Anda di halaman 1dari 4

BAB I

PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Kekeringan merupakan suatu bencana alam yang terjadi secara perlahan dan

berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Dampak dari bencana kekeringan sangat
luas dimana merugikan berbagai sektor, baik sektor pertanian, sosial, kesehatan,
industri, dan lain-lain. Bencana kekeringan adalah dampak dari perubahan iklim global,
El Nino dan La Nina. El Nino sebagai penyimpangan iklim yang mengakibatkan
kemarau panjang, sedangkan La Lina yang menyebabkan musim penghujan panjang.
Kekeringan merupakan problem manajemen sumber daya air yang kompleks,
membutuhkan tindakan individual atau kolektif terpadu untuk mengamankan suplai air.
Kekeringan juga merupakan fenomena hidrologi yang paling kompleks, dimana
berkaitan dengan iklim, tata guna lahan, norma pemakaian air, serta manajemen seperti
persiapan antisipasi, dan sebagainya.
Wilayah yang memiliki curah hujan rendah dan sumber air terbatas, dapat
dikatakan sebagai wilayah yang memiliki peluang terjadinya bencana kekeringan.
Berdasarkan penyebabnya, bencana kekeringan termasuk kedalam kategori bencana
yang disebabkan oleh alam. Karakteristik bencana kekeringan cukup berbeda dari
bencana yang lain, karena terjadi secara perlahan sehingga sangat mudah diabaikan.
Tidak bisa diketahui secara pasti awal dan kapan bencana ini berakhir, namun semua
baru sadar setelah berada di periode tengahnya. Masyarakat awam umumnya baru
menyadari ketika air di dalam sumurnya habis, ketika PDAM macet, ketika penyedotan
dengan pompa hanya mengeluarkan udara, dan ketika banyak mata air yang mati
(Kodotie, 2010).
Dampak lain yang akan terasa ketika lahan-lahan produktif seperti pertanian
tiba-tiba mengalami gagal panen maupun penurunan kualitas. Akibat yang lebih ekstrim
lagi adalah rusaknya sistem tanah yang berujung tidak termanfaatkannya guna lahan
yang optimal, kelaparan, dan rusaknya sistem sektor pertanian. Tercatat selama kurun
waktu 1811-2011 jumlah kejadian bencana kekeringan menempati urutan ketiga
terbesar setelah banjir dan kebakaran (Data Informasi Bencana Indonesia, DIBI-BNPB,
2011).
Salah satu fenomena bencana kekeringan yang terjadi di Indonesia dapat dilihat
pada Provinsi Jawa Timur, dimana separuh lebih wilayah di Jawa Timur terkena
dampak bencana kekeringan selama musim kemarau 2012. Sudah tercatat sebanyak 23
1

2
dari 38 kabupaten/kota di Jawa Timur menyatakan daerahnya mengalami bencana
kekeringan. Jumlah ini meliputi 60% dari jumlah daerah administratif di Provinsi Jawa
Timur. Bencana kekeringan tersebar di 221 kecamatan dan 852 desa. Kawasan yang
paling parah dilanda bencana kekeringan diantaranya Kabupaten Lamongan,
Trenggalek, Pacitan, Bojonegoro, dan Ponorogo. Daerah tersebut berada di lembah
Sungai Brantas dan Bengawan Solo yang debitnya menurun drastis sejak dua bulan
terakhir (BPBD, 2012).

Gambar 1.1. Peta indeks risiko bencana kekeringan


Sumber: BNPB (2010)

Oleh karena itu untuk mengatasi masalah-masalah bencana kekeringan agar


tidak semakin parah, maka perlu dilakukan analisa terhadap indeks kekeringan yang
terjadi, agar dapat menjadi alat peringatan (warning system) sebagai dasar rujukan bagi
upaya mitigasi dan adaptasi.

1.2.

