Anda di halaman 1dari 18

1

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Solusio plasenta adalah terlepasnya plasenta sebagian atau seluruhnya dari
tempat implantasinya sebelum janin lahir yang implantasinya di atas 22 minggu.
Terdapat beberapa istilah untuk penyakit ini yaitu solutio placentae, abruptio placentae,
ablatio placentae, dan accidental hemorrhage. Istilah atau nama lain yang lebih
deskriptif adalah premature separation of the normally implanted placenta (pelepasan
dini uri yang implantasinya normal) (Sarwono, 2014).
Plasenta normalnya terlepas setelah anak lahir, pelepasan plasenta sebelum
minggu ke-22 disebut abortus. Bila terjadi dibawah kehamilan 20-minggu gejala
kliniknya serupa dengan abortus iminens. Perdarahan akibat solusio plasenta biasanya
merembes diantara selaput ketuban dan uterus, kemudian keluar melalui serviks,
menyebabkan

perdarahan

eksternal

(revealed

hemorrhage).

Secara

definitif

diagnosisnya baru bisa ditegakkan setelah partus jika terdapat hematoma pada
permukaan maternal plasenta (Sulaiman, 2005).
Solusio plasenta merupakan salah satu penyebab perdarahan antepartum yang
memberikan kontribusi terhadapa kematian maternal dan perinatal di Indonesia.
Terdapat faktor-faktor lain yang memegang peranan penting yaitu kekurangan gizi,
anemia, paritas tinggi, dan usia lanjut pada ibu hamil. Di negara yang sedang
berkembang penyebab kematian yang disebabkan oleh komplikasi kehamilan,
persalinan, nifas atau penanganannya adalah perdarahan, infeksi, preeklamsi atau
eklamsi. Selain itu kematian maternal juga dipengaruhi faktor-faktor reproduksi ialah
ibu hamil dan paritas (Cunningham, 2005
Terkadang darah tidak keluar tetapi tertahan di antara plasenta yang terlepas dan
uterus, serta menyebabkan perdarahan tersembunyi (concealed hemorrhage). Solusio
plasenta dapat total atau parsial. Solusio plasenta sebenarnya lebih berbahaya daripada
plasenta previa bagi ibu hamil dan janinnya. Pada perdarahan tersembunyi (concealed
hemorrhage) yang luas di mana perdarahan retroplasenta yang banyak dapat
mengurangi sirkulasi utero-plasenta dan menyebabkan hipoksia janin. Di samping itu,

pembentukan hematoma retroplasenta yang luas bisa menyebabkan koagulopati


konsumsi yang fatal bagi ibu (Sarwono, 2014).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Solusio plasenta adalah terlepasnya sebagian atau seluruh permukaan
maternal plasenta dari tempat implantasinya yang normal pada lapisan desidua
endometrium sebelum waktunya yakni sebelum anak lahir (Sarwono, 2014).

Gambar 2.1 Solusio Plasenta (Placental Abruption)


Definisi ini berlaku pada kehamilan dengan masa gestasi di atas 22
minggu atau berat janin diatas 500 gram. Proses solusio plasenta dimulai dengan
terjadinya perdarahan dalam desibua basalis yang menyebabkan hematoma
retroplasenter (Sarwono, 2014).
2.2 Epidemiologi
Solusio plasenta terjadi sekitar 1% dari semua kehamilan di seluruh
dunia. Melihat latar belakang yang sering dianggap sebagai faktor risiko
diyakini bahwa insidensi solusio plasenta semakin menurun dengan semakin
baiknya perawatan antenatal sejalan dengan semakin menurunnya jumlah ibu
hamil usia dan paritas tinggi dan membaiknya kesadaran masyarakat berperilaku
lebih higienis. Dalam kepustakaan dilaporkan insiden solusio plasenta 1 dalam
155 sampai 1 dalam 225 persalinan (yang berarti <0,5%) di negara-negara Eropa
untuk solusio plasenta yang tidak sampai mematikan janin. Untuk solusio yang
lebih berat sampai mematikan janin insidennya lebih rendah 1 dalam 1.550
persalinan (1988-1999). Namun insidensi solusio plasenta diyakini masih tinggi
di negara berkembang seperti Indonesia dibanding dengan negara maju
(Sarwono, 2014).

