Anda di halaman 1dari 18

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Tanah yang termasuk ordo Entisol merupakan tanah-tanah yang masih sangat muda yaitu
baru tingkat permulaan dalam perkembangan. Tidak ada horison penciri lain kecuali epipedon
ochrik, albik atau histik. Kata Ent berarti recent atau baru. Padanan dengan sistem klasifikasi
lama adalah termasuk tanah Aluvial atau Regosol (http://www.dasar2ilmutanah.com).
Tanah adalah tubuh alam merupakan kulit bumi, dimana manusia, hewan dan tumbuhtumbuhan dapat hidup. Kehidupan manusia tergantung pada tanah dan sebaliknya baik
buruknya tanah tergantung kerpada manusia dan pengelolaannya, sehingga bukan
kebalikannya yang terjadi, yakni kesalahan dalam pengelolaannya akan dapat mengakibatkan
kerusakan-kerusakan pada tanah ditinjau dari kesuburan dan produktivitasnya (Hasibuan,
2006).
Tanah Entisol merupakan tanah yang relatif kurang menguntungkan untuk pertumbuhan
tanaman, sehingga perlu upaya untuk meningkatkan produktivitasnya dengan jalan
pemupukan. Sistem pertanian konvensional selama ini menggunakan pupuk kimia dan
pestisida yang makin tinggi takarannya.
Tanah pertanian merupakan ekosistem tersubsidi yang diperlukan untuk membuat kondisi
optimum yang diinginkan dengan tujuan efisiensi produsen pada tingkat batas maksimum.
Subsidi itu tentu saja sangat diperlukan, lebih-lebih dengan waktu singkat harus
menghasilkan, seperti pada kebanyakan tanaman semusim antara 60 90 hari saja
sumbsistem produsen mencapai kemasakan dan efisiensi fotosintesis menurun karena umur
(Hanum, 2009
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan dari paper ini adalah untuk mengetahui sifat fisik, kimia, dan
biologi pada tanah Ensiptisol, Andisol, Insetisol, Ultisol, Tanah Sawah dan Tanah Rawa
Pasang Surut di Laboratorium Kesuburan Tanah Departemen Ilmu Tanah Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara, Medan.
Kegunaan Penulisan
Merupakan salah satu tugas di Laboratorium Kesuburan Tanah Departemen Ilmu Tanah
Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.
Sebagai bahan informasi bagi pihak-pihak yang membutuhkan.
Sifat Fisik, Kimia, Dan Biologi Berbagai Jenis TanahSifat Fisik, Kimia, Dan
Biologi Berbagai Jenis Tanah
I.Tanah Entisol
. Peningkatan takaran ini menyebabkan terakumulasinya hara yang berasal dari
pupuk/pestisida di perairan maupun air tanah, sehingga mengakibatkan terjadinya
pencemaran lingkungan, sementara yang lain belum tertarik karena belum mengetahui
manfaatnya terutama terhadap perbaikan sifat tanah (Pradopo, 2000).
Sifat Kimia
. Nilai ratio C/N tergolong sedang sampai tinggi, kandungan P potensial bervariasi sebagian
rendah sampai sangat rendahdan sebagian sedang sampai tinggi. Demikian juga dengan K
potensial. Jumlah basa dapat tukar, KB dan KTK juga bervariasi dari rendah sampai tinggi.
Potensi kesuburan Entisol sangat bervariasi tergantung komposisi bahan dari sedang sampai

tinggi. Psmment umumnya lebih miskin hara, sedangka orthens dan fluvens bervariasi dari
sedang sampai tinggi (Damanik, dkk).
P tersedia tanah. Hasil analisis statistik dengan DMRT (Duncan Multiple Range Test)
menunjukkan bahwa terdapat beda nyata antar perlakuan. Budidaya organik nyata
meningkatkan P tersedia tanah. Peningkatan P tersedia ini dapat terjadi karena pelepasan P
dari bahan organik yang ditambahkan, juga karena terjadinya pengaruh tidak langsung bahan
organic terhadap P yang ada dalam kompleks jerapan tanah. (Hardjowigeno, 1992).
Sifat Fisika
Tanah entisol dari berbagai wilayah menunjukkan bahwa sifat tanahnya tergantung dari
komposisi bahan endapan yang membentuknya. Entisol memiliki khas tekstur yang sangat
beragam, dari berpasir, berliat sampai lempung dengan kandungan debu tinggi (Damanik,
dkk, 2010).
Selain diatas sifat fisik lainnya adalah :
a.Tanah ultisol pada umum nya berwarna kelabu.
b.Tanah ultisol berstruktur gugat kuat, gumpal gumpal bersudut.
c.Agregat tanah kurang stabil.
d.Permeabilitas relative rendah.
e.Kandungan liat tinggi.
(Soepardi, 1983).
Sifat Biologi
Tanah relatif kurang menguntungksan bagi pertumbuhan tanaman, banyak diusahakan di
daerah persawahan, mempunyai konsistensi lepas-lepas, Tadah hujan pada daerah dataran
rendah
II.Tanah Andisol
Sifat Kimia
Kandungan P dan K potensial bervariasia, mulai rendah sampai tinggi. Jumlah basa dapat
tukar, tergolong sedang sampai tinggi. Jumlah basa dapat tukar tergolong sedang sampai
tinggi dan didominasi ion Ca dan Mg, juga sebagian K. KTK tanah sebagian besar sedang
sampai tinggi, dengan KB sedang. Dengan demikian potensial kesuburan Andisols dinilai
tergolong sedang sampai tinggi (Damanik, dkk, 2010).
Reaksi tanah. Untuk penetapan klasifikasi tanah tingkat seri, reaksi tanah (pH)
dikelompokkan atas 2 kelas, yaitu (1) tanah masam pH < 5.5; dan (2) tanah tidak masam pH
>5.5 (Hardjowigeno et al, 1996). Andisol Cikajang (Dn-1, Dn-2, dan Dn-3) umumnya
bereaksi tidak masam dengan kisaran pH antara 5.7-6.0. Sedangkan Andisol Cikole (Dn-4dan
Dn-5) bereaksi masam kisaran pH antara 4.7-5.2 (Safuan, 2005).
Sifat Fisika
Sifat tanah andisol yaitu :
a. Warna tanah pada umumnya hitam kelam.
b.Sangat berporous.
c.Kerapatan lindak : rendah.
d.Tekstur tanah berlempung.
e.Porositas, permeabilitas, dan stabilitas agregat tinggi (Hardjowigeno, 1989).
f.
Sifat Biologi
Sampai kedalaman 80 cm oleh plagioklas intermedier, dan opak pada kedalaman 106-190
cm, mineral lainnya augit dan hiperstin. Amfibol hijau dan plagioklas intermedier pada pedon
Dn-4 dan Dn-5 relatif dominan, mineral lainnya augit, opak, gelas volkan dan hiperstin
(Sutriadi dan Suradikarta, 2007).

