BAB 1
Pendahuluan
2. 1 Definisi
2.2 Epidemiologi
2.3 Etiologi
2.4 Patogenesis
2.5 Klasifikasi
2.6 Dasar diagnosis
2.6.1 Gejala Klinis
2.6.2 Pemeriksaan Fisik
2.6.3 Pemeriksaan Penunjang
2.7 Reaksi Kusta
2.8 Pengobatan
2.9 Prognosis
3
3-4
4
5-8
8-9
Kesimpulan
29
Daftar Pustaka
30
BAB 2
10-13
13-18
18-20
20-21
21-28
28
BAB 3
BAB 4
BAB 1
Pendahuluan
Kusta termasuk penyakit tertua. Kata kusta berasal dari bahasa India
kustha, dikenal sejak 1400 tahun sebelum Masehi. Kata Lepra disebut dalam kitab
Injil, terjemahan dari bahasa Hebrew zaraath, yang sebenarnya mencakup
beberapa penyakit kulit lainnya. Ternyata terdapat pelbagai deskripsi mengenai
penyakit ini sangat kabur, apabila dibanding dengan kusta yang kita kenal
sekarang.
Kata kusta juga dikenal dengan Lepra atau Morbus Hansen. Penyakit ini
adalah suatu penyakit infeksi kronis yang disebabkan Mycobacterium Leprae,
mikroorganisme yang mempunyai predileksi pada kulit dan saraf. Karekteristik
penyakit ini secara klinis terdiri atas tiga tanda cardinal ; lesi kulit hipopigmentasi
atau eritematosa yang disertai hilangya sensasi sensoris/anestesia, penebalan saraf
perifer dan BTA positif pada apusan kulit atau material biopsy.
M. Leprae menginfeksi sel Schwann dari saraf perifer sehingga
menyebabkan kerusakan saraf dan menyebabkan disabilitas. Walaupun terdapat
penurunan prevalensi infeksi M. Leprae pada negara yang endemis setelah
implementasi multidrug therapy, kasus baru yang dideteksi masih tinggi,
menunjukkan adanya transmisi yang aktif.
Kerentanan terhadap mycobakterium dan gejala klinis bergantung kepada
respon immune penderita . Penderita dengan respon imun yang baik menunjukkan
gejala kea rah tipe tuberkuloid sementara penderita dengan sistem imun yang
buruk menunjukkan gejala kearah lepromatosa.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2
2.1 Definisi
Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah
Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai
afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian
dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.1
2.2 Epidemiologi
Penyebaran penyakit kusta dari suatu tempat ke tempat lain sampai
tersebar ke seluruh dunia tampaknya disebabkan oleh perpindahan penduduk yang
terinfeksi penyakit tersebut. Masuknya kusta ke pulau-pulau Melanesia termasuk
Indonesia diperkirakan terbawa oleh orang-orang cina. Distribusi penyakit ini
tiap-tiap negara maupun dalam negara sendiri ternyata berbeda-beda.
Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah patogenesis kuman
penyebab, cara penularan, keadaan sosial ekonomi dan lingkungan, varian genetik
yang berhubungan dengan kerentanan, perubahan imunitas, dan kemungkinan
adanya reservoir diluar manusia. Belum ditemukan medium artifisial, mempersulit
dalam mempelajari sifat-sifat M. Leprae. Sebagai sumber infeksi hanyalah
manusia meskipun masih dipikirkan adanya kemungkinan di luar manusia.
Penderita yang mengandng M. Leprae sampai 103 per gram jaringan,
penularannya tiga sampai sepulh kali lebih besar dibanding dengan penderita yang
mengandung 107 basil per gram jaringan.
