Anda di halaman 1dari 14

PATOGENESIS KEJANG PADA LUPUS NEFRITIS

Mini Review

Presented by
Putri Wulan Sukmawati

Consultants:
Prof. M. Sjaifullah Noer, dr., SpA(K)
Dr. Ninik A. Soemyarso, dr., SpA(K)
Dr. Risky Vitria Prasetyo, dr., SpA(K)
M. Riza Kurniawan, dr., SpA

Department of Child Health


Faculty of Medicine Airlangga University
Dr. Soetomo Hospital Surabaya
2015

Bab 1
Pendahuluan
HASIL
Kategori mekanisme patogenesis
(Terminologi MeSH: SLE dengan penyakit SSP; SSP)
Mekanisme patogenesis yang ditelusuri di literatur dekelompokkan ke dalam lima kategori,
masing-masing terdiri dari satu atau beberapa proses yang berbeda (Tabel 1). Kami akan
mengevaluasi mekanisme pada masing-masing kategori ini, sejauh dianggap perlu, dan
memberi bukti pendukung mengapa mereka cenderung atau terbukti terdapat pada SLE, atau
mengapa mereka harus dikesampingkan.
I. Iskemia
Peran iskemia dalam menyebabkan gangguan SSP pada pasien dengan SLE tak terbantahkan
dan merupakan teori yang paling banyak diterima. Perubahan yang disebabkan oleh iskemia
dapat sebagian ireversibel dan sebagian lainnya reversibel, atau sepenuhnya reversibel.
Reperfusi dari daerah iskemik memiliki risiko edema dan perdarahan. Iskemia disebabkan
beberapa proses yang berujung pada penyempitan sementara atau permanen, atau oklusi
sejumlah aliran pembuluh darah. Faktor yang disebutkan dalam literatur berperan
menimbulkan iskemia pada SLE dirangkum dalam Tabel 2.
BOX 1. Kriteria Inklusi
1. Kelainan anatomi atau fungsional SSP, dapat diterima dengan alasan yang meyakinkan
disebabkan SLE, dan tidak disebabkan faktor sekunder, misalnya obat, infeksi atau
hipofungsi atau hiperfungsi organ internal
2. Antibodi dan zat-zat yang abnormal lain yang terkait dengan SLE, di serum atau cairan
serebrospinal
3. Kurangnya reaksi psikologis untuk SLE
4. Gejala neurologis dan psikiatris mungkin atau pasti karena (1), (2) atau (3)

TABEL 1. Lima kategori mekanisme yang mendasari CNS manifestasi

I Iskemia
II Perdarahan
III Kerusakan white matter
IV Kerusakan neuron
V Reaksi psikologis defisien
I.1: Antibodi Anti-fosfolipid (Terminologi MeSH: SLE dengan penyakit penyerta: penyakit
SSP; antibodi, anti fosfolipid; inhibitor koagulasi lupus; antibodi, anti cardiolipin).
Antibodi Anti-fosfolipid (APL) yang dilaporkan ditemukan pada pasien SLE berkisar antara
20-55% atau lebih [4, 5]. Dua komponen klasik dari APL adalah antibodi anti cardiolipin
(ACL) dan anti koagulan lupus (LAC). In vivo, APL dapat menimbulkan kondisi
prothrombosis [5], penjelasan mengenai hal ini belum sepenuhnya jelas. Terdapat bukti
adanya interaksi antara APL, produksi trombin dan aktivasi platelet [6]. Selain itu, APL
tampaknya berkontribusi terhadap perkembangan ateroma (lihat I.3. Aterosklerosis). APL
dilaporkan ditemukan pasien SLE, terkadang pada kadar yang tinggi, dengan berbagai
manifestasi SSP seperti berikut: khorea, empat dari enam pasien positif (satu persisten, tiga
bernilai positif dan negatif) [7]; epilepsi, 19 dari 42 pasien positif ACL dan tujuh dari 16
pasien positif LAC [8, 9]; oklusi arteri serebri besar, 17 dari 30 pasien positif ACL dan
setidaknya lima dari 30 pasien positif LAC [10]; mielopati, 16 dari 22 pasien positif ACL [11,
12]; sebuah grup dengan tujuh pasien persisten positif ACL menunjukkan performa yang
kurang dalam tes neurokognitif dibanding tiga kelompok lainnya, yaitu 5-24 pasien dengan
nilai positif atau negatif, atau persisten negatif [13]. Bukti hubungan antara APL dengan
stroke iskemik pada kondisi SLE adalah sebagai berikut.
(A) infark serebral pada pasien dengan SLE. Infark serebral lebih sering berkembang secara
signifikan pada pasien dengan LAC positif dibandingkan LAC negatif, seperti yang
ditunjukkan dalam penelitian prospektif jangka panjang dari 37 pasien positif vs 37 pasien
negatif dengan usia dan jenis kelamin yang telah dipasangkan. Infark serebral adalah
fenomena yang berkembang di kemudian hari pada penelitian ini. Pada penelitian prospektif
lain, tidak ditemukan hubungan antara gangguan pembuluh darah serebral (tidak termasuk
serangan iskemik transien/TIA) dan kadar ACL. Jumlah pasien pada penelitian ini cukup
bermakna (500) dan waktu pengamatan yang pendek (rata-rata, 8 bulan) [15].

