Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
dana yang
RSUD.
Jawaban :
Pendapatan BLUD dapat bersumber dari : jasa layanan, hibah, hasil
kerjasama dengan pihak lain, APBD, APBN dan lain-lain pendapatan BLUD
yang sah. Walaupun pendapatan yang diperoleh dapat dipakai
langsung oleh RSUD, tidak ada pengaruh dengan Pendapatan Asli
Daerah. Oleh karena seluruh pendapatan BLUD tersebut dilaksanakan
melalui Rekening Kas BLUD dan dicatat dalam Kode Rekening Kelompok
Pendapatan Asli Daerah pada jenis lain-lain pendapatan asli
daerah
yang sah
dengan obyek Pendapatan
BLUD. Seluruh
pendapatan dilaporkan kepada DPPKA Kabupaten setiap triwulan.
2. PERTANYAAN DARI FRAKSI GOLKAR
Dengan telah ditetapkannya
.
1. Kesimpulan
1. Menerapkan PPK-BLUD harus selektif dan obyektif oleh Pemerintah Daerah,
tidak semua SKPD atau Unit Kerja yang memberi pelayanan pada masyarakat
dapat menerapkan PPK-BLUD, harus dilihat kesiapan SDM-nya dan
perangkat pendukungnya;
2. Penerapan PPK-BLUD jangan hanya mengejar fleksibilitas yang diberikan,
tetapi dalam rangka peningkatan kinerja pelayanan, kinerja manfaat, dan
kinerja keuangan;
3. BLUD merupakan quasi public goods, sehingga peran APBD masih tetap
diperlukan dalam peningkatan pelayanan; dan
4. Untuk keberhasilan implementasi BLUD, perlunya peningkatan kapasitas
SDM, perubahan pola pikir (maindset), semangat kewirausahaan
(enterpreneurship) bagi stakeholder terkait, penyiapan peraturan pendukung,
serta pemahaman tentang konsepsi BLUD.
Pada harian Seputar Indonesia (SINDO) tanggal 31 Januari 2009, dengan judul Tarif RSUD
Denpasar naik 200%. RSUD Denpasar menaikkan tarif sampai sebesar itu karena
konsekuensi dari kebijakan Departemen Kesehatan yang menerapkan status Badan Layanan
Umum Daerah bagi RSUD Wangaya. Mencermati dari berita tersebut mungkin perlu
dipahami apa itu Badan Layanan Umum Daerah (BLUD)?
1. Latar Belakang.
Pertama-tama mungkin perlu diketahui latar belakang pemerintah mengeluarkan peraturan
tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (Daerah) yaitu Peraturan Pemerintah
Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum dan Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan Umum Daerah. Hal ini disebabkan kondisi pelayanan publik yang
diberikan oleh penyelenggara Negara dewasa ini dirasa belum memuaskan masyarakat,
contohnya, (1) dalam memberikan pelayanan tidak cepat namun terjadi prosedur yang
berbelit-belit (kalau bisa dipersulit mengapa dipermudah?, bukannya kalau bisa dipermudah
mengapa dipersulit?); (2) adanya diskriminasi pelayanan, kalau masyarakat yang
bersangkutan mempunyai jabatan atau uang, akan cepat dilayani, akan tetapi kalau
masyarakat biasa (miskin) entar dulu; (3) biaya tidak transparan, katanya gratis tetapi
kenyataan di lapangan masih harus bayar, membayarnyapun tidak ada standarnya; (4) adanya
budaya kerja aparatur yang belum baik, hal ini disebabkan adanya anggapan bahwa kalau
sudah jadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), kerja tidak kerja gajinya sama; (5) waktu
penyelesaian pemberian pelayanan yang tidak jelas, katanya kalau mengurus KTP dapat
selesai dua hari, kenyatan di lapangan bisa sampai dua minggu; (6) banyaknya praktek
pungutan liar, ini yang sampai saat ini masih susah di tanggulangi, alasannya klasik gaji
kurang, yang menjadi pertanyyan apa iya gaji kurang? Apakah bisa dijamin remunerasinya
tinggi pungli tidak ada? Kondisi tersebut memberikan citra negative terhadap penyelenggara
pelayanan di mata masyarakat. Sehingga akan berdampak pada rendahnya daya saing bangsa
dan juga pertumbuhan ekonomi nasional, kenapa? Karena investor tidak mau lagi
menanamkan modalnya di Indonesia, belum-belum sudah dipalak sehingga mengakibatkan
biaya tinggi. Akibatnya banyak yang lari ke Negara lain seperti Vietnam, Singapura dan lainlainnya.
Seperti kita ketahui, ada tiga jenis lembaga di pemerintah daerah yang memberikan
pelayanan kepada masyarakat. (1) Public goods, yaitu pelayanan yang diberikan oleh Satuan
Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang operasionalnya seluruhnya dengan APBD, sifatnya
tidak mencari keuntungan (non profit); (2) Quasi Public Goods, yaitu perangkat daerah yang
dalam operasionalnya sebagian dari APBD dan sebagian lagi dari hasil jasa layanan yang
diberikan, sifatnya tidak semata-mata mencari keuntungan (not for profit); dan (3) Private
Goods, yaitu lembaga milik pemerintah daerah yang biaya operasionalnya seluruhnya berasal
dari hasil jasa layanan (seperti BUMD, Perusahaan daerah) dan bersifat mencari keuntungan
(profit oriented). Konsep pendanaan ke depan bagi perangkat daerah yang bersifat quasi
public goods, adalah lembaga tersebut diberi kemudahan dalam pengelolaan keuangannya,
khususnya yang berasal dari jasa layanan, dengan konsekuensi lambat laun pendanaan yang
bersumber dari APBD presentasenya semakin dikurangi. Sehingga diharapkan dikemudian
hari bisa mandiri. Alokasi anggaran berasal dari APBD yang selama ini dipergunakan untuk
membiayai perangkat daerah tersebut dialihkan untuk membiayai perangkat daerah yang
bersifat public goods, misal untuk pembangunan sekolahan, menambah kesejahteraan guru
(kaitannya dengan mencerdaskan kehidupan bangsa), membangun jalan, irigasi (kaitannya
dengan meningkatkan kesejahteraan masyarakat). Sehingga ke depan APBD hanya fokus
untuk digunakan pada pelayanan masyarakat yang bersifat public goods. Selanjutnya, yang
menjadi pertanyaan, bagaimana caranya? Salah satunya adalah dengan menerapkan Pola
Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah (PPK-BLUD) pada perangkat daerah
yang secara operasional memberikan pelayanan langsung pada masyarakat. Sekarang yang
menjadi pertanyaan, kenapa dengan BLUD?
Esensi dari BLUD adalah peningkatan pelayanan dan efisiensi anggaran. Hal ini dapat dilihat
dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis
Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah, disebutkan bahwa BLUD adalah
Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) atau Unit Kerja pada SKPD di lingkungan
pemerintah daerah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa
penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan, dan
dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. Makna
dari pengertian ini adalah: (1) BLUD merupakan perangkat daerah, mempunyai pengertian
bahwa BLUD asetnya merupakan aset daerah yang tidak dipisahkan; (2) Perangkat daerah
yang dapat menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan BLUD adalah SKPD (sebagai Pengguna
Anggaran) atau Unit Kerja pada SKPD (sebagai Kuasa Pengguna Anggaran); (3)
Memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang
dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan, mempunyai pengertian bahwa SKPD atau
Unit Kerja tersebut memberi pelayanan langsung kepada masyarakat dan tidak semata-mata
mencari keuntungan; dan (4) Kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan
produktivitas, mempunyai arti bahwa BLUD dterapkan dalam rangka efisiensi anggaran dan
peningkatan pelayanan pada masyarakat. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa
BLUD masuk dalam perangkat pemerintah daerah yang bersifat quasi public goods.
Selanjutnya, dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri tersebut juga disebutkan bahwa BLUD
merupakan Pola Pengelolaan Keuangan yang diterapkan pada SKPD atau Unit Kerja dengan
diberikan fleksibilitas, yaitu berupa keleluasaan untuk menerapkan praktek-praktek bisnis
yang sehat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagai pengecualian dari
ketentuan pengelolaan keuangan daerah pada umumnya. Dari pengertian tersebut, SKPD atau
Unit Kerja dapat disebut BLUD kalau SKPD atau Unit Kerja sudah menerapkan Pola
Pengelolaan Keuangan BLUD (PPK-BLUD). Hal ini untuk menepis adanya pemahaman
bahwa BLUD merupakan suatu kelembagaan, padahal hanya merupakan Pola Pengelolaan
Keuangan saja. Untuk itu, kalau mau menerapkan PPK-BLUD lembaganya harus ada
terlebih dahulu. Pengaturan kelembagaan di daerah dengan Peraturan Daerah dan Peraturan
Kepala Daerah, dengan mempedomani Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang
Organisasi Perangkat Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 57 Tahun 2007
tentang Penataan Organisasi Perangkat Daerah.
1. Persyaratan Menerapkan PPK-BLUD.
Dalam Permendagri tersebut juga disebutkan bahwa untuk menerapkan PPK-BLUD harus
memenuhi beberapa persyaratan. Pemerintah Daerah harus selektif dan obyektif dalam
menetapkan SKPD atau Unit Kerja untuk menerapkan PPK-BLUD. Sehingga tidak semua
SKPD atau Unit Kerja yang memberikan pelayanan pada masyarakat dapat menerapkan
PPK-BLUD. Persyaratan untuk menerapkan PPK-BLUD, meliputi: (1) substantif; (2) teknis;
dan (3) administratif.
Persyaratan substantif dipenuhi kalau SKPD atau Unit Kerja tersebut menurut tugas dan
fungsinya memberi pelayanan langsung kepada masyarakat dalam bentuk (a) penyediaan
barang dan jasa, seperti penyediaan layanan dalam bidang kesehatan (Rumah Sakit Daerah,
perlu merenung, apa yang akan terjadi kalau sebuah RSD memerlukan obat
bagi pasiennya dengan sangat segera, sementara obat di RSD tersebut sudah
tidak mencukupi atau mungkin sudah tidak ada. Kalau RSD tersebut belum
menerapkan PPK-BLUD maka pencairan dananya harus melalui mekanisme
dalam APBD sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58
Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan
Daerah. Berapa waktu yang harus diperlukan sampai tersedianya obat-obatan
tersebut? Bisa jadi pasiennya tidak tertolong jiwanya. Selain itu, penerimaan
yang bersumber dari APBD atau APBN dapat diberlakukan sebagai
pendapatan BLUD, hal ini mempunyai makna bahwa BLUD yang telah
memberi jasa layanan pada masyarakat, namun pemerintah (melalui APBN)
atau pemerintah daerah (melalui APBD) yang membayar untuk jasa layanan
tersebut. Dalam hal ini Pemerintah atau Pemerintah Daerah membeli jasa
layanan yang telah diberikan oleh BLUD. Sehingga APBN atau APBD
tersebut dapat diberlakukan sebagai pendapatan BLUD.
2. Dalam pelaksanaan belanja (biaya), BLUD boleh melampaui pagu yang telah
ditetapkan (flexsible budget) sepanjang pendapatan atau belanjanya bertambah
atau berkurang. Sementara kalau SKPD biasa tidak boleh melampaui anggaran
yang telah ditetapkan dalam Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA).
3. BLUD boleh melakukan utang/piutang, investasi, dan kerjasama. Utang atau
pinjaman dan investasi jangka panjang harus dengan persetujuan Kepala
Daerah. Sementara kalau SKPD biasa tidak boleh melakukan utang/piutang,
investasi dan kerjasama, yang diperbolehkan adalah Pemerintah Daerah.
4. Pengadaan barang dan jasa untuk pendapatan yang berasal selain dari APBD
atau APBN boleh tidak dengan Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003
tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah atau
perubahannya. Makna dari pemberian fleksibilitas dalam pengadaan barang
dan jasa dimaksud, adalah untuk mempercepat pelayanan yang diberikan.
Namun tetap dengan prinsip efisien, efektif, transparan, bersaing, adil/tidak
diskriminatif, akuntabel dan praktek bisnis yang sehat.
5. Pengelolaan barang, BLUD boleh menghapus aset tidak tetap. Sebagai contoh,
RSD yang telah menerapkan BLUD, boleh menghapus aset-aset yang sudah
tidak produktif atau sudah tidak efisien lagi. Seperti tempat tidur pasien yang
sudah reyot, dari pada memenuhi ruangan/gudang lebih baik dijual. Hasil dari
penjualan aset tersebut merupakan pendapatan BLUD.
6. Pejabat Pengelola dan pegawai BLUD, boleh Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau
Non PNS. Pegawai Non PNS diperlukan sepanjang BLUD yang bersangkutan
sangat membutuhkan dan dalam rangka peningkatan pelayan. Kriteria
pengelola dan pegawai BLUD baik PNS maupun Non PNS harus yang betulbetul profesional, jangan sampai pegawai yang ada di BLUD karena titipan
dari para pejabat yang berpengaruh di daerah tersebut. Pemimpin BLUD harus
mempunyai komitmen dan berani menolak kalau memang tidak masuk dalam
kriteria yang telah ditetapkan. Perlu disadari, bahwa setiap tahun antara
pemimpin BLUD dengan kepala daerah menandatangani perjanjian kinerja
sekretaris daerah, PPKD, Kepala BAPPEDA, Inspektur Daerah dan pejabat pengelola
BLUD.
2. Perlunya penyiapan regulasi dan instrumen pendukung sebagai penjabaran dari
ketentuan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2007 untuk digunakan
sebagai pedoman operasional implementasi PPK-BLUD, antara lain penetapan Tim
Penilai, Standar Pelayanan Minimal, dan Peraturan yang ditetapkan oleh Kepala
Daerah terkait dengan fleksibilitas yang diberikan.
3. Perlu adanya pemahaman tentang konsepsi mengenai Rencana Strategis (RENSTRA)
Bisnis, Rencana Bisnis dan Anggaran (RBA), Tata Kelola, Standar Pelayanan
Minimal, Standar Akuntansi Keuangan (SAK), konsolidasian RBA dan laporan
keuangan dengan APBD.
2. Kesimpulan
1. Menerapkan PPK-BLUD harus selektif dan obyektif oleh Pemerintah Daerah,
tidak semua SKPD atau Unit Kerja yang memberi pelayanan pada masyarakat
dapat menerapkan PPK-BLUD, harus dilihat kesiapan SDM-nya dan
perangkat pendukungnya;
2. Penerapan PPK-BLUD jangan hanya mengejar fleksibilitas yang diberikan,
tetapi dalam rangka peningkatan kinerja pelayanan, kinerja manfaat, dan
kinerja keuangan;
3. BLUD merupakan quasi public goods, sehingga peran APBD masih tetap
diperlukan dalam peningkatan pelayanan; dan
4. Untuk keberhasilan implementasi BLUD, perlunya peningkatan kapasitas
SDM, perubahan pola pikir (maindset), semangat kewirausahaan
(enterpreneurship) bagi stakeholder terkait, penyiapan peraturan pendukung,
serta pemahaman tentang konsepsi BLUD.
Tulisan ini dibuat oleh : Ir Bejo Mulyono
kekurangan perlengkapan, bisa langsung dipenuhi dengan uang yang sudah didapat.
Namun demikian, untuk bantuan yang ditujukan ke RSUD nantinya tetap masuk ke kas
daerah, baik dari APBD dan APBN.
Karena itu, pasien atau masyarakat tidak perlu khawatir dengan hal tersebut. RSUD tetap
akan melakukan pelayanan kepada masyarakat sebagaimana mestinya. Prinsipnya, tetap
mengedepankan pelayanan tanpa membebani masyarakat. Dari segi tarif ketika
diterapkannya BLUD masih tetap sehingga masyarakat tidak usah takut, katanya.
Muhammad Ismail
0
Perlu dibedakan antara BLU (untuk di Pusat, yaitu BLU-nya di bawah Departemen)
dan BLUD (di daerah). Pengaturan untuk BLU Pusat ada pada PP 23/2005,
Permenkeu, dan Permen Departemen teknis terkait. sedangkan untuk di Daerah
(BLUD) diatur oleh PP 23/2005, Permendagri 61/2007 dan implementasinya dengan
Peraturan Kepela Daerah/Pemimpin BLUD.
Pendahuluan
Rumah sakit merupakan suatu unit usaha jasa yang memberikan jasa pelayanan sosial di
bidang medis klinis. Pengelolaan unit usaha rumah sakit memiliki keunikan tersendiri karena
selain sebagai unit bisnis , usaha rumah sakit juga nemiliki misi sosial, disamping
pengelolaan rumah sakit juga sangat tergantung pada status kepemilikan rumah sakit. Misi
rumah sakit tidak terlepas dari misi layanan sosial. Namun tidak dipungkiri bahwa dalam
pengelolaan rumah sakit tetap terjadi konflik kepentingan dari berbagai pihak. Konflik
kepentingan berbagai pihak ini dapat bersumber dari klasifikasi organisasi rumah sakit.
Klasifikasi organisasi dibedakan menjadi dua, yaitu organisasi bisnis dan organisasi non
bisnis.
Rumah sakit pemerintah lebih tepat sebagai klasifikasi non bisnis, namun rumah sakit swasta
tidak seluruhnya diklasifikasikan dalam kelompok non bisnis. Beberapa rumah sakit masih
memiliki kualitas jasa layanan yang masih sangat memprihatinkan. Hal ini antara lain
disebabkan karena keterbatasan sumber daya baik sumber daya finansial maupun sumber
daya non finansial. Tuntutan peningkatan kualitas jasa layanan membutuhkan berbagai dana
investasi yang tidak sedikit. Kenaikan tuntutan kualitas jasa layanan rumah sakit harus
dibarengi dengan profesionalisme dalam pengelolaannya. Perkembangan pengelolaan rumah
sakit, baik dari aspek manajemen maupun operasional sangat dipengaruhi oleh berbagai
tuntutan dari lingkungan, yaitu lingkungan eksternal dan internal. Tuntutan eksternal antara
lain adalah dari para stakeholder bahwa rumah sakit dituntut untuk memberikan pelayanan
kesehatan yang bermutu, dan biaya pelayanan kesehatan terkendali sehingga akan berujung
pada kepuasan pasien. Tuntutan dari pihak internal antara lain adalah pengendalian biaya.
Pengendalian biaya merupakan masalah yang kompleks karena dipengaruhi oleh berbagai
pihak yaitu mekanisme pasar, perilaku ekonomis, sumber daya professional dan yang tidak
kalah penting adalah perkembangan teknologi. Rumah sakit kepemerintahan yang terdapat di
tingkat pusat dan daerah tidak lepas dari pengaruh perkembangan tuntutan tersebut.
Dipandang dari segmentasi kelompok masyarakat, secara umum rumah sakit pemerintah
merupakan layanan jasa yang menyediakan untuk kalangan menengah ke bawah, sedangkan
rumah sakit swasta melayani masyarakat kelas menengah ke atas. Biaya kesehatan cenderung
terus meningkat,dan rumah sakit dituntut untuk secara mandiri mengatasi masalah tersebut.
Peningkatan biaya kesehatan ini menyebabkan fenomena tersendiri bagi rumah sakit
pemerintahan karena rumah sakit pemerintah memiliki segmen layanan kesehatan untuk
kalangan menengah ke bawah. Akibantnya rumah sakit pemerintah diharapkan menjadi
rumah sakit yang murah dan bermutu. Rumah sakit pemerintah menghadapi dilema antara
misi melayani masyarakat kelas menengah ke bawah dan adanya keterbatasan sumber dana,
serta berbagai aturan dan birokrasi yang harus dihadapi. Kondisi tersebut akan
mengakibatkan rumah sakit pemerintah mengalami kebingungan apakah rumah sakit
dijadikan sebagai lembaga birokrasi dalam sistem kesehatan ataukah sebagai lembaga
pelayanan kesehatan yang tidak birokratis.
manajemen rumah sakit publik, baik milik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Bentuk BLU merupakan alternatif penting dalam menerapkan Otonomi Daerah yang
merumuskan Rumah Sakit Daerah (RSD) sebagai Layanan Teknis Daerah .
Selain itu, pengertian lain menyatakan bahwa badan layanan umum adalah instansi di
lingkungan pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat
berupa penyediaan barang dan atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari
keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan
produktivitas.
Berdasar PP no: 23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, tujuan
BLU adalah meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan memberikan fleksibilitas
dalam pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip eknomi dan produktivitas dan penerapan
praktik bisnis yang sehat. Praktik bisnis yang sehat artinya berdasarkan kaidah manajemen
yang baik mencakup perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengendalian dan
pertanggungjawaban. Secara umum
asas badan layanan umum adalah pelayanan umum yang pengelolaannya berdasarkan
kewenangan yang didelegasikan, tidak terpisah secara hukum dari instansi induknya.