III.Tanah Inceptisol
Sifat Kimia
pH mendekati netral atau lebih (pH < 4 tanah bermasalah) Kejenuhan basa kurang dari 50 %
pada kedalaman 1,8 m COLE antara 0,07 dan 0,09 BO tingi (1,64 %-7,78%)
(http:www.dasartanah.com) . Kandungan P potensial rendah sampai tinggi dan K potensial
sangat rendah sampai sedang. Kandungan P potensial umumnya lebih tinggi daripada K
potensial, baik lapisan atas maupun lapisan bawah. Kapasitas Tukar Kation (KTK) sedang
sampai tinggi disemua lapisan. Kejenuhan basa (KB) rendah sampai tinggi. Secara umum
disimpulkan kesuburan alami Inceptisol bervariasi dari rendah sampai tinggi (Damanik, dkk,
2010). Sifat Fisika Sebagian besar inceptisol menunjukkan kelas tekstur berliat dengan
kandungan liat cukup tinggi (35-78%) tetapi sebagian termasuk berlempung halus dengan
kandungan liat lebih rendah (18 35 %) (Damanik, dkk, 2010). Sifat Biologi Masih terdapat
bahan induk sehingga masih banyak mikroorganisme pendekomposisi sisa tumbuhan Tanah
yang masih banyat terdapat bahan induk termasuk serasah tumbuhan. Masih terdapat bahan
induk sehingga masih banyak mikroorganisme pendekomposisi sisa tumbuhan
((Hardjowigeno,1989). IV.Tanah Ultisol Sifat Kimia Kandungan P potensial sangat rendah,
dan K potensial bervariasi sangat rendah sampai rendah disemua lapisan tanah. Jumlah basa
dapat tukar tergolong sangat rendah disemua lapisan. KTK tanah disemua lapisan termasuk
rendah dan KB sangat rendah, kecuali lapisan atas termasuk rendah sampai sedang. Dengan
demikian potensi kesuburan ultisol dinilai sangat rendah sampai rendah (Damanik, dkk,
2010). Sifat Fisika Data analisis tanah ultisol dari berbagai wilayah menunjukkan bahwa sifat
tanahnya bergantung dari bahan induks (batu liat atau pasir). Ultisol memiliki kelas tekstur
yang bervariasi dari berlempung halus sampai berliat (Damanik, dkk, 2010). Defisiensi
magnesium pada tanaman juga dapat terjadi pada tanaman yang ditanam pada tanah yang
mempunyai perbandingan Ca/Mg dapat ditukar sangat besar. Perbandingan yang ideal adalah
tidak labih dari 7:1. Pada sebagian basar humid, tanah bertekstur besar dan dikapur kalsit
terus-menerus dapat meyebabkan gangguan Ca dan Mg yang akhirnya menyebabkan
defisiensi Mg .Tanah ultisol pada umum nya berwarna kelabu. Tanah ultisol berstruktur gugat
kuat, gumpal gumpal bersudut. Agregat tanah kurang stabil. Permeabilitas relative rendah
Kandungan liat tinggi (Hardjowigeno,1989). Sifat Biologi Sifat-sifat biologi dari ultisol
adalah.Selulosa, zat pati, gula, protein, sukar didekomposisikanJasad heterotropik ( bakteri,
fungi, aktinomisetes ) lebih banyak daripada jasad autotropik. (Sutriadi dan Suradikarta,
2007). V.Tanah Sawah Sifat Kimia Dalam tanah yang mengandung udara cukup, oksigen
yang bertindak sebagai penerima elektron, sehingga Fe dan Mn tidak tereduksi dan tidak
mengalami translokasi. Tanah sawah kahat udara karena dijenuhi air dan karena berstruktur
lumpur tidak ada pori-pori yang mengantarkan udara masuk ke dalam tanah (Damanik, dkk,
2010). Sifat Fisika Kecuali itu, karena penggunaan tanah sebagai sawah umumnya tidak
dilakukan sepanjang tahun, tetapi bergiliran dengan tanaman palawija (lahan kering) atau
bera, maka perubahan-perubahan tersebut dapat dibedakan menjadi: (1) perubahan sementara
dan (2) perubahan permanen (Sutriadi dan Suradikarta, 2007). .Dalam proses pelumpuran,
pori-pori makro pada dasarnya hilang. Sekitar 91 100% volume yang ditempati pori-pori
makro hancurkan akibat pelumpuran sehingga porositas kapiler meningkat sekitar 223%.
Dengan denikian air dapat masuk dengan leluasa (Damanik, dkk, 2010). Sifat Biologi
Susunan mikroba di dalam tanah sebagian besar terdiri dari bakteri, fungi, dan mikroalga.
Populasi mikroba dalam tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan mikroba yaitu: 1) jumlah dan macam zat hara, 2) kelembaban, 3) tingkat
aerasi, 4) suhu, 5) pH, dan 6) perlakuan pada tanah seperti penambahan pupuk atau
banjir yang dapat menyebabkan peningkatan jumlah mikroba.
(http://www.dasar2ilmutanah.com). VI.Tanah Rawa Pasang Surut Sifat Kimia KTK Tanah.

Tanah dilokasi penelitian memiliki kapasitas tukar kation (KTK pH 7). Semakin tinggi
dengan meningkatnya kedalaman tanah. Pada pedon secara keseluruhan, nilai kapasitas tukar
kation tergolong tinggi dengan kisaran 30.13 40.34 me/100g tanah. Peningkatan nilai KTK,
disebabkan oleh makin meningkatnya liat dan kandungan bahan organic dengan
meningkatnya kedalaman tanah. Walaupun kandungan litany melebihi 15%, tetapi KTK
efektik > 12 me/100g tanah dan KTK NH4OAc (pH 7) > 16 me/100g tanah, sehingga tidak
memenuhi syarat sebagai horizon oksi (Hasibuan, 2008).
Menurut Soil Taxonomy (Soil Survey Staff 1998), tanah gambut adalah tanah yang tersusun
dari bahan organik dengan ketebalan minimal 40 atau 60 cm, bergantung pada bobot jenis
(BD) dan tingkat dekomposisi bahan organik. Sedangkan bahan organik adalah:
1)Apabila dalam keadaan jenuh air, mempunyai kandungan C-organik paling sedikit 18% jika
kandungan liatnya 60% atau lebih; atau mempunyai Corganik 12% atau lebih jika tidak
mempunyai liat; atau mempunyai C-organik lebih dari {12 + (% liat x 0, 10)}% jika
kandungan liat 060%.
2) Apabila tidak jenuh air, mempunyaikandungan C-organik minimal 20%.
(Sutriadi dan Suradikarta, 2007).
Sifat Fisika
Warna Tanah. Warna tanah dari atas ke bawah pada masing-masing horizon menunjukkan
adanya perubahan warna yang mengarah ke warna lebih hitam. Secara menyolok lapisan atas
tanah berwarna coklat kelabu (10YR5/2 10YR4/1), sedangkan horizon di bawahnya
berwarna kelabu kehitaman hingga kelabu hitam (2.5Y4/0 2.5Y3/0). Hal ini terjadi akibat
adanya proses reduksi secara permanent terendam air (water loged), sehingga warna kelabu
(gley) yang semakin kuat. Karena walau warna tanah lapisan atas mempunyai value lebih
rendah dari 3.5 (lembab), tetapi tidak bisa masuk dalam enam kategori epipedon yang lain,
sehingga dimasukkan dalam ketegori epipedon (Safuan, 2005).
Sifat Biologi
Pengelolaan keharaan N lahan basah tentu tidak hanya melibatkan potensi jasad renik
penambat N2 saja. Jasad renik adalah pelaku utama dari siklus N sehingga regulasi atau
pengendalian siklus hara tersebut dapat dilakukan melalui pengendalian kita terhadap
populasi dan aktivitas jasad renik yang terlibat atau yang ada di lingkungan tersebut (Tisdale,
et all, 1985).
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
1.Tanah merupakan tempat tumbuhnya tanaman yang memiliki sifat yang beragam.
2.Kesuburan tanah dapat diperoleh dengan pengelolaan yang tepat
3.Tanah Andisol merupakan tanah yang kaya akan bahan organik
4.Tanah lahan rawa perlu reklamasi agar dapat diolah kembali
5.Jenis Tanah mempengaruhi jenis tanaman yang diatasnya
SARAN
Pengelolaan tanah yang tepat, efektif dan evisien sangat diperlukan agar tercapai produksi
yang diinginkan

