Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN
Pada persalinan pervaginam perdarahan dapat terjadi sebelum, selama ataupun sesudah
persalinan. Kehamilan yang berhubungan dengan kematian maternal secara langsung di Amerika
Serikat diperkirakan 7 10 wanita tiap 100.000 kelahiran hidup. Data statistik nasional Amerika
Serikat menyebutkan sekitar 8% dari kematian ini disebabkan oleh perdarahan post partum. Di
negara industri, perdarahan post partum biasanya terdapat pada 3 peringkat teratas penyebab
kematian maternal, bersaing dengan embolisme dan hipertensi. Di beberapa negara berkembang
angka kematian maternal melebihi 1000 wanita tiap 100.000 kelahiran hidup, dan data WHO
menunjukkan bahwa 25% dari kematian maternal disebabkan oleh perdarahan post partum dan
diperkirakan 100.000 kematian matenal tiap tahunnya.
Perdarahan post partum secara umum didefinisikan sebagai kehilangan darah lebih besar
dari atau sama dengan 500 ml dalam waktu 24 jam setelah lahir. Sebagian besar kasus
morbiditas dan mortalitas akibat Perdarahan post partum terjadi dalam 24 jam pertama setelah
persalinan dan ini dianggap sebagai PPH primer sedangkan pendarahan abnormal atau
berlebihan dari jalan lahir yang terjadi antara 24 jam dan 12 minggu postnatal dianggap sebagai
PPH sekunder.
Frekuensi perdarahan post partum yang dilaporkan Mochtar, R. dkk. (1965-1969) di R.S.
Pirngadi Medan adalah 5,1% dari seluruh persalinan. Dari laporan-laporan baik di negara maju
maupun di negara berkembang angka kejadian berkisar antara 5% sampai 15%. Dari angka
tersebut, diperoleh sebaran etiologi antara lain: atonia uteri (50 60 %), sisa plasenta (23 24
%), retensio plasenta (16 17 %), laserasi jalan lahir (4 5 %), kelainan darah (0,5 0,8 %).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
a. Definisi
Perdarahan postpartum adalah perdarahan lebih dari 500-600 ml dalam masa 24
jam setelah anak lahir.
b. Klasifikasi
Menurut waktu kejadiannya dibagi atas dua bagian :
a. Perdarahan postpartum primer ( early postpartum hemorrhage ) yang terjadi dalam 24
jam setelah anak lahir.
b. Perdarahan postpartum sekunder ( late postpartum hemorrhage ) yang terjadi setelah
24 jam.
c. Faktor predisposisi dan Etiologi
Beberapa faktor predisposisi dan etiologi perdarahan pascapersalinan, antara lain
bisa disebabkan beberapa hal :
a

c
d

Tissue: Perdarahan dari tempat implantasi plasenta


- Sisa plasenta/ retensio plasenta
o Kotiledon atau selaput ketuban tersisa
o Plasenta susenturiata
o Plasenta akreta, inkreta, perkreta
Trauma traktus genitalis : Perdarahan karena robekan
- Episiotomi yang melebar
- Robekan pada perineum, vagina, dan servix
- Rupture uteri
Thrombin : Gangguan koagulasi
Tone
- Hipotoni sampai atoni uteri :
o akibat anestesi,
o distensi berlebihan (gemeli, anak besar, hidramnion),
o partus lama,
o partus kasep,
o partus presipitus/partus terlalu cepat
o persalinan karena induksi oksitosin
o multiparitas
o korioamniositis
o riwayat pernah atonia uteri sebelumnya.