(B) Trombosis pada pasien SLE. LAC dan ACL secara signifikan berhubungan dengan
trombosis arteri (miokard dan serebral) dan vena pasien dengan SLE [4, 16]. Pada penelitian
dengan sampel 175 pasien, LAC merupakan faktor risiko terkuat, baik untuk trombosis arteri
(Odds Ratio (OR) 9,77, 95% Confidence Interval (CI) 1,74-31,15) [4] dan trombosis vena
(OR 6.55, 95% CI 2,36-18,17) [4]. Skrining komponen APL lainnya, misalnya anti-b2glikoprotein I tidak memberi informasi tambahan [4, 16]. Kesimpulan ini dikonfirmasi oleh
hasil dari data base yang besar, Hopkins Lupus Cohort, meskipun datanya didapatkan dari
pasien yang tidak memenuhi kriteria ACR untuk SLE [17, 18].
(C) Trombosis pada pasien non-SLE. Walaupun hasil penelitian konsisten menunjukkan
peningkatan risiko kejadian iskemia serebral pada pasien dengan APL, namun terdapat
temuan yang membuat deviasi dari teori tersebut (untuk review, lihat referensi 19]. Hasil dari
dua penelitian besar, satu berbasis populasi, yang lainnya kohort oleh seorang dokter lakilaki, menunjukkan bahwa immunoglobulin G (IgG) ACL bukan merupakan faktor risiko
independen untuk stroke [20, 21]. Namun, IgG ACL secara signifikan berhubungan dengan
trombosis vena dalam [20] dan infark miokard [22]. Hasil penelitian lain menunjukkan
bahwa titer IgG ACL mungkin lebih berhubungan dengan kemungkinan terjadinya trombosis
dibandingkan nilai positif/negatifnya [23-26].
Kesimpulan. Terdapat hubungan antara APL dengan trombosis arteri dan vena pada pasien
SLE [argumen (b), atas]. LAC merupakan faktor risiko yang lebih kuat dibanding Ig ACL
[argumen (b)]. Hubungan antara APL dan stroke iskemik pada pasien dengan SLE cukup
besar [argumen (a) dan (b)]. Adanya APL dengan kriteria 2 dan 4 disepakati sebagai
mekanisme yang berkontribusi terhadap kejadian iskemia serebral.
TABEL 2. Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap iskemia SSP pada pasien SLE

I.1 Antibodi antifosfolipid


I.2 Antibodi lainnya
I.3 Aterosklerosis
I.4 Vaskulopati pembuluh darah kecil
I.5 Trombosis arteri atau vena
I.6 Emboli
I.7 Diseksi
I.8 Vaskulitis
I.9 Spasme pembuluh darah
I.10 faktor risiko lain yang hadir dalam populasi umum

