Anda di halaman 1dari 20

MANAJEMEN AGROEKOSISTEM

Pengelolaan lahan kering komoditas Kedelai

Kelompok 1:
1) Siti Kholifah

(145040200111114)

2) Brama Setya Kusuma

(145040200111141)

3) Fikri Hadi Rusdianto

(145040200111153)

4) Fathur Firmansyah

(145040200111167)

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG

BAB I
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Kedelai merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh tegak.

Kedelai jenis liar Glycine ururiencis merupakan kedelai yang menurunkan


berbagai kedelai yang kita kenal sekarang (Glycine max (L) Merril). Berasal dari
daerah Manshukuo (Cina Utara). Di Indonesia, yang dibudidayakan mulai abad
ke-17 sebagai tanaman makanan dan pupuk hijau. Tanaman kedelai sebagian
besar tumbuh di daerah yang beriklim tropis dan subtropis. Sebagai barometer
iklim yang cocok bagi kedelai adalah bila cocok bagi tanaman jagung. Bahkan
daya tahan kedelai lebih baik daripada jagung. Iklim kering lebih disukai tanaman
kedelai dibandingkan iklim lembab. Pada dasarnya kedelai menghendaki kondisi
tanah yang tidak terlalu basah, tetapi air tetap tersedia . Oleh karena itu tanaman
kedelai lebih baik ditanam pada lahan kering.
Lahan atau tanah merupakan sumberdaya alam fisik yang mempunyai
peranan penting dalam segala kehidupan manusia, karena lahan atau tanah
diperlukan manusia untuk tempat tinggal dan hidup, melakukan kegiatan
pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan, pertambangan dan sebagainya.
Karena pentingnya peranan lahan atau tanah dalam kehidupan manusia, maka
ketersediaannya juga jadi terbatas. Keadaan ini menyebabkan penggunaan tanah
yang tumpang tindih, misalnya tanah sawah yang digunakan untuk perkebunan
tebu, kolam ikan, atau penggembalaan ternak atau tanah hutan yang digunakan
untuk perladangan atau pertanian lahan kering. Kesuburan tanah sangat penting
bagi pertumbuhan tanaman karena asupan nutrisi bagi tanaman disediakan oleh
tanah, salah satu penentu kesuburan tanah ini adalah jenis lahannya. Perbedaan
jenis lahan akan turut serta menentukan jumlah nutrisi yang ada di dalamnya.
Salah satu jenis lahan ini adalah lahan kering.

Salah satu peluang yang cukup besar tetapi sering terabaikan adalah
pemanfaatan lahan kering yang tersedia cukup luas dan secara teknis sesuai untuk
pertanian. Lahan potensial tersebut akan mampu menghasilkan bahan pangan
yang cukup bila dikelola dengan menggunakan teknologi yang efektif dan strategi
pengembangan yang tepat. Teknologi pengelolaan lahan kering telah tersedia,
meliputi konservasi, peningkatan kesuburan kimiawi, fisik dan biologi,
pengelolaan bahan organik, dan irigasi suplemen.
1.2

Tujuan
1.2.1 Mengetahui teknik pengelolaan tanah yang cocok untuk lahan
kering
1.2.2 Mengetahui teknik pengelolaan tanah yang cocok untuk tanaman
kedelai

1.3

Manfaat
Mahasiswa bisa mengetahui teknik pengelolaan yang cocok untuk
tanaman jagung pada lahan kering

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Lahan Kering
Istilah lahan kering digunakan oleh Kelompok Penelitian Agroekosistem
(KEPAS, 1986) sebagai padanan dry land. Uraiannya menyiratkan pengusahaan
lahan secara tadah hujan. Untuk menghilangkan kerancuan penggunaan istilah
lahan kering dan pertanian lahan kering, perlu dibedakan pengertian yang
didasarkan:
1. Keadaan iklim yang kering dalam arti istilah Inggris arid land menurut salah
satu takrifnya: (a) daerah dengan curah hujan tahunan kurang daripada 250 mm,
(b) daerah yang jumlah hujannya tidak mencukupi untuk menghidupi vegetasi
sedikitpun, (c) daerah yang jumlah hujannya tidak mencukupi untuk memapankan
pertanian tanpa irigasi, atau (d) daerah dengan jumlah evaporasi potensial
melebihi jumlah curahan (precipitation) aktual (Monkhouse & Small, 1978).
2.
Keadaan lahan yang berkaitan dengan pengatusan alamiah lancar (bukan
rawa, dataran banjir, lahan dengan air tanah dangkal, dan lahan basa alamiah lain).
3. Lahan pertanaman yang diusahakan tanpa penggenangan.
Untuk kondisi yang pertama dapat digunakan istilah daerah kering atau
kawasan iklim kering. Sementara pada kondisi yang kedua dapat dipilih istilah
lahan atasan (upland). Kondisi yang ketiga dapat diterapkan istilah lahan
kering. Jadi, pertanian lahan kering ialah pertanian yang diusahakan tanpa
penggenangan lahan garapan. Maka padi sawah dan perikanan kolam (air tawar
dan tambak) tidak termasuk, akan tetapi padi gogo, palawija, perumputan pakan,
perkebunan dan pekarangan termasuk pertanian lahan kering. Ini berarti bahwa
irigasi tetap dapat diberikan, asal tidak dimaksudkan untuk menggenangi lahan.
B. Tanah Mineral Masam dan Penyebarannya
Tanah mineral masam banyak dijumpai di wilayah beriklim tropika basah,
termasuk Indonesia. Luas areal tanah bereaksi asam seperti podsolik, ultisol,
oxisols dan spodosol sekitar 67% dari luas total tanah di Indonesia (Nursyamsi et
al, 1996). Keasaman tanah ditentukan oleh kadar atau kepekatan ion hidrogen di
dalarn tanah tersebut. Bila kepekatan ion hidrogen di dalam tanah terlalu tinggi
maka tanah akan bereaksi asam. Sebaliknya, bila kepekatan ion hidrogen terlalu