Secara umum, penyebab perdarahan postpartum disebabkan 4 T yaitu:

Tone - atonia uteri


Atonia uteri, kegagalan kontraksi dan relaksasi miometrium dapat mengakibatkan

perdarahan yang cepat dan masif yang dapat berlanjut pada hipovolemik syok.
Uterus yang terlalu meregang baik absolut maupun relatif, adalah faktor resiko
mayor untuk atonia uteri. Hal ini dapat diakibatkan oleh gestasi multifetal, makrosomia,
polihidramnion atau abnormalitas janin ( misalnya hidrosefalus berat), struktur uteri yang
abnormal, gangguan pengeluaran plasenta dan distensi uterus dengan perdarahan sebelum
plasenta dilahirkan.
Kontraksi miometrium yang buruk dapat diakibatkan hal-hal sebagai berikut :
o Kelelahan akibat persalinan yang lama atau induksi persalinan
o Hasil dari inhibisi kontraksi oleh obat seperti anestesi halogen, nitrat, AINS,
MgSO4, beta-simpatomimetik, dan nifedipin.
o Penyebab lain, seperti plasenta letak rendah, toksin bakteri, hipoksia, dan
hipotermia

Tissue plasenta arrest atau bekuan darah


Kontraksi dan retraksi uterus menyebabkan terlepasnya plasenta. Pelepasan

plasenta yang lengkap mengakibatkan retraksi yang berkelanjutan dan oklusi pembuluh
darah yang optimal. Retensio plasenta lebih sering bila plasenta suksenturiata atau lobus
aksesoris. Setelah plasenta dilahirkan dan dijumpai perdarahan minimal, plasenta harus
diperiksa apakah plasenta lengkap dan tidak ada bagian yang terlepas.
Plasenta memiliki kecenderungan untuk menjadi retensi pada kondisi kehamilan
preterm yang ekstrim (khususnya < 24 minggu), dan perdarahan yang hebat dapat terjadi.
Ini harus dijadikan pertimbangan pada persalinan pada awal kehamilan, baik mereka
spontan ataupun diinduksi.
Kegagalan pelepasan menyeluruh dari plasenta terjadi pada plasenta akreta dan
variannya. Pada kondisi ini plasenta lebih masuk dan lebih lengket. Perdarahan signifikan
yang terjadi dari tempat perlekatan dan pelepasan yang normal menandakan adanya
akreta sebagian. Akreta lengkap dimana seluruh permukaan plasenta melekat abnormal,
atau masuk lebih dalam (plasenta inkreta atau perkreta), mungkin tidak menyebabkan
perdarahan masif secara langsung, tapi dapat mengakibatkan adanya usaha yang lebih

agresif untuk melepaskan plasenta. Kondisi seperti ini harus dipertimbangkan jika
plasenta terimplantasi pada jaringan parut di uterus sebelumya, khususnya jika
dihubungkan dengan plasenta previa. Semua pasien dengan plasenta previa harus
diinformasikan risiko terjadinya perdarahan post partum yang berat,

termasuk

kemungkinan dibutuhkannya transfusi dan histerektomi.

Trauma - trauma uteri, servik, atau vagina


Kerusakan traktus genitalis dapat terjadi spontan atau karena manipulasi yang
digunakan pada saat persalinan. Persalinan secara sectio caesaria mengakibatkan
kehilangan darah dua kali lebih banyak dari pada persalinan per vaginam. Pada sectio
cesarea, insisi pada segmen bawah yang memiliki kontraksi buruk sembuh dengan baik
tergantung jahitan, vasospasme, dan pembekuan untuk hemostasis.
Trauma dapat terjadi pada persalinan yang lama dan sulit, khususnya jika pasien
memiliki CPD dan uterus yang telah distimulasi dengan oksitosin atau prostaglandin.
Trauma selama persalinan dapat mengakibatkan hematom pada perineum atau pelvis.
Hematom ini dapat diraba dan seharusnya diduga bila tanda vital pasien tidak stabil dan
sedikit atau tidak ada perdarahan luar.
Trauma juga dapat terjadi pada manipulasi janin intra maupun ekstra uterin.
Risiko yang paling besar mungkin dihubungkan dengan versi internal dan ekstraksi pada
kembar kedua, dimana ruptur uteri dapat terjadi sebagai akibat versi eksternal. Selain itu,
trauma dapat juga disebabkan adanya usaha untuk mengeluarkan plasenta secara manual
atau dengan menggunakan instrumen. Pada pengeluaran plasenta secara manual, uterus
harus selalu berada dalam kendali dengan cara meletakkan tangan di atas abdomen
selama prosedur tersebut. Penggunaan injeksi salin/oksitosin intravena umbilical dapat
mengurangi kebutuhan teknik pengeluaran yang lebih invasif.
Laserasi servikal sering dihubungkan dengan persalinan menggunakan forceps
dan serviks harus diinspeksi pada persalinan tersebut. Persalinan per vaginam dengan
bantuan (forceps atau vakum) tidak boleh dilakukan tanpa adanya pembukaan lengkap.
Laserasi servikal dapat terjadi secara spontan. Pada kasus ini, ibu sering tidak dapat