I.2: Antibodi Lain yang Bertentangan dengan Antikoagulan Pasien SLE (terminologi MeSH:
SLE dan penyakit penyerta: penyakit SSP; gangguan pembekuan darah; protein C; protein S).
Kadar protein S cenderung menurun pada pasien SLE. Antibodi untuk protein S ditemukan
pada enam dari 27 pasien SLE tanpa APL. Tidak ditemukan hubungan dengan trombosis
arteri serebral dan stroke iskemik [27].
Kesimpulan. Adanya antibodi terhadap protein S tidak (belum?) memenuhi kriteria untuk
dimasukkan sebagai mekanisme.
I.3: Aterosklerosis Dini (terminologi MeSH: SLE dan penyakit penyerta: penyakit SSP;
arterioskerosis; lipid).
Faktor risiko aterosklerosis dini pada SLE dirangkum dalam Tabel 3 (lihat referensi 28-40].
Bukti bahwa SLE terlibat dalam aterosklerosis dini arteri ekstrakranial atau intrakranial dapat
dirangkum sebagai berikut.
TABEL 3. Faktor risiko aterosklerosis dini pada SLE
Proses inflamasi kronis dan faktor imunologi, termasuk antibodi antifosfolipid [30, 37, 38]
Dislipoproteinemia [36, 39]
Penyakit ginjal [40]
Pengobatan dengan kortikosteroid [28]
Faktor risiko lain untuk aterosklerosis pada populasi umum [28]

(A) Sebuah penelitian pada 498 wanita dengan SLE menunjukkan tingginya angka penyakit
jantung koroner. Pada kategori usia 35-44 tahun, tingkat infark miokard 50 kali lebih tinggi
dibanding wanita tanpa SLE [31].
(B) Pada 175 wanita dengan SLE, ditemukan hubungan yang kuat independen antara SLE
dan penyakit jantung koroner, dengan plak karotis fokal dan penebalan lapisan tunika intimamedia arteri karotis. [32] Stroke yang terjadi disebabkan infark serebral pada 28 dari 34
pasien dalam tiga penelitian retrospektif serial kasus besar yang melibatkan 591 pasien SLE
[33-35].
(C) Pasien dengan SLE, meski pada tahap tidak aktif, tanpa penyakit ginjal yang belum
diobati dengan kortikosteroid selama 6 bulan terakhir memiliki karakteristik kadar trigliserida
plasma yang tinggi dan densititas lipoprotein yang sangat rendah dan lipoprotein-densitas
tinggi yang rendah [36, 39].
(D) Metabolisme chylomicron pada 10 pasien yang dipilih dengan SLE aktif, tanpa penyakit
ginjal, yang tidak diobati dengan kortikosteroid, dibandingkan dengan kontrolnya yang
berada pada usia- sehat dan jenis kelamin yang sama ditemukan tidak normal karena tidak
insufisiensi lipolisis, putatively karena berkurangnya aktivitas lipoprotein lipase [36].
Kesimpulan. Ditemukan bukti yang mendukung proses aterosklerosis arteri karotis pada SLE
[argumen (A) dan (B)]. SLE menginduksi keadaan dislipoproteinemia dan tampaknya
berkontribusi terhadap kejadian aterosklerosis dini [argumen (c) dan (d)]. Aterosklerosis
sesuai dengan kriteria inklusi 1, 2 dan 4 dan diterima sebagai mekanisme.
I.4: Angiopati pembuluh darah kecil (terminologi MeSH: SLE dan penyakit penyerta:
penyakit SSP; SSP; patologi; otak; gangguan kognitif; MRI).
(A) Peneliti dari lima penelitian mengkonfirmasi keadaan post-mortem otak dari 88 pasien
abnormalitas struktural predominannya adalah berupa angiopati pembuluh darah kecil. [4145]. Perubahan di dinding pembuluh yang terkena digambarkan berupa proliferasi sel intima,
peningkatan jaringan fibrosa, dan hiperplasia mukoid atau hialinisasi. Lumen pembuluh darah
kecil dapat menjadi tersumbat oleh fibrin trombus, yang didahului oleh trombus atau jaringan
fibrosa. Pembuluh darah kecil dapat dikelilingi oleh kumpulan mikroglia, infark kecil,
6

