BAB I
PENDAHULUAN
untuk
keperluan
irigasi
pertanian,
namun
sebagian
penduduk
2
kondisi lingkungan Sungai Akir yang termasuk dalam permasalahan utama Sumber
Daya Air Sungai Akir itu sendiri. Analisa ini sangat diperlukan sebagai data acuan
untuk pola pengelolaan dari Sumber Daya Air yang optimal dan efisien yang dapat
menghasilkan keuntungan secara umum dan khususnya bagi masyarakat sekitar sungai
tersebut.
Tingkat
ketersediaan
air
haruslah
lebih
besar
daripada
tingkat
pemanfaatannya karena jika lebih kecil tingkat ketersediaan tersebut maka berpotensi
menimbulkan konflik, seperti kasus yang telah di jelaskan di atas.
Walaupun ketersediaan air permukaan dari waktu ke waktu relatif tetap sesuai
dengan siklus hidrologi, namun keadaan dan sifat kualitasnya dapat membatasi
pemakaian dan pemanfaatan. Di samping itu, kebutuhan air di Desa Sukodadi pada
saat ini dan pada masa yang mendatang akan terus meningkat sementara ketersediaan
air permukaan dan air tanah relatif tetap bahkan mungkin dapat berkurang.
Untuk menanggulangi masalah ini, maka perlu ditempuh suatu upaya secara
koordinatif untuk melakukan inventarisasi seluruh potensi ketersediaan air yang
selanjutnya disusun dalam bentuk sistem informasi sehingga estimasi kecukupan
potensi air bersih suatu wilayah pengembangan dapat dilakukan secara lebih akurat
dan representatif. Selain itu sistem informasi ini juga merupakan alat pengontrol atau
pengendali dalam pengelolaan air dalam jangka panjang.
Pada umumnya, perkiraan ketersediaan air dilakukan berdasarkan pencatatan
data debit aliran di sungai yang berkesinambungan dan panjang. Akan tetapi, di
Indonesia pada umumnya data yang berkesinambungan dan panjang adalah data hujan,
sedangkan data debit aliran sungai tidaklah panjang.
Belum tersedianya data debit di suatu wilayah sungai merupakan salah satu
kendala yang sering di jumpai. Untuk maksud pengembangan sumber daya air di suatu
wilayah, maka ketersediaan data yang lengkap sangat diperlukan, tetapi dengan adanya
keterbatasan data yang ada, maka diperlukan model model hidrologi untuk mengalih
ragamkan data hujan menjadi data debit aliran.
Salah satu model hujan aliran yang relatif lebih sederhana dan telah
dikembangkan di Indonesia adalah model F.J. Mock. Model tersebut banyak
diterapkan untuk memprediksi data aliran, terutama untuk interval waktu yang cukup
panjang (Nurrochman dkk., 1998). Penggunaan dan penerapan model ini akan di kaji
pada daerah tangkapan air Bendung Akir Desa Sukodadi Kecamatan Wagir Kabupaten
Malang.
3
1.2. Batasan Studi
Pembahasan Laporan Praktik Kerja ini dititik beratkan pada pola simulasi debit
dengan model F.J. Mock pada daerah tangkapan air Bendung Akir Kecamatan Wagir
Kabupaten Malang.
Untuk mempersempit ruang lingkup bahasan, maka permasalahan dibatasi
sebagai berikut :
1. Data yang dipakai untuk analisa adalah data yang diperoleh dari curah hujan
daerah selama satu tahun (tahun 2007).
2. Ketersediaan debit sungai yang dimaksud dalam pembahasan laporan ini
adalah debit yang mengacu pada siklus hidrologi.
3. Debit sungai yang diperoleh dari analisa adalah debit aliran sungai selama
kurun waktu satu tahun (tahun 2007).
4. Tidak membahas tentang pemanfaatan kebutuhan air di lokasi studi.
1.3. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam laporan ini adalah :
1. Berapakah besarnya parameter parameter metode F.J. Mock untuk daerah
tangkapan air Bendung Akir ?
2. Berapakah tingkat validitas penerapan model F.J. Mock di daerah tangkapan
air Bendung Akir ?
3. Berapakah besarnya debit aliran sungai dan komponen neraca air lahan
lainnya di Daerah tangkapan air Bendung Akir berdasarkan pendugaan
dengan model F.J. Mock ?