menahan untuk tidak mengedan sebelum terjadi dilatasi penuh dari serviks. Terkadang
eksplorasi manual atau instrumentasi dari uterus dapat mengakibatkan kerusakan serviks.
Sangat jarang, serviks sengaja diinsisi pada posisi jam 2 dan/atau jam 10 untuk
mengeluarkan kepala bayi yang terjebak pada persalinan sungsang (insisi Dhrssen).
Laserasi dinding vagina sering dijumpai pada persalinan pervaginam operatif,
tetapi hal ini terjadi secara spontan, khususnya jika tangan janin bersamaan dengan
kepala. Laserasi dapat terjadi pada saat manipulasi pada distosia bahu. Trauma vagina
letak rendah terjadi baik secara spontan maupun karena episiotomi.
Ruptur uteri lebih sering terjadi pada pasien dengan riwayat sectio sesarea
sebelumnya. Uterus yang pernah menjalani sectio caesaria memiliki risiko terjadinya
ruptur pada kehamilan berikutnya.

Trombin - Koagulopati
Gangguan koagulasi dan trombositopenia, yang terjadi sebelum atau pada saat
kala II atau III, dapat berhubungan dengan perdarahan masif. Pada awal periode
postpartum, gangguan koagulasi dan platelet biasanya tidak selalu mengakibatkan
perdarahan yang masif, hal ini dikarenakan adanya kontraksi uterus yang mencegah
terjadinya perdarahan.
Faktor pembekuan darah pada pembuluh darah berperan pada saat postpartum.
Bila ada

gangguan pada faktor pembekuan darah dapat menyebabkan perdarahan

postpartum tipe lambat. Abnormalitas faktor pembekuan darah dapat terjadi sebelumnya
atau didapat. Trombositopenia dapat berhubungan dengan penyakit lain yang menyertai,
seperti ITP atau HELLP sindrom (hemolisis, peningkatan enzim hati, dan penurunan
platelet), solutio plasenta, DIC, atau sepsis. Kebanyakan hal ini terjadi bersamaan
meskipun tidak didiagnosa sebelumnya.
Rest Plasenta
a. Definisi

merupakan tertinggalnya bagian plasenta (satu atau lebih lobus), sehingga uterus
tidak dapat berkontraksi secara efektif dan dapat menimbulkan perdarahan post
partum primer atau perdarahan post partum sekunder.
b. Anatomi Plasenta
c. Etiologi dan Patogenesis
Setelah bayi dilahirkan, uterus secara spontan berkontraksi. Kontraksi dan retraksi
otot-otot uterus menyelesaikan proses ini pada akhir persalinan. Sesudah berkontraksi, sel
miometrium tidak relaksasi, melainkan menjadi lebih pendek dan lebih tebal. Dengan
kontraksi yang berlangsung kontinyu, miometrium menebal secara progresif, dan kavum
uteri mengecil sehingga ukuran juga mengecil. Pengecilan mendadak uterus ini disertai
mengecilnya daerah tempat perlekatan plasenta.
Ketika jaringan penyokong plasenta berkontraksi maka plasenta yang tidak dapat
berkontraksi mulai terlepas dari dinding uterus. Tegangan yang ditimbulkannya
menyebabkan lapis dan desidua spongiosa yang longgar memberi jalan, dan pelepasan
plasenta terjadi di tempat itu. Pembuluh darah yang terdapat di uterus berada di antara
serat-serat otot miometrium yang saling bersilangan. Kontraksi serat-serat otot ini
menekan pembuluh darah dan retaksi otot ini mengakibatkan pembuluh darah terjepit
serta perdarahan berhenti.
Pengamatan terhadap persalinan kala tiga dengan menggunakan pencitraan
ultrasonografi secara dinamis telah membuka perspektif baru tentang mekanisme kala
tiga persalinan. Kala tiga yang normal dapat dibagi ke dalam 4 fase, yaitu:
1.Fase laten, ditandai oleh menebalnya dinding uterus yang bebas tempat plasenta,
namun

dinding

uterus

tempat

plasenta

melekat

masih

tipis.