Identifikasi Masalah
Berdasarkan data dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)

Kabupaten Ponorogo, kekeringan terjadi di 15 desa, yang berada di 7 kecamatan


meliputi Kecamatan Slahung, Balong, Badegan, Sawo, Mlarak, Jambon, dan Jenangan.
Curah hujan yang rendah mengakibatkan area persawahan kering dan muka air sumur
warga mengalami penurunan. Untuk mendapatkan air bersih warga harus berjalan
hingga 1 kilometer ke satu-satunya sumber air yang masih ada. Wilayah kekeringan ini
terletak pada Sub-sub DAS Keyang yang memiliki luas area 315 km2 dengan lahan
kritis 121,66 km2 (BPDAS Solo, 2004).

3
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka diperlukan studi yang dapat
menggambarkan karakteristik kekeringan pada daerah studi, sehingga dapat dijadikan
sebagai peringatan awal akan adanya kekeringan yang lebih jauh. Salah satu metode
yang digunakan dalam analisis kekeringan adalah Thornthwaite Mather (1957).
Kelebihan dari metode ini adalah memasukkan berbagai faktor dalam pengerjaannya
yaitu faktor curah hujan, lengas tanah, dan suhu, berbeda dengan metode lain yang
hanya memasukkan faktor curah hujan saja. Metode ini menggunakan prinsip neraca air
dan menekankan faktor evapotranspirasi sebagai faktor iklim selain hujan serta
memasukkan parameter lengas tanah. Nilai kekurangan air (defisit) yang dihasilkan
digunakan untuk menghitung indeks kekeringan wilayah, yang kemudian disebut peta
sebaran indeks kekeringan.
1.3.

Batasan Penelitian
Dari latar belakang dan identifikasi masalah di atas maka batasan masalah dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut:


1.

Lokasi studi adalah Sub-sub DAS Keyang Kabupaten Ponorogo.

2.

Batas areal penelitian adalah batas Daerah Aliran Sungai (DAS).

3.

Parameter yang digunakan dalam analisa ini adalah data klimatologi berupa data
hujan dan suhu tahun 1995-2013 (19 tahun).

4.

Analisa data suhu menggunakan pendekatan dari data suhu Stasiun Lanud
Iswahyudi.

5.

Penelitian ini dilakukan berdasarkan analisa kekeringan menggunakan Metode


Indeks Kekeringan Thornthwaite Mather.

6.

Dalam pembuatan peta sebaran kekeringan menggunakan fasilitas Kriging pada


software ArcGIS 10.

7.

Tidak membahas analisa lingkungan, analisa ekonomi, dan sosial budaya


masyarakat sebagai dampak dari kekeringan.

1.4.

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang dibahas di atas maka

diperoleh rumusan masalah sebagai berikut:


1.

Berapakah besar indeks kekeringan yang terjadi di Sub-sub DAS Keyang


Kabupaten Ponorogo dengan Metode Indeks Kekeringan Thornthwaite Mather?

2.

Bagaimana sebaran kekeringan pada Sub-sub DAS Keyang Kabupaten Ponorogo


dengan Metode Interpolasi Kriging pada software ArcGIS 10?

4
3.

Bagaimana

perbandingan

antara

hasil

perhitungan

kekeringan

Metode

Thornthwaite Mather dengan hujan dan debit yang terjadi pada Sub-sub DAS
Keyang Kabupaten Ponorogo?

1.5.

Tujuan dan Manfaat Penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besar indeks kekeringan dan sebaran

kekeringan, serta perbandingan antara hasil perhitungan kekeringan Metode


Thornthwaite Mather dengan hujan dan debit yang terjadi di Sub-sub DAS Keyang.
Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah sebagai sumber informasi dan
antisipasi terhadap bencana kekeringan di Sub-sub DAS Keyang Kabupaten Ponorogo,
sehingga dapat mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan oleh bencana kekeringan,
serta dari penelitian ini dapat menambah wawasan mengenai perhitungan kekeringan,
khususnya dengan menggunakan Metode Thornthwaite Mather.

Anda mungkin juga menyukai