1.4. Tujuan dan Manfaat
Adapun tujuan dari penulisan laporan ini, antara lain :
1. Mengkaji penerapan Model F.J. Mock dalam menduga ketersediaan air pada
daerah tangkapan air Bendung Akir Kecamatan Wagir Kabupaten Malang.
2. Mengetahui parameter parameter yang berpengaruh dalam model F.J.
Mock untuk menghitung debit sungai.
3. Mengetahui besarnya debit aliran sungai yang mengalir di DAS Akir
Kecamatan Wagir Kabupaten Malang.
4
Sedangkan manfaat dari penulisan laporan ini, antara lain :
1.
2.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
6
dan tergantung dari faktor faktor tertentu yang bersifat khas. Jenis faktor dan
perannya dalam masing masing unsur aliran akan di bahas secara mendalam di
bagian masing masing (Sri Harto Br, 2000).
Konsep neraca air pada dasarnya menunjukkan keseimbangan antara jumlah air
yang masuk ke, yang tersedia di, dan yang keluar dari sistem (sub sistem) tertentu.
Secara umum, persamaan neraca air di rumuskan sebagai berikut (Sri Harto Br, 2000).
I = O S
(2-1)
di mana :
I
= masukan (inflow)
= keluaran (outflow)
= perubahan tampungan
Yang dimaksud dengan masukan adalah semua air yang masuk ke dalam
sistem, sedangkan keluaran adalah semua air yang keluar dari sistem. Perubahan
tampungan adalah perbedaan antara jumlah semua kandungan air (dalam berbagai sub
sistem) dalam satu unit waktu yang di tinjau, yaitu antara waktu terjadinya masukan
dan waktu terjadinya keluaran. Persamaan ini tidak dapat di pisahkan dari konsep dasar
yang lainnya (siklus hidrologi) karena pada hakikatnya, masukan ke dalam sub sistem
yang ada, adalah keluaran dari sub sistem yang lain dalam siklus tersebut (Sri Harto
Br, 2000).
Neraca air merupakan hubungan antara masukan air total dan keluaran air total
yang terjadi pada suatu DAS yang di dalamnya terkandung komponen komponen
seperti debit aliran sungai, curah hujan, evapotranspirasi, perkolasi, kelembaban tanah.
Semakin besar evapotranspirasi, semakin kecil debit aliran sungai. Evapotranspirasi di
pengaruhi oleh beberapa faktor antara lain iklim dan jenis vegetasi. Iklim tidak dapat
di modifikasi oleh manusia, sehingga faktor jenis vegetasi inilah yang menjadi
perhatian dalam pengelolaan sumber daya air (Asdak, 2002).
Persamaan neraca air dengan mengansumsikan bahwa aliran air bawah
permukaan yang masuk sama dengan yang keluar, dan panjang akar tanaman berada
jauh di atas permukaan air tanah, dapat di tulis sebagai berikut (Asdak, 2002).
Q = P ET - L
S
t
(2-2)
di mana :
Q
= evapotranspirasi (mm/bulan)
= perkolasi (mm/t)
(2-3)
di mana :
D1
D2
= evapotranspirasi (mm/bulan)
G1
= perkolasi (mm/t)
G2
bulan)
Pa
= laju menahan udara rata rata di bagian lapisan variasi air tanah
(2-4)
di mana :
ET
= evapotranspirasi (mm)
di mana :
S1
S2
di mana :
lo
l1
(2-5)
di mana :
Pg
Ic
= Intersepsi tajuk
Et
= evapotranspirasi total
= transpirasi
= aliran sungai
Pada beberapa DAS, komponen evapotranspirasi pada neraca air bisa di atas
90% dari curah hujan. Perubahan vegetasi yang menurunkan evapotranspirasi tahunan
akan mengakibatkan peningkatan aliran sungai atau pengisian air tanah.
Dari sejumlah pendapat yang dikemukakan di atas, dapat di simpulkan bahwa
prinsip analisis neraca air adalah menghitung masukan dan keluaran pada suatu sistem
8
9
(DAS) yang di kaji. Dalam studi kali ini, di lakukan kajian terhadap penggunaan
Model F.J. Mock sebagai suatu konsep yang dapat memberikan keluaran dari sistem
DAS berikut hubungan antar komponen dan perubahannya.
