Anda di halaman 1dari 8

TUGAS INDIVIDU

BLOK 16
UNIT PEMBELAJARAN 1
SAPI BERMATA KUNING

ANABELLA PURNAMA FIRDAUSYIA


10/296818/KH/6476
KELOMPOK 15

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2013

SAPI BERMATA KUNING


I.

LEARNING OBJECTIVE
1) Sebutkan dan jelaskan penyakit parasit gastrointestinal ruminansia
(Etiologi, Patogenesis, Gejala Klinis, diagnosa, terapi)!
2) Bagaimana menyidik penyakit endemik dalam suatu populasi?

II.

PEMBAHASAN
1) PENYAKIT PARASITIK GASTROINTESTINAL
-Pada SapiA. PROTOZOA
1) Intestinal Coccidiosis
Penyakit ini disebabkan oleh infeksi Eimeria bovis. Cacing ini
berkembang secara aseksual di ileum, kemudian migrasi ke
sekum dan kolon.
Siklus hidup terdiri dari tiga fase. Fase sporulation, infection and
schizogony dan gametogony dan terbentuknya oosista. Pada
oocysta unsporulated terdiri dari protoplasma bernukleus,pada
kondisi yang menguntungkan pada tenperatur 270C akan terjadi
pembelahan dua kali sehingga menjadi 4, setiap nucleus menjadi
sporoblast, setiap sporoblast mengekresikan dinding sel yang
retraktil dan manjadi sporocyst, kemudian menjadi bentukan
seperti pisang manjadi sporozoid. Jadi setiap oocyst terdiri dari
empat sporocysta dan setiap sporocysta terdiri dari sporozoit
yang disebut dengan sporulated oocyst ini merupakan stadium
infektif. Jika sapi memakan pada fase ini maka sporocyst akan
keluar dan sporozoit akan diaktifkan oleh tripsin, setiap sporozoit
akan melakukan penetrasi pada setiap sel yang sering disebut
trophozoit, setelah beberapa hari akan berkembang menjadi
schizont, terdiri dari nucleus yang memanjang yang disebut
merozoit, setelah schizont matang maka merozoit akan keluar,
kemudian berkembang menjadi female and male gametocyte.
Mikrogamet masuk kedalam makrogamet dan kemudian

terbentuk zygot. Protozoa ini memnyebabkan enteritis dan diare


pada infeksi yang berat, schizon terlihat pada central villi
(Griffits, 1978).
Diagnosa tergantung dari gejala klinis infeksi paten terdapat
oocyst pada feses. Pengobatan dapat diberikan sulphadimidin,
secara oral atau parental dan diulang setengah dosis selama 2
hari. Atau kombinasi antara amprolium dan ethopabate atau
decoquinate. Pencegahan dilakukan dengan menejemen yang
bagus pada makanan dan ir yang diminum,dan kandang dijaga
selalu bersih dan kering (Urquhuart,1997).
B. NEMATODA
1) Haemonchosis
Disebabkan oleh nematoda Haemonchus contortus. Cacing ini
mempunyai tempat predileksi pada abomasums. Pada cacing
jantan mempunyai dorsal lobe yang tidak simetris, pada betina
mempunyai vulva lap. Pada cacing betina uterus melilit pada
usus, sehingga jika usus penuh dengan darah akan terlihat
barbers pole (Griffit, 1978).
Siklus hidup cacing ini, yaitu cacing betina bertelur, kemudian
telur akan menetas kemudian menjadi L1 di padang rumput dan
akan berkembang terus sampai L3 selama 5 hari, tapi akan
ditunda dalam beberapa hari atau bulan jika komdisi dingin.
Setelah L3 termakan,maka L3 akan melepaskan selubungnya
dirumen dan melepaskan selubung kedua didekat glandula
gastrik. Cacing mendapatkan darah dengan menusuk pembuluh
dara dari mukusa dengan lanset. Cacing dewasa dapat berpindah
dengan bebas melewati permukaan mukosa dan periode prepaten
2-3

minggu

pada

domba

dan

minggu

pada

sapi

(Bowman,D.1999).
Pathogenesis dari haemonchosis, pada dasarnya terjadi hemoragi
anemia akut yang disebabkan oleh menyedotan darah oleh cacing.
Cacing dapat memakan darah 0,05ml per hari sekali makan. Pada
akut haemonchosis anemia terlihat selama 2 minggu setelah