Asas BLU yang lainnya adalah:
1. Pejabat BLU bertanggungjawab atas pelaksanaan kegiatan layanan umum kepada
pimpinan instansi induk,
2. BLU tidak mencari laba,
3. Rencana kerja, anggaran dan laporan BLU dan instansi induk tidak terpisah,
4. Pengelolaan sejalan dengan praktik bisnis yang sehat.
BLU harus memenuhi persyaratan adminsitratif sebagai berikut :
Syarat-syarat BLU
Rumah sakit pemerintah daerah yang telah menjadi BLU/BLUD menggunakan SPM yang
telah ditetapkan oleh menteri/pimpinan lembaga/gubernur/walikota/bupati sesuai dengan
kewenangannya, harus memperhatikan kualitas pelayanannya, pemerataan, dan kesetaraan
layanan, biaya serta kemudahan untuk mendapatkan layanan. Dalam hal RSUD maka SPM
ditetapkan oleh pemerintah daerah. SPM tersebut harus memenuhi persyaratan :
1. Fokus pada pelayanan
2. Terukur
3. Dapat dicapai
4. Relevan dan dapat diandalkan
5. Tepat waktu
Adapun regulasi yang mengaturnya yaitu:
-
RS BLU adalah RS pemerintah yang menjual jasa pelayanan rumah-sakit not-for-profit tetapi
tetap dikelola dengan prinsip produktifitas dan efisiensi. Dengan memiliki bentuk sebagai
organisasi BLU, maka RS memilki pola pengelolaan keuangan (PPK) yang memberikan
fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan praktek-praktek bisnis yang sehat untuk
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Praktek bisnis yang sehat adalah
penyelenggaraan fungsi organisasi berdasarkan kaidah-kaidah manajemen yang baik (good
corporate governance) dalam rangka pemberian layanan yang bermutu dan
berkesinambungan. Good coorporate governance sendiri adalah konsep untuk meningkatkan
transparansi dan akuntabilitas dengan tujuan untuk menjamin agar tujuan RS tercapai dengan
penggunaan sumberdaya se-efisien mungkin RS dapat diizinkan mengelola keuangan dengan
PPK-BLU apabila memenuhi berbagai persyaratan, yaitu:
1. Substantif yang dapat dipenuhi bila instansi pemerintah yang bersangkutan
menyelenggarakan Iayanan umum yang berhubungan dengan:
2. Teknis yang dapat dipenuhi apabila kinerja pelayanan sesuai bidang tugas pokok dan
fungsinya layak dikelola dan ditingkatkan pencapaiannya melalui BLU serta kinerja
keuangan satuan kerja instansi yang bersangkutan: sehat
3. Administratif yang dapat dipenuhi apabila dapat menyajikan dokumen:
Laporan audit terakhir atau penyataan bersedia untuk diaudit secara independen
Atas dasar itu maka penyusunan Standar Pelayanan Minimum (SPM) menjadi bagian dari
proses kegiatan merubah bentuk RS menjadi bentuk BLU. SPM sediri didefinisikan dalam PP
nomor 23 tahun 2004 sebagai spesifikasi teknis tentang tolok ukur layanan minimum yang
diberikan oleh BLU kepada masyarakat. Dari definisi ini terlihat bahwa SPM harus memiliki
indikator kinerja pelayanan dan standar (target) pencapaiannya.
-
Berbagai butir-butir peraturan atau ketentuan tentang mutu pelayanan yang terkait dengan
mutu pelayanan di rumah-sakit antara lain:
1. PP 23 tahun 2005 tentang pengelolaan keuangan BLU
Dalam PP 23 tahun 2005 terdapat aturan mengenai SPM yaitu bahwa SPM
mempertimbangkan (dimensi): Kualitas tehnis, proses, tatacara, dan waktu; Pemerataan dan
kesetaraan; Biaya; Kemudahan. Dimana dalam penyusunannya harus Standar layanan BLU
semestinya memenuhi persyaratan SMART: Specific (fokus pada jenis layanan); Measurable
(dapat diukur); Achievable (dapat dicapai); Reliable (relevan dan dapat diandalkan); dann
Timely (tepat waktu)
1. KepMenKes 228 tahun 2002 tentang pedoman penyusunan SPM RS
Dalam Kepmenkes 228 tahun 2002, maka SPM RS harus memuat standar penyelenggaraan
yang terkait dengan: Pelayanan medik; Pelayanan penunjang; Pelayanan keperawatan;
Pelayanan bagi Gakin; dan Manajemen rumah sakit (yang terdiri dari manajemen
sumberdaya manusia; manajemen keuangan; manajemen sistem informasi rumah sakit;
manajemen sarana prasarana; dan manajemen mutu Pelayanan)
1. Buku indikator kinerja RS (Depkes tahun 2004)
Dalam buku indikator kinerja RS dijelaskan bawa indikator kinerja harus diukur dari empat
perspektif, yaitu: Pengembangan SDM, Proses, Kepuasan pelanggan, dan Keuangan.
1. Buku petunjuk pelaksanaan indikator pelayanan RS (Depkes tahun 1998)
Sedangkan dalam buku petunjuk pelaksanaan indikator pelayanan RS terdapat 4 jenis
indikator yaitu: Indikator pelayanan non-bedah; Indikator pelayanan bedah; Indikator
pelayanan ibu bersalin dan bayi; dan Indikator tambahan (dibagi rujukan dan nonrujukan)
keuangan tetapi juga perlu audit klinik. Dengan berubahnya kelembagaan sebagai BLU tentu
saja aspek teknis sangat berhubungan erat dengan basis kinerja.
Tahap Penyusunan Tarif
Sesuai dengan syarat-syarat BLU bahwa yang dimaksud dengan persyaratan substantif,
persyaratan teknis dan persyaratan admnistratif adalah berkaitan dengan
standar layanan, penentuan tarif layanan, pengelolaan keuangan,tata kelola semuanya
harus berbasis kinerja. Hal-hal yang harus dipersiapkan bagi rumah sakit untuk menjadi BLU
dalam aspek teknis keuangan adalah:
Penentuan tarif harus berdasar unit cost dan mutu layanan. Dengan demikian rumah
sakit pemerintah harus mampu melakukan penelusuran (cost tracing) terhadap
penentuan segala macam tarif yang ditetapkan dalam layanan. Selama ini aspek
penentuan tarif masih berbasis aggaran ataupu subsidi pemerintah sehingga masih
terdapat suatu cost culture yang tidak mendukung untuk peningkatan kinerja atau
mutu layanan. Penyusunan tarif rumah sakit seharusnya berbasis pada unit cost, pasar
(kesanggupan konsumen untuk membayar dan strategi yang dipilih. Tarif tersebut
diharapkan dapat menutup semua biaya, diluar subsidi yang diharapkan. Yang perlu
diperhatikan adalah usulan tarif jangan berbasis pada prosentase tertentu namun
berdasar pada kajian yang dapat dipertanggungjawabkan. Secara umum tahapan
penentuan tarif harus melalui mekanisme usulan dari setiap divisi dalam rumah sakit
dan aspek pasar dan dilanjutkan kepada pemilik. Pemilik rumah sakit pemerintah
adalah pemerintah daerah dan DPRD (lihat gambar di atas)
Penyusunan anggaran harus berbasis akuntansi biaya bukan hanya berbasis subsidi
dari pemerintah. Dengan demikian penyusunan anggaran harus didasari dari indikator
input, indikator proses dan indikator output.
Menyusun laporan keuangan sesuai dengan PSAK yang disusun oleh organsisasi
profesi akuntan dan siap diaudit oleh Kantor Akuntan Independen bukan diaudit dari
pemerintah.
Dalam penyusunan sistem remunerasi rumah sakit perlu memiliki dasar pemikiran bahwa
tingkatan pemberian remunerasi didasari pada tingkatan, yaitu tingkatan satu adalah basic
salary yang merupakan alat jaminan safety bagi karyawan. Basic salary tidak dipengaruhi
oleh pendapatan rumah sakit. Tingkatan dua adalah incentives yaitu sebagai alat pemberian
motivasi bagi karyawan. Pemberian incentives ini sangat dipengaruhi oleh pendapatan rumah
sakit. Tingkatan yang ketiga adalah bonus sebagai alat pemberian reward kepada
karyawan.Pemberian bonus ini sangat dipengaruhi oleh tingkat keuntungan rumah sakit.
Implementasi aspek teknis keuangan bagi rumah sakit ini akan menjadi nilai plus dalam
upayanya untuk peningkatan kualitas jasa layanan dan praktik tata kelola yang transparan.
D. Tata Kelola BLU
Secara umum ada lima prinsip dasar yang terkandung dalam good corporate governance atau
tata kelola yang baik menurut Daniri (2005). Kelima prinsip tersebut adalah transparansi,
akuntabilitas, responsibilitas, independensi dan kesetaraan/kewajaran. Namun dalam
Permendagri No. 61 tahun 2007, prinsip yang dituntut untuk dilaksanakan hanya empat
prinsip yang pertama.
Secara lebih rinci prinsip-prinsip dasar dalam tata kelola yang baik adalah sebagai berikut:
1. Transparansi (Transparancy); yaitu keterbukaan informasi baik dalam proses pengambilan
keputusan maupun dalam mengungkapkan informasi material dan relevan mengenai
perusahaan. Efek terpenting dari dilaksanakannya prinsip transparansi ini adalah terhindarnya
benturan kepentingan (conflict of interest) berbagai pihak dalam manajemen.
2. Akuntabilitas (Accountability); yaitu kejelasan fungsi, struktur, sistem dan
pertanggungjawaban organ lembaga sehingga pengelolaan lembaga dapat terlaksana dengan
baik. Dengan terlaksananya prinsip ini, lembaga akan terhindar dari konflik atau benturan
kepentingan peran.
3. Responsibilitas (Responsibility); yaitu kesesuaian atau kepatuhan di dalam pengelolaan
lembaga terhadap prinsip korporasi yang sehat serta peraturan perundangan yang berlaku,
termasuk yang berkaitan dengan masalah pajak, hubungan industrial, perlindungan
lingkungan hidup, kesehatan/keselamatan kerja, standar penggajian dan persaingan yang
sehat.
4. Independensi (Independency); yaitu suatu keadaan dimana lembaga dikelola secara
profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manapun yang tidak
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi
yang sehat.
5. Kesetaraan dan kewajaran (Fairness); yang secara sederhana dapat didefinisikan sebagai
perlakuan yang adil dan setara didalam memenuhi hak-hak stakeholder yang timbul
berdasarkan perjanjian serta peraturan perundangan yang berlaku.
Aplikasi Konsep Tata Kelola yang Baik
Selain bersaing untuk mendapatkan pengguna, lembaga pelayanan publik juga bersaing
dengan sektor lain untuk memperoleh sumber daya dari pemerintah. Sehingga pelaksanaan
pola tata kelola yang baik menjadi sangat vital bagi lembaga.
Aplikasi Pola Tata Kelola ini terutama ditujukan untuk:
i. Meningkatkan kemampuan bersaing mendapatkan sumber daya dari pemerintah maupun
non pemerintah
ii. Mengurangi risiko perubahan yang terjadi tiba-tiba dan mendorong penanaman modal
jangka panjang
iii. Memperkuat sektor finansial
iv. Memajukan manajemen yang bertanggung jawab dan kerja finansial yang solid
manusia (SDM) yang rendah. Perkembangan pengelolaan rumah sakit, baik dari aspek
manajemen maupun operasional sangat dipengaruhi oleh berbagai tuntutan dari lingkungan,
yaitu antara lain bahwa rumah sakit dituntut untuk memberikan pelayanan kesehatan yang
bermutu, dan biaya pelayanan kesehatan terkendali sehingga akan berujung pada kepuasan
pasien. Tuntutan lainnya adalah pengendalian biaya. Pengendalian biaya merupakan masalah
yang kompleks karena dipengaruhi oleh berbagai pihak yaitu mekanisme pasar, tindakan
ekonomis, sumber daya manusia yang dimiliki (profesionalitas) dan yang tidak kalah penting
adalah perkembangan teknologi dari rumah sakit itu sendiri. Rumah sakit pemerintah yang
terdapat di tingkat pusat dan daerah tidak lepas dari pengaruh perkembangan tuntutan
tersebut. Dipandang dari segmentasi kelompok masyarakat, secara umum rumah sakit
pemerintah merupakan layanan jasa yang menyediakan untuk kalangan menengah ke bawah,
sedangkan rumah sakit swasta melayani masyarakat kelas menengah ke atas. Biaya kesehatan
cenderung terus meningkat,dan rumah sakit dituntut untuk secara mandiri mengatasi masalah
tersebut. Peningkatan biaya kesehatan menyebabkan fenomena tersendiri bagi rumah sakit
pemerintahan karena rumah sakit pemerintah memiliki segmen layanan kesehatan untuk
kalangan menengah ke bawah. Akibatnya rumah sakit pemerintah diharapkan menjadi rumah
sakit yang murah dan bermutu.
Standar Pelayanan dan Tarif Layanan Rumah Sakit Pemerintah Daerah yang telah menjadi
BLU/BLUD menggunakan standar pelayanan minimum yang ditetapkan oleh
menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya, harus
mempertimbangkan kualitas layanan, pemerataan dan kesetaraan layanan, biaya serta
kemudahan untuk mendapatkan layanan. Dalam hal rumah sakit pemerintah di daerah
(RSUD) maka standar pelayanan minimal ditetapkan oleh kepala daerah dengan peraturan
kepala daerah. Standar pelayanan minimal tersebut harus memenuhi persyaratan, yaitu :
1. Fokus pada jenis pelayanan, dalam arti mengutamakan kegiatan pelayanan yang
menunjang terwujudnya tugas dan fungsi BLU/BLUD;
2. Terukur, merupakan kegiatan yang pencapaiannya dapat dinilai sesuai dengan standar yang
telah ditetapkan;
3. Dapat dicapai, merupakan kegiatan nyata yang dapat dihitung tingkat pencapaiannya,
rasional sesuai kemampuan dan tingkat pemanfaatannya;
4. Relevan dan dapat diandalkan, merupakan kegiatan yang sejalan, berkaitan dan dapat
dipercaya untuk menunjang tugas dan fungsi BLU/BLUD;
5. Tepat waktu, merupakan kesesuaian jadwal dan kegiatan pelayanan yang telah ditetapkan.
Rumah Sakit Pemerintah Daerah yang telah menjadi BLU/BLUD dapat memungut biaya
kepada masyarakat sebagai imbalan atas barang atau jasa layanan yang diberikan. Imbalan
atas barang atau jasa layanan yang diberikan tersebut ditetapkan dalam bentuk tarif yang
disusun atas dasar perhitungan biaya per unit layanan atau hasil per investasi dana. Tarif
layanan diusulkan oleh rumah sakit kepada menteri keuangan/menteri kesehatan/kepala
SKPD sesuai dengan kewenangannya, dan kemudian ditetapkan oleh menteri
keuangan/kepala daerah dengan peraturan menteri keuangan/peraturan kepala daerah. Tarif
layanan yang diusulkan dan ditetapkan tersebut harus mempertimbangkan hal-hal sebagai
berikut:
masalah cost dan revenue sekarang diwajibkan melaporkan situasi keuangan secara rutin.
Perubahan status RSUP menjadi status perjan seperti perubahan fungsi RS dari fungsi sosial
menjadi industry jasa berkurangnya kemampuan pemerintah untuk mensubsidi pelayanan
kesehatan, pengelolaan RS swadana yang tidak lagi berjalan akibat adanya UU PNBP, dan
berkembangnya paradigma sehat. Selain itu, privatisasi rumah sakit berdasarkan telaah dan
kajian dari aspek hukum, sosial kemasyarakatan, hingga aspek moral yang telah dilakukan
oleh departemen kesehatan pada prinsipnya privatisasi rumah sakit hanya akan
mengedepankan aspek bisnis daripada fungsi sosial dan privatisasi rumah sakit hanya akan
semakin menjauhkan masyarakat dari pelayanan kesehatan. Secara logika, rumah sakit yang
telah diprivatisasi maka keuntungan akan menjadi tujuan utama agar rumah sakit dapat tetap
beroperasi. Akibatnya rumah sakit akan mengekar target untuk menutup investasi dengan
mengambil keuntungan dari pasien. Hal tersebut akhirnya akan mendorong dokter untuk
cenderung melakukan tindakan yang tidak rasional dan mengesampingkan etika. Akibat
privatisasi rumah sakit ini akan sangat terasa bagi pasien yang tidak tercover oleh asuransi
kesehatan nasional. Maka Sesuai usulan Depkes kepada Presiden pada surat No
173/MENKES/II/2005 pada 3 Februari 2005 mengusulkan agar 13 RS Perjan (RSCM
Jakarta, Fatmawati, Persahabatan, Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita, Anak dan
Bersalin Harapan Kita, Kanker Dharmais, Hasan Sadikin Bandung, Kariadi Semarang,
Sardjito Yogyakarta, Sanglah Denpasar, Wahidin Sudirohusodo Makassar, M. Djamil Padang,
dan M. Hoesin Palembang) dapat berubah ke sistem pengelolaan keuangan sebagai BLU.
G. Dampak BLU bagi manajemen Rumah Sakit
Kualitas pelayanan Rumah sakit tergantung pada manajemen pengelolaan Rumah sakit
tersebut, yang terdiri dari manajemen strategik dan operasional RS, manajemen keuangan,
manajemen barang dan sarana RS, dan manajemen SDM. Pada Rumah sakit pemerintah
ternyata manajemen pengelolaan ini sangat tergantung pada bentuk kelembagaan Rumah
sakit pemerintah sehingga peraturan/perundangan yang memengaruhi bentuk kelembagaan
Rumah sakit pemerintah akan sangat berpengaruh pada manajemen pengelolaan Rumah sakit
dan akhirnya akan berpengaruh pada kualitas pelayanan Rumah sakit.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 RS Pemerintah adalah Unit Pelaksana
Teknis (UPT), di mana RSUP sebagai konsekuensi asas dekonsentrasi menjadi UPT dari
Depkes, sedangkan RSUD menjadi UPT dari Dinas Kesehatan kabupaten/kota atau Pemda
Dati II, sebagai konsekuensi asas desentralisasi. Campur tangan pemda terlibat pada seluruh
manajemen RS, bahkan pembiayaan RSUD 20 persen dari Pemerintah Dati II dan 80 persen
subsidi pemerintah pusat.
Kemudian terjadi reformasi pertama Rumah sakit pemerintah pada tahun 1992 ketika keluar
Keputusan Presiden No 38/1991 tentang Unit Swadana, artinya Rumah sakit pemerintah
mempunyai kewenangan untuk menggunakan penerimaan fungsionalnya secara langsung,
artinya revenue dapat dikelola secara mandiri oleh Rumah sakit pemerintah, walaupun
subsidi masih ada. Unit swadana memang bukan reformasi kelembagaan, tapi mulai nyata
adanya hubungan antara kemandirian pengelolaan revenue ini dan peningkatan kualitas.
Reformasi ini hanya berjalan lima tahun, dengan dikeluarkannya UU No 20/1997 tentang
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), maka RSUP yang sudah terbiasa mengelola
anggaran pendapatan fungsionalnya sebagai RS unit swadana harus mengembalikan dana
tersebut ke kas negara. RSUD tidak terkena UU ini.
Rumah sakit adalah ujung tombak pembangunan kesehatan masyarakat. Namun, tak sedikit
keluhan selama ini diarahkan pada kualitas pelayanan rumah sakit yang dinilai masih rendah.
Ini terutama rumah sakit daerah atau rumah sakit milik pemerintah.
Penyebabnya klasik, yaitu masalah keterbatasan dana. Sehingga rumah sakit (RSUD dan
rumah sakit milik pemerintah) tidak bisa mengembangkan mutu layanannya, baik karena
peralatan medis yang terbatas maupun kemampuan sumber daya manusia (SDM) yang
rendah.
Menyadari hal tersebut, pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (BLU). Dengan
PP ini, maka status rumah sakit kini berubah menjadi BLU.
Rumah Sakit Pemerintah Daerah yang telah menjadi BLU/BLUD dapat memungut biaya
kepada masyarakat sebagai imbalan atas barang/jasa layanan yang diberikan. Imbalan atas
barang/jasa layanan yang diberikan tersebut ditetapkan dalam bentuk tarif yang disusun atas
dasar perhitungan biaya per unit layanan atau hasil per investasi dana. Tarif layanan
diusulkan oleh rumah sakit kepada menteri keuangan/menteri kesehatan/kepala SKPD sesuai
dengan kewenangannya, dan kemudian ditetapkan oleh menteri keuangan/kepala daerah
dengan peraturan menteri keuangan/peraturan kepala daerah. Tarif layanan yang diusulkan
dan ditetapkan tersebut harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
1. kontinuitas dan pengembangan layanan;
2. daya beli masyarakat;
3. asas keadilan dan kepatutan; dan
4. kompetisi yang sehat.
Selama ini muncul kekhawatiran di masyarakat terhadap rumah sakit (RS) dengan status
sebagai Badan Layanan Umum (BLU). Dikhawatirkan, biaya kesehatan di RS semakin tak
terjangkau oleh masyarakat miskin. Akibatnya, masyarakat miskin makin jauh dari pelayanan
kesehatan yang sangat dibutuhkannya.
Saat ini keuntungan rumah sakit bukan merupakan parameter penting untuk menilai
keberhasilan seorang direktur utama rumah sakit. Pasalnya, di masa lalu banyak rumah sakit
yang untung, tetapi semakin banyak orang Indonesia yang berobat ke luar negeri. Hal ini bisa
ditekan bila para dokter bekerja lebih baik, sehingga kepercayaan kepada dokter meningkat
dan tidak akan berobat ke luar negeri.
Pengurangan jumlah orang Indonesia yang berobat ke luar negeri merupakan salah satu
ukuran kesuksesan seorang direktur utama RS BLU. Selain itu, saat ini tidak ada alasan lagi
dari pihak rumah sakit menolak pasien miskin. Karena, saat ini ada program pengobatan
gratis untuk rakyat miskin di kelas tiga dengan mekanisme asuransi kesehatan (Askeskin).
Manajemen keuangan rumah sakit yang sekarang dikelola dengan sistem BLU (Badan
Layanan Umum) berarti rumah sakit mempunyai kelonggaran yang lebih untuk
mendayagunakan uang pendapatan rumah sakit, bahkan masih mendapat subsidi pula.
Kelonggaran mengelola pendapatan rumah sakit hendaknya jangan dimanfaatkan untuk
menumpuk keuntungan saja, tapi untuk meningkatkan mutu pelayanan untuk semua pasien,
meningkatkan mutu sumber daya manusianya serta mengendalikan tarif pelayanan.
Sekarang ini, parameter keberhasilan telah berubah, bukan lagi semata-mata keuntungan
material, tapi keberhasilan melayani masyarakat menjadi unsur yang jauh lebih penting,
dalam hal ini harus mampu memberikan pelayanan kepada masyarakat yang feasibel dengan
menonjolkan produktivitas, efisiensi dan efektivitas.
Indikator perbaikan pelayanan RS adalah indikator yang mengukur tentang kegiatan
pelayanan di salah satu rumah sakit seperti pelayanan rawat jalan, rawat inap, dan pelayanan
penunjang, dengan demikian akan memberikan kualitas dan kecepatan pelayanan meningkat.
Sedangkan mutu pelayanan dan manfaat rumah sakit bagi masyarakat adalah dengan
mengukur sejauh mana rumah sakit BLU memberikan fasilitas kepada Masyarakat Miskin
(Maskin), antara lain proporsi penyediaan fasilitas tempat tidur kelas III diatas 50 persen
yang mencerminkan fungsi sosial rumah sakit.