2. Fase kontraksi, ditandai oleh menebalnya dinding uterus tempat plasenta melekat (dari
ketebalan

kurang

dari

cm

menjadi

>

cm).

3. Fase pelepasan plasenta, fase dimana plasenta menyempurnakan pemisahannya dari


dinding uterus dan lepas. Tidak ada hematom yang terbentuk antara dinding uterus
dengan plasenta. Terpisahnya plasenta disebabkan oleh kekuatan antara plasenta yang

pasif dengan otot uterus yang aktif pada tempat melekatnya plasenta, yang mengurangi
permukaan tempat melekatnya plasenta. Akibatnya sobek di lapisan spongiosa.
4. Fase pengeluaran, dimana plasenta bergerak meluncur. Saat plasenta bergerak turun,
daerah pemisahan tetap tidak berubah dan sejumlah kecil darah terkumpul di dalam
rongga rahim. Ini menunjukkan bahwa perdarahan selama pemisahan plasenta lebih
merupakan akibat, bukan sebab. Lama kala tiga pada persalinan normal ditentukan oleh
lamanya fase kontraksi. Dengan menggunakan ultrasonografi pada kala tiga, 89%
plasenta lepas dalam waktu satu menit dari tempat implantasinya.

d. patofisiologi
Kala tiga dapat dibagi ke dalam 4 fase yaitu :
1

Fase laten
Fase laten ditandai dengan menebalnya dinding uterus yang bebas tempat palsenta,
namun dinding uterus tempat plasenta melekat masih tipis.

Fase kontraksi
Fase kontraksi ditandai dengan menebalnya dinding uterus tempat plasenta melekat
( dari ketebalan kurang dari 1 cm menjadi > 2 cm ).

Fase pelepasan plasenta


Pada fase ini plasenta menyempurnakan pemisahannya dari dinding uterus dan lepas.
Tidak ada hematon yang terbentuk antara dinding uterus dengan plasenta.
Terpisahnya plasenta disebabkan oleh kekuatan antara plasenta yang pasif dengan
otot uterus yang aktif pada tempat melekatnya plasenta. Akibatnya terjadi robekan di
lapisan spongiosa.

Fase pengeluaran
Pada fase ini plasenta bergerak meluncur. Saat plasenta bergerak turun, daerah
pemisahan tetap tidak berubah dan sejumlah kecil darah terkumpul di dalam rongga
rahim. Lama kala III pada persalinan normal ditentukan oleh lamanya fase kontraksi.
Dengan menggunakan ultrasonografi pada kala III, 89% plasenta lepas dalam waktu
satu menit dari tempat implantasinya.

e. Gejala klinis dari plasenta rest yaitu :


o Pada perdarahan postpartum dini akibat sisa plasenta ditandai dengan perdarahan
dari rongga rahim setelah plasenta lahir dan kontraksi rahim baik. Pada
perdarahan postpartum lambat gejalanya sama dengan subinvolusi rahim, yaitu
perdarahan yang berulang atau berlangsung terus dan berasal dari rongga rahim.
o
o

Perdarahan terjadi karena uterus tidak bisa berkontraksi secara efektif.