2.2. Teknik Evaluasi DAS
Secara umum Daerah Aliran Sungai (DAS) di definisikan sebagai suatu
wilayah yang dibatasi oleh alam, seperti punggung bukit-bukit atau gunung, maupun
batas buatan, seperti jalan atau tanggul, dimana air hujan yang turun di wilayah
tersebut memberikan kontribusi aliran ke satu titik kontrol (outlet) (Suripin, 2001)
Daerah aliran sungai dapat dianggap sebagai suatu ekosistem, dimana di
dalamnya terjadi interaksi antara faktor-faktor biotik, non biotik dan manusia. Sebagai
suatu ekosistem maka setiap ada masukan (input) ke dalamnya, proses yang terjadi dan
berlangsung di dalamnya dapat dievaluasi berdasarkan keluaran (output) dari
ekosistem tersebut. Komponen masukan dalam ekosistem DAS adalah curah hujan,
sedangkan komponen keluaran terdiri dari debit air dan muatan sedimen, sehingga
DAS menjadi dasar dari semua perencanaan hidrologi (Suripin, 2001).
Aktivitas suatu komponen ekosistem selalu memberi pengaruh pada komponen
ekosistem yang lain. Manusia adalah salah satu komponen yang penting. Sebagai
komponen yang dinamis, manusia dalam menjalankan aktivitasnya seringkali
mengakibatkan dampak pada salah satu komponen lingkungan, dan dengan demikian
akan mempengaruhi ekosistem secara keseluruhan. Maka apabila terjadi perubahan
pada salah satu komponen lingkungan, ia akan mempengaruhi komponen-komponen
yang lain. Pengaruh atau interaksi manusia pada suatu DAS yang tercakup dalam
pengelolaan tanaman dan praktek konservasi tanah, akan sangat mempengaruhi proses
terjadinya erosi atau sebaliknya (Suripin, 2001).
10
2.
3.
4.
5.
6.
10
11
sub DAS telah terinstrumentasi dengan baik (well instrumented catchment). Apabila
DAS / sub DAS tidak terinstrumentasi dengan baik, maka dapat digunakan pendekatan
pemodelan hidrologi. Karena dengan model tersebut dapat dilakukan evaluasi dan
simulasi terhadap dampak hidrologi dan berbagai skenario perubahan perubahan
lingkungan yang mungkin terjadi dengan cepat, baik alami maupun dengan bantuan
manusia.
2.2 Analisis Curah Hujan
2.2.1
diperoleh dengan alat pengukur hujan (rain gauge). Data tersebut masih merupakan
data kasar / data mentah yang tidak dapat langsung dipakai dan harus diolah sesuai
dengan kebutuhan, selain itu data yang satu dengan yang lain tidak saling
bergantungan sehingga proses pengolahannya menggunakan metode statistik.
Data curah hujan bisa didapatkan dengan melakukan pengukuran antara lain :
a)
b)
c)
d)
e)
2.2.2
di beberapa tempat tersebar pada DAS dipasang alat penakar hujan. Pada daerah aliran
kecil kemungkinan hujan terjadi merata di seluruh daerah, tetapi tidak demikian pada
daerah aliran yang besar, hujan di berbagai tempat pada DAS yang besar tidak sama,
sedangkan pos-pos penakar hujan hanya mencatat hujan di suatu titik tertentu. Dengan
demikian akan sulit untuk menentukan berapa hujan yang turun di seluruh areal serta
sulit pula untuk menentukan hubungan antara besarnya debit banjir dan curah hujan
yang mengakibatkan banjir tersebut.
11
12
Ada tiga macam cara yang digunakan untuk menentukan tinggi curah hujan
rata-rata diatas areal tertentu dari angka-angka curah hujan di beberapa titik pos
penakar atau pencatat, yaitu (Suripin, 2001):
a. Metode rata-rata aljabar
P=
( P1 + P2 + ... + Pn )
n
(2-6)
Dimana P adalah curah hujan rata-rata daerah (mm), n adalah banyaknya pos
penakar hujan dan P1, P2, , Pn adalah curah hujan yang tercatat di pos penakar hujan.
b. Metode Thiessen
12
13
(Sumber : Suripin, 2001)
Metode ini juga dikenal sebagai metode rata-rata timbang (weighted mean).
Cara ini memberikan proporsi luasan daerah pengaruh pos penakar hujan untuk
mengakomodasi ketidakseragaman jarak. Daerah pengaruh dibentuk dengan
menggambarkan garis-garis sumbu tegak lurus terhadap garis penghubung antara dua
pos penakar terdekat. Diasumsikan bahwa variasi hujan antara pos yang satu dengan
lainnya adalah linier dan bahwa sembarang pos dianggap dapat mewakili kawasan
terdekat.