Istilah fungsi sosial, subsidi, dan merugisesungguhnya tidak tepat digunakan untuk
sebuah RS Publik. Penggunaan istilah tersebut dalam berbagai diskusi menunjukkan bahwa
kita tidak memahami atau pemahaman kita telah terdistorsi tanpa memperhatikan tugas
pokok dan fungsi pemerintah. Kita telah mencampur adukan diskusi tentang RS Publik
dengan RS swasta. Istilah fungsi sosial, yang umunya diartikan memberikan pelayanan bagi
masyarakat yang kurang mampu (yang di Amerika sering disebut uncompensated care),
melekat pada RS swasta khususnya yang bertujuan mencari keuntungan atau uang bagi
pemegang sahamnya (for profit private hospital). Melayani orang tidak mampu, bukan hanya
yang miskin, adalah kewajiban pemerintah yang diberikan antara lain melalui RS Publik,
puskesmas, dan upaya-upaya lain.
Sementara keuangan merupakan indikator yang proporsinya paling kecil yaitu 20 persen,
maksudnya adalah rumah sakit tidak semata-mata mencari uang tetapi paling penting RS
harus berkompetisi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Sejak ditetapkannya
rumah sakit menjadi BLU, pendapatannya dari tahun ke tahun selalu meningkat murni dari
peningkatan pelayanan terhadap masyarakat.
Hal ini juga didukung oleh para Direktur Utama Rumah Sakit untuk ikut mensukseskan
program pengobatan gratis untuk rakyat miskin di kelas III RS dengan mekanisme asuransi
kesehatan yang dikelola oleh PT. Askes Indonesia.
Kemudian ditegaskan kembali dalam PP No. 23 Tahun 2005 sebagai peraturan pelaksanaan
dari asal 69 ayat (7) UU No. 1 Tahun 2004, Pasal 2 yang menyebutkan bahwa BLU bertujuan
untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan
umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan memberikan fleksibilitas dalam
pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip ekonomi dan produktivitas, dan penerapan praktek
bisnis yang sehat.
Kebanyakan masyarakat jadi miskin jika sakit (the law of medical money). Solusi terhadap
permasalahan tersebut adalah daerah harus mengikutinya dengan memberikan penjaminan
kesehatan, baik premi yang sepenuhnya berasal dari APBD maupun iur premi dengan peserta.
Jika ini dilakukan maka berapapun tarif yang diterapkan oleh RSU BLU tidak menjadi
masalah, karena masyarakat telah memperoleh jaminan pemeliharaan kesehatan.
KESIMPULAN
Rumah sakit BLU yaitu instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan
pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa
mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada
prinsip efisiensi dan produktivitas. Rumah sakit BLU dapat dikatakan bermutu jika SPM RS
BLU, standar RS BLU bermutu, dan indicator RS bermutu dapat terpenuhi. BLU yang
diterapkan di rumah sakit secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi sistem
manajemen rumah sakit yang bersangkutan. RS BLU yang diharapkan semakin dapat
memberikan pelayanan berkualitas bagi masyarakat menengah ke bawah dan bersifat nirlaba
sangat berbeda dengan sistem privatisasi rumah sakit yang justru cenderung mendorong RS
untuk mendapatkan untung agar dapat terus beroperasi, sehingga semakin menjauhkan
masyarakat dari pelayanan kesehatan yang seharusnya untuk mereka.
Cianjur, Pelita
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Cianjur, Jabar, setelah menjadi RS Badan
Layanan Umum Daerah (BLUD) pada awal 2008, pendapatannya terjadi kenaikan, misalnya
pendapatan 2007 sekitar Rp22 miliar, dan 2008 mencapai Rp30 miliar.
Direktur RSUD Kabupaten Cianjur, dr H Suranto MM, mengatakan, keberhasilan dalam
upaya meningkatkan pendapatan ini, salah satunya karena RSUD Cianjur telah berubah
menjadi BLUD. Sehingga bisa mengatur dan mengelola anggaran sendiri.
Dengan menjadi BLUD, pihak RS lebih fleksibilitas dalam mengelola RS selama masih bisa
dipertanggungjawabkan, dan seluruh kebijakan yang dikeluarkan dalam rangka pengelolaan
RS telah sesuai aturan yang telah ditetapkan dan diketahui baik oleh legislatif maupun
eksekutif.
Keberhasilan yang telah dicapai RSUD Cianjur, dalam mengelola RS BLUD, telah menarik
perhatian kabupaten lain yang ingin melakukan studi banding ke RSUD Cianjur. Sebelumnya
pihak RSUD Cianjur telah kedatangan tamu dari Kabupaten Bukit Tinggi dan Kabupaten
Purworejo untuk melakukan studi banding.
RSUD Cianjur, Kamis (4/12) kembali menerima kunjungan tamu dari Kabupaten Seragen
Jawa Tengah, yang dipimpin ketua rombongan yaitu Ketua Komisi D DPRD Kabupaten
Sragen, Suwanto,Wakil Ketua Komisi D, Drs Aris Surawan dan 10 orang dari intansi terkait.
Suwanto SH, mengatakan, kedatangan ke RSUD Cianjur, ingin melihat bagaimana peran dan
cara RSUD Cianjur dalam mengelola RSUD menjadi BLUD Keingin tahuan kami tentang
BLUD RSUD Cianjur, karena untuk menjad BLUD, tidak mudah, tuturnya. (ck-53/man)
Meski sudah menjadi Badan Layanan Umum (BLU), bukan berarti
rumah sakit tak lagi mendapat subsidi dari pemerintah. RS yang
sudah BLU bebas memakai uang pendapatan untuk memajukan
pelayanan di rumah sakit. RS BLU juga tak boleh membatasi
layanan terhadap masyarakat, khususnya pasien miskin.
"RS yang sudah menjadi BLU bukan tidak di subsidi oleh pemerintah
Diskusi tentang BLU memang menarik, khususnya rumah sakit dan perguruan tinggi. Berikut
artikel tentang BLU dari Harian Republika dan blog.
Berharap Peningkatan Mutu RS Lewat Badan Layanan Umum
Rumah sakit adalah ujung tombak pembangunan kesehatan masyarakat. Namun, tak sedikit
keluhan selama ini diarahkan pada kualitas pelayanan rumah sakit yang dinilai masih rendah.
Ini terutama rumah sakit daerah atau rumah sakit milik pemerintah.
Penyebabnya klasik, yaitu masalah keterbatasan dana. Sehingga rumah sakit (RSUD dan
rumah sakit milik pemerintah) tidak bisa mengembangkan mutu layanannya, baik karena
peralatan medis yang terbatas maupun kemampuan sumber daya manusia (SDM) yang
rendah.
Menyadari hal tersebut, pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (BLU). Dengan
PP ini, maka status rumah sakit kini berubah menjadi BLU.
Sebagai tahap awal, pemerintah menetapkan 13 RS yang statusnya perusahaan jawatan
(Perjan) menjadi BLU. Yaitu enam RS di Jakarta (RSCM, RS Fatmawati, RS Persahabatan,
RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita, RSAB Harapan Kita, RS Kanker Dharmais),
dan masing-masing satu RS di Bandung (RS Dr Hasan Sadikin), di Semarang (RS Dr
Kariadi), di Yogyakarta (RS Dr Sardjito), di Denpasar (RS Sanglah), di Makassar (RS Dr
Wahidin Sudirohusodo), di Padang (RS Dr M Djamil), dan RS Dr Mohammad Hoesin di
Palembang.
Pelantikan direktur utama BLU rumah sakit tersebut dilakukan oleh Menteri Kesehatan, Siti
Fadilah Supari, di Jakarta, pekan lalu. Menurut Menkes, sebelum ditetapkan menjadi BLU,
RS yang berstatus Perjan telah diberi kesempatan untuk melewati masa transisi selama enam
bulan. Dalam masa tersebut, ada rumah sakit yang tenang-tenang saja. Namun, ada juga yang
bergejolak, baik positif maupun negatif.
Keleluasaan
Dengan manajemen BLU, kata Menkes, maka sebuah RS mempunyai keleluasaan dan
kelonggaran yang lebih untuk mendayagunakan uang pendapatan. Namun, pendapatan
tersebut harus dikelola sebaik-baiknya untuk meningkatkan mutu pelayanan bagi semua
pasien. Juga untuk meningkatkan kualitas SDM, mengendalikan tarif pelayanan, mengelola
sarana, dan bukannya untuk menumpuk keuntungan, katanya.
Menkes melanjutkan, dengan manajemen yang baik, keuntungan yang cukup longgar,
kesejahteraan SDM semakin meningkat, serta adanya UU Praktik Kedokteran dan UU
Perumahsakitan, maka para dokter akan bekerja lebih baik. Sehingga diharapkan
kepercayaan masyarakat terhadap dokter akan semakin meningkat. Dan akhirnya masyarakat
akan mantap untuk berobat di negeri sendiri serta tidak perlu lagi ke Singapura atau
Malaysia, tuturnya.
Senada, Dirjen Bina Pelayanan Medik Departemen Kesehatan, Farid W Husein, menyatakan,
dengan status BLU, maka RS memiliki keleluasaan untuk mengelola keuangannya. Namun,
pihaknya akan selalu melakukan pengamatan terhadap kinerja rumah sakit BLU. Kehatihatiannya harus tambah, ujarnya.
Kalau sebagai tahap awal, sebanyak 13 RS yang statusnya Perjan telah ditetapkan menjadi
RS BLU, di kemudian hari semua RS akan dibawa ke arah sana. Syaratnya RS tersebut harus
sehat dalam melaksanakan pekerjaannya. Arah BLU adalah untuk meningkatkan kualitas
pelayanan RS. Yaitu bagaimana meningkatkan mutu dengan kebebasan keuangan yang
dimilikinya, kata Farid.
Kebebasan mengelola keuangan ini diakui oleh Direktur Utama BLU RSCM, Dr dr Akmal
Taher SpU (K). Dengan BLU kami punya cukup otonomi untuk mengelola sumber daya.
Jadi, ada keleluasaan, katanya.
Direktur Utama BLU RS Sanglah Denpasar, dr I Gusti Lanang M Rudiartha MHA, juga
mengatakan hal yang sama. Mudah-mudahan setelah apa yang dicanangkan, pengelolaan
sumber daya lebih bagus lagi dibandingkan pada saat masih sebagai Perjan. Pengelolaan
keuangan lebih leluasa. Ini yang kami harapkan. Ke depan pelayanan lebih bagus sehingga
pendapatan RS juga lebih bagus, ungkapnya.
Penggajian proporsional
Menurut Guru Besar Fakultas Kedokteran UI, Prof Ascobat Gani, dengan adanya aturan soal
BLU ini, maka manajemen rumah sakit memiliki keleluasaan dalam mengelola keuangannya.
Tidak hanya itu, masalah penggajian karyawan juga bisa diatur secara lebih proporsional.
Sebelum adanya aturan tentang BLU, manajemen pengelolaan keuangan di sebuah rumah
sakit sangat ketat. Akibatnya, rumah sakit tidak bisa mengembangkan diri dalam hal
keuangan. Yang lebih parah, mutu layanan kepada pasien atau konsumen juga semakin
menurun.
Yang jelas manajemen rumah sakit sekarang lebih luas dalam mengelola keuangannya. Dulu
ketat sekali sehingga tidak boleh pinjam uang namun tidak boleh berhenti melayani.
Akibatnya mutunya jadi turun, katanya pada Lokakarya Nasional Kesiapan Rumah Sakit
Daerah (RSUD) Menjadi BLU, yang diselenggarakan Asosiasi Rumah Sakit Daerah Seluruh
Indonesia (ARSADA), di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Menurut Ascobat, aturan yang ada di PP 23 tahun 2005 memangkas aturan-aturan yang ada
sebelumnya. Justru yang itu membatasi gerak langkah RS. Dengan BLU, manajemen RS
diperbolehkan meminjam uang kepada pihak ketiga untuk menutup biaya operasional. Ini
bisa dilakukan jika kondisi keuangan sebuah rumah sakit benar-benar mengkhawatirkan.
Ascobat menyebut aturan di BLU ini sangat revolusioner. Tapi yang lebih penting, dengan
menjadi BLU, maka pimpinan RS memiliki hak untuk mengatur penggajian karyawannya. Ini
berbeda dengan aturan sebelumnya, yaitu semua karyawan mendapat gaji sama tanpa
membedakan prestasi atau hasil kerjanya.
Dengan BLU pimpinan RS bisa memberikan honor, insetif, atau bonus di luar ketentuan
gaji. Dulu kan PGPS alias Pinter Goblok Pembayaran Sama. Nah, dengan BLU sekarang
diatur bahwa di luar gaji boleh diberikan honor, insetif, bahkan bonus. Misalnya ketika
kinerja keuangan bagus sekali sehingga ada sisa hasil usaha, paparnya.
Masyarakat Miskin Tetap Terjamin
Selama ini muncul kekhawatiran di masyarakat terhadap rumah skit (RS) dengan status
sebagai Badan Layanan Umum (BLU). Dikhawatirkan, biaya kesehatan di RS semakin tak
terjangkau oleh masyarakat miskin. Akibatnya, masyarakat miskin makin jauh dari pelayanan
kesehatan yang sangat dibutuhkannya.
Menjawab kekhawatiran tersebut, Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari, meminta kepada
direktur rumah sakit BLU untuk benar-benar memperhatikan akses kesehatan bagi
masyarakat miskin.
Saya tidak ingin mendengar lagi adanya rakyat kecil yang terlunta-lunta ketika ingin
mendapatkan pelayanan kesehatan di rumah sakit. Saya tidak mau mendengar lagi kisah
rakyat kecil yang ditolak oleh rumah sakit, terutama rumah sakit pemerintah, dengan alasan
apapun juga, katanya ketika melantik 13 direktur utama RS BLU dan sejumlah pejabat
eselon II Depkes lainnya, di Jakarta, pekan lalu.
Menkes menegaskan, pemerintah saat ini menjalankan program pengobatan gratis untuk
rakyat miskin di kelas tiga rumah sakit dengan mekanisme asuransi kesehatan yang dikelola
PT Askes. Karena itu, Menkes mengingatkan, agar jangan sampai ada masyarakat miskin
yang tidak memiliki kartu Askeskin ditolak di rumah sakit.
Saya tekankan, adakanlah satu atau lebih petugas untuk mengurus kartu Askeskin bagi orang
miskin yang belum mempunyai kartu. Jadi, tidak ada lagi alasan rumah sakit nombok karena
merawat orang miskin. Sebab hal itu bisa diselesaikan dengan PT Askes, kata Menkes
menegaskan.
Direktur Utama BLU RS Sanglah Denpasar, dr I Gusti Lanang M Rudiartha MHA, kepada
Republika, mengatakan dengan status BLU, rakyat miskin tetap akan mendapatkan pelayanan
kesehatan yang memadai.
Masyarakat miskin sangat terbuka dengan adanya pembiayaan dari Askes miskin. Yang
jelas, dengan status BLU maka sisi manajemen, pelayanan, dan sebagainya harus sudah jelas
arahnya, ujarnya.
Sumber: Republika Online Selasa, 18 Oktober 2005
Tuesday, July 17, 2007
BLU akankah menjadi solusi?
Hasil temuan BPK untuk tahun 2007 ini masih mengindikasikan banyak lembaga negara,
Departemen, dan juga Universitas Universitas terindikasi belum menyetorkan PNBP nya.
Alasan yang dikemukakan adalah dana dana PNBP itu digunakan terlebih dahulu selagi
menunggu cairnya anggaran APBN dalam suatu kegiatan.Tapi ternyata BPK tidak mau tahu
walaupun pengeluaran PNBP yang dilakukan Lembaga ada catatannya. Mereka menganggap
hal itu salah menurut hukum. Maka dari itu,terkesan banyak PNBP yang diposkan sementara
dalam rekening-rekening liar telah divonis merugikan negara. Demikian juga yang terjadi
dalam dunia kampus.
Menurut ketua BPK Anwar Nasution dari hasil pemeriksaan semester II 2006 menyatakan:
Universitas Airlangga Surabaya, Universitas Hasanuddin Makassar, dan Universitas
Sumatera Utara masih menahan PNBP senilai Rp 242,65 miliar. Hal tersebut menimbulkan
kontroversi karena pihak universitas terpaksa menahan uang tersebut agar dapat membiayai
operasional perkuliahan dan kegiatan mahasiswa di kampusnya.
Untuk menyikapi hal itu, Menteri Keuangan sadar kesulitan yang dihadapi satker satker
dalam hal kebutuhan dana mendesak. Beliau mengatakan:Semuanya adalah aturan manusia
yang masih bisa diubah. Daripada membuat para rektor itu terus berbohong, lebih baik
dicarikan cara agar mereka dapat menggunakan dana PNBP tanpa harus terhambat oleh apa
pun,Beliau juga menyarankan sebuah Departemen, Lembaga,dan Universitas memiliki
Badan Usaha. Lebih bagus lagi bila memiliki Badan Layanan Umum yang telah memiliki
payung hukum yang jelas.
Namun muncul dilema bahwa adanya BLU akan menyebabkan komersialisasi di berbagai
sektor dan bidang.Upaya mewiraswastakan pemerintah tersebut dapat diketahui melalui
pembentukan Badan Layanan Umum (BLU) sesuai pasal 68 dan 69 Undang-undang Nomor 1
tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Dalam peraturan itu disebutkan bahwa BLU
adalah Instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan
kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan
mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan
produktivitas. Walaupun BLU dibentuk tidak untuk mencari keuntungan, akan tetapi letak
enterprising-nya dapat dilihat pada pasal 69 ayat (6) bahwa pendapatan BLU dapat digunakan
langsung untuk membiayai belanja BLU yang bersangkutan. Pendapatan yang dimaksud itu
dapat diperoleh dari hibah, sumbangan, atau sehubungan dengan jasa layanan yang diberikan.
Sebagaimana amanat pasal 69 Undang-undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara bahwa BLU akan diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah, pada tanggal 13
Juni 2005 pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2005 tentang
Badan Layanan Umum. Peraturan tersebut mengatur lebih rinci mengenai tujuan, asas,
persyaratan, penetapan, pencabutan, standar layanan, tarif layanan, pengelolaan keuangan,
dan tata kelola BLU.
Indulgensia
Max Weber menyatakan bahwa pemerintah memiliki dua tinjauan peranan penting.
Pemerintah mempunyai fungsi sebagai regulator dan administrator jika ditinjau dari mechanic
view. Jika ditinjau dari organic view pemerintah juga berfungsi sebagai public service agency
dan investor yang harus dinamis. Idealnya kedua tinjauan itu dapat terlaksana secara
simultan.
Namun rupanya untuk mencapai kondisi ideal tersebut di Indonesia bagaikan menegakkan
benang basah. Masyarakat sudah terlanjur memiliki persepsi bahwa pemerintah merupakan
organisasi birokratis, tidak efisien, tidak efektif, dan lambat. Pada kenyataannya masyarakat
memang sering dihadapkan pada birokrasi komplek pemerintah. Bahkan birokrasi komplek
tersebut pada beberapa instansi telah melahirkan mata pencaharian baru, yaitu sebagai calo.
Praktek percaloan ini tak jauh beda dengan praktek suap menyuap, kolusi, korupsi, dan
extraordinary crime lainnya.
Dalam penjelasan PP 23 tahun 2005 dijelaskan bahwa pembentukan BLU diharapkan
menjadi contoh konkrit penerapan manajemen keuangan berbasis kinerja sehingga mampu
menonjolkan produktivitas, efisiensi, dan efektivitas. Hal ini sebenarnya pemerintah secara
tidak langsung mengakui adanya persepsi masyarakat tersebut. Dengan dibentuknya BLU,
pemerintah mengakui tidak bisa menjalankan perannya sebagai mecanic view dan organic
view secara simultan. Jadi PP 23 tahun 2005 tak ubahnya seperti surat indulgensia, surat
pengakuan dosa, dari pemerintah kepada rakyatnya.
Rencana Dosa
Rakyat mungkin akan memaafkan pengakuan dosa-dosa pemerintah itu. Namun apa jadinya
jika BLU dimanfaatkan untuk merencanakan dosa-dosa lain yang justru menjadi legal karena
keberadaan BLU yang diakui pemerintah. Pada kesempatan kali ini setidaknya penulis
menemukan tiga rencana dosa dalam kaitan keberadaan BLU.
Pertama, pola pengelolaan kas BLU sebenarnya menghambat proses pembentukan Treasury
Single Account sebagai mana diamanatkan UU Perbendaharaan Negara. Sesuai dengan pasal
16 PP 23 tahun 2005 BLU menyelenggarakan kegiatan-kegiatan pengelolaan kas. Kegiatan
itu antara lain: merencanakan penerimaan dan pengeluaran kas, melakukan pemungutan
pendapatan atau tagihan, menyimpan kan dan mengelola rekening bank, melakukan
pembayaran, mendapatkan sumber dana untuk menutp defisit jangka pendek, dan
memanfaatkan surplus kas jangka pendek untuk memperoleh pendapatan tambahan. Aturan
ini menjadi kelihatan tidak beres setelah dibandingkan dengan pasal 12 ayat (2) dan pasal 13
ayat (2) UU Perbendaharaan Negara. Ketentuan perbendaharaan negara menyebutkan bahwa
semua penerimaan dan pengeluaran negara/daerah dilakukan melalui Rekening Kas Umum
Negara/Daerah.
Permasalahan ini mungkin saja diperdebatkan, karena BLU membuat rencana kerja dan
anggaran dalam menyelenggarakan kegiatannya. Namun juga harus diketahui bahwa rencana
kerja dan anggaran merupakan fungsi planning dalam manajemen yang pada kenyataannya
bisa menimbulkan varians. Demikian juga dengan BLU yang diberi kewenangan untuk
memperoleh pendapatan selain dari APBN/APBD yaitu sehubungan dengan jasa layanan,
hibah dan sumbangan. Dengan kondisi tersebut, penulis kira BLU tidak mungkin
menjalankan anggaran secara mutlak, atau bisa dikatakan hampir pasti terjadi varians antara
anggaran dengan realisasi kerja BLU. Lantas bagaimana jika varians yang terjadi bukan
bagian dari fungsi planning? Kondisi ini yang dikhawatirkan penulis akan menjadi dana non
budgeter atau dana taktis. Suryohadi Djulianto, penasehat KPK, dengan tegas menyatakan
bahwa apapun alasannya perbuatan menghimpun dana non budgeter adalah perbuatan
melawan hukum. Demikian juga BLU yang menghimpun dana di luar APBN dan APBD serta
tidak mencantumkan dalam rencana kerja telah melanggar UU Perbendaharaan Negara.[1]
Kedua, BLU dapat menggunakan surplus anggarannya untuk kepentingan BLU tersebut. Hal
ini dengan gamblang disebutkan dalam pasal 29 PP 23 tahun 2005
yaitu Surplus anggaran BLU dapat digunakan dalam tahun anggaran berikutnya kecuali atas
perintah Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota, sesuai dengan kewenangannya,
disetorkan sebagian atau seluruhnya ke Kas Umum Negara/Daerah dengan
mempertimbangkan posisi likuiditas BLU. Jika dibandingkan dengan pasal 3 UU Keuangan
Negara, maka aturan mengenai surplus BLU tersebut telah menganakemaskan BLU sehingga
tidak tercermin adanya keadilan.