Kusta bukan penyakit keturunan. Kuman dapat ditemukan di folikel
rambut, kelenjar keringat, air susu dan jarang di dapat di dalam urin. Sputum
dapat mengandung banyak M.leprae yang berasal dari mukosa traktus
respiratorius bagian atas. Tempat implantasi tidak selalu menjadi tempat lesi
pertama. Dapat menyerang semua umur, anak-anak lebih rentan daripada orang
dewasa. Di Indonesia penderita anak-anak dibawah umur 14 tahun didapatkan
13% tetapi anak dibawah umur 1 tahun jarang sekali. Frekuensi tertinggi terdapat
pada kelompok umur anatar 25-35 tahun.
Kusta terdapat dimana-mana terutama di Asia, Afrika, Amerika Latin ,
daerah tropis dan subtropics, serta masyarakat yang sosiol ekonominya rendah.
Makin rendah sosial ekonomi makin berat penyakitnya, sebaliknya faktor sosial
3
2.4 Patogenesis
4
Sel Schwann (SS) merupakan target utama untuk infeksi oleh M. leprae
sehingga menyebabkan cedera pada saraf, demielinasi, dan akibatnya, cacat.
Pengikatan M. leprae ke SS menyebabkan demielinasi dan hilangnya konduktansi
aksonal. Telah ditunjukkan bahwa M. leprae dapat menyerang SS melalui ikatan
spesifik protein laminin dari 21 kDa PGL-1. PGL-1, sebuah glycoconjugate khas
utama pada permukaan M.leprae., mengikat laminin-2, yang menjelaskan
kecenderungan bakteri untuk saraf perifer . Identifikasi M. leprae- SC reseptor
yang ditaget,iaitu dystroglycan (DG), menunjukkan peran molekul ini dalam
degenerasi saraf awal . Mycobacterium leprae induced demyelination adalah hasil
dari ligasi bakteri langsung ke reseptor neuregulin, erbB2 dan Erk1 / 2 aktivasi,
dan sinyal MAP kinase berikutnya dan proliferasi.
Klasifikasi
Ridley & Jopling
Madrid
WHO
Puskesmas
tersediaan layanan apusan kulit. Sistem klasifikasi klinis untuk tujuan pengobatan
meliputi penggunaan jumlah lesi kulit dan saraf yang terlibat sebagai dasar untuk
pengelompokan pasien kusta multibasiler ke (MB) dan paucibacillary (PB) kusta.
1-5 lesi
PB
-
MB
>5 lesi
papul
Hipopigmentasi/ eritema
Distribusi
Distribusi
yang
meninggi,
nodus)
yang
Kerusakan
(menyebabkan
saraf
simetris
tidak
simetris
-
jelas
Hanya satu cabang saraf
Hilangnya
otot
sensasi
kurang jelas
hilangnya
sensasi/kelemahan
yang
N. medianus
medial
- anestesia pada ujung jari anterior ibu jari, telunjuk dan jari tengah
- tidak masuk aduksi ibu jari
- clawing ibu jari, jari telunjuk dan jari tengah
- ibu jari kontraktur
N. radialis
N. poplitea lateralis
N. tibialis posterior
N. Fasialis
N. Trigeminus
Kerusakan mata pada kusta dapat juga primer dan sekunder. Primer
mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak
10
jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh rusaknya nervus fasialis yang
dapat membuat paralisis N. Orbikularis palpebrarum sebagian atau seluruhnya,
mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya, menyebabkan kerusakan bagianbagian mata lainnya. Secarra sendiri-sendiri atau bergabung akhirnya dapat
menyebabkan kebutaan.
Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri ata kelenjar
keringat, kelenjar palit dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan
alopesia. Pada tipe lepromatosa dapat timbul ginekomestia akibat gangguan
keseimbangan hormonal dan oleh karena infiltrasi granuloma pada tubulus
seminiferus testis.
Pada kusta, didapatkan 3 tanda kardinal, dimana jika salah satunya ada,
sudah cukup untuk menetapkan diagnosis dari penyakit kusta, yakni :
a) Lesi kulit yang anestesi ,
b) Penebalan saraf perifer,
c) Ditemukannya M. Leprae sebagai bakteriologis positif.
