Anda di halaman 1dari 17

PATOGENESIS KEJANG PADA LUPUS NEFRITIS

Mini Review

Presented by
Putri Wulan Sukmawati

Consultants:
Prof. M. Sjaifullah Noer, dr., SpA(K)
Dr. Ninik A. Soemyarso, dr., SpA(K)
Dr. Risky Vitria Prasetyo, dr., SpA(K)
M. Riza Kurniawan, dr., SpA

Department of Child Health


Faculty of Medicine Airlangga University
Dr. Soetomo Hospital Surabaya
2015

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Lupus serebral terjadi pada 24%-50% dari semua pasien di
Amerika Serikat penyakit ini merupakan salah satu manifestasi yang
paling sulit untuk didiagnosa sebagai lupus serebral. Kemajuan dalam
pencitraan dan analisis laboratorium telah memberikan kontribusi
untuk diagnosis awal dan lebih spesipik bagi lupus serebral.
Meskipun

peningkatan

dalam

kemampuan

untuk

mengobati

lupus, pengelolaannya tetap tidak memuaskan.


1.2 Tujuan

Bab 2
Lupus Nefritis
Lupus

eritematosus

sistemik

(SLE)

merupakan

penyakit

inflamasi autoimun kronis dengan etiologi yang belum diketahui serta


manifestasi klinis, perjalanan penyakit dan prognosis yang sangat
beragam. Penyakit ini terutama menyerang wanita usia reproduksi
dengan angka kematian yang cukup tinggi. Faktor genetik, imunologik
dan hormonal serta lingkungan diduga berperan dalam patofisiologi
SLE. 1
Lupus

adalah

penyakit

autoimun

yang

ditandai

dengan

peradangan akut dan kronis dari berbagai jaringan tubuh. Penyakit


autoimun merupakan penyakit yang terjadi ketika jaringan-jaringan
tubuh diserang oleh sistem imunnya sendiri. Insiden tahunan SLE di
Amerika serikat sebesar 5,1 per 100.000 penduduk, sementara
prevalensi SLE di Amerika dilaporkan 52 kasus per 100.000
penduduk,10dengan
9-14:1.

rasio

jender

wanita

dan

laki-laki

antara

Belum terdapat data epidemiologi SLE yang mencakup

semua wilayah Indonesia.


Lupus eritematous sistemik (SLE) adalah penyakit kronis,
inflamasi dari jaringan ikat. Hal ini ditandai dengan produksi
autoantibodi patogen dan komplek imun. Meskipun SLE terjadi pada
orang dari segala usia dan ras pada kedua jenis kelamin, ada insiden
yang lebih tinggi di kalangan perempuan antara 13 dan 40 tahun.
Menurut American College of Rheumatology, untuk diagnosis SLE,
pasien harus memiliki minimal 4 dari organ yang terlibat berikut: ginjal
(proteinuria

atau

gips

seluler

dalam

urin),

jantung

(pleuritis/

perikarditis), kulit (ruam malar atau diskoid),

sendi

(arthritis),sistem

hematologi (anemia, trombositopenia, neutropenia), otak dan sumsum


tulang belakang (kejang,psikosis,mielitis)3
Prevalensi SLE di Indonesia sampai saat ini belum pernah
dilaporkan. Pada dekade terakhir terlihat adanya kenaikan kasus yang
berobat di jakarta. Salah satu faktor

adalah

yang

perlu

meningkat,

gambaran

klinis

untuk
kasus

SLE

itu

yang

kewaspadaan

dokter

upaya penyebarluasan

perlu

diketahui

sehingga

diagnosis lebih dini dan pengobatan lebih akurat. 4

Bab 3
Patogenesis Kejang pada Lupus Nefritis

Mekanisme patogenesis manifestasi pada sistem susunan saraf


pusat yang ditelusuri di literatur dekelompokkan ke dalam lima
kategori, masing-masing terdiri dari satu atau beberapa proses yang
berbeda (Tabel 1).
3.1 Iskemia
Peran iskemia dalam menyebabkan gangguan Susunan Saraf
Pusat (SSP) pada pasien dengan Systemic Lupus Erythemathosus
(SLE) masih belum dapat disingkirkan, dan merupakan teori yang
paling banyak diterima. Perubahan yang disebabkan oleh iskemia
dapat ireversibel dan sebagian lainnya reversibel, atau sepenuhnya
reversibel. Reperfusi dari daerah iskemik memiliki risiko edema dan
perdarahan. Iskemia disebabkan beberapa proses yang berujung pada
penyempitan sementara atau permanen, atau oklusi sejumlah aliran
pembuluh darah. Faktor yang disebutkan dalam literatur berperan
menimbulkan iskemia pada Systemic Lupus Erythemathosus (SLE)
dirangkum dalam Tabel 2.1
TABEL 1. Lima kategori mekanisme yang mendasari CNS manifestasi
I Iskemia
II Perdarahan
III Kerusakan white matter
IV Kerusakan neuron
V Reaksi psikologis defisien