Tinggi fundus uterus tidak berkurang walaupun uterus berkontraksi
Pemerikasan tanda tanda vital
Pemeriksaan suhu badan: Suhu biasanya meningkat sampai 38 0C dianggap
normal. Setelah satu hari suhu akan kembali normal ( 36 37 0C ), terjadi
penurunan akibat hipovolemia.
Nadi :Denyut nadi akan meningkat cepat karena nyeri, biasanya terjadi
hipovolemia yang semakin berat.
Tekanan darah : tekanan darah biasanya turun, memperingan hipovolemia.
Pernafasan :Bila suhu dan nadi tidak normal pernafasan juga menjadi tidak

normal
Pusing, gelisah, letih, ekstremitas dingin dan dapat terjadi syok hipovolemik.
f. Pemeriksaan penunjang
1 Hitung darah lengkap :Untuk melihat nilai hemoglobin ( Hb ) dan hematokrit ( Ht ), melihat
adanya trombositopenia, serta jumlah leukosit, pada keadaan yang disertai dengan infeksi
2 Menentukan adanya gangguan koagulasi :Dengan hitung protombrin time ( PT ) dan activated
Partial Tromboplastin Time ( aPTT ) atau yang sederhana dengan Clotting Time ( CT ) atau
Bleeding Time ( BT ). Ini penting untuk menyingkirkan garis spons desidua.
3

Pemeriksaan USG : Pada pemeriksaan USG akan terlihat adanya sisa plasenta.
g. Diagnosis
Tanda-tanda lepasnya plasenta adalah sering ada pancaran darah yang mendadak, uterus

menjadi globuler dan konsistensinya semakin padat, uterus meninggi ke arah abdomen karena
plasenta yang telah berjalan turun masuk ke vagina, serta tali pusat yang keluar lebih panjang.
Sesudah plasenta terpisah dari tempat melekatnya maka tekanan yang diberikan oleh dinding
uterus menyebabkan plasenta meluncur ke arah bagian bawah rahim atau atas vagina.
Kadang-kadang, plasenta dapat keluar dari lokasi ini oleh adanya tekanan interabdominal. Namun, wanita yang berbaring dalam posisi terlentang sering tidak dapat

mengeluarkan plasenta secara spontan. Umumnya, dibutuhkan tindakan artifisial untuk


menyempurnakan persalinan kala tinggi. Metode yang biasa dikerjakan adalah dengan menekan
dan mengklovasi uterus, bersamaan dengan tarikan ringan pada tali pusat
Untuk mengetahui plasenta sudah lepas dari tempatnya dapat dipakai beberapa perasat,
yaitu :

Perasat Kustner : tangan kanan meregangkan tali pusat, tangan kiri menekan daerah
diatas simfisis. Bila tali pusat masuk kembali kedalam vagina, berarti tali pusat belum

lepas.
Perasat Strassman : tangan kanan meregangkan tali pusat, tangan kiri mengetok
fundus uterus. Bila terasa pada tali pusat yang diregangkan berarti tali pusat belum

terlepas.
Perasat Klein : pasien disuruh mengedan, tali pusat tampak turun ke bawah. Bila
pengedanannya berhenti dan tali pusat masuk kembali ke dalam vagina, berarti

plasenta belum lepas dari dinding uterus...


h. Penatalaksanaan
Tiga hal yang harus diperhatikan dalam menolong persalinan dengan komplikasi perdarahan
postpartum adalah sebagai berikut :
1

Menghentikan perdarahan dengan mencari sumber perdarahan

Mencegah timbulnya syok.

Mengganti darah yang hilang.

Penanganan perdarahan postpartum yang disebabkan oleh sisa plasenta :


Penemuan secara dini hanya mungkin dengan melakukan pemeriksaan kelengkapan
plasenta setelah dilahirkan. Pada kasus sisa plasenta dengan perdarahan pasca persalinan
lanjut, sebagian besar pasien akan kembali lagi ke tempat bersalin dengan keluhan
perdarahan
Perbaiki keadaan umum dengan memasang infus Rl atau cairan Nacl 0,9 %
Ambil darah untuk pemeriksaan hemoglobin, golongan darah dan Cross match.