Masa inkubasinya 40 hari 40 tahun (rata-rata 3 5 tahun). Onset
terjadinya perlahan-lahan dan tidak ada rasa nyeri. Pertama kali mengenai sistem
saraf perifer dengan parestesi dan baal yang persisten atau rekuren tanpa terlihat
adanya gejala klinis. Pada stadium ini mungkin terdapat erupsi kulit berupa
makula dan bula yang bersifat sementara. Keterlibatan sistem saraf menyebabkan
kelemahan otot, atrofi otot, nyeri neuritik yang berat, dan kontraktur tangan dan
kaki. Gejala prodromal yang dapat timbul kadang tidak dikenali sampai lesi erupsi
ke kutan terjadi. 90% psien biasanya mengalami keluhan pada pertama kalinya
adalah rasa baal, hilangnya sensori suhu sehingga tidak dapat membedakan panas
dengan dingin. Selanjutnya, sensasi raba dan nyeri, terutama dialami pada tangan
dan kaki, sehingga dapat terjadi kompliksi ulkus atau terbakar pada ekstremitas
yang baal tersebut. Bagian tubuh lain yang dapat terkena kusta adalah daerah yang
dingin, yaitu daerah mata, testis, dagu, cuping hidung, daun telinga, dan lutut.
Perubahan saraf tepi yang terjadi dapat berupa (1) pembesaran saraf tepi yang
asimetris pada daun telinga, ulnar, tibia posterior, radial kutaneus, (2) Kerusakan
sensorik pada lesi kulit (3) Kelumpuhan nervus trunkus tanpa tanda inflamasi
berupa neuropati, kerusakan sensorik dan motorik, serta kontraktur (4) kerusakan
11
13
Tanda-tanda
kerusakan
saraf
berupa
hilangnya
sensasi,
Pada reaksi lepra tipe 1, terjadi inflamasi akut pada lesi kulit, terdapat
edema dan nyeri, bisa ulserasi. Edema paling berat terjadi di wajah, tangan, dan
kaki. Pada reaksi lepra tipe 2, terdapat nodul yang nyeri dan berwarna merah, bisa
abses atau ulserasi. Paling sering timbul di wajah dan ekstremitas bagian
ekstensor.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan 1) ekstremitas: neuropati
sensoris, ulserasi telapak kaki, infeksi sekunder, ulnar and peroneal palsies, sendi
Charcot, 2) hidung: kongesti kronik, epistaksis, destruksi kartilago dengan
deformitas saddle-nose, 3) mata: kelumpuhan nervus kranialis, lagoftalmus,
insensitivitas kornea. Pada LL, dapat terjadi uveitis, glaucoma, pembentukan
katarak. Kerusakan kornea dapat terjadi sekunder terhadap trichiasis dan
neuropati sensoris, infeksi sekunder, dan paralisis otot, 4) testis: terjadi
hipogonadisme pada pasien LL, 5) amiloidosis sekunder karena gangguan hepar/
ginjal.
15
LL
BL
Makula, Infiltrat
Makula, Plakat,
Plakat, Dome
Papul
Shaped (Kubah),
Tidak terhitung,
Jumlah
BB
Punched Out
Sukar dihitung,
Dapat dihitung,
kulit sehat
sehat
Asimetris
Distribusi
Simetris
Hampir simetris
Agak Kasar/berkilat
Permukaan
Halus Berkilat
Halus Berkilat
Agak Jelas
Batas
Tidak Jelas
Agak Jelas
Lebih Jelas
Anestesia
BTA
Tak Jelas
Lesi kulit
Banyak
Agak Banyak
Biasanya Negatif
Negatif
Negatif
Biasanya negatif
Jumlah
TT
BT
Makula dibatasi
dibatasi infiltrat
infiltrat
Beberapa, atau
I
Hanya makula
asimetris
Masih asimetris
variasi
Permukaan
kering bersisik
Kering bersisik
Batas
Jelas
Jelas
jelas/tidak
Anestesia
Tak Jelas
BTA
Lesi kulit
Negatif
Negatif/positif 1
Biasanya negatif
Biasanya Negatif
Positif lemah
Negatif
Positi lemah sampai
negatif
Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang
sebenarnya sangat kronik. Reaksi imun dapat menguntungkan, tetapi dapat pula merugikan
yang disebut reaksi imun patologik, dan reaksi kusta ini tergolong di dalamnya.