3.2 Antibodi Anti-fosfolipid


Antibodi Anti-fosfolipid (APL) yang dilaporkan ditemukan pada
pasien SLE berkisar antara 20-55% atau lebih 2, 3. Dua komponen
klasik dari APL adalah antibodi anti cardiolipin (ACL) dan anti
koagulan lupus (LAC). In vivo, APL dapat menimbulkan kondisi
prothrombosis3, penjelasan mengenai hal ini belum sepenuhnya jelas.

Terdapat bukti adanya interaksi antara APL, produksi trombin


dan aktivasi platelet4. Selain itu, APL tampaknya berkontribusi
terhadap perkembangan ateroma. APL dilaporkan ditemukan pasien
SLE, terkadang pada kadar yang tinggi, dengan berbagai manifestasi
SSP seperti berikut: khorea, empat dari enam pasien positif (satu
persisten, tiga bernilai positif dan negatif) 5, epilepsi, 19 dari 42 pasien
positif ACL dan tujuh dari 16 pasien positif LAC

6, 7

, oklusi arteri serebri

besar, 17 dari 30 pasien positif ACL dan setidaknya lima dari 30


pasien positif LAC8, mielopati, 16 dari 22 pasien positif ACL 9,

10

Hubungan antara APL dengan stroke iskemik pada kondisi SLE:


a. Infark serebral pada pasien dengan SLE.
Infark serebral lebih sering berkembang secara signifikan
pada pasien dengan LAC positif dibandingkan LAC negatif,
seperti yang ditunjukkan dalam penelitian prospektif jangka
panjang dari 37 pasien positif dan 37 pasien negatif dengan
usia dan jenis kelamin yang telah dipasangkan. Infark serebral
adalah fenomena yang berkembang di kemudian hari pada
penelitian ini.
Pada penelitian prospektif lain, tidak ditemukan hubungan
antara gangguan pembuluh darah serebral (tidak termasuk
serangan iskemik transien/TIA) dan kadar ACL. Jumlah pasien
pada

penelitian

ini

cukup

bermakna

(500)

dan

waktu

pengamatan yang pendek (rata-rata, 8 bulan) 11.


b. Trombosis pada pasien SLE. LAC dan ACL secara signifikan
berhubungan dengan trombosis arteri (miokard dan serebral)
dan vena pasien dengan SLE 4, 12.
Pada penelitian dengan sampel 175 pasien, LAC merupakan
faktor risiko terkuat, baik untuk trombosis arteri (Odds Ratio
(OR) 9,77, 95% Confidence Interval (CI) 1,74-31,15) dan
trombosis vena (OR 6.55, 95% CI 2,36-18,17)2.
Terdapat hubungan antara APL dengan trombosis arteri
dan vena pada pasien SLE. LAC merupakan faktor risiko yang
lebih kuat dibanding Ig ACL. Hubungan antara APL dan stroke
iskemik pada pasien dengan SLE cukup besar. Adanya APL

dengan

kriteria

disepakati

sebagai

mekanisme

yang

berkontribusi terhadap kejadian iskemia serebral.


Tabel 2. Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap iskemia SSP pada pasien
SLE
I.1 Antibodi antifosfolipid
I.2 Antibodi lainnya
I.3 Aterosklerosis
I.4 Vaskulopati pembuluh darah kecil
I.5 Trombosis arteri atau vena
I.6 Emboli
I.7 Diseksi
I.8 Vaskulitis
I.9 Spasme pembuluh darah
I.10 faktor risiko lain yang hadir dalam populasi umum