Pasal 3 ayat (7) UU Keuangan Negara menyebutkan bahwa Surplus penerimaan/negara
dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran negara/daerah tahun anggaran berikutnya.
Selanjutnya pada ayat berikutnya dijelaskan Penggunaan surplus penerimaan negara/daerah
sebagaimana dimaksud dalam ayat (7) untuk membentuk dana cadangan atau penyertaan
Perusahaan Negara/Daerah harus memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari DPR/DPRD.
Berdasarkan ketentuan ini dapat diketahui bahwa kaidah perlakuan surplus adalah
dimanfaatkan untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Peruntukan lain terhadap surplus
anggaran ini harus memperoleh persetujuan DPR/DPRD. Perbandingan kedua aturan yang
mengatur surplus angaran ini menunjukkan bahwa BLU memiliki daya tawar keuangan yang
lebih tinggi dibandingkan Perusahaan Negara/Daerah.
Ketiga, keberadaan BLU sebagai bukan subjek pajak telah melanggar Undang-undang
Nomor 7 tahun 1983 stdtd Undang-undang Nomor 17 tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan
(PPh). Pada pasal 14 PP 23 tahun 2005 dijelaskan bahwa pendapatan BLU dilaporkan sebagai
pendapatan negara bukan pajak kementrian/lembaga atau pendapatan negara bukan pajak
pemerintah daerah. Beberapa penggagas BLU juga menyatakan bahwa BLU dibebaskan dari
kewajiban membayar PPh Badan atas sisa anggaran atau hasil usaha/nilai tambah karena
BLU bukan subjek pajak.
Apabila keberadaan BLU memang demikian adanya, maka telah terjadi pelanggaran terhadap
pasal 2 UU PPh. Dalam ketentuan tersebut dinyatakan bahwa subjek pajak adalah orang
pribadi; warisan yang belum terbagi sebagai kesatuan, menggantikan yang berhak; badan;
dan bentuk usaha tetap. Selanjutnya terminologi badan jelaskan bahwa badan adalah
sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha
maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer,
perseroan lainnya, badan usaha milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk
apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan,
organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk
usaha tetap, dan bentuk badan lainnya.
PPh merupakan pajak subjektif sehingga yang diperhatikan terlebih dahulu adalah kewajiban
subjektifnya. Sebagaiman dijelaskan diatas bahwa badan merupakan salah satu subjek pajak,
maka seharusnya BLU juga merupakan subjek pajak. Apabila BLU dikatakan bukan subjek
pajak maka hal ini perlu dikonfrontir dengan pasal 3 UU PPh. Pada akhirnya juga diketahui
bahwa BLU tidak termasuk golongan yang dikecualikan dari subjek pajak. Jadi berdasarkan
aturan PPh BLU secara mutlak adalah subjek pajak.
Dalam Reformasi Depkeu diusulkan bahwa Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) akan
berubah menjadi BLU. Di satu sisi model BLU masih sering diperdebatkan dan masih banyak
yang menentangnya. Tapi disi lain mungkin hal ini akan dapat meningkatkan kinerja dari
instansi terkait. Semoga STAN yang nantinya benar benar menjadi BLU dapat menjadi
BLU yang baik dengan meningkatkan pelayanan kepada mahasiswanya yang saat sekarang
ini masih terkesan asal asalan. Semoga STAN bukan termasuk instansi yang memanfaatkan
kesalahan untuk berbuat salah.
Dapat dilakukan pengamanan atas aset negara yang dikelola oleh instansi terkait.
Masih mendapatkan subsidi dari pemerintah yang terdiri dari gaji pegawai, biaya
operasional dan biaya investasi/modal
Pendapatan BLU dapat dipergunakan langsung untuk membiayai belanja BLU yang
dijabarkan dalam Rencana Bisnis Anggaran (RBA) pendapatan RS tidak disetorkan
ke Kas Negara tapi hanya dilaporkan saja ke Departemen Keuangan
RS. vertikal Depkes, RS. milik departemen lain, RS. milik TNI / Polri serta RS. milik
pemerintah daerah. Sedangkan contoh RS non bisnis bukan milik pemerintah adalah RS.
milik universitas / perguruan tinggi, RS. milik lembaga swadaya masyarakat dan RS. milik
organisasi keagamaan dll. Sedangkan organisasi rumah sakit yang berorientasi bisnis murni
(profit) biasanya dimiliki oleh swasta (domestik maupun asing) misalnya saja RS. milik
konglomerasi, RS. milik swasta asing dan RS. milik pribadi.
Berkaitan dengan berbagai tekanan ekonomi dan keterbatasan anggaran yang disediakan
oleh pemerintah dan otorotas RS, maka dewasa ini sulit bagi pengelola RS non bisnis untuk
tetap konsisten bertahan pada idealisme awal (murni non profit), sebagai solusi untuk
mengatasi keadaan diatas beberapa RS non bisnis merasa perlu untuk membuka sayap
bisnis dalam bentuk layanan rawat (Paviliun Khusus Swasta ), layanan rawat sehari
(Oneday Care), atau layanan kekhususan lain (Unit Hemodialisis, Pusat Stroke dll).
Seperti telah disebutkan diatas pengaruh krisis global yang berkepanjangan, ditambah
dengan masalah sosial, politik dan keamanan (nasional & internasional) telah memicu
munculnya inflasi diberbagai sektor riil, yang pada akhirnya akan memaksa pemerintah
untuk berhati-hati dalam menghitung anggaran belanja negara termasuk belanja dibidang
kesehatan. Respons yang berlebihan untuk tetap mempertahankan idealisme dengan
alasan dan tujuan tertentu yang tidak logis serta hanya untuk kepentingan diri, kelompok
ataupun golongan (terutama dalam menghadapai Pemilu 2009) tanpa memperhatikan
pengaruh faktor eksternal, faktor internal dan confounding faktor lainnya, lama kelamaan
dapat menyebabkan rumah sakit tidak dapat berfungsi dengan baik. Demikian pula hasrat
yang berlebihan dalam menjawab keadaan diatas (dalam bentuk peningkatan pola tarif yang
tidak sesuai dengan kondisi ekonomi masyarakat saat ini), akan dapat menyebabkan rumah
sakit kehilangan ruh dan fungsi sosialnya yang selama ini diagungkan disamping dapat
berpotensi menyengsarakan masyarakat.
Berkaitan dengan kualitas dan fasilitas, beberapa rumah sakit pemerintah maupun swasta
yang ada saat ini memiliki kualitas layanan kesehatan yang sangat memprihatinkan dan
fasilitas yang menyedihkan. Hal ini antara lain disebabkan adanya keterbatasan sumber
daya (sumber daya finansial & non finansial). Tuntutan masyarakat terhadap peningkatan
mutu jasa layanan rumah sakit (Hospital / Medical Services) membutuhkan dana
investasi yang tidak sedikit. Peningkatan tuntutan terhadap kualitas jasa layanan rumah
sakit harus diikuti pula dengan peningkatan profesionalitas pengelolannya dan
pengelolaanya serta selalu dibarengi dengan niat tulus dan jujur tanpa ada keinginan untuk
mendapatkan keuntungan baik secara pribadi, golongan maupun kelompok.
Remunerasi Jasa medis dan gaji upah
Dalam membahas remunerasi jasa medis dan gaji upah, perlu dipahami makna dan tujuan
dari remunerasi pada umumnya.
Tujuan dari Remunerasi adalah: 1. Memperoleh SDM yang qualified, 2. Mempertahankan
karyawan yang baik dan berprestasi serta mencegah turnover karyawan, 3. Mendapatkan
keunggulan kompetitif, 4. Memotivasi karyawan untuk memperoleh perilaku yang diinginkan,
5. Menjamin keadilan antara satu karyawan dengan yang lainnya berdasarkan kinerja dan
prestasi kerja, 6. Mengendalikan biaya, 7. Sebagai sarana untuk mencapai sasaran strategis
RS, dan 8. Memenuhi peraturan Pemerintah.
Pemahaman definisi remunerasi jasa medis pada dasarnya adalah : Besaran nilai jumlah
uang yang harus diterima oleh tenaga medis sebagai kompensasi atas kinerja yang telah
dilakukan, berkaitan dengan risiko dan tanggung jawab profesi dari pekerjaannya.
Sedangkan gaji upah tenaga medis adalah nilai total yang harus diterima oleh tenaga medis
dari nilai kompensasi ditambah dengan besaran keuntungan lain (tangible & intangible).
Penjelasan dari definisi diatas, remunerasi terdiri dari: Kompensasi (komisi, keuntungan
langsung) dan insentif (bonus, bagihasil) atas kinerja atau aktifitas tugas yang telah
dilakukan. Sedangkan upah mencakup pendapatan dari besaran kompensasi dan insentif
ditambah dengan besaran keuntungan tak langsung yang didapat dari pengembangan atau
aktifitas organisasi / institusi.
Menurut Flippo EB, (1961). Remunerasi sesungguhnya adalah Harga untuk jasa-jasa yang
telah diberikan seseorang kepada orang lain. Dengan kata lain remunerasi jasa medis
merupakan bentuk kompensasi atas jasa (jasa medis) yang telah diberikan / dilakukan
tenaga medis pada pasiennya, dan untuk memudahkan dalam pendistribusian maka
remunerasi dikonkritkan dalam bentuk nominal.
Jasa medis yang dilakukan oleh tenaga medis pada hakikatnya berkaitan dengan layanan
medis dokter terhadap pasiennya didalam rumah sakit, layanan tersebut dapat dilakukan
dengan dukungan unit-unit penunjang lain baik unit penunjang langsung (rekam medik,
radiologi, laboratorium, fisioterapi, gizi, dll) maupun unit penunjang tidak langsung (unit
manajemen, marketing, sekuriti, perparkiran, kebersihan dll). Dari penjelasan diatas mudah
dipahami bahwa layanan RS (Hospital Services) merupakan hasil dari satu kerjasama
berbagai unit / layanan bersama, dengan berbagai proporsi,kerja, risiko dan tanggung
jawab. Beberapa unit penunjang langsung juga merupakan sumber pendapatan RS, oleh
karenanya bentuk jasa layanan yang dilakukan tadi disebut sebagai Jasa Pelayanan Rumah
Sakit. Pada klinik dan RS yang cukup kecil dengan layanan terbatas, biasanya jasa medis
congcruent dengan jasa pelayanan.
Terdapat berbagai cara dalam melakukan perhitungan untuk mendapatkan besaran nilai
remunerasi jasa pelayanan, berikut dibawah ini adalah pedoman yang dapat digunakan
dalam melakukan proses remunerasi:
1. Amanat Undang-undang No. 43 tahun 1999 tentang Kepegawaian bahwa sistem
penggajian Pegawai Negeri adalah berdasarkan merit yang disebutkan dlm psl. 7
ayat 1 : Setiap Pegawai Negeri berhak memperoleh gaji yang adil dan layak sesuai dengan
beban pekerjaan dan tanggung jawabnya
ayat 2 : Gaji yang diterima oleh Pegawai Negeri harus mampu memacu produktivitas dan
menjamin kesejahteraannya.
2. Remunerasi harus dapat memacu pegawai untuk menggunakan dan memanfaatkan
waktunya lebih banyak di rumah sakit dalam upaya melaksanakan optimalisasi
pekerjaannya.
3. Remunerasi harus memenuhi prinsip equity yang dikaitkan dikaitkan dengan kompetensi,
prestasi dan besaran risiko yang dihadapi.
4. Menggunakan pendekatan yang menitik-beratkan pada kombinasi Sistem Penilaian
berdasar pada kemampuan pencapaian hasil / penyelesaikan tugas dan Penilaian berdasar
pada keterampilan pelaksanaan tugas (Performance Based Pay Sistem and Skill
Based Pay System).
Pendahuluan
Rumah sakit merupakan suatu unit usaha jasa yang memberikan jasa pelayanan sosial di
bidang medis klinis. Pengelolaan unit usaha rumah sakit memiliki keunikan tersendiri karena
selain sebagai unit bisnis , usaha rumah sakit juga nemiliki misi sosial, disamping
pengelolaan rumah sakit juga sangat tergantung pada status kepemilikan rumah sakit. Misi
rumah sakit tidak terlepas dari misi layanan sosial. Namun tidak dipungkiri bahwa dalam
pengelolaan rumah sakit tetap terjadi konflik kepentingan dari berbagai pihak. Konflik
kepentingan berbagai pihak ini dapat bersumber dari klasifikasi organisasi rumah sakit.
Klasifikasi organisasi dibedakan menjadi dua, yaitu organisasi bisnis dan organisasi non
bisnis.
Rumah sakit pemerintah lebih tepat sebagai klasifikasi non bisnis, namun rumah sakit swasta
tidak seluruhnya diklasifikasikan dalam kelompok non bisnis. Beberapa rumah sakit masih
memiliki kualitas jasa layanan yang masih sangat memprihatinkan. Hal ini antara lain
disebabkan karena keterbatasan sumber daya baik sumber daya finansial maupun sumber
daya non finansial. Tuntutan peningkatan kualitas jasa layanan membutuhkan berbagai dana
investasi yang tidak sedikit. Kenaikan tuntutan kualitas jasa layanan rumah sakit harus
dibarengi dengan profesionalisme dalam pengelolaannya. Perkembangan pengelolaan rumah
sakit, baik dari aspek manajemen maupun operasional sangat dipengaruhi oleh berbagai
tuntutan dari lingkungan, yaitu lingkungan eksternal dan internal. Tuntutan eksternal antara
lain adalah dari para stakeholder bahwa rumah sakit dituntut untuk memberikan pelayanan
kesehatan yang bermutu, dan biaya pelayanan kesehatan terkendali sehingga akan berujung
pada kepuasan pasien. Tuntutan dari pihak internal antara lain adalah pengendalian biaya.
Pengendalian biaya merupakan masalah yang kompleks karena dipengaruhi oleh berbagai
pihak yaitu mekanisme pasar, perilaku ekonomis, sumber daya professional dan yang tidak
kalah penting adalah perkembangan teknologi. Rumah sakit kepemerintahan yang terdapat di
tingkat pusat dan daerah tidak lepas dari pengaruh perkembangan tuntutan tersebut.
Dipandang dari segmentasi kelompok masyarakat, secara umum rumah sakit pemerintah
merupakan layanan jasa yang menyediakan untuk kalangan menengah ke bawah, sedangkan
rumah sakit swasta melayani masyarakat kelas menengah ke atas. Biaya kesehatan cenderung
terus meningkat,dan rumah sakit dituntut untuk secara mandiri mengatasi masalah tersebut.
Peningkatan biaya kesehatan ini menyebabkan fenomena tersendiri bagi rumah sakit
pemerintahan karena rumah sakit pemerintah memiliki segmen layanan kesehatan untuk
kalangan menengah ke bawah. Akibantnya rumah sakit pemerintah diharapkan menjadi
rumah sakit yang murah dan bermutu. Rumah sakit pemerintah menghadapi dilema antara
misi melayani masyarakat kelas menengah ke bawah dan adanya keterbatasan sumber dana,
serta berbagai aturan dan birokrasi yang harus dihadapi. Kondisi tersebut akan
mengakibatkan rumah sakit pemerintah mengalami kebingungan apakah rumah sakit
dijadikan sebagai lembaga birokrasi dalam sistem kesehatan ataukah sebagai lembaga
pelayanan kesehatan yang tidak birokratis.
Syarat-syarat BLU
Rumah sakit pemerintah daerah yang telah menjadi BLU/BLUD menggunakan SPM yang
telah ditetapkan oleh menteri/pimpinan lembaga/gubernur/walikota/bupati sesuai dengan
kewenangannya, harus memperhatikan kualitas pelayanannya, pemerataan, dan kesetaraan
layanan, biaya serta kemudahan untuk mendapatkan layanan. Dalam hal RSUD maka SPM
ditetapkan oleh pemerintah daerah. SPM tersebut harus memenuhi persyaratan :
1. Fokus pada pelayanan
2. Terukur
3. Dapat dicapai
4. Relevan dan dapat diandalkan
5. Tepat waktu
RS BLU adalah RS pemerintah yang menjual jasa pelayanan rumah-sakit not-for-profit tetapi
tetap dikelola dengan prinsip produktifitas dan efisiensi. Dengan memiliki bentuk sebagai
organisasi BLU, maka RS memilki pola pengelolaan keuangan (PPK) yang memberikan
fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan praktek-praktek bisnis yang sehat untuk
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Praktek bisnis yang sehat adalah
penyelenggaraan fungsi organisasi berdasarkan kaidah-kaidah manajemen yang baik (good
corporate governance) dalam rangka pemberian layanan yang bermutu dan
berkesinambungan. Good coorporate governance sendiri adalah konsep untuk meningkatkan
transparansi dan akuntabilitas dengan tujuan untuk menjamin agar tujuan RS tercapai dengan
penggunaan sumberdaya se-efisien mungkin RS dapat diizinkan mengelola keuangan dengan
PPK-BLU apabila memenuhi berbagai persyaratan, yaitu:
1. Substantif yang dapat dipenuhi bila instansi pemerintah yang bersangkutan
menyelenggarakan Iayanan umum yang berhubungan dengan:
2. Teknis yang dapat dipenuhi apabila kinerja pelayanan sesuai bidang tugas pokok dan
fungsinya layak dikelola dan ditingkatkan pencapaiannya melalui BLU serta kinerja
keuangan satuan kerja instansi yang bersangkutan: sehat
3. Administratif yang dapat dipenuhi apabila dapat menyajikan dokumen:
Atas dasar itu maka penyusunan Standar Pelayanan Minimum (SPM) menjadi bagian dari
proses kegiatan merubah bentuk RS menjadi bentuk BLU. SPM sediri didefinisikan dalam PP
nomor 23 tahun 2004 sebagai spesifikasi teknis tentang tolok ukur layanan minimum yang
diberikan oleh BLU kepada masyarakat. Dari definisi ini terlihat bahwa SPM harus memiliki
indikator kinerja pelayanan dan standar (target) pencapaiannya.
-
Berbagai butir-butir peraturan atau ketentuan tentang mutu pelayanan yang terkait dengan
mutu pelayanan di rumah-sakit antara lain:
1. PP 23 tahun 2005 tentang pengelolaan keuangan BLU
Dalam PP 23 tahun 2005 terdapat aturan mengenai SPM yaitu bahwa SPM
mempertimbangkan (dimensi): Kualitas tehnis, proses, tatacara, dan waktu; Pemerataan dan
kesetaraan; Biaya; Kemudahan. Dimana dalam penyusunannya harus Standar layanan BLU
semestinya memenuhi persyaratan SMART: Specific (fokus pada jenis layanan); Measurable
(dapat diukur); Achievable (dapat dicapai); Reliable (relevan dan dapat diandalkan); dann
Timely (tepat waktu)
1. KepMenKes 228 tahun 2002 tentang pedoman penyusunan SPM RS
Dalam Kepmenkes 228 tahun 2002, maka SPM RS harus memuat standar penyelenggaraan
yang terkait dengan: Pelayanan medik; Pelayanan penunjang; Pelayanan keperawatan;
Pelayanan bagi Gakin; dan Manajemen rumah sakit (yang terdiri dari manajemen
sumberdaya manusia; manajemen keuangan; manajemen sistem informasi rumah sakit;
manajemen sarana prasarana; dan manajemen mutu Pelayanan)
1. Buku indikator kinerja RS (Depkes tahun 2004)
Dalam buku indikator kinerja RS dijelaskan bawa indikator kinerja harus diukur dari empat
perspektif, yaitu: Pengembangan SDM, Proses, Kepuasan pelanggan, dan Keuangan.
1. Buku petunjuk pelaksanaan indikator pelayanan RS (Depkes tahun 1998)
Adanya sistem desentralisasi membuat rumah sakit harus melakukan banyak penyesuaian
khusunya dalam hal pengelolaan teknis keuangan maupun penganggaraannya, termasuk
penentuan biaya. Rumah sakit pemerintah dituntut untuk menjadi rumah sakit yang murah
dan bermutu. Dalam pengelolaannya rumah sakit pemerintah memiliki peraturan pendukung
yang terkait dnegan pengelolaan keuangan yang fleksibel. Berdasar PP no: 23 tahun 2005
tersebut rumah sakit pemerintah telah mengalami perubahan sebagai badan layanan umum.
Perubahan kelembagaan ini berimbas pada pertanggungjawaban keuangan bukan lagi kepada
departemen kesehatan tetapi kepada departemen keuangan. Sebagaimana telah diuraikan di
atas dari aspek pelaporan keuangan yang harus mengikuti standar akuntansi keuangan, maka
dalam pengelolaan teknis keuangan pun harus diselenggarakan dengan mengacu pada
prinsip-prinsip akuntanbilitas, transparansi dan efisiensi. Anggaran yang disusun rumah sakit
pemeritah juga harus disusun dengan berbasis kinerja (sesuai dengan Kepmendagri no 29
tahun 2002).
Berdasar prinsip-prinsip tersebut, aspek teknis keuangan perlu didukung adanya hubungan
yang baik dan berkelanjutan antara rumah sakit,dengan pemerintah dan dengan para
stakeholder, khususnya dalam penentuan biaya pelayanan kesehatan yang mencakup unit
cost, efisiensi dan kualitas pelayanan. Yang perlu dipertimbangankan lagi adalah adalah
adanya audit atau pemeriksaan bukan saja dari pihak independen terhadap pelaporan
keuangan tetapi juga perlu audit klinik. Dengan berubahnya kelembagaan sebagai BLU tentu
saja aspek teknis sangat berhubungan erat dengan basis kinerja.