rendah maka tanah akan bereaksi basa. Tanah masam adalah tanah dengan pH
rendah karena kandungan H+ yang tinggi. Pada tanah masam lahan kering banyak
ditemukan ion Al3+ yang bersifat masam karena dengan air ion tersebut dapat
menghasilkan H+. Dalarn keadaan tertentu, yaitu apabila tercapai kejenuhan ion
Al3+ tertentu, terdapat juga ion Al-hidroksida ,dengan demikian dapat
menimbulkan variasi kemasaman tanah (Yulianti, 2007).
Terdapat dua jenis reaksi tanah atau kemasaman tanah, yakni kemasaman
(reaksi tanah) aktif dan potensial. Reaksi tanah aktif ialah yang diukurnya
konsentrasi hidrogen yang terdapat bebas dalam larutan tanah. Reaksi tanah inilah
yang diukur pada pemakaiannya sehari-hari. Reaksi tanah potensial ialah
banyaknya kadar hidrogen dapat tukar baik yang terjerap oleh kompleks koloid
tanah maupun yang terdapat dalam larutan (Hanafiah, 2007).
C. Tinjauan Umum Kesuburan Tanah
Sebagai sumberdaya alam untuk budidaya tanaman, tanah mempunyai dua
fungsi, yaitu : (1) sebagai sumber penyedia unsur hara dan air, dan (2) tempat akar
berjangkar. Salah satu atau kedua fungsi ini dapat menurun, bahkan hilang.
Hilangnya fungsi inilah yang menyebabkan produktivitas tanah menurun menjadi
Tanah Marginal. Dengan demikian, Tanah Marginal untuk budidaya tanaman
merupakan tanah yang mempunyai sifat-sifat fisika, kimia, dan biologi yang tidak
optimal untuk kebutuhan pertumbuhan tanaman.
Tanah Marginal dapat terbentuk secara alami dan antropogenik (ulah
manusia). Secara alami (pengaruh lingkungan) yang disebabkan proses
pembentukan tanah terhambat atau tanah yang terbentuk tidak sesuai untuk
pertumbuhan tanaman. Misalnya, bahan induk yang keras dan asam, kekurangan
air, suhu yang dingin/membeku, tergenang dan akumulasi bahan gambut, fraksi
tanah yang dihasilkan didominasi oleh pasir, pengaruh salinisasi/penggaraman.
Tanah Marginal yang dimaksudkan adalah tanah yang terbentuk secara alami,
bukan tanah yang menjadi marginal karena antropogenik. Dari 12 ordo tanah di
dunia (Alfisols, Andisols, Aridisols, Entisols, Gelisols, Histosols, Inceptisols,
Mollisols, Oxisols, Spodosols, Ultisol, dan Vertisols) yang tergolong Tanah
Marginal antara lain adalah : Aridisols, Entisols, Gelisols, Histosols, Inceptisols,
dan

Ultisols.

Secara

antropogenik

adalah

karena

ulah

manusia

yang

memanfaatkan sumberdaya alam yang tidak terkendali, sehingga terjadi kerusakan

ekosistem. Misalnya, deforestasi dan degradasi hutan, eksploitasi deposit bahan


tambang, terungkapnya unsur atau senyawa beracun bagi tanaman, pengeringan
ekstrem pada tanah gambut, serta kebakaran. Deforestasi dan degradasi hutan
menyebabkan terjadinya erosi yang dipercepat dan punahnya organisme yang
berperan dalam pembentukan tanah . Aliran permukaan yang berasal dari curah
hujan akan mengikis lapisan permukaan yang merupakan bagian tersubur dari
tanah. Fraksi tanah yang dahulu diangkut adalah yang halus dan ringan yaitu liat
dan humus. Kedua fraksi ini sangat berperan dalam menentukan kesuburan tanah,
karena merupakan kompleks petukaran ion dan penahan unsur hara. Dalam
sedimen yang terangkut pada peristiwa erosi terdapat juga berbagai unsur hara dan
bahan organik. Oleh karena itu, tanah yang mengalami erosi akan menurun
produktivitasnya menjadi tanah marginal yang kalau erosi selanjutnya tidak
dikendalikan, tanah tersebut akan menjadi lahan kritis.
Kesuburan tanah adalah kemampuan atau