3.3 Antibodi Lain yang Bertentangan dengan Antikoagulan Pasien SLE


Kadar protein S cenderung menurun pada pasien SLE.
Antibodi untuk protein S ditemukan pada enam dari 27 pasien SLE
tanpa APL. Tidak ditemukan hubungan dengan trombosis arteri
serebral dan stroke iskemik. [27]. Adanya antibodi terhadap protein
S tidak memenuhi kriteria untuk dimasukkan sebagai mekanisme.
3.4 Aterosklerosis Dini
Faktor risiko aterosklerosis dini pada SLE pada Tabel 3.
Tabel 3 Faktor risiko aterosklerosis dini pada SLE
Proses inflamasi kronis dan faktor imunologi, termasuk antibodi antifosfolipid
Dislipoproteinemia
Penyakit ginjal
Pengobatan dengan kortikosteroid
Faktor risiko lain untuk aterosklerosis pada populasi umum

3.5 Trombosis
Thrombosis intracranial, penyakit arteri serebral, trombosis,
arteri karotis, sinus trombosis intracranial, pseudotumor serebri.
a. Insiden stroke iskemik pada pasien dengan SLE meningkat [33,
34, 35; untuk review, lihat referensi 1] dan telah terbukti dalam
beberapa

kasus terjadi

karena

oklusi

arteri

besar [10].

Aterosklerosis

dini

diduga

terlibat

dalam

berhubungan langsung dengan SLE.


b. Proses lain yang berkontribusi terhadap

oklusi

ini

oklusi

dan

adalah

peningkatan aktivasi sistem hemostatik. Biosintesis tromboksan


meningkat pada pasien SLE, yang turut meningkatkan aktivasi
trombosit, dan kadar marker produk trombin plasma (protrombin
fragmen F1 2) meningkat [6]. APL lebih lanjut diduga
menyebabkan aterosklerosis dan mungkin memainkan peran
dalam peningkatan aktivasi hemostasis [6, 37].
c. Serial kasus pendek dan satu laporan

kasus

telah

mempublikasikan trombosis vena serebral (CVT) pada orang


dewasa dan anak-anak dengan SLE [56-63; untuk diteliti
kembali, lihat referensi 1]. APL meningkatkan risiko trombosis
vena pada pasien dengan SLE [4, 16] dan diduga meningkatkan
kemungkinan terjadinya CVT [64, 65]. Trombosis arteri serebral
dan vena kemungkinan akan diinduksi setidaknya sebagian
langsung oleh SLE.
3.6 Emboli
Emboli serebral mungkin berpotensi berasal dari katup atau
vegetasi endokardial atau dari plak di arteri karotis atau arteri
besar lainnya [32, 41, 66].
a. Dalam sebuah studi prospektif dari 69 pasien SLE selama
hampir 5 tahun dan sekitar 60% dari pasien memiliki penyakit
katup, lima pasien mengalami stroke iskemik. Kesemuanya
memiliki kelainan cardiovalvular [66].
b. Dalam laporan kasus, embolisasi yang berasal jantung terbukti
secara histologis [67, 68].
c. Patolog setuju bahwa beberapa iskemik infark serebral harus
dikaitkan dengan emboli [41, 42].
d. Insiden serangan iskemik transien (TIA) meningkat pada SLE.
Beberapa mungkin disebabkan emboli.

III.1: Lesi Punktat Kecil White Matter. Lesi ini diduga disebabkan infark
kecil dan angiopati pembuluh darah kecil (lihat I.4: angiopati pembuluh
darah kecil). Kesimpulan. lesi punktat kecil white matter memenuhi kriteria
1 dan 4 dan diterima sebagai mekanisme.
III.2: Plak Demielinisasi di Otak dan Batang Otak
(Terminologi MeSH: SLE dengan penyakit demielinasi; MRI).
Argumen untuk jenis demielinasi ini secara klinis dan histologis.
(A) Klinis. Bentuk reversibel dan relaps dari beberapa sindrom CNS pada
pasien dengan SLE [88, 89] menyerupai gambaran MS relaps, terutama
penyakit demielinasi. Reversibilitas tanda-tanda klinis, tidak patognomik
untuk demielinasi inflamasi, seperti yang ditunjukkan oleh TIA dan
pemulihan setelah serangan.
(B) Pencitraan. Perubahan fokal white matter otak divisualisasikan oleh
MRI umumnya dianggap karena infark iskemik dan edema, seperti yang
ditampilkan dari sebuah analisis dari 27 pasien [90], spektroskopi
pencitraan [91] dan review terbaru [48].
(C) Histologi. Daerah bulat atau oval kecil vakuolasi myelin dengan
beberapa derajat kerusakan akson, atau daerah nekrosis white matter
dengan vakuolasi myelin di pinggiran lesi, ditemukan pada tiga pasien
SLE berusia 13, 21 dan 42 tahun [44, 92, 93]. Dua dari mereka,
daerahnya jelas terlokalisir di sekitar vena. Perubahan diamati di seluruh
substantia alba otak, ganglia basalis dan batang otak dan substantia alba
sumsum tulang belakang. Pasien dengan ensefalopati subakut, mielopati
atau keduanya. Lesi ini diduga disebabkan ensefalomielitis demielinasi
akut (ADEM) yang memperberat SLE [92, 93]. ADEM merupakan kejadian
langka dan umumnya mengenai anak-anak. Pada pasien dengan SLE
terdefinisi inkomplit, tampak beberapa lesi oval dengan nekrosis atau
vakuolasi mielin terutama di pinggiran white matter sumsum tulang