Tahap Penyusunan Tarif
Sesuai dengan syarat-syarat BLU bahwa yang dimaksud dengan persyaratan substantif,
persyaratan teknis dan persyaratan admnistratif adalah berkaitan dengan
standar layanan, penentuan tarif layanan, pengelolaan keuangan,tata kelola semuanya
harus berbasis kinerja. Hal-hal yang harus dipersiapkan bagi rumah sakit untuk menjadi BLU
dalam aspek teknis keuangan adalah:
Penentuan tarif harus berdasar unit cost dan mutu layanan. Dengan
demikian rumah sakit pemerintah harus mampu melakukan penelusuran
(cost tracing) terhadap penentuan segala macam tarif yang ditetapkan
dalam layanan. Selama ini aspek penentuan tarif masih berbasis aggaran
ataupu subsidi pemerintah sehingga masih terdapat suatu cost culture
yang tidak mendukung untuk peningkatan kinerja atau mutu layanan.
Penyusunan tarif rumah sakit seharusnya berbasis pada unit cost, pasar
(kesanggupan konsumen untuk membayar dan strategi yang dipilih. Tarif
tersebut diharapkan dapat menutup semua biaya, diluar subsidi yang
diharapkan. Yang perlu diperhatikan adalah usulan tarif jangan berbasis
pada prosentase tertentu namun berdasar pada kajian yang dapat
dipertanggungjawabkan. Secara umum tahapan penentuan tarif harus
melalui mekanisme usulan dari setiap divisi dalam rumah sakit dan aspek
pasar dan dilanjutkan kepada pemilik. Pemilik rumah sakit pemerintah
adalah pemerintah daerah dan DPRD (lihat gambar di atas)
Dalam penyusunan sistem remunerasi rumah sakit perlu memiliki dasar pemikiran bahwa
tingkatan pemberian remunerasi didasari pada tingkatan, yaitu tingkatan satu adalah basic
salary yang merupakan alat jaminan safety bagi karyawan. Basic salary tidak dipengaruhi
oleh pendapatan rumah sakit. Tingkatan dua adalah incentives yaitu sebagai alat pemberian
motivasi bagi karyawan. Pemberian incentives ini sangat dipengaruhi oleh pendapatan rumah
sakit. Tingkatan yang ketiga adalah bonus sebagai alat pemberian reward kepada
karyawan.Pemberian bonus ini sangat dipengaruhi oleh tingkat keuntungan rumah sakit.
Implementasi aspek teknis keuangan bagi rumah sakit ini akan menjadi nilai plus dalam
upayanya untuk peningkatan kualitas jasa layanan dan praktik tata kelola yang transparan.
D. Tata Kelola BLU
Secara umum ada lima prinsip dasar yang terkandung dalam good corporate governance atau
tata kelola yang baik menurut Daniri (2005). Kelima prinsip tersebut adalah transparansi,
akuntabilitas, responsibilitas, independensi dan kesetaraan/kewajaran. Namun dalam
Permendagri No. 61 tahun 2007, prinsip yang dituntut untuk dilaksanakan hanya empat
prinsip yang pertama.
Secara lebih rinci prinsip-prinsip dasar dalam tata kelola yang baik adalah sebagai berikut:
1. Transparansi (Transparancy); yaitu keterbukaan informasi baik dalam proses pengambilan
keputusan maupun dalam mengungkapkan informasi material dan relevan mengenai
perusahaan. Efek terpenting dari dilaksanakannya prinsip transparansi ini adalah terhindarnya
benturan kepentingan (conflict of interest) berbagai pihak dalam manajemen.
2. Akuntabilitas (Accountability); yaitu kejelasan fungsi, struktur, sistem dan
pertanggungjawaban organ lembaga sehingga pengelolaan lembaga dapat terlaksana dengan
baik. Dengan terlaksananya prinsip ini, lembaga akan terhindar dari konflik atau benturan
kepentingan peran.
3. Responsibilitas (Responsibility); yaitu kesesuaian atau kepatuhan di dalam pengelolaan
lembaga terhadap prinsip korporasi yang sehat serta peraturan perundangan yang berlaku,
termasuk yang berkaitan dengan masalah pajak, hubungan industrial, perlindungan
lingkungan hidup, kesehatan/keselamatan kerja, standar penggajian dan persaingan yang
sehat.
4. Independensi (Independency); yaitu suatu keadaan dimana lembaga dikelola secara
profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manapun yang tidak
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi
yang sehat.
5. Kesetaraan dan kewajaran (Fairness); yang secara sederhana dapat didefinisikan sebagai
perlakuan yang adil dan setara didalam memenuhi hak-hak stakeholder yang timbul
berdasarkan perjanjian serta peraturan perundangan yang berlaku.
Aplikasi Konsep Tata Kelola yang Baik
Selain bersaing untuk mendapatkan pengguna, lembaga pelayanan publik juga bersaing
dengan sektor lain untuk memperoleh sumber daya dari pemerintah. Sehingga pelaksanaan
pola tata kelola yang baik menjadi sangat vital bagi lembaga.
Aplikasi Pola Tata Kelola ini terutama ditujukan untuk:
i. Meningkatkan kemampuan bersaing mendapatkan sumber daya dari pemerintah maupun
non pemerintah
ii. Mengurangi risiko perubahan yang terjadi tiba-tiba dan mendorong penanaman modal
jangka panjang
iii. Memperkuat sektor finansial
iv. Memajukan manajemen yang bertanggung jawab dan kerja finansial yang solid
Pola Tata Kelola Rumah Sakit
Tata Kelola RSD dengan PPK BLUD disusun sesuai dengan falsafah BLUD yang tertuang di
Permendagri nomor 61 tahun 2007, sebagai berikut:
1) Pelaksanaan reformasi di bidang keuangan dan perkecualian dari aturan Negara
sebelumnya
2) Diberikan previlledge dan tuntutan khusus
3) Penganggaran berbasis kinerja
4) Orientasi pada output
5) Mewiraswastakan pemerintah (enterprising the government )
6) Menerapkan pola pengelolaan yang fleksibel
7) Menonjolkan produktifitas, effektif dan effisien
Instansi yang dikelola secara business like
9) Tenaga yang professional dan competent
10) Kontrak Kinerja ( a contractual performance agreement )
Pola Tata Kelola, yang merupakan peraturan dasar internal RSD dengan PPK BLUD, yang
menggambarkan Akuntabilitas, Transparansi, Indepedensi, dan Resposibilitas. Tata Kelola
Rumah Sakit Daerah dengan PPK BLUD adalah Tata kelola Rumah Sakit (Hospital
Bylaws) yang disesuaikan dengan tujuan pengelolaan BLUD yaitu meningkatkan pelayanan
dengan praktek bisnis yang sehat, yaitu pengelolaan manajemen yang baik, bermutu dan
berkesinambungan. Terminologi hospital bylaws perlu dibedakan dengan terminologi rule
and regulation dalam banyak hal; antara lain dalam hal materi (substansi) serta badan
(otoritas) yang punya kewenangan mengesahkannya.
E. Alasan Rumah Sakit Pemerintah dijadikan BLU
Diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan
Badan Layanan Umum (BLU) adalah sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 69 ayat
(7) UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. PP tersebut bertujuan untuk
meningkatkan pelayanan publik oleh Pemerintah, karena sebelumnya tidak ada pengaturan
yang spesifik mengenai unit pemerintahan yang melakukan pelayanan kepada masyarakat
yang pada saat itu bentuk dan modelnya beraneka macam. Jenis BLU disini antara lain rumah
sakit, lembaga pendidikan, pelayanan lisensi, penyiaran, dan lain-lain. Rumah sakit sebagai
salah satu jenis BLU merupakan ujung tombak dalam pembangunan kesehatan masyarakat.
Namun, tak sedikit keluhan selama ini diarahkan pada kualitas pelayanan rumah sakit yang
dinilai masih rendah. Ini terutama rumah sakit daerah atau rumah sakit milik pemerintah.
Penyebabnya sangat klasik, yaitu masalah keterbatasan dana yang dimiliki oleh rumah sakit
umum daerah dan rumah sakit milik pemerintah, sehingga tidak bisa mengembangkan mutu
layanannya, baik karena peralatan medis yang terbatas maupun kemampuan sumber daya
manusia (SDM) yang rendah. Perkembangan pengelolaan rumah sakit, baik dari aspek
manajemen maupun operasional sangat dipengaruhi oleh berbagai tuntutan dari lingkungan,
yaitu antara lain bahwa rumah sakit dituntut untuk memberikan pelayanan kesehatan yang
bermutu, dan biaya pelayanan kesehatan terkendali sehingga akan berujung pada kepuasan
pasien. Tuntutan lainnya adalah pengendalian biaya. Pengendalian biaya merupakan masalah
yang kompleks karena dipengaruhi oleh berbagai pihak yaitu mekanisme pasar, tindakan
ekonomis, sumber daya manusia yang dimiliki (profesionalitas) dan yang tidak kalah penting
adalah perkembangan teknologi dari rumah sakit itu sendiri. Rumah sakit pemerintah yang
terdapat di tingkat pusat dan daerah tidak lepas dari pengaruh perkembangan tuntutan
tersebut. Dipandang dari segmentasi kelompok masyarakat, secara umum rumah sakit
pemerintah merupakan layanan jasa yang menyediakan untuk kalangan menengah ke bawah,
sedangkan rumah sakit swasta melayani masyarakat kelas menengah ke atas. Biaya kesehatan
cenderung terus meningkat,dan rumah sakit dituntut untuk secara mandiri mengatasi masalah
tersebut. Peningkatan biaya kesehatan menyebabkan fenomena tersendiri bagi rumah sakit
pemerintahan karena rumah sakit pemerintah memiliki segmen layanan kesehatan untuk
kalangan menengah ke bawah. Akibatnya rumah sakit pemerintah diharapkan menjadi rumah
sakit yang murah dan bermutu.
Standar Pelayanan dan Tarif Layanan Rumah Sakit Pemerintah Daerah yang telah menjadi
BLU/BLUD menggunakan standar pelayanan minimum yang ditetapkan oleh
menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya, harus
mempertimbangkan kualitas layanan, pemerataan dan kesetaraan layanan, biaya serta
kemudahan untuk mendapatkan layanan. Dalam hal rumah sakit pemerintah di daerah
(RSUD) maka standar pelayanan minimal ditetapkan oleh kepala daerah dengan peraturan
kepala daerah. Standar pelayanan minimal tersebut harus memenuhi persyaratan, yaitu :
1. Fokus pada jenis pelayanan, dalam arti mengutamakan kegiatan pelayanan yang
menunjang terwujudnya tugas dan fungsi BLU/BLUD;
2. Terukur, merupakan kegiatan yang pencapaiannya dapat dinilai sesuai dengan standar yang
telah ditetapkan;
3. Dapat dicapai, merupakan kegiatan nyata yang dapat dihitung tingkat pencapaiannya,
rasional sesuai kemampuan dan tingkat pemanfaatannya;
4. Relevan dan dapat diandalkan, merupakan kegiatan yang sejalan, berkaitan dan dapat
dipercaya untuk menunjang tugas dan fungsi BLU/BLUD;
5. Tepat waktu, merupakan kesesuaian jadwal dan kegiatan pelayanan yang telah ditetapkan.
Rumah Sakit Pemerintah Daerah yang telah menjadi BLU/BLUD dapat memungut biaya
kepada masyarakat sebagai imbalan atas barang atau jasa layanan yang diberikan. Imbalan
atas barang atau jasa layanan yang diberikan tersebut ditetapkan dalam bentuk tarif yang
disusun atas dasar perhitungan biaya per unit layanan atau hasil per investasi dana. Tarif
layanan diusulkan oleh rumah sakit kepada menteri keuangan/menteri kesehatan/kepala
SKPD sesuai dengan kewenangannya, dan kemudian ditetapkan oleh menteri
keuangan/kepala daerah dengan peraturan menteri keuangan/peraturan kepala daerah. Tarif
layanan yang diusulkan dan ditetapkan tersebut harus mempertimbangkan hal-hal sebagai
berikut:
1. kontinuitas dan pengembangan layanan;
2. daya beli masyarakat;
3. asas keadilan dan kepatutan; dan
4. kompetisi yang sehat.
Pengelolaan Keuangan Adanya desentralisasi dan otonomi daerah dengan berlakunya UU
tentang Pemerintahan Daerah (UU No. 32 Tahun 2004, terakhir diubah dengan UU No. 12
Tahun 2008), UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, serta
Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Umum Penyusunan APBD, kemudian PP
No. 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, PP No. 24 Tahun
2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan, dan Permendagri No. 61 Tahun 2007 tentang
Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah, membuat rumah
sakit pemerintah daerah harus melakukan banyak penyesuaian khususnya dalam pengelolaan
keuangan maupun penganggarannya, termasuk penentuan biaya. Dengan terbitnya PP No. 23
Tahun 2005, rumah sakit pemerintah daerah mengalami perubahan menjadi BLU. Perubahan
ini berimbas pada pertanggungjawaban keuangan tidak lagi kepada Departemen Kesehatan
tetapi kepada Departemen Keuangan, sehingga harus mengikuti standar akuntansi keuangan
yang pengelolaannya mengacu pada prinsip-prinsip akuntabilitas, transparansi dan efisiensi.
Anggaran yang akan disusun pun harus berbasis kinerja (sesuai dengan Kepmendagri No. 29
Tahun 2002). Penyusunan anggaran rumah sakit harus berbasis akuntansi biaya yang didasari
dari indikator input, indikator proses dan indikator output, sebagaimana diatur berdasarkan
PP No. 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, PMK No.
76/PMK.05/2008 tentang Pedoman Akuntansi Dan Pelaporan Keuangan Badan Layanan
Umum, dan khusus untuk RSUD, pengelolaan keuangannya harus mengacu dan berdasarkan
Permendagri Permendagri No. 61 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan Umum Daerah.
F. Apakah BLU sama dengan privatisasi (jelaskan)
Badan layanan umu tidak sama dengan privatisasi. Berdasarkan Pasal 1 angka 23 UU No. 1
Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Badan Layanan Umum (BLU) adalah instansi di
lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat
berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari
keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan
produktivitas. Tujuan dibentuknya BLU adalah untuk meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan
bangsa dengan memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip
ekonomi dan produktivitas, dan penerapan praktik bisnis yang sehat. Berdasarkan PP No.23
tahun 2005 pasal 3 disebutkan beberapa asas BLU diantaranya BLU tidak mencari laba.
Selain itu, sekalipun BLU dikelola secara otonom dengan prinsip efisiensi dan produktivitas
ala korporasi, namun pengelolaan keuangan BLU mempunyai karakteristik yang berbeda jika
dibanding dengan BUMN/BUMD, diantaranya BLU dibentuk untuk meningkatkan pelayanan
kepada masyarakat. BLU juga disertai dengan beberapa persyaratan, yang meliputi
persyaratan substantif, teknis, dan administratif.
Sedangkan privatisasi rumah sakit merupakan perubahan RSUP menjadi bentuk perjan atau
instansi pemerintah yang diswastakan. RSUP yang selama ini tidak pernah memerhatikan
masalah cost dan revenue sekarang diwajibkan melaporkan situasi keuangan secara rutin.
Perubahan status RSUP menjadi status perjan seperti perubahan fungsi RS dari fungsi sosial
menjadi industry jasa berkurangnya kemampuan pemerintah untuk mensubsidi pelayanan
kesehatan, pengelolaan RS swadana yang tidak lagi berjalan akibat adanya UU PNBP, dan
berkembangnya paradigma sehat. Selain itu, privatisasi rumah sakit berdasarkan telaah dan
kajian dari aspek hukum, sosial kemasyarakatan, hingga aspek moral yang telah dilakukan
oleh departemen kesehatan pada prinsipnya privatisasi rumah sakit hanya akan
mengedepankan aspek bisnis daripada fungsi sosial dan privatisasi rumah sakit hanya akan
semakin menjauhkan masyarakat dari pelayanan kesehatan. Secara logika, rumah sakit yang
telah diprivatisasi maka keuntungan akan menjadi tujuan utama agar rumah sakit dapat tetap
beroperasi. Akibatnya rumah sakit akan mengekar target untuk menutup investasi dengan
mengambil keuntungan dari pasien. Hal tersebut akhirnya akan mendorong dokter untuk
cenderung melakukan tindakan yang tidak rasional dan mengesampingkan etika. Akibat
privatisasi rumah sakit ini akan sangat terasa bagi pasien yang tidak tercover oleh asuransi
kesehatan nasional. Maka Sesuai usulan Depkes kepada Presiden pada surat No
173/MENKES/II/2005 pada 3 Februari 2005 mengusulkan agar 13 RS Perjan (RSCM
Jakarta, Fatmawati, Persahabatan, Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita, Anak dan
Bersalin Harapan Kita, Kanker Dharmais, Hasan Sadikin Bandung, Kariadi Semarang,
Sardjito Yogyakarta, Sanglah Denpasar, Wahidin Sudirohusodo Makassar, M. Djamil Padang,
dan M. Hoesin Palembang) dapat berubah ke sistem pengelolaan keuangan sebagai BLU.
G. Dampak BLU bagi manajemen Rumah Sakit
Kualitas pelayanan Rumah sakit tergantung pada manajemen pengelolaan Rumah sakit
tersebut, yang terdiri dari manajemen strategik dan operasional RS, manajemen keuangan,
manajemen barang dan sarana RS, dan manajemen SDM. Pada Rumah sakit pemerintah
ternyata manajemen pengelolaan ini sangat tergantung pada bentuk kelembagaan Rumah
sakit pemerintah sehingga peraturan/perundangan yang memengaruhi bentuk kelembagaan
Rumah sakit pemerintah akan sangat berpengaruh pada manajemen pengelolaan Rumah sakit
dan akhirnya akan berpengaruh pada kualitas pelayanan Rumah sakit.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 RS Pemerintah adalah Unit Pelaksana
Teknis (UPT), di mana RSUP sebagai konsekuensi asas dekonsentrasi menjadi UPT dari
Depkes, sedangkan RSUD menjadi UPT dari Dinas Kesehatan kabupaten/kota atau Pemda
Dati II, sebagai konsekuensi asas desentralisasi. Campur tangan pemda terlibat pada seluruh
manajemen RS, bahkan pembiayaan RSUD 20 persen dari Pemerintah Dati II dan 80 persen
subsidi pemerintah pusat.
Kemudian terjadi reformasi pertama Rumah sakit pemerintah pada tahun 1992 ketika keluar
Keputusan Presiden No 38/1991 tentang Unit Swadana, artinya Rumah sakit pemerintah
mempunyai kewenangan untuk menggunakan penerimaan fungsionalnya secara langsung,
artinya revenue dapat dikelola secara mandiri oleh Rumah sakit pemerintah, walaupun
subsidi masih ada. Unit swadana memang bukan reformasi kelembagaan, tapi mulai nyata
adanya hubungan antara kemandirian pengelolaan revenue ini dan peningkatan kualitas.
Reformasi ini hanya berjalan lima tahun, dengan dikeluarkannya UU No 20/1997 tentang
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), maka RSUP yang sudah terbiasa mengelola
anggaran pendapatan fungsionalnya sebagai RS unit swadana harus mengembalikan dana
tersebut ke kas negara. RSUD tidak terkena UU ini.
Tetapi, dengan UU No 1/2004 tentang Perbendaraan Negara, membuat suatu terobosan
dengan pembentukan badan layanan umum (BLU). Jadi RSUD walau berbentuk Lembaga
Teknis Daerah , namun sistem keuangannya adalah BLU dan seperti juga unit swadana, maka
RS BLU adalah suatu perubahan otonomi sistem keuangan dan bukan perubahan
kelembagaan RS.
Pada rumah sakit berbentuk BLU, bentuknya lebih bersifat otonom dengan manajemen BLU,
maka sebuah RS mempunyai keleluasaan dan kelonggaran yang lebih untuk
mendayagunakan uang pendapatan. Namun, pendapatan tersebut harus dikelola sebaikbaiknya untuk meningkatkan mutu pelayanan bagi semua pasien. Juga untuk meningkatkan
kualitas SDM, mengendalikan tarif pelayanan, mengelola sarana, menjalin hubungan dengan
pihak ketiga, dan tidak menumpuk keuntungan saja, sehingga BLU masih tetap harus
melayani masyarakat miskin.
Sebelum adanya aturan tentang BLU, manajemen pengelolaan keuangan di sebuah rumah
sakit sangat ketat. Akibatnya, rumah sakit tidak bisa mengembangkan diri dalam hal
keuangan. Yang lebih parah, mutu layanan kepada pasien atau konsumen juga semakin
menurun.
Adapun tujuan dari reformasi bentuk badan hukum dari organisasi dan manajemen rumah
sakit pemerintah ini diantaranya adalah :
1. Dengan adanya perubahan bentuk badan hukum rumah sakit dari
berbantuk PNBP (penerimaan negara bukan pajak) menjadi Badan
Layanan Umum, diharapkan terjadi peningkatan mutu pelayanan
kesehatan di Rumah sakit pemerintah
2. Dengan adanya perubahan ini para karyawan mendapatkan gaji sesuai
dengan kinerja mereka masing-masing sehingga pada akhirnya tercipta
iklim kerja yang sehat di lingkungan rumah sakit.
3. Dengan adanya perubahan ini diharapkan adanya keleluasaan bagi
manajemen rumah sakit untuk mengelola keuangannya demi peningkatan
dan pengembangan sumber daya, fasilitas dan peralatan rumah sakit
4. Dengan perubahan ini juga diharapkan tidak melupakan fungsi sosial
sebuah rumah sakit yaitu dengan tetap memberi pelayanan bagi rakyat
miskin.
Kualitas pelayanan Rumah sakit tergantung pada manajemen pengelolaan Rumah sakit
tersebut. Dengan BLU, manajemen RS diperbolehkan meminjam uang kepada pihak ketiga
untuk meningkatkan dan mengembangkan pelayanan rumah sakit, bahkan juga untuk
menutup biaya operasional jika kondisi keuangan sebuah rumah sakit benar-benar
mengkhawatirkan, namun persoalannya ketika sudah menggandeng banyak pihak, beban
untuk peningkatan pelayanan lambat laun akan ditimpakan kepada pasien. Dengan adanya
aturan soal BLU ini, maka manajemen rumah sakit memiliki keleluasaan dalam mengelola
keuangannya dan mutu rumah sakit yang semakin bagus dengan adanya sistem BLU ini
karena manajemen rumah sakit mampu mengelola keungannya sendiri dan bisa
meningkatkan kemampuan SDM nya untuk mewujudkan mutu rumah sakit yang berkualitas.