Bila kadar Hb < 8 gr% berikan transfusi darah. Bila kadar Hb>8 gr%, berikan sulfas
ferosus 600 mg/hari selama 10 hari. Pada kasus syok parah, dapat gunakan plasma
ekspander. Plasma expender diberikan karena cairan ini dapat meresap ke jaringan dan
cairan ini dapat menarik cairan lain dari jaringan ke pembuluh darah.
Jika ada indikasi terjadi infeksi yang diikuti dengan demam, menggigil, rabas vagina
berbau busuk, segera berikan antibiotika spectrum luas. Antibiotik yang dapat diberikan :
a

Benzilpenisilin 5 juta IU IV kemudian 2 juta IU setiap 6 jam +gentamisin 100 mg


stat IM, kemudian 80 mg tiap 8 jam+metronidazol 400 atau 500mg secara oral

setiap 8 jam.
Ampisilin 1 g IV diikuti 500 mg secara IM setiap 6 jam+metronidazol 400 mg

atau 500 mg secara oral setiap 8 jam


Benzilpenisilin 5 juta IU IV kemudian 2 juta IU tiap 6 jam+gentamisin 100 mg

stat IM lalu 80 gr tiap 6 jam.


Benzilpenisilin 5 juta IU IV kemudian 2 juta IU tiap 6 jam+kloramfenikol 500 mg
secara IV tiap 6 jam.

Lakukan eksplorasi (bila servik terbuka) dan mengeluarkan bekuan darah atau jaringan.
Bila servik hanya dapat dilalui oleh instrument, lakukan evakuasi sisa plasenta dengan
AMV atau dilatasi dan kuretase.
Kuretase oleh Dokter. Kuretase harus dilakukan di rumah sakit dengan hati-hati karena

dinding rahim relatif tipis dibandingkan dengan kuretase pada abortus.


Sisa plasenta dapat dikeluarkan dengan manual plasenta. Tindakan ini dapat dilakukan
untuk mengeluarkan sisa plasenta yang tertinggal di dalam rahim setelah plasenta lahir.
Setelah selesai tindakan pengeluaran sisa plasenta, dilanjutkan dengan pemberian obat

uterotonika melalui suntikan atau per oral.

Ekplorasi Cavum Uteri


Indikasi

Persangkaan tertinggalnya jaringan plasenta (plasenta lahir tidak lengkap), setelah operasi
vaginal yang sulit, dekapitasi, versi dan ekstraksi, perforasi dan lain-lain, untuk menetukan
apakah ada rupture uteri. Eksplosi juga dilakukan pada pasien yang pernah mengalami seksio
sesaria dan sekarang melahirkan pervaginam.
Teknik Pelaksanaan
Tangan masuk secara obstetric seperti pada pelepasan plasenta secara manual dan mencari
sisa plasenta yang seharusnya dilepaskan atau meraba apakah ada kerusakan dinding uterus.
untuk menentukan robekan dinding rahim eksplorasi dapat dilakukan sebelum plasenta lahir dan
sambil melepaskan plasenta secara manual.
Manual Plasenta
Dilakukan bila plasenta tidak lahir setelah 1 jam bayi lahir disertai managemen aktif kala
III

Kaji ulang indikasi


Persetujan tindaka medis
Kaji ulang prinsip dasar perawatan dan pasang infus
Berikan sedativa dan analgetik
Berikan antibiotik dosis tunggal (profilaksis), Ampisilin 2 g iv ditambah metronidazol

500mg iv
Pasang sarung DTT
Jepit tali pusat dengan krokher dan tegangan sejajar lantai
Masukan tangan secara obstetrik dengan menelusuri bagian bawah tali pusat (gambar
43.1)
Tangan sebelah menyusuri tali pusat masuk kedalam kavum uteri,sementara itu tangan
yang sebelah lagi menahan fundus uteri,sekaligus untuk mencegah inversio uteri (gambar

43.2)
Dengan baguan lateral jari-jari tangan dicari insersi pingggir plasenta
Buka tangan obstetri menjadi seperti memberi salam,jari-jari dirapatkan
Tentukan implantasi plasenta ,temukan tepi plasenta yang paling bawah
Gerakkan tangan kanan ke kri dan kanan sambil menggeser ke kranial sehingga semua

permukaan maternal plasenta dapat dilepaskan


Jika plasenta tidak dapat dilepaskan dari permukaan uterus,kemungkinan plasenta
akreta,dan siapkan laparatomi untuk histerektomi spravaginal
Pegang plasenta dan keluarkan tangan bersama plasenta
Pindahkan plasenta tangan luar ke suprasimfisis untuk menahan uterus saat plasenta
dikeluarkan

