organik yang mungkin menjadi penyebab amenore primer, keduanya mempunyai IMT
normal meskipun pada kasus pertama nilai IMT berada pada tingkat normal rendah yang
masih mungkin berhubungan dengan defisiensi leptin. Pada pemeriksaan ditemukan
perkembangan seks sekunder yang terlambat baik adrenarche maupun telarche, ukuran
uterus lebih kecil tapi vagina normal. Pemeriksaan USG tidak menemukan kelainan
anatomi lain selain mengkonfirmasi adanya suatu hipolasia organ genitalia interna.
Semua kelainan ini merupakan akibat defisiensi estrogen yang dihasilkan oleh ovarium.
Pemeriksaan kariotip kedua pasien adalah 46XX, berarti defisiensi estrogen bukan
karena kelainan genetik. Pemeriksaan kadar hormon gonadotropin dan estrogen
menunjukkan nilai yang rendah pada kedua kasus dan selanjutnya dilakukan pemeriksaan
8
uji GnRH untuk menentukan apakah kelainannya berada pada tingkat hipothalamus atau
hipofisis.
Sekresi GnRH endogen tidak dapat dinilai pada manusia karena dekapeptida ini
dimetabolisme dengan cepat dalam waktu 2-4 menit di sirkulasi perifer. Untuk
menentukan apakah hipogonadotropin disebabkan karena defisiensi GnRH alami akibat
defek di hipothalamus atau karena defek langsung di hipofisis harus dilakukan uji
menggunakan GnRH agonis. Uji GnRH juga penting untuk menilai derajat maturasi
poros hipothalamus-hipofisis-gonad.7,9,10 Sampel darah pertama diambil lima belas menit
sebelum penyuntikan GnRH dan kadarnya dipakai sebagai nilai awal. Selanjutnya
dilakukan penyuntikan agonis GnRH 100 ug intravena, 30 dan 60 menit kemudian
diambil sampel darah, hal ini dianggap cukup untuk interpretasi klinik. Respon yang
normal adalah peningkatan LH mencapai sekurang-kurangnya 20mIU/ml setelah 30
menit dan FSH mencapai 5 mIU/ml setelah menit ke 60, dikatakan uji GnRH positif. Uji
GnRH positif berarti terjadi defisiensi releasing hormone yang dihasilkan oleh
hipotahalamus, sedangakan uji GnRH yang negatif berarti kelainan pada hipofisis. 10
Pada kasus pertama, setelah penyuntikan GnRH agonis, tidak terjadi peningkatan
kadar FSH dan LH baik pada menit ke 30 maupun menit ke 60, kadar FSH dan LH sama
seperti kadar basal dan disimpulkan hasilnya negatif. Kasus kedua, uji GnRH
memberikan hasil positif yaitu terjadi peningkatan FSH 7,7 kali dan LH sebanyak 14 kali
dibandingkan kadar basal.