pendarahan atau nekrosis white matter. Juga terdapat infiltrat inflamasi perivaskular. [41, 44].
Semua perubahan ini dapat terjadi di seluruh pia-arachnoid dan jaringan saraf.
(B) Pada MRI, gambar T2 dari otak menunjukkan pada banyak pasien lesi punktat kecil saat
intensitas sinyal meningkat, terlokalisir terutama di periventrikel dan subkortikal white
matter. Dari dua studi, hal ini terlihat pada 21 dari 40 pasien dengan manifestasi SSP
sebelumnya dan 19 dari 50 pasien tanpa manifestasi SSP [46, 47; untuk review lihat referensi
48]. Diduga bahwa mereka merepresentasikan infark kecil dengan hilangnya serabut saraf
dan [49] gliosis lokal [50].
(C) Patogenesis perubahan vaskular tidak jelas [51]. Hasil dari penyelidikan histopatologi
yang mendalam pada empat pasien menunjukkan angiopati pembuluh darah kecil lebih
menonjol pada pasien dengan APL dibanding mereka yang tidak memiliki APL [45].
(D) Vaskulopati pembuluh darah kecil serebral diduga menjadi dasar dari gangguan kognitif
pasien SLE yang dinyatakan tanpa penyakit neuropsikiatri [52]. Untuk mendukung hipotesis
ini, penyakit pembuluh darah kecil serebral karena hipertensi dan penuaan mengarah ke
demensia subkortikal [53, 54]. Pada satu pasien dengan SLE, penyelidikan biopsi
menunjukkan angiopati pembuluh darah kecil berperan pada leukoensefalopati [55].
Kesimpulan. Angiopati adalah kelainan histopatologi dominan pada SLE
[argumen (a)]. Diduga menyebabkan gangguan kognitif pada banyak pasien [argumen (d)].
Hal ini sesuai dengan kriteria 1 dan 4, dan dapat dimasukkan sebagai mekanisme.
I.5: Trombosis (terminologi MeSH: SLE dan penyakit penyerta: trombosis intrakranial;
penyakit arteri serebral; trombosis, arteri karotis; sinus trombosis intrakranial; pseudotumor
serebri).
(A) Insiden stroke iskemik pada pasien dengan SLE meningkat [33, 34, 35; untuk review,
lihat referensi 1] dan telah terbukti dalam beberapa kasus terjadi karena oklusi arteri besar
[10]. Aterosklerosis dini diduga terlibat dalam oklusi ini dan berhubungan langsung dengan
SLE (lihat I.3: Aterosklerosis dini). Proses lain yang berkontribusi terhadap oklusi adalah
peningkatan aktivasi sistem hemostatik. Biosintesis tromboksan meningkat pada pasien SLE,
yang turut meningkatkan aktivasi trombosit, dan kadar marker produk trombin plasma

(protrombin fragmen F1 2) meningkat [6]. APL lebih lanjut diduga menyebabkan


aterosklerosis dan mungkin memainkan peran dalam peningkatan aktivasi hemostasis [6, 37].
(B) Serial kasus pendek dan satu laporan kasus telah mempublikasikan trombosis vena
serebral (CVT) pada orang dewasa dan anak-anak dengan SLE [56-63; untuk diteliti kembali,
lihat referensi 1]. APL meningkatkan risiko trombosis vena pada pasien dengan SLE [4, 16]
dan diduga meningkatkan kemungkinan terjadinya CVT [64, 65]. Hubungan dua penyakit
langka seperti CVT dan SLE, bahkan pada dewasa muda dan anak-anak, adalah argumen kuat
untuk induksi yang satu oleh yang lain.
Kesimpulan. Trombosis arteri serebral dan vena kemungkinan akan diinduksi setidaknya
sebagian langsung oleh SLE dan sesuai dengan kriteria 1 dan 4. Hal ini dapat diterima untuk
dimasukkan sebagai mekanisme.
1.6: Emboli (istilah MeSH: SLE dengan embolisme intrakranial).
Emboli serebral mungkin berpotensi berasal dari katup atau vegetasi endokardial atau dari
plak di arteri karotis atau arteri besar lainnya [32, 41, 66].
(A) Dalam sebuah studi prospektif dari 69 pasien SLE selama hampir 5 tahun dan sekitar
60% dari pasien memiliki penyakit katup, lima pasien mengalami stroke iskemik.
Kesemuanya memiliki kelainan cardiovalvular [66].
(B) Dalam laporan kasus, embolisasi yang berasal jantung terbukti secara histologis [67, 68].
(C) Patolog setuju bahwa beberapa iskemik infark serebral harus dikaitkan dengan emboli
[41, 42].
(D) Insiden serangan iskemik transien (TIA) meningkat pada SLE. Beberapa mungkin
disebabkan emboli [lihat referensi 1].