DAFTAR PUSTAKA
Damanik, MMB., Hasibuan, B.E., Fauzi, Sarifuddin, Hanum, H., 2010. Kesuburan Tanah dan
Pemupukan. USU Press. Medan.
http:www.dasar2tanah.com diakses tanggal 5 April.2010
Hasibuan, BE., 2008. Pengelolaan Tanah dan Air Lahan Marginal. USU Press. Medan.
Hasibuan, BE.,2006. Ilmu Tanah. USU Press. Medan.
Hanum. C., 2009. Ekologi Tanaman. USU Press. Medan
Hardjowigeno, S., 1989. Ilmu Tanah (edisi revisi). Media Sarana Perkasa, Jakarta.
Safuan, La Ode. 2005. Pengapuran Tanah. Diakses pada tanggal 3 April 2010.
Diposkan oleh lam 'alif di 03.53
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke
Pinterest
Tidak ada komentar:
Poskan Komentar
Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda
Langganan: Poskan Komentar (Atom)

Mengenai Saya

lam 'alif
Lihat profil lengkapku

Pengikut
Arsip Blog

2011 (22)
o Maret (19)

TATA NIAGA SEBAGAI KEGIATAN PRODUKTIF DAN


BERSIFAT...

PENGEMBANGAN WILAYAH DAN PENATAAN RUANG DI


INDONES...

karakteristik tanah salin dan lahan rawa pasang su...

AGROEKOSISTEM

Respon pertumbuhan dan produksi tanaman kangkung d...

RESPONS PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TANAMAN


BAYAM (Am...

RESPON PEMBERIAN PUPUK INDUSTRI DAN PUPUK


KANDANG ...

Pengaruh Penggosokan Benih Pada Karet

Sifat Fisik, Kimia, Dan Biologi Berbagai Jenis Tan...

PENGUJIAN KETAHANAN BEBERAPA KLON TANAMAN


KARET ...

PERUBAHAN IKLIM, EFEKNYA PADA TUMBUHAN DAN


PERTAN...

Salinitas

kompetisi pada tumbuhan

PENCEMARAN TANAH OLEH PUPUK

Pencemaran Air

SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION (SRI)

kultur anther

Sterilisasi

Mengukur Enzim Selulotik

o Februari (3)

Sifat Kimia dan Fisik Tanah Gambut

Sifat kimia dan fisika tanah gambut merupakan sifat-sifat tanah gambut yang
penting diperhatikan dalam pengelolaan lahan gambut. Sifat kimia seperti pH,
kadar abu, kadar N, P, K, kejenuhan basa (KB), dan hara mikro merupakan
informasi yang perlu diperhatikan dalam pemupukan di tanah gambut.

Sifat fisika gambut yang spesifik yaitu berat isi (bulk density) yang rendah
berimplikasi terhadap daya menahan beban tanaman yang rendah. Selain itu
agar tanah gambut dapat dipergunakan dalam jangka waktu yang lama,maka

laju subsiden (penurunan permukaan tanah) dan sifat mengering tidak balik
(irreversible drying) perlu dikendalikan agar gambut tidakcepat habis.

SIFAT-SIFAT TANAH DAN PROBLEMATIKA LAHAN


TERDEGRADASI SERTA CARA MENGATASINYA
Posted on 18 Januari 2013 by hutan2011
Oleh :
Hamdan Adma Adinugraha
I. PENDAHULUAN
Kehidupannya manusia senantiasa memiliki hubungan yang sangat erat dengan tanah. Dalam
Al Quran dijelaskan bahwa penciptaan manusia berasal dari saripati tanah, bahkan penciptaan
manusia yang pertama kali dari tanah. Manusia hidup dan tinggal diatas tanah, bercocok
tanam, makan dan minum apa yang tumbuh dan dikeluarkan dari dalam tanah, serta di akhir
kehidupannya manusia akan kembali ke tanah melalui proses penguraian oleh mikroba tanah.
Menurut Dokuchaev, tanah (soil) diartikan sebagai benda fisik yang memiliki dimensi tiga
yaitu panjang, lebar dan dalam yang merupakan lapisan paling luar dari kulit bumi. Adapun
pengertian tanah yang berhubungan dengan kehidupan manusia sering disebut lahan (land)
yang artinya lingkungan fisik dan biotik yang berhubungan dengan daya dukungnya terhadap
kehidupan dan kesejahteraan manusia.
Dalam fungsinya tanah sebagai penyangga kehidupan bagi manusia dan makhluk hidup
lainnya, kita telah mengetahui adanya lahan potensial atau dapat dimanfaatkan dengan baik
oleh manusia dan tanah kritis yaitu lahan yang telah mengalami kerusakan secara fisik, kimia
maupun biologis sehingga tidak dapat dimanfaatkan untuk produksi maupun sebagai media
tata air (SK Menhut no. 52/Kpts-II/2001). Lahan kritis diartikan juga sebagai lahan
terdegradasi yaitu talah mengalami penurunan kemampuan tanah secara aktual maupun
potensial untuk memproduksi barang dan jasa (FAO, 1977). Arsyad (1989) menyamakan
antara degradasi tanah dengan kerusakan tanah yaitu hilang atau menurunnya fungsi tanah
sebagai matrik tempat akar tanaman berjangkar dan air tanah tersimpan serta tempat unsurunsur hara yang dibutuhkan tanaman. Dilaporkan bahwa kondisi lahan kritis khususnya di 60
daerah aliran sungai (DAS) di Indonesia saat ini mencapai 77,8 juta hektar, terdiri atas agak
kritis 47,6 juta hektar, kritis 23,3 juta hektar, dan sangat kritis 6,8 juta hektar
(http://landspatial.bappenas.go.id/ias.php?menu=berita2).
Seiring dengan semakin berkuranganya luas hutan di Indonesia yang menurut Barr (2007)
bahwa tingkat kerusakan hutan Indonesia mencapai 1,6-2 juta hektar per tahun, menyebabkan
luas lahan kritis semakin meningkat. Pada umumnya tanahtanah lahan kering tropika basah
di luar Pulau Jawa merupakan tanah yang rentan terhadap proses degradasi. Di Jawa sendiri
dilaporkan bahwa 80% dari lahan hutan yang ada, telah dikonversi menjadi lahan pertanian
(Smiet, 1990). Pembukaan dan konversi lahan merupakan faktor penyebab utama terjadinya
degradasi lahan dan perubahan kondisi ekologi pada lahan tersebut (Zheng, 2006) yang
selanjutnya menjadi penyebab terjadinya bencana alam banjir dan lonsor di berbagai tempat
karena tanah tidak mampu lagi mengatur kelembaban, sehingga cepat mengering dan jenuh
bila kondisi curah hujan berubah. Adanya degradasi hutan dan ekosistemnya maka dapat