infeksi dan turunya PCV, hematokrit stabil pada level rendah


menyebabkan

terjadinya

peningkatan

erythropoiesis,

ini

disebabkan oleh hilangnya mineral besi secara terus menerus dan


protein pada saluran gastrointestinal dan nafsu makan berkurang,
kadar hemtokrit juga rendah sampai terjadi kematian.
Gejala klinis pada akut haemonchus ditandai dengan karakteristik
anemia, oedema pada mandibular dan juga terjadi asites, lethargy,
dark colour feses, diare.
Diagnosa dapat dilihat dari gejala klinis, khususnya didukung
dengen pemeriksaan telur. Nekropsi pada abomasums dan
perubahan pada sum-sum tulang , perubahan biasanya tampak
jelas pada keduanya.
Pengobatan dapat dilakukan dengan memberikan benzimidasol,
levamisol, avermectin
Pencegahan dapat dilakukan dengan pemberiah anthelmintel pada
saat musim hujan.
2) Strongyloidiasis
Disebabkan oleh Strongyloides papillosus. Cacing ini dapat
menginfeksi sapi, domba dan kambing.
Betina parasitik bersifat parthenogenesis. Betina akan bertelur
diluar hospes, menetas menjadi L1 L2 L3 (infektif,
filariform). Transimisi

kepada hospes

umumnya

melalui

penetrasi kulit, namun juga bisa karena tertelan L3. Bila tertelan
larva infektif, larva-larva tersebut akan mempenetrasi epitel
buccalis atau oesophagus.
Gejala klinis yang ditunjukkan berupa anorexia, berat badan
turun, diare, dan saat dinekropsi ditemukan erosi epitel usus.
Diagnosanya ialah dengan ditemukannya telur cacing berembrio
atau ditemukannya larva Strongyloides pada feses.
Terapi yang diberikan ialah dengan pemberian Thiabendazole
(Griffits, 1978)
C. CESTODA
1) Monieziasis

Disebabkan oleh Moniezia benedini dengan predileksi pada usus


halus.
Siklus hidupnya, telur yang dikeluarkan oleh proglotid gravid
dimakan oleh kutu oribatid, telur pecah sehingga kutu menelan
oncosfer, kemudian akan berkembang menjadi cacing muda
berupa sistiserkus, dan menjadi cacing dewasa dalam waktu 40
hari setelah kutu tertelan hospes definitifnya.
Infeksi cacing ini dalam jumlah sedikit pada sapi dewasa tidak
membahayakan.
Diagnosanya adalah dengan terlihatnya segmen tubuh cacing
yang seperti beras masak saat diamati dengan mikroskop, atau
terlihatnya telur saat pemeriksaan.
Pengobatannya ialah dengan pemberian 0,5 gm/40-40 kg bb,
Dichlorpen 200-400 mg/kg BB (Griffits, 1978).
D. TREMATODA
1) Paramphistomiasis
Etiologi merupakan penyakit sapi, kerbau, dan domba.
Disebabkan oleh cacing trematoda genus Paramfistomum sp,
Chalicophoron sp, Ceylonocotyle sp, Cotyledophoron sp.
Stadium infektif yang termakan hospes akan mengakibatkan
terjadinya erosi pada mukosa duodenum. Ada infeksi ringan yang
terjadi adalah enteritis yang dikarakteristikkan dengan adanya
udema, hemorraghi.
Gejala klinis Pada intestinal, teramati radang usus diikuti diare,
berbau busuk. Penderita lemah, depresif, dehidrasi dan anoreksia.
Mukoasa pucat dan hipoproteinemia ditandai adanya oedema
submandbula. Pada gastric, menyebabkan kekurusan, anemia,
kekurusan, bulu kusam dan turunya produktifitas. (Levine,1994
dan Subronto, 2004).
Terapi/pengobatan yang diberikan ialah Hexachloroethane
bentonite, tetrachlorethilene, hexachlorophene (Griffits, 1978).
-Pada Kambing/DombaA. PROTOZOA

1) Coccidioisis
Disebabkan protozoa Eimeria parva, Eimeria ovina. Menyerang
usus halus, sekum, dan kolon. Siklus hidup, patogenesis, dan
pengobatan sama dengan coccidiosis pada sapi akibat infeksi
Eimeria sp. (Griffits, 1978).
B. NEMATODA
Infeksi Haemonchus contortus,