III.1: Lesi Punktat Kecil White Matter. Lesi ini diduga disebabkan infark kecil dan angiopati
pembuluh darah kecil (lihat I.4: angiopati pembuluh darah kecil). Kesimpulan. lesi punktat
kecil white matter memenuhi kriteria 1 dan 4 dan diterima sebagai mekanisme.
III.2: Plak Demielinisasi di Otak dan Batang Otak
(Terminologi MeSH: SLE dengan penyakit demielinasi; MRI).
Argumen untuk jenis demielinasi ini secara klinis dan histologis.
(A) Klinis. Bentuk reversibel dan relaps dari beberapa sindrom CNS pada pasien dengan SLE
[88, 89] menyerupai gambaran MS relaps, terutama penyakit demielinasi. Reversibilitas
tanda-tanda klinis, tidak patognomik untuk demielinasi inflamasi, seperti yang ditunjukkan
oleh TIA dan pemulihan setelah serangan.
(B) Pencitraan. Perubahan fokal white matter otak divisualisasikan oleh MRI umumnya
dianggap karena infark iskemik dan edema, seperti yang ditampilkan dari sebuah analisis dari
27 pasien [90], spektroskopi pencitraan [91] dan review terbaru [48].
(C) Histologi. Daerah bulat atau oval kecil vakuolasi myelin dengan beberapa derajat
kerusakan akson, atau daerah nekrosis white matter dengan vakuolasi myelin di pinggiran
lesi, ditemukan pada tiga pasien SLE berusia 13, 21 dan 42 tahun [44, 92, 93]. Dua dari
mereka, daerahnya jelas terlokalisir di sekitar vena. Perubahan diamati di seluruh substantia
alba otak, ganglia basalis dan batang otak dan substantia alba sumsum tulang belakang.
Pasien dengan ensefalopati subakut, mielopati atau keduanya. Lesi ini diduga disebabkan
ensefalomielitis demielinasi akut (ADEM) yang memperberat SLE [92, 93]. ADEM
merupakan kejadian langka dan umumnya mengenai anak-anak. Pada pasien dengan SLE
9