menyebabkan degradasi pada tanahnya karena dalam pembentukan dan perkembangannya,


tanah sangat dipengaruhi oleh faktor iklim, organisme, bahan induk, topografi dan waktu.
II. LAHAN TERDEGRADASI DAN PERMASALAHANNYA
Secara umum degradasi tanah disebabkan oleh faktor alami dan akibat campur tangan
manusia (anthropogenic factor). Menurut Barrow (1991) faktor alami penyebab degradasi
tanah antara lain: kelerengan lahan, sifat tanah yang mudah rusak, curah hujan intensif,
bencana alam dan lain-lain. Faktor campur tangan manusia baik langsung maupun tidak
langsung lebih mendominasi dibandingkan faktor alami, antara lain: perubahan populasi,
marjinalisasi penduduk, kemiskinan, masalah kepemilikan lahan, ketidakstabilan politik,
kondisi sosial dan ekonomi,dan pengembangan pertanian yang tidak tepat. Oldeman (1994)
menyatakan lima faktor penyebab degradasi tanah akibat campur tangan manusia secara
langsung, yaitu: deforestasi, overgrazing, aktivitas pertanian, eksploitasi berlebihan dan
aktivitas industri. Lal (1986) dan Zheng (2006) juga mengemukakan bahwa faktor penyebab
tanah terdegradasi dan rendahnya produktivitas antara lain: deforestasi, mekanisasi dalam
usaha tani, kebakaran, penggunaan bahan kimia pertanian dan penanaman secara
monokultur.
1. Perladangaan berpindah (shifting cultivation)
Sistem usaha tani tebas dan bakar atau perladangan berpindah merupakan salah satu
kegiatan yang dapat menyebabkan degradasi tanah. Sistem ini biasa terjadi di daerah
marjinal dengan tekanan populasi terhadap lahan cukup tinggi, kebutuhan ekonomi
makin meningkat mengakibatkan masa bera makin singkat sangat merusak dan
menyebabkan degradasi tanah dan lingkungan (Lal, 1986), yang ditandai dengan
penurunan produktivitas karena memburuknya sifat fisik dan kimia tanah. Pembukaan
lahan dengan cara ini memacu terjadinya erosi yang dapat menyebabkan tanah
kehilangan lapisan atas (top soil) yang umumnya kaya dengan unsur hara. McAlister
et al., (1998) melaporkan bahwa setelah 5 tahun sejak pembakaran maka konsentrasi
unsur hara menurun sedangkan persentase Al tinggi sehingga dapat meracuni
tanaman.
2. Kegiatan pertambangan
Kegiatan pertambangan menyebabkan degradasi tanah dan lahan yang sangat besar,
karena umumnya dilakukan penggalian dengan menyingkirkan vegatasi dan seluruh
lapisan tanah di atas deposit batubara. Aktifitas penambangan akan menghasilkan
kubangan besar, menyebabkan berubahnya sifat-sifat fisik, kimia dan biologi tanah.
Hidayati (2000) menyatakan penimbunan permukaan tanah dengan tanah galian
sumur tambang emas di Sukabumi mengakibatkan penurunan status hara, penurunan
populasi mikroba dan artropoda tanah dan merubah iklim mikro. Menurut Teixeira et
al., (2007) kegiatan pertambangan menyebabkan perubahan topografi, kondisi fisik,
kandungan kimia tanah, biologis, vegetasi yang tumbuh dan dinamika air tanah.
Selain itu menyebabkan hilangnya banyak spesies fauna dan memodifikasi habitatnya.
Rusaknya siklus nutrisi dan perbaikan tanah merupakan konsekuensi dari
berkurangnya bahan organik dan hiangnya nutrisi yang disebabkan oleh pelindian
(leaching) dan erosi. Limbah industri dalam bentuk padat atau cair yang mengandung
bahan kimia berbahaya juga menimbulkan polusi tanah dan meracuni tanaman.