H. Sikap Rumah Sakit BLU terhadap Masyarakat Miskin
Rumah sakit adalah ujung tombak pembangunan kesehatan masyarakat. Namun, tak sedikit
keluhan selama ini diarahkan pada kualitas pelayanan rumah sakit yang dinilai masih rendah.
Ini terutama rumah sakit daerah atau rumah sakit milik pemerintah.
Penyebabnya klasik, yaitu masalah keterbatasan dana. Sehingga rumah sakit (RSUD dan
rumah sakit milik pemerintah) tidak bisa mengembangkan mutu layanannya, baik karena
peralatan medis yang terbatas maupun kemampuan sumber daya manusia (SDM) yang
rendah.
Menyadari hal tersebut, pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (BLU). Dengan
PP ini, maka status rumah sakit kini berubah menjadi BLU.
Rumah Sakit Pemerintah Daerah yang telah menjadi BLU/BLUD dapat memungut biaya
kepada masyarakat sebagai imbalan atas barang/jasa layanan yang diberikan. Imbalan atas
barang/jasa layanan yang diberikan tersebut ditetapkan dalam bentuk tarif yang disusun atas
dasar perhitungan biaya per unit layanan atau hasil per investasi dana. Tarif layanan
diusulkan oleh rumah sakit kepada menteri keuangan/menteri kesehatan/kepala SKPD sesuai
dengan kewenangannya, dan kemudian ditetapkan oleh menteri keuangan/kepala daerah
dengan peraturan menteri keuangan/peraturan kepala daerah. Tarif layanan yang diusulkan
dan ditetapkan tersebut harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
1. kontinuitas dan pengembangan layanan;
2. daya beli masyarakat;
3. asas keadilan dan kepatutan; dan
4. kompetisi yang sehat.
Selama ini muncul kekhawatiran di masyarakat terhadap rumah sakit (RS) dengan status
sebagai Badan Layanan Umum (BLU). Dikhawatirkan, biaya kesehatan di RS semakin tak
terjangkau oleh masyarakat miskin. Akibatnya, masyarakat miskin makin jauh dari pelayanan
kesehatan yang sangat dibutuhkannya.
Saat ini keuntungan rumah sakit bukan merupakan parameter penting untuk menilai
keberhasilan seorang direktur utama rumah sakit. Pasalnya, di masa lalu banyak rumah sakit
yang untung, tetapi semakin banyak orang Indonesia yang berobat ke luar negeri. Hal ini bisa
ditekan bila para dokter bekerja lebih baik, sehingga kepercayaan kepada dokter meningkat
dan tidak akan berobat ke luar negeri.
Pengurangan jumlah orang Indonesia yang berobat ke luar negeri merupakan salah satu
ukuran kesuksesan seorang direktur utama RS BLU. Selain itu, saat ini tidak ada alasan lagi
dari pihak rumah sakit menolak pasien miskin. Karena, saat ini ada program pengobatan
gratis untuk rakyat miskin di kelas tiga dengan mekanisme asuransi kesehatan (Askeskin).
Manajemen keuangan rumah sakit yang sekarang dikelola dengan sistem BLU (Badan
Layanan Umum) berarti rumah sakit mempunyai kelonggaran yang lebih untuk
mendayagunakan uang pendapatan rumah sakit, bahkan masih mendapat subsidi pula.
Kelonggaran mengelola pendapatan rumah sakit hendaknya jangan dimanfaatkan untuk
menumpuk keuntungan saja, tapi untuk meningkatkan mutu pelayanan untuk semua pasien,
meningkatkan mutu sumber daya manusianya serta mengendalikan tarif pelayanan.
Sekarang ini, parameter keberhasilan telah berubah, bukan lagi semata-mata keuntungan
material, tapi keberhasilan melayani masyarakat menjadi unsur yang jauh lebih penting,
dalam hal ini harus mampu memberikan pelayanan kepada masyarakat yang feasibel dengan
menonjolkan produktivitas, efisiensi dan efektivitas.
KESIMPULAN
Rumah sakit BLU yaitu instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan
pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa
mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada
prinsip efisiensi dan produktivitas. Rumah sakit BLU dapat dikatakan bermutu jika SPM RS
BLU, standar RS BLU bermutu, dan indicator RS bermutu dapat terpenuhi. BLU yang
diterapkan di rumah sakit secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi sistem
manajemen rumah sakit yang bersangkutan. RS BLU yang diharapkan semakin dapat
memberikan pelayanan berkualitas bagi masyarakat menengah ke bawah dan bersifat nirlaba
sangat berbeda dengan sistem privatisasi rumah sakit yang justru cenderung mendorong RS
untuk mendapatkan untung agar dapat terus beroperasi, sehingga semakin menjauhkan
masyarakat dari pelayanan kesehatan yang seharusnya untuk mereka.
Disusun Oleh:
Anggit Tinarbuka AW
Apriliana Susilowati
Arcindy Iswanty
Ari Andang Pratiwi
Merry Tiffani
Riama Haposanita
Daftar Pustaka
Aditama, Tjandra.2007.Manajemen Administrasi Rumah Sakit.Jakarta : UI Press
Djojosugito, A. Seluk Beluk Rumah Sakit Berbentuk Perusahaan Jawatan. Jur MARSI
Vol.III, No.1, 2002, p.19-23
Gizi.net. Berharap Peningkatan Mutu RS Lewat Badan Layanan Umum. 2005.
[www.gizi.net/gklinis] Diakses pada tanggal 19 Mei 2011.
Kemenkes RI.2005.Menkes Minta Privatisasi Rumah Sakit Ditinjau Ulang.Jakarta :
Kemenkes RI (Diunduh tanggal : 25 Mei 2011) Diunduh dari :
http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/717-menkes-minta-privatisasi-rumahsakit-ditinjau-ulang.html
Norpatiwi, AM Vianey. Aspek Value Added Rumah Sakit Sebagai Bdan Layanan Umum.
2005. [http://www.stieykpn.ac.id/images/artikel/Aspek%20Value%20Added%20Rumah
%20Sakit.pdf] Diakses pada tanggal 19 Mei 2011.
Sie Infokum Ditama Binbangkum, 2008. RUMAH SAKIT PEMERINTAH DAERAH
SEBAGAI BADAN LAYANAN UMUM (BLU) [Diunduh tanggal 23 Mei 2011]
(http://www.jdih.bpk.go.id/informasihukum/RSUD_BLU.pdf) [diakses tanggal 23 Mei 2011]
Tempo Interaktif.26 Mei 2005.Depkes Tolak Privatisasi Rumah Sakit.Jakarta : Tempo
interaktif (Diunduh tanggal 25 Mei 2011)Diunduh dari :
http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2005/05/26/brk,20050526-61482,id.html
Thabrany, Hasbullah, 2007. Rumah Sakit Publik Bebentuk BLU: Bentuk Paling Pas Dalam
Koridor Hukum Saat ini. [online]
(http://staff.ui.ac.id/internal/140163956/material/RumahSakitSebagaiBadanLayananUmum.p
df) [diakses tanggal 23 Mei 2011]
Yulianti, Anni. Studi tentang Kesiapan Rumah Sakit Swadana dalam Menghadapi
Desentralisasi menuju Otonomi Daerah (Suatu Studi di RSUD Pasar Rebo dan RSUP
Fatmawati), Center for Research and Development of Health Service and Technology,
NIHRD. 2001
Posted in Kebijakan, Kesehatan, Kuliah.
29 comments
By tinarbuka-aw July 11, 2011
Jamkesmas adalah program bantuan sosial untuk pelayanan kesehatan bagi masyarakat
miskin dan tidak mampu.Program ini diselenggarakan secara nasional agar terjadi subsidi
silang dalam rangka mewujudkan pelayanan kesehatan yang menyeluruh bagi masyarakat
miskin. Pada hakekatnya pelayanan kesehatan terhadap masyarakat miskin menjadi
tanggung jawab dan dilaksanakan bersama oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Pemerintah Propinsi/Kabupaten/Kota berkewajiban memberikan kontribusi sehingga
menghasilkan pelayanan yang optimal. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan masyarakat
miskin mengacu pada prinsip-prinsip:
1. Dana amanat dan nirlaba dengan pemanfaatan untuk semata-mata
peningkatan derajat kesehatan masyarakat miskin.
2. Menyeluruh (komprehensif) sesuai dengan standar pelayanan medik yang
cost effective dan rasional.
3. Pelayanan Terstruktur, berjenjang dengan Portabilitas dan ekuitas.
1. Transparan dan akuntabel.
2. Tujuan Jamkesmas
Tujuan dari Jamkesmas dibagi menjadi dua, yaitu :
a. Tujuan umum yaitu
kesehatan yang optimal secara efektif dan efisien bagi seluruh peserta
Jamkesmas
Kepesertaan Jamkesmas
1. Peserta jaminan kesehatan adalah setiap orang yang membayar iuran
atau iuarannya dibayar oleh Pemerintah.
2. Peserta Program Jamkesmas adalah fakir miskin dan orang yang tidak
mampu dan peserta lainnya yang iurannya dibayar oleh Pemerintah
sejumlah 76,4 juta jiwa bersumber dari data makro Badan Pusat Statistik
(BPS) Tahun 2006.
3. Peserta yang dijamin dalam program Jamkesmas tersebut meliputi :
1. Masyarakat miskin dan tidak mampu yang telah ditetapkan oleh
Surat Kepu- tusan (SK) Bupati/Walikota Tahun 2008 berdasarkan
pada kuota Kabupaten/ Kota (BPS) yang dijadikan database
nasional.
2. Gelandangan, pengemis, anak dan orang terlantar, masyarakat
miskin yang tidak memiliki identitas.
3. Semua Peserta Program Keluarga Harapan (PKH) yang telah
memiliki atau mempunyai kartu Jamkesmas.
4. Masyarakat miskin yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor 1185/Menkes/SK/XII/2009 tentang Peningkatan
Kepesertaan Jamkesmas bagi Panti Sosial, Penghuni Lembaga
Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara serta Korban
Bencana. Tata laksana pelayanan diatur dengan petunjuk teknis
(juknis) tersendiri sebagaimana tertuang dalam Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor 1259/Menkes/SK/XII/2009 tentang Petunjuk Teknis
Pelayanan Jamkesmas Bagi Masyarakat Miskin Akibat Bencana,
Masyarakat Miskin Penghuni Panti Sosial, dan Masyarakat Miskin
Penghuni Lembaga Pemasyarakatan serta Rumah Tahanan Negara.
5. Apabila masih terdapat masyarakat miskin dan tidak mampu, tidak
termasuk dalam Surat Keputusan Bupati/Walikota maka Jaminan
Kesehatannya menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah (Pemda)
setempat. Cara penyelenggaraan jaminan kesehatan daerah
seyogyanya mengikuti kaidah-kaidah pelaksanaan Jamkesmas.
6. Peserta Jamkesmas ada yang memiliki kartu sebagai identitas
peserta dan ada yang tidak memiliki kartu.
1. Peserta yang memiliki kartu terdiri dari :
1)
2)
3)
Verifikasi Kepesertaan
PT. Askes (Persero) bertugas melaksanakan verifikasi kepesertaan dengan mencocokkan
kartu Jamkesmas dari peserta yang berobat dengan database kepesertaan untuk selanjutnya
diterbitkan SKP. Verifikasi kepesertaan dilengkapi dengan dokumen berupa Kartu Keluarga
(KK) / Kartu Tanda Penduduk (KTP) / identitas lainnya untuk pembuktian kebenarannya.
Bagi gelandangan, pengemis, anak dan orang terlantar yang tidak punya identitas cukup
dengan surat keterangan/rekomendasi dari Dinas/Instansi Sosial setempat. Khusus untuk
penghuni lapas dan rutan, cukup dengan surat rekomendasi dari Kepala Lapas/Kepala Rutan
setempat. (Pengaturan lebih lanjut lihat tata laksana pelayanan kesehatan).
Jamkesmas Jateng
Sasaran Jamkesmas tahun 2009/2010 untuk Provinsi Jawa Tengah sebanyak 11,7 juta. Seperti
di Kota Semarang, khusus masyarakat miskin yang tidak masuk dalam Jamkesmas dan
Jamkesmaskot, sudah diatur dalam Peraturan Wali Kota tentang Pedoman Pelaksanaan
Pelayanan Kesehatan Masyarakat Miskin Kota. Dalam peraturan tersebut diatur bagi
masyarakat miskin yang belum masuk dalam Jamkesmas dan Jamkesmaskot, maka
pengobatan bisa dengan cara menunjukkan surat keterangan tidak mampu (SKTM) yang
harus diverifikasi oleh pihak kelurahan bersangkutan.
Berdasarkan data yang ada jumlah keluarga miskin Kota Semarang periode Januari-Juni 2009
sebanyak 138.361 kepala keluarga atau 498.985 jiwa. Dari total 498.985 jiwa tersebut, yang
mendapat Jamkesmas dari pusat sebanyak 306.700 jiwa, sehingga masih ada 192.285 jiwa
yang belum menerima Jamkesmas. Mengacu pada Keputusan Menteri Kesehatan tertanggal 6
Februari 2008 disebutkan, kelebihan kuota Jamkesmas menjadi tanggung jawab Pemerintah
Kota. Pemerintah Kota Semarang kemudian memiliki program Jaminan Kesehatan
Masyarakat Miskin Kota (Jamkesmaskot) Semarang dari 192.285 jiwa yang belum menerima
Jamkesmas tersebut.
Prosedur Pelayanan Jamkesmas
Prosedur untuk memperoleh pelayanan kesehatan bagi peserta, sebagai berikut:
Bila peserta tidak dapat menunjukkan kartu peserta atau SKTM sejak awal
sebelum mendapatkan pelayanan kesehatan, maka yang bersangkutan di
beri waktu maksimal 2 x 24 jam hari kerja untuk menunjukkan kartu
tersebut. Pada kondisi tertentu dimana ybs belum mampu menunjukkan
identitas sebagaimana dimaksud diatas maka Direktur RS dapat
menetapkan status miskin atau tidak miskin yang bersangkutan. Yang
dimaksud pada kondisi tertentu pada butir 8 diatas meliputi anak
terlantar, gelandangan, pengemis, karena domisili yang tidak
memungkinkan segera mendapatkan SKTM. Pelayanan atas anak terlantar,
gelandangan, pengemis dibiayai dalam program ini.
5. Prinsip Penyelenggaraan
Ada beberapa prinsip penyelenggaraan di dalam Jamkesmas, yaitu :
Pendanaan berasal dari bersumber dari APBN sebagai dana Bantuan Sosial
Sektor Kesehatan.
1.
1. Dana amanah dan dikelola secara nirlaba
2. Portabilitas dan Ekuitas
3. Pelayanan kesehatan dilaksanakan secara terstruktur berdasarkan
kebutuhan medis yang cost efektif
4. Iuran dijamin oleh pemerintah
5. Dikelola secara transparan dan akuntabel.
Pengelolaan meliputi :
1. Tatalaksana kepesertaaan,
2. Tatalaksana pelayanan kesehatan,
3. Tatalaksana administrasi keuangan
4. Pengorganisasian dan manajemen
6. Pelayanan Kesehatan (PPK)
1. Paket manfaat JAMKESMAS yang diterima peserta Jamkesmas
Komprehensip (Promotif, Preventif, Kuratif dan Rehabilitatif) sesuai
kebutuhan medis
2. Jenis Pelayanan Kesehatan Perseorangan (Personal Care)
3. Jaringan Pelayanan Kesehatan Lanjutan di milik pemerintah, swasta dan
TNI-Polri
4. Jaringan pelayanan kesehatan dasar (Yankesda) di Puskesmas dan
jaringannya. Sedangkan Jaminan Persalinan (Jampersal) dapat melibatkan
Bidan Praktek, Klinik Bersalin, Rumah Bersalin, Dokter Praktek.
5. Ketersediaan Obat, AMHP, Alkes, Darah dan bahan penunjang lainnya
sepenuhnya menjadi tanggungjawab Rumah Sakit/Balkesmas
6. Diperlakukan Formularium Obat RS Jamkesmas.
B. PROSEDUR PELAYANAN
Prosedur untuk memperoleh pelayanan kesehatan bagi peserta, sebagai berikut:
1. Pelayanan Kesehatan Dasar
1. Untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas dan jaringannya, peserta harus menunjukkan kartu Jamkesmas. Untuk peserta
gelandangan, pengemis, anak dan orang terlantar, menggunakan surat
keterangan/rekomendasi Dinas/Instansi Sosial setempat. Bagi peserta PKH
yang belum memiliki kartu Jamkesmas, cukup menggunakan kartu PKH.
2. Pelayanan kesehatan dapat dilakukan di Puskesmas dan jaringannya.
3. Bila menurut indikasi medis peserta memerlukan pelayanan pada tingkat
lanjut maka Puskesmas dapat merujuk peserta ke PPK lanjutan.
4. PPK lanjutan penerima rujukan wajib merujuk kembali peserta Jamkesmas
disertai jawaban dan tindak lanjut yang harus dilakukan jika secara medis
peserta sudah dapat dilayani di PPK yang merujuk.
7.Sumber Pembiayaan
PUSKESMAS
PUSKESMAS
Puskesmas membuat Plan Of Action (POA) yang telah dibahas dan disepakati
sebelumnya pada forum lokakarya mini Puskesmas.
Setiap pengambilan dana dari rekening Puskesmas harus mendapat persetujuan dari
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau pejabat yang ditunjuk sesuai dengan POA
yang telah disusun sebagaimana butir a.
-
RUMAH SAKIT/BKMM/BBKPM/BKPM/BP4/BKIM
Rumah Sakit menerima pembayaran setelah klaim yang diajukan, disetujui untuk dibayar
oleh Departemen Kesehatan. Penerimaan klaim RS tahun 2008, pengelolaan dan
pemanfaatannya diserahkan pada mekanisme daerah.
Klaim Rumah Sakit tahun 2008 berdasarkan :
- Jenis paket dan tarif pelayanan kesehatan tahun 2008 (dalam masa transisi), sambil
menunggu kesiapan INA-DRG .
- Paket klaim tersebut diajukan oleh Rumah Sakit meliputi Pelayanan Kesehatan RJTL,
RITL, obat dan penunjang.
PUSKESMAS
RUMAH SAKIT/BKMM/BBKPM/BKPM/BP4/BKIM
Departemen Kesehatan mengucurkan dana awal pada bulan Februari 2008 ke rekening
RS/BKMM/BBKPM/BKPM/BP4/BKIM. Besarnya jumlah dana yang dibayarkan
dipehitungkan berdasarkan rata-rata pembayaran per bulan di Rumah Sakit pada tahun
sebelumnya. Dana luncuran tersebut langsung disalurkan dari Departemen Kesehatan melalui
KPPN Pusat ke Rekening RS/BKMM/BBKPM/BKPM/BP4/BKIM.
RS/BKMM/BBKPM/BKPM/BP4/BKIM dapat langsung mengambil dan menggunakan
dana tersebut untuk pelayanan kesehatan peserta.
Pertanggung jawaban dana awal tersebut berupa klaim pelayanan
RS/BKMM/BBKPM/BKPM/BP4/BKIM yang besarannya mengacu pada Jenis paket dan
tarif pelayanan kesehatan tahun 2008
Sebelum terbentuknya Pelaksana Verifikasi, klaim pertanggung jawaban dana awal
tersebut langsung dikirim ke Tim Pengelola JAMKESMAS Pusat, dengan menggunakan
format rekapitulasi klaim biaya mingguan untuk RJTL, IGD, ODC, dan RITL (form 1c
sampai dengan 4c), serta rekapitulas klaim biaya total (form 5) seperti terdapat dalam
lampiran IV.
Dana luncuran berikutnya dapat disalurkan bila dana luncuran awal telah
dipertanggungjawabkan.
Penerimaan klaim bagi RS Daerah, pertanggungjawaban, pengelolaan dan
pemanfaatannya diserahkan pada mekanisme Daerah. Khusus untuk RS Vertikal/
BKMM/BBKPM /BKPM/BP4/BKIM disesuaikan dengan peraturan yang berlaku.
Rumah Sakit dapat memanfaatkan dana tersebut sesuai kebutuhan dan ketentuan
masing-masing RS/BKMM/BBKPM/BKPM/BP4/BKIM antara lain: jasa medik/pelayanan,
jasa sarana, pemenuhan kebutuhan bahan medis habis pakai, dana operasional, pemeliharaan,
obat, darah dan kebutuhan administrasi pendukung lainnya. Khusus untuk belanja investasi
untuk Rumah Sakit daerah harus mendapat persetujuan Kepala Dinas Kesehatan Propinsi dan
untuk Rumah Sakit Vertikal persetujuan dari Dirjen Bina Yanmed.
Seluruh berkas dokumen pertanggung jawaban disimpan oleh RS, dan akan diaudit
kemudian oleh Aparat Pengawas Fungsional (APF).
Apabila telah terbentuk tenaga pelaksana verifikasi, maka akan dilakukan verifikasi dengan
mengacu pada Jenis paket dan tarif pelayanan kesehatan tahun 2008, dengan demikian
pembayaran dilakukan berdasarkan klaim RS yang sudah di verifikasi.
Rumah Sakit/BKMM/BBKPM/BKPM/BP4/BKIM mengajukan klaim (setiap minggu),
sedangkan verifikasinya dilakukan setiap hari oleh tenaga verifikasi
Rekapitulasi Klaim yang telah diverifikasi dikirimkan ke Tim Pengelola JAMKESMAS
Pusat yang ditanda tangani direktur Rumah Sakit dan diketahui oleh pelaksana Verifikasi
Terhadap Klaim tersebut dilakukan telaah dan otorisasi oleh Tim Pengelola Pusat untuk
selanjutnya dilakukan pembayaran melalui KPPN.