kualitas

suatu

tanah

menyediakan unsur hara tanaman dalam jumlah yang mencukupi kebutuhan


tanaman, dalam bentuk senyawa-senyawa yang dapat dimanfaatkan tanaman dan
dalam perimbangan yang sesuai untuk pertumbuhan tanaman tertentu dengan
didukung oleh faktor pertumbuhan lainnya (Yuwono dan Rosmarkam, 2008).

BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Permasalahan Lahan Kering
Tidak semua lahan kering sesuai untuk pertanian, terutama karena adanya
faktor pembatas tanah seperti lereng yang sangat curam atau solum tanah dangkal
dan berbatu, atau termasuk kawasan hutan. Dari total luas 148 juta ha, lahan
kering yang sesuai untuk budi daya pertanian hanya sekitar 76,22 juta ha (52%),
sebagian besar terdapat di dataran rendah (70,71 juta ha atau 93%) dan sisanya di
dataran tinggi. Di wilayah dataran rendah, lahan datar bergelombang (lereng <
15%) yang sesuai untuk pertanian tanaman pangan mencakup 23,26 juta ha.
Lahan dengan lereng 1530% lebih sesuai untuk tanaman tahunan (47,45 juta ha).
Di dataran tinggi, lahan yang sesuai untuk tanaman pangan hanya sekitar 2,07 juta
ha, dan untuk tanaman tahunan 3,44 juta ha (Tabel 1).

a. Kesuburan tanah

Pada umumnya lahan kering memiliki tingkat kesuburan tanah yang


rendah, terutama pada tanah-tanah yang tererosi, sehingga lapisan olah tanah
menjadi tipis dan kadar bahan organik rendah. Di samping itu, secara alami kadar
bahan organik tanah di daerah tropis cepat menurun, mencapai 3060% dalam
waktu 10 tahun (Brown dan Lugo 1990 dalam Suriadikarta et al. 2002). Meskipun
kontribusi unsur hara dari bahan organic tanah relatif rendah, peranannya cukup
penting karena selain unsur NPK, bahan organik juga merupakan sumber unsur
esensial lain seperti C, Zn, Cu, Mo, Ca, Mg, dan Si (Suriadikarta et al. 2002). Hal
lain yang perlu diperhatikan adalah adanya tanah masam, yang dicirikan oleh pH

rendah (< 5,50), kadar Al tinggi, fiksasi P tinggi, kandungan basa-basa dapat tukar
dan KTK rendah, kandungan besi dan mangan mendekati batas meracuni
tanaman, peka erosi, dan miskin unsur biotik (Adiningsih dan Sudjadi 1993;
Soepardi 2001).
b. Topografi
Di Indonesia, lahan kering sebagian besar terdapat di wilayah bergunung
(> 30%) dan berbukit (1530%), dengan luas masing-masing 51,30 juta ha dan
36,90 juta ha (Hidayat dan Mulyani 2002). Lahan kering berlereng curam sangat
peka terhadap erosi.
c. Ketersediaan air pertanian
Keterbatasan air pada lahan kering mengakibatkan usaha tani tidak dapat
dilakukan sepanjang tahun, Penyebabnya antara lain adalah distribusi dan pola
hujan yang fluktuatif.
d. Kepemilikan lahan
Tantangan yang lebih berat dan sukar diatasi adalah permasalahan sosial
ekonomi, antara lain pemilikan lahan oleh petani cenderung menyempit. jumlah
rumah tangga petani (RTP) meningkat secara signifikan dari 22,40 juta menjadi
27,40 juta dalam 10 tahun terakhir. Luas penguasaan lahan rata-rata nasional
menurun dari 0,86 ha menjadi 0,73 ha per RTP. Bila luas lahan pertanian tidak
bertambah secara signifikan seiring dengan laju pertambahan penduduk maka
jumlah petani akan makin bertambah dan peluang perambahan hutan meningkat.
Penggunaan dan Ketersediaan Lahan Menurut Badan Pusat Statistik (2005), lahan
pertanian Indonesia meliputi 70,20 juta ha, sekitar 61,53 juta ha di antaranya
berupa lahan kering (Tabel 2) dengan produktivitas relatif rendah, jauh di bawah
potensi hasil.