terdefinisi inkomplit, tampak beberapa lesi oval dengan nekrosis atau vakuolasi mielin
terutama di pinggiran white matter sumsum tulang belakang dan diduga berhubungan dengan
obstruksi pembuluh darah kecil yang menembus dari pia-arachnoid ke sumsum tulang
belakang [94].
Kesimpulan. Vakuolasi myelin luas (perivenou) atau nekrosis SSP hanya ditemukan pada
beberapa kasus dan mungkin merupakan penyakit SSP terkait autoimun atau mekanisme yang
diinduksi SLE. Untuk saat ini, itu dianggap memenuhi kriteria inklusi 1 dan 4 dan diterima
sebagai mekanisme.
III.3: Lesi White Matter pada Neuropati Optik dan Mielitis Transversa (terminologi MeSH:
SLE dengan penyerta: penyakit saraf optik; neuritis optik; penyakit sumsum tulang belakang;
mielitis transversa; neuromielitis optika).
Optik neuropati atau mielopati terjadi pada setiap sekitar 1% pasien dengan SLE. Mielopati
mungkin lebih sering terjadi dibanding neuropati optik [lihat referensi 1, bagian 28, 29:
neuropati optik dan mielopati]. Dua sindrom terjadi pada substansial minoritas dari pasien
yang terkena secara berurutan atau secara simultan (sindrom Devic atau MS tipe optikspinal), seperti yang ditunjukkan oleh studi dengan 105 kasus [95]. Sindrom Devic sendiri
dianggap oleh beberapa penulis merupakan penyakit autoimun. Mielopati sindrom Devic
meluas pada dua atau lebih vertebra dan ditandai secara histologis oleh adanya nekrosis dan
kavitasi. Bentuk klinis sindrom Devic adalah monofasik, relaps atau kronis [96-99]. MRI dari
neuropati optik SLE tidak diketahui secara pasti.
Variabel derajat pembengkakan dan peningkatan sinyal intensitas gambar T2 telah
digambarkan pada pasien dengan SLE tak terdefinisi [100]. Histopatologi belum diteliti
dengan cukup [101]. Temuan MRI paling umum pada SLE mielopati adalah abnormalitas
sinyal T1 dan T2 dan pelebaran cord [102]. Lesi MRI lebih panjang dibanding sebagian besar
kasus MS [103] dan mirip dengan sindrom Devic. Lesi ini mungkin dapat meluas ke
sepanjang medulla spinalis [102, 104]. Sejak tahun 1980, pemeriksaan patologis mielopati
SLE telah dilakukan pada satu kasus yang pasti SLE [44] dan pada dua pasien lainnya yang
belum diberi kriteria diagnosis SLE [94]. Perubahan histologis pada pasien SLE dan satu
pasien dengan SLE tak terdefinisi meliputi vakuolasi myelin atau nekrosis daerah oval,
terutama di pinggiran white matter. Lesi pasien kedua dengan SLE tak terdefinisi mirip
dengan yang terlihat pada kasus SLE yang dijelaskan sebelum tahun 1980 [41]. Mielopati
10

telah muncul pada kasus terakhir ini selama berbulan-bulan [41]. Pada penyelidikan postmortem, degenerasi white matter melibatkan mielin dan akson terlihat pada segmen serviks
hingga sakral dan di sekeliling cord, paling parah di pinggiran. Vakuolasi mielin terlihat pada
batas lesi, berbatasan dengan white matter normal [41]. Kompresi sumsum tulang belakang
berkembang pada pasien dengan hematoma subdural spinal atau epidural (untuk review, lihat
referensi 1, pasal 17, 18: Subdural dan epidural hematoma).
Kesimpulan. Masih banyak-pertanyaan yang belum terjawab terkait neuropati dan mielopati
optik terinduksi SLE. Degenerasi white matter pada saraf optik dan saraf tulang belakang
sesuai dengan kriteria 1 dan 4 dan diterima untuk dimasukkan sebagai mekanisme.
III.4: Leukoensefalopati (Terminologi MeSH: SLE dengan leukoensefalopati).
Seperti ditunjukkan dalam laporan kasus, leukoensefalopati dapat berkembang di otak dan
batang otak pasien SLE dalam beberapa hari, minggu atau periode yang lebih panjang [55,
105-109]. Lesi mungkin sebagian besar atau sebagian reversibel dan dalam kasus tersebut
diduga disebabkan edema. Pada kebanyakan pasien, penyebab pasti belum teridentifikasi.
Leukoensefalopati pernah ditemukan pada pasien dengan sindrom pseudotumor serebri [108].
Hal yang menarik adalah leukoensefalopati tipe reversibel dapat berkembang sebagai
hipertensi emergensi dan terkait hubungannya dengan terapi obat (siklosporin, tacrolimus,
interferon-a, FK 506, eritropoietin) atau trombotik trombositopenik purpura dan gangguan
lain [110, 111]. lesi ini mendominasi pada kebanyakan kasus di bagian posterior otak, lobus
oksipital, parietal dan atau temporal, menyebar dari sana ke bagian lain. Pada sebagian besar
pasien mereka menimbulkan sindrom ensefalopati dengan kehilangan penglihatan dan tandatanda neurologis lainnya [sindrom leukoensefalopati posterior (PLS)]. PLS telah didiagnosis
pada dua pasien dengan lupus nephritis (Kriteria SLE tidak diberikan) [110]. Beberapa pasien
dengan SLE tak terdefinisi digambarkan memiliki keluhan penglihatan dan lesi white matter
reversibel mendominasi di daerah oksipital [112].
Kesimpulan. leukoensefalopati selain PLS dianggap memenuhi Kriteria 1 dan 4 dan dapat
dimasukkan sebagai mekanisme.
IV: Disfungsi Neuron Karena Antibodi (Tabel 5)
(Terminologi MeSH: SLE disertai: antibodi; sitokin)
Autoantibodi terhadap reseptor membran neuronal dapat menghambat neurotransmisi di SSP
dan penyebab dari gangguan neurologis. Penyelidikan bentuk spesifik dari ataksia serebelar
paraneoplastik memberikan argumen yang kuat untuk hipotesis ini [113]. Antibodi terhadap