P=
A1P1 + A2 P2 + ... + An Pn
A1 + A2 + ... + An
(2-7)
adalah luas
13
14
P1 + P2
P + P3
P + Pn
A1 + 2
A2 + ...... + n 1
An1
P=
2
2
2
A1 + A2 + .... + An1
(2-
8)
Untuk daerah tinjauan dengan luas 250 ha dengan variasi topografi kecil
dapat diwakili oleh sebuah stasiun pengamatan.
2. Luas DAS
DAS besar (> 5000 km2)
DAS sedang (500 s/d 5000 km2)
DAS kecil (< 500 km2)
Metode isohyet
Metode Thiessen
Metode rata-rata aljabar
3. Topografi DAS
Pegunungan
Dataran
14
15
Berbukit dan tidak beraturan
Metode Isohyet
Pada studi kali ini cukup digunakan Metode hujan titik karena hanya satu
stasiun hujan saja yang berpengaruh pada daerah tangkapan air Bendung Akir yaitu
Stasiun Hujan Wagir.
2.3 Evapotranspirasi
Peristiwa berubahnya air menjadi uap dan bergerak dari permukaan tanah dan
air disebut evaporasi (penguapan). Peristiwa penguapan dari tanaman disebut
transpirasi. Jika kedua proses tersebut terjadi dalam waktu yang bersamaan disebut
evapotranspirasi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi evapotranspirasi adalah suhu, air,
kelembaban udara, kecepatan angin, tekanan udara, sinar matahari, dan lain-lainnya.
Pada waktu pengukuran perlu diperhatikan keadaan tersebut karena saling
berhubungan antara satu dengan yang lain dan mengingat faktor tersebut sangat
dipengaruhi oleh lingkungan.
Karena kondisi yang berubah dari waktu ke waktu, maka harus diakui bahwa
perkiraan evapotranspirasi yang menggunakan harga yang hanya diukur pada sebagian
daerah adalah sulit dan sangat menyimpang. Jika evaporasi pada suatu daerah
meningkat, maka transpirasi akan menurun, begitu juga jika sebaliknya jika evaporasi
menurun maka transpirasi meningkat. Oleh karena itu komponen E dan T tidak bisa
diukur secara terpisah, sehingga kombinasi ET destimasi dengan keseimbangan air
tanah atau metode keseimbangan energi di atas tanah.
2.3.1
15
16
Peristiwa ini disebut evapotranspirasi. Banyaknya berbeda-beda, tergantung dari kadar
kelembaban tanah dan jenis tumbuh-tumbuhan. Umumnya banyak transpirasi yang
diperlukan untuk menghasilkan satu gram bahan kering disebut laju transpirasi dan
dinyatakan dalam gram. Di daerah yang lembab, banyaknya kira-kira 200-600 gram.
Dan untuk daerah kering kira-kira dua kali sebanyak itu.
Transpirasi dan evaporasi dari permukaaan tanah bersama-sama disebut
evapotranspirasi atau kebutuhan air (consumtive use). Jika air yang tersedia pada tanah
cukup banyak, maka evapotranspirasi itu disebut evapotranspirasi potensial.
Mengingat faktor-faktor yang mempengaruhi evapotranspirasi itu lebih banyak dan
lebih sulit daripada faktor-faktor yang mempengaruhi evaporasi maka banyaknya
evapotranspirasi tidak dapat diperkirakan dengan teliti. Akan tetapi evapotranspirasi
adalah faktor dasar untuk menentukan kebutuhan air dalam rencana irigasi dan
merupakan proses yang penting dalam siklus hidrologi. Oleh sebab itu, maka telah
banyak jenis cara penentuan yang telah diadakan antara lain dengan menggunakan
rumus Lysimetre, cara perkiraan dengan banyaknya evaporasi dan panci evaporasi, dan
lain-lain.