3.2 Teknologi Pengelolaan Lahan Kering


Dari segi luas, potensi lahan kering di Indonesia tergolong tinggi, namun
terdapat permasalahan biofisik dan social ekonomi yang harus diatasi untuk
meningkatkan produktivitasnya secara berkelanjutan. Beberapa tindakan untuk
menanggulangi faktor pembatas biofisik lahan meliputi pengelolaan kesuburan
tanah, konservasi dan rehabilitasi tanah, serta pengelolaan sumber daya air secara
efisien.
a. Pengelolaan Kesuburan Tanah
Pengelolaan kesuburan tanah tidak terbatas pada peningkatan kesuburan
kimiawi, tetapi juga kesuburan fisik dan biologi tanah. Hal ini berarti bahwa
pengelolaan kesuburan tanah tidak cukup dilakukan hanya dengan memberikan
pupuk saja, tetapi juga perlu disertai dengan pemeliharaan sifat fisik tanah
sehingga tersedia lingkungan yang baik untuk pertumbuhan tanaman, kehidupan
organisme tanah, dan untuk mendukung berbagai proses penting di dalam tanah.
Salah satu teknologi pengelolaan kesuburan tanah yang penting adalah
pemupukan berimbang, yang mampu memantapkan produktivitas tanah pada level
yang tinggi. Hasil penelitian Santoso et al. (1995) menunjukkan pentingnya
pemupukan berimbang dan pemantauan status hara tanah secara berkala.
Penggunaan pupuk anorganik yang tidak tepat, misalnya takaran tidak seimbang,
serta waktu pemberian dan penempatan pupuk yang salah, dapat mengakibatkan
kehilangan unsur hara sehingga respons tanaman menurun (Santoso dan Sofyan
2005). Hara yang tidak termanfaatkan tanaman juga dapat berubah menjadi bahan
pencemar. Praktek pemakaian pupuk oleh petani pada lahan-lahan mineral masam,
meskipun pada saat ini masih dilakukan dengan takaran rendah, dalam jangka
panjang dapat menimbulkan ketidakseimbangan kandungan hara tanah sehingga
menurunkan produktivitas tanaman.
b. Konservasi Tanah dan Rehabilitasi Lahan
Erosi merupakan salah satu penyebab menurunnya produktivitas lahan
kering, terutama yang dimanfaatkan untuk usaha tani tanaman semusim seperti
tanaman pangan (Abdurachman dan Sutono 2005; Kurnia et al. 2005). Hasil
penelitian menunjukkan budi daya tanaman pangan semusim tanpa disertai
konservasi tanah menyebabkan erosi berkisar antara 46351 t/ha/tahun (Sukmana

1994; 1995). Teras bangku merupakan teknik konservasi yang banyak diterapkan
di Jawa dan Bali. Teknik ini telah dikembangkansecara luas sejak tahun 1975
melalui inpres penghijauan (Siswomartono et al. 1990). Teras bangku cukup
disukai petani dan juga efektif mencegah erosi dan aliran permukaan
(Abdurachman dan Sutono 2005).
Beberapa teknik konservasi lain dapat dijadikan alternatif, seperti teras
gulud untuk tanah yang dangkal (< 40 cm), rorak atau teknik konservasi
vegetative seperti alley cropping dan strip rumput. Selain murah, teknik
konservasi vegetative memiliki keunggulan lain, yaitu dapat berfungsi sebagai
sumber pakan dan pupuk hijau atau bahan mulsa, bergantung pada jenis tanaman
yang digunakan. Dalam prakteknya, penerapan teknik konservasi mekanik sering
dikombinasikan dengan teknik vegetatif, karena efektif dalam mengendalikan
erosi (Dariah et al. 2004; Santoso et al. 2004) dan lebih cepat diadopsi petani.
Pengaturan pola tanam dengan mengusahakan permukaan lahan selalu
tertutup oleh vegetasi dan/atau sisa-sisa tanaman atau serasah, juga berperan
penting dalam konservasi tanah. Pengaturan proporsi tanaman semusim dan
tahunan pada lahan kering juga penting; makin curam lereng sebaiknya makin
tinggi proporsi tanaman tahunan. Pengaturan jalur penanaman atau bedengan yang
searah kontur juga berkontribusi dalam mencegah erosi. Pengolahan tanah secara
intensif merupakan penyebab penurunan produktivitas lahan kering. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pengolahan tanah yang berlebihan dapat merusak
struktur tanah (Larson dan Osborne 1982; Suwardjo et al. 1989) dan
menyebabkan kekahatan bahan organik tanah (Rachman et al. 2004). Olah tanah
konservasi

