34 b. Pencairan Dan Pemanfaatan
1)
Dengan telah ditandatanganinya pertanggungjawaban dana oleh Direktur FASKES
Lanjutan/Kepala Balai dan Verifikator Independen, maka FASKES Lanjutan sudah dapat
mencairkan dana pelayanan kesehatan tersebut dengan batas pencairan sejumlah dana yang
dipertanggungjawabkan.
2)
Dana yang sudah dicairkan, bagi RS Daerah yang belum berstatus BLUD, pengelolaan
dan pemanfaatannya diserahkan kepada mekanisme daerah. Apabila terjadi selisih positif
(surplus) yang disebabkan tarif perda setempat lebih rendah dari pendapatan klaim

Jamkesmas maka pengaturan selisih dana yang ada diatur oleh kebijakan daerah seperti SK
Gubernur/Bupati/Walikota. Untuk RS Daerah dan Vertikal yang berstatus BLU/BLUD,
mengikuti ketentuan BLU/BLUD. Dan untuk RS Swasta mengikuti ketentuan yang berlaku di
RS tersebut.
3)
Pemanfaatan atas dana luncuran yang telah menjadi hasil kinerja pelayanan kesehatan
sebagai penerimaan/pendapatan atas klaim pelayanan, dapat digunakan sesuai kebutuhan dan
ketentuan masing-masing, antara lain jasa medis/jasa pelayanan, jasa sarana, pemenuhan
kebutuhan bahan medis habis pakai, dana operasional, pemeliharaan, obat, darah dan
administrasi pendukung lainnya. Khusus untuk belanja investasi; misalnya untuk rehabilitasi
atau pembangunan dan perluasan gedung, harus mendapat persetujuan kepala Dinas
Kesehatan Provinsi bagi RS Daerah dan persetujuan dari Ditjen Bina Upaya Kesehatan untuk
RS Vertikal.
4)
Seluruh berkas dokumen pertanggungjawaban dana disimpan oleh RS, dan akan diaudit
kemudian oleh Aparat Pengawas Fungsional (APF).
Dana program dialokasikan untuk membiayai kegiatan pelayanan kesehatan dan manajemen
operasional program JAMKESMAS dengan rincian sebagai berikut :
1. Dana Pelayanan Kesehatan masyarakat miskin di:
a. Puskesmas dan jaringannya,
b. Rumah Sakit,
c. Rumah Sakit Khusus
d. Balai Kesehatan Mata Masyarakat (BKMM),
e. Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM),
f. Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM),
g. Balai Pengobatan Penyakit Paru (BP4),
h. Balai Kesehatan Indra Masyarakat (BKIM).
2. Dana manajemen operasional:
a. Administrasi kepesertaan,
b. Koordinasi Pelaksanaan dan Pembinaan program,
c. Advokasi, Sosialisasi,

d. Rekruitmen dan Pelatihan,


e. Monitoring dan Evaluasi Kabupaten/Kota, Propinsi dan Pusat,
f. Kajian dan survey,
g. Pembayaran honor, investasi dan operasional,
h. Perencanaan dan pengembangan program,
i. SIM Jaminan Kesehatan Masyarakat (JAMKESMAS).

14. Ketentuan Umum


Peserta Program JAMKESMAS adalah setiap orang miskin dan tidak mampu selanjutnya
disebut peserta JAMKESMAS, yang terdaftar dan memiliki kartu dan berhak mendapatkan
pelayanan kesehatan. Jumlah sasaran peserta Program JAMKESMAS tahun 2008 sebesar
19,1 juta Rumah Tangga Miskin (RTM) atau sekitar 76,4 juta jiwa bersumber dari data Badan
Pusat Statistik(BPS) tahun 2006 yang dijadikan dasar penetapan jumlah sasaran peserta
secara Nasional oleh Menteri Kesehatan RI (Menkes). Berdasarkan Jumlah Sasaran Nasional
tersebut Menkes membagi alokasi sasaran kuota Kabupaten/Kota.Jumlah sasaran peserta
(kuota) masing-masing Kabupaten/Kota sebagai mana terlampir. Berdasarkan Kuota
Kabupaten/kota sebagaimana butir 2 diatas, Bupati/Walikota menetapkan peserta
JAMKESMAS Kabupaten/Kota dalam satuan jiwa berisi nomor, nama dan alamat peserta
dalam bentuk Keputusan Bupati/Walikota. Apabila jumlah peserta JAMKESMAS yang
ditetapkan Bupati/Walikota melebihi dari jumlah kuota yang telah ditentukan, maka menjadi
tanggung jawab Pemda setempat. Bagi Kabupaten/kota yang telah menetapkan peserta
JAMKESMAS lengkap dengan nama dan alamat peserta serta jumlah peserta JAMKESMAS
yang sesuai dengan kuota, segera dikirim daftar tersebut dalam bentuk dokumen elektronik
(soft copy) dan dokumen cetak (hard copy) kepada :
a. PT Askes (Persero) setempat untuk segera diterbitkan dan di distribusikan kartu ke peserta,
sebagai bahan analisis dan pelaporan.
b. Rumah sakit setempat untuk digunakan sebagai data peserta JAMKESMAS yang dapat
dilayani di Rumah Sakit, bahan pembinaan, monitoring dan evaluasi, pelaporan dan sekaligus
sebagai bahan analisis.
c. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau Tim Pengelola JAMKESMAS Kabupaten/Kota
setempat sebagai bahan pembinaan, monitoring dan evaluasi, pelaporan dan bahan analisis.