Solusio plasenta merupakan salah satu penyebab perdarahan antepartum


yang memberikan kontribusi kematian maternal dan perinatal di Indonesia. Pada
tahun 1988 kematian maternal di Indonesia diperkirakan 450 per 100.000
kelahiran hidup. Angka tersebut tertinggi di ASEAN (5-142 per 100.000 kali
lebih tinggi dari angka kematian maternal di negara maju (Cunningham, 2005).
Kejadian solusio plasenta sangat bervariasi dari 1 di antara 75 sampai
830 persalinan dan merupakan penyebab dari 20-35% kematian perinatal.
Walaupun angka kejadian cenderung menurun pada akhir-akhir ini namun
morbiditas perinatal masih cukup tinggi, termasuk gangguan neurologis pada
tahun pertama kehidupan. Solusio plasenta sering berulang pada kehamilan
berikutnya. Kejadiannya tercatat sebesar 1 di antara 8 kehamilan (Sulaiman,
2005).
2.3 Etiologi
Penyebab primer dari solusio plasenta tidak diketahui, tetapi terdapat
beberapa keadaan patologik yang terlihat lebih sering bersama dengan atau
menyertai solusio plasenta dan dianggap sebagai faktor resiko. Usia ibu dan
paritas yang tinggi berisiko lebih tinggi. Perbedaan suku kelihatan berpengaruh
pada risiko. (Sarwono, 2014)
a. Hipertensi essensial atau pre-eklampsi, karena desakan darah tinggi, maka
pembuluh darah mudah pecah, kemudian terjadi hematom retropalsenta yang
dapat menyebabkan sebagian plasenta dapat terlepas.
b. Trauma dapat menyebabkan tarikan pada tali pusat yang pendek akibat
pergerakan janin yang banyak atau bebas, versi luar, atau pertolongan
persalinan
c. Anemia
d. Adanya tekanan pada uterus yang biasanya di dapati pada keadaan
polihidramnion ataupun setelah melahirkan kembar yang pertama (Hanretty,
2003).
Disamping itu ada juga pengaruh dari umur lanjut karena makin lanjut
umur

maka

kemungkinan

mendapatkan

arteriosklerosis

makin

besar,

multiparitas dimana didapatkan lebih banyak terjadi pada multigravida daripada


primigravida, ketuban pecah sebelum waktunya, defisiensi asam folat, merokok
dapat menyebabkan nekrosis dari lamina basalis, kokain dapat menyebabkan
vasospasme dan hipertensi, mioma uteri (Hanretty, 2003).

Kondisi yang paling sering berkaitan adalah beberapa tipe hipertensi,


antara lain mencakup pre-eklampsia, hipertensi gestasional, atau hipertensi
kronik. Pada studi terdahulu di Parkland Hospital terdapat 408 kasus solusio
plasenta yang sedemikian berat sehingga mematikan janin, hipertensi ibu
dijumpai pada sekitar separuh wanita. Separuhnya mengidap hipertensi kronik
dan sisanya menderita hipertensi gestasional dan pre-eklampsia. Beberapa
penelitian mendapatkan bahwa wanita hipertensi cenderung mengalami solusio
yang lebih berat (Cunningham, 2005).
2.4 Klasifikasi
Trijatmo Rachimhadhi (2002) membagi solusio plasenta menurut derajat
pelepasan plasenta:
a Solusio plasenta totalis, plasenta terlepas seluruhnya.
b Solusio plasenta partialis, plasenta terlepas sebagian.
c Ruptura sinus marginalis, sebagian kecil pinggir plasenta yang terlepas.
Pritchard JA (2001) membagi solusio plasenta menurut bentuk perdarahan:
a
b

Solusio plasenta dengan perdarahan keluar


Solusio plasenta dengan perdarahan tersembunyi, yang membentuk

hematoma retroplacenter
c Solusio plasenta yang perdarahannya masuk ke dalam kantong amnion .
Sarwono (2014) mengklasifikasikan solusio plasenta menurut tingkat gejala
klinisnya, yaitu:
a Ringan : perdarahan kurang 100-200 cc, uterus tidak tegang, belum ada
tanda renjatan, janin hidup, pelepasan plasenta kurang 1/6 bagian
b

permukaan, kadar fibrinogen plasma lebih 150 mg%.


Sedang : Perdarahan lebih 200 cc, uterus tegang, terdapat tanda pre
renjatan, gawat janin atau janin telah mati, pelepasan plasenta 1/4-2/3

bagian permukaan, kadar fibrinogen plasma 120-150 mg%.


Berat : Uterus tegang dan berkontraksi tetanik, terdapat tanda renjatan,
janin mati, pelepasan plasenta dapat terjadi lebih 2/3 bagian atau
keseluruhan.