Strongyloides

papillosus,

Trichostrongylus spp.
C. CESTODA
1) Monieziasis
Disebabkan oleh Moniezia expansa dengan predileksi pada usus
halus.
Siklus hidupnya, telur yang dikeluarkan oleh proglotid gravid
dimakan oleh kutu oribatid, telur pecah sehingga kutu menelan
oncosfer, kemudian akan berkembang menjadi cacing muda
berupa sistiserkus, dan menjadi cacing dewasa dalam waktu 40
hari setelah kutu tertelan hospes definitifnya.
Infeksi cacing ini dalam jumlah besar pada domba dapat
menyebabkan diare, anoreksia, pertumbuhan terhambat, dan
penurunan produksi wool.
Diagnosa dan pengobatan yang diberikan sama dengan infeksi
pada sapi (Griffits, 1978).
D. TREMATODA
1) Cotylophoron sp
Sama seperti infeksi Paramphistomum sp pada sapi
2) MENYIDIK PENYAKIT ENDEMIK
Suatu wabah dapat terbatas pada lingkup kecil tertentu (disebut outbreak,
yaitu serangan penyakit), lingkup yang lebih luas (epidemi) atau bahkan
lingkup global (pandemi). Suatu infeksi dikatakan sebagai endemik pada
suatu populasi jika infeksi tersebut berlangsung di dalam populasi
tersebut tanpa adanya pengaruh dari luar.
Suatu infeksi penyakit dikatakan sebagai endemik bila setiap orang atau
hewan yang terinfeksi penyakit tersebut menularkannya kepada tepat satu

orang lain (secara rata-rata). Bila infeksi tersebut tidak lenyap dan jumlah
orang atau hewan yang terinfeksi tidak bertambah secara eksponensial,
suatu infeksi dikatakan berada dalam endemic steady state. Suatu infeksi
yang dimulai sebagai suatu epidemi pada akhirnya akan lenyap atau
mencapai keadaan endemik, bergantung pada sejumlah faktor, termasuk
virulensi dan cara penularan penyakit bersangkutan.
Fasciolosis adalah penyakit cacing penting yang disebabkan oleh dua
trematoda Fasciola hepatica dan Fasciola gigantica. Penyakit ini
disebabkan oleh trematoda yang bersifat zoonosis. F. hepatica adalah ini
menimbulkan banyak kekhawatiran, karena distribusi dari kedua inang
definitif cacing sangat luas dan mencakup mamalia herbivora, termasuk
manusia Siklus hidup termasuk siput air tawar sebagai hospes perantara
parasit.
Fasciola gigantica

merupakan satu-satunya cacing trematoda di

Indonesia yang menyebabkan infeksi fasciolosis pada hewan ruminansia.


Prevalensi penyakit ini pada sapi di beberapa daerah di Indonesia, seperti
di Jawa Barat dapat mencapai 90% dan di Daerah Istimewa Yogyakarta
kasus kejadiannya antara 40-90%, sedangkan prevalensi penyakit ini
pada domba belum diketahui. Penyakit ini sangat merugikan karena
dapat menyebabkan penurunan bobot hidup, penurunan produksi,
pengafkiran organ tubuh terutama hati sehingga hati terbuang percuma,
bahkan dapat menyebabkan kematian. Di Indonesia, secara ekonomi
kerugiannya dapat mencapai Rp. 513,6 milyar/tahun. Dari berbagai
hewan ruminansia yang ada di Indonesia dilaporkan bahwa domba ekor
tipis merupakan domba yang resisten terhadap infeksi fasciolosis dan
daya resistensi tersebut dapat diturunkan secara genetik.
Pengaruh ekonomi dari fasciolosis pada domba terdiri dalam kematian
mendadak hewan serta dalam pengurangan berat badan dan produksi
wol. Pada kambing dan sapi, manifestasi klinis mirip dengan domba.
Dalam hal ini penyakit mirip dengan domba dan ditandai oleh penurunan
berat badan, anemia, hipoalbuminemia dan (setelah infeksi dengan
10.000 metaserkaria) kematian (Arifin, 2006).

Ada 10 langkah penyidikan kasus endemic :


1. Identifikasi masalah
2. Menyatakan tujuan
3. Pemilihan jenis kajian
4. Perencanaan sampel
5. Rencana koleksi dan pengelolaan data
6. Pemilihan pengujian diagnostik
7. Rencana analisis
8. Rencana administrasi
9. Implementasi penyidikan
10. Pelaporan (Budiharta,S.2011.)
III.

DAFTAR PUSTAKA
Bowman,D.1999. Parasitology For Veterinarians. USA: Elsevier
Griffits. 1978. A Handbook of Veterinary Parasitology. Minnesota University
Press.
Levine, N.D. 1994. Parasitologi Veteriner. Gadjah Mada University Press:
Yogyakarta
Urquhuart, G.M., Duncan, J.L. 1997. Life Cycle of Fasciola hepatica.
Veterinary Parasitology.2nded. New York.

Anda mungkin juga menyukai