3. Kerusakan hutan akibat penebangan berlebihan


Kegiatan penebangan yang dilakukan secara berlebihan (over cutting) dan terus
menerus yang dilakukan oleh perusahaan atau illegal logging oleh masyarakat di
sekitar hutan merupakan penyebab rusaknya hutan Indonesia. Deforestasi akan
menyebabkan penurunan sifat-sifat tanah seperti dilaporkan oleh Handayani (1999)
bahwa deforestrasi menyebabkan kemampuan tanah melepas N tersedia (amonium
dan nitrat) menurun. Tian (1998) menyatakan degradasi lahan akibat land clearing
dan penggunaan untuk pertanaman secara terus-menerus selama 17 tahun memicu
hilangnya biota tanah dan memburuknya sifat-sifat fisik dan kimia tanah. Nilai pH
tanah yang tidak terdegradasi lebih tinggi dari pada tanah yang terdegradasi. Begitu
pula ditemukan bahwa dekomposisi daun dan pelepasan unsur hara lebih rendah pada
tanah terdegradasi dari pada non terdegradasi.
4. Kebakaran hutan
Pengaruh kebakaran pada tanah dapat bersifat positip dan negatif. Pengaruh positif
antara lain menaikkan pH tanah, meningkatkan kandungan amonium, P tersedia, Na +,
K+, Mg2+, dapat membersihkan sisa-sisa tanaman dan membunuh hama/penyakit.
Pengaruh negatifnya antara lain terjadi perubahan pada tanah akibat tingginya suhu
(pemanasan) dan hilangnya biomassa tanah (Rein et al, 2008). Kebakaran menyebabkan hilangnya lapisan bahan organik (humus) yang sangat penting dalam
penyediaan unsur hara bagi tanaman, penurunan kandungan C dan N dalam tanah
(Neff et al., 2005). Hilangnya lapisan organik penutup tanah menyebabkan
terbukanya tanah, rusaknya agregat tanah yang dapat memacu terbentuknya lubanglubang pada tanah yang dapat menyebabakan kerusakan akar, ancaman terhadap
stabilitas tanaman dan gangguan terhadap dinamika hidrologi serta meningkatkan
erosi (Robichaud et al., 2006; Rein et al., 2008).
5. Konversi hutan menjadi tegakan monokultur dan lahan pertanian
Konversi hutan menjadi lahan yang dikelola secara monokultur atau menjadi lahan
pertanian dapat menyebabkan terjadinya perubahan sifat-sifat fisik tanah antara lain
kerusakan struktur tanah sebagai akibat menurunnya porositas tanah dan daya
infiltrasi tanah (Utomo, 1989 dalam Priatna, 2001). Pengelolaan hutan dalam bentuk
monokultur secara berlebihan dan terus menerus akan menghabiskan persediaan hara
dalam beberapa rotasi dan menurunkan produktivitas lahan tersebut (Mackensen,
2000). Dilaporkan oleh Darwati (2007) bahwa adanya konversi hutan menjadi lahan
pertanian menyebabkan penurunan kondisi biologis tanah. Demikian pula dengan
pembukaan lahan gambut dan dikonversi menjadi lahan perkebunan atau pertanian
banyak menimbulkan masalah dalam mereklamasi lahan tersebut bahkan menjadi
sumber bahan bakar pada musim kemarau. Adanya reduksi seyawa pirit menyebabkan
keasaman tanah meningkat dan mengganngu pertumbuhan tanaman.
6. Pemadatan tanah (soil compaction)
Penggunaan alat berat dalam kegiatan pemanenan hasil hutan untuk penyaradan atau
pembukaan jalan menyebabkan rusaknya kondisi fisik lantai hutan, hilanganya bahan
organik, pemadatan tanah serta hilangnya tumbuhan bawah. Terjadinya pemadatan
tanah akibat kegiatan penyaradan meningkatkan bulk density tanah, penurunan

permeabilitas dan kapasitas infiltrasi tanah sehingga tanah lebih mudah tererosi.
Penyerapan air oleh akar berkurang dan air lebih banyak terkumpul pada permukaan
tanah sehingga mudah hilang akibat proses evapotranspirasi. Penurunan kandungan N
dalam tanah juga terjadi karena meningkatnya denitrifikasi sehingga penguapan N ke
atmosfir meningkat (Makineci et al., 2008). Pemadatan tanah dapat pula terjadi
karena adanya penggembalaan yang tidak terkendali (over grazing), walaupun akibat
yang ditimbulkan lebih ringgan dari pada penggunaan alat berat.
7. Salinitas tanah
Masalah salinitas tanah umum terjadi di bidang pertanian di seluruh dunia karena
menyebabkan penurunan produktivitas dan hasil panen terutama di daerah kering
(arid-semi arid). Menurut Salisbury and Ross (1995) adanya penimbunan garam
dalam tanah menyebabkan tumbuhan mengalami masalah dalam memperoleh air dari
tanah dan mengatasi konsentrasi ion-ion natrium, karbonat dan klorida yang tinggi
yang kemungkinan beracun. Masalah salinitas akan menimbulkan dampak pada
lingkungan, sosial dan ekonomi yang akan dirasakan oleh masyarakat setempat atau
lebih luas yang meliputi bidang pertanian, penurunan kualitas air, kerusakan
infrastruktur masyarakat serta berkurangnya keanekaragaman sumberdaya hayati.
Tumbuhan yang tidak memiliki toleransi terhadap kadar garam yang tinggi akan
banyak yang mati bahkan dapat terancam kepunahan. Peningkatan salinitas dapat
terjadi karena beberapa hal yaitu berkurangnya penutupan tanah, pengaruh
penggenangan dan interusi air laut (daerah pesisir), pengairan dengan air yang
kandungan garamnya tinggi, kandungan garam-garaman dalam bahan induk tanah
yang tinggi, bencana alam tsunami yang membawa endapan lumpur/pasir dari laut
dan faktor iklim (curah hujan).
III. KARAKTERISTIK TANAH TERDEGRADASI
Gejala degradasi lahan yang utama adalah erosi karena akan membahayakan segala
bentuk penggunaan lahan. Gejala lain sebagai akibat dari erosi tanah yaitu penurunan
potensi tanah untuk memasok air dan unsur hara pada tanaman (Notohadiprawiro,
1992). Ciri-ciri umum lahan kritis adalah gundul, gersang bahkan muncul batu-batuan
di permukaan tanah, topografi lahan pada umumnya berbukit atau berlereng curam,
tingkat produktivitas rendah yang ditandai oleh tingginya tingkat kemasaman tanah,
kekahatan hara P, K, C dan Mg, rendahnya kapasitas tukar kation (KTK), kejenuhan
basa dan kandungan bahan organik, tingginya kadar Al dan Mn yang dapat meracuni
tanaman dan kepekaan tanah terhadap erosi. Selain itu, umumnya lahan kritis
didominasi tumbuhan alang-alang, pH tanah relatif rendah (4,8-6,2), tanah mengalami
leaching yang tinggi, banyak ditemukan rizoma yang menjadi hambatan mekanik
dalam budidaya tanaman, terdapat reaksi alelopati dari akar rimpang alang-alang yang
menyebabkan gangguan pertumbuhan pada lahan tersebut.
Lima proses utama yang terjadi timbulnya tanah terdegradasi, yaitu: menurunnya
kandungan bahan organik tanah, perpindahan liat, memburuknya struktur dan
pemadatan tanah, erosi tanah, deplesi dan pencucian unsur hara (Lal, 1986). Khusus
untuk tanah-tanah tropika basah terdapat tiga proses penting adanya degradasi tanah,
yaitu: (a) degradasi fisik berhubungan dengan memburuknya struktur tanah sehingga
memicu pergerakan, pemadatan, aliran banjir berlebihan dan erosi dipercepat; (b)
degradasi kimia akibat terganggunya siklus unsur hara, dan (c) degradasi biologi

akibat menurunnya kualitas dan kuantitas bahan organik tanah, aktivitas biotik dan
keragaman spesies fauna tanah (Lal, 1995). Tipe degradasi tanah terbagi 2 macam,
pertama berhubungan dengan displacement bahan tanah akibat dari erosi air
(hilangnya top soil dan deformasi lereng) dan erosi angin (hilangnya top soil,
deformasi lereng, dan overblowing). Kedua berdasarkan degradasi kimia (hilangnya
unsur hara/ bahan organik, salinisasi, acidifikasi, polusi) dan degradasi fisik. Adapun
derajat tipe degradasi terbagi menjadi rendah sedang, kuat dan ekstrim (Oldeman,
1994). Dalam lampiran Peraturan Pemerintah No. 150/2000, dijelaskan beberapa
kriteria tentang kerusakan tanah untuk produksi biomassa yaitu :
Tabel 1. Kriteria baku kerusakan tanah di lahan kering akibat erosi air
Ambang Kritis Erosi
Tebal
Tanah
Ton/ha/th