(OTK)

merupakan

alternatif

penyiapan

lahan

yang

dapat

mempertahankan produktivitas lahan tetap tinggi (Brown et al. 1991; Wagger dan
Denton 1991). OTK dicirikan oleh berkurangnya pembongkaran atau pembalikan
tanah, mengintensifkan penggunaan sisa tanaman atau bahan lainnya sebagai
mulsa, kadang-kadang (namun tidak dianjurkan) disertai penggunaan herbisida
untuk menekan pertumbuhan gulma atau tanaman pengganggu lainnya.
Rehabilitasi lahan-lahan terdegradasi dapat mendukung optimalisasi lahan
kering, antara lain dengan menanam legume penutup tanah atau tanaman
penghasilbahan organik lainnya, khususnya yang bersifat in situ seperti alley

cropping dan strip cropping. Penggunaan bahan pembenah tanah baik organik
maupun mineral juga dapat merehabilitasi lahan terdegradasi.
c. Pengelolaan Air Pertanian
Kelangkaan air sering kali menjadi pembatas utama dalam pengelolaan
lahan kering. Oleh karena itu, inovasi teknologi pengelolaan air dan iklim sangat
diperlukan, meliputi teknik panen hujan (water harvesting), irigasi suplemen,
prediksi iklim, serta penentuan masa tanam dan pola tanam. Pemanenan air dapat
dilakukan dengan menampung air hujan atau aliran permukaan pada tempat
penampungan sementara atau permanen, untuk digunakan mengairi tanaman
(Subagyono et al. 2004). Oleh karena itu, pemanenan air selain berfungsi
menyediakan air irigasi pada musim kemarau, juga dapat mengurangi risiko banjir
pada musim hujan. Teknologi ini bermanfaat untuk lahan yang tidak mempunyai
jaringan irigasi atau sumber air bawah permukaan (ground water). Di daerah arid
dan semi arid banyak dipraktekkan teknik modifikasi mikrorelief seperti
pematang setengah lingkar (half moon dykes), rorak, sistem gulud menurut
kontur, gulud berblok, dan lain-lain. Embung, kedung, dan dam parit juga
merupakan teknik panen air yang telah berkembang di beberapa daerah di
Indonesia. Namun, Agus et al. (2005) menyatakan perlu analisis ekonomi yang
komprehensif tentang manfaat dan keuntungan pembuatan bangunan pemanen air
seperti embung. yang digunakan dalam pemberian dan pendistribusian air pada
lahan kering, yang mencakup dua aspek penting, yaitu besarnya air yang diberikan
dan interval pemberiannya (Agus et al. 2005). Jumlah air yang diberikan
ditetapkan berdasarkan kebutuhan tanaman, kemampuan tanah memegang air,
serta sarana irigasi yang tersedia.
Berdasarkan sarana irigasi yang digunakan, sistem irigasi suplemen terdiri
atas: 1) irigasi permukaan, 2) irigasi bawah permukaan, 3) irigasi sprinkle, 4)
irigasi tetes, dan 5) kombinasi dari dua atau lebih sistem (irigasi hybrid).
Tersedianya sarana irigasi memungkinkan pemberian air dapat dilakukan lebih
teliti. Untuk irigasi tetes atau sprinkle, pemberian air dapat dikombinasikan
dengan pemupukan. Untuk meningkatkan efisiensi penggunaan air, konsep
management allowable depletion atau maximum allowable depletion (MAD)
dapat digunakan dalam merancang penjadwalan irigasi suplemen bagi suatu jenis
tanaman. MAD dapat didefinisikan sebagai derajat kekeringan tanah yang masih

diperbolehkan untuk menghasilkan produksi yang optimum. Subagyono (1996)


dan Sutono et al. (2006) melaporkan bahwa untuk tanaman jagung, efisiensi
penggunaan air irigasi tertinggi dicapai pada level MAD 75% pada tanah lempung
berpasir dari Zeebrugge, Belgia dan untuk tanaman cabai pada tanah Typic
Kanhapludults di Lampung dicapai pada level MAD 60% air tersedia.
3.3 Strategi Pengelolaan Lahan Kering
a. Identifikasi Lahan yang Sesuai
Cara yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi lahan yang sesuai
untuk pertanian, terutama lahan alang-alang dan semak belukar adalah dengan
menggunakan peta penggunaan lahan skala 1:250.000 yang ditumpangtepatkan
dengan peta arahan tata ruang pertanian. Dengan cara ini, diperoleh data tentang
lahan kering cadangan seluas 22,39 juta ha, yang terdiri atas 7,08 juta ha sesuai
untuk tanaman pangan semusim dan 15,31 juta ha untuk tanaman tahunan. Untuk
memperoleh data yang lebih tepat, harus digunakan peta tanah atau peta
kesesuaian dan peta penggunaan lahan dengan skala yang lebih besar, misalnya
1:50.000 atau lebih baik lagi skala 1:25.000. Selain itu, data biofisik lahan perlu
ditunjang dengan informasi social ekonomi, terutama status kepemilikan lahan,
sehingga pengembangan pertanian tidak terbentur pada permasalahan nonteknis,
yang dapat menggagalkan pendayagunaan lahan kering yang telah direncanakan.
b. Seleksi Teknologi Tepat Guna
Teknologi pengelolaan lahan kering untuk pertanian tanaman pangan telah
tersedia, baik teknologi konservasi tanah, peningkatan kesuburan tanah,
pengelolaan bahan organik tanah, dan pengelolaan air. Dari sekumpulan teknologi
tersebut, perlu diseleksi teknologi yang tepat guna, sesuai dengan kondisi lahan
(tanah, air, dan iklim) dan petani. Oleh karena itu, perlu diketahui terlebih dulu
karakteristik lahan dan kondisi petani agar teknologi yang terpilih betul-betul
efektif dan dapat diadopsi petani. Karakteristik lahan dapat diketahui melalui
pemetaan skala detail (1:50.000 atau 1:25.000), atau lebih detail, skala 1:10.000
atau 1:5.000. Dengan menggunakan peta dengan skala sangat detail, pemilihan
komoditas dan teknologi dapat dilakukan dengan lebih tepat. Aspek sosialekonomi petani dapat diketahui dengan melaksanakan survei lapangan, misalnya
dengan menggunakan metode Participatory Rural Appraisal (PRA).
c. Diseminasi Teknologi