belakang dan diduga berhubungan dengan obstruksi pembuluh darah


kecil yang menembus dari pia-arachnoid ke sumsum tulang belakang [94].
Kesimpulan. Vakuolasi myelin luas (perivenou) atau nekrosis SSP hanya
ditemukan pada beberapa kasus dan mungkin merupakan penyakit SSP
terkait autoimun atau mekanisme yang diinduksi SLE. Untuk saat ini, itu
dianggap memenuhi kriteria inklusi 1 dan 4 dan diterima sebagai
mekanisme.
III.3: Lesi White Matter pada Neuropati Optik dan Mielitis Transversa
(terminologi MeSH: SLE dengan penyerta: penyakit saraf optik; neuritis
optik; penyakit sumsum tulang belakang; mielitis transversa; neuromielitis
optika).
Optik neuropati atau mielopati terjadi pada setiap sekitar 1% pasien
dengan SLE. Mielopati mungkin lebih sering terjadi dibanding neuropati
optik [lihat referensi 1, bagian 28, 29: neuropati optik dan mielopati]. Dua
sindrom terjadi pada substansial minoritas dari pasien yang terkena
secara berurutan atau secara simultan (sindrom Devic atau MS tipe optikspinal), seperti yang ditunjukkan oleh studi dengan 105 kasus [95].
Sindrom Devic sendiri dianggap oleh beberapa penulis merupakan
penyakit autoimun. Mielopati sindrom Devic meluas pada dua atau lebih
vertebra dan ditandai secara histologis oleh adanya nekrosis dan kavitasi.
Bentuk klinis sindrom Devic adalah monofasik, relaps atau kronis [96-99].
MRI dari neuropati optik SLE tidak diketahui secara pasti.
Variabel derajat pembengkakan dan peningkatan sinyal intensitas gambar
T2 telah digambarkan pada pasien dengan SLE tak terdefinisi [100].
Histopatologi belum diteliti dengan cukup [101]. Temuan MRI paling umum
pada SLE mielopati adalah abnormalitas sinyal T1 dan T2 dan pelebaran
cord [102]. Lesi MRI lebih panjang dibanding sebagian besar kasus MS
[103] dan mirip dengan sindrom Devic. Lesi ini mungkin dapat meluas ke
sepanjang medulla spinalis [102, 104]. Sejak tahun 1980, pemeriksaan

10

patologis mielopati SLE telah dilakukan pada satu kasus yang pasti SLE
[44] dan pada dua pasien lainnya yang belum diberi kriteria diagnosis SLE
[94]. Perubahan histologis pada pasien SLE dan satu pasien dengan SLE
tak terdefinisi meliputi vakuolasi myelin atau nekrosis daerah oval,
terutama di pinggiran white matter. Lesi pasien kedua dengan SLE tak
terdefinisi mirip dengan yang terlihat pada kasus SLE yang dijelaskan
sebelum tahun 1980 [41]. Mielopati telah muncul pada kasus terakhir ini
selama berbulan-bulan [41]. Pada penyelidikan post-mortem, degenerasi
white matter melibatkan mielin dan akson terlihat pada segmen serviks
hingga sakral dan di sekeliling cord, paling parah di pinggiran. Vakuolasi
mielin terlihat pada batas lesi, berbatasan dengan white matter normal
[41]. Kompresi sumsum tulang belakang berkembang pada pasien dengan
hematoma subdural spinal atau epidural (untuk review, lihat
referensi 1, pasal 17, 18: Subdural dan epidural hematoma).
Kesimpulan. Masih banyak-pertanyaan yang belum terjawab terkait
neuropati dan mielopati optik terinduksi SLE. Degenerasi white matter
pada saraf optik dan saraf tulang belakang sesuai dengan kriteria 1 dan 4
dan diterima untuk dimasukkan sebagai mekanisme.
III.4:

Leukoensefalopati

(Terminologi

MeSH:

SLE

dengan

leukoensefalopati).
Seperti ditunjukkan dalam laporan kasus, leukoensefalopati dapat
berkembang di otak dan batang otak pasien SLE dalam beberapa hari,
minggu atau periode yang lebih panjang [55, 105-109]. Lesi mungkin
sebagian besar atau sebagian reversibel dan dalam kasus tersebut diduga
disebabkan edema. Pada kebanyakan pasien, penyebab pasti belum
teridentifikasi. Leukoensefalopati pernah ditemukan pada pasien dengan
sindrom pseudotumor serebri [108].
Hal yang menarik adalah leukoensefalopati tipe reversibel dapat
berkembang sebagai hipertensi emergensi dan terkait hubungannya
dengan terapi obat (siklosporin, tacrolimus, interferon-a, FK 506,
eritropoietin) atau trombotik trombositopenik purpura dan gangguan lain
[110, 111]. lesi ini mendominasi pada kebanyakan kasus di bagian

11

posterior otak, lobus oksipital, parietal dan atau temporal, menyebar dari
sana ke bagian lain. Pada sebagian besar pasien mereka menimbulkan
sindrom ensefalopati dengan kehilangan penglihatan dan tanda-tanda
neurologis lainnya [sindrom leukoensefalopati posterior (PLS)]. PLS telah
didiagnosis pada dua pasien dengan lupus nephritis (Kriteria SLE tidak
diberikan) [110]. Beberapa pasien dengan SLE tak terdefinisi digambarkan
memiliki

keluhan

penglihatan

dan

lesi

white

matter

reversibel

mendominasi di daerah oksipital [112].


Kesimpulan. leukoensefalopati selain PLS dianggap memenuhi Kriteria 1
dan 4 dan dapat dimasukkan sebagai mekanisme.
IV: Disfungsi Neuron Karena Antibodi (Tabel 5)
(Terminologi MeSH: SLE disertai: antibodi; sitokin)
Autoantibodi terhadap reseptor membran neuronal dapat menghambat
neurotransmisi di SSP dan penyebab dari gangguan neurologis.
Penyelidikan bentuk spesifik dari ataksia serebelar paraneoplastik
memberikan argumen yang kuat untuk hipotesis ini [113]. Antibodi
terhadap nuclear antigen atau sitoplasma neuronal dianggap oleh
beberapa penulis tidak menjadi neuropatogenesis sendiri, tapi untuk
mencerminkan aktivasi T-limfosit [114].
Bukti mengenai peran antibodi dalam patogenesis disfungsi neuron pada
SLE untuk saat ini sirkumstansial, baik dari sudut pandang klinis dan
laboratorium. SLE psikosis, didefinisikan dalam DSM IV sebagai
'gangguan karena kondisi medis umum' [1, 115], tidak berhubungan
dengan perubahan struktural apapun yang dikenal dan pulih tanpa
kelainan residual.
Beberapa bentuk klinis mungkin dapat dijelaskan oleh antibodi yang
diinduksi disfungsi saraf reversibel. Hubungan dengan antibodi neuronal
dan gangguan kognitif dapat diperkirakan. Perubahan neuropatologis
pada pasien dengan chorea dalam beberapa kasus kabur dan tidak dapat
dijelaskan secara sederhana oleh kelainan pembuluh darah fokal [117].
Sindrom yang dimediasi antibodi akan menjadi alternatif. Peran antibodi