Mm/10
th

< 20 cm

>0,1- < 1

> 0,2 <


1,3

20 <
50 cm

1<3

1,3 <
4,0

3<7

4,0 <
9,0

Metode
Pengukuran

1. Gravimetrik
50 <
100 cm

79

9,0 12

>
150
cm

>9

> 12

timbangan tabung
ukur, penera debit sungai
dan peta DAS

Patok erosi

2. Pengukuran
langsung

100

150 cm

Peralatan

Tabel 2. Kriteria baku kerusakan tanah di lahan kering

No

Parameter

Ketebalan
solum

Ambang
Kritis

< 20 cm

Metode Pengukuran

Pengukuran langsung

Peralatan

Meteran

Kebatuan
permukaan

> 40%

Pengukuran langsung
imbangan batu dan tanah
dalam unit luasan

Meteran, counter
(line atau total)

Warna pasir, gravimetrik

Tabung ukur,
timbangan

Lilin, tabung ukur,


ring sampler,
timbangan analitik

< 18%
koloid;
3

Komposisi
fraksi

> 80%
pasir
kuarsitik

Berat isi

1,4 g/cm

Gravimetrik pada satuan


volume

Porositas total

< 30%; >


70%

Perhitungan berat isi (BI)


dan berat jenis (BJ)

Piknometer,
timbangan analitik

Permeabilitas

Ring sampler, double


ring permeameter

< 0,7
cm/jam
6

Derajat
pelulusan air

pH (H2O) 1 :
2,5

< 4,5 ; >


8,5

Potensiometrik

pH meter, pH stick
skala 0,5 satuan

Daya Hantar
Listrik (DHL)

> 4,0
mS/cm

Tahanan listrik

EC meter

Redoks

< 200 mV

Tegangan listrik

pH meter, elektroda
platina

10

Mikroba

< 102
cfu/g tanah

Plating technique

Cawan petri, colony


counter

> 8,0
cm/jam

Tabel 3. Kriteria baku kerusakan tanah di lahan basah

No

Parameter

Subsidensi
gambut di atas
pasir kuarsa
Kedalaman
lapisan berpirit

Ambang Kritis
> 35 cm/5 tahun
untuk ketebalan
gambut 3 m atau
10%/5 tahun untuk
ketebalan < 3m
< 25 cm

Metode
Pengukuran

Peralatan

Pengukura
langsung

Patok subsidensi

Reaksi oksidasi dan


pengukuran

Cepuk plastik,
H2O2, pH stick

dari permukaan
tanah
3
4
5

Kedalaman air
tanah dangkal
Redoks untuk
tanah berpirit
Redoks untuk
gambut

pH 2,5

langsung

skala 0,5 satuan,


meteran

> 25 cm

Pengukuran
langsung

Meteran

> -100 mV

Tegangan listrik

> 200 mV

Tegangan listrik

pH meter,
elektroda platina
pH meter,
elektroda platina
pH meter, pH
stick skala 0,5
satuan

pH (H2O) 1 : 2,5

< 4,0; > 7,0

Potensiometrik

Daya Hantar
Listrik (DHL)

> 4,0 mS/cm

Tahanan istrik

EC meter

Jumlah mikroba

< 102 cfu/g tanah

Plating technique

Cawan petri
colony counter

IV. PENINGKATAN PRODUKTIVITAS LAHAN TERDEGRADASI


1. Aplikasi usaha tani konservasi
Keadaan lahan kritis dapat diperbaiki melalui penerapan usaha tani konservasi
(conservation farming) yaitu bentuk budidaya pertanian yang menekankan
pemanfaatan lahan sekamsimal mungkin sepanjang tahun dengan memperhatikan
kaidah-kaidan atau teknik konservasi. Tujuan utamanya adalah untuk mencegah
kerusakan tanah, mempertahankan dan meningkatkan produktivitas maupun
kesuburan tanahnya (Rukmana, 1995). Kunci keberhasilan budidaya tanaman pangan
berkelanjutan antara lain: a) mengusahakan agar tanah tertutup tanaman sepanjang
tahun guna melindungi tanah dari erosi dan pencucian b) mengembalikan sisa-sisa
tanaman,
kompos
dan
pupuk
kandang
ke
dalam
tanah
guna
memperbaiki/mempertahankan bahan organik tanah (Effendi et al, 1986). Kebiasaan
petani dalam mengusahakan tanaman pangan sebagian besar limbah pertaniannya
diangkut keluar untuk pakan ternak dan kayu bakar, dibakar pada saat persiapan tanah
atau terbawa erosi, oleh karena itu makin lama kandungan bahan organik tanah makin
menurun dan diikuti oleh peningkatan erosi tanah karena kurangnya tindakan
konservasi tanah.
Pengusahaan budidaya tanaman yang dapat menutup permukaan tanah sepanjang
tahun merupakan tindakan konservasi vegetatif yang baik. Tindakan tersebut akan
lebih baik lagi jika sisa tanaman juga dikembalikan sebagai tambahan bahan organik
tanah. Bahan organik yang tinggi tidak hanya akan menambah nutrisi tanah setelah
melapuk, tetapi juga dapat berperan sebagai penyanggah dari pupuk yang diberikan,
mengikat air lebih baik dan meningkatkan daya infiltrasi tanah dari curah hujan yang
jatuh akhirnya dapat mengurangi erosi dan aliran permukaan serta dapat meningkat
produksi dan pendapatan petani. Toha dan Abdurahman (1991) mengemukakan
bahwa pemberian mulsa lamtorogung 30 ton/ha dengan tanpa pupuk N dapat
mengimbangi pemupukan 45 kg N/ha dengan tanpa mulsa.