Eritema nodusum leprosum (E.N.L)
ENL timbul terutama pada tipe lepromatosa polar dan BL. Secara imunopatologis,
ENL termasuk respons imun humoral, berupa fenomena kompleks imun akibat reaksi antara
antigen M. Leprae + antibody (IgM, IgG) + komplemen kompleks imun. Hal ini terjadi
karena, pada tipe lepromatosa, jumlah basil jauh lebih banyak daripada tipe tuberkuloid .
ENL lebih banyak terjadi pada tahun kedua pengobatan karena banyak basil lepra yang mati
dan hancur, berarti banyak antigen yang dilepaskan dan bereaksi dengan antibody,
mengaktifkan sistem komplemen. Kompleks imun tersebut terus beredar dalam sirkulasi
darah yang akhirnya dapat melibatkan berbagai organ.
Pada kulit akan timbul gejala klinis yang berupa nodus eritema dan nyeri dengan
tempat predileksi di lengan dan tungkai. Bila mengenai organ lain dapat menyebabkan gejala
seperti iridosiklitis, neuritis akut, limfadenitis, arthritis ,orkitis dan nefritis akut dengan
adanya proteinuria . ENL dapat disertai gejala konstitusi dari ringan sampai berat.
Reaksi reversal atau reaksi upgrading
Reaksi ini dapat terjadi pada tipe borderline (Li, BL, BB, BT,Ti) sehingga disebut
juga sebagai reaksi borderline. Yang memegang peran utama dalam terjadi hal ini adalah SIS.
Reaksi peradangan terjadi pada tempat-tempat basil M.leprae berada, yaitu pada saraf dan
kulit, umumnya terjadi pada pengobatan 6 bulan pertama. Neuritis akut dapat menyebabkan
kerusakan saraf secara mendadak, oleh karena itu memerlukan pengobatan segera yang
memadai. Pada reaksi reversal, dapat terjadi perpindahan Kegativ arah TT dengan disertai
peningkatan SIS, hanya bedanya dengan cara mendadak dan cepat.7
Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi yang telah ada
bertambah aktif atau timbul lesi baru dalam waktu relative singkat. Artinya lesi
hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi lebih eritemotosa dan lesi lama
bertambah luas. Adanya gejala neuritis akut penting diperhatikan, karena sangat menentukan
pemberian pengobatan kortikosteroid.
2.8 Pengobatan
Sejak tahun 1951 pengobatan tuberkulosis dengan obat kombinasi ditujukan untuk
mencegah kemungkinan resistensi obat, sedangkan multi drug treatment (MDT) untuk kusta
baru dimlai pada tahun 1971. Adanya MDT ini adalah sebagai usaha untuk , mencegah dan
mengobati resistensi, memerpendek masa pengobatan dan mempercepat pemutusan mata
rantai penularan. Untuk menyusun kombinasi obat perl diperhatikan antara lain: efek teraptik
obat, efek samping obat, harga obat dan kemungkinan penerapannya.
i)
obat lain. Dosis DDS ialah 1-2mg/kg berat badan setiap hari. Dapson, diamino difenil sulfon
bersifat bakteriostatik yaitu mengahalangi atau menghambat pertumbuhan bakteri. Dapson
merupakan antagonis kompetitif dari para-aminobezoic acid (PABA) dan mencegah
penggunaan PABA untuk sintesis folat oleh bakteri. Efek samping dari dapson adalah anemia
hemolitik,leucopenia,insomnia, neuropatia perifer, sindrom DDS, nekrolisis epidermal toksik,
hepatitis, hipoalbuminemia, methemoglobinemia, skin rash, anoreksia, nausea, muntah, sakit
kepala, dan vertigo.
ii)
Merupakan bakteriostatik dan dapat menekan reaksi kusta. Clofazimin bekerja dengan
menghambat siklus sel dan transpor dari NA/K ATPase.Dosis sebagai antikusta ialah 50mg
setiap hari atau 100mg selang sehari , atau 3x100mg setiap minggu. Bersifat antiinflamasi
dan dapat dipakai untuk pengobatan ENL dengan dosis 200-300mg/hari, namun awitan kerja
timbul seteah 2-3 minggu. Efek sampingnya adalah warna kecoklatan pada kulit dan warna
kekuningan pada sklera sehingga mirip ikterus. Hal ini disebabkan zat warna klofazimin yang
dideposit terutama pada sel system retikuloendotelial, mukosa dan kulit. Efek samping hanya
terjadi pada dosis tinggi berupa gangguan gastrointestinal yaitu nyeri abdomen, nausea, diare,
anokresia dan vomitus. Perubahan warna mulai menghilang setelah 3 bulan obat dihentikan.
iii)
Rifampicin
Rifampicin bersifat bakteriosid yaitu membunuh kuman. Rifampicin bekerja dengan
cara menghambat DNA- dependent RNA polymerase pada sel bakteri dengan berikatan pada
subunit beta. Dosisnya ialah 10mg/kg berat badan; diberikan setiap hari atau setiap bulan.
Ofloksasin
Merupakan turunan flurokuinolon yang paling aktif terhadap Mycobacterium Leprae
in vitro. Dosis optimal harian adalah 400mg. Dosis tunggal yang diberikan dalam 22 dosis
akan membunuh kuman Myocobacterium leprae hidup sebesar 99.99%. Efek sampingnya
adalah mual, diare dan gangguan saluran cerna lainnya, berbagai gangguan susunan saraf
pusat termasuk imsonia, nyeri kepala , dizziness, nervousness dan halusinasi. Penggunaan
pada anak, remaja, wanita hamil dan menyusui harus hati-hati, karena pada hewan muda
kuinolon menyebabkan artropati.
v)
Minosiklin
Termasuk kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidalnya lebih tinggi dari klaritromisin,
tetapi lebih rendah dari rifampisin. Dosis standar harian 100mg. Efek sampingnya adalah
pewarnaan gigi bayi dan anak-anak, kadang-kadang menyebabkan hiperpigmentasi kulit dan
membrane mukosa, berbagai simtom saluran cerna dan susunan saraf pusat termasuk
dizziness dan unsteadiness. Oleh sebab itu tidak dianjurkan untuk anak-anak atau selama
kehamilan.
vi)
Klaritromisin
Merupakan kelompok antibiotic makrolid dan mempunyai aktivitas bakterisidal
terhadap Mycobacterium Leprae pada tikus dan manusia. Pada penderita kusta lepromatosa,
dosis harian 500mg dapat membunuh 99% kuman hidup dalam 28 hari dan lebih dari 99.9%
dalam 56 hari. Efek sampingnya adalah nausea, voitus dan diare yang terbukti sering
ditemukan bila obat ini diberikan dengan dosis 2000mg.
Kombinasi obat ini diberikan 2 tahun sampai 3 tahun dengan syarat bakterioskopis
harus negetif. Apabila bakterioskopis masih positif, pengobatan dilanjutkan sampai
bakterioskopis negetif. Selama pengobatan dilakukan pemeriksaan secara klinis setiap bulan
dan secara bakterioskopis minimal setiap 3 bulan .
Penghentian pemberian obat lazim disebut Release From Treatment (RFT). Setelah
RFT dilanjutkan dengan tindak lanjut tanpa pengobatan secara klinis dan bakterioskopis
minimal setiap tahun selama 5 tahun. Kalau bakterioskopis tetap Kegative dan klinis tidak
ada keaktifan baru, maka dinyatakan Release From Control (RFC).