11

nuclear antigen atau sitoplasma neuronal dianggap oleh beberapa penulis tidak menjadi
neuropatogenesis sendiri, tapi untuk mencerminkan aktivasi T-limfosit [114].
Bukti mengenai peran antibodi dalam patogenesis disfungsi neuron pada SLE untuk saat ini
sirkumstansial, baik dari sudut pandang klinis dan laboratorium. SLE psikosis, didefinisikan
dalam DSM IV sebagai 'gangguan karena kondisi medis umum' [1, 115], tidak berhubungan
dengan perubahan struktural apapun yang dikenal dan pulih tanpa kelainan residual.
Beberapa bentuk klinis mungkin dapat dijelaskan oleh antibodi yang diinduksi disfungsi saraf
reversibel. Hubungan dengan antibodi neuronal dan gangguan kognitif dapat diperkirakan.
Perubahan neuropatologis pada pasien dengan chorea dalam beberapa kasus kabur dan tidak
dapat dijelaskan secara sederhana oleh kelainan pembuluh darah fokal [117]. Sindrom yang
dimediasi antibodi akan menjadi alternatif. Peran antibodi juga diduga berkontribusi dalam
patogenesis sekresi hormon antidiuretik yang tidak tepat pada pasien SLE [118, 119].
Meskipun banyak penulis telah menemukan antibodi antineuronal pada pasien dengan SLE,
namun belum ada bukti yang kuat untuk menerangkan hubungan kausal antibodi tertentu
dengan sindrom SSP. Bukti terkuat untuk hubungan, selama tetap mengacu pada signifikansi
klinis, adalah tiga phosphoprotein ribosom (Antiribosomal antibodi P) [121]. Mereka sering
ditemukan pada pasien dengan lupus psikosis dan mengalami peningkatan selama fase aktif
gangguan ini. Namun, mereka tidak ditemukan pada semua pasien dengan lupus psikosis dan
tidak spesifik untuk lupus psikosis atau penyakit SSP [121, 126].
Sitokin dan komplemen terlibat dalam proses immunologis SSP tapi bagaimana interaksi dan
peran terhadap penyakit SSP dan apakah mereka berhubungan dengan sindrom SSP spesifik
belum jelas.
Kesimpulan. disfungsi saraf karena antibodi pada penyakit SSP diinduksi SLE tampaknya
gagasan yang menarik dan mungkin menjelaskan mengenai sindrom SSP. Namun, belum
terdapat cukup bukti yang mendukung. Oleh karena itu belum dapat diterima sebagai
mekanisme untuk sindrom klinis pada SLE.
V: Reaksi Psikologis Defisit (Terminologi MeSH: SLE diikuti: kemampuan koping; depresi;
gangguan mood; gangguan kecemasan)
Istilah 'koping' mengacu pada strategi yang digunakan oleh individu untuk mengelola situasi
stres kehidupan [128, 129]. Penyakit fisik dapat menjadi situasi kehidupan yang sulit dan
mungkin mendahului timbulnya depresi atau kecemasan ketika tidak mampu untuk koping
(tidak cukup atau tidak normal) [128, 130, 131]. Kecenderungan untuk mengalami depresi
klinis saat menghadapi situasi kehidupan yang penuh stres tampaknya diwariskan. Hasil studi
12