d. Dinas Kesehatan Propinsi atau Tim Pengelola JAMKESMAS Propinsi setempat sebagai
bahan kompilasi kepesertaan, pembinaan, monitoring, evaluasi, analisis, pelaporan serta
pengawasan.
e. Departemen Kesehatan RI, sebagai database kepesertaan nasional, bahan dasar verifikasi
Tim Pengelola Pusat, pembayaran klaim Rumah Sakit, pembinaan, monitoring, evaluasi,
analisis, pelaporan serta pengawasan.
Bagi Pemerintah Kabupaten/Kota yang telah menetapkan jumlah dan nama masyarakat
miskin (no, nama dan alamat), selama proses penerbitan distribusikartu belum selesai, kartu
peserta lama atau Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) masih berlaku sepanjang yang
bersangkutan ada dalam daftar masyarakat miskin yang ditetapkan oleh Bupati/Walikota.
Bagi Pemerintah Kabupaten/Kota yang belum menetapkan jumlah, nama dan alamat
masyarakat miskin secara lengkap diberikan waktu sampai dengan akhir Juni 2008.
Sementara menunggu surat keputusan tersebut sampai dengan penerbitan dan pendistribusian
kartu peserta, maka kartu peserta lama atau SKTM masih diberlakukan. Apabila sampai batas
waktu tersebut pemerintah Kabupaten/Kota belum dapat menetapkan sasaran masyarakat
miskinnya, maka terhitung 1 Juli 2008 pembiayaan pelayanan kesehatan masyarakat miskin
di wilayah tersebut menjadi tanggung jawab pemerintah daerah setempat. Pada tahun 2008
dilakukan penerbitan kartu peserta JAMKESMAS baru yang pencetakan blanko, entry data,
penerbitan dan distribusi kartu sampai ke peserta menjadi tanggung jawab PT Askes
(Persero). Setelah peserta menerima kartu baru maka kartu lama yang diterbitkan sebelum
tahun 2008, dinyatakan tidak berlaku lagi meskipun tidak dilakukan penarikan kartu dari
peserta. Bagi masyarakat miskin yang tidak mempunyai kartu identitas seperti gelandangan,
pengemis, anak terlantar, yang karena sesuatu hal tidak terdaftar dalam Surat Keputusan
Bupati/walikota, akan dikoordinasikan oleh PT Askes (Persero) dengan Dinas Sosial
setempat untuk diberikan kartunya. Bagi bayi yang terlahir dari keluarga peserta
JAMKESMAS langsung menjadi peserta baru.

15. Dasar Hukum


Program Jamkesmas dilaksanakan sebagai amanat Pasal 28 H ayat (1)UUD Negara RI Tahun
1945, yang menyatakan bahwa Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan. Selain itu berdasarkan Pasal 34 ayat (3) UUD Negara RI
Tahun1945 dinyatakan bahwa Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas
pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
5 Dasar hukum penyelenggaraan program Jamkesmas adalah:
UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan;
UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional;

UU No. 45 Tahun 2007 tentang APBN Tahun 2008;.


UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;
UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara

16. Kepesertaan Jamkesmas


Peserta Program Jamkesmas adalah setiap orang miskin dan tidakmampu yang terdaftar dan
memiliki kartu dan berhak mendapatkan pelayanankesehatan. Jumlah sasaran peserta sebesar
19,1 juta Rumah Tangga Miskin(RTM) atau sekitar 76,4 juta jiwa. Jumlah tersebut
berdasarkan data BadanPusat Statistik (BPS) tahun 2006, yang dijadikan dasar penetapan
jumlahsasaran peserta secara nasional oleh Menkes. Berdasarkan Jumlah SasaranNasional
tersebut Menkes membagi alokasi sasaran kuota Kabupaten/Kota.Bupati/Walikota wajib
menetapkan peserta Jamkesmas Kabupaten/Kota dalamsatuan jiwa berisi nomor, nama dan
alamat peserta dalam bentuk KeputusanBupati/Walikota.Administrasi kepesertaan
Jamkesmas meliputi: registrasi, penerbitandan pendistribusian kartu kepada peserta. Untuk
administrasi kepesertaan
Depkes menunjuk PT Askes (Persero), dengan kewajiban melakukan langkah-langkah
sebagai berikut:
1. 1.
Data peserta yang telah ditetapkan Pemda, kemudian dilakukan
entry olehPT Askes (Persero) untuk menjadi database kepesertaan
diKabupaten/Kota;
2. Entry data setiap peserta;
3. Berdasarkan database tersebut kemudian kartu diterbitkan
dandidistribusikan kepada peserta;
4. PT Askes (Persero) menyerahkan kartu peserta kepada yang
berhak,mengacu kepada penetapan Bupati/Walikota dengan tanda terima
yangditanda tangani/cap jempol peserta atau anggota keluarga peserta;
dan
5. PT Askes (Persero) melaporkan hasil pendistribusian kartu peserta
kepadaBupati/Walikota, Gubernur, Depkes, Dinas Kesehatan (Dinkes)
Provinsi danKabupaten/Kota serta rumah sakit setempat.