Dasar besaran klaim mengacu sampai dengan bulan Juni 2008 tetap mengacu pada jenis
paket dan tarif pelayanan kesehatan tahun 2008 dengan kewajiban Rumah
Sakit/BKMM/BBKPM/BKPM/BP4/BKIM mencantumkan diagnosa pada setiap klaim
dengan ditambahkan kode diagnosa, meskipun kode tersebut belum dijadikan dasar
pembayaran.
Apabila belum ada tenaga pelaksana verifikasi pengaturan penggunaannya seperti
luncuran tahap pertama
D. VERIFIKASI
Verifikasi adalah kegiatan penilaian administrasi klaim yang diajukan PPK yang dilakukan
oleh Pelaksana Verifikasi dengan mengacu kepada standar penilaian klaim. Tujuan
dilaksanakannya verifikasi adalah diperolehnya hasil pelaksanaan program Jaminan
Pelayanan Kesehatan Masyarakat Miskin yang menerapkan prinsip kendali biaya dan kendali
mutu. Tiap-tiap RS/BKMM/BBKPM/BKPM/BP4/BKIM akan ditempatkan pelaksana
verifikasi yang jumlahnya diperhitungkan dari jumlah TT yang tersedia di
PROSES VERIFIKASI
Proses verifikasi dalam pelaksanaan JAMKESMAS, meliputi:
Pengecekan adanya Surat Rujukan dari PPK dan Penerbitan SKP (Surat
Keabsahan Peserta), (1 dan 2) Oleh PT Askes.
8. Komponen Organisasi
Pengorgannisasian dalam penyelenggaraan jamkesmas terdiri dariTim pengelola dan Tim
koordinasi di Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/kota, pelksana verifikasi di Pemberi Pelayanan
Kesehatan (PPk) serta PT.Askes (Persero) sebagai pengelola manajemen kepesertaan.
A. TIM PENGELOLA JAMKESMAS
terdiri dari Penanggung Jawab, Ketua Bidang Administrasi Umum besertaanggota, Ketua
Bidang Perencanaan & Penganggaran beserta anggota,Ketua Bidang SDM beserta anggota,
Ketua Bidang Sistem Informasi Mana-jemen & EDP beserta anggota, Ketua Bidang Hukum
& Organisasi besertaanggota.
1. Bidang Kepesertaan:
Pelaksana Teknis :
1. merumuskan dan melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan oleh
peng-arah.
2. menyusun pedoman teknis pelaksanaan, penataan sasaran, penataan sarana pelayanan kesehatan (pemberi pelayanan kesehatan).
3. menyusun dan mengusulkan norma, standar, prosedur dan kriteria
dalampenyelenggaraan Jamkesmas kepada pengarah.
4. melaksanakan pertemuan berkala dengan pihak terkait dalam rangka
koor dinasi, sinkronisasi dan evaluasi penyelenggaraan Jamkesmas.
5. Melaksanakan advokasi, sosialisasi, sinkronisasi penyelenggaraan Jamkesmas.
Bidang
-Bidang :
kepesertaan & pelayanan, dan (satu) orang staf Penanggung Jawab bidang Administrasi
&Keuangan. Stuktur tim ini bersifat minimal, apabila Dinas Kesehatan Provinsiingin
memperluas masih dimungkinkan sepanjang tersedia dana penunjanguntuk mendukung
aktifitas Tim Pengelola.
Tugas Tim Pengelola Provinsi :
1. melaksananakan kebijakan yang telah ditetapkan Tim Pengelola Jamkesmas Pusat.
2. bertanggung jawab dalam pengelolaan manajemen penyelenggaraan Jamkesmas secara keseluruhan di wilayah kerjanya.
3. mengkoordinasikan manajemen kepesertaan, pelayanan dan
administrasikeuangan dalam penyelenggaraan Jamkesmas.
4. Memfasilitasipermasalahan lintas batas.
5. bertindak atas nama Menteri Kesehatan melakukan rekruitmen dan menyampaikan usulan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian
tenagaverifikator independen yang bekerja di seluruh PPK jaringan yang
berada diprovinsinya atas usulan Tim Pengelola Jamkesmas
Kabupaten/Kota.
6. melakukan pembinaan, pengawasan dan pengendalian terhadap unitunitkerja yang terkait dalam penyelenggaraan Jamkesmas di wilayah
kerjanya.
7. memfasilitasi pertemuan secara berkala dengan Tim Koordinasi sesuai kebutuhan dalam rangka sinkronisasi, harmonisasi, evaluasi, dan penyelesaian masalah lintas sektor yang terkait dengan penyelenggaraan
Jamkesmasdi provinsi.
8. membuat laporan secara berkala atas pelaksanaan Jamkesmas di wilayahnya kepada Tim Pengelola Jamkesmas Pusat.
9. menangani penyelesaian keluhan dari para pihak.
10.meneruskan hasil rekruitmen PPK dari Dinkes Kabupaten/Kota ke Pusat.
11.memonitor pelaksanaan Perjanjian Kerjasama (PKS) antara Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan PPK yang menyelenggarakan Jamkesmas
diwilayah kerjanya.
12.melakukan pengawasan dan pemeliharaan terhadap inventaris barang
yangtelah diserahkan Kementerian Kesehatan untuk menunjang
pelaksanaanJamkesmas di daerahnya.
13.menyusun dan menyampaikan laporan atas semua hasil pelaksanaan
tugaspenyelenggaraan Jamkesmas kepada Tim Pengelola Jamkesmas
Pusat.
i)
menangani penyelesaian keluhan yang belum dapat terselesaikan baik di PPK
maupun peserta.
j)
k) memfasilitasi calon PPK baru, yang meliputi: penyiapan rekomendasi ber-dasarkan hasil
penilaian kelengkapan dokumen calon PPK tingkat lanjutyang baru. menyiapkan Perjanjian
Kerjasama (PKS) dengan PPK yang me-nyelenggarakan Jamkesmas di wilayah kerjanya.
l) Selaku Pembina verifikator independen melakukan pembinaaan dan penga-wasan
pelaksanaan kegiatan verifikator independen di daerahnya, termasukdidalamnya adalah
melakukan evaluasi kinerja terhadap kegiatan verifikatorindependen.
m) melakukan pengawasan dan pemeliharaan terhadap inventaris barang yangtelah
diserahkan Kementerian Kesehatan untuk menunjang pelaksanaanJamkesmas di daerahnya.
3)
melakukan pelaporan hasil telaah utilisasi secara berjenjang ke Tim Pengelola
Jamkesmas Kabupaten /Kota, Provinsi, dan Pusat.
4)
melakukan koordinasi aktif dalam pelaporan telaah utilisasi dan pena-nganan
keluhan peserta dengan Tim Pengelola Jamkesmas Kabupaten/ Kota/Provinsi.
5)
melakukan pelaporan tahunan atas pelaksanaan tugasnya dalam mana-jemen
kepesertaan Jamkesmas yang mencakup rekapitulasi telaah utili-sasi kepesertaan, aspek
manajerial dan aspek akuntabilitas pencapaianprogram, kendala yang dihadapi dan saran
perbaikan.
6)
melakukan pelaporan tahunan atas pelaksanaan tugasnya dalam mana-jemen
kepesertaan Jamkesmas yang mencakup rekapitulasi telaah utili-sasi kepesertaan, aspek
manajerial dan aspek akuntabilitas pencapaianprogram, kendala yang dihadapi dan saran
perbaikan.
C. PELAKSANA VERIFIKASI
Tenaga Pelaksana Verifikasi adalah tenaga yang memiliki pengetahuan dan ke-mampuan
dalam melakukan administrasi klaim meliputi aspek kepesertaan, pe-layanan kesehatan,
keuangan dan mampu melaksanakan tugasnya secara profes-sional serta telah mengikuti
pelatihan.
Prosedur rekrutmen dilakukan sesuai Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
160/ MENKES/SK/II/2009 tentang Pedoman Rekrutmen Tenaga Pelaksana VerifikasiDalam
Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat sebagaimanatelah diubah dengan
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1241/MENKES/SK/ XII/2009 tentang Perubahan Atas
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 160/MEN-KES/SK/II/2009 Tentang Pedoman
Rekrutmen Tenaga Pelaksana Verifikasi DalamPenyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan
Masyarakat. Adapun jumlah tenagapelaksana verifikasi 2010 masih mengacu pada jumlah
tenaga pelaksana verifikasiTahun 2009.
Lingkup-Kerja-Pelaksana-Verifikasi:
1. Melaksanakan verifikasi administrasi kepesertaan;
2. Melaksanakan verifikasi administrasi pelayanan;
3. Melaksanakan verifikasi administrasi keuangan.
Uraian Tugas:
1)
2)
3)
4)
4. Memastikan dikeluarkannya rekap pertanggungjawaban keuangan oleh petu-gas RS
sesuai dengan format paket yang ditetapkan;
5)
6)
7)
8)
Melakukan rekapitulasi laporan pertanggungjawaban dana PPK lanjutan yangsudah
layak bayar;
9)
Proses :
Output :
melakukan pencetakan blanko kartu, entry, penerbitan dan distribusi kartu (Rp
1000,-/kartu
analisis kepesertaan
1. Tatalaksana Pelayanan
Dana yang digunakan untuk penyelenggaraan Program Jamkesmas merupakan dana bantuan
sosial dimana dalam pembayaran kepada rumahsakit dalam bentuk paket, dengan
berdasarkan klaim yang diajukan. Khusus untuk BKMM/BBKPM/BKPM/BP4/BKIM
pembayaran paket disetarakan dengantarif paket pelayanan rawat jalan dan atau rawat inap
rumah sakit dan peserta tidak boleh dikenakan iuran biaya dengan alasan apapun.Dana
program dialokasikan untuk membiayai kegiatan pelayanan kesehatan dan manajemen
operasional Program Jamkesmas dengan rincian sebagai berikut :
Adapun dana Operasional Manajemen Tim Pengelola di Provinsi bersumber dari APBN
melalui dana dekonsentrasi, sedangkan untuk Tim Pengelola Kabupaten/Kota bersumber dari
APBN melalui dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
2. Alokasi
Besaran alokasi dana pelayanan Jamkesmas di pelayanan dasar untuk setiap kabupaten/kota
dan pelayanan rujukan untuk rumah sakit/balkesmas ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan
(SK) Menteri Kesehatan.
LINGKUP PENDANAAN
Pendanaan Jamkesmas terdiri dari:
1. Dana Pelayanan Kesehatan
Adalah dana yang langsung diperuntukkan untuk pelayanan kesehatan di FASKES Tingkat
Pertama dan FASKES Tingkat Lanjutan. Dana Pelayanan Kesehatan bagi peserta Jamkesmas
meliputi seluruh pelayanan kesehatan di:
a. puskesmas dan jaringannya untuk pelayanan kesehatan dasar.
b. rumah sakit pemerintah/swasta termasuk RS khusus, TNI/POLRI, balkesmas untuk
pelayanan kesehatan rujukan.
2. Dana Operasional Manajemen
Adalah dana yang diperuntukkan untuk operasional manajemen Tim Pengelola dan Tim
Koordinasi Jamkesmas dan BOK Pusat/Provinsi/Kabupaten/Kota dalam menunjang program
Jamkesmas.
a. Operasional Manajemen Tim Pengelola dan Tim Koordinasi Jamkesmas dan BOK Pusat
Dana Operasional Manajemen Tim pengelola dan Tim Koordinasi Jamkesmas Pusat adalah
dana APBN yang dialokasikan melalui DIPA Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan,
Setjen Kementerian Kesehatan RI, dana tersebut dipergunakan untuk kegiatan-kegiatan
sebagai berikut:
1) Administrasi kepesertaan
2) Koordinasi Pelaksanaan dan Pembinaan program
3) Advokasi, Sosialisasi
4) Bimbingan Teknis
5) Pelatihan Petugas Coder dan Klaim RS, Verifikator Independen
6) Pertemuan evaluasi program Jamkesmas
7) Kajian dan survei
Pembayaran honor dan operasional
9) Perencanaan dan pengembangan program
10)Pengelolaan Pelaporan Pelaksanaan Jamkesmas
11)Pengembangan dan Pemantapan Sistem Informasi Manajemen (SIM) Jaminan Kesehatan
Masyarakat (Jamkesmas), Software Jamkesmas
12)Penanganan pengaduan masyarakat
4) pertanggung jawaban dana di puskesmas dan jaringannya di atur lebih lanjut dalam
Petunjuk Teknis tersendiri melalui Peraturan Menteri Kesehatan yang merupakan satu
kesatuan yang tidak terpisahkan dari pedoman pelaksanaan Jamkesmas.
5) Pengaturan lebih rinci dana jaminan persalinan di FASKES tingkat pertama akan diatur
dalam Petunjuk Teknis tersendiri (Petunjuk Teknis Jaminan Persalinan).
b. RUMAH SAKIT/BALKESMAS
1)
Dana pelayanan kesehatan program Jamkesmas di FASKES Lanjutan terintegrasi secara
utuh dengan dana jaminan persalinan dan disalurkan secara langsung dari rekening kas
negara ke rekening FASKES lanjutan melalui Bank. Penyaluran dana dilakukan secara
bertahap.
2)
Penyaluran Dana Pelayanan ke FASKES Lanjutan berdasarkan Surat Keputusan
Menteri Kesehatan RI yang mencantumkan Nama FASKES Lanjutan, besaran dana yang
diterima.
3)
Perkiraan besaran dana yang disalurkan untuk pelayanan kesehatan dilakukan
berdasarkan perhitungan atas laporan pertanggung jawaban dana PPK Lanjutan.
4)
Pengaturan lebih rinci dana jaminan persalinan di FASKES lanjutan akan diatur dalam
Petunjuk Teknis tersendiri (Petunjuk Teknis Jaminan Persalinan).
2. DANA OPERASIONAL MANAJEMEN
Dana operasional manajemen yang bersumber dari APBN untuk mendukung pelaksanaan
penyelenggaraan Jamkesmas bagi Tim Pengelola Jamkesmas dan BOK di kabupaten/kota
penyalurannya mengikuti aturan dan ketentuan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
Pengelolaan Dana (Penerimaan, Pencairan/Pembayaran, Pemanfaatan, Dan
Pertanggungjawaban)
1. DINAS KESEHATAN KABUPATEN/KOTA
a. Dana Pelayanan Kesehatan
1) Penerimaan
Dalam persiapan awal Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota menunjuk dan menetapkan
salah satu anggota Tim Pengelola Jamkesmas dan BOK sebagai penanggung jawab yang akan
mengelola dana Jamkesmas dan Jampersal. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota segera
membuka rekening giro khusus untuk menerima dana Jamkesmas dan Jampersal.
Penanggung jawab keuangan mencatat semua penerimaan dana Jamkesmas yang telah
disalurkan dari Pusat.
2) Pembayaran
1. Tim Pengelola Jamkesmas dan BOK Kabupaten/Kota membuat
inventarisasi POA dan klaim yang diajukan oleh puskesmas serta rencana
pencairan dana pelayanan kesehatan.
2. Tim Pengelola Jamkesmas dan BOK Kabupaten/Kota melakukan telaah dan
verifikasi terhadap; (a) POA dan Klaim yang diajukan oleh puskesmas, (b)
Klaim yang diajukan faskes/tenaga kesehatan swasta.
3. Pembayaran atas klaim-klaim sebagaimana dimaksud pada butir a) dan b)
dilakukan berdasarkan hasil Verifikasi yang dilakukan Tim Pengelola
Jamkesmas & BOK Kabupaten/Kota.
4. Verifikasi klaim yang dilakukan Tim Pengelola Jamkesmas dan BOK
Kabupaten/Kota mencakup:
1. Kesesuaian realisasi pelayanan dan besaran tarif jampersal/tarif
perda yang digunakan disertai bukti pendukungnya.
2. Pengecekan klaim dari FASKES yang memberikan pelayanan
kesehatan bagi peserta Jamkesmas serta faskes/tenaga kesehatan
swasta yang memberikan pelayanan Jaminan Persalinan beserta
bukti pendukungnya.
3. Melakukan kunjungan ke lapangan untuk pengecekan kesesuaian
dengan kondisi sebenarnya bila diperlukan.
4. Memberikan rekomendasi dan laporan pertanggungjawaban atas
klaim-klaim tersebut kepada Kepala Dinas Kesehatan setiap bulan
yang akan dijadikan laporan pertanggungjawaban keuangan ke
Pusat.
3) Pertanggungjawaban
1. Penanggung jawab keuangan sebagai pengelola keuangan yang ditunjuk
harus memiliki buku catatan kas keluar/masuk untuk mencatat setiap
uang masuk dan keluar dari kas yang terpisah dengan sumber
pembiayaan yang lain, dan pembukuan terbuka bagi pengawas intern
(Inspektorat Jenderal Kemkes dan BPKP) maupun ekstern (BPK) setelah
memperoleh izin Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
2. Seluruh berkas dan bukti-bukti:
Dana pelayanan Jamkesmas dan Jampersal yang telah dibayarkan ke puskesmas dan
FASKES/Tenaga Kesehatan swasta (Format Terlampir dalam Formulir 5).
b. Dana Operasional Manajemen
Pengelolaan dana operasional manajemen oleh Tim Pengelola Jamkesmas dan BOK
kabupaten/kota mengikuti sesuai ketentuan yang APBN yang berlaku.
2. PUSKESMAS
a. Pencairan/Pembayaran
1) Puskesmas membuat Plan Of Action (POA) sebagai acuan rencana kerja puskesmas dan
jaringannya dalam pemberian pelayanan kesehatan perorangan peserta Jamkesmas baik di
dalam maupun di luar gedung. POA tersebut telah dibahas dan disepakati sebelumnya melalui
forum lokakarya mini puskesmas. POA dibuat secara terpadu untuk ketiga kegiatan
(Jamkesmas, Jampersal dan BOK, Contoh Form Terlampir pada Formulir 6) dan pengusulan
POA tersebut dapat dilakukan perbulanan. Pencairan dana dapat dilakukan perbulanan,
perdua bulanan atau pertiga bulanan disesuaikan kebijakan kepala Dinas Kesehatan setempat
dengan mempertimbangkan letak geografis dan kesulitan-kesulitan puskesmas.
2) Pencairan dan pembayaran biaya pelayanan kesehatan yang telah
dikeluarkan didasarkan pada:
1. POA dan Klaim dari puskesmas
2. Klaim dari Faskes/tenaga kesehatan swasta
b. Pemanfaatan
1. Pemanfaatan dana Jamkesmas di puskesmas dan jaringannya dapat
digunakan untuk membayar:
a) Pilihan pertama:
Pendapatan puskemas tersebut masih bersifat bruto dan dapat langsung dibayarkan untuk jasa
pelayanan kesehatan dan sisanya (setelah dibayarkan jasa pelayanan) dapat disetorkan ke
Kantor Kas daerah sebagai pendapatan netto (setelah dipotong Jasa pelayanan). Pendapatan
bruto dan bersih (netto) keduanya dilaporkan secara utuh kepada kantor kas daerah untuk
dicatat. Sisa dana pada rekening dinas kesehatan kabupaten/kota yang tidak digunakan
dan/atau tidak tersalurkan sampai dengan akhir tahun anggaran harus disetor ke kas negara
(Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-21/PB/2011 tentang Petunjuk
Pencairan Dana Jaminan Kesehatan Masyarakat, terlampir)
b) Pilihan kedua :
Pendapatan puskesmas tersebut seluruhnya dilaporkan kepada kantor kas daerah (tidak secara
fisik) untuk dicatat dan dana tersebut dapat digunakan langsung untuk pembayaran jasa
pelayanan kesehatan dan keperluan kegiatan-kegiatan lainnya.
c) Pilihan ketiga :
Dana hasil pendapatan puskesmas tersebut disetorkan dan tercatat di kantor kas daerah
sebagai pendapatan puskesmas, tetapi dalam waktu paling lambat 1 (satu) bulan dana tersebut
dikembalikan untuk membayar jasa pelayanan kesehatan dan kegiatan lainnya.
d) Jasa pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud huruf (a),(b), dan (c), dibayarkan
sebesar minimal 50% dari pendapatan pelayanan kesehatan dasar program Jamkesmas dan
minimal 75% untuk jasa tenaga kesehatan penolong persalinan.
5) Pengaturan sebagaimana dimaksud pada angka empat (4) diatur melalui peraturan
Bupati/Walikota atas usul Kepala Dinas Kesehatan yang didasari atas surat keputusan
Menteri Kesehatan tentang Petunjuk teknis pelaksanaan ini.
6) Dana yang telah menjadi pendapatan fasilitas kesehatan swasta (yang bekerjasama)
sepenuhnya menjadi pendapatan fasilitas tersebut, termasuk Bidan Praktik, Dokter Praktik,
Klinik Bersalin, dan sebagainya.
c. Pertanggungjawaban
1. Pertanggungjawaban dana Jamkesmas yang diterima puskesmas untuk
pelayanan kesehatan dasar dan jaminan persalinan oleh Faskes/Tenaga
Kesehatan Swasta menggunakan mekanisme klaim (Format terlampir
pada Formulir 7 dan Formulir
2. Pengaturan lebih rinci tentang pengelolaan dana Jamkesmas di pelayanan
dasar akan diatur dalam Petunjuk Teknis tersendiri.
3. RUMAH SAKIT/BALKESMAS
a. Pertanggungjawaban
1)
FASKES Lanjutan membuat pertanggungjawaban Dana pelayanan kesehatan dengan
menggunakan Software INA-CBGs. Tarif balkesmas dalam implementasi INA-CBGs
disetarakan dengan RS kelas C/D dan RS yang belum mempunyai penetapan kelas ditetapkan
setara dengan kelas C/D. Pada RS khusus yang melayani pelayanan kesehatan umum, maka
diberlakukan dua tarif INA-CBGs sesuai dengan penetapan kelas oleh Direktur Jendaral
Bina Upaya Kesehatan
2)
Selanjutnya pertanggungjawaban tersebut akan diverifikasi oleh Verifikator Independen
dengan menggunakan Software verifikasi Klaim Jamkesmas.
3)
Setelah verifikasi dinyatakan layak oleh Verifikator Independen, selanjutnya
pertanggungjawaban tersebut ditandatangani oleh Direktur Rumah Sakit/Kepala Balai
Kesehatan Masyarakat dan Verifikator Independen.