46 pasien dengan SLE tak terdefinisi menunjukkan bahwa strategi koping yang digunakan
tidak spesifik untuk penyakit tertentu [132].
Kesimpulan. Kemampuan koping dan predisposisi genetik tampaknya terlibat dalam reaksi
psikopatologis pada pasien dengan SLE, seperti dalam penyakit kronis lainnya. Mereka
memenuhi kriteria 3 dan 4 dan diterima sebagai mekanisme penyakit pada SLE.
Diskusi
Pengetahuan saat ini menganggap iskemia menjadi penyebab utama manifestasi SSP pada
SLE. Mekanisme-yang menyebabkan iskemia beragam dan berkaitan dengan abnormalitas
koagulasi; penebalan dinding pembuluh oleh penyebab yang berbeda; pembentukan plak
aterosklerotik fokal pada arteri besar; dan dalam beberapa kasus, proses peradangan. Pada
beberapa pasien, sindrom SSP disebabkan perdarahan intrakranial dan intraspinal tetapi
faktor yang menyebabkan pecahnya dinding pembuluh belum dianalisis secara jelas. Lesi
pada white matter otak pada umumnya mengalami iskemik dan untuk beberapa kasus
disebabkan edema reversibel. Perubahan white matter pada saraf optik dan tulang belakang
kurang dapat dipahami. Disfungsi neuron yang dimediasi antibodi masih dalam penyelidikan.
Defisiensi reaksi psikologis cenderung memainkan peran penting dan merupakan milik
dimensi lain.
Tabel 6 menggabungkan hasil dari penyelidikan literatur ini dengan penyelidikan kami
sebelumnya mengenai sindrom SSP pada SLE [1]. Sebuah versi modifikasi dari Sistem tata
nama ACR ditampilkan di kolom sebelah kiri. Kolom kanan menyediakan kemungkinan
mekanisme patogenesis, seperti diulas dalam dua penyelidikan tersebut.
Kemajuan yang telah dibuat dalam pengetahuan kita tentang mekanisme patogenesis
manifestasi SSP yang disebabkan SLE memiliki konsekuensi terapi. Penyempitan pembuluh
darah dan plak aterosklerotik berkembang secara bertahap dan tidak reversibel. Intervensi
untuk pencegahan primer telah diajukan dan memerlukan evaluasi, misalnya profilaksis
aspirin dan menurunkan konsentrasi lipid serum [133, 134].
Infark iskemik dan perdarahan terjadi tiba-tiba dan dalam beberapa kasus mungkin
membutuhkan intervensi, seperti trombolisis dari arteri intrakranial besar yang tersumbat
[135] dan clipping atau coiling aneurisma [83, 85]. Antikoagulasi dapat diindikasikan untuk
trombosis sinus serebral [136]. Pada kasus oklusi arteri, pencegahan sekunder diperlukan [5,
137]. Efikasi semua bentuk pengobatan pada pasien SLE memerlukan penyelidikan dan
konfirmasi. Pencegahan dan cara pengobatan (gejala) baru tidak hanya untuk TIA dan stroke.
13

Strategi untuk mencegah perubahan vaskular mungkin relevan untuk fungsi kognitif pasien.
Mempersiapkan pasien untuk ketidakpastian penyakit mereka dapat membantu untuk
mencegah reaksi psikologis. Untuk sindrom SSP lainnya, pengetahuan lebih luas dibutuhkan
berkaitan dengan patogenesis mereka sebelum menerapkan pendekatan yang sama, misalnya
pencegahan edema serebral pada SLE. Meskipun pencegahan dan pengobatan sindrom SSP
tidak menyembuhkan SLE, namun hal ini dapat meningkatkan kesejahteraan dan
kelangsungan hidup pasien.

TABEL 5
Antibodi
Antibodi antineuron

Target
50kDa protein

Sindrom
membrane -

sinapsis [120];
Antibodi antiribosom P

52 kDa protein neuron [116] Gangguan kognitif?


Protein ribosom P0, P1, P2 Psikosis, depresi [121]

Antibodi antineurofilamen
APL

[121]
205 dan 160 kDa [122]
B-glikoprotein I [123]

Gangguan kognitif [13, 125]

Myelin? [124]
Indirek, oleh efek koagulasi
dan pembuluh darah

14

Anda mungkin juga menyukai