17. Kebijakan Umum Jamkesmas


Sasaran jamkesmas diperuntukan bagi seluruh masyarakat miskin tidak mampu, dengan
demikian seluruh anggota PKH (Program Keluarga Harapan) masuk dalam jamkesmas

Kebijakan jamkesmas 2011 dikembangkan jaminan persalinan bagi semua


kehamilan/persalinan (yang belum memiliki jaminan persalinan), dengan demikian seluruh
ibu dari anggota PKH ditanggung persalinanya (paket lengkap ANC 4x, persalinan dan PNC
3x, dan pelayanan KB)
Untuk membantu kelancaran operasional puskesmas dikeluarkan kebijakan bantuan
operasional kesehatan (BOK)
Jaminan persalinan lanjutan (tidak dapat ditangani dipelayanan dasar), dirujuk di rumah
sakit dan menjadi satu kesatuan dengan pelaksanaan jamkesmas di RS yang sudah berjalan
selama ini
Penerima dana untuk jamkesmas yankesdas, jaminan persalinan dan BOK dilokuskan
di kabupaten/kota, tidak diluncurkan ke puskesmas
-

Jamkesmas di Yankesdas dikelola oleh TIM pengelola kabupaten/kota

18. Kriteria Pencapaian


Seluruh Peserta Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dapat memperoleh pelayanan
kesehatan sesuai dengan Pedoman Pelaksanaan Jamkesmas Tahun 2009.
A. Ketentuan Umum
1)
Setiap peserta JAMKESMAS mempunyai hak mendapat pelayanan kesehatan
dasarmeliputi: pelayanan kesehatan rawat jalan tingkat pertama (RJTP) dan rawat inap
tingkat pertama (RITP), pelayanan kesehatan rawat jalan tingkat lanjutan (RJTL), rawat inap
tingkat lanjutan (RITL) dan pelayanan gawat darurat.
2)
Manfaat jaminan yang diberikan kepada peserta dalam bentuk pelayanan kesehatan
yang bersifat menyeluruh (komprehensif) berdasarkan kebutuhan medik sesuai dengan
standar pelayanan medik, bukan berupa uang tunai.
3)
Pelayanan kesehatan dalam program ini menerapkan pelayanan terstruktur dan
pelayanan berjenjang berdasarkan rujukan.
4)
Pelayanan kesehatan dasar (rawat jalan tingkat pertama dan rawat inap tingkat pertama)
diberikan di Puskesmas dan jaringannya. Khusus untuk persalinan normal dapat juga dilayani
oleh tenaga kesehatan yang berkompeten (praktek dokter dan bidan swasta) dan biayanya
diklaimkan ke Puskesmas setempat.
5)
Pelayanan tingkat lanjut (rawat jalan dan rawat inap) berdasarkan rujukan, diberikan di
PPK Jaringan JAMKESMAS (BKMM/BBKPM/BKPM/BP4/BKIM, Rumah Sakit
pemerintah termasuk RS Khusus, RS TNI/Polri dan RS Swasta). Pelayanan Rawat Inap
diberikan di ruang rawat inap kelas III (tiga).

6)
Pada RS khusus yang juga melayani pasien umum, penetapan kelasnya akan ditentukan
kemudian berdasarkan surat edaran.
7)
Pada keadaan gawat darurat (emergency) seluruh Pemberi Pelayanan Kesehatan wajib
memberikan pelayanan penanganan pertama keadaan gawat darurat kepada peserta
JAMKESMAS walaupun tidak sebagai PPK jaringan JAMKESMAS sebagai bagian dari
fungsi sosial PPK. Selanjutnya PPK tersebut segera merujuk ke PPK jaringan PPK
JAMKESMAS untuk penanganan lebih lanjut.
8)
Untuk mendapat pelayanan, status kepesertaan harus ditetapkan sejak awal dgn
merujuk pada kartu peserta ataupun database kepesertaan (bagipeserta yang terdapat dalam
SK Bupati/Walikota) ataupun surat keterangan/rekomendasi dari Dinas Sosial bagi
gelandangan pengemis,anak dan orang terlantar serta kartu PKH bagi peserta PKH yang
belum mempunyai kartu JAMKESMAS.
9)
Pemberian pelayanan kepada peserta oleh PPK harus dilakukan secara efisien dan
efektif, dengan menerapkan prinsip kendali biaya dan kendali mutu.

19. Prosedur Pelayanan


1. Pelayanan Kesehatan Dasar Untuk mendapatkan pelayanan kesehatan
dasar di Puskesmas dan jaringannya, peserta harus menunjukkan kartu
JAMKESMAS atau surat keterangan/rekomendasi Dinas Sosial setempat
(bagi gelandangan, pengemis, anak dan orang terlantar) atau kartu PKH
bagi peserta PKH yang belum memiliki kartu JAMKESMAS. (Mekanisme
pelayanan kesehatan dasar lebih lanjut diatur dalam juknis tersendiri)
2. Pelayanan Tingkat Lanjut
1. Peserta JAMKESMAS yang memerlukan pelayanan kesehatan tingkat
lanjut (RJTL dan RITL), dirujuk dari Puskesmas dan jaringannya ke
fasilitas pelayanan kesehatan tingkat lanjut disertai kartu peserta
JAMKESMAS atau surat/kartu lainnya sebagaimana dimaksud pada
butir 1(satu) dan surat rujukan yang ditunjukkan sejak awal
sebelum mendapatkan pelayanan kesehatan. Pada kasus
emergency tidak memerlukan surat rujukan.
2. Kartu peserta JAMKESMAS atau surat/kartu lainnya sebagaimana
dimaksud pada butir 1 (satu) diatas dan surat rujukan dari
Puskesmas dibawa ke loket Pusat Pelayanan Administrasi Terpadu
Rumah Sakit (PPATRS) untuk diverifikasi kebenaran dan
kelengkapannya untuk selanjutnya dikeluarkan Surat Keabsahan
Peserta (SKP), dan peserta selanjutnya memperoleh pelayanan
kesehatan.