Dalam studi ini perhitungan besarnya evaporasi dipakai rumus empiris
Pennman sebagai berikut :
ETp
(2-9)
A (0,18 + 0,55 S )
A + 0,27
F2
A . B (0,56 0,092
A + 0,27
F3
(2-10)
ed )
(2-
11)
(2-12)
Keterangan :
ETp
ea
= tekanan uap jenuh dengan tekanan uap yang sebenarnya (mm Hg)
ed
16
17
h
= koefisien refleksi
(2-13)
Dimana :
U
= evaporasi bulanan
Keuntungan
dari
penggunaan
rumus
ini
adalah
kesederhanaan
perhitungannya, meskipun belum diketahui apakah cara ini dapat dipergunakan untuk
semua tempat. Tetapi cara ini dapat digunakan untuk perkiraan evapotranspirasi jangka
waktu yang panjang.
Rumus tersebut dapat dimodifikasi lagi menjadi :
17
18
U=[
K .P (45,7t + 813)
]
100
(2-
14)
K = Kt x Kc
(2-15)
Kt = 0,0311 t + 0,240
(2-16)
Dimana:
U
Kc
ETo = c ETo *
(2-17)
ETo* = W Rs
(2-18)
Rs = 0,25 + 0,54 n
) Ra
(2-19)
di mana :
W
Rs
n/N
Ra
2.3.2
sebesar evaporasi potensial. Evaporasi ini disebut evapotranspirasi aktual. Selain itu
juga dikenal evapotranspirasi terbatas yaitu evapotranspirasi aktual dengan
mempertimbangkan kondisi vegetasi dan permukaan tanah serta frekuensi curah hujan
(Mock, 1973). Hubungan dari tersebut dapat dilihat pada persamaan berikut :
18
19
E = ETp . (d/30) . m
(2-20)
dimana,
E
ETp
= Evapotranspirasi potensial
= Prosentase lahan yang tertutup vegetasi, ditaksir dari peta tata guna lahan dan
diambil,
m = 0 untuk lahan dengan hutan lebat.
m = 0 untuk lahan dengan hutan sekunder pada akhir musim hujan dan
bertambah 10 % setiap bulan kering berikutnya.
m = 10 40 % untuk lahan yang tererosi.
m = 30 50 % untuk lahan pertanian yang diolah (misal : sawah,
ladang).
Berdasarkan frekuensi curah hujan dan Indonesia dan sifat infiltrasi serta
(2-21)
(2-22)
(2-23)
19
20
pengguna tidak mempelajari acuan yang asli, akan tetapi mengikuti studi kasus yang
telah ada. Juga banyak para pengguna tidak biasa memperhatikan atau mencoba
pilihan parameter yang ada. Hal ini terbukti dari banyaknya parameter yang digunakan
diambil secara langsung dari studi kasus yang telah ada tanpa mengadakan pengecekan
lebih lanjut pada pengguna annya. Kesalahan umum yang lain yang terjadi adalah tidak
cukupnya data hujan dalam satu tahun secara berurutan dalam tenggang waktu
tertentu.
Mock (1973) menjelaskan metode untuk menduga debit aliran sungai dengan
tahapan - tahapan sebagai berikut :
Rumus untuk menghitung aliran permukaan terdiri dari :
1.
= P ETp
(2-24)
(2-25)
(2-26)
ETa = ETp E
2.
(2-27)
(2-28)
SS
(2-29)
= SMCn SMCn1
SMCn= SMCn-1 + P1
3.
(2-30)
(2-31)
= i . WS dVn
(2-32)
Vn
= 1/2 . (1 + k) . I + k . Vn-1
(2-33)
4.
Aliran permukaan
Ro
= BF + DRo
(2-34)
BF
= 1 dVn
(2-35)
DRo = WS I
(2-36)
Keterangan :
= Hujan (mm)
20
21
WS = Kelebihan air (mm)
SS
Ro
Singkapan lahan
Singkapan lahan disesuaikan dengan penggunaan tata guna lahan.
Koefisien Infiltrasi
Infiltrasi adalah gerakan air dari atas ke dalam permukaan tanah.
Gerakan air ini disebabkan antara lain oleh berat sendiri, rekahan tanah (celah
tanah) yang cukup dan tingkat kejenuhan dari tanah tersebut. Koefisien infiltrasi
(i) ditentukan berdasarkan kondisi porositas tanah dan kemiringan daerah
pengaliran. Lahan yang porous maka infiltrasi akan besar, lahan yang terjal
dimana air tidak sempat infiltrasi ke dalam tanah maka koefisien infiltrasi kecil.
Besarnya koefisien infiltrasi lebih kecil dari 1.
3.
kelembaban
tanah
(Soil
Moisture
Capacity)
ditaksir
21
22
4.