2. Penggunaan Amelioran
Penggunaan pupuk organik (pupuk kandang atau pupuk hijau ) dan kapur dapat
meningkatkan efisiensi pemakaian pupuk anorganik, karena kedua unsur tersebut
dapat meningkatkan daya pegang air dan hara di tanah, sementara itu, residu pupuk
diharapkan dapat mengurangi jumlah pemakaian pupuk anorganik pada tanam
berikutnya. Hasil penelitian Arief dan Irman (1993) disimpulkan bahwa pemberian
amelioran berupa kapur, pupuk kandang, daun gamal, jerami padi dan kiserit mampu
meningkatkan hasil padi gogo dan kedelai di tanah podzolik merah kuning. Selain itu
dapat dilakukan dengan penggunaan zeolit yang merupakan kelompok mineral
aluminosilikat yang memiliki ciri-ciri seperti: mempunyai struktur yang khas,
permukaan yang luas dan muatan negatif yang tinggi, mengandung kation (seperti:
Na+, K+, Ca2+, Mg2+). Sehubungan dengan sifat-sifat tersebut bahan ini dapat
digunakan sebagai: penjerap unsur atau senyawa yang tidak diinginkan seperti logam
berat, pembawa unsur hara, meningkatkan kapasitas penyangga tanah, dapat
menyimpan air. Oleh karena itu kelompok mineral ini mempunyai prospek untuk
bahan remediasi lahan bekas tambang. Penggunaan zeolit dapat dilakukan dengan
cara-cara ditebarkan langsung ke tanah sebagai bahan pembenah tanah, dicampur
dengan pupuk untuk meningkatkan efisiensinya, sebagai campuran media tumbuh
tanaman dan penjernih air kolam atau tambak ikan dengan cara ditebar.
Cara lain yang bisa dilakukan untuk meningkatakan pertumbuhan tanaman dilahan
ktritis yang mengalami kendala rehabilitasi lahan akibat kurangnya unsur hara, fiksasi
P yang tinggi, pH sangat asam, toksisitas alumunium dan rendahnya bahan organik
adalah dengan penggunaan mikorisa (Santoso dkk, 2006). Menurut Nuhamara (1994)
sedikitnya ada 5 hal yang dapat membantu perkembangan tanaman dari adanya
mikoriza ini yaitu dapat meningkatkan absorpsi hara dari dalam tanah, berperan
sebagai penghalang biologi terhadap infeksi patogen akar, meningkatkan ketahanan
tanaman terhadap kekeringan dan kelembaban yang ekstrim, meningkatkan produksi
hormon pertumbuhan dan zat pengatur tumbuh lainnya seperti auxin dan menjamin
terselenggaranya proses biogeokemis.
3. Sistem Budidaya Lorong
Budidaya lorong adalah upaya pemanfaatan lahan dengan tanaman tahunan dan
tanaman semusim. Tanaman semusim ditanam di lorong tanaman pagar yang
umumnya berupa famili kacang-kacangan. Tanaman pagar berfungsi sebagai penahan
erosi dan penghasil bahan organik yang dapat meningkatkan produktivitas lahan (IPB,
1987). Hasil penelitian Evenson dan Jost (1986) di Sitiung, Sumatera Barat,
menunjukkan bahwa tanaman pagar jenis Albisia menghasilkan biomas dan nitrogen
lebih banyak dibanding Kaliandra. Sedangkan Adiningsih dkk, (1986) mengemukakan
bahwa di Kuamang Kuning, Jambi, Kalindra dan Lamtoro menghasilkan biomas lebih
banyak daripada Flemengia congesta. Hasil penelitian Hakim et al., (1993)
menunjukkan bahwa budidaya lorong dengan rumput raja (king grass) sebagai
tanaman pagar dan rotasi jagung-kedelai atau jagung-jagung sebagai tanaman lorong,
dapat disarankan pada lahan kritis. Rumput raja selain sebagai pupuk hijau juga dapat
menekan laju erosi. Penanaman dengan jenis-jenis legum cover crop pada bawah
tegakana diharapkan akan meningkatkan ketersediaan unsur hara melalui pengikatan
nitrogen (nitrogen fixing) dan tambahan bahan organik tanah.

4. Perlakuan Pertanian Organik


Pertanian organik adalah suatu bentuk pertanian yang tidak menggunakan input
sintesis seperti pestisida dan pupuk sehingga dapat menjaga keberlanjutan sistem
dalam waktu yang tidak terhingga. Namun demikian, pertanian organik bukan sekedar
pertanian tanpa bahan kimia. Pertanian organik menggunakan teknik-teknik seperti
rotasi tanaman, jarak tanam yang mencukupi antar tanaman, penggabungan bahan
organik ke dalam tanah dan penggunaan pengendalian biologi untuk menaikkan
pertumbuhan tanaman yang optimum dan meminimumkan masalah hama. Pemakaian
pestisida organik dipertimbangkan sebagai upaya terakhir dan digunakan dengan
hemat. Keberhasilan pertanian organik tergantung pada program pengelolaan
penggunaan input-input secara intensif dalam rangka menghasilkan produktivitas
tanaman yang optimum. Pelaksanaan pengelolaan pertanian organik terdiri atas: (a)
penambahan bahan organik terdekomposisi, (b) rotasi tanaman untuk meningkatkan
kesuburan dan mengurangi serangan hama dan penyakit, (c) memakai pupuk hijau
dan tanaman penutup untuk memperbaiki kesuburan tanah, meningkatkan populasi
organisme yang bermanfaat dan mengurangi erosi, (d) pengurangan pengolahan tanah
(minimum tillage) untuk memperbaiki struktur tanah dan mengurangi erosi, (e)
memakai tanaman penangkal (trap crops), jasad pengendali biologi dan teknik
manipulasi habitat lainnya (seperti tumpang sari atau penggunaan pembatas) untuk
mempertinggi mekanisme pengendalian biologi alami pada pertanian, dan (f)
pembuatan zona penyangga dan pembatas untuk menandai area penghasil organik dan
membantu melindungi area tersebut dari bahan-bahan terlarang. Zona penyanga
ditanami dengan tanaman pemecah angin (wind breaker) atau tanaman yang bukan
untuk dipanen
Dalam kegiatan penanaman huatan dilahan terdegradasi dapat dilakukan dengan
penerapan teknik pemberian mulsa vertikal, yaitu limbah hutan berupa seresah, sisasisa kayu, cabang, ranting dan bahan organik lainnya dimasukkan ke dalam lubang
yang dibuat berupa saluraan menurut konturnya sehingga akan terdekomposisi dan
menjadi sumber unsur hara bagi tanaman (Pratiwi, 2006).
5. Seleksi Tanaman Adaptif Pada Kondisi Cekaman Lingkungan
Masalah mendasar dan tantangan berat yang harus dihadapi pada lahan kritis adalah
bagaimana mengubah lahan tersebut menjadi lahan produktif dan bagaimana
menghambat agar lahan kritis tidak semakin meluas. Karena itu berbagai teknik
rehabilitasi dan sistem budidaya yang tepat telah banyak dicobakan pada lahan kritis
tersebut. Upaya-upaya yang selama ini dilakukan membutuhkan biaya yang cukup
besar dan memerlukan dukungan semua pihak serta perlu dukungan ahli ekofisiologi
dan pemulia tanaman untuk menghasilkan varietas tanaman pangan yang adaptif pada
lahan kritis yang memiliki karakteristik cekaman lingkungan tertentu (kesuburan
rendah, ketersediaan air terbatas/berlebih dan lain-lain). Tanaman pangan adaptif yang
dimaksud adalah tanaman yang di satu sisi mampu beradaptasi dan di sisi lain mampu
berproduksi secara optimal sehingga dapat diharapkan sebagai penyedia pangan di
masa mendatang
Tabel 4. Jenis-jenis tanaman legum
Nama latin

Nama lokal

Kegunaan

Persyaratan tumbuh

Ficus
subcordata

Wunut (J), bunut


lengis (B), sipadi
(M).