Defisiensi GnRH terisolasi yang disertai anosmia (sindrom Kallmann) atau tanpa
defisit olfaktori disebut hipogonadotropin hipogonadisme terisolasi (isolated
hypogonadotrpin hypogonadism/IHH) karena tidak adanya GnRH atau karena kegagalan
9
hipofisis untuk mengenal GnRH.5 Sindrom Kallmann terjadi karena kegagalan neuron
GnRH bermigrasi dari bulbus olfaktori ke hipothalamus selama perkembangan embrio
sehingga keadaan hipogonadotropin hipogonadism terjadi bersamaan dengan anosmia
atau hiposmia. 4
Sindrom Kallmann maupun IHH menyebabkan gagalnya fungsi gametosis dan
produksi steroid seks. Kelainan ini pada wanita muncul dengan berbagai variasi genotip,
mulai dari gambaran enukhoid yang klasik sampai perkembangan payudara yang
moderat. Amenore primer adalah hal yang sering menyertai dan pada ovarium biasanya
hanya terdapat folikel primordial. 5,9 Kadar FSH dan LH sering berada di bawah dari
kadar normal yang dapat diukur. Sebagian besar pasien memberikan respon pelepasan
FSH dan LH terhadap stimulasi GnRH bisa berupa tidak terjadinya peningkatan FSH
dan LH, peningkatan FSH dan LH yang sesuai dan peningkatan salah satu komponen
saja, FSH atau LH. Ovarium juga akan memberikan respon terhadap stimulasi GnRH
atau gonadotropin eksogen bila fungsi hipofisis normal dan ovulasi serta kehamilan
mungkin terjadi.9
Berdasarkan penilaian secara keseluruhan bisa disimpulkan bahwa kasus pertama
adalah suatu IHH dimana kelainan terletak pada hipofisis yang tidak memberika n respon
terhadap GnRH (uji GnRH negatif). Adapun kasus kedua mungkin merupakan sindrom
Kallman dimana terjadi defisiensi GnRH alami yang dihasilkan hipothahamus, karena
dengan pemberian agonis GnRH terdapat respon berupa peningkatan FSH dan LH (uji
GnRH positif). Pada kasus ini mungkin terdapat hiposmia yang tak terdiagnosis saat
anamnesis. Amenore pada kasus pertama yang letak kelainannya di hipothalamus dan
10
kasus kedua yang letaknya di hipofisis, kedua keadaan ini menimbulkan
hipoestrogenemia..
Bila pasien menginginkan fertilitas maka induksi ovulasi dapat dilakukan dengan
hormon gonadotropin atau dengan pemberian GnRH pulsatil, sedangkan pada wanita
yang tidak ingin hamil maka kontrasepsi oral dapat diberikan untuk menimbulkan
mentruasi dan sebagai substitusi estrogen. 8,9
Ovulasi yang disertai kehamilan normal setelah terapi dengan GnRH pulsatil
diperkirakan lebih dari 90% setelah enam siklus sedangkan dengan gonadotropin angka
kehamilan kumulatif 72% setelah enam siklus. 5 Kesrouni dkk,11 melakukan penelitian
untuk menilai efektifitas protokol GnRH pulsatil dalam mengobati infertilitas pada 44
wanita dengan amenore hipothalamus primer menggunakan 5 ug bolus tiap 90 menit.
Angka ovulasi mencapai 95%. Folikel tunggal dihasilkan pada 91% siklus dengan angka
kehamilan rata-rata tiap kehamilan persiklus adalah 45%. Pada pasien-pasein pernah
mendapat gonadotropin eksogen diperoleh hasil yang lebih jelek. Mereka menyimpulkan
bahwa GnRH pulsatil adalah metoda yang efektif dan aman karena stimulasi ovulasi yang
normal.
Tujuan terapi substitusi estrogen adalah untuk menginduksi perkembangan ciri
seks sekunder. Pada sebagian besar individu yang menggunakan pil kontrasepsi
menunjukkan terjadinya perkembangan seks sekunder baik parsial maupun lengkap dan
pasien harus dimonitor selama interval 2 sampai 3 bulan. 5,10 Estrogen tunggal dapat
diberikan oral atau dengan transdermal. Bila perdarahan bercak terjadi atau setelah satu
tahun pemakaian estrogen, progesteron harus ditambahkan. Pil kontrasepsi dapat
diberikan, alternatif lain ada lah pemberian estrogen saja selama sebelas hari pertama dan
11
selanjutnya ditambahkan progesteron mulai hari ke 12 sampai 21 pada tiap bulan, setelah
itu sampai akhir bulan tidak diberikan terapi apapun. Setelah perkembangan seks
sekunder optimal, tetap diperlukan dosis minimal estrogen untuk mencegah perdarahan
bercak, mempertahankan siklus mentruasi yang teratur dan mempromosi deposit
kalsium.5
Pada kasus pertama, estrogen tunggal diberikan selama empat bulan dan
kemudian terjadi perdarahan bercak, payudara dirasakan membesar. Uterus membesar
mencapi ukuran normal disertai pertumbuhan endometrium. Selanjutnya pasien diberikan
kombinasi estrogen progesteron agar terjadi perdarahan siklik. Pada kasus kedua juga
diberikan terapi estrogen dengan progesteron selama dua bulan, kemudian diganti
dengan pil kontrasepsi sampai pasien akan menikah.