2.5 Patofisiologi
Solusio plasenta dimulai dengan terjadinya perdarahan ke dalam desidua
basalis dan terbentuknya hematom subkhorionik yang dapat berasal dari
pembuluh darah miometrium atau plasenta, dengan berkembangnya hematom
subkhorionik terjadi penekanan dan perluasan pelepasan plasenta dari dinding

uterus. Biasanya perdarahan akan berlangsung terus-menerus atau tidak


terkontrol karena otot uterus tidak mampu berkontraksi untuk membantu dalam
menghentikan perdarahan yang terjadi. Hematom ini semakin membesar dan
menekan jaringan plasenta sehingga bagian plasenta yang terlepas juga semakin
besar. Akhirnya hematom mencapai pinggir plasenta dan mengalir keluar antara
selaput janin dan dinding rahim. Darah dapat berada diantara desidua dan
membran yang dapat keluar melalui serviks kemudian ke vagina (pardarahan
eksternal). Jika ektravasasi darah masuk hingga miometrium dan bagian bawah
dari serosa bahkan sampai pada ligamentum latum dan melalui tuba masuk ke
rongga panggul dapat menyebabkan couvelaire uterus yakni uterus dengan darah
yang gelap kebiru-biruan, selain itu dapat menyebabkan perdarahan postpartum
karena gangguan kontraksi uterus. Akibat gangguan kontraksi pada uterus dan
bekuan retroplasenter menyebabkan pelepasan tromboplastin yang banyak ke
dalam peredaran darah ibu, sehingga berakibat pembekuan intravaskuler
dimana-mana yang akan menghabiskan sebagian besar persediaan fibrinogen.
Akibatnya ibu jatuh pada keadaan hipofibrinogenemia. Pada keadaan
hipofibrinogenemia ini terjadi gangguan pembekuan darah yang tidak hanya di
uterus, tetapi juga pada alat-alat tubuh lainnya (Yayan, 2008; Elsevier
Science:2005).
Besarnya permukaan plasenta yang menjadi terpisah dari suplai darah
ibu menentukan gambaran klinis dengan mempengaruhi jumlah kehilangan
darah akut dari ibu dan penurunan suplai oksigen ke janin, menyebabkan gawat
janin atau kematian. Pasien dengan perdarahan yang sedikit mungkin belum
menimbulkan gejala pada awalnya. Kejadian baru diketahui setelah plasenta
lahir, yang pada pemeriksaan plasenta didapatkan cekungan pada permukaan
maternalnya dengan bekuan darah lama yang berwarna kehitaman. Darah pada
desidua basalis hasil dari pelepasan plasenta menyebabkan hipoksia pada janin
sedangkan darah pada lapisan serosa rahim dapat menyebabkan Couvelair
Uterus. Awalnya perdarahan di dalam desidua basalis terjadi karena pecahnya
arteri kecil pada lapisan desidua ibu disertai pembentukan hematoma sehingga
menyebabkan nekrosis lokal. Tekanan yang dihasilkan oleh perdarahan
menyebabkan plasenta terlepas. Pada kebanyakan pasien, perdarahan dari
pemisahan plasenta meluas ke tepi plasenta kemudian dapat terjadi pecahnya

selaput ketuban dan darah masuk ke dalam cairan amnion atau kasus yang lebih
sering terjadi adalah darah berada di antara korion dan desidua vera kemudian
mencapai ostium interna serviks dan vagina sehingga terjadi perdarahan ekternal
(revealed hemorrhage). Jika lapisan marginal plasenta tetap melekat pada uterus
disertai letak kepala janin pada segmen bawah uterus, hal ini dapat
menyebabkan perdarahan yang tersembunyi (conceled hemorrhage). Banyaknya
darah yang keluar melalui vagina hanya sebagian kecil dari total perdarahan
yang terjadi di dalam uterus (Yayan, 2008; Lami, 2008).
Perdarahan pada solusio plasenta bisa mengakibatkan darah hanya ada di
belakang plasenta (hematoma retroplasenter); darah tinggal saja di dalam rahim
yang disebut internal hemorage (concealed haemorage); masuk merembes ke
dalam amnion; atau keluar melalui vagina (antara selaput ketunban dan dinding
uterus), yang disebut external haemorage (revealed haemorage) (Lami, 2008).
2.6 Gambaran Klinis
Gambaran klinis penderita solusio plasenta bervariasi sesuai dengan berat
ringannya atau luas permukaan maternal plasenta yang terlepas (Sarwono,
2014).
a. Solusio Plasenta Ringan
Solusio plasenta ringan ini disebut juga ruptura sinus marginalis,
dimana terdapat pelepasan sebagian kecil plasenta yang tidak berdarah
banyak. Apabila terjadi perdarahan pervaginam, warnanya akan kehitamhitaman dan sedikit sakit. Perut terasa agak sakit, atau terasa agak tegang
yang sifatnya terus menerus. Walaupun demikian, bagian-bagian janin
masih mudah diraba. Uterus yang agak tegang ini harus selalu diawasi,
karena dapat saja menjadi semakin tegang karena perdarahan yang
berlangsung. Salah satu tanda yang menimbulkan kecurigaan adanya solusio
plasenta ringan ini adalah perdarahan pervaginam yang berwarna kehitamhitaman.
b. Solusio Plasenta Sedang
Dalam hal ini plasenta telah terlepas lebih dari satu per empat bagian,
tetapi belum dua per tiga luas permukaan. Tanda dan gejala dapat timbul
perlahan-lahan seperti solusio plasenta ringan, tetapi dapat juga secara
mendadak dengan gejala sakit perut terus menerus, yang tidak lama
kemudian disusul dengan perdarahan pervaginam. Walaupun perdarahan

pervaginam dapat sedikit, tetapi perdarahan sebenarnya mungkin telah


mencapai 1000 ml. Ibu mungkin telah jatuh ke dalam syok, demikian pula
janinnya yang jika masih hidup mungkin telah berada dalam keadaan gawat.
Dinding uterus teraba tegang terus-menerus dan nyeri tekan sehingga
bagian-bagian janin sukar untuk diraba. Apabila janin masih hidup, bunyi
jantung sukar didengar. Kelainan pembekuan darah dan kelainan ginjal
mungkin telah terjadi, walaupun hal tersebut lebih sering terjadi pada
solusio plasenta berat.
c. Solusio Plasenta Berat
Plasenta telah terlepas lebih dari dua per tiga permukaannnya. Terjadi
sangat tiba-tiba. Biasanya ibu telah jatuh dalam keadaan syok dan janinnya
telah meninggal. Uterusnya sangat tegang seperti papan dan sangat nyeri.
Perdarahan pervaginam tampak tidak sesuai dengan keadaan syok ibu,
terkadang perdarahan pervaginam mungkin saja belum sempat terjadi. Pada
keadaan-keadaan di atas besar kemungkinan telah terjadi kelainan pada
pembekuan darah dan kelainan atau gangguan fungsi ginjal
2.7 Diagnosis
Rustam (2011) menyatakan bahwa diagnosis solusio plasenta dapat ditegakkan
dengan melakukan:
a. Anamnesis
1. Terdapat perdarahan disertai rasa nyeri, terjadi spontan atau trauma.
Kadang-kadang pasien bisa melokalisir tempat mana yang paling sakit,
dimana plasenta terlepas.
2. Perut terasa nyeri diikuti penurunan atau terhentinya gerakan janin dalam
rahim.
3. Kepala terasa pusing, lemas, muntah, pucat, pandangan berkunangkunang.
b. Pemeriksaan Fisik
1. Pemeriksaan fisik umum: keadaan penderita tidak sesuai dengan jumlah
perdarahan, tekanan darah menurun, nadi dan pernapasan meningkat,
penderita tampak anemis.
2. Inspeksi
a. Pasien gelisah
b. Pucat, sianosis, keringat dingin
c. Perdarahan pervaginam
3. Palpasi

a. Fundus uteri tampak naik karena terjadi hematoma retroplasenter;


uterus tidak sesuai dengan tuanya kehamilan.
b. Uterus teraba tegang dan keras seperti papan yang disebut uterus in
bois (wooden uterus) baik waktu his maupun diluar his.
c. Nyeri tekan terutama di tempat plasenta terlepas.
d. Bagian-bagian janin sulit teraba, karena uterus tegang.
4. Auskultasi
Denyut jantung bayi bervariasi dari asfiksia ringan sampai berat. Bila
denyut jantung janin terdengar biasanya diatas 140/menit, kemudian
menurun dibawah 100 dan akhirnya hilang bila plasenta yang terlepas
lebih dari sepertiga.
5. Pemeriksaan Dalam
Serviks dapat terbuka atau masih tertutup. Terdapat pembukaan, ketuban
tegang dan menonjol baik sewaktu his maupun diluar his (Manuaba et
al., 2010).
6. Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan ultrasonographic (USG), perdarahan akut
dapat terlihat hiperechoic atau isoechoic sama dengan warna plasenta.
Lebih dari 1 minggu hematoma menjadi hipoechoic. Untuk itu dalam
mendiagnosis dibutuhkan pemeriksaan USG beberapa kali, disamping itu
pemeriksaan USG digunakan untuk menyingkirkan kemungkinan adanya
plasenta previa. Hematoma preplasenta dapat terlihat mengapung pada
cairan amnion saat menahan pasenta. USG dapat menunjukkan banyak
perdarahan, hiphoechoic atau hiperechoic (tergantung stadiumnya)
perdarahan retroplasenta dan elevasi plasenta dari dinding uterus akan
tampak.

Pemeriksaan

USG

dapat

memperlihatakan

perdarahan

retroplasenta diantara plasenta dan miometrium (Pamela,2001; Lami,


2008).

10

Gambar 2.2 Ultrasonografi kasus solusio plasenta

2.8 Diagnosis Banding


a. Plasenta Previa
Plasenta Previa adalah keadaan dimana plasenta berimplantasi pada
tempat abnormal, yaitu pada segmen bawah rahim sehingga menutupi
sebagian atau seluruh pembukaan jalan lahir (ostium uteri internal).
Klasifikasi antara lain adalah plasenta previa totalis, plasenta previa
parsialis, dam plasenta previa marginalis (Manuaba, 2010).

Gambar 2.3 Solusio plasenta dan plasenta previa


Gejala Klinis dari plasenta previa ialah perdarahan pada kehamilan diatas
20 minggu, tanpa nyeri (painless), dan berulang (recurrent). Sebab
perdarahan ialah karena ada plasenta yang robek yang berada pada segmen
bawah rahim. Perdarahan bergantung pada banyak pembuluh darah yang
robek dan plasenta yg lepas. Pada sebagian kasus, terutama pada mereka

11

yang plasentanya tertanam dekat tetapi tidak menutupi ostium serviks,


perdarahan mungkin belum terjadi sampai persalinan dimulai. Perdarahan ini
bervariasi dari ringan sampai berat dan dapat menyerupai solusio plasenta
(Cunningham, 2006; Manuaba et al. 2010).
Mendiagnosis plasenta previa selalu harus dibandingkan dengan solusio
plasenta karena keduanya merupakan jenis perdarahan pada paruh terakhir
kehamilan. Untuk mendiagnosis dapat dilakukan anamnesis, pemeriksaan
luar yang menunjukkan terdapat kelaianan letak plasenta, inspekulo, dan
USG. Kemungkinan plasenta previa tidak boleh disingkirkan sampai
pemeriksaan sesuai termasuk USG, jelas membuktikan bahwa itu bukan
plasenta previa. Diagnosis plasenta previa jarang dapat dipastikan dengan
pemeriksaan klinis. Dengan USG dapat terlihat jelas lokasi implantasi
plasenta, sehingga dengan USG dapat dipastikan diagnosis plasenta previa.
Pemakaian USG transvaginal mampu melakukan visualisasi ostium serviks
pada semua kasus (Rustam, 2011).
Tabel 2.1 Diagnosis banding antara plasenta previa dan solusio plasenta
No

Perbedaan

Plasenta previa

Solusio plasenta

1.

Nyeri & perdarahan

2.

Warna darah

Perdarahan mendadak
tanpa nyeri
Merah segar

Nyeri mendadak di
daerah uterus
Merah tua kehitaman

3.

Keadaan umum

Sesuai dengan
perdarahan yang
terlihat

4.

Uterus

Lebih buruk dari


perdarahan
yang
terlihat
Tegang dan nyeri

5.

Letak janin

6.

Perabaan forniks

Lemas
Biasanya normal
Biasanya ada kelainan
letak
Lunak

Keras

b. Ruptur Uteri
Ruptur uteri atau robekan uterus merupakan peristiwa yang sangat
berbahaya, yang umumnya terjadi pada persalinan, kadang-kadang juga pada
kehamilan tua. Robekan pada uterus dapat ditemukan untuk sebagian besar
pada bagian bawah uterus. Peregangan berlebihan segmen bawah uterus
(SBR) disertai pembentukan cincin retraksi patologis pada rupture uteri.

12

Ruptur uteri yang sebelumnya utuh saat persalinan paling sering mengenai
SBR yang menipis. Robekan apabila terletak dekat dengan serviks, sering
meluas secara melintang atau oblik (Cunningham, 2006).
Gejala klinis dari ruptur uteri ialah rasa nyeri yang luar biasa saat
datangnya his, terlihat tanda-tanda syok hipovolemia, pernapasan dangkal
dan cepat, karena partus lama terjadi menyebabkan dehidrasi, tampak
lingkaran retraksi patologis Bandl. Setelah terjadinya ruptur uteri biasanya
rasa nyeri menghilang sementara dan setelah itu penderita mengeluh adanya
rasa nyeri yang merata disertai dengan gawat janin, bagian terendah janin
mudah di dorong ke atas, bagian janin mudah diraba dengan palpasi
abdomen, dan countour janin terlihat melalui inspeksi abdomen. Pada ruptur
uteri jika dilakukan pemeriksaan dalam (vaginal toucher) kadang-kadang
kita dapat meraba robekan di dinding uterus yang dapat dilewati oleh jari
untuk mencapai rongga peritoneum. Tidak terdeteksinya robekan bukan
berarti bahwa tidak terjadi ruptur uteri (Cunningham, 2006; Rustam, 2011).
2.9 Penatalaksanaan
a. Solusio plasenta ringan
Bila usia kehamilan kurang dari 36 minggu dan bila ada perbaikan
(perdarahan berhenti, perut tidak sakit, uterus tidak tegang, janin hidup)
dengan tirah baring dan observasi ketat, kemudian tunggu persalinan spontan
(Sarwono, 2014).
Bila ada perburukan (perdarahan berlangsung terus, gejala solusio
plasenta makin jelas, pada pemantauan dengan USG daerah solusio plasenta
bertambah luas), maka kehamilan harus segera diakhiri. Bila janin hidup,
lakukan seksio sesaria, bila janin mati lakukan amniotomi disusul infus
oksitosin untuk mempercepat persalinan. Penanganan perdarahan yang
berhenti dan keadaan yang baik pada kehamilan prematur dilakukan di
rumah sakit (Sarwono, 2014; Manuaba et al. 2010).
b. Solusio plasenta sedang dan berat
Apabila tanda dan gejala klinis solusio plasenta jelas ditemukan,
penanganan di rumah sakit meliputi transfusi darah, amniotomi, infus
oksitosin dan jika perlu seksio sesaria. Apabila diagnosis solusio plasenta
dapat ditegakkan berarti perdarahan telah terjadi sekurang-kurangnya 1000
ml. Maka transfusi darah harus segera diberikan. Amniotomi akan

13

merangsang persalinan dan mengurangi tekanan intrauterin. Pemberian infus


oksitosin umumnya kontraksi akan mulai dirasakan dalam waktu 30 menit
setelah infus. Pada waktu pemberian infus oksitosin bila ternyata kemudian
persalinan berlangsung, maka infus oksitosin dilanjutkan sampai pembukaan
lengkap. Segera setelah kala dua dimulai, maka tetesan infus oksitosin
dipertahankan dan ibu dipimpin mengejan atau dibimbing dengan persalinan
buatan sesuai dengan indikasi yang ada pada waktu itu. Tetapi bila setelah 68 jam belum juga ada kemajuan maka infus oksitosin harus segera
dihentikan dan kehamilan segera diselesaikan dengan seksio sesaria. Oleh
karena itu penanganan solusio plasenta sedang dan berat harus dilakukan di
rumah sakit dengan fasilitas yang mencukupi (Sarwono, 2014; Manuaba et
al. 2010).
Setiap pasien yang dicurigai solusio plasenta harus dirujuk ke spesialis
karena memerlukan monitoring yang lengkap baik dalam kehamilan maupun
persalinan. Dalam melakukan rujukan diberikan pertolongan darurat
(Manuaba, et al. 2010):
1. Pemasangan infus
2. Tanpa melakukan pemeriksaan dalam
3. Diantar petugas yang dapat memberikan pertolongan
4. Memepersiapkan donor dari masyarakat atau keluarganya
5. Menyertakan keterangan tentang apa yang telah dilakukan untuk
memberikan pertolongan pertama.
2.10

Komplikasi
Komplikasi solusio plasenta berasal dari perdarahan retroplasenta yang terus
berlangsung sehingga menimbulkan berbagai akibat pada ibu seperti (Sarwono,
2014):
a. Anemia
b. Syok hipovolemik
c. Insufisiensi fungsi plasenta
d. Gangguan pembekuan darah
e. Gagal ginjal mendadak
Kegagalan pembekuan darah (coagulation failure), pada kasus yang berat dan
perdarahan tersembunyi dapat terjadi. Gangguan pembekuan darah harus segera
ditangani sebelum proses persalinan dilakukan. Transfusi dengan whole blood
adalah pilihan terbaik, fresh frozen plasma dan konsentrasi platelet dapat
diindikasikan (Hanretty, 2003).

14

Kerusakan ginjal, syok hipovolemik yang berat dapat menyebabkan gagal


ginjal dengan diawali hemoglobinuria, kemudian oliguria atau anuria. Hal ini
dapat merusak tubulus ginjal atau nekrosis pada korteks ginjal. Untuk itu pada
kasus solusio plasenta yang berat harus dilakukan monitoring pengeluaran urine
secara cermat. Pre-eklampsia sering menyertai solusio plasenta, vasospasme ginjal
kemungkinan besar makin intensif. Bahkan apabila solusio plasenta disertai
penyulit koagulasi intravaskular berat, terapi perdarahan secara dini dan agresif
dengan darah dan kristaloid sering dapat mencegah disfungsi ginjal yang
bermakna secara klinis. Atas alasan yang tidak diketahui, proteinuria sering
dijumpai, terutama pada solusio plasenta yang berat. Proteinuria ini biasanya
mereda segera setelah kelahiran (Sarwono, 2014).
Komplikasi pada janin. Perdarahan yang tertimbun di belakang plasenta
mengganggu sirkulasi dan nutrisi ke arah janin sehingga dapat menimbulkan
asfiksia ringan sampai berat dan kematian dalam rahim. Komplikasi lain yang
dapat

terjadi

diantaranya

fetal

distress,

gangguan

pertumbuhan

atau

perkembangan janin, dan anemia (Manuaba et al. 2010).


2.11Prognosis
Solusio plasenta mempunyai prognosis yang buruk bagi ibu hamil dan lebih
buruk lagi bagi janin jika dibandingkan dengan plasenta previa. Solusio plasenta
ringan masih mempunyai prognosis yang baik bagi ibu dan janin karena tidak ada
kematian dan morbiditasnya rendah. Solusio plasenta sedang mempunyai
prognosis yang lebih buruk terutama terhadap janinnya karena mortalitas dan
morbiditas perinatal yang tinggi disamping morbiditas ibu, yang lebih berat.
Solusio plasenta berat mempunyai prognosis paling buruk baik terhadap ibu lebihlebih terhadap janinnya. Umumnya pada keadaan yang demikian janin telah mati
dan mortalitas maternal meningkat akibat salah satu komplikasi. Pada solusio
plasenta sedang dan berat prognosisnya juga bergantung pada kecepata dan
ketepatan bantuan medik yang diperoleh pasien. Transfusi darah yang banyak
dengan segera dan terminasi kehamilan tepat waktu sangat menurunkan
morbiditas dan mortalitas maternal dan perinatal (Sarwono, 2014).

15

Mortalitas terhadap ibu terjadi karena adanya perdarahan sebelum dan sesudah
partus, kerusakan organ terutama nekrosis korteks ginjal dan infeksi. Pada
perdarahan eksternal, resiko yang terjadi pada ibu bergantung pada banyaknya
darah yang hilang, namun kematian ibu jarang terjadi. Pada perdarahan yang
tersembunyi, prognosisnya sulit diperkirakan. Faktor komplikasi bertanggung
jawab atas peningkatan kematian ibu. Penanganan yang baik terhadap syok,
kegagalan koagulasi dan gangguan ginjal, dapat menurunkan kematian ibu.
Mortalitas terhadap anak lebih tinggi, hal ini bergantung pada pelepasan dari
plasenta, bila yang terlepas lebih dari 1/3 maka kemungkinan kematian anak
100%. Selain itu juga bergantung pada prematuritas dan tindakan persalinan. Pada
perdarahan eksternal kematian janin mencapai 25-30% dan pada perdarahan
tersembunyi mencapai 50-100%. Kematian disertai dengan prematuritas dan
anoxia karena pelepasan plasenta (Rustam, 2011).

16

BAB III
KESIMPULAN
Solusio plasenta adalah terlepasnya plasenta sebagian atau seluruhnya dari
tempat implantasinya yang normal pada lapisan desidua endometrium sebelum janin
lahir yang implantasinya di atas 22 minggu. Solusio plasenta terjadi sekitar 1% dari
semua kehamilan di seluruh dunia. Kejadian solusio plasenta sangat bervariasi dari 1 di
antara 75 sampai 830 persalinan dan merupakan penyebab dari 20-35% kematian
perinatal. Solusio plasenta sering berulang pada kehamilan berikutnya. Kejadiannya
tercatat sebesar 1 di antara 8 kehamilan. Penyebab primer dari solusio plasenta tidak
diketahui, tetapi terdapat beberapa keadaan patologik yang terlihat lebih sering bersama
dengan atau menyertai solusio plasenta dan dianggap sebagai faktor resiko. Kondisi
yang paling sering berkaitan adalah beberapa tipe hipertensi, antara lain mencakup preeklampsia, hipertensi gestasional, atau hipertensi kronik.
Ada beberapa klasisfikasi pada solusio plasenta, diantaranya: klasifikasi menurut
derajat pelepasan plasenta (solusio plasenta totalis, solusio plasenta partialis, ruptura
sinus marginalis), klasifikasi solusio plasenta menurut bentuk perdarahan (solusio
plasenta dengan perdarahan keluar, solusio plasenta dengan perdarahan tersembunyi,
solusio plasenta yang perdarahannya masuk ke dalam kantong amnion), solusio plasenta
menurut tingkat gejala klinisnya (solusio plasenta ringan, sedang dan berat).
Solusio plasenta dimulai dengan terjadinya perdarahan ke dalam desidua basalis
dan terbentuknya hematom subkhorionik yang dapat berasal dari pembuluh darah
miometrium atau plasenta, dengan berkembangnya hematom subkhorionik terjadi
penekanan dan perluasan pelepasan plasenta dari dinding uterus. Diagnosis ditegakkan
dengan melakukan anamnesis (nyeri perut, perdarahan pervaginam), pemeriksaan fisik
(tekanan darah menurun, nadi dan pernapasan naik, uterus tegang, nyeri tekan abdomen)
pemeriksaan dalam (pembukaan, ketuban tegang) dan pemeriksaan penunjang (USG
didapatkan perdarahan retroplasenta diantara plasenta dan miometrium).
Diagnosis banding solusio plasenta adalah plasenta previa dan ruptur uteri.
Plasenta Previa adalah keadaan dimana plasenta berimplantasi pada tempat abnormal,
yaitu pada segmen bawah rahim sehingga menutupi sebagian atau seluruh pembukaan
jalan lahir. Ruptur uteri atau robekan uterus merupakan peristiwa yang sangat

17

berbahaya, yang umumnya terjadi pada persalinan, kadang-kadang juga pada kehamilan
tua.
Setiap pasien yang dicurigai solusio plasenta harus dirujuk ke spesialis karena
memerlukan monitoring yang lengkap baik dalam kehamilan maupun persalinan.
Komplikasi solusio plasenta berasal dari perdarahan retroplasenta yang terus
berlangsung sehingga menimbulkan berbagai akibat pada ibu seperti anemia, syok
hipovolemik, insufisiensi fungsi plasenta, gangguan pembekuan darah, dan gagal ginjal.

18

Daftar Pustaka
Antepartum Hemorrhage. 2005. Obstetrics and Gynecology Principles for Practice.
Elsevier Science; h. 277-283. Philadelvia.
Cunningham, F. G; Gant, N. F; Levono, K. J; et all [ed]. 2006. Obstetri William. Volume
1. Edisi 21. Penerbit Buku Kedokteran EGC; h. 687-96, 34-52. Jakarta.
Hanretty, P Kevin. 2003. Vaginal Bleeding In Pregnancy. Obstetrics Illustrated. Sixth
Edition. Elsevier Science; h. 188-189. Philadelvia.
Israr, Yayan Akhyar. Karakteristik Kasus Solusio Plasenta. 16 Juni 2008 guidelines.
[online]. 2016. Available from URL:
http://ilmukebidanan.wordpress.com/2008/07/16/karakteristik-kasus-solusio-plasenta
Johnson, T Pamela. 2001. Placental Abruption. Case Review Obstetrics and
Gynecologie Ultrasound. Elsevier Science; h. 108. Philadelphia.
Manuaba, Ida Ayu Chandranita dr. SpOG et al. 2010. Ilmu Kebidanan, Kandungan dan
KB Untuk Pendidikan Bidan. Edisi 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC. h. 254259. Jakarta.
Mochtar, Rustam. 2011. Perdarahan Antepartum (Hamil Tua). Sinopsis Obstetri. Edisi
3. Jilid 1. Penerbit Buku Kedokteran EGC; h. 279-287. Jakarta
Prawirohardjo, Sarwono. 2014. Perdarahan Pada Kehamilan Lanjut dan Persalinan.
Dalam Ilmu Kebidanan. Edisi 4. PT. Bina Pustaka; h. 503-506. Jakarta.
Rachimhadhi T. 2002. Perdarahan Antepartum. Dalam: Ilmu Kebidanan, edisi III.
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo, h. 362-85. Jakarta.
Sastrawinata, Sulaiman. 2005. Perdarahan Antepartum. Obstetri Patologi. Edisi 2.
Penerbit Buku Kedokteran EGC; h. 91-97. Jakarta
Yeo, Lami. Plasenta Abruption. Women Medicine 2008 guidelines. [Online]. 2016.
Available from URL:
http://www.glowmn.com/section_view&articleid=122

Anda mungkin juga menyukai