Tabel
Regimen
pengobatan
kusta
dengan
lesi
tunggal
WHO/DEPKES RI
Dewasa
(50-70 kg)
Rifampicin
Ofloxacin
Minocyclin
600 mg
400 mg
100 mg
(ROM)
menurut
Anak
300 mg
200 mg
50 mg
(5-14 th)
PB dengan lesi 2 5. Lama pengobatan 6 dosis ini bisa diselesaikan selama (6-9)
bulan. Setelah minum 6 dosis ini dinyatakan RFT (Release From Treatment) yaitu berhenti
minum obat.
Tabel : Regimen MDT pada kusta Pausibasiler (PB)
Dewasa
Rifampicin
Dapson
600 mg/bulan
Diminum di depan
petugas kesehatan
Anak-anak
450 mg/bulan
50 mg/hari diminum di
rumah
(10-14 th)
Diminum di depan
petugas kesehatan
MB (BB, BL, LL) dengan lesi > 5 .Lama pengobatan 12 dosis ini bisa diselesaikan
selama 12-18 bulan. Setelah selesai minum 12 dosis obat ini, dinyatakan RFT=Realease
From Treatment yaitu berhenti minum obat. Masa pengamatan setelah RFT dilakukan secara
pasif untuktipe PB selama 2 tahun dan tipe MB selama 5 tahun
Dapson
Lamprene
Dewasa
600 mg/bulan
300 mg/bulan
diminum di depan
di rumah
diminum di depan
petugas kesehatan
petugas kesehatan
dilanjutkan dgn 50
mg/hari diminum di
rumah
Anak-anak
(10-14 th)
450 mg/bulan
50 mg/hari diminum
150 mg/bulan
diminum di depan
di rumah
diminum di depan
petugas
petugas kesehatan
dilanjutkan dg 50 mg
selang sehari
diminum di rumah
Kalau susunan MDT tidak dapat dilaksanakan karena berbagai alasan, WHO
Expert Committee pada tahun 1998 mempunyai rejimen untuk situasi khusus. Penderita MB
yang resisten dengan rifampisin biasanya akan resisten dengan DDS sehingga hanya bisa
mendapatkan klofazimin. Dalam hal ini , rejimen pengobatan menjadi klofazimin 50 mg,
ofloksasin 400 mg, minosiklin 100 mg setiap hari selama 6 bulan dan lagi selama 8 bulan.
Pengobatan reaksi kusta.
i)
Pengobatan ENL
Obat yang sering dipakai adalah tablet kortikosteroid, yaitu prednisone dengan
dosis 15-30 mg/ hari. Dosis dapat dinaikkan sesuai dengan berat penyakit dan
pada penyakit yang ringan sebaiknya tidak diberikan kortikosteroid. Apabila
terdapat perbaikan, dosis kortikosteroid diturunkan secara tapering off. Selain itu
dapat diberikan analgesic-antipiretik dan sedative, dan jika perlu dirawat inap.
Thalidomide merupakan obat pilihan pertama, namun mempunyai efek
teratogenik. Pada saat ini , obat ini sudah tidak diproduksi dan didapat di
Indonesia. Klofazimin dengan dosis 200-300mg/ hari dapat dipakai untuk
pengobatan ENL. Klofazimin dapat dipakai untuk lepas dari ketergantungan
kortikosteroid.
ii)
berupa kelumpuhan yang permanen seperticlaw hand , drop foot , claw toes , dan kontraktur.
Untuk mengatasi hal-hal tersebut diatas dilakukan pengobatan Prinsip pengobatan Reaksi
Kusta yaitu immobilisasi / istirahat, pemberian analgesik dan sedatif, pemberian obat-obat
anti reaksi, MDT diteruskan dengan dosis yang tidak diubah.
Pada reaksi ringan, istirahat di rumah, berobat jalan, pemberian analgetik dan obatobat penenang bila perlu, dapat diberikan Chloroquine 150 mg 31 selama 3-5 hari, dan
MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis yang tidak diubah.