Hipoestrogenemia menimbulkan risiko jangka panjang berupa berkurangnya
densitas mineral tulang. Massa tulang bisa berkurang mencapai 2-5% pertahun pada tiga
tahun pertama sampai 5 tahun setelah terjadinya amenore. 9 Estrogen berperan penting
dalam mempromosi massa tulang pada remaja dan dewasa muda serta mempertahankan
massa tulang pada wanita dewasa. Densitas massa tulang pada pasien dengan amenore
hipothlamus secara sigifikan lebih rendah dibandingkan dengan kontrol yang normal dan
hal ini tidak berhubungan dengan usia dan lamanya amenore. Adapun penanda perubahan
(turn over) tulang lebih meningkat pada populasi ini sehingga risiko terjadinya
osteoporosis dan fraktur meningkat.12,13
Sudah lama diketahui bahwa keadaan hipoestrogenemia berhubungan dengan
penyakit kardiovaskular. Keadaan ini lebih sering terjadi pada wanita usia lanjut yang
mengalami menopouse alami. Pada kasus dimana terjadi terhentinya fungsi ovarium
12
yang dini (sebelum usia rata-rata menopouse), risiko ini jelas akan lebih meningkat.
Estrogen sangat berperan dalam metabolisme kolesterol dan keseimbangan sistem
koagulasi tubuh, oleh karena itu substitusi estrogen pada kasus hipoestrogenemia penting
untuk mengurangi risiko penyakit kardiovaskular.4
Daftar Kepustakaan
1. Schalff W. Evaluation of patients with primary amenorrhea. Post Grad Obstet
Gynecol 2006; 26: 1-8.
2. Fertility assessment and treatment for people with fertility problem. Investigation
of fertility problems and management strategies. National collaborating centre for
womens and childrens health clinical guidelines. February 2004.
3. Nelson LM. Amenorrhea. E medicine. Last update : May 17 2005.
4. Amenorrea. In : Speroff L, Fritz MA, editors. Clinical Gynecologic
Endocrinology and Infertility, 7th ed. Philadephia: Lippincott Williams & Wilkins
; 2005: 401-64.
5. Amenorrhea .National Institutes of Health.
http://www.tjclarkinc.com/d_amenorrhea.htm .
6. Berga SL, Yen SSC. Reproductive failure due to central nervous systemhypothalamicpituitary dysfunction. In : Yen and Jaffes Reproductive
Endocrinology. 5th ed. Philade lphia: Elsevier Saunders; 2004: 537-95.
7. Perkins R, Hall JE, Martin KA. Neuroendocrin abnormalities in hypothalamic
amenorrhea: spectrum, stability and respons to neurotransmitter modalities. J
Clin Endoc Met 1999; 84 (6): 1905-11.
13
8. Ahima RS. Body fat, Leptin and hypothalamic amenorrhea. NEng J Med 2004;
351 (10): 959-62.
9. Liu JH. Central causes of amenorrhea 2003.Endotext.com
10. Carmina E, Lobo R. Evaluate of hormonal status. In : Yen and Jaffes
Reproductive Endocrinology. 5th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2004: 93964.
11. Kesrounari A, et al. Gonadotropin-releasing hormonal for infertility in women
with primary hypothalamic amenorrhea. Toward more-interventional approach. J
Reprod Med 2001; 46 (1): 23-8.
12. Greenspoon SK, Freedman AJ, Muller K, Olson WH, Warren MP. Effect of
riphasic combination oral contraceptive containing norgestimate? Ethynil
estradiol on biochemical markers of bone metabolism in young women with
osteopenia secondary to hypothalamic amenorrhea. J Clin Endoc & Met 2003;
88(8): 3651-56.
13. Hergenroeder AC, et al. Bone mineral changes in young women with
hypothalamic amenorrhea trated with oral contaceptives, medroxyprogesterone,
or placebo over 12 months. Am J Obstet Gynecol 1997; 176: 1017-25