Penyimpanan awal
Penyimpanan awal (initial storage) adalah besarnya volume air pada
saat awal perhitungan. Ditaksir sesuai dengan keadaan musim, seandainya bisa
sama dengan Soil Moisture Capacity dan lebih kecil daripada musim kemarau.
5.
terdapat faktor resesi aliran air tanah (k), yaitu perbandingan air tanah pada suatu
bulan dengan aliran air tanah pada awal bulan.
Rumus rumus storage air tanah :
Vn
= k . Vn-1 + (1+k). In
(2-37)
Dimana,
Vn
qt
qo
dVn
= Vn Vn-1
Vn
Vn-1
Pendugaan nilai parameter dengan menggunakan rumus pada sub bab 2.4
berhenti dengan tolok ukur berikut.
Jumlah titik (bulan) yang mempunyai KAR > 25% paling sedikit
mod
) dan pengamatan (Q
obs
22
23
1 n Q Qmod
KAR = obs
Qobs
n i =1
38)
dengan:
KAR = kesalahan absolut rerata
n
= bulan ke-i
23
(2-
24
Gambar 2.7 Diagram alir pendugaan debit aliran sungai Model F.J. Mock
BAB III
24
25
KAJIAN DAERAH STUDI
3.1.
Lokasi Studi
Studi ini dilaksanakan di DAS Metro di daerah tangkapan air Bendung Akir.
Lokasi studi
25
26
3.2.
Waktu Studi
Studi ini direncanakan berlangsung dalam kurun waktu 2 bulan, terhitung
mulai 20 Mei sampai 20 Juli 2008, namun penulis berhasil menyelesaikan laporan
studinya selama kurang dari satu bulan dengan rincian pekerjaan pencarian data
dilakukan selama 1 minggu terhitung mulai tanggal 20 Mei sampai 26 Mei 2008,
pengerjaan pengolahan data di mulai pada tanggal 26 Mei 2008 sampai 1 Juni 2008.
Laporan studi diselesaikan pada tanggal 14 Juni 2008.
3.3.
Data curah hujan harian, dalam studi kali ini dipakai data dari Stasiun
Hujan Wagir (112o 35 37 LS dan 8o 00 44 BT) tahun 2007 yang di
peroleh dari Dinas Pengairan Kabupaten Malang.
2.
3.
4.
3.4.
Tahap Persiapan
Pada tahap ini dilakukan survei lapangan yaitu mengamati kondisi lapangan .
Pengamatan yang dilakukan mempunyai tujuan antara lain :
Mencari koordinat posisi dari Bendung Akir dan stasiun yang
berpengaruh (Stasiun Hujan Wagir) dengan alat pendeteksi posisi
koordinat di bumi yaitu dengan alat GPS.
Mengukur kecepatan air di lokasi dengan alat ukur current meter di hulu
bendung dan mengukur tinggi air yang melimpas di crest bendung yang
26
27
kemudian data ini disimulasi menjadi data debit tersedia di lokasi. Data
ini kemudian dibandingkan dengan data debit observasi dari Dinas
Pengairan dan hasil dari perhitungan menggunakan Model F.J. Mock.
Mencari data untuk studi seperti data curah hujan dan data klimatologi.
Selain survei lapangan, pada tahap ini juga dilakukan wawancara dengan
penduduk setempat tentang keadaan di sekitar sungai dan berbagai
permasalahan yang mencakup daerah studi, serta pencarian data yang terkait
yaitu data curah hujan, data klimatologi, data topografi, data debit sungai, dan
lain lain.
2.
3.
Analisa
data
klimatologi.
Dengan
menganalisa
data
27
28
BAB IV
HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN
4.1
curah hujan titk (point rainfall) karena hanya satu stasiun hujan saja yang berpengaruh
pada kondisi studi yakni stasiun hujan Wagir. Data hujan yang di pakai adalah data
hujan bulanan.
4.2
langkah
perhitungan
Evapotranspirasi
Potensial
dengan
Januari) :
1. Input data klimatologi yang meliputi suhu, kelembaban relatif, penyinaran
matahari, dan kecepatan angin.
2. Menentukan besarnya koefisien F1, F2, dan F3 menggunakan persamaan (2-10),
(2-11), dan (2-13).
F1
A (0,18 + 0,55 S )
A + 0,27
= 0,314
Di mana A adalah besarnya nilai slope tekanan uap berdasarkan suhu pada
bulan Januari sebesar 23,7oC. Sedangkan S adalah data rata rata lamanya
penyinaran matahari dalam satu bulan.