Diseminasi dan adopsi teknologi pada umumnya berjalan lambat,


termasuk teknologi pengelolaan lahan (tanah, air, dan iklim). Teknologi tersebut
disebarkan melalui seminar, simposium, jurnal, serta media cetak dan elektronik.
Namun akses penyuluh apalagi petani ke media tersebut relatif terbatas, sehingga
cara dan media penyampaian tersebut kurang efektif. Oleh karena itu, diperlukan
metode diseminasi secara langsung kepada petani, yang lebih mendekatkan
sumber teknologi dengan petani sebagai calon pengguna teknologi. Salah satu
terobosan dalam diseminasi teknologi pertanian adalah melalui Prima Tani (Badan
Penelitian

dan

Pengembangan

Pertanian

2006),

yang

bertujuan

untuk

mempercepat diseminasi dan adopsi teknologi inovatif, terutama yang dihasilkan


Badan Litbang Pertanian. Melalui program ini, pertanian lahan kering, termasuk
pengembangan budi daya padi gogo, palawija dan sebagainya, misalnya dengan
introduksi benih unggul, pemupukan, dan rotasi tanaman, dapat berkembang lebih
cepat dan mampu meningkatkan produksi bahan pangan nasional secara
signifikan.
d. Peningkatan Penelitian Pertanian Lahan Kering
Penelitian padi saat ini lebih terfokus pada padi sawah, yang telah
menghasilka berbagai varietas unggul dan teknologi budi daya seperti
pengendalian hama/ penyakit, pemupukan, dan pengairan. Penelitian dan
pengembangan padi gogo jauh tertinggal. Sejalan dengan itu, minat dan upaya
petani untuk mengembangkan padi gogo juga relatif rendah, tercermin dari luas
pertanaman setiap tahun yang jauh lebih rendah dari luas lahan sawah. Ke depan,
penelitian dan pengembangan pertanian lahan kering perlu mendapat perhatian
yang lebih besar, termasuk pembiayaannya. Akan lebih baik bila penelitian
diarahkan pada teknologi pengelolaan padi gogo dan palawija sebagai bagian dari
sistem usaha tani (farming system) yang disesuaikan dengan kondisi spesifik
lokasi. Penelitian hendaknya dilaksanakan secara komprehensif, dalam arti
peneliti tidak bekerja sendiri-sendiri, tetapi dalam suatu tim dari berbagai disiplin
ilmu, sehingga dapat menghasilkan teknologi yang efektif dan menguntungkan.
3.4 Strategi Pengelolaan Kedelai
Salah satu komoditas tanaman semusim yang dapat dikembangkan pada
lahan kering masam adalah kedelai. Kedelai (Glycine max Merr.) merupakan

komoditas tanaman pangan yang bernilai ekonomis penting, karena perannya


sebagai pemenuhan kebutuhan gizi yang terjangkau masyarakat luas. Kedelai
sebagai bahan baku makanan yang banyak dikonsumsi rakyat Indonesia yaitu
tempe dan tahu. Sampai saat ini pemenuhan kebutuhan kedelai masih harus
dilakukan dengan impor dari berbagai negara. Untuk membatasi impor kedelai
atau ketergantungan pada negara lain, perlu dilakukan perluasan areal tanam.
Namun demikian, perluasan areal tanam kearah lahan optimal sulit dilakukan
karena beberapa hal seperti persaingan dengan komoditas lainnya (padi, jagung,
dll) dan alih fungsi lahan, di mana areal pertanian bahkan beralih fungsi menjadi
areal non pertanian.Oleh karena itu, perluasan areal penanaman kedelai diarahkan
pada lahan-lahan sub optimal, di antaranya adalah lahan rawa dan lahan kering
masam.
Luas pertanaman kedelai di Propinsi Lampung pada tahun 2009 adalah
16.153 Ha, luasan pertanaman ini meningkat cukup signifikan dibandingkan pada
tahun 2007 dan 2008, di mana masing-masing hanya 3.396 dan 6.678 Ha (BPS,
2010). Tanaman kedelai mempunyai prospek yang cukup besar untuk
dikembangkan di lahan masam asal dibarengi dengan pengelolaan tanaman dan
tanah yang tepat. Pemberian bahan ameliorasi kapur, bahan organik, dan
pemupukan N, P, dan K merupakan kunci untuk memperbaiki kesuburan lahan
kering masam tersebut.Hasil penelitian Hartatik dan Septiyana (2012)
menunjukkan hal yang sama yaitu pemberian kapur (dolomit) dan pupuk organik
pabrikan meningkatkan hasil kedelai pada lahan suboptimal sekitar 17 %.
Pemanfaatan bakteri rhizobium yang toleran kondisi masam berkadar Al, Mn, dan
Fe tinggi dapat menggantikan sebagian besar pupuk N anorganik pada tanaman
kedelai yang ditanam di lahan masam, terutama pada lahan-lahan yang belum
pernah ditanami kedelai.
Propinsi Lampung memiliki total luas lahan kering masam adalah
2.650.413 ha, dan yang cocok untuk tanaman semusim pada dataran rendah
adalah seluas 912.609 ha, dan pada dataran tinggi seluas 12.624 ha (Mulyani, et
al. 2004).Secara umum, lahan kering dapat dibedakan menjadi lahan kering