12

juga diduga berkontribusi dalam patogenesis sekresi hormon antidiuretik


yang tidak tepat pada pasien SLE [118, 119].
Meskipun banyak penulis telah menemukan antibodi antineuronal pada
pasien dengan SLE, namun belum ada bukti yang kuat untuk
menerangkan hubungan kausal antibodi tertentu dengan sindrom SSP.
Bukti terkuat untuk hubungan, selama tetap mengacu pada signifikansi
klinis, adalah tiga phosphoprotein ribosom (Antiribosomal antibodi P)
[121]. Mereka sering ditemukan pada pasien dengan lupus psikosis dan
mengalami peningkatan selama fase aktif gangguan ini. Namun, mereka
tidak ditemukan pada semua pasien dengan lupus psikosis dan tidak
spesifik untuk lupus psikosis atau penyakit SSP [121, 126].
Sitokin dan komplemen terlibat dalam proses immunologis SSP tapi
bagaimana interaksi dan peran terhadap penyakit SSP dan apakah
mereka berhubungan dengan sindrom SSP spesifik belum jelas.
Kesimpulan. disfungsi saraf karena antibodi pada penyakit SSP diinduksi
SLE tampaknya gagasan yang menarik dan mungkin menjelaskan
mengenai sindrom SSP. Namun, belum terdapat cukup bukti yang
mendukung. Oleh karena itu belum dapat diterima sebagai mekanisme
untuk sindrom klinis pada SLE.
V: Reaksi Psikologis Defisit (Terminologi MeSH: SLE diikuti: kemampuan
koping; depresi; gangguan mood; gangguan kecemasan)
Istilah 'koping' mengacu pada strategi yang digunakan oleh individu untuk
mengelola situasi stres kehidupan [128, 129]. Penyakit fisik dapat menjadi
situasi kehidupan yang sulit dan mungkin mendahului timbulnya depresi
atau kecemasan ketika tidak mampu untuk koping (tidak cukup atau tidak
normal) [128, 130, 131]. Kecenderungan untuk mengalami depresi klinis
saat menghadapi situasi kehidupan yang penuh stres tampaknya
diwariskan. Hasil studi
46 pasien dengan SLE tak terdefinisi menunjukkan bahwa strategi koping
yang digunakan tidak spesifik untuk penyakit tertentu [132].

13

Kesimpulan. Kemampuan koping dan predisposisi genetik tampaknya


terlibat dalam reaksi psikopatologis pada pasien dengan SLE, seperti
dalam penyakit kronis lainnya. Mereka memenuhi kriteria 3 dan 4 dan
diterima sebagai mekanisme penyakit pada SLE.
Diskusi
Pengetahuan saat ini menganggap iskemia menjadi penyebab utama
manifestasi SSP pada SLE. Mekanisme-yang menyebabkan iskemia
beragam dan berkaitan dengan abnormalitas koagulasi; penebalan
dinding pembuluh oleh penyebab yang berbeda; pembentukan plak
aterosklerotik fokal pada arteri besar; dan dalam beberapa kasus, proses
peradangan.

Pada

beberapa

pasien,

sindrom

SSP

disebabkan

perdarahan intrakranial dan intraspinal tetapi faktor yang menyebabkan


pecahnya dinding pembuluh belum dianalisis secara jelas. Lesi pada
white matter otak pada umumnya mengalami iskemik dan untuk beberapa
kasus disebabkan edema reversibel. Perubahan white matter pada saraf
optik dan tulang belakang kurang dapat dipahami. Disfungsi neuron yang
dimediasi antibodi masih dalam penyelidikan. Defisiensi reaksi psikologis
cenderung memainkan peran penting dan merupakan milik dimensi lain.
Tabel 6 menggabungkan hasil dari penyelidikan literatur ini dengan
penyelidikan kami sebelumnya mengenai sindrom SSP pada SLE [1].
Sebuah versi modifikasi dari Sistem tata nama ACR ditampilkan di kolom
sebelah kiri. Kolom kanan menyediakan kemungkinan mekanisme
patogenesis, seperti diulas dalam dua penyelidikan tersebut.
Kemajuan yang telah dibuat dalam pengetahuan kita tentang mekanisme
patogenesis manifestasi SSP yang disebabkan SLE memiliki konsekuensi
terapi. Penyempitan pembuluh darah dan plak aterosklerotik berkembang
secara bertahap dan tidak reversibel. Intervensi untuk pencegahan primer
telah diajukan dan memerlukan evaluasi, misalnya profilaksis aspirin dan
menurunkan konsentrasi lipid serum [133, 134].