F2
A . B (0,56 0,092
A + 0,27
ed )
17,974 )
28
29
= 1,958
Di mana B adalah besarnya nilai radiasi benda hitam berdasarkan suhu pada
bulan Januari sebesar 23,7oC. Sedangkan ed adalah nilai tekanan uap jenuh
aktual.
F3
= 0,382
ETp
Di mana R adalah angka angot yang besarnya ditentukan oleh letak lintang
stasiun klimatologi, r adalah besarnya koefisien refleksi, dan K adalah
koefisien evaporasi permukaan.
Perhitungan evapotranspirasi potensial untuk bulan berikutnya di sajikan pada
tabel 4.1.
Tabel 4.1 Hasil Perhitungan Evapotranspirasi Potensial Metode Penmann
No
Bulan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Jan
Feb
Mar
Apr
May
Jun
Jul
Aug
Sep
Oct
Nov
Dec
29
ETp
(mm)
97.502
93.573
117.499
126.426
141.686
130.779
139.040
147.127
143.887
142.666
112.070
92.189
30
Langkah langkah pendugaan debit aliran yang tersedia dengan model F.J.
Mock adalah sebagai berikut (di ambil contoh bulan Januari) :
I. Input data curah hujan bulanan
II. Menentukan besarnya nilai evapotranspirasi aktual (Eta)
1. Input data Evapotranspirasi potensial (ETp) pada bulan Januari yang di
diperoleh dari perhitungan sebelumnya yakni sebesar 97,502 mm/bln.
2. Menentukan besarnya parameter permukaan lahan terbuka (m). Untuk
lahan pertanian yang di olah (sawah dan ladang) ditaksir harga m sebesar
50 %.
3.
m
. (18 n)
20
4. E
0,5
. (18 7) = 27,5
20
5. ETa
= ETp - E
= 97,502 26,813
= 70,689 mm/bln
= P ETa
= 114 70,689
= 43,311 mm/bln
2.
30
31
3.
4.
2.
3.
k . V (n-1)
V
(n-1)
penentuan pada awal bulan (initial storage) ditaksir sebesar 1000 mm.
4.
= k . Vn-1 + (1+k). I
= 700 + 18,407
= 718,407 mm/bln
5.
= Vn - Vn-1
31
32
= 718,407 1000
= -281,593 mm/bln
6.
= I - dVn
= 21,656 (-281,593)
= 303,248 mm/bln
7.
= WS I
= 43,311 21,656
= 21,656 mm/bln
8.
= BF + DRo
= 303,248 + 21,656
= 324,904 mm/bln
Ro
. A . 10.6 /( n.24.3600)
1000
324,904
. 5,21 . 10.6 /(31.24.3600)
1000
= 0,632 m3/dt
Jadi besarnya debit aliran sungai yang mengalir pada daerah tangkapan air
Bendung Akir pada Bulan Januari adalah sebesar 0,632 m3/dt.
Parameterisasi Model F.J. Mock di lakukan dengan cara mencoba coban nilai
dari parameter Model F.J. Mock seperti singkapan lahan (m), koefisien infiltrasi (i),
kapasitas kelembaban tanah (SMC), penyimpanan awal (IS), dan faktor resesi aliran air
tanah (k) hingga mendapatkan Q
nilainya mendekati nilai Q
model
observasi
parameterisasi Model F.J. Mock disajikan pada tabel 4.2 dan hasil pendugaan
komponen neraca air DAS Akir menggunakan Model F.J. Mock di sajikan pada tabel
4.3
32
33
Tabel 4.2 Parameter - parameter Model F.J. Mock Pada DAS Akir
No
Parameter
Keterangan
Besar
1
m
Singkapan lahan
2
i
Koefisien infiltrasi
3
SMC
Kapasitas kelembaban tanah
4
IS
Penyimpanan awal
5
k
Faktor resesi aliran air tanah
Sumber : Hasil Perhitungan
50.0
0.5
250.0
1000.0
0.7
Tabel 4.3 Komponen Neraca Air DAS Akir Menggunakan Model F.J. Mock
P
No
Bulan
(mm)
1
Jan
114
2
Feb
295
3
Mar
409
4
Apr
314
5
May
70
6
Jun
173
7
Jul
25
8
Aug
0
9
Sep
0
10