3. Bayi-bayi yang terlahir dari keluarga peserta JAMKESMAS secara


otomatis menjadi peserta dengan merujuk pada kartu orang tuanya.
Bila bayi memerlukan
4. pelayanan dapat langsung diberikan dengan menggunakan
identitas kepesertaan orang tuanya dan dilampirkan surat kenal
lahir dan kartu Keluarga orang tuanya. Pelayanan persalinan normal
dibayarkan secara paket baikibu maupun bayinya, akan tetapi
apabila bayi mempunyai kelainan dan memerlukan pelayanan
khusus dapat diklaimkan terpisah sesuai diagnosanya.
5. Bagi gelandangan, pengemis, anak dan orang terlantar dapat
mengakse pelayanan walaupun tanpa kepemilikan kartu
JAMKESMAS dengan menunjukan surat keterangan/rekomendasi dari
Dinas Sosial setempat yang menerangkan bahwa yang
bersangkutan warga terlantar dan tidak mampu.
6. Pelayanan tingkat lanjut sebagaimana diatas meliputi :

Pelayanan rawat jalan lanjutan (spesialistik) di Rumah Sakit, BKMM/ BBKPM


/BKPM/BP4/BKIM.
Pelayanan lanjutan yang dilakukan pada BKMM/ BBKPM /BKPM/BP4/BKIM
bersifat pasif (dalam gedung) sebagai PPK penerima rujukan
Pelayanan Rawat Inap kelas III di Rumah Sakit dan tidak diperkenankan pindah kelas
atas permintaannya.
-

Pelayanan obat-obatan

Pelayanan rujukan spesimen dan penunjang diagnostik lainnya


1. Untuk kasus khronis tertentu yang memerlukan perawatan berkelanjutan
dalam waktu lama, surat rujukan dapat berlaku selama 1 bulan (seperti,
Diabetes Mellitus). Untuk kasus kronis khusus seperti kasus gangguan jiwa
dan kasus pengobatan paru, surat rujukan dapat berlaku s/d 3 bulan.
2. Rujukan pasien antar RS termasuk rujukan antar daerah dilengkapi surat
rujukan dari RS yang merujuk, copy kartu peserta atau surat
keterangan/rekomendasi dari Dinas Sosial (bagi gelandangan pengemis,
anak dan orang terlantar) serta kartu PKH bagi peserta PKH yang belum
mempunyai kartu JAMKESMAS serta surat pengantar dari petugas yang
memverifikasi kepesertaan. Pada kasus-kasus rujukan antar daerah,
petugas yang memverifikasi kepesertaan pada RS rujukan dapat
melakukan konfirmasi ke database kepesertaan melalui petugas PT
Askes(Persero) tempat asal pasien.
3. Pada keadaan gawat darurat, apabila setelah penanganan
kegawatdaruratannya peserta memerlukan rawat inap dan identitas
kepesertaanya belum lengkap, maka yang bersangkutan diberi waktu 2 x
24 jam hari kerja untuk melengkapinya atau status kepesertaannya dapat

merujuk pada data base kepesertaan yang dilengkapi oleh petugas PT


Askes (Persero).
4. Pelayanan obat di Rumah Sakit dengan ketentuan sebagai berikut :

Untuk memenuhi kebutuhan obat dan bahan habis pakai di Rumah Sakit, Instalasi
Farmasi/Apotik Rumah Sakit bertanggung jawab menyediakan semua obat dan bahan habis
pakai yang diperlukan. Meski telah diberlakukan INADRG, agar terjadi efisiensi pelayanan,
pemberian obat didorong agar menggunakan Formularium obat JAMKESMAS di rumah
sakit.
Apabila terjadi kekurangan atau ketiadaan obat sebagaimana butir 1) diatas maka
Rumah Sakit berkewajiban memenuhi obat tersebut melalui koordinasi dengan pihak-pihak
terkait.
Pemberian obat untuk pasien diberikan untuk 3 (tiga) hari kecuali untuk penyakitpenyakit kronis tertentu dapat diberikan lebih dari 3 (tiga) hari sesuai dengan kebutuhan
medis. Pemberian obat dilakukan dengan efisien dan mengacu pada clinical pathway.
1. Pemberlakuan INA-DRG bagi seluruh PPK lanjutan sebagai dasar
pertanggungjawaban/ klaim sejak 1 Januari 2009. Pemberlakuan INADRG
tersebut memerlukan persiapan perangkat keras, perangkat lunak dan
sumber daya manusia (SDM)
2. Pelayanan kesehatan RJTL di BKMM/BBKPM/BKPM/ BP4/BKIM dan di Rumah
Sakit, dan pelayanan RITL di Rumah Sakit dilakukan secara terpadu
sehingga biaya pelayanan kesehatan diklaimkan dan diperhitungkan
menjadi satu kesatuan menurut INA-DRG. Dokter berkewajiban melakukan
penegakan diagnosa yang tepat sesuai ICD-10 dan ICD-9 CM sebagai
dasar penetapan kod INA-DRG. Dokter penanggung jawab harus
menuliskan nama dengan jelas serta menandatangani berkas
pemeriksaan (resume medik).
3. Apabila dalam proses pelayanan terdapat diagnosa penyakit/prosedur
yang belum tercantum baik kode maupun tarifnya dalam Tarif Paket
INADRG (ungroupable), maka Balai-Balai Kesehatan/RS melaporkannya ke
Center for Casemix/Ditjen Bina pelayanan Medik untuk dilakukan
penetapannya. Pengaturan khusus untuk pelaksanaan INA-DRG dilakukan
dengan petunjuk teknis khusus.
4. Pada kasus-kasus dengan diagnosa yang kompleks dengan severity level-3
menurut kode INA-DRG maka disamping harus dilengkapi butir k) diatas
juga harus mendapatkan pengesahan dari Komite Medik atau Direktur
Pelayanan atau Supervisor yang ditunjuk untuk dan yang diberi tanggung
jawab oleh RS.
5. Pasien yang masuk ke instalasi rawat inap melalui instalasi rawat jalan
atau instalasi gawat darurat hanya diklaim menggunakan 1 (satu) kode
INA-DRG dengan jenis pelayanan rawat inap.

6. Pasien yang datang ke 2 (dua) atau lebih instalasi rawat jalan dengan dua
atau lebih diagnosa akan tetapi diagnosa tersebut merupakan diagnosa
sekunder dari diagnosa utamanya maka diklaimkan menggunakan 1 (satu)
kode INA-DRG.
7. Pasien yang datang ke 2 (dua) atau lebih instalasi rawat jalan dengan
kasus yang bukan merupakan diagnosa sekunder dari diagnose utamanya
dapat diklaimkan menurut diagnosa masing-masing. Setiap pasien yang
datang untuk kontrol ulang instalasi rawat jalan, diagnosa utamanya
menggunakan kode Z.
8. Agar pelayanan berjalan dengan lancar, RS bertanggungjawab untuk
menjamin ketersediaan Alat Medis Habis pakai (AMHP), obat dan darah
9. Untuk menjamin ketersediaan dan harga obat /vaksin/serum di pusat dan
daerah serta di Balai-Balai dan RS, dilakukan kesepakatan kerja sama
antara Menkes dan Konsorsium BUMN Farmasi. RS dan balai- Balai
Kesehatan menindaklanjutinya dengan kerjasama teknis dengan mengacu
kepada pedoman pelaksanaan kesepakatan kerjasama tersebut
10.Pelayanan RS diharapkan dapat dilakukan dengan cost efficient dan cost
effective agar biaya pelayanan seimbang dengan tarif INA-DRG.Dalam
pemberian pelayanan kesehatan kepada peserta, tidak boleh dikenakan
iur biaya oleh PPK dengan alasan apapun.

Disusun Oleh:
Anggit Tinarbuka AW
Apriliana Susilowati
Arcindy Iswanty
Ari Andang Pratiwi
Hamida Harapan
Desi Arumawati
Nurheny Agustina
Harinda Wina Y
Tyas Destiana
BAGIAN ADMINISTRASI DAN KEBIJAKAN KESEHATAN

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS DIPONEGORO 2011

Daftar Pustaka

Anonim.__.Prosedur Pelayanan Kesehatan Bagi Peserta Jamkesmas.Pekalongan : Dinkes


(Diunduh tanggal 6 Juni 2011). Diunduh dari :
http://www.artapijar.com/kesehatan/images/jamkesmas.pdf
Kementerian Kesehatan R.I. Pedoman Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Masyarakat
(Jamkesmas) 2010. Jakarta 2010.
Anonim. Masih Banyak Warga Yang Belum Tersentuh Jamkesmas. 2009. Diakses dari
halaman
http://berita.liputan6.com/sosbud/200912/255677/masih_banyak_warga_belum_tersentuh_ja
mkesmas.htm
Anonim. Sasaran Jamkesmas Diperluas. 2009. Diakses dari halaman
http://www.jatengprov.go.id/?document_srl=3273
Anonim. Kepesertaan Jamkesmas Diperluas. 2010. Diakses dari halaman
http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/801-kepesertaan-jamkesmasdiperluas.html
Departemen Kesehatan RI, 2008. Pedoman Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Masyarakat
(Jamkesmas) 2008. [online] http://cianjurkab.go.id/content/static/pdf/jamkesmas.pdf [diakses
tanggal 30 Juni 2011]
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Pelaksanaan Jaminan Kesehatan
Masyarakat (JAMKESMAS) 2010. Jakarta: Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan,
Kementerian Kesehatan RI. 2010.
Posted in Kesehatan, Kuliah.
5 comments
By tinarbuka-aw July 11, 2011

Sasaran Dan Target JAMKESMAS


Peserta Jamkesmas adalah masyarakat miskin dan tidak mampu di seluruh Indonesia
sejumlah 76,4 juta jiwa, dan tidak termasuk penduduk yang sudah mempunyai jaminan
kesehatan lainnya.
Sasaran Jamkesmas saat ini masih sama dengan Tahun 2009 yakni 76,4 juta meski data
masyarakat miskin menurut BPS Tahun 2008 telah turun menjadi 60,39 juta. Baseline data
kepesertaan Tahun 2010 tetap menggunakan data sebelumnya.
Dalam rangka memperluas cakupan kepesertaan pada Tahun 2010, terdapat kelompok peserta
baru menjadi sasaran peserta Jamkesmas, yaitu : a) Masyarakat miskin penghuni Lapas/Rutan
dengan melampirkan surat keterangan dari Kepala Rutan/Kepala Lapas setempat. b)
Masyarakat miskin penghuni panti-panti sosial, melalui Surat Keputusan Kepala
Dinas/Institusi Sosial Kabupaten/Kota setempat, selanjutnya Ke- menterian Kesehatan akan
segera membuatkan kartu Jamkesmas. c) Masyarakat miskin akibat bencana pasca tanggap
darurat sebagaimana yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah setempat. d) Untuk semua
kepesertaan diatas, SKP diterbitkan petugas PT. Askes (Persero).
Serta terdapat perhatian khusus kepada peserta Jamkesmas yang belum masuk database
seperti bayi baru lahir dari keluarga miskin, anak terlantar/gelandangan/pengemis
(rekomendasi Dinas Sosial), peserta Program Keluarga Harapan (PKH).

KEPESERTAAN JAMKESMAS
1. Peserta jaminan kesehatan adalah setiap orang yang membayar iuran
atau iuarannya dibayar oleh Pemerintah.
2. Peserta Program Jamkesmas adalah fakir miskin dan orang yang tidak
mampu dan peserta lainnya yang iurannya dibayar oleh Pemerintah
sejumlah 76,4 juta jiwa bersumber dari data makro Badan Pusat Statistik
(BPS) Tahun 2006.
3. Peserta yang dijamin dalam program Jamkesmas tersebut meliputi :
1. Masyarakat miskin dan tidak mampu yang telah ditetapkan oleh
Surat Kepu- tusan (SK) Bupati/Walikota Tahun 2008 berdasarkan
pada kuota Kabupaten/ Kota (BPS) yang dijadikan database
nasional.

2. Gelandangan, pengemis, anak dan orang terlantar, masyarakat


miskin yang tidak memiliki identitas.
3. Semua Peserta Program Keluarga Harapan (PKH) yang telah
memiliki atau mempunyai kartu Jamkesmas.
4. Masyarakat miskin yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor 1185/Menkes/SK/XII/2009 tentang Peningkatan
Kepesertaan Jamkesmas bagi Panti Sosial, Penghuni Lembaga
Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara serta Korban
Bencana. Tata laksana pelayanan diatur dengan petunjuk teknis
(juknis) tersendiri sebagaimana tertuang dalam Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor 1259/Menkes/SK/XII/2009 tentang Petunjuk Teknis
Pelayanan Jamkesmas Bagi Masyarakat Miskin Akibat Bencana,
Masyarakat Miskin Penghuni Panti Sosial, dan Masyarakat Miskin
Penghuni Lembaga Pemasyarakatan serta Rumah Tahanan Negara.
4. Apabila masih terdapat masyarakat miskin dan tidak mampu, tidak
termasuk dalam Surat Keputusan Bupati/Walikota maka Jaminan
Kesehatannya menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah (Pemda)
setempat. Cara penyelenggaraan jaminan kesehatan daerah seyogyanya
mengikuti kaidah-kaidah pelaksanaan Jamkesmas.
5. Peserta Jamkesmas ada yang memiliki kartu sebagai identitas peserta dan
ada yang tidak memiliki kartu.
1. Peserta yang memiliki kartu terdiri dari :

1)

Peserta sesuai SK Bupati/Walikota

2)

Penghuni panti-panti sosial

3)

Korban bencana pasca tanggap darurat


1. Peserta yang tidak memiliki kartu terdiri dari :

1)
Gelandangan, pengemis, anak terlantar pada saat mengakses pelayan- an kesehatan
dengan menunjukkan rekomendasi dari Dinas Sosial se- tempat.
2)
Penghuni lapas dan rutan pada saat mengakses pelayanan kesehatan dengan
menunjukkan rekomendasi dari Kepala Lapas/Rutan.
3)
Peserta Program Keluarga Harapan (PKH) pada saat mengakses pe- layanan kesehatan
dengan menunjukkan kartu PKH.
4)
Bayi dan anak yang lahir dari pasangan peserta Jamkesmas, setelah terbitnya SK
Bupati/Walikota dapat mengakses pelayanan kesehatan dengan menunjukkan akte
kelahiran/surat kenal lahir/surat keterangan lahir/pernyataan dari tenaga kesehatan, kartu
Jamkesmas orang tua dan Kartu Keluarga orangtuanya.

1. Terhadap peserta yang memiliki kartu maupun yang tidak memiliki kartu
sebagaimana tersebut diatas, PT. Askes (Persero) wajib menerbitkan Surat
Keabsahan Peserta (SKP) dan membuat pencatatan atas kunjungan
pelayanan kesehatan.
2. Bila terjadi kehilangan kartu Jamkesmas, peserta melapor kepada PT.
Askes (Persero) untuk selanjutnya dilakukan pengecekan database
kepesertaannya dan PT. Askes (Persero) berkewajiban menerbitkan surat
keterangan yang bersangkutan sebagai peserta.
3. Bagi peserta yang telah meninggal dunia maka haknya hilang dan tidak
dapat dialihkan kepada orang lain.
4. Penyalahgunaan terhadap hak kepesertaan dikenakan sanksi sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.

VERIFIKASI KEPESERTAAN
PT. Askes (Persero) bertugas melaksanakan verifikasi kepesertaan dengan mencocokkan
kartu Jamkesmas dari peserta yang berobat dengan database kepesertaan untuk selanjutnya
diterbitkan SKP. Verifikasi kepesertaan dilengkapi dengan dokumen berupa Kartu Keluarga
(KK) / Kartu Tanda Penduduk (KTP) / identitas lainnya untuk pembuktian kebenarannya.
Bagi gelandangan, pengemis, anak dan orang terlantar yang tidak punya identitas cukup
dengan surat keterangan/rekomendasi dari Dinas/Instansi Sosial setempat. Khusus untuk
penghuni lapas dan rutan, cukup dengan surat rekomendasi dari Kepala Lapas/Kepala Rutan
setempat. (Pengaturan lebih lanjut lihat tata laksana pelayanan kesehatan).

JAMKESMAS JATENG

Sasaran Jamkesmas tahun 2009/2010 untuk Provinsi Jawa Tengah sebanyak 11,7 juta.
Seperti di Kota Semarang, khusus masyarakat miskin yang tidak masuk dalam Jamkesmas
dan Jamkesmaskot, sudah diatur dalam Peraturan Wali Kota tentang Pedoman Pelaksanaan
Pelayanan Kesehatan Masyarakat Miskin Kota. Dalam peraturan tersebut diatur bagi
masyarakat miskin yang belum masuk dalam Jamkesmas dan Jamkesmaskot, maka
pengobatan bisa dengan cara menunjukkan surat keterangan tidak mampu (SKTM) yang
harus diverifikasi oleh pihak kelurahan bersangkutan.
Berdasarkan data yang ada jumlah keluarga miskin Kota Semarang periode Januari-Juni 2009
sebanyak 138.361 kepala keluarga atau 498.985 jiwa. Dari total 498.985 jiwa tersebut, yang
mendapat Jamkesmas dari pusat sebanyak 306.700 jiwa, sehingga masih ada 192.285 jiwa

yang belum menerima Jamkesmas. Mengacu pada Keputusan Menteri Kesehatan tertanggal 6
Februari 2008 disebutkan, kelebihan kuota Jamkesmas menjadi tanggung jawab Pemerintah
Kota. Pemerintah Kota Semarang kemudian memiliki program Jaminan Kesehatan
Masyarakat Miskin Kota (Jamkesmaskot) Semarang dari 192.285 jiwa yang belum menerima
Jamkesmas tersebut

Disusun Oleh:
ANGGIT TINARBUKA AW
Administrasi Dan Kebijakan Kesehatan
Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Diponegoro 2011

Referensi:
Kementerian Kesehatan R.I. Pedoman Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Masyarakat
(Jamkesmas) 2010. Jakarta 2010.
Anonim. Masih Banyak Warga Yang Belum Tersentuh Jamkesmas. 2009. Diakses dari
halaman
http://berita.liputan6.com/sosbud/200912/255677/masih_banyak_warga_belum_tersentuh_ja
mkesmas.htm
Anonim. Sasaran Jamkesmas Diperluas. 2009. Diakses dari halaman
http://www.jatengprov.go.id/?document_srl=3273
Anonim. Kepesertaan Jamkesmas Diperluas. 2010. Diakses dari halaman
http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/801-kepesertaan-jamkesmasdiperluas.html
Posted in Kesehatan, Kuliah.
No comments
By tinarbuka-aw July 11, 2011

Pelayanan Puskesmas Gratis


PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perubahan besar terjadi dalam tata kehidupan bangsa Indonesia sejak terjadi krisis moneter
14 tahun silam, yang membawa pada krisis multi dimensi. Sejak itulah kemudian terjadi
reformasi pada semua bidang pembangunan di Indonesia, begitu pula bidang kesehatan.
Bentuk reformasi bidang kesehatan adalah dengan adanya Gerakan Pembangunan
Berwawasan Kesehatan yang merupakan strategi dari pembangunan kesehatan nasional dan
dikembangkan paradigma sehat.
Pusat Kesehatan Masyarakat (puskesmas) sebagi ujung tombak upaya kesehatan (baik
perorangan maupun masyarakat) juga dilakukan reformasi. Kebijakan dasar puskesmas yang
dilaksanakan di wilayah-wilayah Indonesia berpedomankan SK Menteri Kesehatan No:
128/Menkes/SK/II/2004 tentang Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat. (1) Reformasi
pada puskesmas ternyata juga diperlukan untuk menjawab tantangan perbaikan derajat
kesehatan masyarakat sesuai UU Kesehatan No.36 tahun 2009 dan perbaikan mutu
pelayanan.(2)

Kementerian Kesehatan sedang dalam proses melakukan Revitalisasi Puskesmas untuk


penetapan fungsi Puskesmas yang dapat menjawab arah kebijakan pembangunan kesehatan
yang mengutamakan promotif dan preventif dengan tanpa mengabaikan upaya kuratif dan
rehabilitatif.(3)
Puskesmas sebagai upaya kesehatan perorangan (UKP) serta primary health care tentunya
menjadi tujuan masyarakat dalam mendapatkan pelayanan kesehatan. Untuk itu kepuasaan
pasien atau pengunjung terhadap fasilitas maupun pelayanan di puskesmas sangatlah penting.
Terciptanya kualitas layanan tentunya akan menciptakan kepuasan terhadap pengguna
layanan. Tuntutan ini adalah agar tercipta sebuah kesan baik dari puskesmas kepada
masyarakat yang memerlukan jasa kesehatan yang baik dan dengan biaya yang terjangkau.
Namun terkadang karena biaya murah inilah dikawatirkan pelayanan Puskesmas tidak seperti
yang diharapkan pasien. Oleh karena itu perbaikan dalam pelayanan kesehatan sangat perlu

suatu konsep berwawasan pelanggan (pasien) di mana Puskesmas memusatkan perhatian


