Anda di halaman 1dari 3

Paradigma

Paradigma adalah cara pandang seseorang dalam melihat suatu gejala sosial,
menunjukkan bagaimana perlakuan peneliti terhadap ilmu/teori. Paradigma memberikan
petunjuk bagaimana penelitian akan dilaksanakan, bagaimana peneliti dalam memahami
suatu masalah dan bagaimana cara-cara yang digunakan dalam menginterpretasikan temuan.
Pemilihan paradigma penelitian akan mendasari dan memberi pedoman tentang seluruh
proses penelitian. Jika diibaratkan seperti kacamata yang sepaket dengan mata orang yang
bersangkutan. Jika kacamata ditukar, kalau plus, minus, atau silindernya berbeda, maka pasti
tidak sesuai dengan orang tersebut.

Paradigma Positivisme
Paradigma positivis merupakan paradigma yang paling awal muncul dalam dunia
ilmu pengetahuan. Paradigma ini muncul pada abad ke 19. Pencetusnya adalah orang
Perancis yaitu Henry Sain Simon. Lalu dilanjutkan oleh muridnya yaitu Auguste Comte.
Positif berarti benar (apa yang berdasarkan fakta/kenyataan). Paradigma positivisme adalah
paradigma dalam penelitian kuantitatif. Paradigma ini berakar dari paham ontologi realisme,
yang berarti realitas itu ada (exist) dalam kenyataan yang sesuai dengan hukum alam (natural
law) yaitu kausalitas atau sebab-akibat. Maka, penelitian bertujuan untuk mengungkapkan
kebenaran realitas sebagaimana realitas tersebut berjalan. Paradigma positivisme dalam
komunikasi merupakan sebuah proses linier atau proses sebab akibat yang mencerminkan
upaya pengirim pesan untuk mengubah pengetahuan penerima pesan yang pasif. Paradigma
positivis memandang proses komunikasi ditentukan oleh pengirim (souce oriented). Berhasil
atau tidaknya sebuah proses komunikasi bergantung pada upaya yang dilakukan oleh
pengirim dalam mengemas pesan. Teori yang termasuk dalam paradigma positivisme adalah
Teori Agenda Setting dan Teori Kultivasi.
Ciri ciri paradigma positivis :

Objek yang diteliti harus berupa fakta

Kajian harus mengarah pada kepastian dan kecermatan

Objektif dan bebas nilai, peneliti mengambil jarak dan tidak melakukan
interaksi dengan objek yang diteliti. Penelitian harus netral dari kepentingan
nilai yang ada.

Deduktif. Diawali dengan teori-teori. Lalu membuat hipotesis. Melalui sebuah


penelitian empiris, hipotesis-hipotesis itu diuji kebenarannya dengan
menggunakan data yang ada berdasarkan analisis statistik. Jika kebenarannya
teruji, maka hipotesis tersebut diakui sebagai fakta.

Fenomenalisme, berarti apa yang diamati merupakan fenomena belaka,


sementara sesuatu yang ada dibalik fenomena (metafisika) tidak dilibatkan.

Menolak bentuk interpretasi

Hasil penelitian dapat digeneralisasi. Bukti yang dihasilkan adalah bukti yang
didasarkan pada pengamatan yang tepat

Penelitian dilakukan dengan asumsi bahwa isu sosial sudah ada diluar sana,
hanya tinggal meneliti / mengkonfirmasi saja. Sehingga tidak ada usaha untuk
mengubah isu yang ada

Valid dan reabiliti

Contoh
Jika awan mendung, kemudian BMKG mengatakan bahwa hari ini akan turun hujan karena
suhu udara hari ini 23 dejarat celcius dengan kelembapan udara 57-70 persen dan kecepatan
angin sekitar 15km per jam. Orang positivis akan percaya bahwa hari ini pasti turun hujan.
Mengapa orang berpaham positivis percaya? Karena berita hujan tadi diperkuat oleh teori
suhu dan kelembapan udara yang sudah teruji bahwa dengan kadar suhu dan kelembapan
udara tersebut dapat menyebabkan terjadinya hujan
Kelebihan Positivisme

Positivisme lahir dari paham empirisme dan rasional, sehingga kadar dari paham ini

jauh lebih tinggi dari pada kedua paham tersebut.


Menghasilkan suatu pengetahuan yang mana manusia akan mampu menjelaskan

realitas kehidupan tidak secara spekulatif, melainkan konkrit, teratur serta valid.
Dengan kemajuan dan dengan semangat optimisme, orang akan didorong untuk
bertindak aktif dan kreatif, dalam artian tidak hanya terbatas menghimpun fakta,
tetapi juga meramalkan masa depannya.

Kelemahan Positivisme

Paham ini membuat manusia tidak percaya akan nilai nilai spiritual dan bahkan

kemanusiaan, melainkan lebih percaya pada teori yang telah teruji


Manusia tidak akan bisa memaknai keindahan, karena dalam positivistik menyangkal

hal-hal yang tifak nampak


Positivisme menitik beratkan pada sesuatu yang nampak yang dapat dijadikan obyek
kajiaannya, di mana hal tersebut adalah bergantung kepada panca indera. Padahal
perlu diketahui bahwa panca indera manusia itu terbatas dan tidak sempurna.
Sehingga kajiannya terbatas pada hal-hal yang nampak saja, padahal banyak hal yang
tidak nampak dapat dijadikan bahan kajian.

Anda mungkin juga menyukai