Reklamasi lahan,
tanaman pagar,
penahan angin
(windbreak)

Gliricidia
sepium

Gamal (J),
Glirisidia (I)

Tanaman penaung,
tanaman pagar,
pupuk hijau,
reklamasi lahan

Leucaena
leucocephala

Lamtoro gung,
petai cina (I),
kemlandingan (J)

Tanaman serbaguna

Sesbania
grandiflora

Turi (I, J, S),


tuwi (B)

Penahan angin,
tiang panjat,
tanaman penaung

Sesbania
sesban

Jayanti (S),
Janti (J)

Pupuk hijau,
tanaman naungan

Kaliandra (I)

Tanaman
konservasi pada
lembah, jurang
(gully) dan lahan
berlereng curam,
tanaman pagar,
pupuk hijau.

Calliandra
calothyrsus

Elevasi 0-800 m dpl, tumbuh


baik pada lahan kering dan
lahan berlereng dengan curah
hujan 900-2500 mm. Cocok
pada berbagai jenis tanah,
termasuk tanah calcareous
(pH tinggi).
Curah hujan 900-1500 mm
dengan sekitar 5 bulan
periode kering. Cocok pada
berbagai jenis tanah dari
masam sampai basa.
Elevasi 0-1.000 m dpl, curah
hujan 650-1500 mm. Juga
ditemukan pada daerah yang
lebih kering atau lebih basah.
Cocok pada tanah dengan
pH>5 dan ditemukan juga
pada tanah bergaram (salin).
Elevasi 0-800 m dpl, curah
hujan 800-4000 mm. Tumbuh
pada berbagai jenis tanah,
termasuk tanah tandus atau
tanah sering tergenang.
Toleran terhadap tanah
bergaram dan tanah alkalin.
Elevasi 0-2300 m dpl, curah
hujan 500-2000 mm.Tumbuh
pada berbagai jenis tanah
mulai dari tanah berpasir
sampai tanah liat. Toleran
terhadap tanah salin dan
tanah masam.
Elevasi 200-1800 m dpl,
curah hujan 700-4000 mm
dengan 1-7 bulan kering.
Cocok pada berbagai jenis
tanah termasuk tanah masam
berkesuburan rendah.
Menyukai tanah dengan
tekstur ringan (lempungberpasir).

Keterangan : I (Indonesia), J (Jawa) dan S (Sunda)


III. PENUTUP
Tanah memiliki kedudukan dan peran yang sangat penting bagi kehidupan manusia.
Dalam kehidupannya manusia tidak bisa dipisahkan dari keberadaan tanah itu sendiri.

Manusia secara langsung atau tidak langsung menjadi faktor yang sangat
mempengaruhi kondisi tanah dan lingkungannnya. Kerusakan-kerusakan lingkungan
tanah tidak lepas dari aktifitas manusia seperti pengolahan tanah pertanian,
pembukaan hutan untuk perladangan, pemukiman, pertambangan, pembakaran hutan,
penebangan secara tidak terkendali dan lain-lain. Oleh karena itu sudah menjadi
tanggung jawab kita semua untuk mengupayakan pengelolaan lingkungan yang baik
dan lestari. Dengan terciptanya kondisi lingkungan yang baik maka manusia akan
merasakan manfaatnya. Tugas tersebut bukan hanya merupakan tugas pemerintah,
rimbawan, ahli tanah dan lingkungan, namun merupakan tugas kita semua sebagai
masyarakat dalam ekosistem secara luas. Usaha yang dilakukan untuk menjaga
kondisi keseimbangan lingkungan dengan memperbaiki kerusakan yang ada serta
tidak melakukan kerusakan lainnya merupakan tugas mulia sebagai perwujudan
ibadah kepada Sang Pencipta alam semesta. Beberapa usaha yang bisa dilakukan
untuk memperbaiki kondisi lingkungan tanah yang telah mengalami degradasi antara
lain adalah penerapan usaha tani konservasi, penerapan sistem pertanian organik,
penggunaan bahan pembenah tanah (amelioran), melakukan daur ulang bahan organik
menjadi pupuk organik, kombinasi tanaman kehutanan dan pertanian serta melakukan
pemilihan jenis-jenis yang adaptif.
DAFTAR PUSTAKA
Arief, A dan Irman. 1993. Ameliorasi lahan kering masam untuk tanaman pangan.
Proseding Simposium Penelitian Tanaman Pangan III. Jakarta, Bogor 23-25 Agustus
1993
Arsyad, S. 1989. Konservasi tanah dan air. IPB Press. 290 hal.
Barr, C. 2007. Intensively Managed Forest Plantation in Indonesia. Overview of
recent trend and current plans. Meeting of the Forest Dialogue. Pekanbaru March 7-8,
2007. Center for International Forestry Research (CIFOR)
Barrow, C.J. 1991. Land degradation. Cambridge University Press. 295p.
Darwati. 2007. Keragaman Dan Kelimpahan Mesofauna Tanah Pada Beberapa Tipe
Penggunaan Lahan di Daerah Gunung Bawang. Thesis S2. Fakultas Kehutanan.
Program Pasca Sarjana. UGM. Yogyakarta
Effendi, S., G. Ismail dan G Wibawa, 1986. Pola usahatni konservasi pada lahan
keirng podsolik merah kuning. Makalah disampaikan pada lokakarya usahatni
konservasi di Lahan Alang-alang. Palembang 11 13 Pebruari 1986. 21p
FAO. 1977. FAO soil bulletin: assesing soil degradation. UN. Rome. 83p.
Handayani, I.P. 1999. Kuantitas dan variasi nitrogen-tersedia pada tanah setelah
penebangan hutan. J. Tanah Trop. 8:215-226
Hidayati, N. 2000. Degradasi lahan pasca penambangan emas dan upaya
reklamasinya: kasus penambangan emas Jampang-Sukabumi. PROSIDING Konggres
Nasional VII HITI: Pemanfaatan sumberdaya tanah sesuai dengan potensinya menuju

keseimbangan lingkungan hidup dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat.


Bandung 2 4 Nopember 1999. Buku I. Himpunan Tanah Indonesia. Hal: 283-294
Institut Pertanian Bogor. 1987. Monitoring and improving agriline use in trans II area.
Laporan Akhir Tim Studi Kapur (TSK IPB). Kerjasama PSP2DT Pusat dengan IPB.
Lal, R. 1986. Soil surface management in the tropics for intensive land use and high
and sustained production. Stewart, B.A.(editor). Advances in soil science volume 5.
Springer-Verlag New York Inc. p:1-110.
_____. 1995. Sustainable management of soil resources in the humid tropics. United
Nations University Press. Tokyo. 146p
Mackensen, J. 2000. Pengelolaan Unsur Hara pada Hutan Tanaman Industri (HTI) di
Indonesia. Petunjuk praktis ke arah pengeloaan unsur

Anda mungkin juga menyukai