14

Infark iskemik dan perdarahan terjadi tiba-tiba dan dalam beberapa kasus
mungkin

membutuhkan

intervensi,

seperti

trombolisis

dari

arteri

intrakranial besar yang tersumbat [135] dan clipping atau coiling


aneurisma [83, 85]. Antikoagulasi dapat diindikasikan untuk trombosis
sinus serebral [136]. Pada kasus oklusi arteri, pencegahan sekunder
diperlukan [5, 137]. Efikasi semua bentuk pengobatan pada pasien SLE
memerlukan

penyelidikan

dan

konfirmasi.

Pencegahan

dan

cara

pengobatan (gejala) baru tidak hanya untuk TIA dan stroke.


Strategi untuk mencegah perubahan vaskular mungkin relevan untuk
fungsi kognitif pasien. Mempersiapkan pasien untuk ketidakpastian
penyakit mereka dapat membantu untuk mencegah reaksi psikologis.
Untuk sindrom SSP lainnya, pengetahuan lebih luas dibutuhkan berkaitan
dengan patogenesis mereka sebelum menerapkan pendekatan yang
sama, misalnya pencegahan edema serebral pada SLE. Meskipun
pencegahan dan pengobatan sindrom SSP tidak menyembuhkan SLE,
namun hal ini dapat meningkatkan kesejahteraan dan kelangsungan hidup
pasien.

TABEL 5
Antibodi
Antibodi antineuron

Target
Sindrom
50kDa protein membrane sinapsis [120];
52 kDa protein neuron Gangguan kognitif?

Antibodi antiribosom P

[116]
Protein ribosom P0, P1, Psikosis, depresi [121]

Antibodi antineurofilamen
APL

P2 [121]
205 dan 160 kDa [122]
B-glikoprotein I [123]

Gangguan

Myelin? [124]

125]

Indirek,

oleh

kognitif

efek

koagulasi dan pembuluh

15

[13,

darah

16

Daftar Pustaka
1. Jennekens FG, Kater L (2002) The central nervous system in
systemic lupus erythematosus. Part 2. Pathogenetic mechanisms of
clinical syndromes: a literature investigation. Rheumatology 41, 619630.
2. Horbach DA, van Oort E, Donders RC et al. (1996) Lupus
anticoagulant is the strongest risk factor for both venous and arterial
thrombosis in patients with systemic lupus erythematosus. Comparison
between different assays for the detection of antiphospholipid
antibodies. Thrombosis and haemostasis 76, 916-924.
3. Greaves M (1999) Antiphospholipid antibodies and thrombosis.
Lancet 354, 1031.
4. Ferro D, Basili S, Roccaforte S et al. (1999) Determinants of
enhanced thromboxane biosynthesis in patients with systemic lupus
erythematosus. Arthritis and rheumatism 42, 2689-2697.
5. Asherson RA, Derksen RH, Harris EN et al. (1987) Chorea in systemic
lupus erythematosus and "lupus-like" disease: association with
antiphospholipid antibodies. Seminars in arthritis and rheumatism 16,
253-259.
6. Herranz MT, Rivier G, Khamashta MA et al. (1994) Association
between antiphospholipid antibodies and epilepsy in patients with
systemic lupus erythematosus. Arthritis and rheumatism 37, 568-571.
7. Liou HH, Wang CR, Chen CJ et al. (1996) Elevated levels of
anticardiolipin antibodies and epilepsy in lupus patients. Lupus 5, 307312.
8. Mitsias P, Levine SR (1994) Large cerebral vessel occlusive disease
in systemic lupus erythematosus. Neurology 44, 385-393.
9. Lavalle C, Pizarro S, Drenkard C et al. (1990) Transverse myelitis: a
manifestation of systemic lupus erythematosus strongly associated
with antiphospholipid antibodies. The Journal of rheumatology 17, 3437.
10. Mok CC, Lau CS, Chan EY et al. (1998) Acute transverse
myelopathy in systemic lupus erythematosus: clinical presentation,
treatment, and outcome. The Journal of rheumatology 25, 467-473.
11. Alarcon-Segovia D, Estanol B, Garcia-Ramos G et al. (1997)
Antiphospholipid antibodies and the antiphospholipid syndrome.
Clinical relevance in neuropsychiatric systemic lupus erythematosus.
Annals of the New York Academy of Sciences 823, 279-288.
12. Wahl DG, Guillemin F, de Maistre E et al. (1997) Risk for venous
thrombosis related to antiphospholipid antibodies in systemic lupus
erythematosus--a meta-analysis. Lupus 6, 467-473.

17

Anda mungkin juga menyukai