Oct
31
11
Nov
330
12
Dec
607
Sumber : Hasil Perhitungan
Rata rata KAR
ETa
(mm)
70.689
84.216
117.499
120.105
92.096
94.815
83.424
80.920
79.138
85.599
100.863
103.712
GWS
(mm)
0.000
0.000
0.000
0.000
-22.096
0.000
-58.424
-80.920
-79.138
-54.599
0.000
0.000
BF
(mm)
303.248
231.331
199.603
176.127
137.831
102.346
77.506
54.254
37.978
26.584
35.794
79.988
Ro
(mm)
21.656
105.392
145.750
96.948
0.000
39.093
0.000
0.000
0.000
0.000
114.568
251.644
Q mod
(mm)
324.904
336.723
345.353
273.074
137.831
141.438
77.506
54.254
37.978
26.584
150.363
331.632
= 0,34 = 34 %
Keterangan :
ETa = Evapotranspirasi aktual
GWS= Tampungan air tanah
BF
= Aliran dasar
Ro
= Aliran permukaan
Q (mm)
0.600
0.500
0.400
0.300
0.200
0.100
0.000
Jan
Feb
Mar
Apr
May
Jun
Jul
33
Aug
Sep
Bulan
Model Mock
Data pengamatan
Oct
Nov
Dec
KAR
(%)
0.012
0.138
0.177
0.215
0.375
0.223
0.585
0.713
0.737
0.662
0.153
0.146
34
Gambar 4.1 Grafik Perbandingan Debit Aliran Sungai DAS Akir Hasil
Pendugaan Model F.J. Mock dan Debit Hasil Pengamatan (Penggunaan Lahan
Eksisting Tahun 2007)
Pola Neraca Air DAS Akir di Kecamatan Wagir
Kondisi Eksisting Penggunaan Lahan Tahun 2007
700.000
600.000
Q (mm)
500.000
400.000
300.000
200.000
100.000
0.000
Jan
Feb
Mar
Apr
May
Jun
Jul
Aug
Sep
Oct
Nov
Dec
Bulan
Hujan
Evapotranspirasi aktual
Gambar 4.2 Grafik Komponen Neraca Air DAS Akir Menggunakan Model F.J.
Mock Kondisi Eksisting Penggunaan Lahan Tahun 2007
BAB V
34
35
PENUTUP
5. 1 Kesimpulan
Berdasarkan seluruh rangkaian kegiatan studi ini, maka dapat diberikan
kesimpulan sebagai berikut.
1. Besar parameter-parameter Model F.J. Mock untuk Daerah Tangkapan Air
Bendung Akir adalah sebagai berikut.
= 50 %
= 0,5
SMC
= 250
IS
= 1000
= 0,7
= 2368,00 mm
= 1113,07 mm
= 775,05 mm
= -295,176 mm
= 1462,59 mm
= 2237,64 mm
5. 2 Saran
1.
Model F.J. Mock ini perlu dikembangkan lebih lanjut pada berbagai
DAS di Indonesia sebagai alat perencanaan pengelolaan DAS.
2.
35
36
3.
4.
36
37
DAFTAR PUSTAKA
Asdak, C. (2002). Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Hanafi, Imam. (2008). Aplikasi Model SWMHMS untuk Menduga Debit Aliran
Sungai (Studi Kasus DAS Ciliman). Skripsi Sarjana Teknik. Tidak Diterbitkan.
Fakultas Teknik Universitas Brawijaya. Malang.
Mock, F.J., (1973). Basic Study Prepared for the FAO / UNDP Land Capability
Apprasial Project. Tidak Diterbitkan. Bogor Indonesia
Rivani, Achmad. (2005). Analisis Neraca Air DAS Welang Menggunakan Model
NRECA dan Model SWMHMS. Skripsi Sarjana Teknik. Tidak Diterbitkan.
Fakultas Teknik Universitas Brawijaya. Malang.
Sosrodarsono, S dan K, Takeda. (1976). Hidrologi untuk Pengairan. PT. Pradnya
Paramita. Jakarta.
Sri Harto Br. (2000). Hidrologi (Teori, Masalah, Penyelesaian). PT. Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta.
Suhardjono. (1994). Kebutuhan Air Tanaman. Institut Teknologi Nasional Malang
Press. Malang.
Suripin, (2004). Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan. Andi Yogyakarta.
Yogyakarta.
37