4)
Pertanggungjawaban dana Jamkesmas di FASKES lanjutan menjadi sah setelah
mendapat persetujuan dan ditandatangani Direktur/Kepala PPK lanjutan dan Verifikator
Independen.
5)
Selanjutnya PPK lanjutan mengirimkan secara resmi laporan pertanggungjawaban dana
Jamkesmas dalam bentuk hard copy yaitu form 1C, 2C, 3, dan koreksi (Formulir 9 ) serta soft
copy dalam satu CD yang memuat (1) file txt INA-CBGs; (2) file txt administrasi klaim; (3)
Raw data VI kepada Tim Pengelola Jamkesmas Pusat dan tembusan kepada Tim Pengelola
Jamkesmas Kabupaten/kota dan Provinsi berupa hardcopy form 3 sebagai bahan monitoring,
evaluasi dan pelaporan.
6)
Pertanggungjawaban dana yang diterima oleh Tim Pengelola Jamkesmas Pusat akan
dilakukan telaah dan selanjutnya diberikan umpan balik sebagai upaya pembinaan.
7)
Pelaporan pertanggungjawaban dana disertai dengan hasil kinerja atas pelayanan
kesehatan di PPK lanjutan meliputi kunjungan Rawat Jalan Tingkat Lanjutan (RJTL),
kunjungan kasus Rawat Inap Tingkat Lanjutan (RITL), disertai dengan karakteristik pasien,
sepuluh penyakit terbanyak dan sepuluh penyakit dengan biaya termahal.
Pertanggungjawaban dana Jamkesmas untuk Rumah Sakit khusus jiwa menggunakan
ketentuan sebagai berikut:
- Termin 1 hari 1 hari 35 = Tarif INA-CBGs
- Termin 2 hari 36 hari 103 = Rp. 90.000,- Termin 3 hari 104 hari 180 = Rp. 45.000,Sedangkan untuk Rumah Sakit khusus kusta menggunakan ketentuan:
- Termin 1 hari 1 hari 35 = Tarif INA-CBGs
- Termin 2 hari 36 hari 103 = Rp. 50.000,- Termin 3 hari 104 hari 180 = Rp. 25.000, 34 b. Pencairan Dan Pemanfaatan
1)
Dengan telah ditandatanganinya pertanggungjawaban dana oleh Direktur FASKES
Lanjutan/Kepala Balai dan Verifikator Independen, maka FASKES Lanjutan sudah dapat
mencairkan dana pelayanan kesehatan tersebut dengan batas pencairan sejumlah dana yang
dipertanggungjawabkan.
2)
Dana yang sudah dicairkan, bagi RS Daerah yang belum berstatus BLUD, pengelolaan
dan pemanfaatannya diserahkan kepada mekanisme daerah. Apabila terjadi selisih positif
(surplus) yang disebabkan tarif perda setempat lebih rendah dari pendapatan klaim
Jamkesmas maka pengaturan selisih dana yang ada diatur oleh kebijakan daerah seperti SK
Gubernur/Bupati/Walikota. Untuk RS Daerah dan Vertikal yang berstatus BLU/BLUD,
mengikuti ketentuan BLU/BLUD. Dan untuk RS Swasta mengikuti ketentuan yang berlaku di
RS tersebut.
3)
Pemanfaatan atas dana luncuran yang telah menjadi hasil kinerja pelayanan kesehatan
sebagai penerimaan/pendapatan atas klaim pelayanan, dapat digunakan sesuai kebutuhan dan
ketentuan masing-masing, antara lain jasa medis/jasa pelayanan, jasa sarana, pemenuhan
kebutuhan bahan medis habis pakai, dana operasional, pemeliharaan, obat, darah dan
administrasi pendukung lainnya. Khusus untuk belanja investasi; misalnya untuk rehabilitasi
atau pembangunan dan perluasan gedung, harus mendapat persetujuan kepala Dinas
Kesehatan Provinsi bagi RS Daerah dan persetujuan dari Ditjen Bina Upaya Kesehatan untuk
RS Vertikal.
4)
Seluruh berkas dokumen pertanggungjawaban dana disimpan oleh RS, dan akan diaudit
kemudian oleh Aparat Pengawas Fungsional (APF).
Dana program dialokasikan untuk membiayai kegiatan pelayanan kesehatan dan manajemen
operasional program JAMKESMAS dengan rincian sebagai berikut :
1. Dana Pelayanan Kesehatan masyarakat miskin di:
a. Puskesmas dan jaringannya,
b. Rumah Sakit,
c. Rumah Sakit Khusus
d. Balai Kesehatan Mata Masyarakat (BKMM),
e. Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM),
f. Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM),
g. Balai Pengobatan Penyakit Paru (BP4),
h. Balai Kesehatan Indra Masyarakat (BKIM).
2. Dana manajemen operasional:
a. Administrasi kepesertaan,
b. Koordinasi Pelaksanaan dan Pembinaan program,
c. Advokasi, Sosialisasi,
d. Dinas Kesehatan Propinsi atau Tim Pengelola JAMKESMAS Propinsi setempat sebagai
bahan kompilasi kepesertaan, pembinaan, monitoring, evaluasi, analisis, pelaporan serta
pengawasan.
e. Departemen Kesehatan RI, sebagai database kepesertaan nasional, bahan dasar verifikasi
Tim Pengelola Pusat, pembayaran klaim Rumah Sakit, pembinaan, monitoring, evaluasi,
analisis, pelaporan serta pengawasan.
Bagi Pemerintah Kabupaten/Kota yang telah menetapkan jumlah dan nama masyarakat
miskin (no, nama dan alamat), selama proses penerbitan distribusikartu belum selesai, kartu
peserta lama atau Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) masih berlaku sepanjang yang
bersangkutan ada dalam daftar masyarakat miskin yang ditetapkan oleh Bupati/Walikota.
Bagi Pemerintah Kabupaten/Kota yang belum menetapkan jumlah, nama dan alamat
masyarakat miskin secara lengkap diberikan waktu sampai dengan akhir Juni 2008.
Sementara menunggu surat keputusan tersebut sampai dengan penerbitan dan pendistribusian
kartu peserta, maka kartu peserta lama atau SKTM masih diberlakukan. Apabila sampai batas
waktu tersebut pemerintah Kabupaten/Kota belum dapat menetapkan sasaran masyarakat
miskinnya, maka terhitung 1 Juli 2008 pembiayaan pelayanan kesehatan masyarakat miskin
di wilayah tersebut menjadi tanggung jawab pemerintah daerah setempat. Pada tahun 2008
dilakukan penerbitan kartu peserta JAMKESMAS baru yang pencetakan blanko, entry data,
penerbitan dan distribusi kartu sampai ke peserta menjadi tanggung jawab PT Askes
(Persero). Setelah peserta menerima kartu baru maka kartu lama yang diterbitkan sebelum
tahun 2008, dinyatakan tidak berlaku lagi meskipun tidak dilakukan penarikan kartu dari
peserta. Bagi masyarakat miskin yang tidak mempunyai kartu identitas seperti gelandangan,
pengemis, anak terlantar, yang karena sesuatu hal tidak terdaftar dalam Surat Keputusan
Bupati/walikota, akan dikoordinasikan oleh PT Askes (Persero) dengan Dinas Sosial
setempat untuk diberikan kartunya. Bagi bayi yang terlahir dari keluarga peserta
JAMKESMAS langsung menjadi peserta baru.
6)
Pada RS khusus yang juga melayani pasien umum, penetapan kelasnya akan ditentukan
kemudian berdasarkan surat edaran.
7)
Pada keadaan gawat darurat (emergency) seluruh Pemberi Pelayanan Kesehatan wajib
memberikan pelayanan penanganan pertama keadaan gawat darurat kepada peserta
JAMKESMAS walaupun tidak sebagai PPK jaringan JAMKESMAS sebagai bagian dari
fungsi sosial PPK. Selanjutnya PPK tersebut segera merujuk ke PPK jaringan PPK
JAMKESMAS untuk penanganan lebih lanjut.
8)
Untuk mendapat pelayanan, status kepesertaan harus ditetapkan sejak awal dgn
merujuk pada kartu peserta ataupun database kepesertaan (bagipeserta yang terdapat dalam
SK Bupati/Walikota) ataupun surat keterangan/rekomendasi dari Dinas Sosial bagi
gelandangan pengemis,anak dan orang terlantar serta kartu PKH bagi peserta PKH yang
belum mempunyai kartu JAMKESMAS.
9)
Pemberian pelayanan kepada peserta oleh PPK harus dilakukan secara efisien dan
efektif, dengan menerapkan prinsip kendali biaya dan kendali mutu.
Pelayanan obat-obatan
Untuk memenuhi kebutuhan obat dan bahan habis pakai di Rumah Sakit, Instalasi
Farmasi/Apotik Rumah Sakit bertanggung jawab menyediakan semua obat dan bahan habis
pakai yang diperlukan. Meski telah diberlakukan INADRG, agar terjadi efisiensi pelayanan,
pemberian obat didorong agar menggunakan Formularium obat JAMKESMAS di rumah
sakit.
Apabila terjadi kekurangan atau ketiadaan obat sebagaimana butir 1) diatas maka
Rumah Sakit berkewajiban memenuhi obat tersebut melalui koordinasi dengan pihak-pihak
terkait.
Pemberian obat untuk pasien diberikan untuk 3 (tiga) hari kecuali untuk penyakitpenyakit kronis tertentu dapat diberikan lebih dari 3 (tiga) hari sesuai dengan kebutuhan
medis. Pemberian obat dilakukan dengan efisien dan mengacu pada clinical pathway.
1. Pemberlakuan INA-DRG bagi seluruh PPK lanjutan sebagai dasar
pertanggungjawaban/ klaim sejak 1 Januari 2009. Pemberlakuan INADRG
tersebut memerlukan persiapan perangkat keras, perangkat lunak dan
sumber daya manusia (SDM)
2. Pelayanan kesehatan RJTL di BKMM/BBKPM/BKPM/ BP4/BKIM dan di Rumah
Sakit, dan pelayanan RITL di Rumah Sakit dilakukan secara terpadu
sehingga biaya pelayanan kesehatan diklaimkan dan diperhitungkan
menjadi satu kesatuan menurut INA-DRG. Dokter berkewajiban melakukan
penegakan diagnosa yang tepat sesuai ICD-10 dan ICD-9 CM sebagai
dasar penetapan kod INA-DRG. Dokter penanggung jawab harus
menuliskan nama dengan jelas serta menandatangani berkas
pemeriksaan (resume medik).
3. Apabila dalam proses pelayanan terdapat diagnosa penyakit/prosedur
yang belum tercantum baik kode maupun tarifnya dalam Tarif Paket
INADRG (ungroupable), maka Balai-Balai Kesehatan/RS melaporkannya ke
Center for Casemix/Ditjen Bina pelayanan Medik untuk dilakukan
penetapannya. Pengaturan khusus untuk pelaksanaan INA-DRG dilakukan
dengan petunjuk teknis khusus.
4. Pada kasus-kasus dengan diagnosa yang kompleks dengan severity level-3
menurut kode INA-DRG maka disamping harus dilengkapi butir k) diatas
juga harus mendapatkan pengesahan dari Komite Medik atau Direktur
Pelayanan atau Supervisor yang ditunjuk untuk dan yang diberi tanggung
jawab oleh RS.
5. Pasien yang masuk ke instalasi rawat inap melalui instalasi rawat jalan
atau instalasi gawat darurat hanya diklaim menggunakan 1 (satu) kode
INA-DRG dengan jenis pelayanan rawat inap.
6. Pasien yang datang ke 2 (dua) atau lebih instalasi rawat jalan dengan dua
atau lebih diagnosa akan tetapi diagnosa tersebut merupakan diagnosa
sekunder dari diagnosa utamanya maka diklaimkan menggunakan 1 (satu)
kode INA-DRG.
7. Pasien yang datang ke 2 (dua) atau lebih instalasi rawat jalan dengan
kasus yang bukan merupakan diagnosa sekunder dari diagnose utamanya
dapat diklaimkan menurut diagnosa masing-masing. Setiap pasien yang
datang untuk kontrol ulang instalasi rawat jalan, diagnosa utamanya
menggunakan kode Z.
8. Agar pelayanan berjalan dengan lancar, RS bertanggungjawab untuk
menjamin ketersediaan Alat Medis Habis pakai (AMHP), obat dan darah
9. Untuk menjamin ketersediaan dan harga obat /vaksin/serum di pusat dan
daerah serta di Balai-Balai dan RS, dilakukan kesepakatan kerja sama
antara Menkes dan Konsorsium BUMN Farmasi. RS dan balai- Balai
Kesehatan menindaklanjutinya dengan kerjasama teknis dengan mengacu
kepada pedoman pelaksanaan kesepakatan kerjasama tersebut
10.Pelayanan RS diharapkan dapat dilakukan dengan cost efficient dan cost
effective agar biaya pelayanan seimbang dengan tarif INA-DRG.Dalam
pemberian pelayanan kesehatan kepada peserta, tidak boleh dikenakan
iur biaya oleh PPK dengan alasan apapun.
Disusun Oleh:
Anggit Tinarbuka AW
Apriliana Susilowati
Arcindy Iswanty
Ari Andang Pratiwi
Hamida Harapan
Desi Arumawati
Nurheny Agustina
Harinda Wina Y
Tyas Destiana
BAGIAN ADMINISTRASI DAN KEBIJAKAN KESEHATAN
Daftar Pustaka
KEPESERTAAN JAMKESMAS
1. Peserta jaminan kesehatan adalah setiap orang yang membayar iuran
atau iuarannya dibayar oleh Pemerintah.
2. Peserta Program Jamkesmas adalah fakir miskin dan orang yang tidak
mampu dan peserta lainnya yang iurannya dibayar oleh Pemerintah
sejumlah 76,4 juta jiwa bersumber dari data makro Badan Pusat Statistik
(BPS) Tahun 2006.
3. Peserta yang dijamin dalam program Jamkesmas tersebut meliputi :
1. Masyarakat miskin dan tidak mampu yang telah ditetapkan oleh
Surat Kepu- tusan (SK) Bupati/Walikota Tahun 2008 berdasarkan
pada kuota Kabupaten/ Kota (BPS) yang dijadikan database
nasional.
1)
2)
3)
1)
Gelandangan, pengemis, anak terlantar pada saat mengakses pelayan- an kesehatan
dengan menunjukkan rekomendasi dari Dinas Sosial se- tempat.
2)
Penghuni lapas dan rutan pada saat mengakses pelayanan kesehatan dengan
menunjukkan rekomendasi dari Kepala Lapas/Rutan.
3)
Peserta Program Keluarga Harapan (PKH) pada saat mengakses pe- layanan kesehatan
dengan menunjukkan kartu PKH.
4)
Bayi dan anak yang lahir dari pasangan peserta Jamkesmas, setelah terbitnya SK
Bupati/Walikota dapat mengakses pelayanan kesehatan dengan menunjukkan akte
kelahiran/surat kenal lahir/surat keterangan lahir/pernyataan dari tenaga kesehatan, kartu
Jamkesmas orang tua dan Kartu Keluarga orangtuanya.
1. Terhadap peserta yang memiliki kartu maupun yang tidak memiliki kartu
sebagaimana tersebut diatas, PT. Askes (Persero) wajib menerbitkan Surat
Keabsahan Peserta (SKP) dan membuat pencatatan atas kunjungan
pelayanan kesehatan.
2. Bila terjadi kehilangan kartu Jamkesmas, peserta melapor kepada PT.
Askes (Persero) untuk selanjutnya dilakukan pengecekan database
kepesertaannya dan PT. Askes (Persero) berkewajiban menerbitkan surat
keterangan yang bersangkutan sebagai peserta.
3. Bagi peserta yang telah meninggal dunia maka haknya hilang dan tidak
dapat dialihkan kepada orang lain.
4. Penyalahgunaan terhadap hak kepesertaan dikenakan sanksi sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.
VERIFIKASI KEPESERTAAN
PT. Askes (Persero) bertugas melaksanakan verifikasi kepesertaan dengan mencocokkan
kartu Jamkesmas dari peserta yang berobat dengan database kepesertaan untuk selanjutnya
diterbitkan SKP. Verifikasi kepesertaan dilengkapi dengan dokumen berupa Kartu Keluarga
(KK) / Kartu Tanda Penduduk (KTP) / identitas lainnya untuk pembuktian kebenarannya.
Bagi gelandangan, pengemis, anak dan orang terlantar yang tidak punya identitas cukup
dengan surat keterangan/rekomendasi dari Dinas/Instansi Sosial setempat. Khusus untuk
penghuni lapas dan rutan, cukup dengan surat rekomendasi dari Kepala Lapas/Kepala Rutan
setempat. (Pengaturan lebih lanjut lihat tata laksana pelayanan kesehatan).
JAMKESMAS JATENG
Sasaran Jamkesmas tahun 2009/2010 untuk Provinsi Jawa Tengah sebanyak 11,7 juta.
Seperti di Kota Semarang, khusus masyarakat miskin yang tidak masuk dalam Jamkesmas
dan Jamkesmaskot, sudah diatur dalam Peraturan Wali Kota tentang Pedoman Pelaksanaan
Pelayanan Kesehatan Masyarakat Miskin Kota. Dalam peraturan tersebut diatur bagi
masyarakat miskin yang belum masuk dalam Jamkesmas dan Jamkesmaskot, maka
pengobatan bisa dengan cara menunjukkan surat keterangan tidak mampu (SKTM) yang
harus diverifikasi oleh pihak kelurahan bersangkutan.
Berdasarkan data yang ada jumlah keluarga miskin Kota Semarang periode Januari-Juni 2009
sebanyak 138.361 kepala keluarga atau 498.985 jiwa. Dari total 498.985 jiwa tersebut, yang
mendapat Jamkesmas dari pusat sebanyak 306.700 jiwa, sehingga masih ada 192.285 jiwa
yang belum menerima Jamkesmas. Mengacu pada Keputusan Menteri Kesehatan tertanggal 6
Februari 2008 disebutkan, kelebihan kuota Jamkesmas menjadi tanggung jawab Pemerintah
Kota. Pemerintah Kota Semarang kemudian memiliki program Jaminan Kesehatan
Masyarakat Miskin Kota (Jamkesmaskot) Semarang dari 192.285 jiwa yang belum menerima
Jamkesmas tersebut
Disusun Oleh:
ANGGIT TINARBUKA AW
Administrasi Dan Kebijakan Kesehatan
Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Diponegoro 2011
Referensi:
Kementerian Kesehatan R.I. Pedoman Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Masyarakat
(Jamkesmas) 2010. Jakarta 2010.
Anonim. Masih Banyak Warga Yang Belum Tersentuh Jamkesmas. 2009. Diakses dari
halaman
http://berita.liputan6.com/sosbud/200912/255677/masih_banyak_warga_belum_tersentuh_ja
mkesmas.htm
Anonim. Sasaran Jamkesmas Diperluas. 2009. Diakses dari halaman
http://www.jatengprov.go.id/?document_srl=3273
Anonim. Kepesertaan Jamkesmas Diperluas. 2010. Diakses dari halaman
http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/801-kepesertaan-jamkesmasdiperluas.html
Posted in Kesehatan, Kuliah.
No comments
By tinarbuka-aw July 11, 2011
seperti yang terjadi pada tahun 2008 dan kendala tidak meningkatnya jumlah yang
berkunjung untuk mendapatkan pengobatan di Puskesmas. (12,17) Kendala ini tentu minimal
mempengaruhi mutu pelayanan yang mengarah pula pada kepuasan pasien / pelanggan. Hal
ini seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, perlu dikaji pelaksanaan dan evaluasi program
ini serta ditemukan apa yang menjadi kendala dalam proses pelaksanaannya dari tingkat
hukum, manajerial serta pelaksaannya.
KEBIJAKAN PROGRAM
Berdasarkan Kepmenkes RI tentang kebijakan dasar puskesmas No:128/Menkes/SK/II/2004,
pengertian dari puskesmas itu sendiri adalah unit pelaksana teknis dinas kesehatan
kabupaten/kota yang bertanggungjawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu
wilayah kerja. (10) Dari pengertian ini puskesmas berperan dalam menyelenggarakan upaya
kesehatan di suatu kecamatan / wilayah tertentu sebagaimana yang dibebankan oleh dinas
kesehatan kabupaten/kota nya. Disini jelas bahwa dinas kesehatan bersama puskesmas
memiliki peran dalam perencanaan, pengadaan, pelaksaan dan evaluasi program-program
kesehatan sesuai kebijakan kabupaten/kota.
Visi pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh puskesmas adalah tercapainya
kecamatan sehat menuju terwujudnya Indonesia sehat. Indikator dari kecamatan sehat ini
mencakup 4 indikator utama yaitu 1) lingkungan sehat, 2) perilaku sehat, 3) cakupan
pelayanan kesehatan yang bermutu,serta 4) derajat kesehatan penduduk. Dalam misinya
diterangkan, puskesmas memelihara dan meningkatkan mutu, pemerataan dan keterjangkauan
pelayanan kesehatan yang diselenggarakan. (1) Lebih lanjut, puskesmas akan selalu berupaya
menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang sesuai dengan standar dan memuaskan
masyarakat, mengupayakan pemerataan pelayanan kesehatan serta meningkatkan efisiensi
pengelolaan dana, sehingga dapat dijangkau oleh seluruh anggota masyarakat.
Dasar Hukum
Aturan-aturan dasar puskesmas seperti yang telah dijelaskan di atas merupakan acuan dalam
penyelenggaraan kegiatan puskesmas. aturan ini perlu untuk dipahami dalam setiap
penyelenggaran program puskesmas. Pada dasarnya, penyelenggaraan puskesmas merupakan
amanat dari dinas kesehatan kota. Oleh karena itu, selain berbagai pelayanan dasar yang
dikembangkan di puskesmas sesuai dengan Kepmenkes, merupakan kewenangan dinas
kesehatan dan pemerintah daerah untuk mengadakan serta melaksanakan program atau
proyek dibidang kesehatan guna peningkatan kesehatan masyarakat. dalam hal ini, program
puskesmas gratis kota Salatiga merupakan perwujudan program kemitraan peningkatan
pelayanan kesehatan di kota tersebut. Kemitraan ini berusaha meningkatkan partisipasi
masyarakat terhadap segala bentuk kebijakan pemerintah daerah. Kemitraan ini merupakan
hubungan antara pemerintah daerah, swasta dan masyarakat.