penuh terhadap kebutuhan kesehatan pasien, walaupun puskesmas dalam pelaksanaan
pelayanannya tidak mengutamakan laba.(9)
Dengan begitu kompleknya masalah kehidupan dan kesehatan sekarang ini, menyebabkan
masalah kesehatan benar-benar merupakan kebutuhan penting. Oleh karena itu pelayanan
kesehatan diharapkan mampu untuk selalu konsisten pada perannya, secara kuantitas dan
kualitas pelayanan dalam upaya memuaskan kebutuhan dan keinginan konsumen / pasien.
PERMASALAHAN
Dalam tulisan ini akan dibahas tentang program pelayanan puskesmas gratis yang digalakkan
di Kota Salatiga. Program puskesmas gratis ini mulai diterapkan di kota Salatiga sejak tahun
2008. Dengan mengacu pada kebijakan kota Salatiga terkait peningkatan pelayanan
kesehatan ini, perlu dibahas dasar-dasar, pelaksanaan serta evaluasi dari program yang ada
ini.
Dalam laporan penyelenggaraan pemerintah daerah (LPPD) kota salatiga tahun 2009, dalam
bab indikator kinerja kunci (IKK), bidang kesehatan telah mencapai cakupan hampir
mendekati pencapaian 100 % terhadap cakupan-cakupan dalam pelayanan kesehatan.
Cakupan tersebut antara lain cakupan komplikasi kebidanan, persalinan oleh tenaga
kesehatan, desa/kelurahan dalam imunisasi anak, balita gizi buruk yang mendapat perawatan,
penemuan dan penanganan penderita penyakit, pelayanan kesehatan rujukan pasien masy.
Miskin, dll.(6) Kota Salatiga melalui program Kemitraan Peningkatan Pelayanan Kesehatan
yang selanjutnya disebut Program KP2K melaksanaan Pelayanan Puskesmas Gratis yang
terangkum dalam kegiatan Kemitraan Pengobatan Bagi Masyarakat Kota Salatiga. Pelayanan
Puskesmas Gratis adalah pelayanan yang diberikan secara cuma-cuma kepada masyarakat
yang diperoleh di puskesmas induk, Puskesmas Pembantu, Puskesmas Keliling, Posyandu
Balita, Posyandu Lansia, pos UKK di wilayah Kota Salatiga.(7) Walaupun beberapa indikator
pelayanan kesehatan seperti terdapat dalam laporan tersebut telah baik tetapi perlu untuk
diketahui apakah mutu pelayanan sudah sesuai dengan harapan/keinginan dan kepuasan
masyarakat terhadap pelayanan kesehatan khususnya pada pelayanan di puskesmas.(8)
Kepuasan pasien merupakan indikator dan evaluasi dalam keberhasilan program pelayanan
kesehatan.
Dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan, interaksi pasien dan petugas pengaruhnya penting
sekali dalam pemberian pelayanan.(4) Kepuasan pasien telah lama dipercaya sebagai
komponen penting dalam mengukur kualitas pelayanan dan hasil kesehatan. Indikator
kepuasan dan ketidakpuasan dapat diperlihatkan dalam berbagai aspek diantaranya jumlah
kehadiran, perasaan senang atau suka dan reaksi positif atau negatif.(5)
Adanya program puskesmas gratis yang diperuntukkan bagi semua warga kota Salatiga ini
pada tahun-tahun awal pelaksanaannya tentu mengalami kendala-kendala. Kendala tersebut
antara lain adalah anggaran APBD untuk pelaksanaan program yang tertunda pencairannya

seperti yang terjadi pada tahun 2008 dan kendala tidak meningkatnya jumlah yang
berkunjung untuk mendapatkan pengobatan di Puskesmas. (12,17) Kendala ini tentu minimal
mempengaruhi mutu pelayanan yang mengarah pula pada kepuasan pasien / pelanggan. Hal
ini seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, perlu dikaji pelaksanaan dan evaluasi program
ini serta ditemukan apa yang menjadi kendala dalam proses pelaksanaannya dari tingkat
hukum, manajerial serta pelaksaannya.

KEBIJAKAN PROGRAM
Berdasarkan Kepmenkes RI tentang kebijakan dasar puskesmas No:128/Menkes/SK/II/2004,
pengertian dari puskesmas itu sendiri adalah unit pelaksana teknis dinas kesehatan
kabupaten/kota yang bertanggungjawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu
wilayah kerja. (10) Dari pengertian ini puskesmas berperan dalam menyelenggarakan upaya
kesehatan di suatu kecamatan / wilayah tertentu sebagaimana yang dibebankan oleh dinas
kesehatan kabupaten/kota nya. Disini jelas bahwa dinas kesehatan bersama puskesmas
memiliki peran dalam perencanaan, pengadaan, pelaksaan dan evaluasi program-program
kesehatan sesuai kebijakan kabupaten/kota.
Visi pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh puskesmas adalah tercapainya
kecamatan sehat menuju terwujudnya Indonesia sehat. Indikator dari kecamatan sehat ini
mencakup 4 indikator utama yaitu 1) lingkungan sehat, 2) perilaku sehat, 3) cakupan
pelayanan kesehatan yang bermutu,serta 4) derajat kesehatan penduduk. Dalam misinya
diterangkan, puskesmas memelihara dan meningkatkan mutu, pemerataan dan keterjangkauan
pelayanan kesehatan yang diselenggarakan. (1) Lebih lanjut, puskesmas akan selalu berupaya
menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang sesuai dengan standar dan memuaskan
masyarakat, mengupayakan pemerataan pelayanan kesehatan serta meningkatkan efisiensi
pengelolaan dana, sehingga dapat dijangkau oleh seluruh anggota masyarakat.
Dasar Hukum
Aturan-aturan dasar puskesmas seperti yang telah dijelaskan di atas merupakan acuan dalam
penyelenggaraan kegiatan puskesmas. aturan ini perlu untuk dipahami dalam setiap
penyelenggaran program puskesmas. Pada dasarnya, penyelenggaraan puskesmas merupakan
amanat dari dinas kesehatan kota. Oleh karena itu, selain berbagai pelayanan dasar yang
dikembangkan di puskesmas sesuai dengan Kepmenkes, merupakan kewenangan dinas
kesehatan dan pemerintah daerah untuk mengadakan serta melaksanakan program atau
proyek dibidang kesehatan guna peningkatan kesehatan masyarakat. dalam hal ini, program
puskesmas gratis kota Salatiga merupakan perwujudan program kemitraan peningkatan
pelayanan kesehatan di kota tersebut. Kemitraan ini berusaha meningkatkan partisipasi
masyarakat terhadap segala bentuk kebijakan pemerintah daerah. Kemitraan ini merupakan
hubungan antara pemerintah daerah, swasta dan masyarakat.

Program puskesmas gratis yang dilaksanakan di semua puskemas beserta organisasinya di


kota Salatiga berdasarkan pada Perwali No. 76 Tahun tentang Pembebasan Pembayaran
Restribusi Pelayanan Kesehatan serta Perda No. 8 Tahun 2000 tentang Retribusi Pelayanan
Kesehatan. (7)
Perencanaan
Kehadiran program ini di masyarakat, seperti dijelaskan sebelumnya merupakan
implementasi dari Perwali dan Perda tahun 2000 ya