masam dan non masam.Lahan kering tergolong masam bila tanahnya memiliki pH
< 5 dan kejenuhan basa < 50% (Mulyani et al. 2004).
Pengembangan kedelai pada lahan kering masam di Lampung sangat
potensial, namun kondisi pH tanah, C organik, kandungan hara N, P, dan Ca
rendah serta Al dan Mn tinggi sering menjadi penghambat pertumbuhan dan hasil
tanaman kedelai. . Lahan kering masam tergolong suboptimal karena tanahnya
kurang subur, bereaksi masam, mengandung Al, Fe, dan atau Mn dalam jumlah
tinggi sehingga dapat meracuni tanaman.Lahan masam pada umumnya miskin
bahan organik dan hara makro N, P, K, Ca, dan Mg.
Hasil penelitian Prihastuti dan Sudaryono (2012) yang melakukan analisis
khemis dan biologis pada lahan kering masam di 4 (empat) kecamatan di
Lampung Tengah, yaitu Bumi Nabung, Sari Bakti, Seputih Banyak dan Rumbia,
menunjukkan nilai pH masam (4,35-6,00), kandungan hara rendah (N <0,1 % dan
C <2,00 %, dan populasi mikroba tanah rendah (mengandung bakteri 17.103
29.104 cfu/g tanah dan jamur 21.101 63.102 cfu/g tanah). Ditemukan jenis-jenis
beneficialmicrobe dari lahan kering masam meliputi bakteri penambat nitrogen
non simbiotik (dengan kemampuan menambat nitrogen 0,151,53 mMol/100 ml
medium/jam), bakteri dan jamur pelarut fosfat (dengan indeks pelarutan fosfat
1,22-6,25) dan mikoriza vesikular arbuskular (dengan tingkat infeksi akar 70,5090,33 % dan jumlah spora 49-175 spora/gram tanah). Berdasarkan hasil analisis
tersebut, lahan yang diuji tersebut tergolong dalam kategori kurang sesuai untuk
pengembangan tanaman kedelai.Namun, dalam upaya ekstensifikasi kedelai di
lahan kering masam, diperlukan teknologi perbaikan sifat-sifat tanah melalui
pengapuran dan ameliorasi, serta pemakaian pupuk organik. Tindakan lain yang
memberikan prospek untuk dilakukan adalah dengan memanfaatkan aktivitas
beneficialmicrobe dalam penyediaan unsur hara nitrogen dan fosfat secara hayati.
Diperlukan upaya untuk meningkatkan populasi mikroba tanah melalui masukan
mikroba atau melalui teknik pemeliharaan dan pengembangan mikroba alami
yang berpotensi untuk dikembangkan dari lahan kering masam tersebut
Pemberian bahan ameliorasi kapur, bahan organik, dan pemupukan N, P, dan K
merupakan kunci untuk memperbaiki kesuburan lahan kering masam (Subandi,