Eksplorasi untuk memastikan tidak ada bagian plasenta yang masih melekat pada dinding
uterus
Beri oksitosin 10 IU dalam 500 ml cairan IV (garam fisiologis atau RL) 60 gtt/menit dan
masase uterus untuk merangsang kontraksi
Jika masih berdarah banyak,beri ergometrin 0,2 mg IM atau prostaglandin
Periksa apakah plasenta lengkap atau tidak,jika tidak eksplorasi kedalam kavum uteri
Periksa dan perbaiki robeka servik.vagina.atau episiotomi
Kuretase
Pilihan utama bagi evakuasi uterus adalah aspirasi vakum manual, dilatasi dan kuretase
dianjurkan apabila aspirasi vakum manual tidak tersedia.
Cara kerja kuretase adalah :

Kaji ulang indikasi


Lakukan konseling dan persetujuan tindakan medis
Persiapkan alat,pasien dan pencegahan infeksi sebelim tindakan
Berikan dukungan emosional.beri petidin 1-2 mg/kg BB IM atau IV sebelum prosedur
Suntikan 10 IU oksitosin IM atau 0.2 mg ergometrin IM sebelim tindakan agar uterus

berkontraksi dan mengurangi resiko perforasi


Lakukan pemeriksaan bimanual untuk menentukan bukaan servik,besar,srah.konsistensi
uterus dan kondisi fornises
Lakukan tindakan aseptik / antiseptik pada vagina dan servik
Periksa apakah ada robekan servik atau hasil konsepsi dikanalis servikalsi.jika
ada,keluarkan dengan cunam ovum
Jepit servik dengan tenakulum pada pukul 11.00-13.00.dapat pula menggunakan cunam
ovum untuk menjepit servik (gambar 34.1)
Jika menggunakan tenakulum,suntikan lignokain 0.5% 1 ml pada bibir depan atau
belakang servik
Dilatasi hanya diperlukan pada missed abortion atau jika sisa hasil konsepsi tertahan di
kavum uteri untu beberapa hari
o Masukkan sendok kuret melalui kanalis servikalis
o Jika diperlukan dilatasi (gambar 34.2) mulai dengan dilator terkecil sampai
kanalis servikalis cukup untuk dilalui sendok kuret (biasanya 10-12mm)
o Hati-hati jangan merobek serviks atau membuat perforasi uterus
Lakukan pemeriksaan kedalaman dan kelengkungan uterus dengan penera kavum uteri

Lakukan kerokkan dinding uterus secara sistematik hingga bersih (terasa seperti
mengenai bagian bersabut) (gambar 34.3)
Lakukan pemeriksaan bimanual untuk menilai basar dan konsistensi uterus
Hasil evakuasi diperiksa dulu dan dikirim kelabor PA

Perawatan pasca tindakan kuretase :


Berikan parasetamol 500mg per oral jika perlu
Segera mobilisasi dan realimentasi
Beri Antibiotik profilaksis,termasuk tetanus profilaksis jika tersedia
Konseling KB
Boleh pulang 1-2 jam pasca tindakan jika tidak terdapat tanda-tanda komplikasi
anjurkan pasien segera kembali ke RS bila terjadi gejala seperti :
o nyeri perut (lebih beberapa hari)
o perdarahan berlanjut
o perdarahan lebih dari haid
o demam
o menggigil
o pingsan
Jika perdarahan berlanjut, lakukan uji pembekuan darah dengan menggunakan suji

pembekuan darah sederhana,kegagalan terbentuknya bekuan darah setelah 7 menit atau


terbentuknya bekuan darah yang lunak yang mudah hancur nenunjukkan adanya kemungkinan
koagulopati.
i. Komplikasi
Perdarahan karena sisa plasenta dapat menyebabkan :
Syok Hipovolemik
Infeksi
Kuratase dapat menyebabkan :
Perdarahan
Perforasi dinding rahim
Infeksi
Gangguan trofoblas akibat sisa plasenta yang ada didinding rahim

BAB III
KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai