Anda di halaman 1dari 9

Ulasan Film Freedom Writers

Oleh Firda Haifa Fadhilah ( XI Mia 8/19)


Freedom Writers adalah kisah tentang anak-anak remaja yang berusaha melawan kondisi sosial
mereka yang penuh konflik. Konflik di antara komunitas-komunitas yang ada di sekitar kehidupan
mereka terbawa sampai ke sekolah; area sekolah yang terbagi-bagi berdasar daerah kekuasaan
komunitas (anak-anak Latin, kulit putih, negro, asia, dst), konflik fisik saat penguasaan daerah
tersebut dilanggar, hingga pengkubu-kubuan tempat duduk di dalam kelas. Seorang guru perempuan
datang dalam kelas dan kehidupan anak-anak remaja ini dan mengubah semuanya. Inilah salah satu
film yang inspiratif. Film ini didasarkan atas kisah nyata kehidupan seorang guru di Long Beach,
California, Erin Gruwell (diperankan oleh Hillary Swank). Erin berprofesi sebagai guru bahasa
Inggris ketika isu rasisme di Amerika begitu hegemoni. Ia memasuki dunia pendidikan yang rasis
setelah dua tahun keributan L.A menjadi pembicaraan hangat di masyarakat. Dengan penuh harapan,
Erin mengajar bahasa Inggris di kelas 203, di mana terdapat beragam gank ras yang selalu
mengelompok, seperti ras kamboja, kulit hitam, Hispanic, dan seorang kulit putih.
Pada awal kedatangan Erin, para murid sama sekali tidak tertarik dengan kehadirannya. Mereka
sangat sentimen terhadap orang berkulit putih. Mereka menganggap bahwa Erin tidak mengerti
apapun tentang kehidupan mereka yang keras, kehidupan yang selalu berada di bawah bayang-bayang
perang dan kekerasan. Bagi mereka, kehidupan adalah bagaimana caranya mereka selamat dari
kekerasan, hingga penembakan yang mengatasnamakan ras.
Banyak tantangan yang harus dihadapi oleh Erin, baik dari pihak sekolah yang rasis, hingga
pihak suami dan ayahnya. Diskriminasi yang dilakukan oleh pihak sekolah, seperti pemisahan kelas,
serta perbedaan fasilitas yang kentara antara ras kulit putih dan ras di luar itu membuat Erin miris.
Agar diterima oleh anak-anak didiknya, Erin mencari cara untuk melakukan pendekatan dan metode
pengajaran yang tepat. Namun, sejak Erin disibukkan dengan pendekatan terhadap anak-anak
didiknya dan bekerja paruh waktu, timbul masalah baru, ia diceraikan oleh suaminya. Hingga pada
akhirnya, ayahnya yang semula tidak mendukung, berbalik mendukung pekerjaan Erin.

Erin paham dengan kondisi anak-anak didiknya yang selalu berkelompok dengan ras mereka
masing-masing. Akhirnya, ia menemukan cara untuk menjangkau kehidupan mereka dengan
memberikan mereka buku, dan meminta mereka mengisinya dengan jurnal harian. Bahkan, ketika
sekolah mendiskriminasikan fasilitas buku, Erin memberikan buku baru tentang kehidupan gank yang
lekat dengan keseharian mereka. Sejak membaca jurnal harian yang bercerita tentang kehidupan
mereka yang keras, Erin semakin bersemangat untuk mengubah kehidupan anak-anak didiknya, serta
menghapus batas tak terlihat yang secara kultur memisahkan mereka dengan cara-cara yang
mengagumkan.
Dalam film ini juga kita bisa melihat bagaimana usaha Erin mendatangkan seorang wanita
penolong Anne Frank, anak Yahudi yang hidup pada zaman Hitler dan holocaust-nya. Ia
mendatangkannya untuk berbagi cerita kepada anak-anak didiknya tentang sebuah bencana yang
terjadi karena rasisme, serta usaha-usaha Erin lainnya yang mendapat tantangan dari pihak-pihak
sekolah.
Akhirnya, keteguhan Erin dalam mendidik mereka berbuah hasil. Anak-anak tersebut, yang
semula benci satu sama lain Karena perbedaan ras, akhirnya menjadi berteman dan mendobrak sekatsekat ras di antara mereka. Bahkan, ketika ada kasus penembakan yang menimpa seorang kawan anak
didiknya, ia mengajarkan tentang arti kejujuran.

B. Analisis Adegan dan Isu Dibaliknya


Rasisme dan Gank
Isu general yang ditampilkan dalam Freedoms Writers adalah isu ras. Kita bisa
melihatnya di awal film ketika seorang kerabat Eva (murid Erin keturunan Hispanic dan kulit hitam)
ditembak oleh seseorang dari ras lain, dan penangkapan ayahnya oleh polisi kulit putih. Kondisi
Amerika di tahun 1990-an masih kental dengan nuansa rasisme, di mana masing-masing ras saling
berlomba untuk mendapatkan pengakuan. Dengan kondisi keluarga yang kacau balau, masing-masing
anak melakukan pelarian dengan bergabung bersama gank yang senasib dan tentu saja beranggotakan
satu ras yang sama.
Bergabungnya mereka bersama gank adalah suatu kompensasi untuk mendapatkan sebuah
kenyamanan. Dalam film tersebut, diperlihatkan bagaimana gank tersebut menyambut anggota baru
dengan cara dipukuli beramai-ramai. Itu artinya, kehidupan ras selain kulit putih di Amerika,
khususnya lapisan bawah, terbilang keras. Dengan dilakukannya inisiasi dalam gank, mereka
belajar untuk menghadapi kehidupan yang keras.
Kehidupan anak-anak yang berlindung di bawah naungan gank bermasalah tentu saja tidak
diperlihatkan di sekolah, namun kita bisa melihat bagaimana masing-masing ras hanya berkumpul dan
mengobrol dengan sesamanya. Ini menunjukkan bahwa ada rasa sentimen dalam diri masing-masing
kelompok. Sekalipun sistem pendidikan di sekolah sudah sampai pada tahap reformasi penyatuan,
namun hal tersebut tidak berjalan efektif, bahkan cenderung mendiskriminasi.
Kita juga bisa melihat adegan ketika seorang murid Hispanic menggambar orang kulit hitam
dengan bibir tebal di kelas. Konflik terjadi, perang mulut tak bisa dihindari. Sejak saat itulah Erin
menyadari bahwa murid-muridnya memiliki rasa sentimen terhadap kelompok di luar rasnya,
khususnya orang kulit putih. Selain itu, kita juga bisa melihat aksi gank salah seorang murid Erin,
Eva, yang kekasihnya amat benci dengan orang kulit hitam, namun tidak sengaja menembak seorang
lelaki kamboja. Namun, ironisnya, lelaki kulit hitamlah yang justru dituduh pelaku penembakan.

Sebagai seorang saksi, Eva bisa saja menyelematkan kekasihnya, namun ia telah mendapatkan
pelajaran berharga tentang arti kebenaran dan kejujuran dari wanita penolong Anne Frank. Eva
pada saat itu menghadapi sebuah benturan antara idealisme dan realita. Gank baginya adalah keluarga,
dan takaran ideal di mata keluarganya adalah menyelamatkan ras mereka sendiri walau harus
menafikan kebenaran. Namun, pada akhirnya, Eva bersaksi apa adanya, dan jika saja ayahnya yang
dipenjara sejak ia kecil itu bukan seseorang yang disegani di kelompok rasnya, maka ia akan menjadi
korban penembakan selanjutnya.
Dari situ kita juga bisa melihat bahwa sebuah kelompok ras memiliki seorang pemimpin yang
disegani. Penokohan inilah yang menyebabkan Eva lolos dari jeratan maut. Pola pikir Eva mengalami
pergeseran. Darah Hispanic memang mengalir deras dalam diri Eva, tapi mengatakan kebenaran yang
mengandung tanggung jawab moral jauh lebih berharga dibandingkan bersaksi palsu demi
kepentingan kelompok.
Diskriminasi dalam Dunia Pendidikan
Ketika Erin kali pertama melihat situasi sekolah, yang dilihatnya adalah adanya
perbedaan antara kelas unggulan (didominasi oleh kulit putih, dan hanya ada satu kulit hitam).
Fasilitas kelasnya pun berbeda, mulai dari kursi, papan tulis, hingga buku-buku. Saya jadi teringat
artikel Savage in equality dan Stereotype tentang ras di luar kulit putih. Freedom Writers
menggambarkan apa yang ditulis dalam artikel-artikel tersebut.
Pemisahan kelas yang dilakukan oleh sekolah memang bukan tanpa alasan. Kebanyakan orang
kulit hitam, Hispanic, Kamboja, serta ras di luar kulit putih tidak mendapatkan nilai akademis yang
tinggi. Sayangnya, karena stereotipe itulah mereka tidak bisa mengasah kemampuan mereka dan tetap
menjadi kaum yang termarjinalkan. Hal ini tentu saja bertentangan dengan Civil Right Act yang
dikeluarkan pada 1964.
Dalam film tersebut ada seorang kulit putih yang secara akademis kurang, karena itu, ia
bergabung bersama orang-orang dari ras lain. Sayangnya, posisi anak kulit putih itu, sungguh
dilematis. Di satu sisi, ia harus bergabung karena ia tidak begitu pandai, namun di sisi lain, ia adalah

orang yang berada di zona kenyamanan sebagai orang kulit putih yang tidak pernah dihantui perang
dan kekerasan. Hal yang sama juga dirasakan oleh seorang anak kulit hitam yang berada di kelas
orang kulit putih karena ia baik secara akademis. Sayangnya, kehadiran mereka yang minoritas
membuat mereka terpojokkan, sampai-sampai anak kulit hitam yang cerdas meminta pindah ke kelas
Erin.
Ada yang mengejutkan dari sekolah ini. Rupanya, kepala sekolah di mana Erin mengajar adalah
orang kulit hitam. Satu hal yang saya catat, bahwasanya warga kulit hitam baru akan dipandang ketika
ia adalah orang yang cerdas dan berkedudukan tinggi. Namun, fakta di lapangan, secerdas apa pun
orang itu, rasa merendahkan masih tetap mengakar di hati orang kulit putih. Hal ini terlihat dari
perkataan seorang murid kulit putih di kelas unggulan yang ditanya tentang pendapatnya mengenai
orang kulit hitam. Itu yang menyebabkan seorang anak kulit hitam di kelas tersebut merasa
terpojokkan dan meminta pindah kelas ke ruang 203. Jadi, secerdas apa pun orang kulit hitam,
diskriminasi ras tidak bisa dielakkan, bahkan kepala sekolah yang notabene memiliki wewenang
tertinggi tidak bisa berbuat apa-apa ketika Erin meminta bantuannya.
Diskriminasi ras yang dilakukan oleh pihak sekolah juga terlihat dari pemberian buku-buku
teks bahan ajar. Kelas yang terdiri dari berbagai ras hanya mendapat buku-buku bekas dan usang.
Sungguh amat wajar jika ketika Erin memberikan novel baru, mereka merasa surprised. Dalam film
tersebut, ada seorang guru kulit putih yang semula menerima Erin dengan lapang, namun ketika Erin
melakukan berbagai pendekatan kultural dengan anak-anak didiknya, termasuk meminta dana agar
mendatangkan wanita penolong Anne Frank dan terus mengajar anak-anak didiknya sampai tingkat
akhir, guru tersebut menjadi tersinggung dan merasa tidak dianggap. Itu semua tidak terlepas dari ego
yang tinggi, serta pandangan guru tersebut mengenai anak-anak di luar kulit putih.
Pemberian Jurnal dan Cerita di Balik Itu
Anak-anak didik Erin adalah anak-anak yang selalu berada di bawah bayang-bayang
perang dan berasal dari keluarga yang kacau balau. Dengan diberikannya buku jurnal, mereka merasa
bisa menumpahkan emosi mereka dan bercerita tentang latar belakang keluarganya yang penuh lika-

liku. Dari bagian ini, kita bisa melihat betapa pentingya media curahan hati bagi mereka. Mereka
adalah kaum minoritas yang merasa terpojokkan, mereka butuh sesuatu yang bisa membuat mereka
lega. Erin melakukan pendekatan yang luar biasa dengan memberikan buku jurnal tersebut.
Dari cerita-cerita mereka, kita dapat menganalisa betapa kerasnya kehidupan mereka sejak
kecil. Hal inilah yang menyebabkan kepribadian mereka menjadi kasar dan cenderung memberontak.
Di antara mereka bahkan ada yang memiliki senjata tajam. Entah sudah berapa banyak kawan ganknya yang menjadi korban penembakan dari gank ras lain. Selain itu, ada juga anak yang diusir oleh
orang tuanya karena bergabung bersama gank sebagai pelarian, serta cerita-cerita mengharukan
lainnya.
Dari cerita-cerita mereka, dapat disimpulkan bahwa rata-rata keluarga di luar kulit putih,
terutama yang berasal dari kalangan bawah, adalah keluarga yang tidak harmonis. Bukan tanpa alasan
mengapa keluarga mereka demikian. Kondisi rasis yang terjadi di Amerika menyebabkan mereka
saling menjatuhkan satu sama lain untuk mengklaim bahwa ras mereka adalah ras yang sepatutnya
dihormati. Segregasi kultural yang terjadi di Amerika kenyataannya telah menyebabkan non-white
menjadi underclasses.
Anne Frank dan Holocaust
Dalam film Freedom Writers, kita juga bisa melihat bagaimana isu tentang holocaust
atau pembantaian besar-besaran Hitler terhadap kaum yahudi diangkat. Dikisahkan bahwa Erin
memberikan buku tentang novel yang diadopsi dari buku diary Anne Frank kepada murid-muridnya,
agar mereka bisa mengerti apa yang akan terjadi jika setiap ras mengklaim dirinyalah yang paling
kuat. Mereka juga diajak mengunjungi museum, menonton film-film dokumenter, serta berbagi kisah
bersama korban rasisme. Di museum itu pula mereka diperlihatkan foto-foto orang besar yang berasal
dari ras mereka sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa orang-orang non-white juga memiliki sejarah
tersendiri dan pernah menjadi orang yang dihormati pada zamannya.
Keluarga Erin: Peran Suami dan Ayah

Ketika Erin disibukkan dengan aktivitasnya mengubah pola pikir anak didiknya,
keutuhan rumah tangganya malah tidak bisa dipertahankan. Suami Erin yang lebih sering berada di
rumah merasa dirinya yang menjadi istri. Sebetulnya, sang suami sebelumnya mendukung ia
menjadi guru, tapi lama-kelamaan ia keberatan karena Erin tidak memiliki waktu banyak untuk
melayaninya. Ternyata, pola pikir suami Erin masih seperti orang kebanyakan, cenderung rasis. Di
bagian ini, kita bisa melihat kondisi yang paradoks. Di satu sisi, Erin ingin mengubah pandangan
orang-orang di luar kulit putih tentang rasisme, namun di sisi lain, suaminya sendiri belum bisa
berpikiran seperti itu. Bahkan, begitu mudahnya perceraian diajukan oleh sang suami. Dalam
beberapa kasus, posisi laki-laki dalam rumah tangga cenderung dominan.
Pihak ayah justru sebaliknya. Ia semula tidak mendukung, namun melihat Erin bekerja matimatian, bahkan hingga diceraikan, ia berbalik menjadi pendukung. Kita bisa melihat sikap ayah Erin
yang memandang bahwa profesi guru bukan profesi yang istimewa dibandingkan profesi seputar
bisnis. Namun, sejak Erin berhasil mendidik murid-muridnya menjadi terpelajar, saat ini, berdasarkan
kisah nyata, Erin menjadi dosen di California University berkat dedikasinya yang tinggi sebagai
seorang pendidik.
Komentar Pribadi dan Beberapa Pemikiran
Rasisme di Amerika Serikat memang telah menjadi sesuatu yang inherent. Setelah tiga
puluh tahunan Civil Right Act dikeluarkan, ketegangan rasisme cenderung meningkat dan mencapai
titik yang tinggi di kota-kota seperti New York, Boston, dan Chicago. Freedom Writersadalah
gambaran masyarakat Amerika setelah terjadi kerusuhan rasial di Los Angeles dan kota-kota lainnya
pada 1992. Rasisme telah menciptakan kemiskinan dan menimbulkan masalah-masalah sosial,
menjadikan orang-orang kulit hitam underclasses atau masyarakat kelas bawah.
Ras dan rasisme adalah sesuatu yang tidak terelakkan. Mengapa hal demikian terjadi? Ada dua
teori yang menjelaskan hal ini. Pertama. Isu rasial adalah isu yang primordial, seperti halnya isu
agama. Pertentangan antara putih dan hitam, menurut Giddens, adalah simbol-simbol budayayang
berakar kuat dalam kebudayaan orang-orang kulit putih. Hitam, baik direpresentasikan lewat

warna,

maupun

kondisi,

dipandang

sebagai

simbol

iblis

yang

berinkarnasi (Devils

Incarnate) sejak sebelum orang-orang kulit mengadakan kontak sosial secara ekstensif dengan orangorang kulit hitam. Teori kedua yang menjelaskan terjadinya rasisme di Amerika adalah teori racial
formation. Omi dan Winant mengemukakan bahwa pemerintah federal sendirilah yang membentuk
masyarakat AS menjadi masyarakat rasis. Buktinya, isu-isu rasial masih tercantum dalam dukumendokumen resmi pemerintah. (jurnal Studi Amerika Vol.X No.1 Januari-Juni 2005). Dalam Freedom
Writers kita bisa melihat kebijakan pemerintah dalam dunia pendidikan yang tidak populis. Orangorang non-white merasa didiskriminasi secara individual, institusional, dan struktural.
Rasisme di Amerika mengingatkan saya akan terpilihnya Barrack Obama November silam.
Sungguh besar harapan masyarakat Amerika terhadap Obama untuk melakukan perubahan pola pikir
masyarakat Amerika tentang rasisme. Namun, sayangnya, Southern Poverty Law Centermelaporkan,
kebencian terhadap etnis minoritas meningkat sejak pemilihan presiden. Bahkan, warga kulit putih
mengatakan bahwa Obama akan membuat komunitas kulit hitam semakin subur dan menggeser posisi
warga kulit putih. Mereka meramalkan, pada pertengahan abad ini, kulit putih akan menjadi minoritas
di AS. Sikap sentimen ini sesungguhnya perlu diwaspadai, dan selaiknya mendapat penanganan dari
pemerintah. Walaupun secara de jure masyarakat Amerika berusaha mewujudkan masyarakat yang
multikultural, namun secara de facto Amerika masih diwarnai oleh rasisme.
Untuk menciptakan masyarakat yang saling menghargai satu sama lain, masyarakat Amerika
perlu membangun kesadaran baru tentang rasisme. Erin dalam Freedom Writers berhasil menunjukan
bahwa sesungguhnya perbedaan ras bukan halangan bagi seseorang untuk sukses. Perlu disadari
bahwa seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, rasisme bukanlah sesuatu
yang relevan karena yang dibutuhkan untuk membangun suatu bangsa adalah intelektual, bukan
warna kulit atau latar belakang ras.
Menanggulangi rasisme memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Namun, kita bisa
memulainya dengan mewujudkan perubahan-perubahan dalam dunia pendidikan. Misalnya,
menciptakan sebuah kurikulum pendidikan berbasis multikulturalisme sehingga masyarakat Amerika

bisa saling menghargai satu sama lain. Sebagai pihak yang memiliki otoritas, pemerintah Amerika
seyogyanya menjadi agen perubah, baik melalui pendekatan kultural, maupun pendekatan struktural.
Selain itu, pemerintah juga harus melakukan pembenahan dari dalam untuk membangkitkan
kepercayaan masyarakat Amerika.
Berdasarkan kenyataan di atas, melalui upaya yang sungguh-sungguh, pemerintah dapat
meredam konflik-konflik rasisme seperti yang digambarkan dalam film Freedom Writers, sekaligus
mengembalikan kepercayaan masyarakat dunia terhadap Amerika yang sempat pudar karena
kebijakan-kebijakannya yang tidak populis. Dengan demikian, konflik rasisme di Amerika akan
berkurang secara perlahan, hingga akhirnya hilang sama sekali.

Anda mungkin juga menyukai