2007). Kapur atau dolomit perlu diberikan dengan takaran dari Al-dd
(Aluminium yang dapat dipertukarkan); di berbagai daerah umumnya 11,5
ton/ha. Dolomit selain meningkatkan pH, juga menambah kandungan Ca dan Mg.
Informasi. Jika disertai pemberian pupuk kandang 2,5 ton/ha, maka takaran
pengapuran cukup 1/4 dari Al-dd (500750 kg dolomit/ha).
Pemanfaatan bakteri rhizobium yang toleran kondisi masam berkadar Al,
Mn, dan Fe tinggi dapat menggantikan sebagian besar pupuk N anorganik pada
tanaman kedelai yang ditanam di lahan masam, terutama pada lahan-lahan yang
belum pernah ditanami kedelai. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan
Umbi (Balitkabi) telah merilis ultiisolat rhizobium toleran masam yang diberi
nama Iletrysoy .Balitkabi sebelumnya telah melakukan uji efektivitasnya dengan
menggunakan tanah masam Ultisol asal Lampung Timur.Multiisolat Iletrysoy
dapat membentuk bintil akar efektif dengan sangat baik. Peningkatan jumlah
bintil akar tersebut mampu meningkatkan kandungan N dan klorofil daun,
sehingga dapat meningkatkan hasil biji 14 - 21%, sepadan dengan pemberian
pupuk Urea 50 kg/ha (Harsono, 2010). Sebagai tanaman yang relatif banyak
membutuhkan hara N, pada lingkungan yang optimal sekitar 60% dari kebutuhan
hara N kedelai dapat dipenuhi dari simbiosis antara tanaman kedelai dengan
rhizobium. Efektifitas simbiosis tersebut antara lain dipengaruhi oleh populasi
rhizobium di dalam tanah. Jumlah rhizobium di dalam tanah sudah cukup apabila
populasinya 1.000 sel rhizobium/g tanah.Pada tanah yang relatif subur, inokulasi
rhizobium tidak perlu dilakukan. Hasil penelitian di 11 lokasi di Kabupaten
Probolinggo, Lumajang, Pasuruan, dan Jember yang bertanah Vertisol dan Entisol
dengan pola tanam yang beragam, ternyata populasi rhizobium sangat tinggi
antara 58.103 sampai 7.109 sel rhizobium per gram tanah, sehingga tanpa
inokulasi rhizobium tanaman kedelai mampu membentuk bintil secara memadai.
Penelitian lapangan di KP Jambegede (Malang) menunjukkan bahwa inokulasi
rhizobium pada tanaman kedelai setelah padi juga tidak diperlukan, karena
populasi rhizobiumnya masih tinggi, yakni 58.105 sel/g tanah setelah pertanaman
padi dipanen (Balitkabi, 2013). Pada lahan masam, mikoriza yang dapat
menginfeksi perakaran akan meningkatkan kemampuan tanaman menyerap P dari
tanah. Penelitian awal dalam pot di rumah kaca menggunakan tanah masam dari

Lampung

menunjukkan

bahwa

perlakuan

biji

dengan

mikoriza

dapat

meningkatkan hasil kedelai, baik pada tanah yang steril maupun yang tidak
disterilkan.Hasil penelitian ini memberikan harapan bagi pengelolaan tanaman
untuk pengembangan kedelai di Indonesia, khususnya di luar jawa yang sebagian
besar lahannya masam.

BAB IV
KESIMPULAN
Jalan keluar untuk menembus kebuntuan peningkatan produksi bahan
pangan nasional adalah dengan mengoptimalkan pemanfaatan lahan kering
melalui: a) peningkatan produktivitas lahan pertanian yang sudah ada saat ini, dan
b) perluasan lahan pertanian tanaman pangan dengan memanfaatkan lahan kering
terlantar.
Pemanfaatan lahan kering untuk meningkatkan produksi bahan pangan
memerlukan perencanaan dan strategi yang tepat, yaitu: a) identifikasi lahan
kering yang sesuai untuk pertanian, b) seleksi teknologi pengelolaan lahan kering
yang tepat guna, c) diseminasi teknologi pengelolaan lahan kering secara intensif,
dan d) peningkatan penelitian pertanian lahan kering, terutama budi daya padi
gogo, palawija, dan tanaman semusim lainnya dalam sistem usaha tani terpadu.
Untuk meningkatkan hasil kedelai pada lahan suboptimal perlu dilakukan
perbaikan dari aspek kesuburan tanahnya seperti penggunaan pupuk organik,
pupuk hayati, kapur, dll.Selain itu penggunaan varietas yang sesuai sangat
dianjurkan, seperti varietas yang cocok untuk lahan kering masam, varietas yang
toleran naungan, dll.

DAFTAR PUSTAKA
Abdurachman A, A. Dariah, Dan A. Mulyani.2008. Strategi Dan Teknologi
Pengelolaan Lahan Kering Mendukung Pengadaan Pangan Nasional.
Jurnal Litbang Pertanian, 27(2).

Hanafiah,AK. 2007. Dasar Dasar Ilmu Tanah. Edisi 2. Raja Gravindo


Persada.Jakarta . Pp 139-165.

Junita Barus.2013. Potensi Pengembangan dan Budidaya Kedelai pada Lahan


Suboptimal di Lampung. Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal,
Palembang 20-21.
KEPAS. 1986. Agro-Ecosistem Daerah Kering Di Nusa Tenggara Timur. Badan
Penelitian Dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. Xxviii + 119 H
Monkhouse, F., & J. Small. 1978. Dictionary Of The Natural Environment.
Edward Arnold (Publ.) Ltd Laondon. 320 H.
Nursyamsi, D. 2006. Kebutuhan Hara Kalium Tanaman Kedelai Di Tanah Ultisol.
Jurnal Ilmu Tanah Dan Lingkungan. 6(2) : 71-81
Yulianti, N. 2007. Reaksi Tanah .Jurnal Hijau.2(5) : 23 43

Anda mungkin juga menyukai