Reaksi berat, immobilisasi, rawat inap di rumah sakit, pemberian analgesik dan
sedative, MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis tidak diubah, pemberian obat-obat anti
reaksi dan pemberian obat-obat kortikosteroid misalnya prednison.Obat-obat anti
reaksi,Aspirin dengan dosis 600-1200 mg setiap 4 jam (4 6x/hari ) , Klorokuin dengan dosis
3 x 150 mg/hari, Antimon yaitu stibophen (8,5 mg antimon per ml ) yang diberikan 2-3 ml
secara selang-seling dan dosis total tidak melebihi 30 ml. Antimon jarang dipakai oleh karena
Gambar
Regimen
MDT
Pencegahan cacat
Cara terbaik untuk melakukan pencegahan cacat atau prevention of disabilities (POD)
adalah dengan melaksanakan diagnosis dini kusta dan pengobatan MDT yang cepat dan tepat.
Selanjutnya dengan mengenali gejala dan tanda reaksi kusta yang disertai gangguan saraf
serat memulai pengobatan kusta dengan kortikosteroid sesegera mungkin. Bila terdapat
gangguan sensibilitas, penderita diberi petunjuk sederhana, misalnya memakai sepatu untuk
melindngi kaki yang telah terkena , memakai sarung tangan bila bekerja dengan benda yang
tajam atau panas, dan memakai kacamata untuk melindnginya. Perawatan kulit sehari-hari
juga diajar. Hal ini dimulai dengan memeriksa ada tidaknya memar, luka atau ulkus. Setelah
itu tangan dan kaki direndam, disikat dan diminyaki agar tidak kering dan pecah.
WHO Expert Committee on Leprosy dalam laporan yang dimuat dalam WHO
Technical Report Series No.607 (1997) telah membuat klasifikasi cacat bagi penderita kusta.
Tingkat 0
Tingkat 1
yang terlihat.
Ada gangguan sensibilitas, tanpa kecacatan ata deformitas yang
Tingkat 0
terlihat.
Terdapat kerusakan atau deformitas
Cacat pada mata
Tidak ada gangguan pada mata akibat kusta, tidak ada gangguan
Tingkat 1
penglihatan
Ada gangguan pada mata akibat kusta, tidak ada gangguan yang berat
Tingkat 2
pada penglihatan. Visus 6/60 atau lebih baik (dapat menghitung jari
Tingkat 2
2.9 Prognosis
Bergantung pada seberapa luas lesi dan tingkat stadium penyakit. Kesembuhan bergantung
pula pada kepatuhan pasien terhadap pengobatan. Terkadang pasien dapat mengalami
kelumpuhan bahkan kematian, serta kualitas hidup pasien menurun.
BAB 3
KESIMPULAN
Akses terhadap informasi, diagnosis dan pengobatan dengan terapi multidrug (MDT)
tetap menjadi elemen penting dalam strategi untuk mengeliminasi penyakit ini sebagai
masalah kesehatan masyarakat, yang didefinisikan sebagai mencapai suatu prevalensi kurang
dari 1 kasus kusta per 10.000 penduduk. MDT pengobatan telah disediakan oleh WHO secara
gratis kepada semua pasien di seluruh dunia sejak tahun 1995, serta menyediakan obat yang
sederhana namun sangat efektif untuk semua jenis penyakit kusta.
Walaupun kusta adalah penyakit tradisional negara-negara berkembang, mobilitas
masyarakat saat ini membuatnya lebih mudah untuk mengimpor M. leprae ke negara-negara
maju. Dengan pelaksanaan MDT, kusta sekarang jauh lebih mudah untuk dikontrol. Deteksi
dini dan pengobatan penyakit, reaksi, dan kekambuhan merupakan kunci untuk mencegah
kecacatan dan memungkinkan pasien untuk menjalani kehidupan yang relatif normal.
BAB 4
DAFTAR PUSTAKA